Untitled Document Tentang Rumah Susun

(1)

Karya Ilmiah

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP STATUS KEBERADAAN

RUMAH SUSUN BERDASARKAN UU. NO 20 TAHUN 2011

TENTANG RUMAH SUSUN

Oleh :

KASMAN SIBURIAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2013


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.

Dalam penulisan Karya Ilmiah ini, penulis memperoleh bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, dan untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan 2. Ibu kepala perpustakaan Universitas HKBP Nommensen Medan

3. Pihak-pihak tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu. Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam Karya Ilmiah ini belumlah sesuai dengan apa yang diharapkan , untuk itulah penulis dengan segala rendah hati menerima berbagai kritik dan saran yang sifatnya membangun.

Akhirnya penulis sangat mengharapkan bahwa Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat untuk membantu mahasiswa dalam perkuliahan dan sekaligus dapat digunakan untuk melangkapi persyaratan akademis.

Medan, Januari 2013 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTARISI………..... ii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penulisan ... 4

BAB II : TINJAUAN TEORITIS ... 5

A. Rumah Susun ... 5

1. Pengertian Rumah Susun Klasifikasi ... 5

2. Klasifikasi Asas-Asas pembangunan rumah susun ... 8

B. Tujuan Pembangunann Rumah Susun ... 9

C. Landasan Hukum pemilikan Satuan Rumah Susun Di Indonesia... 14

1. Asas Pemisahan Horizontal... 14

2. Ketentuan yang mengatur mengenai hak atas tanah kepunyaan bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan diatasnya secara belum berlakunya UU rumah susun ... 16


(4)

BAB III : PEMBAHASAN ... 24

A. Kedudukan Hukum Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang No 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun... 24

1. Ketentuan Tentang Rumah Susun sebagaimana yang terdapat dalam Undang- Undang No.20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. ... 24

2. Kedudukan Atau Status Hukum Rumah Susun ... 31

3. Penghunian dan Pengelolaan Rumah susun ... 37

B. Perlindungan Hukum Pada Penghuni Rumah Susun Atas Pemilik Rumah Susun... 42

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

A. Kesimpulan... 46

B. Saran... 47


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Masyarakat yang adil dan makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan saja tetapi justru harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan masa depan yang dicita-citakan dan juga turut secara bersama mewujudkan masa depan tersebut.

Semangat untuk mewujudkan masa depan tersebut merupakan amanah dari mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 juncto Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa serta sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab untuk menjamin pemenuhan hak akan tempat tinggal dalam bentuk rumah yang layak dan terjangkau.

Pada masa ini pemerintahan Indonesia telah melakukan suatu literatur peraturan penataan bangun rumah susun yang ada di daerah perkotaan khususnya


(6)

rumah susun. Untuk mengharapkan mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat di berbagai sektor kehidupan. Dengan adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintahah tersebut, maka masyarakat tidak dapat melanggar aturan pemerintah yang telah sudah ditetapkan. Masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif dalam pengelolaan pembangunan rumah atau badan usaha. Peran serta masyarakat setempat sangat berpengaruh sekali terhadap laju perkembangan daerah dan juga tertatanya bangunan-bangunan di daerah perkotaan daerah ruang lingkup tempat tinggalnya masyarakat.

Perwujudan rumah susun yang layak huni dan terjangkau peningkatan pemanfaatan rumah susun, pengaruh pertumbuhan penduduk yang seimbang dengan pemenuhan tempat tinggal, pemberdayaan pemangku kepentingan rumah susun, pemberian kepastian hukum dalam penyelenggaraan dan kepemilikan rumah susun, serta pemenuhan kebutuhan lain yang berguna bagi masyarakat.

Rumah susun adalah bangunann gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal yang terbagi dalam satuan fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal yang terbagi dalam satuan-satuan yang dipergunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian-bersama, benda-bersama, dengan atau tanpa tanah bersama. Pengertian mengenai rumah susun ini bertumpu pada muatan bagian bersama, benda-bersama, dengan atau tanpa tanah bersama. Sehingga pengertian rumah susun merupakan kesatuan utuh, termasuk konsep strata title.


(7)

Satuan rumah susun yang selanjutnya di sebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian dan mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.

Pemeriksaan terhadap rumah susun yang telah selesai dibangun berdasarkan persyaratan dan ketentuan perizinan yang telah diterbitkan, dan layak huni tersebut dapat diberikan secara bertahap.

Pemeriksaan berkala adalah kegiatan pemeriksaan kendala seluruh atau sebagian bangunan rumah susun, sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang di atasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan. Pembangunan rumah susun menjadi solusi bagi penataan kawasan kumuh. Menurut Lampiran Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), menyebutkan bahwa di wilayah perkotaan telah meningkat luas permukiman kumuh dari 40.053 Ha pada tahun 1996 menjadi 47.500 Ha pada tahun 2000. Pembangunan rumah susun juga akan membantu mengatasi kemacetan lalu lintas dan dapat menekan serta menghemat biaya transportasi yang pada akhirnya dapat menekan inefisiensi di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang dapat mengcover semua permasalahan yang menyangkut rumah susun. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Lahirnya undang-undang tersebut juga merupakan instruksi dari Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang menetapkan bahwa ketentuan mengenai rumah susun


(8)

diatur sendiri dengan undang-undang. Perbedaan substansi tersebut tentunya akan memberikan dampak bagi pembangunan rumah susun dan bangunann bertingkat ke depannya. Banyak hal yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 kini disempurakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.

B. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan hukum ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana staus rumah susun berdasarkan undang-undang 20 Tahun 2011 tentang rumah susun.

2. Untuk memahami keberadaan perlindungan hukum pada penghuni rumah susun dan juga perlindungan pemilik rumah susun tersebut.


(9)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Rumah Susun

1. Pengertian Rumah Susun

Konsep mengenai rumah susun adalah bagunan gedung yang bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalm arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Satuan rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai secara terhubung ke jalan umum. Istilah yang memberikan pengertian hukum bagi bangunan gedung bertingkat yang senatiasa memberikan sistem pemilikan perseorangan dan hak bersama, yang penggunaanya untuk hunian secara mandiri ataupun secara terpadu sebagai suatu kesatuan suatu pembangunan.

Rumah susun (rusun) untuk menyebut bagunan gedung bertingkat banyak dengan fungdi hunian dalam pengertian umum seperti dimaksudkan oleh terbimi Nologi Internasional sebagai condominium atau apartemen atau tower (Menara), setiap satuan rumah susun harus mempunyai sarana penguhubung ke jalan umum, tanpa mengangu dan tidak boleh menggangu satuan rumah susun milik orang lain.


(10)

Khusus mengenai pengertian rumah susun seiring dengan perkembangan zaman sejak dilairkan UU rumah susun pada tahun 1985 hingga sekarang, peristilahan atau terminologi atau “rumah susun” atau yang biasa disingkat dengan “rusun” dalam kehidupan sehari-hari atau (contenporer) di Indonesia telah berkembang menjadi :

Rumah Susun (“rusun”) untuk menyebutbangunan gedung bertingkat banyak dengan fungsi hunian dalam pengertian umum-seperti dimaksudkan oleh terminologi internasioal sebagai condominium atau apartement atau tower (Menara).

Rumah susun sederhana ( “rusuna”) dimaksudkan dsebagai rumah susun (rusun) yang memperhatikan keterjangkauan daya beli masyarakat/ keluarga golongan berpenghasilan menengah kebawah ( Berpendapatan diatas Rp 2500000-4500000/ Bulan)- oleh sebab itu “rusuna” sering disebut juga dengan “apartemet rakyat”; selain itu disebut-sebut sebagai “ Pembangunan 1000 menara/ tower” sebagai mana di jalankan oleh pemerintah terbangun dalam periode tahun 2007-2011 di beberapa kota besar (berpenduduk 1500000) tidak lain adalah rusuna-rusun.

Rumah susun sederhana bertingkat tinggi, dimaksudkan sebagai rumah susun sederhana(“rusuna”) dengan jumlah lantai lebih dari delapan lantai sampai dengan 20 lantai- istilah ini erat kaitanya dengan maksud pengaturan persyaratan teknis Rumah susun dimana rusuna bertingkat tinggi harus memenuhi persyaratan-persyaratan teknis pembangunan yang diatur oleh sekaligus 2 peraturan menteri pekerjaan umum: (1) Peraturan metri pekerjaan umum : 60/PRT/M/1992 Tentang persyaratan teknis


(11)

(2) Peratuaran pekerjaan umum No 05/PRT/M/ 2007 tentang pedoman teknis pembangunan rumah susun sederhana bertingkat tinggi.

(3) Rumah susun sederhana Milik (“rusunami”), dimaksudkan dengan rumah susun sederhana (“rusuna”) yang satu satuan rumah susunnya diperuntukkan dibeli/dimiiki masyarakat golongan menengah bawah dan golongan bawah.

Rumah susun sederhana sewa (“rusunawa”) dimaksudkan sebagai rumah susun sederhana atau (“rusuna”) yang satuan satuan rumah susunya diperuntukkan disewa/ dikontrak oleh masyarakat golongan menengah bawah.

Menurut pengertian Undang-Undang Nomor 4 tahun 1993, rumah susun diberi pengertian sebagai bagunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagai dalam bangunan bangunan yang terstrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal, merupakan satuan satuan yang masing masing dapat memiliki secara terpisah terutama tempat-tempat yang masing masing dapat memiliki secara terpisah terutama tempat-tempat hunian yang dilengkapi dengan bangunan bersama dan tanah bersama.

Di Barat seperti Amerika Serikat rumah susun ini biasa disebut apartemen, tetapi di Negara belanda biasa disebut Flat. Mereka umunya menggunakan istilah yang sama baik untuk ruamah susun yang dihuni oleh lapisan masyaraka kelas atas, Menengah maupun Bawah. Akan tetapi, ada kecenderungan di Indonesia Istilah rumah susun dihuni oleh Penghuni lapisan masyarakat bawah dengan sarana dan perlengkapan rumah yang sederhana.


(12)

Adapun rumah susun yang biasanya tidak berlantai banyak ( sering kali dua lantai ) yang digunakan untuk penghuni lapisan masyarakat menengah kualitas sarana perlengkapan rumah yang cukup sering disebut flat, barangkali istilah ini terpengaruh oleh bangsa Belanda ketika menjajah Indonesia. Seperti di daerah Sekip, Yogyakarta, perumahan yang dibangun pada awal kemerdakaan RI ini disebut flat.Akan tetapi, istilah flat jarang digunakan lagi melainkan disebut perumahan, sedangkan rumah susun berlantai banyak diperuntukkan bagi penghuni lapisan masyarakat atas, dengan sarana yang mewah dan medern sering disebut apartement

Di Indonesia tampaknya tempat tinggal bersusun memiliki istilah yang berbeda untuk masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah. Gejala ini terjadi karena kesenjangan gaya hidup antara lapisan masyarakat cukup tinggi. Sebab kedua, pemerintah memperkenalkan dengan istilah yang berbeda-beda. Perumahan untuk golongan masyarakat menengah diperkenalkan dengan istilah perumnas (perumahan umum nasional) atau perumahan, sedangkan untuk masyarakat bawah diperkenalkan dengan istilah rumah susun. Ada gejala pada masa Orde Baru, pemerintah menggunakan bahasa sebagai ungkapan budaya yang memberi jarak antara status sosial ekonomi lapisan atas, menengah, dan bawah.

2. Klasifikasi Asas-Asas Pembangunann Rumah Susun Pembangunan rumah susun di Indonesia berlandaskan pada : a. Asas kesejahteraan umum

b. Asas keadilan dan pemerataan, serta


(13)

Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

ad.a. Asas kesejahteraan umum dipergunakan sebagai landasan pembangunan rumah susun dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 melalui pemenuhan kebutuhan akan perumahan sebagai kebutuhan dasar bagi setiap warga negara Indonesia dan keluarganya.

ad.b. Asas keadilan dan pemerataan memberikan landasan agar pembangunan rumah susun dapat dinikmati secara merata, dan tiap-tiap warga negara dapat menikmati hasil-hasil pembangunan perumahan yang layak.

ad.c. Asas keserasian dan keseimbangan dalam peri kehidupan mewajibkan adanya keserasian dan keseimbangan antara kepentingan kepentingan dalam pemanfaatan rumah susun, untuk mencegah timbulnya kesenjangan-kesenjangan sosial.

Ketiga asas tersebut harus selalu diperhatikan dalam rangka pembangunan rumah susun agar tujuan pembangunan rumah susun dapat tercapai.

B. Tujuan Pembangunann Rumah Susun.

Tujuan Pembangunan rumah susun nasional adalah untuk mewujudkan kesejahtraan lahir dan batin seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata, sebagai salah satu usaha untuk mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan


(14)

Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu unsur pokok kesejahtraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia. Disamping itu, pembangunan perumahan merupakan salah satu unsur aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka penempatan Ketahanan nasional.

Sehubungan dengan uaraian tersebut di atas, maka kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:

a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.

b. Mewujudkan permukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna.

Sejalan dengan arah kebijaksanaan umum tersebut, maka di daerah perkotaan yang berpenduduk padat, sedangkan yang tersedia sangat terbatas, perlu dikembangkan pembangunan perumahan dan permukiman dalam bentuk rumah susun yang lengkap, seimbang, dan serasi dengan lingkunganya.

Pengertian Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan arah vertikal yang terbagi daam satu-satuan yang masing-masing jelas batas-batasnya, ukuran dan luasnya, dan dapet dimiliki dan dihuni secara terpisah. Selain satuan-satuan yang pembangunanya terpisah ada bagian bersama bangunan tersebut serta bersama-sama dan tanah bersama yang diatasnya didirikan rumah susun, yang karena sifatnya dan fungsional


(15)

harus digunakan dan dinikmati bersama dan tidak dapat dimiliki secara perseorangan. Hak pemilikan atas satuan rumah susun merupakan kelembagaan hukum baru, yang perlu diatur dengan undang-undang, dengan undang-undang ini di ciptakan dasar hukum hak milik atas satuan rumah susun yang meliputi

a. Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah.

b. Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun. c. Hak bersama atas benda-benda.

d. Hak bersama atas tanah, yang semuanya merupakan satu kesatuan yang secara fungsional tidak terpisahkan

Pengaturan dan pembinaan rumah susun merupakan tanggung jawab dan wewenang pemerintah. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang setingginya .sebagian unsur unsur tersebut dapat diserahkan kepada pemerintah daerah sesuai dengan asas pemerintahan sebagai mana dimaksud dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1974.Untuk meninggalkan usaha pembangunan rumah susun. Undang-Undang ini mengatur kemungkinan untuk memperoleh kredit konstuksi satuan rumah susun dengan menggunakan lembaga hipotik atau fidusia. Khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang ingin memiliki satuan rumah susun. mendapatkan prioritas dan kemudahan-kemudahan baik langsung maupun tidak langsung agar harganya dapat terjangkau.


(16)

Adapun tujuan pembangunan rumah susun seperti tercantum dalam Pasal 3 UU No 16 Tahun 1985 :

1. a. Memenuhi kebutuhan rumah yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya. Yang dimaksudkan dengan perumahan yang layak adalah perumahan perumahan yang memenuhi syarat-syarat teknik, kesehatan, keamanan, keselamatan dan Norma-Norma sosial budaya.

b. Meningkatkan daya daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi dan seimbang. Peningkatan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan harus sesuai dengan tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah demi keserasian dan keseimbangan. 2. Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan

lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat, dalam arti rumah susun bukan hunian.

Pembangunan Rusun bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan Rusun layak huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah dikawasan perkotaan dengan penduduk diatas 1,5 juta jiwa, sehingga akan berdampak pada : 1. Peningkatan efisiensi penggunaan tanah, ruang dan daya tampung kota ;

2. Peningkatan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan menengah-bawah dan pencegahan tumbuhnya kawasan kumuh perkotaan ;


(17)

3. Peningkatan efisiensi prasarana, sarana, dan utilitas perkotaan ; 4. Peningkatan produktivitas masyarakat dan daya saing kota ;

5. Peningkatan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah.

6. Peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Namun setelah Undang-undang No 16 Tahun 1985 Telah diganti dengan Undang-undang No 20 Tahun 2011 Tentang pengaturan Rumah Susun, Beradasarkan Pasal 2 BAB II Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan dengan asas: a. Kesejahteraan;

b. Keadilan dan Pemerataan; c. Kenasionalan;

d. Keefisienan dan kemanfaatan; e. Keterjangkauan dan kemudahan; f. Kemandirian dan kebersamaan; g. Kemitraan;

h. Keserasian dan keseimbangan; i. Keterpaduan;

j. Kesehatan;

k. Kelestarian dan keberlanjutan; dan

l. Keselamatan, Keamanan, Ketertiban, dan Keteraturan.

Perumahan dan kawasan permukiman diselengarakan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR.

Menigkatkan daya guna dengan hasil sumber daya alam bagi pembangun perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik


(18)

dikawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan, memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan budaya, menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, Aman, Serasi, Teratur, Terenacana, Terpadu, dan berkelanjutan.

C. Landasan Hukum pemilikan Satuan Rumah Susun Di Indonesia. 1. Asas Pemisahan Horizontal

Asas yang dipergunakan dalam hukum tanah yang berlaku saat ini adalah asas pemisahan horizontal yang bersumber dari hukum adat. Pada dasarnya ada pemisahan antara tanah dan bangunann yang berdiri di atasnya. Bahwa hukum yang berlaku terhadap tanah tidak dengan sendirinya berlaku juga terhadap bangunan yang berdiri di atasnya

Hak pemilikan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi juga pemilikan bangunan yang ada di atasnya.

Dalam penjabarannya dalam Norma-Norma hukum asas pemisahan horizontal ini tidak belaku secara mutlak. Penerapannya dilakukan secara konkret relatif, artinya bahwa dengan memperhatikan faktor-faktor konkret dan relatif yang meliputi kasus yang dihadapi selalu ada kemungkinan untuk mengadakan penyimpangan, agar supaya penyelesaiannya dapat memenuhi rasa keadilan, yang pada hakikatnya merupakan tujuan dari hukum yang melaksanakan itu.

Dalam pasal 25 Undang-undang No.16 Tahun 1985 dinyatakan bahwa pada saat berlakunya Undang-undang ini semua ketentuan peraturan perundang-undangan


(19)

yang berhubungan dengan rumah susun yang tidak bertentangan dengan undang ini tetap berlaku selama belum ditetapkan penggantinya berdasarkan Undang-undang ini dengan kata lain ketiga peraturan menteri dalam Negeri (PMDN) tersebut masih berlakunya pada saat berlakunya Undang-undang No.16 Tahun 1985 sampai diaturnya peraturan pelaksana.

Namun pada tanggal 27 Maret Tahun 1985 berlaku peraturan kepala badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1989 dimana dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa dengan berlakunya peraturan ini, maka ketentuan dalam peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No.14 Tahun 1975, Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No.4 Tahun 1977 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No.10 Tahun 1983 dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang yang mengatur mengenai Rumah Susun. Jadi yang dicabut adalah ketentuan yang mengatur mengenai pemilikan tanah kepunyaan bersama yang disertai dengan pemilikan bagian-bagian bangunan gedung bertingkat, sedangkan ketentuan mengenai pemilikan dan pendaftaran hak atas tanah kepunyaaan bersama masih berlaku, sebelum adanya Undang-undang RI No.20 Tahun 2011 yang mengatur keseluruhan tentang Rumah Susun yang berlaku pada saat ini.

Asas pemisahan horizontal adalah sesuai dengan realitas pedesaan, dimana bangunan-bangunan dibuat dari kayu dan bambu hingga menurut kenyataannya memang tidak merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dalam suasana sekarang ini mana bangunan-bangunan dibuat dari batu yang berpedoman yang sukar dibongkar dan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, pengetrapan asas pemisahan


(20)

horinzontal seharusnya memperhatikan kenyataan itu.Artinya tidak seharusnya diterapkan secara mutlak terhadap setiap kasus yang dihadapi. Dalam hal ini, maka kasus demi kasus harus mendapat pertimbangan khusus, untuk menentukan apakah ketentuan hukum yang berlaku terhadap tanah akan kita perlakukan juga terhadap bangunan yang ada di atasnya, antara lain dengan mengingat tujuan dan kegunaan ketentuan peraturan yang bersangkutan.

2. Ketentuan yang mengatur mengenai hak atas tanah kepunyaan bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan diatasnya secara belum berlakunya UU rumah susun.

Pemecahan masalah mengenai pemilikan apartemen secara individual di Indonesia dilakukan dengan menggunakan perangkat dan mekanisme pendaftaran tanah yang diatu dalam PP No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan melengkapi dengan peraturan menteri dalam negeri, pengkaitan pendaftaran tanah dengan hak pemilikan atas apartemen itu disadari juga pada perkembangan dalam penerapan asas pemisahan horizontal.

Pemerintah Indonesia dalam hal pemilikan apartemen secara individual pada mulanya mengeluarkan seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi pendaftaran tanahnya yaitu:

a. Peraturan menteri dalam negeri Nomor 14 tahun 1975 tentang pendaftaran hak atas tanah bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada di atasnya serta penerbitan sertifikatnya.


(21)

b. Peraturan menteri dalam negeri Nomor 1 tahun 1977 tentang penyelenggaraan tata usaha pendaftaran tanah mengenai hak atas tanah yang dipunyai bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada diatasnya.

c. Peraturan menteri dalam negeri Nomor 19 tahun 1983 tentang tata cara permohonan dan pemberian izin penerbitan sertifikat hak atas tanah kepunyaan bersama yang disertai dengan pemilikan secara terpisah bagian-bagian pada bangunan bertingakat.

d. Peraturan-peraturan menteri dalam negeri tersebut berpangkal pada tafsiran, bahwa dalam hukum kita dimungkinkan pemilikan apartemen-apartemen secara individual. Hukum kita tidak menganut asas accessie, melainkan apa yang disebut asas pemisahan horizontal di mana setiap benda yang menurut wujud dan tujuannya dapat digunakan sebagai satu kesatuan yang yang berdiri sendiri, dapat dijadikan objek pemilikan secara individual. Dalam penjelasan peraturan menteri dalam negeri (PMDN) Nomor 10 tahun 1975 disebut juga bahan peraturan ini bukan menciptakan hukum materil melainkan hanya menyempurnakan dan melengkapi ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan pendaftaran tanah yang diatur dalam PP No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini.

Prinsip dasar pembangunann rusun meliputi:

1. Keterpaduan: pembangunan rumah susun dilaksanakan prinsip keterpaduan kawasan, sektor, antar perlaku, dan keterpaduan dengan sistem perkotaan.


(22)

2. Efesiensi dan Efektivitas: memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara optimal, melelui peningkatan instensitas penggunaan lahan dan sumber daya lainnya.

3. Penegakan hukum: mewujudkan adanya kepastian hukum dalam bermukim bagi semua pihak, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan yang hidup ditengah masyarakat.

4. Keseimbangan dan keberlanjutan: mengindahkan keseimbangan ekosistem dan kelestarian yang sumber daya yang ada.

5. Kesetaraan: menjamin adanya kesetaraan peluang bagi masyarakat berpenghasilan menengah-bawah untuk dapat menghuni rusun yang layak bagi peningkatan kesejahteraan.

D. Pemisahan Hak Atas Satuan-satuan Rumah Susun

Pasal 39 peraturan pemerintah No.4 Tahun 1988, mewajibkan kepada penyelenggara pembangunan rumah susun untuk memisahkan rumah susun atas satuan-satuan yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pemisahan tersebut dilakukan dengan membuat akta pemisahan.

Tata cara pembuatan dan pengisian akta pemisahan rumah susun diatur dalam peraturan kepala badan pertanahan nasional Nomor 2 Tahun 1989. Tata cara pembuatan dan pengisian akta tersebut adalah sebagai berikut:

A. Akta pemisahan dibuat dan di isi sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun.


(23)

B. Akta pemisahan rumah susun berisikan:

1. Hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan akta pemisahan.

2. Nama lengkap pembuat/penandatanganan akta pemisahan yang dilengkapi dengan jabatan dan tempat kerja (kantor) yang bersangkutan.

3. Nama badan hukum /instansi penyelenggara pembangunan rumah susun. 4. Status tanah dimana tanah rumah susun didirikan.

5. Sistem pembangunan rumah susun, apakah dilaksanakan secara mandiri atau terpadu.

6. Penggunaan/pemanfaatan rumah susun, untuk hunian atau bukan untuk hunian.

7. Jumlah blok rumah susun dalam kesatuan sistem pembangunan yang dilaksanakan pada tanah bersama.

8. Uraian tiap blok rumah susun, mislanya blok 1 terdiri dari 10 (sepuluh) lantai. lantai 1 terdiri dari 15 (Lima belas) satuan rumah susun, lantai 2 (dua) terdiri dari 10 (sepuluh) satuan rumah susun dan sebagainya.

9. Macam-macam bagian dan benda berssama sesuai dengan pertelaan yang telah disahkan.

10. Status tanah bersama, Nomor hak dan Nomor surat ukur serta batas-batas tanah.

11. Perbandiangan proporsional antara satuan rumah susun terhadap hak atas bagian, benda dan tanah bersama.

12. Tempat/kota dimana akta pemisahan tersebut di buat dan tanggal penandatanganannya.

13. Jabatan si penandatangan akta pemisahan.

14. Tandatangan pembuat akta pemisah dan nama terangnya.

15. Tempat,tanggal,bulan dan tahun serta instansi yang mengesahkan akta pemisah.

C. Akta pemisahan setelah disahkan harus didaftarkan oleh penyelenggara pembangunan pada kantor pertanahan setempat dengan dilampiri :

- Sertifikat Hak atas tanah . - Ijin layak huni.


(24)

- Warkah-warkah lainnya yang diperlukan.

Yang dapat menjadi subjek hak pengelolaan adalah badan hukum yang diberikan hukum Indonesia dan kedudukan di Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Daerah , juga lembaga dan instansi Pemerintah.

Persyaratan Teknis adan amdministratif pembangunan rumah susun diatur dalam BAB III Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun yang terdiri dari atas tiga bagian yaitu:

1. Umum

2. Persyaratan teknis

3. Persyaratan administratif

Yang dimana bagian pertama umum dengan kata lain bagian kata lain bagian umum ini mengatur perencanaan yang harus memuat batas pemilikan individu dan batas pemilikan bersama atas Rumah Susun yang dibangun, dan persyarataan teknis diatur dalam pasal 11 sampai dengan pasal 29 Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun Penulis tidak akan membahas secara terperinci mengenai persyaratan teknis ini karena sifatnya yang berhubungan rancangan bangunan.

Persyaratan administratif sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan pasal 6 ayat (1) Undang-undang No .16 Tahun 1985 dan pasal 1 angka 6 Peraturan pemerintah No 4 Tahun 1988 Tentang Rumah susun persyaratan administratif meliputi:


(25)

a. Perizinan Usaha dari perusahaan Pembangunan Perumahan. b. Izin Lokasi

c. Izin Mendirikan bangunan. d. Izin layak huni.

Namun dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 Telah di Hapuskan Dengan Adanya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 Tentang pengaturan Rumah Susun yang berlaku hingga pada saat ini.

Dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2011 Tentang Pengaturan Rumah Susun yang mengatur persyaratan rumah susun, diatur pada bagian ketiga persyaratan pembangunan rumah susun meliputi dengan 3 syarat utama:

1. Persyaratan administratif. 2. Persyaratan teknis dan 3. Persyaratan ekologis

Dalam melakukan persyaratan pembangunan rumah susun secara administratif pelaku pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi:

a. Status hak atas tanah dan b. Izin mendirikan bangunan

Pelaku pembangunan harus membangun rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan rencana fungsi dan pemanfaatannya permohonan izin sebagaimana dimaksud pasal 29 ayat 2 dan 3 diajukan oleh pelaku pembangunan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:


(26)

a. Sertifikat hak atas tanah

b. Surat keterangan rencana kabupaten/kota c. Gambar rencana tapak

d. Gambar rencana arsitektur yang memuat denah tapak, dan potongan rumah susun yang menunjukkan dengan jelas batasan secara vertikal dan horizontal dari sarusun.

e. Gambar rencana struktur beserta perhitunganya

f. Gambar rencana yang menunjukkan dengan jelas bagian bersama, benda bersama, tanah bersama.

g. Gambar rencana utilitas umum dan instalasi beserta perlengkapannya.

Pembangunan rumah susun dilaksanakan berdasarkan perhitungan dan penetapan koefisien lantai bangunan dan koefisien dasar bangunan yang disesuaikan dengan kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan yang mengacu pada rencana tata ruang wilayah, ketentuan mengenai koefisien lantai bangunan dan koefisien dasar bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikecualikan dalam hal terdapat pembatsan ketinggian bangunan yang berhubungan dengan:

a. ketentuan keamanan dan keselamatan operasional penerbangan b. kearifan lokal.

Persyaratan pembangunan rumah susun secara teknis dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Terdiri Atas:

a. Tata bangunan yang Meliputi persyaratan Pembenukan lokasi serta serta intensitas dan arsitektur bangunan. Dan

b. Keandalan Bangunan yang Meliputi Persyaratan, Keselamatan, Kenyamanan, Dan Kemudahan.


(27)

Ketentuan tata bangunan dan keandalan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Dan yang terakhir persyaratan pembangunan Rumah susun sesuai aturan pasal 37 dan pasal 38 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan ekologis yang mencakup keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan, pembangunan rumah susun yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan harus dilengkapi persyaratan analisis dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan


(28)

BAB III PEMBAHASAN

A. Kedudukan Hukum Rumah Susun Berdasarkan Undang-Undang No 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun

1. Ketentuan tentang rumah susun sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.

Selain melalui proses pemikiran yang panjang dan mendalam pada Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011, ketentuan tersebut juga merupakan perkembangan idealisme yang terdapat pada peraturan perundangan sebelumnya pertama, diawali oleh kebutuhan untuk mengakomodir pemilikan tanah bersama, diterbitkanlah peraturan menteri dalam negeri Nomor 14 Tahun 1975, yang memuat ketentuan bahwa hak atas tanah bersama didaftar oleh kantor pertanahan dalam berupa buku tanah, sesuai dengan jumlah pemegang hak atas tanah bersama. Dengan demikian, pada masing-masing pemegang hak atas tanah dapat diberikan sertifikat hak atas tanah bersama. Apabila diatas tanah bersama terdapat bangunan, maka pada tiap pemilik bagian bangunan juga dapat diberikan sertifikat hak atas tanah bersama.

Kedua, peraturan menteri dalam negeri Nomor 14 Tahun 1975 selanjutnya di refisi oleh peraturan menteri dalam negeri Nomor 4 Tahun 1977, yang memuat ketentuan bahwa hak atas tanah bersama didaftar oleh kantor pertanahan dalam satu buku tanah. Berdasarkan buku tanah ini dapat dibuatkan beberapa salinanya, untuk dilampirkan pada sertifikat hak atas tanah bersama. Ketentuan ini juga


(29)

mempersyaratkan gambar denah bangunan, yang akan dilampirkan pada sertifikat hak atas tanah bersama. Sehingga sertifikat hak atas tanah bersama akan terdiri dari: salinan buku tanah, surat ukur, dan gambar denah bangunan.

Ketiga, peraturan menteri dalam negeri Nomor 4 Tahun 1977 selanjutnya direfisi oleh peraturan menteri dalam negeri Nomor 10 Tahun 1983, yang memuat ketentuan tentang: (1) surat keterangan pandaftaran tanah bagi pemilikan tanah bersama; (2) salinan ijin mendirikan bangunan bagi pembangunan rumah susun; (3) bangunan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah bersama; (4) bangunan telah selesai dibangun; (5) defisi bangunan bertingkat; (6) salinan gambar denah bagian-bagian bangunan; (7) salinan gambar denah tiap lantai ; dan (8) pernyataan tertulis mengenai besarnya bagian tiap pemegang hak atas tanah bersama.

Keempat, peraturan menteri dalam negeri Nomor 10 Tahun 1983 kemudian direfisi substansinya dan ditingkatkan bentuk produk perundangan-undangannya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, yang mengadopsi dan mengembangkan: (1) substansi pada bagian ketiga angka 1 sampai dengan 4 menjadi persyaratan permohonan hak milik atas satuan rumah susun; (2) substansi pada bagian ketiga angka 5 menjadi defenisi rumah susun; (3) substansi pada bagian ketiga angka 6 dan 7 menjadi gambar denah; dan (4) substansi pada bagian ketiga angka 8 menjadi nilai perbandingan proporsional.

Pada tanggal 31 Desember 1985 diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun dalam lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1985 dan penjelasanya dibuat dalam tamabahan lembaran Negara Nomor. 3317. Dalam


(30)

kepustakaan hukum Undang-Undang tersebut merupakan Undang-Undang kondominium Indonesia. Undang-Undang ini mengandung sistem pembangunan dan sistem pemilikan, yang dilengkapi dengan sistem pembebanan, sistem penghunian dan pengelolaan, sebagai landasan untuk dapat mewujudkan bentuk pemukiman fungsional dengan kepadatan tinggi, yang lengkap, serasi selaras, dan seimbang dengan pemanfaatan tanah secara optimal yang mengutamakan asas kebersamaan.

Dengan berlakunya Undang-Undang rumah susun mulai tanggal tersebut diatas berbagai masalah hukum yang sebelum itu di pertentangkan dan diragukan pemecahannya dapat jawaban yang pasti. Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang bersifat pokok-pokok saja, sedangkan kententuan pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan yang lain.

Sampai saat ini ketentuan yang dimaksud yang telah ada ialah peraturan pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang rumah susun, peraturan kepala badan pertanahan nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang bentuk dan tata cara pengisian serta pendaftaran akta pemisahan rumah susun dan peraturan kepala badan pertanahan nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah serta penerbitan sertifikat hak milik atas satuan rumah susun.

Peraturan pemerintah atau disingkat PP No.4 Tahun 1988 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, yang memberikan aturan penetapan dalam rangka memecahkan semua permasalahan hukum yang mengandung sistem kondominium, baik yang telah dibangun atau di ubah peruntukanya maupun sebagai landasan pembangunan baru.


(31)

Peraturan pemerintah ini mengatur secara keseluruhan apa yang di perintahkan oleh Undan-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tersebut, dimaksudkan agar dapat mewujudkan suatu kebulatan aturan yang tidak terpencar-pencar dalam berbagai peraturan pemerintah, karena materi yang melandasi pengaturan ini berupa rangkain kegiatan dalam satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan.

Disamping itu, tugas dan fungsi pemerintahaan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut sebenarnya merupakan bagian dari bidang perumahan dan pemukiman dalam arti luas, karena itu pelaksanaan penerapannya tunduk juga pada aturan-aturan umum yang ada, baik yang berkaitan dengan pembangunann atau pemilikannya.

Pada dasarnya sistem rumah susun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1785 tersebut, merupakan kemajuan besar dalam perkembangan hukum pembangunan, sebab dapat memenuhi kepentingan masyarakat dengan memberikan kepastian hak atas satuan-satuan dari bangunan-bangunan gedug bertingkat.

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 yang dimaksud dengan rumah susun adalah “bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang berbagi dalam bagian-bagian yang di strukturkan secara fungsional dalam arah horizontal mauapun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.


(32)

Bila di kaitkan Dengan Ketentuan Rumah susun Undang-undang Rumah Susun pasal 1 No.2 Tahun 2011 menegaskan bahwa, Penyelenggaraan Rumah Susun adalah Kegiatan Perencanaan, pembangunan,Penguasaan dan pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan pengendalian, kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang dilaksanakan secara sistimatis, terpadu,berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Undang-undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945, Pasal28H ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan Mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan yang sehat. Tempat tinggal Merupakan peran strategis dalam pembentukan watak dan keprebadian bangsa serta sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri mandiri dan produktif. Oleh karena itu Negara bertanggung jawap untuk menjamin pemenuhan hak akan tempat tinggal dalam bentuk rumah yang layak dan terjangkau. Pemenuhan hak atas Rumah merupakan Masalah Nasional yang dampaknya sangat dirasakan diseluruh wilayah tanah air.

Hal ituh dapat dilihat dari masih banyak MBR yang belum dapat menghuni rumah yang layak, khususnya di perkotaan yang mengakibatkan terbentuknya kawasan kumuh. Pemenuhan kebutuhan perumahan tersebut adalah salah satunya dapat dilakukan melalui pembangunan rumah susun sebagai bagian dari perkembangan perumahan mengingat keterbatasan lahan di perkotaan.

Pembangunan rumah susun diharapkan mampu mendorong pembangunan perkotaan yang sekaligus menjadi solusi peningkatan kualitas pemukiman.


(33)

Ketentuan mengenai rumah susun selama ini diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang rumah susun, tetapi dalam perkembangannya, Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap Orang dalam penghunian, kepemilikan dan pemanfaatan Rumah susun. Disamping itu, pengaruh globalisasi, budaya dan kehidupan masyarakat serta dinamika masyarakat menjadikan Undang-undang tersebut tidak memadai lagi sebagai pedoman dalam pengaturan penyelengaraan Rumah susun.

Undang-undang ini menciptakan Dasar Hukum yang tegas berkaitan dengan penyelenggaraan rumah susun dengan berdasarkan asas kesejahteraan, keadilan dan pemerataan, Kenasionalan keterjangkauan dan kemudahan, keefisienan dan kemanfaatan, Kemandirian dan kebersamaan, kemitraan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan , Kesehatan, kelestarian dan berkelanjutan, keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan, serta keamanan, ketertiban, dan keteraturan.

Dalam Undang-undang ini penyelenggaraan Rumah susun bertujuan untuk menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau, meningkatkat efisiensi dan efektifitas pemanfaatan ruang, mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh, mengarahkan perkembangan kawasa perkotaan, memenuhi kebutuhan sosial dan Ekonomi, memberdayakan para pemangku kepentinggan serta memberikan kepastian Hukum dalam penyediaan, kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan Rumah susun.

Pengaturan dalam Undang-undang ini juga menunjukkan keberpihakan Negara dalam memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi MBR serta


(34)

partisipasi Masyarakat dalam penyelenggaraan Rumah susun. Undang-undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah di bidang penyelenggaraan Rumah susun dan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan penyelenggaraan Rumah susun di daerah sesuai dengan Kewenangannya.

Kewenangan yang di berikan tersebut di dukung Oleh pendanaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja Negara Maupun Anggaran Pendapatan Negara dan belanja daerah.

Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan rumah susun secara komprehensif meliputi pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengadilan, kelembagaan tugas dan wewenang, hak dan kewajipan, pendanaan dan sitem pembiayaan, dan peran masyarakat.

Hal mendasar yang diatur dalam Undang-undang ini, antara lain, mengenai jaminan kepastian hukum kepemilikan dan kepenghunian atas Sarusun bagi MBR; Adanya badan yang menjamin penyediaan Rumah Susun Umun dan Rumah Susun Khusus, pemanfaatan Barang milik negara/daerah yang berupa tanah dan pendayagunaan tanah wakaf; kewajiban pelaku pembangunann rumah susun komersial untuk menyediakan Rumah susun Umum, pemberian insentif kepada pelaku pembangunan Rumah Umum dan Rumah Susun Khusus, bantuan dan kemudahan bagi MBR, serta perlindungan konsumen.


(35)

2. Kedudukan atau status hukum rumah susun

Saat ini Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai rumah susun, yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun. Definisi rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 adalah “bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama”.

Menurut Undang-Undang Rumah Susun, rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunann, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku. Untuk rumah susun yang dibangun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib menyelesaikan status hak guna bangunannya terlebih dahulu sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.

Satuan rumah susun dapat dimiliki baik oleh perseorangan maupun badan hukum yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah, dan untuk mencapai tertib administrasi pertanahan serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemilik hak atas satuan rumah susun, maka sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) sebagai tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun diterbitkan sertipikat hak milik.


(36)

Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yang mana pemindahan hak tersebut dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan pada Kantor Agraria/Badan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan. Peralihan hak dengan pewarisan adalah peralihan hak yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pewaris, sedangkan pemindahan hak tersebut dapat dengan jual beli, tukar menukar dan hibah. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang No 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun, Rumah Susun berikut tanah tempat bangunann itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan atau fidusia. Dapat dibebani hak tanggungan apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan, dan dibebani fidusia apabila dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah Negara. Hal ini dimaksudkan supaya dapat dimungkinkan adanya pemilikan satuan rumah susun dengan cara jual beli yang pembayarannya dilakukan secara bertahap atau angsuran.

a. Asas dan Arah Pembangunan Rumah Susun

Perumahan merupakan salah satu unsur penting dalam strategi pengembangan wilayah yang menyangkut aspek-aspek yang luas di bidang kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan sosial dalam rangka pemantapan Ketahanan Nasional. Dari hal-hal tersebut di atas, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah nasional yang dampaknya sangat dirasakan di seluruh wilayah tanah air, terutama di daerah pekotaan yang berkembang pesat.


(37)

Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Dengan semakin bertambahnya penduduk, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas, maka pembangunan rumah dibuat bertingkat atau yang kita kenal dengan rumah susun. Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama di daerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat ruang-ruang terbuka kota yang lebih lega dan dapat digunakan sebagai suatu cara untuk peremajaan kota bagi daerah yang kumuh.

Pembangunan rumah susun berlandaskan pada asas kesejahteraan umum keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan. Asas kesejahteraaan umum dipergunakan sebagai landasan pembangunan rumah susun dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melalui pemenuhan kebutuhan akan perumahan sebagai kebutuhan dasar bagi setiap warga negara Indonesia dan keluarganya.

Asas keadilan dan pemerataan memberikan landasan agar pembangunan rumah susun dapat dinikmati secara merata, dan tiap-tiap warga negara dapat menikmati hasil-hasil pembangunan perumahan yang layak. Asas keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan mewajibkan adanya keserasian dan


(38)

keseimbangan antara kepentingan-kepentingan dalam pemanfaatan rumah susun, untuk mencegah timbulnya kesenjangan-kesenjangan sosial.

Arah kebijaksanaan pembangunan rumah susun di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun berisi 3 (tiga) unsur pokok, yakni:

1. Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan, dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan penduduk;

2. Konsep pembangunan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perseorangan dengan pemilikan bersama atas benda, bagian dan tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni, yang dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dapat bertindak ke luar dan ke dalam atas nama pemilik satuan rumah susun, berwenang mewujudkan ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan rumah susun;

3. Konsep pembangunann ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik atau fidusia atas tanah beserta gedung yang masih dibangun.


(39)

Dari uraian tersebut di atas, maka kebijaksanaan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk :

1. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, secara adil dan merata, serta mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia.

2. mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang, sesuai dengan pola tata ruang kota dan tata daerah serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna.

 Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun ditegaskan bahwa pembangunan rumah susun ditujukan terutama untuk tempat hunian, khususnya bagi golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan rumah susun harus dapat mewujudkan pemukiman yang lengkap dan fungsional, sehingga diperlukan adanya bangunan bertingkat lainnya untuk keperluan bukan hunian yang terutama berguna bagi pengembangan kehidupan masyarakat ekonomi lemah.

Pembangunan rumah susun memerlukan persyaratan-persyaratan teknis dan administratif yang lebih ketat. Untuk menjamin keselamatan bangunan, keamanan, dan ketenteraman serta ketertiban penghunian, dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya, maka satuan rumah susun baru dapat dihuni setelah mendapat izin kelayakan untuk dihuni dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penghuni satuan rumah susun (Sarusun)


(40)

tidak dapat menghindarkan diri atau melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama, karena secara keseluruhan merupakan kebutuhan fungsional yang saling melengkapi, Saat ini Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai rumah susun, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Definisi rumah susun menurut Pasal 1 angka 1 adalah “bangunann gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama”.

Menurut Undang-Undang Rumah Susun, rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang berlaku. Untuk rumah susun yang dibangun di atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib menyelesaikan status hak guna bangunannya terlebih dahulu sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.

Satuan rumah susun dapat dimiliki baik oleh perseorangan maupun badan hukum yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah, dan untuk mencapai tertib administrasi pertanahan serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemilik hak atas satuan rumah susun, maka sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) sebagai tanda bukti hak milik atas satuan rumah susun diterbitkan sertipikat hak milik.


(41)

Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih dengan cara pewarisan atau dengan cara pemindahan hak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yang mana pemindahan hak tersebut dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan pada Kantor Agraria/Badan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan. Peralihan hak dengan pewarisan adalah peralihan hak yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pewaris, sedangkan pemindahan hak tersebut dapat dengan jual beli, tukar menukar dan hibah.

Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Rumah Susun, rumah susun berikut tanah tempat bangunann itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan atau fidusia. Dapat dibebani hak tanggungan apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak milik atau hak guna bangunan, dan dibebani fidusia apabila dibangun di atas tanah hak pakai atas tanah Negara. Hal ini dimaksudkan supaya dapat dimungkinkan adanya pemilikan satuan rumah susun dengan cara jual beli yang pembayarannya dilakukan secara bertahap atau angsuran.

3. Penghunian dan Pengelolaan Rumah susun

Satuan rumah susun dapat dihuni setelah mendapat ijin kelayakan untuk dihuni. Permohonan ijin layal huni harus diajukan oleh penyelenggara pembangunann rumah susun kepada Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah akan memberikan ijin layak huni setelah diadakan pemeriksaan dan bila mana pelaksanaan pembangunann rumah susun dari segi artisektur, konstruksi, instalasi dan perlengkapan


(42)

pembangunann lainnya telah benar-benar sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang ditentukan dalam Ijin Mendirikan Bangunann.

Apabila persyaratan penghunian telah dipenuhi dan para pemilik telah menghuni satuan rumah susun tersebut, mereka wajib membentuk penghimpunan penghuni untuk mengatur dan mengurus kepentingan bersama. Pembentukan perhimpunan penghuni ini harus disesuaikan dengan luas lingkungan rumah susun, yang masih terikat dengan adanya hak bersama atas benda bersama dan tanah bersama. Jika dalam suatu lingkungan tanah bersama terdapat beberapa rumah susun, maka pada masing-masing rumah susun dapat dimungkinkan dibentuk perhimpunan penghuni yang berstatus badan hukum.

Perhimpuanan penghuni ini dapat mewakili para penghuni dalam melakukan dalam melakukan perbuatan hukum baik kedalam maupun keluar. Karena perhimpunan penghuni ini berstatus badan hukum yang dapat mewakili para anggotanya dalam perbuatan hukum, maka untuk menjamin kepastian hak, kewajiban dan tanggung jawab masing-masing penghuni, kesepakatanya perlu dituangkan dalam suatu akta dan disahkan oleh Bupati/Wali kota madya Kepada Daerah Tingkat II. Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta pengesahan dilakukan oleh Gubernur Kepala Daerah Tinkat I.

Keanggotaan penghimpunan penghuni didasarkan kepada realita penghunian artinya yang dapat menjadi anggota perhimpunan-perhimpunan adalah mereka yang benar-benar menghuni atau menempati satuan rumah susun, baik atas dasar


(43)

pemilikan maupun hubungan hukum lainya, seperti sewa menyewa, sewa beli dan sebagainya.

Apabila pemilik belum menghuni,memakai atau memanfaatkan satuan rumah susun yang bersangkutan, maka pemilik harus menjadi anggota perhimpunan penghuni, sedangkan apa bila penyelenggara pembangunan belum dapat menjual seluruh satuan rumah susun, maka penyelenggara pembangunan harus bertindak sebagai anggota perhimpunan penghuni.

Perhimpunan penghuni berpungsi membina terciptanya kehidupan lingkungan yang sehat, tertib dan aman, mengatur dan membina kepentingan penghuni serta mengelola rumah susun dan lingkungannya. Dalam melaksanakan fungsinya perhimpunan penghuni mempunyai tugas:

a. Mengesahkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang disusun oleh pengurus dalam rapat umum perhimpunan penghuni.

b. Membina penghuni para penghuni kearah kesadaran hidup bersam yang serasi, selaras dan seimbang dalam rumah susun dan lingkungannya.

c. Mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang tercamtum dalam Aggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

d. Menyelenggarakan tugas-tugas administatif penghunian.

e. Menunjuk atau membentuk dan mengawasi badan pengelola dalam pengelolaan rumah susun dan lingkungannya.


(44)

f. Menyelenggarakan pembukuan dan administratif keuangan secara terpisah sebagai kekayaan perhimpunan penghuni.

g. Menetapkan sanksi terhadap pelanggaran yang telah ditetapkan dalam Anggota Rumah Tangga.

Untuk melaksanakan fungsi dan tugas perhimpunan penghuni,dibentuklah Pengurus penghimpunan penghuni. Keanggotaan pengurus tersebut dipilih berdasarkan asas kekeluargaan oleh dan dari anggota perhimpunan penghuni, melalui rapat umum penghuni. Jumlah keanggotaan pengurus perhimpunan penghuni sekurang-kurangnya terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan Pengawas Pengelolaan. Dan jika dibutuhkan pengurus dapat membentuk Unik pengawasan Pengelolaan.

Dalam mengelola rumah susun dan lingkungannya, perhimpunan penghuni dapat menunjuk atau membentuk Badan pengelola rumah susun. Badan pengelola ini harus dilengkapi dengan unit organisasi, personil dan peralatan yang mampu untuk mengelola rumah susun. Mengelola maksudnya adalah kegiatan-kegiatan operasional berupa pemeliharaan perbaikan, pembangunan sarana lingkungan, pasilitas sosial, bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Badan pengelolaan perhimpunan penghuni harus disahkan sebagai badan hukum dan professional Badan pengelola dimaksud mempunyai tugas:

a. Melaksanaan pemeriksaan, pemeliharaan kebersihan dan perbaikan rumah susun dan lingkungannya pada bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.


(45)

b. Mengawasi ketertiban dan keamanan penghuni serta penggunaan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama sesuai dengan peruntukannya.

c. Secara periodik memberikan laporan kepada perhimpunan penghuni disertai permasalahan dan usaha pemecahannya.

Adapun hak, kewajiban dan larangan yang harus ditaati oleh penghuni satuan rumah susun adalah:

a. Setiap penghuni berhak:

1. Memanfaatkan rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama secara aman dan tertib.

2. Mendapat perlindungan sesuai Anggota Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. 3. Memilih dan dipilih menjadi anggota pengurus perhimpunan penghuni.

b. Setiap penghuni berkewajiban:

1. Mematuhi dan melaksanakan peraturan tata tertib dalam rumah susun dan lingkungannya sesuai dengan Aggota Dasar dan Anggota Rumah Tangga. 2. Memelihara rumah susun dan lingkungannya termasuk bagian bersama, benda

bersama dan tanah bersama dan tanah bersama. c. Penghuni di larang:

1. Melakukan perbuatan yang membahayakan keamanam ketertiban dan keselamatan terhadap penghuni lainya, bangunan dan lingkungan.


(46)

2. Mengubah bentuk dan/ atau menambah bangunan di luar satuan rumah susun yang dimiliki, tanpa mendapat persetujuan perhimpunan penghuni.

B. Perlindungan Hukum pada Penghuni Rumah Susun Atas Pemilik Rumah Susun

Pada tanggan 20 April 1999 diundangkan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) yang memulai efektif berlaku pada 20 April 2000. Apabila dicermati muatan materi UUPK cukup banyak mengatur perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat dipahami mengingat kerugian yang diderita konsumen barang atau jasa acap kali merupakan akibat perilaku pelaku usaha, sehingga wajar apabila terdapat tuntutan agar perilaku pelaku usaha tersebut diatur, dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut dikenakan sanksi yang setimpal. Perilaku pelaku usaha dalam melakukan strategi untuk mengembangkan bisnisnya inilah yang sering menimbulkan kerugian bagi konsumen.

Berkaitan dengan strategi bisnis yang digunakan oleh pelaku usaha pada mulanya berkembang adagium caveat emptor (waspadalah konsumen), kemudian berkembang menjadi caveat venditor (waspadalah pelaku usaha) ketika strategi bisnis berorientasi pada kemampuan menghasilkan produk (Production Oriented) maka disini konsumen harus waspada dalam mengkonsumsi barang dan jasa yang ditawarka pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak memiliki banyak peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsinya sesuai denga selera, daya beli dan kebutuhan. Konsumen lebih banyak dalam posisi didikte oleh produsen.


(47)

Pola konsumsi masyarakat justru lebih banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan stategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya kearah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar (Market Oriented) pada masa ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk konsumen.

Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang-barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan. Di dalam UUPK antara lain ditegaskan, pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan dilaksanakan oleh para pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan konsumen.

Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi. Hasil temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai mutu barang, menunjukan masih


(48)

banyak produk yang tidak memenuhi syarat mutu. Manipulasi mutu banyak dijumpai pada produk bahan bangunan seperti seng, kunci dan grendel pintu, triplek, besi beton serta kabel listrik.

Selanjutnya transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha, cenderung bersifat tidak balance. Konsumen terpaksa menandatangani perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan oleh pelaku usaha, akibatnya berbagai kasus pembelian mobil, alat-alat elektronik, pembelian rumah secara kredit umumnya menempatkan posisi konsumen di pihak yang lemah.

Permasalahan yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya tanggung jawab pengusaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah. Secara Normatif pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (1), dan (2) UUPK).

Ketentuan ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian, dapat ditegaskan apabila konsumen menderita kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara perdata kepada pelaku usaha atas kerugian yang timbul dan secara hukum tata negara/pemerintah. Demikian


(49)

halnya pada transaksi rumah susun apabila konsumen menderita kerugian sehingga menyebabkan timbulnya kerugian, maka ia berhak untuk menuntut penggantian kerugian tersebut kepada pengembang perumahan yang bersangkutan.

Cosumer is an individual who purchases, or has the capasity to purchases, goods ang servises offered for sale by marketing institution in order to statisfy personal or hausehold needs, wants or desires.adapun produsen diartikan sebagai

setiap penghasil barang dan jasa yang di konsumsi oleh pihak atau orang lain. Kata

Consument (Belanda) oleh para ahli hukum telah disepakati sebagai pemakai terakhir

dari benda dan jasa (Uitenindelijk gebruiker van gorden en diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (oundernemer).


(50)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pembangunan rumah susun merupakan masalah yang serius ditengah-tengah masyarakat dalam perlindungan hukumnya dan juga kedudukan hukum rumah susun dengan Undang-Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun,walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang begitu terud maju, dengan adanya Undang- Undang yang baru, Undang-Undang N0 20 Tahun 2011 Pengaturan pembangunan rumah susun, masyarakan terus belum mengetahui adanya Undang- Undang yang baru yang telah dibuat oleh pemerintah sehingga menimbulkan kekaburan meski penapsiran atas penghapusan Undang-Undang No 16 Tahun 1985 tidak di berlakukan lagi atau dihapuskan. 2. Peran rumah susun dengan Undang-Undang baru dengan Undang-Undang No 20

Tahun 2011 Tentang Rumah susun, maka perlindungan Hukum rumah susun semakin kuat dan tepat tujuan dibentuknya Undang-Undang tersebut serta perlindungan Hukum nya bagi penghuni dapat dirasakan oleh penghuni dan juga pemilik Rumah Susun. Dan berlandaskan dasar hukum yang diberikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.


(51)

B. Saran

1. Untuk DPR dan Presiden sebagai lembaga pembuat per undang – undangan sebaiknya pembahasan atas Undang-Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun khususnya mengenai penghapusan/penggantian isi dari Undang-Undang Rumah Susun tersebut memberikan penegasan yang berupa penambahan atau penyisipan pasal- pasal bahwa Undang-Undang Rumah Susun telah di tingkatkan status hukumnya dan juga perlindungan hukum nya bagi penghuni dan pemilik rumah susun agar tidak menimbulkan kekaburan penapsiran yang luas dan berbeda.

2. Penguatan peran rumah susun khususnya sebagai penengah di tengah – tengah masyarakat, dan pemerintah harus memberikan informasi tentang Undang-Undang pembangunann Rumah Susun yang lebih jelas sehingga penghuni rumah susun dan pemilik rumah susun, tidak begitu terjebak dengan adanya peraturan pemerintah atau dengan Undang-Undang yang baru yang telah diberlakukan.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Jakarta Sinar Grafika Off set 2010.

Andi Hamzah, Iwayan Suandra, B.A.Manalu, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta, Cet 4, 2006.

Amirudin dan H.jainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Herman Hermit, Komentar atas Undang-Undang Rumah Susun (UU No.16 Tahun 1985) Dalam Perspektif isu-isu Strategis Periode 2007/2011, Bandung, Mandar Maju, 2009.

M. Rizal Arif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun Dalam Kerangka Hukum Benda, Bandung.

Nuansa Aulia, 2009, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Urip Santoso, Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah, Prenada Media Grup, 2010.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup edisi 1,cet: Ke-5 Jakarta, 2009, hal.29.

B. Undang -Undang

Undang-Undang rumah susun CV.Mandar maju Bandung, 2009.

Undang- Undang R.I. Nomor. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.Citra Umbara Bandung 2012


(1)

Pola konsumsi masyarakat justru lebih banyak ditentukan oleh pelaku usaha dan bukan oleh konsumennya sendiri. Seiring dengan perkembangan IPTEK dan meningkatnya tingkat pendidikan, meningkat pula daya kritis masyarakat. Dalam masa yang demikian, pelaku usaha tidak mungkin lagi mempertahankan stategi bisnisnya yang lama, dengan resiko barang atau jasa yang ditawarkan tidak akan laku di pasaran. Pelaku usaha kemudian mengubah strategi bisnisnya kearah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar (Market Oriented) pada masa ini pelaku usahalah yang harus waspada dalam memenuhi barang atau jasa untuk konsumen.

Dalam konteks ini pelaku usaha dituntut untuk menghasilkan barang-barang yang kompetitif terutama dari segi mutu, jumlah dan keamanan. Di dalam UUPK antara lain ditegaskan, pelaku usaha berkewajiban untuk menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.

Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan. Ketentuan tersebut semestinya ditaati dan dilaksanakan oleh para pelaku usaha. Namun dalam realitasnya banyak pelaku usaha yang kurang atau bahkan tidak memberikan perhatian yang serius terhadap kewajiban maupun larangan tersebut, sehingga berdampak pada timbulnya permasalahan dengan konsumen.

Permasalahan yang dihadapi konsumen dalam mengkonsumsi barang dan jasa terutama menyangkut mutu, pelayanan serta bentuk transaksi. Hasil temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai mutu barang, menunjukan masih


(2)

44

banyak produk yang tidak memenuhi syarat mutu. Manipulasi mutu banyak dijumpai pada produk bahan bangunan seperti seng, kunci dan grendel pintu, triplek, besi beton serta kabel listrik.

Selanjutnya transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha, cenderung bersifat tidak balance. Konsumen terpaksa menandatangani perjanjian yang sebelumnya telah disiapkan oleh pelaku usaha, akibatnya berbagai kasus pembelian mobil, alat-alat elektronik, pembelian rumah secara kredit umumnya menempatkan posisi konsumen di pihak yang lemah.

Permasalahan yang dihadapi konsumen tersebut pada dasarnya disebabkan oleh kurang adanya tanggung jawab pengusaha dan juga lemahnya pengawasan pemerintah. Secara Normatif pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (1), dan (2) UUPK).

Ketentuan ini merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Dengan demikian, dapat ditegaskan apabila konsumen menderita kerugian sebagai akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, berhak untuk menuntut tanggung jawab secara perdata kepada pelaku usaha atas kerugian yang timbul dan secara hukum tata negara/pemerintah. Demikian


(3)

halnya pada transaksi rumah susun apabila konsumen menderita kerugian sehingga menyebabkan timbulnya kerugian, maka ia berhak untuk menuntut penggantian kerugian tersebut kepada pengembang perumahan yang bersangkutan.

Cosumer is an individual who purchases, or has the capasity to purchases, goods ang servises offered for sale by marketing institution in order to statisfy personal or hausehold needs, wants or desires.adapun produsen diartikan sebagai setiap penghasil barang dan jasa yang di konsumsi oleh pihak atau orang lain. Kata Consument (Belanda) oleh para ahli hukum telah disepakati sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa (Uitenindelijk gebruiker van gorden en diesten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (oundernemer).


(4)

46

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pembangunan rumah susun merupakan masalah yang serius ditengah-tengah masyarakat dalam perlindungan hukumnya dan juga kedudukan hukum rumah susun dengan Undang-Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun,walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan perkembangan zaman yang begitu terud maju, dengan adanya Undang- Undang yang baru, Undang-Undang N0 20 Tahun 2011 Pengaturan pembangunan rumah susun, masyarakan terus belum mengetahui adanya Undang- Undang yang baru yang telah dibuat oleh pemerintah sehingga menimbulkan kekaburan meski penapsiran atas penghapusan Undang-Undang No 16 Tahun 1985 tidak di berlakukan lagi atau dihapuskan. 2. Peran rumah susun dengan Undang-Undang baru dengan Undang-Undang No 20

Tahun 2011 Tentang Rumah susun, maka perlindungan Hukum rumah susun semakin kuat dan tepat tujuan dibentuknya Undang-Undang tersebut serta perlindungan Hukum nya bagi penghuni dapat dirasakan oleh penghuni dan juga pemilik Rumah Susun. Dan berlandaskan dasar hukum yang diberikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.


(5)

B. Saran

1. Untuk DPR dan Presiden sebagai lembaga pembuat per undang – undangan sebaiknya pembahasan atas Undang-Undang No 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun khususnya mengenai penghapusan/penggantian isi dari Undang-Undang Rumah Susun tersebut memberikan penegasan yang berupa penambahan atau penyisipan pasal- pasal bahwa Undang-Undang Rumah Susun telah di tingkatkan status hukumnya dan juga perlindungan hukum nya bagi penghuni dan pemilik rumah susun agar tidak menimbulkan kekaburan penapsiran yang luas dan berbeda.

2. Penguatan peran rumah susun khususnya sebagai penengah di tengah – tengah masyarakat, dan pemerintah harus memberikan informasi tentang Undang-Undang pembangunann Rumah Susun yang lebih jelas sehingga penghuni rumah susun dan pemilik rumah susun, tidak begitu terjebak dengan adanya peraturan pemerintah atau dengan Undang-Undang yang baru yang telah diberlakukan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Jakarta Sinar Grafika Off set 2010.

Andi Hamzah, Iwayan Suandra, B.A.Manalu, Dasar-dasar Hukum Perumahan, Rineka Cipta, Jakarta, Cet 4, 2006.

Amirudin dan H.jainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Herman Hermit, Komentar atas Undang-Undang Rumah Susun (UU No.16 Tahun 1985) Dalam Perspektif isu-isu Strategis Periode 2007/2011, Bandung, Mandar Maju, 2009.

M. Rizal Arif, Analisis Kepemilikan Hak Atas Tanah Satuan Rumah Susun

Dalam Kerangka Hukum Benda, Bandung.

Nuansa Aulia, 2009, Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Urip Santoso, Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah, Prenada Media Grup,

2010.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup edisi 1,cet: Ke-5 Jakarta, 2009, hal.29.

B. Undang -Undang

Undang-Undang rumah susun CV.Mandar maju Bandung, 2009.

Undang- Undang R.I. Nomor. 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.Citra Umbara Bandung 2012