ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) DI KOTA SURABAYA.

(1)

DI KOTA SURABAYA

SKRIPSI

PRASTYO BANGUN NUSWANTARA 0411010021 / FE/EP

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan Kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan Taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul :

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Di Kota Surabaya”.

Adapun maksud penyusunan skripsi ini adalah memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit bantuan yang penulis peroleh dari Dr. Syamsul Huda, SE. MT, selaku Dosen Pembimbing, Dirjen Pajak Kanwil I Jawa Timur, Badan Pusat Statistik Surabaya Selatan, Disnaker Jawa Timur serta dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Teguh Sudarto, MP, selaku Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Dr. Dhani Ichsanuddin Nur, SE. MM, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Drs. Ec. Marseto, DS. MSi, selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.


(3)

bermanfaat bagi penulis sejak awal hingga terselesainya skripsi ini. 5. Bapak Dr. H. Djohan Mashudi, SE. MSi, selaku Dosen Wali.

6. Para Dosen & Staf Karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

7. Pimpinan beserta Staf Karyawan Dirjen Pajak Kanwil I Jawa Timur. 8. Pimpinan beserta Staf Karyawan Badan Pusat Statistik Surabaya Selatan. 9. Pimpinan beserta Staf Karyawan Disnaker Jawa Timur.

10. Terima kasih kepada kekasihku tercinta Oktavia Saputri dengan kesabarannya senantiasa menemani, memberikan semangat, serta do’a yang senantiasa diberikan kepada penulis setiap saat tanpa mengenal waktu.

11. Terima kasih secara khusus kepada Ayahanda Supriyono dan Ibunda Ninik, atas perhatian, kasih sayang, bimbingan, dan kesabarannya, serta do’a yang senantiasa diberikan kepada penulis setiap saat tanpa mengenal waktu yang tidak pernah penulis dapat membalas semuanya.

Barang kali ucapan terima kasih saja tidak cukup untk membalas segala kebaikan yang diberikan kepada penulis, namun inilah yang hanya penulis sampaikan dari dasar sanubari yang tulus dan paling dalam, semoga Allah SWT berkenan memberikan berkah dan imbalan atas segala bantuan dari berbagai pihak.


(4)

pula kata yang penulis sampaikan kecuali manfaat atas segala kekurangan dan kesalahan penyajian dalam skripsi ini. Mudah – mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua kalangan yang memerlukan.

Surabaya, Januari 2010


(5)

Kata Pengantar ... i

Daftar isi ... iv

Daftar tabel ... vii

Daftar gambar ... viii

Abstraksi ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu ... 8

2.2 Landasan Teori ... 11

2.2.1. Pengertian Pajak ... 11

2.2.1.1Fungsi Pajak ... 13

2.2.1.2Pengelompokan Pajak ... 14

2.2.1.3Asas-asas Pemungutan Pajak ... 15

2.2.1.4Sistem Pemungutan Pajak ... 16

2.2.1.5Tarif Pajak ... 17

2.2.2. Hubungan Tarif Pajak Dengan Penerimaan Pajak ... 19

2.2.2.1Pajak Penghasilan ... 21

2.2.2.2Subyek Pajak dan Wajib Pajak ... 21

2.2.2.3Obyek Pajak ... 25

2.2.2.4Tidak Termasuk Obyek Pajak ... 28

2.2.3. Pelaksanaan Pemungutan Pajak ... 29

2.2.4. Pajak dan Retribusi ... 30


(6)

2.2.6. Pengertian Teori Pendapatan Nasional ... 37

2.2.6.1 Pengertian Pendapatan Perkapita ... 40

2.2.7. Penduduk ... 41

2.3 Kerangka Pikir ... 43

2.4 Hipotesis ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 47

3.2. Teknik Penentuan Sampel ... 48

3.3. Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.3.1 Jenis Data ... 48

3.3.2 Sumber Data ... 49

3.4. Teknik Analisa dan Uji Hipotesis ... 50

3.4.1 Teknik Analisa ... 50

3.4.2 Uji Hipotesis ... 51

3.5. Asumsi Klasik ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Obyek Penelitian ... 58

4.1.1 Kondisi Geografis ... 58

4.1.2 Kependudukan ... 59

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 60

4.2.1 Perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan ... 61

4.2.2 Perkembangan Jumlah Wajib Pajak ... 62

4.2.3 Perkembangan UMR ... 62

4.2.4 Perkembangan Pendapatan Perkapita ... 63


(7)

Best Linier Unbiased Estimator ... 65

4.3.1 Analisis Dan Pengujian Hipotesis ... 69

4.3.2 Uji Hipotesis Secara Simultan ... 70

4.3.3 Uji Hipotesis Secara Parsial ... 72

4.3.4 Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 80

5.2 Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA


(8)

Tabel 1. Perbedaan antara Wajib Pajak Dalam Negeri dan

Wajib Pajak Luar Negeri ... 24

Tabel 2. Perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan Tahun 2000-2008 ... 61

Tabel 3. Perkembangan Jumlah Wajib Pajak Tahun 2000-2008 ... 62

Tabel 4. Perkembangan UMR Tahun 2000-2008 ... 63

Tabel 5. Perkembangan Pendapatan Perkapita Tahun 2000-2008... 64

Tabel 6. Perkembangan Jumlah Penduduk Tahun 2000-2008... 65

Tabel 7. Tes Multikolinear ... 67

Tabel 8. Tes Heterokedastisitas dengan Korelasi Rank Spearman Korelasi ... 68

Tabel 9. Analisis Varian (ANOVA)... 70

Tabel 10. Hasil Analisis Variabel Jumlah Wajib Pajak (X1), Upah Minimum Regional (X2), Pendapatan Perkapita (X3), dan Jumlah Penduduk (X4) terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan ... 72


(9)

Gambar 1. Kurva Laffler ... 20 Gambar 2. Kurva Penentuan Tingkat Upah dan Kesempatan Kerja

Berdasarkan Pendekatan Tradisional Permintaan dan

Penawaran Tenaga Kerja ... 36 Gambar 3. Kerangka Pikir ... 45 Gambar 4. Kurva Distribusi Penerimaan Atau Penolakan

Hipotesis Secara Simultan ... 53 Gambar 5. Kurva Distribusi Penerimaan Atau Penolakan

Hipotesis Secara Parsial ... 54 Gambar 6. Distribusi Daerah Keputusan Autokorelasi ... 56 Gambar 7. Distribusi Kriteria Penerimaan Atau Penolakan

Hipotesis Secara Simultan Atau Keseluruhan ... 71 Gambar 8. Kurva Hasil Analisis Secara Parsial Faktor Jumlah

Wajib Pajak (X1) Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan (Y) .. 73

Gambar 9. Kurva Distribusi Hasil Analsis Secara Parsial Faktor Upah Minimum Regional (X2) Terhadap Penerimaan

Pajak Penghasilan (Y) ... 74 Gambar 10. Kurva Distribusi Hasil Analisis Secara Parsial Faktor

Pendapatan Perkapta (X3) Terhadap Penerimaan

Pajak Penghasilan (Y) ... 75 Gambar 11. Kurva Distribusi Hasil Analisis Secara Parsial Faktor

Jumlah Penduduk (X4) Terhadap Penerimaan Pajak


(10)

Oleh Prastyo Bangun Nuswantara Abstraksi

Adanya fluktuasi harga minyak bumi yang tidak menentu di pasaran dunia, maka Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan sumber penerimaan dari sektor migas. Untuk itu pemerintah terus herusaha mencari alternative pembiayaan dalam negeri diluar sektor penerimaan migas sebagai sumber dana dalam meningkatkan kegiatan pembangunan. Gambaran tersebut menunjukkan betapa mendesaknya upaya peningkatan penerimaan dan sektor nonmigas khususnya pajak, yang diharapkan menjadi andalan utama dan dapat menggantikan sumber dan yang berasal dari migas.

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang bisa dikumpulkan atau diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur, Dirjen Pajak Kanwil Jawa Timur I dan Dinas Tenaga Kerja Propinsi Jawa Timur selama 9 tahun mulai 2000-2008. Data yang dianalisis menggunaan model regresi Linear berganda yaitu suatu analisis untuk mengetahui masing-masing variable bebas (X) yang terdiri dari variable Jumlah Wajib Pajak, Upah Minimum Regional, Pendapatan Perkapitan dan Jumlah Penduduk terhadap variable terikat (Y) yaitu Pejak Penghasilan baik secara simultan maupun secara parsial.

Berdasarkan hasil analisis dan pengujian hipotesis diperoleh hasil Fhitung =

(27,353) > Ftabel = 6,39 maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti bahwa

secara keseluruhan faktor–faktor variable bebas yaitu Jumlah Wajib Pajak (X1),

Upah Minimum Regional (X2), Pendapatan Perkapita (X3),dan Jumlah Penduduk

(X4), berpengaruh secara simultan dan nyata terhadap Penerimaan Pajak

Penghasilan (Y). Sedangkan hasil Uji t secara Parsial variabel Jumlah Wajib Pajak berpengaruh secara nyata terhadap Pajak Penghasilan dengan nilai thitung =

3,041 > ttabel = 2,376 maka Ho ditolak dan Hi diterima, variabel Upah Minimum

Regional berpengaruh secara nyata terhadap Pajak Penghasilan dengan nilai thitung

= 4,293 > ttabel = 2,376 Ho ditolak dan Ha diterima, Pendapatan Perkapita

berpengaruh secara nyata terhadap Pajak Penghasilan dengan nilai thitung = 7,928 >

ttabel = 2,376 maka Ho ditolak dan Ha diterima, Jumlah Penduduk tidak

berpengaruh secara nyata terhadap Pajak Penghasilan dengan nilai thitung = 1,308 <

ttabel = 2,376 Ho diterima dan Ha ditolak.

Keyword : Jumlah Wajib Pajak, Upah Minimum Regional, Pendapatan Perkapita, Jumlah Penduduk, dan Pajak Penghasilan.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menaikkan, mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Pembangunan harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan terus menerus serta meluas untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, kebutuhan dana untuk pembiayaan pembangunan dan keperluan rutin semakin meningkat sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kita inginkan. Kebutuhan dana untuk pembiayaan pembangunan dan keperluan rutin diatur oleh pemerintah lewat keuangan negara. (Anonim, 1993 : 10)

Walaupun kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan ekonomi selalu ditunjukan untuk mempertinggi kesejahteraan dalam arti yang seluas-luasnya, kegiatan pembangunan ekonomi selalu dipandang sebagai bagian dari keseluruhan usaha pembangunan yang dijalankan oleh masyarakat untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan mempertinggi tingkat pendapatan masyarakat. Upaya meningkatkan pendapatan adalah suatu indikator terhadap perkembangan yang ingin dicapai dalam keseluruhan pembangunan. Dalam mengupayakan peningkatan pendapatan, pemerintah telah berprinsip bahwa arah kebijaksanaan


(12)

pembangunan adalah sejauh mungkin meningkatkan kemandirian dalam menggali dan mengembangkan sumber-sumber dana pembangunan dalam negeri serta mengupayakan penggunaan dana tersebut secara efisien. Kemandirian tersebut sangat penting bagi bangsa Indonesia.

Mengenai aspek kemandirian ini perlu disadari bahwa sumber kekuatan kemandirian akan ditentukan oleh kemampuan menggali dan memobilisasi berbagai sumber penerimaan dan pembiayaan pembangunan. Pada awal dekade 1980-an situasi perekonomian mulai menghadapi berbagai kendala, sebagai akibat kondisi lingkungan dunia internasional pada saat itu, antara lain :

1. Penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi 2. Terjadinya inflasi

3. Nilai perdagangan dunia kurang meningkat

4. Arus dana luar negeri ke negara-negara berkembang menurun 5. Harga barang-barang primer semakin merosot

6. Harga minyak bumi dipasaran dunia tidak menentu dan cenderung semakin merosot

Diantara kondisi-kondisi tersebut diatas yang paling berpengaruh dalam kehidupan dan stabilitas perekonomian Indonesia adalah terjadinya fluktuasi harga minyak dipasaran dunia yang selanjutnya mempengaruhi nilai ekspor minyak bumi Indonesia dan hal ini menyebabkan penurunan penerimaan pemerintah dari sektor migas yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap kemampuan pemerintah dalam membiayai


(13)

pengeluarannya, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.

Adanya fluktuasi harga minyak bumi yang tidak menentu di pasaran dunia, maka Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan sumber penerimaan dari sektor migas. Untuk itu pemerintah terus herusaha mencari alternative pembiayaan dalam negeri diluar sektor penerimaan migas sebagai sumber dana dalam meningkatkan kegiatan pembangunan.

Gambaran tersebut menunjukkan betapa mendesaknya upaya peningkatan penerimaan dan sektor nonmigas khususnya pajak, yang diharapkan menjadi andalan utama dan dapat menggantikan sumber dan yang berasal dari migas.

Hal ini sesuai dengan yang terkandung dalam Repelita V, yaitu unsur terbesar penerimaan diluar migas adalah penerimaan pajak. Dengan demikian kebijaksanan perpajakan mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam upaya penyediaan dana yang cukup bagi pelaksanaan pembangunan nasional. Penerimaan dari berbagai sumber perpajakan mutlak harus berhasil ditingkatkan secara berarti.

Perubahan sistem semacam ini (yang semula berorientasi pada minyak lalu dirubah dengan orientasi pajak) adalah wajar. Dalam proses pertumbuhan ekonionmi suatu negara, perubahan struktur perokonomian mungkin saja terjadi. Salah satunya adalah perubahan dalam penerimaan negara. Perubahan penerimaan negara ini ditandai oleh peranan pajak


(14)

langsung terhadap total pajak semakin meningkat. sebaliknya pajak tidak langsung terhadap total pajak semakin menurun.

Sektor pajak mempunyai keunggulan dibanding dengan penerimaan lain, yaitu pajak berfungsi sebagai instrumen bagi distribusi pendapatan. Fungsi ini perlu disadari dan dilaksanakan, yaitu dengan mengalihkan sasaran pajak kepada pajak-pajak langsung. Sedangkan keunggulan lain dan sektor pajak bila dibandingkan dengan sektor migas adalah karena tidak menentunya harga migas dipasar dunia dan faktor sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Sedangkan kondisi di Indonesia sendiri dapat kita lihat bahwa semakin tahun kontribusi pajak terhadap penerimaan negara menunjukkan hasil yang semakin meningkat. Fakta seperti ini akan semakin mendukung upaya pemerintah dalam memaksimalkan penerimaan pajak sebagai penerimaan negara.

Dalam rangka menggali penerimaan sektor pajak, pemerintah telah mengupayakan penyempurnaan sistem perpajakan nasional, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang Perpajakan baru yang dikenal dengan Reformasi perpajakan tahun 1983 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1984 yang telah disempurnakan pada tahun 2000. Kebijaksanaan ini pada hakekatnya merupakan suatu langkah perubahan yang mendasar antara lain, menyangkut sistem penerapan, sistem pemungutan, sistem sanksi, kemudahan dan kapasitas hukum. Langkah tersebut bertujuan untuk mengupayakan peningkatan penerimaan pajak baik melalui upaya intensifikasi maupun ekstensifikasi pemungutan pajak. Dalam upaya


(15)

intensifikasi yaitu, penggalian lebih dalam dan sumber-sumber penghasilan perpajakan. Memungkinkan penerimaan pajak meningkat. Demikian pula dalam upaya ekstensifikasi yaitu perluasan subyek maupun obyek pajak baru.

Dari tahun ke tahun penerimaan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan dalam negeri semakin meningkat. ini menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak semakin meningkat dan masih dapat ditingkatkan lagi mengingat jumlah penduduk Indonesia yang begitu besar mempunyai potensi sebagai wajib pajak. Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu dari tiga komponen terbesar dan keseluruhan penerimaan pajak. Tiga komponen tersebut adalah Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Penghasilan menempati urutan pertama dalam jumlah penerimaannya bila dibandingkan dengan jenis pajak yang lain. Dengan demikian Pajak Penghasilan adalah penyumbang terbesar dalam seluruh penerimaan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara. (Anonim, 2000 : 5)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak Kantor Wilayah Jawa Timur I diketahui bahwa perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan di Surabaya dari tahun 2000 sampai pada tahun 2008 cenderung mengalami perkembangan yang dimulai tahun 2000 sampai tahun 2001 naik sebesar (392,59%), tahun 2002 turun sebesar (-21,19%), tahun 2003 turun sebesar (-2,04%), tahun 2004 naik sebesar (0,10%), tahun 2005 naik sebesar (5,79%), tahun 2006 naik sebesar (0,73%), tahun


(16)

2007 naik sebesar (0,92%), tahun 2008 naik sebesar (21.87%) perkembangan dari jumlah penerimaan pajak tersebut di sebabkan karena masih kurangnya sosialisasi pemerintah tentang pentingnya peran pajak terhadap pemerataan pembangunan serta masih terdapat kesenjangan pendapatan dan pembangunan di Surabaya. (Anonim, 2009 : 1).

Pemerintah saat ini menekankan pada program pemerataan untuk mengatasi kesenjangan pendapatan dan pembangunan. Oleh karena itu kebijaksanaan perpajakan di Indonesia memberlakukan pajak Penghasilan dengan berstruktur progresif. Pajak dikatakan progresif apabila pajak itu dikenakan dengan persentase yang semakin tinggi dengan semakin tingginya kemampuan membayar pajak. (Suparmoko, 1992 : 238).

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah faktor-faktor Jumlah Wajib Pajak, Upah Minimum Regional, Pendapatan Perkapita dan Jumlah Penduduk mempunyai pengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) di Kota Surabaya? 2. Manakah dari ke-4 (empat) faktor yang paling dominan pengaruhnya

terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) di Kota Surabaya ? 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh Jumlah Wajib Pajak, Upah Minimum Regional, Pendapatan Perkapita, Jumlah Penduduk terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) di Kota Surabaya.


(17)

7

2. Untuk mengetahui manakah dari ke-4 (empat) faktor yang paling dominant pengaruhnya terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) di Kota Surabaya.

1.4. Manfaat Penelitian:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk digunakan : 1. Sebagai gambaran dan memberikan penjelasan mengenai perkembangan penerimaan pajak penghasilan di Kota Surabaya, serta adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Surabaya dalam peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) .

2. Berdasarkan penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan dan informasi selanjutnya dalam pengambilan keputusan dan pertimbangan untuk menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan fiskal dan perpajakan di Kota Surabaya.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Jawa Timur untuk melengkapi perbendaharaan perpustakaan serta bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian lebih lanjut.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Penelitian Terdahulu

1. Istyohari (1994: xi) dengan judul penelitian “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) Dalam Menunjang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) di Indonesia”. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu secara simultan menunjukkan hubungan yang nyata antara variabel bebas jumlah penduduk, tingkat inflasi dan pendapatan perkapita terhadap variabel terikat penerimaan pajak pertambahan nilai. Sedangkan secara parsial, variabel jumlah penduduk berpengaruh secara nyata terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai, pendapatan perkapita juga berpengaruh secara nyata terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai. Tetapi variabel tingkat inflasi tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak pertambahan nilai, karena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak dipengaruhi oleh tingkat inflasi melainkan pengeluaran pemerintah yang mengalami kenaikan terus menerus.

2. Anggraini (1994 : xi) dengan judul penelitian “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya”. Kesimpulan dan hasil penelitian ini didapat bahwa dengan menggunakan (Uji-F) ternyata variabel bebas yang diamati berpengaruh nyata terhadap variabel terikat penerimaan pajak daerah,


(19)

kemudian hasil pengujian secara parsial (Uji-t) dengan jumlah hotel, jumlah rumah makan berpengaruh positif. Sedangkan jumlah gedung bioskop dan jumlah perusahaan berpengaruh negatif terhadap penerimaan pajak daerah. Hal tersebut karena pajak daerah masih dipengaruhi pula oleh beberapa faktor yang tidak dibahas dalam penelitian ini misalnya sarana dan prasarana atau beberapa faktor yang tidak diketahui oleh penulis.

3. Suryadi (1994 : xi) dengan judul penelitian “Beberapa Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pajak Penghasilan di Jawa Timur”. Dan penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa secara simultan uji F variabel bebas yaitu pendapatan perkapita (X1). Kantor Pelayanan Pajak (X2), dan tingkat inflasi (X3) berpengaruh secara nyata terhadap penerimaan pajak penghasilan di Jatim. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah model regresi linier berganda yaitu untuk menganalisa dan mengetahui hubungan atau pengaruh secara simultan maupun secara parsial dan masing-masing variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).

4. Irawati (1995 : xi) dengan judul penelitian “Beberapa Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penerimaan Pajak Non Migas Terhadap Pendapatan Nasional (Produk Domestik Brutto)”. Kesimpulan dan penelitian ini yaitu secara simultan menunjukkan hubungan yang nyata antara variabel bebas pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penjualan (PPn) terhadap variabel terikat Produk


(20)

Domestik Bruto (PDB) sedangkan secara parsial, variabel pajak penghasilan berpengaruh secara nyata terhadap Produk Domestik Bruto dan variable pajak pertambahan nilai tidak berpengaruh secara nyata terhadap Produk Domestik Bruto karena pajak pertambahan nilai berpengaruh terhadap nilai penjualan sedangkan nilai penjualan barang tergantung pada volume penjualan dan tingkat harga.

5. Maraianti (1996 : xi) dengan judul penelitian “Beberapa Faktor Ekonomi dan Moneter yang Mempengaruhi Perkembangan Pajak Kendaraan Bermotor di Daerah Tingkat II Surabaya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabel- variabel penelitian yang terdiri dari satu variable tidak bebas (Y) yaitu realisasi penerimaan kendaraan bermotor dan tiga variabel bebas (X) yaitu Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (x1), Inflasi (x2) dan tingkat suku bunga kredit

konsumtif (x3). Populasi penelitian ini mencakup wi1ayah Kotamadya

Surabaya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder melalui pustaka-pustaka yang ada dan laporan-laporan yang tersedia. Model analisa yang digunakan penerapan model analisis linier berganda. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu secara simultan menunjukkan adanya hubungan yang nyata antara variabel bebas terhadap variabel terikat, sedangkan secara parsial menunjukkan pengaruh yang nyata antara variabel bebas terhadap variabel terikat.

Hasil penelitian terdahulu tidak mempunyai keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan pada saat ini. Hal tersebut dikarenakan adanya


(21)

perbedaan kurun waktu penelitian, jenis obyek yang akan diteliti serta wilayah penelitian. Namun perilaku variabel-variabel yang diteliti sedikit banyak memberi masukan yang cukup besar dalam penelitian selanjutnya dengan mengembangkan model untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan (PPh) di Surabaya.

2.2. LandasanTeori 2.2.1. Pengertian Pajak

Banyak para ahli yang memberikan pengertian atau definisi yang berbeda tentang pajak meskipun berbagai definisi tersebut mempunyai arti dan tujuan yang sama, antara lain:

Djajadiningrat memberikan definisi yang lebih luas karena disamping memberikan tujuan pemungutan pajak (untuk biaya pemeliharaan kesejahteraan umum) juga memberikan sebab pengenaan pajak, yaitu: pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan kepada negara yang disebabkan suatu keadaan, kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa balik dan negara secara langsung dan digunakan untuk memelihara kesejahteraan umum. (Munawir, 1990 : 3)

Menurut Soemitro R. pajak adalah iuran rakyat terhadap kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) tanpa mendapat


(22)

jasa timbal (kontra prestasi) langsung dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Soemitro, 1992 : 2).

Menurut Brotodiharjo pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutan oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembal, yang dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pembangunan. (Brotodiharjo, 1995 :2)

Menurut Liberty Pandiangan pengertian pajak adalah pembayaran (pengalihan) sebagian harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat kepada Negara yang dapat dipaksakan berdasarkan Undang-undang, namum pembayarannya tidak mendapatkan suatu balas jasa secara langsung, untuk digunakan membiayai pengeluaran Negara guna meningkatkan kualitas masyarakat. (Pandiangan, 2002 : 19)

Menurut Erly Suandy dari segi ekonomi pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat (perusahaan) ke sektor publik. Bagi negara pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran maupun pengeluaran pembangunan. Sebaliknya bagi perusahaan,, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih. (Suandy, 2008 : 1)

Meskipun pendapat dari para ahli dalam mendefinisikan pajak berbeda, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pajak sebagai berikut :


(23)

a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang bersifat dapat dipaksakan.

b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

c. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

d. Pajak diperuntukkan bagi pengelaran-pengeluaran pemerintah, sehingga tujuan utama pajak sebagai sumber keuangan Negara. (Waluyo dan Wirawan, 2002 : 6)

2.2.1.1. Fungsi Pajak

Ada dua fungsi pajak, yaitu:

1. Fungsi Pembiayaan (Budgetair)

Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

2. Fungsi Mengatur (Regulerend)

Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contoh:

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif


(24)

c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.

(Mardiasmo, 2001 : 2).

2.2.1.2. Pengelompokan Pajak 1. Menurut golongannya

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: pajak penghasilan

b. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai 2. Menurut sifatnya

a. Pajak subyektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya. dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak.

Contoh: Pajak Penghasilan

b. Pajak obyektif, yaitu pajak yang berpangkal pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan dri wajib pajak.

Contoh: pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.

3. Menurut lembaga pemungutannya


(25)

digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

Contoh: Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah pajak bumi dan bangunan dan bea materai.

b. Pajak daerah yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

Pajak daerah terdiri atas:

- Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor.

- Pajak Daerah Tingkat I (Kabupaten / Kota), contoh : Pajak Hotel dan Restoran (Pengganti Pajak Pembangunan 1). Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan. (Mardiasmo, 2001 : 7 )

2.2.1.3. Asas-Asas Pemungutan Pajak a. Asas Domisili (asas tempat tinggal)

Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dan luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.

b. Asas Sumber

Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.


(26)

c. Asas Kebangsaan

Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia. Asas ini berlaku untuk wajib pajak luar negeri. (Mardiasmo, 2001 : 8).

2.2.1.4. Sistem Pemungutan Pajak a. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

Ciri-cirinya:

1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus

2. Wajib pajak bersifat pasif

3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.

b. Self Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.


(27)

1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.

2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.

3. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System

Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak).

Ciri-cirinya:

Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang pada pihak ketiga pihak lain fiskus dan wajib pajak. (Mardiasmo, 2001 : 9)

2.2.1.5. Tarif Pajak

Ada 4 macam tarif pajak:

1. Tarif sebanding / proporsional

Tarif berupa persentase yang tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak.

Contoh:

Untuk penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean akan dikenakan pajak pertambahan nilai sebesar 10%.


(28)

2. Tarif Tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang tertuang tetap.

Contoh:

Besarnya tarif bea materal untuk cek dan bilyet giro dengan nilai nominal berapapun adalah Rp. 6.000.

3. Tarif Progresif

Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Contoh:

Pasal 17 UU PPh Tahun 2000

* Lapisan penghasil kena pajak Tarif - Rp 2.000.000 Sampai dengan

Rp. 25.000.000- 10%

- Di atas Rp. 25.000.000,- 15%

- Di atas Rp. 50.000.000,- 30%

* Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar

b. Tarif progresif tetap: kenaikan prosentase tetap


(29)

Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 Undang-Undang tersebut di atas termasuk progresif progresif.

4. Tarif degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar (Mardiasmo, 2001 : 11).

2.2.2. Hubungan Tarif Pajak dengan Penerimaan Pajak

Pembangunan ekonomi mempunyai hubungan timbal balik dengan penerimaan pajak dalam perekonomian suatu negara. Artinya kedua hal tersebut dalam kenyataannya akan saling mempengaruhi. Menurut kelompok aliran sisi penawaran, perubahan tarif pajak mempengaruhi tingkat harga, pilihan alokasi sumber daya dan aktifitas ekonomi. Dalam perekonomian tertutup pemerintah tidak dapat melaksanakan kewajiban penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat bila tarif pajak rendah. Oleh karena itu tarif pajak harus dinaikkan. Tetapi jika tarif pajak dinaikkan maka akan berakibat negatif. Bila tarif pajak naik maka harga-harga akan naik, jika harga-harga-harga-harga naik maka tabungan akan turun dan investasi juga akan turun sehingga secara keseluruhan maka kegiatan produksi juga akan menurun.


(30)

Hubungan tarif pajak dengan penerimaan pemerintah dinyatakan oleh Arthur Laffler dalam suatu kurva yang dinamakan Kurva Laffler.

Sumber: Nopirin, 1996. Ekonomi Moneter, Buku II, Edisi I. BPFE-UGM Yogyakarta. hal. 159

- Kurva Laffler memotong sumbu horizontal (tarif pajak) pada titik 0% dan 100% Artinya apabila tarif pajak adalah 0% (tidak ada pajak) maka penerimaan pemerintah dari pajak juga nol. Sama halnya apabila tarif pajak sebesar l00% maka tidak ada orang yang mau bekerja (sebab semua penghasilannya untuk membayar pajak) sehingga peneriamaan pemerintah dari pajak juga nol. Kenaikan pajak dari 0% akan menaikkan penerimaan pajak sampai suatu tarif pajak tertentu (pada T*) kemudian naiknya tarif pajak akan diikuti dengan penurunan penerimaan pajak (titik T* tidak mesti pada tarif pajak 50%). Alasan pertama naiknya tarif pajak mungkin


(31)

menyebabkan orang lebih menyukai menganggur daripada bekerja sehingga kenaikan penerimaan pajak diimbangi dengan kerugian penerimaan yang lebih besar sebagai akibat turunnya penawaran tenaga kerja serta produktivitas (pada titik A) sebaliknya dengan menurunnya tarif pajak penerimaan pajak dapat naik.

2.2.2.1. Pajak Penghasilan

Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pajak atas penghasilan (laba) yang diterima atau diperoleh orang pribadi maupun laba perusahaan. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur cara menghitung dan cara melunasi pajak yang terutang.

Dengan demikian Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) menjamin kepastian hukum. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) juga lebih memberikan fasilitas kemudahan dan keringanan bagi wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.

2.2.2.2. Subyek Pajak dan Wajib Pajak

Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subyek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Yang menjadi Subyek Pajak adalah:


(32)

b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2. Badan, terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), Comanditer Verengeening (CV). perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), persekutuan, perkumpulan, Firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiunan dan bentuk badan usaha lain.

3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Subyek Pajak dapat dibedakan menjadi:

1. Subyek Pajak dalam negeri yang terdiri atas: a. Subyek Pajak orang pribadi, yaitu:

• Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau

• Orang pribadi yang dalam tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.

b. Subyek Pajak badan, yaitu:

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c. Subyek Pajak warisan, yaitu

Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2. Subyek Pajak luar negeri yang terdiri atas: a. Subyek Pajak orang pribadi, yaitu:


(33)

Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam rangka waktu 12 bulan yang:

1) Menjalankan usaha untuk melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2) Dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

b. Subyek Pajak badan, yaitu:

Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang:

1) Menjalankan usaha untuk melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2) dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha untuk melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subyek Pajak dalam negeri menjadi Wajib pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan. Sedangkan Subyek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan


(34)

obyektif. Perbedaan antara Wajib Pajak Dalam Negari dan Wajib Pajak Luar Negeri, antara lain adalah sebagai berikut:

Tabel 1: Perbedaan antara Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri

Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri

 Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia.

 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto.

 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (tarif UU PPh pasal 17).

 Wajib menyampaikan Surat Pemberitahuaan.

 Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.

 Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto.

 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal 26).

 Tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuaan.

Sumber : Mardiasmo, 2001, Perpajakan, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 97 Tidak Termasuk Subyek Pajak

Yang tidak termasuk Subyek Pajak adalah : 1. Badan perwakilan asing.

2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat lain dari Negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan tempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:


(35)

• Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.

• Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 3. Organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998. dengan syarat:

• Tidak menjalankan usaha untuk melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

4. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksudkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998, dengan syarat:

• Bukan warga negara Indonesia

• Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

(Mardiasmo, 2001 : 99)

2.2.2.3. Obyek Pajak

Yang menjadi obyek pajak adalah penghasilan. Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh, baik


(36)

yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menamhah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.

Yang termasuk dalam pengertian penghasilan tersebut adalah:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh. termasuk gaji, upah. tunjangan. honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya.

2. Hadiah dan undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

3. Laba usaha

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang.

7. Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun.

8. Royalti.

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.

11. Keuntungan karena pembebasan utang. 12. Keuntungan karena pembebasan uang asing. 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi, termasuk premi reasuransi.


(37)

15. luran yang diterima atau diperoleh perkumpulan sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume usaha atau pekerjaan bebas anggotanya.

16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dan penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi:

1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas.

2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.

3. Penghasilan dan modal atau penggunaan harta.

4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari empat kelompok penghasilan di atas, seperti:

a. Keuntungan karena pembebasan utang.

b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. c. Selisih lebih karena penilaian kembali uang asing. d. Hadiah undian.

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri yang menjadi Obyek Pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.


(38)

2.2.2.4. Tidak Termasuk Obyek Pajak

Tidak termasuk sebagai Obyek Pajak adalah: 1. a. Bantuan atau sumbangan, serta

b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan, badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha pekerjaan kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Warisan.

3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah.

5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan Terbatas (PT) sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, yayasan atau organisasi sejenis, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan penyertaan modal pada badan usaha didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia.


(39)

7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai, dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

8. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.

9. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana. 10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal

ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan usaha tersebut:

a. Merupakan pengusaha kecil, rnenengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. (Mardiasmo, 2001 : 101 )

2.2.3. Pelaksanaan Pemungutan Pajak

Tersedianya tenaga ahli dan sistem administrasi yang efisien sangat menunjang pembangunan. Dalam pemungutan pajak, sangat diperlukan


(40)

aparat pemungut yang pemungutnya baik. Karena sering berhubungan dengan uang, untuk itu perlu kejujuran dan rasa pengabdian yang tinggi.

Disamping itu petugas pemungut pajak harus berusaha bekerja semaksimal mungkin dan juga harus dapat menemukan atau menambah jumlah wajib pajak yaitu dengan jalan mengadakan pengawasan yang lebih ketat terhadap pengusaha beserta karyawannya ataupun masyarakat wajib pajak sehingga kemungkinan untuk menyimpan akan sangat kecil. 2.2.4. Pajak dan Retribusi

2.2.4.1. Retribusi

Setelah mengetahui definisi-definisi dari pajak di atas marilah kita coba bandingkan dengan apa yang dimaksud dengan retribusi. Definisi retribusi menurut Suparmoko adalah “suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah dimana kita dapat melihat adanya hubungan balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut, misalnya: retribusi pasar, parkir, retribusi air dan lain-lain.

(Suparmoko, 1992 : 94)

2.2.4.2. Pajak

Menurut definisi pajak dan retribusi di atas dapat kita pahami beberapa unsur dari pajak yaitu : iuran pada negara, dapat dipaksakan, berdasarkan Undang-undang, tidak mendapat prestasi kembali secara langsung. Unsur dapat dipaksakan bersifat yuridis artinya akan dapat membawa akibat hukum bagi para pelanggarnya. Sedangkan bagi retribusi


(41)

bersifat ekonomis yang pada hakekatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Perbedaan lain yang didapat adalah bahwa manfaat yang didapat dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat tidak dapat langsung dinikmati oleh masyarakat pada saat pajak dibayarkan. Sehingga unsur kesadaran dari masyarakat (Tax Morality) sangatlah penting dalam pembayaran pajak tersebut. Hal ini dikarenakan manfaat dari pembayaran pajak tidak 1angsung dapat dinikmati. lain halnya dengan retribusi yang manfaatnya langsung dapat kita nikmati. Jadi perlu ditekankan sekali lagi disini bahwa jika masyarakat sadar akan manfaat dari pembayaran pajak tersebut, maka itu berarti masyarakat telah membantu pemerintah dalam pengumpulan pajak di mana pajak itu sendiri digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah, antara lain: penyediaan barang publik, memelihara stabilitas nasional dan lain sebagainya. (Sudarsono. 1994 : 2)

2.2.5. Pengertian Upah

Pembayaran kepada tenaga kerja dapat dibedakan kepada dua pengertian gaji dan upah. Dalam pengertian sehari-hari gaji diartikan sebagai pembayaran kepada pekerja-pekerja tetap dan tenaga professional seperti pegawai pemerintah, dosen, guru, manager dan akuntan. Pembayaran tersebut biasanya sebulan sekali. Sedangkan upah dimaksudkan sebagai pembayaran kepada pekerja-pekerja kasar yang pekerjaannya selalu berpindah-pindah, seperti pekerja pertanian, tukang kayu, tukang batu dan buruh kasar.


(42)

Di dalam teori ekonomi upah diartikan sebagai pembayaran ke atas jasa-jasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha. Dengan demikian dalam teori ekonomi tidak dibedakan antara pembayaran ke atas jasa-jasa pekerja tetap dan professional dengan pembayaran ke atas jasa-jasa pekerja kasar dan tidak tetap. Di dalam teori ekonomi kedua jenis pendapatan pekerja ( pembayaran kepada para pekerja) tersebut dinamaan upah. (Sukirno, 1994:350).

2.2.5.1Pengertian Rata-Rata Upah Minimum Regional

Ada perbedaan yang penting antara upah uang dan Upah Minimum Regional. Upah uang adalah banyak rupiah yang diterima oleh para buruh dari majikannya sebagai pembayaran untuk jasa-jasa yang telah diberikannya. Upah Minimum Regional ialah banyaknya barang-barang dan jasa-jasa yang dapat dibeli dengan upah uang pada suatu waktu tertentu.

Ini berarti bahwa Upah Minimum Regional tergantung dari tingkat harga dan tingkat upah yang berlaku pada waktu yang sama. Jika upah uang tinggi sedangkan tingkat harga relatif rendah, maka Upah Minimum Regional akan lebih tinggi daripada jika tingkat harga telah naik, Oleh karena itu nilai uang terletak dalam barang-barang dan jasa-jasa yang akan dibeli maka untuk memeriksa tetap tidaknya tingkat upah, harus diukur dengan Upah Minimum Regionalnya.


(43)

Sistem pengupahan merupakan kerangka upah diatur dan ditetapkan sistem pengupahan di Indonesia. Sistem pengupahan di suatu Negara biasanya didasarkan pada falsafah / teori yang dianut oleh negara.

Sistem pengupahan di Indonesia pada umumnya didasarkan pada tiga fungsi, yaitu :

1. Menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya. 2. Mencerminkan imbalan atas hasil kerja seseorang.

3. Menyediakan insentif untuk mendorong peningkatan produktivitas kerja.

Penghasilan dan imbalan yang diterima seseorang karyawan dan pekerja sehubungan dengan pekerjaan dapat digolongkan ke dalam empat bentuk, yaitu:

1.a. Upah (dalam bentuk uang yang diterima dalam satuan yang ditetapkan).

b. Gaji (dalam bentuk uang yang diterima dalam jangka waktu yang ditetapkan).

2. Tunjangan dalam bentuk natural (dalam bentuk dan bahan-bahan kebutuhan pokok).

3. Fringe Benefit (pemberian diluar gaji sehubungan dengan jabatan pekerjaan).

4. Kondisi lingkungan kerja. (Simanjuntak, 1998 : 110)

Tingkat upah dapat diistilahkan dengan Labour Cost yang mempunyai pengertian sebagai seluruh biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha


(44)

sehubungan dengan memperkerjakan seseorang. Dari sudut pengusaha seolah-olah tenaga kerja dipandang sebagai ongkos produksi. Upah sebagai harga tenaga kerja hanya dilihat dari sudut permintaan pengusaha akan tenaga kerja. Perihal harga tenaga kerja (upah) hanya aspek permintaan yang diutamakan (demand price of labour). Merupakan berat sebelah, jika faktor upah dilihat dari segi permintaan, pandangan tersebut harus ditekankan pula pertimbangan yang terdapat pada pihak yang menawarkan pekerjaannya kepada pihak yang meminta. Dengan perkataan lain, perihal harga tenaga kerja (upah) harus dikemukakan pula aspek penawaran yang berupa tenaga. Faktor pengorbanan harus dibandingkan dengan faedah yang diterima sebagai balas jasa.

Dalam hubungan ini upah uang tidak hanya dipandang sebagai ongkos produksi bagi pengusaha, upah juga merupakan faedah yang dihubungkan dengan sejumlah uang yang diterima, dibandingkan dengan pengorbanan yang dirasa dengan meninggalkan kondisi hidup sebelumnya.

Upah yang diterima tenaga kerja merupakan imbalan prestasi kerja sehingga didalamnya harus mencerminkan keadilan baik bagi pengusaha maupun bagi yang menerimanya. Tenaga kerja yang mampu memberikan kontribusi yang lebih besar dalam proses produksi seharusnya memperoleh upah yang lebih tinggi pula. Sebaliknya tenaga kerja yang kurang produktif semestinya mendapatkan upah yang lebih rendah.


(45)

Masalah pengupahan adalah sensitif, bagi pengusaha upah dipandang sebagai beban, karena semakin besar upah yang dibayarkan semakin kecil proporsi keuntungan yang diperoleh. Pemerintah sering mengalami kesulitan dalam merumuskan kebijaksanaan tingkat upah. Sebab itu, pemerintah berkepentingan untuk melindungi karyawan dan perusahaan dengan kebijakan penentuan upah minimum yang diarahkan dapat memenuhi kebutuhan fisik karyawan dan keluarganya.

Meskipun ditetapkan tingkat upah, tetapi ada hal-hal lain yang menyebabkan perbedaan tingkat upah antara kelompok, yaitu:

a. Perbedaan upah kompensasi.

Perbedaan tingkat upah berdasarkan kompensasi jenis pekerjaan yang bersifat non moneter.

b. Perbedaan dalam kualitas tenaga kerja.

Perbedaan kualitatif diantara tenaga kerja seperti perbedaan kemampuan, ketrampilan dan pengalaman yang didapat serta tempat pekerjaan yang semuanya akan menimbulkan perbedaan upah kompetitif.

c. Perbedaan karena unsur

Unsur sewa dalam upah orang-orang yang unik (mempunyai bakat dan kemampuan khusus) dihargai dalam perekonomian.

d. Segmentasi pasar tenaga kerja yaitu adanya kelompok yang tidak bersaing dalam pasar tenaga kerja.


(46)

Pekerja berada dalam kelompok ini kalau penawaran dan permintaan berbeda jauh dan diferensiasi upah selalu ada sebagai contoh ialah dokter dan ahli matematika karena sulit dan mahal bagi anggota kelompok profesi ini memasuki pasar lainnya.

(Samuelsoil dan William, 1996 : 284)

Gambar 2 : Penentuan Tingkat Upah dan Kesempatan Kerja Berdasarkan Pendekatan Tradisional Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja

Sumber : Todaro, 1991, Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga, Edisi Tiga Hal. 239

Pada gambar tersebut dapat diamati bahwa titik equilibrium E dengan tingkat upah sebesar 0 We maka jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan individu-individu sama besarnya dengan yang diminta oleh pengusaha yaitu sebesar 0 Ne pada tingkat upah yang lebih tinggi yaitu sebesar 0 w2 maka penawaran tenaga kerja mendorong turunnya tingkat upah ke 0 We pada tingkat yang lebih rendah yaitu sebesar 0 Wi maka


(47)

jumlah tenaga kerja yang diminta melebihi jumlah penawaran akan tenaga kerja dan terjadi persaingan antara produsen sehingga mendorong kenaikan tingkat upah kembali ke tingkat equilibrium 0 We pada titik ini terjadi kesempatam kerja penuh ( full employment ) yakni pada tingkat upah equilibrium tersebut semua orang menginginkan pekerjaan dan akan memperoleh pekerjaan, sehinga tidak terdapat penggangguran secara sukarela ( voluntary and employment ) teori yang menerangkan hubungan antara tingkat upah dan kesempatan kerja tersebut pada dasarnya bersifat umum. Asumsi yang dipergunakan juga mempergunakan petunjuk bahwa tingkat upah yang berlaku bersifat umum, asumsi yang dipergunakan juga menunjukkan bahwa tingkat yang berlaku bersifat fleksibel.

2.2.6. Pengertian Teori Pendapatan Nasional

Pembangunan ekonomi merupakan proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisa dengan seksama perlu dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan perkapita, karena kenaikan itu merupakan penerimaan dan timbulnya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Pendapatan menggambarkan tingkat produksi Negara yang tercapai dala satu tahun tertentu atau perubahannya dari tahun ke tahun.


(48)

Dan mempunyai peranan penting dalam merubah tingkat kegiatan ekonomi dan kepastian pertumbuhan.

Prestasi kegiatan ekonomi pendapatan nasional adalah istilah yang menerapkan tentang nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi suatu Negara dalam suatu tahun tertentu. Dalam konsep yang lebih spesifik pengertian produk nasional atau pendapatan nasional di atas dibedakan antara Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP), dengan Produksi Nasional Netto (PNN) atau Net

National Product (NNP). Perbedaannya yaitu, jika PNB atau GNP

diperhitungkan barang modal untuk penyusutan, sedangkan PNB atau NNP didalamnya tidak dimasukkan perhitungan barang modal untuk penyusutan.

Barang-barang yang dihasilkan oleh masyarakat pada hakekatnya merupakan pendapatan bagi masyarakat itu sendiri, produksi nasional adalah pendapatan nasional. Pada produksi nasional berhubungan dengan totalitas barang dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat, sedangkan pendapatan nasional berhubungan dengan pendapatan yang diterima masyarakat dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa yang merupakan imbalan dari faktor produksi yang digunakan.

Untuk memperoleh hakekat dari pengertian pendapatan nasional dapat melalui beberapa pendekatan, yaitu :


(49)

Mengadakan penilaian terhadap totalitas dari barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat dalam suatu periode tertentu.

2. Pendekatan Pendapatan

Menjumlahkan seluruh pendapatan yang dihasilkan oleh masyarakat dalam suatu periode tertentu dalam membentuk upah, tingkat bunga, sewa tanah dan laba.

3. Pendekatan Pengeluaran

Menjumlahkan seluruh pengeluaran masyarakat dalam suatu periode tertentu yang meliputi pengeluaran konsumsi dan investasi.

Pada pengertian GNP harus dibedakan dengan pengertian Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB). Gross

menunjukkan pengertian bruto atau barang-barang termasuk barang modal untuk penyusutan. Domestic adalah batas wilayah suatu Negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan dari warga yang menghasilkan barang dan jasa di Negara tersbut, sedangkan National merupakan wilayah kewarganegaraan suatu Negara. Nilai GDP dan GNP itu berbeda, yaitu :

1. GDP > GNP

Berarti penanaman modal asing di dalam negeri lebih besar dari penanaman modal warga negara Indonesia di luar negeri.

2. GDP < GNP

Berarti penanaman modal warga negara Indonesia di luar negeri lebih besar dari penenaman modal asing di dalam negeri.


(50)

2.2.6.1. Pengertian Pendapatan Perkapita Definisi Pendapatan Perkapita adalah :

1. Yang dimaksud dengan pendapatan perkapita adalah pendapatan rata-rata penduduk. Dimana untuk memperoleh pendapatan perkapita pada pertahunnya, maka yang harus dilakukan adalah membagi pendapatan nasional pada tahun itu dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama (Sukirno, 1994 : 21).

2. Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik, pendapatan perkapita penduduk adalah pendapatan rata-rata tiap jiwa dalam suatu wilayah atau daerah yang diperoleh dengan cara membagi jumlah total produksi barang dan jasa yang dihasilkan penduduk dalam suatu wilayah tertentu dalam satu tahun dengan jumlah penduduk.

Atau dapat dirumuskan sebagai berikut :

Pendapatan Perkapita Penduduk =

(Anonim, 2007 : 1)

Dimana:

PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) adalah total nilai produksi barang dan jasa yang diproduksi suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu.

Sedangkan jumlah penduduk adalah banyaknya jumlah yang menetap di suatu wilayah atau daerah tertentu selama minimal 60


(51)

hari berturut-turut atau berada di suatu wilayah dalam jangka waktu yang lama atau tidak dapat ditentukan.

Dari definisi diatas maka dapat disimpulkan :

Bahwa tingkat perkembangan pendapatan perkapita yang dicapai seringkali digunakan sebagai ukuran dari kesuksesan suatu Negara dalam mencapai cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih maju dan pesat.

Disamping itu kegunaan dari pendapatan perkapita, dua diantaranya yang penting adalah :

1. Untuk membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

2. Untuk membandingkan laju perkembangan ekonomi yang dicapai oleh berbagai Negara didunia dari masa ke masa.

2.2.7. Penduduk

Di luar ilmu ekonomi, maka cabang ilmu pengetahuan yang paling banyak menarik perhatian para ahli ekonomi adalah ilmu tentang kependudukan. Ketertarikan para ahli ekonomi terhadap masalah kependudukan karena penduduk itulah yang melakukan produksi maupun konsumsi hal ini juga dikarenakan penduduk itulah yang menjadi subyek ekonomi.

Sebagai subyek ekonomi maka penduduklah yang akan dapat menentukan perkembangan perekonomian suatu negara atau daerah menjadi lebih baik atau lebih buruk. Jumlah serta mutu penduduk suatu


(52)

negara atau daerah merupakan unsur penentu yang paling penting bagi kemampuan memproduksi serta standart hidup suatu negara atau daerah. Namun demikian, sebab yang paling utama mengapa masalah penduduk ini sangat menarik perhatian para ahli ekonomi adalah karena penduduk itu merupakan sumber tenaga kerja, Human Resources, disamping sumber faktor produksi skill. (Rosyidi, 1994 : 83-84)

Dengan peranan penduduk sebagai sumber tenaga kerja dan faktor produksi skill, maka dengan jumlah penduduk yang besar dengan kualitas yang baik pada suatu daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan dengan jumlah penduduk yang besar, produksi suatu daerah juga besar. Selain itu seperti yang tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 disebutkan bahwa penduduk yang besar jumlahnya sebagai sumber daya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan.

Menurut Rosyidi apabila suatu negara mempunyai penduduk yang terlalu sedikit, maka mungkin sekali itu tidak akan mampu memanfaatkan sumber-sumbernya dengan seefisien mungkin, sebagaimana yang mungkin akan dihasilkannya jika saja jumlah penduduknya lebih besar. Dalam keadaan seperti ini usaha untuk mewujudkan produksi besar-besaran sangatlah terhalangi. (Rosyidi, 1994 : 89)

Penduduk Indonesia termasuk dalam golongan struktur umur muda artinya hanya sebagian kecil penduduk yang produktif menghasilkan barang dan jasa, sedangkan sebagian besar penduduk berada dalam


(53)

kelompok umur yang membutuhkan pelayan. Misalnya dalam tahun 1980 terdapat 22,4 juta atau 15,1 % penduduk Indonesia dalam kelompok umur dibawah 5 tahun Dalam kelompok umur 5-19 tahun atau usia sekolah terdapat 52,8 Juta atau 35,7 %. Sebagian besar mereka membutuhkan fasilitas pendidikan. Dalam kelompok umur 20-29 tahun terdapat 25,4 Juta atau 17,1% sebagian besar mereka merupakan angkatan kerja yang baru masuk pasar kerja dan umumnya belum mempunyai pengalaman kerja. (Simanjutak, 1998 : 29).

2.3. Kerangka Pikir

Penerimaan pajak penghasilan (PPh) dapat diartikan sebagai pemasukan keuangan dari wajib pajak kepada pemerintah daerah yang digunakan sebagai sumber pembangunan daerah. Dengan demikian diharapkan setiap tahunnya jumlah wajib pajak mengalami peningkatan sehingga berdampak pada peningkatan penerimaan pajak penghasilan (PPh).

Apabila upah minimum regional naik maka akan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi juga akan mengalami kenaikan karena dengan adanya aktivitas ekonomi didalam masyarakat akan menghasilkan distribusi pendapatan yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan mengalami peningkatan.


(54)

Dengan meningkatnya pendapatan perkapita maka kemampuan masyarakat untuk membayar pajak juga mengalami peningkatan sehingga berdampak pada meningkatnya penerimaan pajak penghasilan.

Penduduk sebagai sumber daya manusia yang mana sebagai subyek dan obyek dari pada pembangunan. Apabila jumlah penduduk disuatu daerah meningkat diharapkan tingkat kesadaran masyarakat akan membayar pajak akan meningkat sehingga berdampak pada peningkatan penerimaan pajak penghasilan.


(55)

Gambar 3. : Kerangka Pikir

Sumber : Peneliti Jumlah Wajib

Pajak

Upah Minimum Regional

Penerimaan Pajak Penghasilan Kemampuan

Masyarakat membayar pajak

Aktivitas Ekonomi

Pendapatan Perkapita

Masyarakat membayar pajak Jumlah Penduduk

2.4. Hipotesis

Sesuai dengan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan penelitian terdahulu, maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut :


(56)

1. Diduga bahwa Jumlah Wajib Pajak, Upah Minimum Regional, Pendapatan Perkapita dan Jumlah Penduduk berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan di Kota Surabaya.

2. Diduga bahwa faktor Pendapatan Perkapita yang paling dominan pengaruhnya terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) di Kota Surabaya.


(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional adalah mendefinisikan konsep yang akan dioperasionalkan ke dalam penelitian.

1. Pajak Penghasilan (Y)

Pajak Penghasilan merupakan pajak yang akan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun. Jumlah penerimaan pajak penghasilan ini dihitung dalam satuan (Ribu Rupiah).

2. Jumlah Wajib Pajak (X1)

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subyektif dan obyetif. Jumlah wajib pajak ini dihitung dalam satuan (Jiwa).

3. Upah Minimum Regional (X2)

Upah Minimum Regional ialah banyaknya barang-barang dan jasa-jasa yang dapat dibeli dengan upah uang pada suatu waktu tertentu. Upah minimum regional ini dihitung dalam satuan (Rupiah).

4. Pendapatan Perkapita (X3)

Pendapat Perkapita adalah pendapatan rata-rata setiap jiwa dalam suatu wilayah atau daerah yang diperoleh dengan cara membagi jumlah total


(58)

produksi barang dan jasa yang dihasilkan penduduk dalam suatu wilayah tertentu dalam satu tahun dengan jumlah penduduk. Pendapatan perkapita ini dihitung dalam satuan (Rupiah).

5. Jumlah Penduduk (X4)

Jumlah penduduk adalah banyaknya jumlah yang menetap di suatu wilayah atau daerah tertentu selama minimal 60 hari berturut-turut atau berada di suatu wilayah dalam jangka waktu yang lama atau tidak dapat ditentukan. Jumlah penduduk ini dihitung dalam satuan (Jiwa).

3.2 Teknik Penentuan Sampel

Populasi yang akan diamati dalam penelitian ini sampel data yang digunakan adalah data yang berskala (time series) yaitu data tahunan yang diambil antara tahun 2000 sampai 2008.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang bisa dikumpulkan atau diperoleh dari instasi yang ada hubungannya dengan penelitian ini atau data yang sudah terlampir dan bisa diambil dari instansi yang bersangkutan.


(59)

3.3.2 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari instansi terkait, yaitu :

a. Badan Pusat Statistik Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur

b. Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal

Pajak Kantor Wilayah Jawa Timur I

c. Dinas Tenaga Kerja Propinsi Jawa Timur

Metode pengumpulan data adalah sebagai berikut :

 Studi Kepustakaan(library research)

Adalah telaah penelitian secara teoritis untuk pembahasan permasalahan yang ada sesuai dengan hubungan berdasarkan teori. Data ini diperoleh dari literatur, jurnal, karyah ilmiah, majalah, catatan-catatan lain.

 Studi Lapangan (field research)

Memperoleh data dan melakukan penelitian dilapangan untuk mendapatkan data yang diperoleh sesuai dengan pembahasan penelitian.

Cara yang dilakukan sebagai berikut :

 Dokumentasi, dilakukan dengan cara mengetes dan mengambil

data berupa laporan-laporan, catatan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.


(60)

3.4 Teknik Analisa dan Uji Hipotesis 3.4.1 Teknik Analisis

Dalam pengujian kebenaran suatu hipotesis digunakan pendekatan pengujian statistik. Dari regresi linier berganda akan diketahui keofisien regresi masing-masing variable bebas, karena variable bebas (X) berjumlah lebih dari satu. Untuk menaksirkan dan menganalisa hubungan tersebut, maka dilakukan analisa secara kuantitatif yaitu dengan menghitung koefisien regresi berganda dari masing-masing variabel bebas terdapat variabel terikat, yaitu:

Y = f (X1,X2,X3,X4)

Yang ditransformasikan dalam bentuk linier. Y =

Dimana :

Y = Penerimaan Pajak Penghasilan

X1 = Jumlah Wajib Pajak

X2 = Upah Minimum Regional

X3 = Pendapatan Perkapita

X4 = Jumlah Penduduk

Β0 = Intersep (Konstanta)

Β1, β2, β3, β4 = Keofisien regresi

e = Variabel pengganggu

Untuk mengetahui apakah analisis tidak cukup layak digunakan dalam pembuktian selanjutnya untuk mengetahui apakah ada hubungan


(61)

pengaruh antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y), nilai keofisien determinasi menunjukkan prosentasi variabel nilai, variabel dependent yang dapat dijelaskan oleh persamaan regresi yang dihasilkan, maka perlu R2 (keofisien determinasi) dengan menggunakan rumus :

R2 =

Dimana :

R2 = Keofisien Determinasi

JK = Jumlah Kuadrat

Selanjutnya rumus diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :

JK regresi = + + +

JK. Total =

Karakteristik R2 adalah :

Tidak mempunyai negative nilainya berkisar antara 0 dan 1 atau 0 ≤ R2 1

3.4.2 Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan : Uji “F” digunakan untuk pengujian hipotesis penelitian simultan (secara keseluruhan) antara variabel bebas dengan menggunakan variabel terikat, dengan prosedur sebagai berikut :


(62)

H0 : β1 ≠β2≠β3 ≠β4 ≠ 0 (terdapat pengaruh)

b. Dengan F hitung sebesar

Dengan F hitung sebesar

F Hitung = (3.5)(Sudrajat, 1998 : 124)

Dengan derajat kebebasan (k, n – k – 1)

Keterangan :

R2 = Keofisien determinasi

n = Jumlah pengamatan

k = Jumlah variabel bebas

Kriteria pengujian :

H0 diterima F hitung ≤ F table, artinya secara simultan variabel

bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.

H0 ditolak jika F hitung > F table, artinya variabel bebas


(63)

Gambar 4 : Kurva distribusi penerimaan atau penolakan hipotesis secara simultan.

F (α / 2 : k) : (n - k - 1)

Sumber : Sudrajat, 1998. Mengenal Ekonometrika Pemula, Catatan kedua CV Armico, Bandung, hal : 94

1. Uji “t” digunakan untuk pengujian hipotesa penelitian pengaruh

parsial variabel bebas terhadap variabel terikat denganprosedur sebagai berikut:

a. H0 : β1 = β2 =β3 = β4 = 0 (tidak terdapat pengaruh)

H0 : β1≠β2 ≠β3≠β4 ≠0 (terdapat pengaruh)

b. Dengan nilai T hitung sebesar

Thitung =

β1 = Keofisien regresi

Se = Standart error

Dengan derajat kebebasan (n-k-1) Keterangan :


(64)

n = jumlah pengamatan K = jumlah variabel bebas

2. Kriteria pengujian :

H0 diterima jika t hit ≤ t tab, artinya secara parsial variabel

bebas tidak terdapat pengaruh terhadap variabel terikat.

H0 ditolak jika t hit > t tab, artinya secara parsial variabel

bebas berpengaruh terhadap variabel terikat.

Gambar 5 : Kurva distribusi penerimaan atau penolakan

hipotesis secara parsial

-(t α / 2, n - k - 1) -(t α / 2, n - k - 1)

Sumber : Sudrajat, 1998. Mengenal Ekonometrika Pemula, Catatan kedua CV Armico, Bandung, hal : 194

3.5 Asumsi Klasik

Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi, multikoliniearitas, dan heteroskedastisitas dalam hasil estimasi, karena apabila terjadi penyimpangan terhadap asumsi klasik


(65)

tersebut, uji t dan uji f yang dilakukan sebelumnya menjadi tidak valid dan secara statistik dapat mengacaukan kesimpulan yang diperoleh, untuk itu dilakukan uji asumsinya.

Tujuan utama penggunaan uji asumsi klasik adalah untuk mendapatkan keofisien regresi yang terbaik linear dan tidak bisa ( BLUE = Best Linear Unbiased Estimator), sifat dari BLUE itu sendiri adalah :

a. Best = Pentingnya sifat ini bila diterapkan dalam uji signifikan buku terhadap α dan β.

b. Linear = sifat ini dibutuhkan untuk memudahkan dalam penaksiran.

c. Unbased = nilai jumlah sampai sangat besar penaksiran parameter

diperoleh dari sample besar kira-kira lebih mendekati nilai parameter sebenarnya.

d. Estimasi = e sebenarnya sekecil mungkin.

1. Autokorelasi

Satu dari asumsi penting dari modal regresi lincar linear klasik adalah bahwa kesalahan atau gangguan Ui yang masuk ke dalam fungsi regresif populasi adalah random atau tak berkorelasi. Jika ini dilanggar, kita mempunyai problem serial korelasi atau autokorelasi.

(Gudjarati, 1991 : 223).

Sedangkan yang dimaksud dengan autokorelasi yaitu keadaan dimana kesalahan pengganggu dalam suatu periode tertentu berkorelasi dengan kesalahan pengganggu periode lain. Pengujian terhadap gejala


(66)

autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji statistik Durbin Watson.

 

(Gudjarati, 1991 : 215)

Dimana :

et adalah residual (pebedaan variabel tak bebas yang sebenarnya

dengan variabel takbebas yang ditaksir) dari setiap periode waktu. Sedangkan et-1 adalah residual dari waktu sebelumnya.

Gambar 6 : Distribusi daerah keputusan autokorelasi

Dari hasil dhitung kemudian dibandingkan dengan dtabel

Hipotesia :

H0 : ada autokorelasi positif atau autokorelasi negative


(67)

Uji autokorelasi ini, untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara residu/sisa regresi pada kasus ke-n dengan residu kasus ke-(n-1)

2. Heteroskedastisitas

Pengujian heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat apakah ada kesalahan pengganggu mempunyai varian yang sama atau tidak. Hal tersebut dilambangkan sebagai :

E ( Dimana :

σ2

= varian I = 1,2,3,4 ….n

Apabila didapat varian yang sama maka asumsi homokedastisitas (penyebaran yang sama) diterima.

3. Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan suatu keadaan dimana suatu atau lebih variabel independent terdapat korelasi atau hubungan dengan variabel independent lainnya, dengan kata lain satu atau lebih variabelnya merupakan suatu fungsi linear dari variabel independent yang lain. Untuk mempermudah dalam melakukan pengujian maka terlebih dahulu dilakukan uji korelasi. Uji korelasi ini dilakukan untuk melihat hubungan masing-masing variabel independent.


(68)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Obyek Penelitian 4.1.1 Kondisi Geografis

Secara geografis Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya terletak

antara 7° 21’ Lintang selatan dan 112° 36’ Lintang Selatan sampai dengan 112° 54’ Bujur Timur. Wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3 – 6 meter diatas permukaan laut, kecuali di sebelah selatan yang mencapai daerah Llidah dan Gayungan

Adapun batas – batas wilayah kota Surabaya adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Selat Madura

b. Sebelah Timur : Selat Madura

c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo

d. Sebelah Barat : Kabupaten Gresik

Luas wilayah seluruhnya kurang lebih 326,36 KM² yang terbagi

dalam 5 wilayah pembantu Walikotamadya,28 wilayah kecamatan dan 163 Desa/Kelurahaan, secara administrative 5 wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya yaitu:

a. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya pusat meliputi kecamatan Tegalsari, kecamatan Bubutan, kecamatan Genteng, kecamatan Siwalankerto.


(69)

b. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya utara meliputi kecamatan Semampir, kecamatan Krembangan, kecamatan Kenjeran, kecamatan Pabean Cantikan.

c. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya timur meliputi kecamatan Rungkut, kecamatan Tambak Sari, kecamatan Mulyorejo, kecamatan Gunung Anyar, kecamatan Tenggilis Mejoyo.

d. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya selatan meliputi kecamatan Gayungan , kecamatan Jambangan , kecamatan Wonocolo, kecamatan Wonokromo, kecamatan Sawahan, kecamatanDukuh Pakis, kecamatanWiyung,dan kecamatan Karang Pilang

e. Wilayah kerja pembantu walikotamadya Surabaya Barat meliputi kecamatan Tandes, kecamatan Suko Manunggal, kecamatan Asem Rowo , kecamatan Benowo, kecamatan Lakarsantri.

4.1.2 Kependudukan

Kota Surabaya merupakan kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi setelah DKI Jakarta yang merupakan ibukota Negara Indonesia dimana jumlah penduduk kota Surabaya pada tahun 1998 mencapai 2.373.282 jiwa, yang terdiri dari 1.184834 laki – laki dan 1.188448 perempuan.

Tingkat kepadatan penduduk yang terjadi di kota Surabaya di sebabkan dengan adanya beberapa factor, yaitu :


(70)

Surabaya merupakan gerbang utama bagi kawasan Indonesia bagian Timur, memiliki posisi penting dan fasilitas yng menunjang bagi kegiatan perekonomian seperti perdagangan industri, perhubungan, dan perbankan.

b. Faktor Industri

Pertumbuhan dan perkembangan baik industri besar, sedang, kecil, maupun industri kerajinan tangan merupakan daya tarik tersendiri bagi arus penyebaran urbanisasi. Hal ini dapat diketahui bahwa wilayah kecamatan yang banyak memiliki industri, tingkat kepadatan penduduk lebih besar di bandingkan dengan wilayah yang jarang industrinya. Dengan besarnya jumlah penduduk akan mempengaruhi terhadap jumlah tenaga kerja yang tersedia di masyarakat, yang perlu di tampung pada berbagai sector ekonomi.

4.2 Deskripsi Hasil Penelitian

Deskripsi hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang data- data serta perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan sehingga dapat mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi terhadap perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan, Jumlah Wajib Pajak, Upah Umum Regional, Pendapatan Perkapita dan Jumlah Penduduk.


(71)

4.2.1 Perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan

Perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan dapat disajikan dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2: Perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan Tahun 2000-2008 di Kota Surabaya

Sumber : Dirjen Pajak Kanwil Jawa Timur I tahun 2009 ( diolah )

Tahun Penerimaan Pajak Penghasilan

(Ribu Rp)

Perkembangan ( % )

2000 2.712.933,00 -

2001 13.363.817,36 392,59

2002 10.531.087,00 - 21,19

2003 10.316.107,00 - 2,04

2004 10.327.359,20 0,10

2005 10.925.684,10 5,79

2006 11.005.824,26 0,73

2007 11.107.521,54 0,92

2008 13.537.832,00 21.87

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa perkembangan Penerimaan Pajak Penghasilan selama 9 tahun ( 2000-2008) cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan tertinggi Penerimaan Pajak Penghasilan adalah pada tahun 2001 sebesar 392,59 % dan perkembangan

terendah adalah pada tahun 2002 sebesar -21,19 %. Penerimaan Pajak

Penghasilan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar Rp. 13.537.832,00 ribu dan Penerimaan Pajak Penghasilan terendah pada tahun 2000 sebesar Rp. 2.712.933,00 ribu. Pada tahun 2002 sampai tahun 2003 terdapat penurunan pendapatan Pajak Penghasilan hal ini di karenakan pengaruh dari krisis moneter.


(72)

4.2.2 Perkembangan Jumlah Wajib Pajak

Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Jumlah Wajib Pajak selama 9 tahun ( 2000-2008) cenderung mengalami fluktuasi. Perkembangan tertinggi Jumlah Wajib Pajak adalah pada tahun 2001 sebesar 13,43 %, perkembangan terendah adalah pada tahun 2006 sebesar 1,32 %.. Jumlah Wajib Pajak tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 977.524 jiwa dan Jumlah Wajib Pajak terendah pada tahun 2000 sebesar 601.242 jiwa.

Tabel 3 : Perkembangan Jumlah Wajib Pajak Tahun 2000-2008

di Kota Surabaya

Tahun Jumlah Wajib Pajak

(Jiwa)

Perkembangan ( % )

2000 601.242 -

2001 682.046 13,43

2002 703.125 3,09

2003 741.623 5,47

2004 812.745 9,59

2005 821.583 1,08

2006 832.472 1,32

2007 907.124 8,96

2008 977.524 7,76

Sumber : Dirjen Pajak Kanwil Jawa Timur I tahun 2009 ( diolah )

4.2.3 Perkembangan UMR

Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa perkembangan UMR setiap tahunnya mengalami kenaikan yang tidak tentu besarnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5 yang menjelaskan bahwa pada tahun 2000 sampai 2008, Perkembangan terbesar UMR pada tahun 2001 sebesar 69,49 % dan terendah sebesar 6,56 % terjadi pada tahun 2004, UMR terbesar pada tahun


(73)

2008 sebesar Rp.900.000. dan UMR yang terendah yaitu pada tahun 2000 sebesar Rp. 236.000.

Tabel 4 : Perkembangan UMR Tahun 2000-2008 di Kota Surabaya

Tahun UMR

( Rupiah )

Perkembangan ( % )

2000 236.000 -

2001 400.000 69,49

2002 453.200 13,30

2003 516.750 14,02

2004 550.700 6,56

2005 655.500 19,03

2006 746.000 13,80

2007 805.500 7,97

2000 900.000 11,73

Sumber : Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur tahun 2009 ( diolah )

4.2.4 Perkembangan Pendapatan Perkapita

Berdasarkan tabel 5 dapat dijelaskan bahwa perkembangan Pendapatan Perkapita setiap tahunnya mengalami kenaikan yang tidak tentu besarnya. Perkembangan tertinggi Pendapatan Perkapita adalah pada tahun 2001 sebesar 47,72 % dan perkembangan terendah adalah pada tahun 2000 sebesar 4,61 %. Pendapatan Perkapita Penghasilan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar Rp.30.348.906,60 dan Pendapatan Perkapita Penghasilan terendah pada tahun 2000 sebesar Rp. 13.254.937,32.


(74)

Tabel 5 : Perkembangan Pendapatan Perkapita Tahun 2000-2008 di Kota Surabaya

Tahun Pendapatan Perkapita

(Rupiah)

Perkembangan ( % )

2000 13.254.937,32 -

2001 19.580.665,59 47,72

2002 20.485.014,51 4,61

2003 21.454.796,86 4,73

2004 22.829.383,19 6,40

2005 24.344.986,60 6,63

2006 25.789.608,68 5,93

2007 27.496.591,36 6.61

2008 30.348.906,60 10.37

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur tahun 2009 ( diolah )

4.2.5 Perkembangan Jumlah Penduduk

Perkembangan Jumlah Penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5 yang menjelaskan bahwa pada tahun 2000 sampai 2008, Perkembangan terbesar Jumlah Penduduk pada tahun 2003 sebesar 5,14 % dan terendah sebesar -1,51 % terjadi pada tahun 2002 penurunan ini terjadi akibat dari perpindahan penduduk kota Surabaya ke kota lain, Jumlah Penduduk terbesar pada tahun 2008 sebesar 2.902.452 jiwa dan Jumlah Penduduk yang terendah yaitu pada tahun 2000 sebesar 2.444.976 jiwa.


(75)

Tabel 6 : Perkembangan Jumlah Penduduk Tahun 2000-2008 di Kota Surabaya

Tahun Jumlah Penduduk

(Jiwa)

Perkembangan ( % )

2000 2.444.976 1,62

2001 2.568.352 5,04

2002 2.529.468 - 1,51

2003 2.659.566 5,14

2004 2.691.666 1,20

2005 2.740.490 1,81

2006 2.784.196 1,59

2007 2.848.233 2,30

2008 2.902.452 2,57

Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Timur tahun 2009 ( diolah )

4.3 Hasil Analisis Asumsi Regresi Klasik (BLUE / Best Linier Unbiased Estimator).

Agar dapat diperoleh hasil estimasi yang BLUE (Best Linier

Unbiased Estimator) atau perkiraan linier tidak bias yang terbaik maka

estimasi tersebut harus memenuhi beberapa asumsi yang berkaitan. Apabila salah satu asumsi tersebut dilanggar, maka persamaan regresi yang diperoleh tidak lagi bersifat BLUE, sehingga pengambilan keputusan melalui uji F dan uji t menjadi bias.

Dalam hal ini harus dihindarkan terjadinya kasus-kasus sebagai berikut : 1. Autokorelasi

Identifikasi ada tidaknya gejala autokorelasi dapat dilihat dari tabel Durbin Watson Test dengan jumlah variable bebas (k) dan jumlah data (n)


(1)

Tahun y x1 x2 x3 x4 Res_1 2000 2712933 601242 236000 13254937 2444976 267475,09 2001 13363817 682046 400000 19580666 2568352 1076412,5 2002 10531087 703125 453200 20485015 2529468 -363764,77 2003 10316107 741623 516750 21454797 2659566 -824249,31 2004 10327359 812745 550700 22829383 2691666 -618129,38 2005 10925684 821583 655500 24344987 2740490 -22487,152 2006 11005824 832472 746000 25789609 2784196 -236816,5 2007 11107522 907124 805500 27496591 2829486 216871,59 2008 13537832 977524 900000 30348907 2902452 504687,9


(2)

Lampiran 3 Coefficientsa

-38768867 26121416 -1.484 .212

46.692 15.353 1.738 3.041 .038 .836 .142 7.027

48.240 11.236 3.250 4.293 .013 .906 .201 4.974

3.086 .389 4.901 7.928 .001 .970 .299 3.342

16.267 12.438 .771 1.308 .261 .547 .106 9.401

(Constant) x1=jml wajib pajak x2=UMR

x3=pendapatan perkapita x4=jml penduduk

Model 1

B Std. Error Unstandardized

Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig. Partial

Correlations

Tolerance VIF Collinearity Statistics

Dependent Variable: y=penerimaan pajak penghasilan a.

Collinearity Diagnosticsa

4.933 1.000 .00 .00 .00 .00 .00

.066 8.636 .00 .00 .01 .00 .00

.001 80.530 .00 .00 .51 .84 .00

.001 98.555 .02 .80 .12 .12 .00

4.24E-005 341.156 .97 .20 .35 .04 .99

Dimension 1

2 3 4 5 Model 1

Eigenvalue

Condition

Index (Constant)

x1=jml

wajib pajak x2=UMR

x3=pendapat an perkapita

x4=jml penduduk Variance Proportions

Dependent Variable: y=penerimaan pajak penghasilan a.


(3)

Lampiran 4

Residuals Statisticsa

2445458 1E+007 1E+007 3084366.554 9 -824249 1076413 .00000 589738.65176 9

-2.587 .845 .000 1.000 9

-.988 1.291 .000 .707 9

Predicted Value Residual

Std. Predicted Value Std. Residual

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Dependent Variable: y=penerimaan pajak penghasilan a.


(4)

Correlations

.017 .966 9 .017 .966 9 .017 .966 9 .117 .765 9 1.000 . 9 Correlation Coefficient

Sig. (2-tailed) N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)

N

Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)

N x1=jml wajib pajak

x2=UMR

x3=pendapatan perkapita

x4=jml penduduk

Unstandardized Residual Spearman's rho

Unstandardiz ed Residual


(5)

Tabel Pengujian

Nilai F (

α

= 0,05)

df

penyebut

df untuk Pembilang N1

N2 1 2 3 4 5 6 7

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 30 60 120 161 18.5 10.1 7.71 6.61 5.99 5.59 5.32 5.12 4.96 4.84 4.75 4.67 4.60 4.54 4.49 4.45 4.41 4.38 4.35 4.17 4.00 3,92 2.00 19.0 9.55 6.94 5.79 5.14 4.74 4.46 4.26 4.10 3.98 3.89 3.81 3.74 3.68 3.63 3.59 3.55 3.52 3.49 3.32 3.15 3.07 216.11 19.2 9.28 6.59 5.41 4.76 4.35 4.07 3.86 3.71 3.59 3.49 3.41 3.34 3.29 3.24 3.20 3.16 3.13 3.10 2.92 2.76 2.68 225 19.2 9.12 6.39 5.19 4.53 4.12 3.84 3.63 3.48 3.36 3.26 3.18 3.11 3.06 3.01 2.96 2.93 2.90 2.87 2.69 2.53 2.45 230 19.3 9.01 6.26 5.05 4.39 3.97 3.69 3.48 3.33 3.20 3.11 3.03 2.96 2.90 2.85 2.81 2.77 2.74 2.71 2.53 2.37 2.29 234 19.3 8.94 6.16 4.95 4.28 3.87 3.58 3.37 3.22 3.09 3.00 2.92 2.85 2.79 2.74 2.70 2.66 2.63 2.60 2.42 2.25 2.17 237 19.4 8.89 6.09 4.88 4.21 3.79 3.50 3.29 3.14 23.01 2.91 2.83 2.76 2.71 2.66 2.61 2.58 2.54 2.51 2.33 2.17 2.09 Sumber : Gujarati, Damodar, 1999, Ekonometrika Dasar, Penerbit Erlangga,


(6)

Tabel Pengujian Nilai t

df t 0,10 T 0,05 t 0,025 t 0,01 t 0,005 df

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 3.078 1.886 1.638 1.533 1.476 1.440 1.415 1.397 1.383 1.372 1.363 1.356 1.350 1.345 1.341 1.337 1.333 1.330 1.328 1.325 1.323 1.321 1.319 1.318 1.316 6.314 2.920 2.353 2.132 2.015 1.943 1.895 1.860 1.833 1.812 1.796 1.782 1.771 1.761 1.753 1.746 1.740 1.734 1.729 1.725 1.721 1.717 1.714 1.711 1.780 12.706 4.303 3.182 2.376 2.571 2.447 2.365 2.306 2.262 2.228 2.201 2.179 2.160 2.145 2.131 2.120 2.110 2.101 2.093 2.086 2.080 2.074 2.069 2.064 2.060 31.821 6.965 4.541 3.747 3.365 2.343 2.998 2.896 2.821 2.764 2.718 2.681 2.650 2.624 2.602 2.583 2.567 2.552 2.539 2.528 2.518 2.508 2.500 2.492 2.485 63.657 9.925 5.841 4.604 4.032 3.707 3.499 3.355 3.250 3.169 3.106 3.055 3.012 2.977 2.947 2.921 2.898 2.878 2.861 2.845 2.831 2.819 2.807 2.797 2.787 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 21 23 24 25 Sumber : Gujarati, Damodar, 1999, Ekonometrika Dasar, penerbit Erlangga, Jakarta