Hubungan kepribadian neurotik dan impulsive buying pada remaja di Tarakan.

(1)

HUBUNGAN KEPRIBADIAN NEUROTIK DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA DI TARAKAN

Friska Indryani Sitorus ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecenderungan kepribadian neurotik dengan impulsive buying pada remaja di Tarakan. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 330 remaja (115 laki-laki dan 185 perempuan). Pengambilan data dilakukan dengan pengisian skala impulsive buying dan skala kecenderungan kepribadian neurotik. Reliabilitas dari skala impulsive buying sebesar (α) = 0.747, reliabilitas dari skala kepribadian compliant sebesar (α) = 0.758, reliabilitas dari skala kepribadian aggressive sebesar (α) = 0.801, dan reliabilitas dari skala kepribadian detached sebesar (α) = 0.795. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pengujian Spearman’s Rho dalam program SPSS for windows versi 23.0 karena sebaran data tidak normal. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (r = 0.139; p = 0.008) antara kepribadian compliant (x̄ = 36.11; SD = 4.853) dan impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038). Terdapat hubungan positif dan signifikan (r = 0.156; p = 0.003) antara kepribadian aggressive (x̄ = 32.38; SD = 4.499) dan impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038).


(2)

THE RELATIONSHIP BETWEEN NEUROTIC PERSONALITY AND IMPULSIVE BUYING OVER THE ADOLESCENTS IN TARAKAN

Friska Indryani Sitorus ABSTRACT

This Research aimed to determine the relationship between the neurotic personality tendencies and the impulsive buying over the adolescents in Tarakan. This study involved the 330 adolescents (115 males and 185 females). The data collection was performed by filling the impulsive buying scale and the scale of neurotic personality tendencies. The reliability of the scale of impulsive buying was (α) = 0747, the reliability of a compliant personality scale was (α) = 0758, the reliability of the scale aggressive personality was (α) = 0801, and reliability of the scale detached personality was (α) = 0795. The data analysis techniques this research applied the Spearman's Rho test in SPSS for Windows version 23.0 since the data distribution was irregular. The results showed that there were positive and significant correlation (r = 0.139; p = 0.008) between the personality compliant (X = 36.11; SD = 4,853) and the impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038). There was a positive and a significant correlation (r = 0.156; p = 0.003) between the aggressive personality (x = 32.38; SD = 4,499) and the impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038).


(3)

SKRIPSI

HUBUNGAN KEPRIBADIAN NEUROTIK DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA DI TARAKAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Friska Indryani Sitorus

129114077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN MOTTO

Hard work will always beat talent

when talent fails to work hard

-Kevin Durant

Never give up on anybody.

Miracles happen everyday

-

H. Jackson Brown Jr.

A comfort zone is a beautiful place but

nothing ever grows there


(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji dan syukur kupanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus

yang sudah memberkati aku hingga saat ini.

Tanpanya ini tidak mungkin terselesaikan. Terimakasih

Tuhan Yesus, terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu.

Skripsi ini juga kupersembahkan kepada kedua orangtua

ku yaitu Bapak M. Sitorus dan Mama Darma Gultom yang

selalu memberi motivasi disaat situasi apapun. Tidak lupa

juga kepada abang ku Bobby Andrian Sitorus.

Kepada sahabatku,sepupu-sepupuku, teman-teman

seperjuangan, dan kepada semua pihak yang telah

membantu dan mendukungku dalam menyelesaikan skripsi


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Agustus 2016 Penulis,


(9)

HUBUNGAN KEPRIBADIAN NEUROTIK DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA DI TARAKAN

Friska Indryani Sitorus ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecenderungan kepribadian neurotik dengan impulsive buying pada remaja di Tarakan. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 330 remaja (115 laki-laki dan 185 perempuan). Pengambilan data dilakukan dengan pengisian skala

impulsive buying dan skala kecenderungan kepribadian neurotik. Reliabilitas dari skala impulsive

buying sebesar (α) = 0.747, reliabilitas dari skala kepribadian compliant sebesar (α) = 0.758,

reliabilitas dari skala kepribadian aggressive sebesar (α) = 0.801, dan reliabilitas dari skala kepribadian

detached sebesar (α) = 0.795. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan pengujian

Spearman’s Rho dalam program SPSS for windows versi 23.0 karena sebaran data tidak normal. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan (r = 0.139; p = 0.008) antara kepribadian compliant (x̄ = 36.11; SD = 4.853) dan impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038). Terdapat hubungan positif dan signifikan (r = 0.156; p = 0.003) antara kepribadian aggressive (x̄ =

32.38; SD = 4.499) dan impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038).


(10)

THE RELATIONSHIP BETWEEN NEUROTIC PERSONALITY AND IMPULSIVE BUYING OVER THE ADOLESCENTS IN TARAKAN

Friska Indryani Sitorus ABSTRACT

This Research aimed to determine the relationship between the neurotic personality tendencies and the impulsive buying over the adolescents in Tarakan. This study involved the 330 adolescents (115 males and 185 females). The data collection was performed by filling the impulsive buying scale and the scale of neurotic personality tendencies. The reliability of the scale of impulsive

buying was (α) = 0747, the reliability of a compliant personality scale was (α) = 0758, the reliability

of the scale aggressive personality was (α) = 0801, and reliability of the scale detached personality

was (α) = 0795. The data analysis techniques this research applied the Spearman's Rho test in SPSS

for Windows version 23.0 since the data distribution was irregular. The results showed that there were positive and significant correlation (r = 0.139; p = 0.008) between the personality compliant (X =

36.11; SD = 4,853) and the impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038). There was a positive and a

significant correlation (r = 0.156; p = 0.003) between the aggressive personality (x = 32.38; SD =

4,499) and the impulsive buying (x̄ = 28.65; SD = 4.038).


(11)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Friska Indryani Sitorus

Nomor Mahasiswa : 129114077

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

HUBUNGAN KEPRIBADIAN NEUROTIK DAN IMPULSIVE BUYING PADA REMAJA DI TARAKAN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 31 Agustus 2016 Yang menyatakan,


(12)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan penyertaan-Nya yang tiada berkesudahaan. Berkat kasih-Nya, saya dapat

menyelesaikan skiripsi ini yang berjudul “Hubungan Kepribadian Neurotik dan

Impulsive Buying pada remaja di Tarakan”. Saya juga ingin mengucapkan

terimakasih kepada :

1. Tuhan Yesus, atas penyertaan-Nya dan tidak pernah mengeluh mendengar semua keluh-kesah ku tiada henti dan selalu menerimaku apa adanya.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi sekaligus dosen pembimbing skripsi. Terimakasih atas kesabarannya dan selalu welcome ketika ditemui serta selalu membantu untuk memberi jalan keluar ketika ada kesusahan dan selalu memberi semangat untuk menyeselaikan skripsi ini.

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M, Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang membantu saya dalam menyelesaikan masa kuliah hingga lulus.

5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang banyak memberikan ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan nasihat hingga akhirnya saya bisa lulus serta mendapatkan nilai-nilai yang berharga.


(13)

6. Bapak M. Sitorus dan Mama Darma Gultom yang selalu menguatkan dalam kondisi apapun dan yang selalu menerima kekuranganku. Terimakasih atas cinta dan kasih sayang kalian kepada ku. Jika diberikan kehidupan lagi aku akan tetap ingin kalian sebagai orangtua ku karena gak ada yang sesempurna kalian.

7. Abang Bobby Andrian Sitorus, yang selalu menghibur dan memberikan lelucon yang selalu membuatku tersenyum. Terimakasih sudah menjadi saudara satu-satunya yang nyebelin dan ngangenin.

8. Kepada sekolah tempat saya penelitian. Terimakasih telah mengijinkan saya melakukan penelitian dengan sambutan yang hangat.

9. Seluruh subjek penelitian. Terimakasih telah membantu atas kesediannya untuk mau terlibat dalam penelitian ini.

10.Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Sanata Dharma. Terimakasih atas pelayanannya yang hangat dan ramah. Karyawan perpustakaan Universitas Sanata Dharma.

11.Mbak Lina, Terimakasih kakak perempuanku buat segalanya.

12.Tante Hotmian Gultom dan Tante Agus Nadeak yang mau membantuku selama pengerjaan skripsi ini.

13.Kepada sahabat-sahabatku, Noviana Ishak dan Melissa Hooru. Terimakasih sudah mau menjadi tempat yang nyaman dalam hal apapun dan dukungan kalian selama ini.


(14)

14.Kepada adik-adik sepupu yang sudah membantuku selama penelitian dan memberikan semangat dalam pengerjaan skripsi Miranda Sianipar dan Artika Sianipar.

15.Teman-teman bimbingan, semangat kita semua pasti bisa. Jangan menyerah. 16.Teman-teman angkatan 2012 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

terimakasih atas dinamika yang luar biaasa ini selama kurang lebih empat tahun ini.

17.Teman-teman kos, terimakasih teman satu atap yang selalu memberi semangat.

18.Terimakasih kepada Tobi yang selalu sabar dalam membantu ku mengerjakan skripsi. Jasa mu tidak akan ku lupakan.

19.Tak lupa juga terimakasih pada Libgen dan Google Translate yang membantu saya dalam mencari jurnal dan menerjemahkan jurnal tersebut.

20.Seluruh pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan. Terimakasih. Tuhan memberkati.

Yogyakarta, 30 Agustus 2016

Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .. ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8


(16)

2. Manfaat Teoritis ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Impulsive Buying ... 9

1. Definisi Impulsive Buying ... 9

2. Aspek-aspek Impulsive Buying ... 11

3. Faktor-faktor Impulsive Buying ... 15

B. Kepribadian Neurotik ... 21

1. Definisi Kepribadian Neurotik ... 21

2. Kebutuhan-kebutuhanKepribadian Neurotik ... 22

3. Tipe-tipe Kepribadian Neurotik ... 25

C. Remaja ... 28

1. Definisi Remaja ... 28

2. Tahap Perkembangan Remaja ... 30

D. Dinamika Hubungan Kepribadian Neurotik dengan Impulsive Buying.32 F. Hipotesis ... 37

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 39

C. Definisi Operasional ... 40

1. Impulsive Buying ... 40

2. Kepribadian Neurotik ... 40


(17)

E. Prosedur Penelitian ... 42

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 43

G. Validitas dan Reliabilitas ... 46

H. Metode Analisis Data ... 52

1. Uji Asumsi ... 51

2. Uji Hipotesis ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Pelaksanaan Penelitian ... 54

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 55

C. Deskripsi Data Penelitian ... 56

D. Hasil Analisis Data ... 59

1. Uji Asumsi Penelitian ... 59

2. Uji Linearitas ... 63

3. Uji Hipotesis ... 66

E. Pembahasan ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 74

1. Bagi Remaja ... 74

2. Bagi Orang Tua ... 75

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 75


(18)

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rangkuman dari Kecenderungan Kepribadian Neurotik Horney ... 27

Tabel 2. Skor Favorabel Skala Impulsive Buying dan Kepribadian Neurotik ... 44

Tabel 3. Sebaran Aitem Skala Impulsive Buying ... 45

Tabel 4. Sebaran Aitem Skala Kepribadian Neurotik ... 46

Tabel 5. Sebaran Aitem Skala Impulsive Buying Setelah Seleksi Aitem ... 50

Tabel 6. Sebaran Aitem Skala Kepribadian NeurotikSetelah Seleksi Aitem... 51

Tabel 7. Deskripsi Subjek Penelitian ... 55

Tabel 8. Data Teoritik dan Mean Empirik ... 56

Tabel 9. One Sample T-Test Mean Teoritik dan Mean Empirik Skala Impulsive Buying ... 57

Tabel 10. One Sample T-Test Mean Teoritik dan Mean Empirik Skala Kepribadian Neurotik ... 57

Tabel 11. Hasil Uji Normalitas ... 59

Tabel 12. Hasil Uji Linearitas Kepribadian Compliant dan Impulsive Buying ... 63

Tabel 13. Hasil Uji Linearitas Kepribadian Aggressive dan Impulsive Buying .... 64

Tabel 14. Hasil Uji Linearitas Kepribadian Detached dan Impulsive Buying ... 65

Tabel 15. Hasil Uji Hipotesis Kepribadian Compliant dan Impulsive Buying ... 67

Tabel 16. Hasil Uji Hipotesis Kepribadian Aggressive dan Impulsive Buying ... 68


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Grafik Inflasi Kota Tarakan Oktober 2015 ... 4

Gambar 2 Histogram Kepribadian Impulsive Buying ... 60

Gambar 3 Histogram Kepribadian Compliant ... 61

Gambar 4 Histogram Kepribadian Aggressive ... 62

Gambar 5 Histogram Kepribadian Detached ... 63

Gambar 6 Scatterplot Kepribadian Compliant dan Impulsive Buying ... 64

Gambar 7 Scatterplot Kepribadian Aggressive dan Impulsive Buying... 65


(21)

DAFTAR SKEMA


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Statistik Deskriptif dan One Sample T-test... 84 Lampiran 2. Uji Normalitas ... 87 Lampiran 3. Uji Linearitas ... 90 Lampiran 4. Uji Hipotesis ... 94 Lampiran 5. Reliabilitas Skala ... 97 Lampiran 6. Skala Penelitian ... 103 Lampiran 7. Surat Izin Penelitian... 114


(23)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam sebuah acara FGD (Focus Group Discussion) yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 8 Agustus 2015 menyatakan bahwa masyarakat Indonesia semakin konsumtif dan mulai meninggalkan kebiasaan untuk menabung. Hal tersebut tercermin menurunnya Marginal Propensity to Save (MPS) atau kecenderungan untuk menabung dalam 3 tahun terakhir dan naiknya Marginal Properity to Consume (MPC) atau kecenderungan menggunakan uangnya untuk berbelanja. Tercatat bahwa Indonesia memiliki rasio Gross National Saving per GPD (Gross Product Domistic) yaitu sebesar 30,87 %. Berbeda dengan China sebesar 48,87%, Singapura 46,73% dan Korea yakni 35,11%. Berdasarkan hasil rasio tersebut Indonesia berada di bawah sehingga mengakibatkan nilai barang dan jasa yang dihasilkan mengalami penurunan (kompas.com).

Di tahun yang sama yaitu 2015, Lembaga Riset Kandence International Indonesia mengungkap bahwa sebanyak 28% masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan konsumtif. Berdasarkan hasil riset tersebut menunjukkan bahwa 1

4 masyarakat Indonesia memiliki gaya hidup yang konsumtif. Riset tersebut dilakukan dengan mencatat pengeluaran bulanan setiap responden dan


(24)

kebanyakan dari responden membelanjakan uang di luar dari perencanaan dalam jumlah yang besar dan terkejut dengan pengeluarannya (Lifestyle.bisnis.com). Pembelian yang dilakukan tanpa perencanaan sebelumnya disebut sebagai

impulsive buying (Hawkins, 2014).

Impulsive buying merupakan pembelian yang tidak rasional dan

dilakukan dengan cepat atau spontan dan sebelumnya tidak direncanakan, diikuti oleh konflik pikiran dan dorongan emosional yang tidak dapat dilawan untuk melakukan pembelian (Verplanken & Herabadi, 2001). Dorongan emosional yang tidak dapat dilawan karena adanya perasaan yang intens untuk melakukan pembelian dengan segera, sehingga mengabaikan dampak negatif dan merasakan puas ketika membeli, namun mengalami konflik di dalam pemikiran (Rook dalam Verplanken & Herabadi, 2001).

Impulsive buying dapat dilakukan oleh siapa pun tak terkecuali remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Surindo (dalam Anin, Rasimin, & Atamimi, 2008) menyatakan bahwa remaja merupakan penyumbang terbesar dalam perilaku belanja yang konsumtif. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Loudon dan Bitta (dalam Ambarwati & Safitri, 2011) mengemukakan bahwa remaja adalah kelompok yang berorientasi konsumtif. Rawling, Boldero, dan Wiseman (dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011) menemukan bahwa individu yang berusia muda cenderung lebih impulsif dibandingkan individu yang berusia tua.

Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju pada masa dewasa. Menurut Santrock (2007) masa perkembangan remaja tengah


(25)

memiliki rentang usia 15-18 tahun. Pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang sangat pesat baik secara fisik, psikologis, dan sosial. Perkembangan yang sangat pesat membuat remaja cenderung berpikir secara abstrak dan tergesa-gesa. Sifat remaja inilah yang membuat remaja mudah terpengaruh oleh iklan atau tagline yang diberikan kepadanya sehingga para remaja cenderung impulsif. Dari hasil riset, sebagian besar sasaran utama iklan adalah remaja karena karakteristik remaja yang masih labil sehingga mudah dipengaruhi untuk melakukan impulsive buying (Anin, Rasimin, & Atamimi, 2008).

Salah satu fenomena impulsive buying juga terjadi di Kota Tarakan, seperti yang dilansir oleh Kaltim.co.id bahwa daya beli di Tarakan cukup tinggi karena meningkatnya jumlah penduduk di Tarakan membuat Tarakan semakin maju dan berkembang baik dari segi teknologi maupun fashion. Penduduk Tarakan lebih didominasi oleh penduduk muda yang berusia 15-50 tahun sebesar 66,39% (BPS(Badan Pusat Statistika), 2015). Daya beli yang cukup tinggi tercermin pada grafik inflasi Tarakan yaitu:


(26)

Gambar 1. Grafik Inflasi Kota Tarakan Oktober 2015

Grafik inflansi tersebut menunjukkan bahwa tingginya kelompok komoditi sandang dibandingkan kelompok komoditi-komoditi lainnya. Menurut Siswandari (2005) bahwa pakaian merupakan produk yang paling banyak dikonsumsi secara impulsif dengan presentase sebesar 42,42%. Fashion

merupakan salah satu elemen penting untuk mendukung penampilan remaja agar dapat diterima oleh kelompoknya (Hurlock dalam Anin, Rasimin, & Atamimi, 2008).

Menurut Sarwono (2011) remaja akan melakukan hal apapun untuk dapat menunjang penampilannya agar mendapatkan perhatian sehingga dapat diterima oleh teman sebaya atau kelompoknya. Remaja sadar bahwa dukungan sosial teman sebaya akan sangat dipengaruhi oleh penampilan dan juga berdasarkan benda-benda yang dimilikinya (Hurlock, dalam Anin, Rasimin, & Atamimi, 2008). Menurut Mappiare (1982) perilaku remaja yang menambah penampilan


(27)

dirinya dalam kelompoknya adalah karena mengikuti trend yang diminati oleh kelompok sebayanya. Trend yang semakin hari semakin berkembang membuat remaja semakin impulsif dalam membeli barang-barang yang menunjang dirinya khususnya fashion. Menurut Mappiare (1982) fashion merupakan salah satu hal yang tidak boleh dilupakan dalam menunjang penampilannya. Sama halnya dengan remaja yang cukup mementingkan fashion untuk menunjang penampilannya sehingga membuat remaja akan lebih mudah melakukan

impulsive buying pada produk fashion.

Impulsive buying dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu karakteristik produk, faktor marketing, dan karakteristik konsumen antara lain; kepribadian konsumen dan demografis konsumen (Loudon & Bitta dalam Anin, Rasimin, & Atamimi, 2008). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi impulsive buying

adalah kepribadian. Menurut Verplanken & Herabadi (2001) bahwa impulsive buying memiliki kecenderungan umum yang sangat berakar pada kepribadian seseorang. Kepribadian individu merupakan aspek psikologis yang terkait dengan kecenderungan impulsive buying. Kepribadian merupakan panduan konsumen dalam memilih cara untuk memenuhi tujuannya dalam berbagai situasi yang berbeda termasuk bagaimana cara konsumen memandang dirinya sendiri dalam menentukan pilihan produk yang akan dibeli (Ferrinadewi, 2008). Menurut Hall dan Lindzey (1993) kepribadian adalah sesuatu yang memberikan tata tertib dan keharmonisan terhadap segala macam tingkah laku berbeda-beda yang dilakukan oleh individu.


(28)

Penelitian sebelumnya mengenai impulsive buying dengan kepribadian yang dilakukan oleh Verplanken dan Herabadi (2001) mengatakan bahwa

impulsive buying memiliki kecenderungan umum yang berakar pada kepribadian

seseorang. Kecenderungan umum yang berakar pada kepribadian membuat

impulsive buying berkorelasi dengan kepribadian. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Shahjehan, Qureshi, Zeb, & Saifullah (2012) menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara impulsive buying dengan kepribadian. Kemudian, menurut Herabadi (dalam Badgaiyan & Verma, 2014) menyatakan bahwa kepribadian (Big Five) berkorelasi positif dengan impulsive buying.

Dari berbagai macam teori tentang perkembangan kepribadian, salah satunya adalah teori kepribadian Karen Horney yaitu kepribadian neurotik. Menurut Horney, kepribadian neurotik merupakan dasar dari berkembangnya kecemasan. Kecemasan dasar tersebut dari pengalaman masa lalu yaitu ketika masa kanak-kanak yang berkaitan dengan orang tua sehingga memunculkan kecemasan dasar (basic hostility) (dalam Hidayat, 2011). Horney membagi kepribadian neurotik menjadi tiga tipe yaitu compliant (penurut), aggressive, dan

detached (terpisah). Compliant adalah individu dengan kepribadian mengalah yang menampilkan sikap dan perilaku yang bergerak menuju orang lain untuk mendapatkan kasih sayang dan dukungan. Aggressive adalah kepribadian yang bergerak melawan orang lain dengan tampil kuat dan tampil semenarik mungkin agar menjadi pusat perhatian. Sedangkan detached adalah individu yang memiliki kepribadian yang terpisah dengan perilakunya diarahkan untuk


(29)

bergerak menjauhi orang lain agar dapat menjaga jarak emosional (dalam Hidayat, 2011).

Horney berpendapat bahwa tipe kepribadian neurotik compliant memiliki kebutuhan untuk menyenangkan orang lain dan berbuat sesuai dengan harapan-harapan orang lain sehingga orang lain dapat menerimanya agar ia dapat memperoleh cinta serta individu ini merupakan seorang yang sangat peka terhadap penolakan. Selain itu, tipe kepribadian aggressive memiliki kebutuhan ingin dikagumi dan dipuja oleh orang lain sehingga ia akan menampilkan diri semenarik mungkin agar orang lain memperhatikan dirinya. Tipe kepribadian

detached memiliki kebutuhan untuk berdiri sendiri dan bebas dengan melakukan pemisahan diri kepada orang lain agar tidak terikat oleh siapapun atau apapun (dalam Hall & Lindzey, 1993). Hal ini merupakan ciri yang dapat meningkatkan kemungkinan individu untuk melakukan perilaku impulsive buying untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Berdasarkan paparan tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan dari kepribadian neurotik dan impulsive buying

pada remaja.

B. Rumusan masalah

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah kepribadian neurotik berhubungan dengan impulsive buying pada remaja di Tarakan.


(30)

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepribadian neurotik dan impulsive buying pada remaja di Tarakan.

D. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu : 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan teoritis bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang perilaku konsumen dan psikologi kepribadian, yaitu impulsive buying dan kepribadian neurotik 2. Manfaat praktis

Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi remaja untuk mengetahui kepribadian neurotik dan perilaku impulsive buying. Hasil penelitian juga dapat dijadiakan sebagai bahan refleksi dan evaluasi diri bagi remaja dalam perilaku belanja.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. IMPULSIVE BUYING

1. Definisi Impulsive Buying

Rook dan Gardner (dalam Muruganantham & Bhakat, 2013)

mendefinisikan impulsive buying sebagai perilaku yang tidak direncanakan

melibatkan pengambilan keputusan yang cepat dan kecenderungan untuk segera mendapatkan produk tersebut. Rook (1987) berpendapat bahwa

selama melakukan impulsive buying, konsumen akan mengalami keinginan

sesaat, kuat dan gigih. Hal ini ditandai dengan dorongan membeli sebagai suatu yang tidak diinginkan, dan reaksi yang tidak reflektif yang terjadi

segera setelah terkena rangsangan oleh suatu stimulus. Pembelian yang tidak

direncanakan ini membuat konsumen membeli suatu produk tanpa mengevaluasi kegunaan produk tersebut (Vohs & Faber, Parboteeah dalam Vishnu & Raheem, 2012). Hal ini dikarenakan konsumen didorong oleh keinginan sehingga ia akan melakukan tindakan membeli secara spontan tanpa melalui berbagai pertimbangan (Kipnis, Reich, Winshie, dalam Rook, 1987).

Hal senada juga dikemukakan oleh Muray (dalam Anin, Rasimin & Atamimi, 2008) impulsive buying didefinisikan sebagai kecenderungan


(32)

individu untuk membeli secara spontan, reflektif, atau kurang melibatkan pikiran, segera, dan kinetik. Kecenderungan konsumen untuk membeli secara spontan ini dapat menghasilkan pembelian ketika konsumen percaya bahwa tindakan tersebut adalah hal yang wajar (Rook & Fisher, dalam Solomon 2009).

Impulsive buying ditandai dengan pembelian suatu item dengan sedikit

atau tidak adanya musyawarah pada pembelian yang tiba-tiba dan dengan

dorongan kuat (Blok & Morwitz, dalam Muruganantham & Bhakat, 2013).

Kacen dan Lee (2002) menyatakan bahwa perilaku impulsif lebih membangkitkan gairah dan tak tertahankan tetapi kurang konsultatif jika dibandingkan dengan perilaku pembelian yang direncanakan.

Menurut Barratt (dalam Shahjehan, Qureshi, Zeb, & Saifullah, 2012) impulsivitas adalah kepribadian didefinisikan sebagai kecenderungan bertindak tanpa pemikiran, membuat keputusan secara cepat, dan gagal untuk menghargai keadaan di luar dan sekarang. Tindakan tanpa pemikiran dan pertimbangan tersebut didorong oleh Impulsive sehingga seseorang akan melakukan sesuatu tindakan tanpa pertimbangan yang cermat mengenai lingkungannya secara objektif dan tanpa mempertimbangankan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan (Kipnis, Reich, & Winshie, dalam Rook, 1987). Dorongan untuk membeli adalah perilaku hedon yang kompleks dan dapat merangsang emosional juga impulsive buying rentan terjadi sehubungan berkurangnya konsekuensi (Rook, 1987: 191). Dalam pendapat


(33)

yang sama, Hoch dan Loewenstein (dalam Muruganantham & Bhakat, 2013) menjelaskan impulsive buying sebagai perjuangan antara kekuatan psikologis keinginan dan kemauan.

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa impulsive buying adalah perilaku belanja yang didorong oleh keinginan dalam diri tanpa adanya perencanaan, spontan, segera dalam melakukan pembelian dengan tidak adanya pertimbangan kegunaan dan konsekuensi dari pembelian tersebut.

2. Aspek-aspek Impulsive Buying

Perilaku impulsive buying didasari oleh dua aspek yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua aspek ini merupakan komponen yang muncul daari dalam diri pembeli sehingga membentuk suatu perilaku impulsive buying

(Verplanken & Herabadi, 2009). a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif pada impulsive buying adalah ketika konsumen melakukan impulsive buying konsumen kurang atau tidak merencanakan dan mempertimbangkan konsekuensi atas pembelian yang dilakukan serta tidak memikirkan tujuan dari pembelian yang dilakukan (Verplanken & Herabadi, 2001). Konsumen cenderung mudah terpengaruh oleh harga produk yang ditawarkan dan keuntungan yang


(34)

diperoleh ketika membeli produk tersebut (Verplanken, Herabadi & Knippenberg, 2009).

Shiv dan Fedorikhin (dalam Verplanken & Knippenberg, 2001) menunjukkan bahwa sumber daya kognitif yang terbatas dapat mengakibatkan konsumen membuat pilihan untuk melakukan impulsive buying. Hal ini juga diungkapkan oleh Coley (2002) bahwa proses kognitif terdiri dari tiga komponen, yaitu pertama cognitive deliberation, yaitu keadaan di mana konsumen merasakan sebuah dorongan untuk bertindak (membeli) tanpa adanya pertimbangan ataupun memikirkan konsekuensi dari tindakannya tersebut. Selanjutnya

unplanned buying, yaitu keadaan di mana konsumen kurang atau tidak memiliki rencana yang jelas ketika berbelanja. Terakhir, disregerd for future, yaitu keadaan di mana konsumen yang melakukan impulsive

buying tidak memikirkan atau mengabaikan masa depan. Sebagai

contoh, ketika konsumen sedang berada di pusat perbelanjaan dan kemudian ia melihat diskon di salah satu toko, konsumen tersebut akan segera melihat produk itu dan membeli barang tersebut. Padahal sebelumnya ia sama sekali tidak merencanakan untuk membeli produk tersebut. Pada saat konsumen hendak melihat produk diskon, proses kognitif konsumen bekerja dan ketika konsumen tertarik pada salah satu produk secara tiba-tiba konsumen tersebut membeli tanpa adanya perencanaan sebelumnya. Pada saat konsumen membayar produk


(35)

tersebut, proses kognitif terabaikan. Hal ini dikarenakan konsumen kurang atau tidak merencanakan dan memikirkan resiko serta tujuan dari pembelian produk tersebut (Verplanken & Knippenberg, 2001).

b. Aspek Afektif

Aspek afektif berkaitan dengan emosi, perasaan senang, gembira, dan adanya dorongan untuk yang muncul untuk segera memiliki sesuatu yang disukai tanpa adanya perencanaan sebelumnya, serta kurangnya kontrol sehingga mengakibatkan penyesalan setelah membeli (Verplanken & Herabadi, 2001). Ketika pembelian yang tidak terencana telah dilakukan, konsumen akan memunculkan perasaan menyesal, misalnya membuang-buang uang dengan membeli produk yang tidak bermanfaat (Dittmar & Drury, 2000).

Menurut Coley (2002) proses afektif memiliki tiga komponen yaitu, pertama irresistible urge to buy, keinginan konsumen yang instan, dan memaksa konsumen secara terus menerus untuk segera mendapatkan produk tersebut, sehingga membuat konsumen tidak dapat menahan diri untuk memiliki produk tersebut. Kedua, positive buying emotion, keadaan suasana hati yang positif dari hasil impulsive buying

yang dilakukan untuk memuaskan dirinya. Konsumen cenderung akan melakukan impulsive buying lagi untuk mempertahankan suasana hati yang menyenangkan. Terakhir, mood management, konsumen


(36)

melakukan impulsive buying didorong oleh keinginan konsumen untuk mengubah atau menata perasaan atau suasana hatinya.Sebagai contoh, seorang wanita remaja yang sedang berada di pusat perbelanjaan melihat barang yang disukai, konsumen merasa ada desakan untuk segera memiliki produk tersebut sehingga dapat memuaskan hasratnya walaupun sebenarnya produk tersebut tidak memiliki manfaat bagi dirinya. Menurut Hirschman & Holbrook (2009) ketika konsumen melakukan impulsive buying, konsumen akan mengabaikan aspek kognitif dan lebih mengikuti aspek afektif seperti lebih mengikuti keinginan emosional (dalam Verplanken & Knippenberg, 2001).

Berdasarkan kedua aspek tersebut, dapat disimpulkan bahwa aspek impulsive buying adalah aspek kognitif dan aspek afektif. Dalam

impulsive buying aspek kognitif adalah konsumen yang kurang atau tidak memiliki perencanaan dalam melakukan suatu pembelian sehingga pada saat konsumen melakukan impulsive buying konsumen tidak memikirkan resiko dan tujuan dari pembelian produk tersebut. Sedangkan, aspek afektif adalah konsumen yang melakukan impulsive buying didasari atas emosi, misalnya tertarik dan menyukai pada produk, serta timbul rasa senang dan adanya desakan untuk segera memiliki produk tersebut, serta setelah membeli produk itu konsumen mengalami penyesalan.


(37)

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Impulsive Buying

Secara umum, impulsive buying dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

a. Faktor Eksternal

Faktor eksternal impulsive buying merujuk pada isyarat pemasaran atau rangsangan yang ditempatkan dan dikendalikan oleh pemasar dalam upaya untuk memikat konsumen dalam perilaku pembelian (Youn dan Faber, 2000). Stimulis eksternal terkait dengan belanja dan lingkungan pemasaran. Lingkungan toko seperti ukuran toko, suasana, dan desain, sementara lingkungan pemasaran adalah berbagai aktivitas penjualan dan iklan. Impulsive buying dapat diinduksi ketika seorang konsumen bertemu dengan rangsangan visual yang relevan dalam lingkungan ritel, atau rangsangan promosi (Piron, 1991). Impulsive buying dianggap sebagai skenario belanja dengan promosi penjualan yang inovatif, pesan yang kreatif dan penggunaan teknologi yang tepat di ritel toko-toko (Schiffman, 2010).

Berbagai rangsangan dalam toko baik secara langsung atau tidak langsung sangat mempengaruhi pelanggan. Suasana toko yang dipengaruhi oleh atribut seperti pencahayaan, tata letak, presentasi barang yang akan dijual, lantai, warna, suara, bau, pakaian dan tenaga pelayanan. Lingkungan toko yang menyenangkan sangat merangsang dan


(38)

menyebabkan peningkatan impulsive buying (Hoyer dan MacInnis, 1999). Penampilan produk dan adanya musik juga berpengaruh secara eksternal pada pelanggan (Verplanken dan Herabadi, 2001).

Xu (2007) menyatakan bahwa lingkungan toko mempengaruhi kondisi emosional konsumen yang dapat menyebabkan impulsive buying

dalam toko. Rook dan Hoch (1985) menekankan bahwa impulsive buying

benar-benar dimulai dengan sensasi dan persepsi konsumen yang didorong oleh stimulus eksternal, dan diikuti oleh dorongan tiba-tiba untuk membeli (saya lihat saya ingin membeli).

Mattila dan Wirtz (2008) menemukan bahwa rangsangan lingkungan toko mempengaruhi secara positif perilaku pembelian impuls terutama ketika lingkungan toko dianggap sebagai over-stimulating hormone (kegembiraan dan stimulasi). Rangsangan di lingkungan ritel toko cenderung mempengaruhi emosi konsumen (Donovan dan Rossiter, 1982), yang merupakan variabel lain yang ditemukan untuk mempengaruhi impulsive buying (Rook 1987; Zhou dan Wong 2003). Baumeister (2002) berpendapat bahwa gairah yang tinggi dan

overstimulasi mengurangi regulasi diri dan juga cenderung mengurangi kemampuan orang berpikir melalui tindakan mereka yang selanjutnya dapat meningkatkan peluang impulsive buying.

Gupta (dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013) menyatakan bahwa pada ukuran toko-toko besar, display produk dan harga produk


(39)

yang menjadi rangsangan utama dalam toko. Pada ukuran toko-toko kecil, harga produk merupakan faktor utama yang menarik impulsive buying. Merchandise ritel langsung memotivasi konsumen untuk membeli suatu produk. Kegiatan merchandising bertindak sebagai salesman yang diam di ritel outlet (Muruganantham dan Kaliyamoorthy, 2005). Hulten & Vanyushyn (2011) juga mengamati bahwa pembeli yang impulsif memberikan perhatian lebih pada display di dalam toko.

Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi munculnya impulsive buying adalah lingkungan seperti lingkungan toko dan lingkungan pemasaran (marketing), promosi penjualan, merchandise ritel, stimulus sensori, dan pelayanan toko.

b. Faktor Internal

Faktor internal impulsive buying menunjukkan isyarat internal pada individu dan karakteristik yang membuat seseorang terlibat dalam

impulsive buying. Rangsangan internal terkait dengan kepribadian individu dibandingkan dengan lingkungan toko atau rangsangan yang diberikan. Menurut Schiffman (2008) kepribadian didefinisikan sebagai suatu organisasi yang unik dan dinamis dari karakteristik orang tertentu, fisik dan psikologis yang mempengaruhi perilaku dan tanggapan terhadap lingkungan fisik dan sosial. Kepribadian merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi individu dalam melakukan impulsive buying


(40)

(Rook & Fisher, dalam Karbasivar & Yarahmadi, 2011). Ketika seseorang hendak membeli suatu produk, orang akan memiliki nilai dan makna berbeda. Secara khusus, beberapa produk dapat berfungsi sebagai simbol, misalnya dari gaya hidup atau kepribadian tertentu (Belk, Dittmar, Higgins, dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009). Hal ini didukung oleh pendapat Rook dan Hoch (dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013) yang mengatakan bahwa sesungguhnya yang mengalami impulsive buying selama berbelanja adalah orang itu sendiri dan bukan dari produk tersebut.

Lain halnya dengan pendapat dari Sneath, Lacey, & Kennett-Hansel (dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013) mengatakan bahwa

impulsive buying dapat diinduksi karena depresi dan upaya untuk meningkatkan mood. Verplanken dan Herabadi (2001) menemukan hasil yang sama dalam studi yang menyatakan bahwa impulsive buying sering dikaitkan dengan individu yang ingin melarikan diri dari persepsi negatif seperti rendah diri, perasaan negatif, atau suasana hati. Berbagai rangsangan yang dihasilkan seperti pengalaman konsumen sendiri dan emosi juga bertanggung jawab pada impulsive buying (Hirschman, dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013). Weinberg dan Gottwald (dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013) berpendapat bahwa impulsive buying

memunculkan perasaan yang lebih besar dari hiburan, kesenangan, antusiasme, dan sukacita. Chang, Eckman, & Yan, (2011) juga


(41)

berpendapat bahwa konsumen yang memiliki respon emosi yang lebih positif pada lingkungan ritel lebih mungkin untuk melakukan impulsive buying.

Impulsive buying atau membeli dengan sedikit atau tanpa perencanaan sebelumnya juga merupakan bentuk keterlibatan yang rendah dalam pengambilan keputusan (Michael, William, & Pandit, dalam Muruganantham dan Bhakat, 2013). Youn dan Faber (2000) menunjukkan bahwa impulsive buying mungkin berasal dari sifat-sifat konsumen seperti impulsif, kenikmatan berbelanja, atau kurangnya kontrol diri. Shen dan Khalifa (2012) mengamati bahwa kognisi konsumen berhubungan antara impulsive buying dan perilaku impulsif yang sebenarnya.

Selain itu, Hausman (2000) berpendapat bahwa impulsive buying

merupakan kebutuhan hedonis yang termotivasi oleh pencapaian yang lebih tinggi, kebutuhan yang dikelompokkan dari teori Maslow 'hierarki kebutuhan'. Upaya tersebut untuk memenuhi urutan tertingginya kebutuhan untuk berbagai jenis perilaku impulsive buying. Sharma, Sivakumaran, & Marshall (2010) mengkategorikan impulsive buying

sebagai perilaku hedonis yang berhubungan dengan perasaan dan motivasi psikososial bukannya pikiran dan manfaat fungsional. Beatty dan Ferrell (1998) mengemukakan bahwa impulsive buying dikaitkan dengan stimulasi sensorik dan motivasi hedonis.


(42)

Loudon dan Bitta (dalam F, BS, & Atamimi, 2008) juga mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi Impulsiveve buying, yaitu:

a. Produk dengan karakteristik harga murah, kebutuhan kecil atau

marginal, produk jangka pendek, ukuran kecil, dan toko yang mudah dijangkau.

b. Pemasaran dan marketing yang meliputi distribusi dalam jumlah banyak

outlet yang self service, iklan melalui media massa yang sangat sugestibel dan terus menerus, iklan di titik penjualan, posisi display dan lokasi toko yang menonjol.

c. Karakteristik konsumen seperti kepribadian, jenis kelamin, sosial

demografis atau karakteristik sosial ekonomi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang dapat mempengaruhi munculnya impulsive buying adalah kepribadian, emosi, kebutuhan hedonis, dan evaluasi.


(43)

B. KEPRIBADIAN NEUROTIK 1. Definisi Kepribadian Neurotik

Menurut Chaplin (dalam Rahma, Lestari, & Faziah, 2013) kepribadian neurotik adalah suatu organisasi kecenderungan yang berorientasi pada perolehan jaminan keamanan dan perlindungan secara maksimum. Kecenderungan ini muncul karena adanya kecemasan dasar (basic anxiety) dalam diri. Horney mendefinisikan kecemasan dasar sebagai perasaan terisolasi dan tidak berdaya dalam dunia yang dipahami secara potensial bermusuhan (dalam Supratiknya, 1993). Ketidakberdayaan tersebut membuat ia terperengkap dalam kebutuhan-kebutuhan kompulsif untuk mengurangi kecemasan (dalam Olson & Hergenhahn, 2011)

Menurut Horney akar dari kepribadian neurotik ditemukan di dalam hubungan orangtua dan anak. Sebelumnya anak tidak diberikan rasa aman dan kepuasaan akan cinta sehingga anak akan mengembangkan perasaan permusuhan dasar (basic hostility) terhadap orang tuanya. Permusuhan dasar ini mengarah pada perasaan yang tidak aman yang kuat dan kecemasan yang samar-samar (dalam Olson & Hergenhahn, 2011). Semakin ia menyembunyikan permusuhan dan perasaan dendamnya terhadap keluarganya, semakin juga ia memproyeksikan kecemasannya pada dunia luar dan orang-orang disekitarnya (dalam Semiun, 2012).

Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian neurotik adalah munculnya kecemasan dasar karena tidak memperoleh


(44)

jaminan keamanan dan perlindungan dari orang tua sehingga mengembangkan permusuhan dasar yang kemudian direpresi membuat individu tersebut terperangkap pada kebutuhan-kebutuhan kompulsif untuk mengurangi kecemasan tersebut.

2. Kebutuhan-Kebutuhan Neurotik

Horney (dalam Feist & Feist, 2012) menemukan sepuluh kategori kebutuhan neurotik yang menggambarkan orang-orang neurotik dalam usahanya untuk melawan kecemasan dasar tersebut. Dalam kesepuluh kebutuhan ini, satu orang dapat menerapkan lebih dari satu kebutuhan. Masing-masing kebutuhan-kebutuhan neurotik berhubungan dengan orang lain dalam berbagai cara, yakni:

a. Kebutuhan neurotik akan kasih sayang dan penerimaan diri

Kebutuhan ini ingin mendapatkan kasih sayang dan penerimaan diri dari orang lain, orang-orang neurotik berusaha dengan cara apapun untuk menyenangkan orang lain. Mereka berusaha memenuhi harapan orang lain, cenderung takut untuk mengatakan bahwa dirinya benar ( self-assertion) dan cenderung kurang nyaman dengan permusuhan dengan orang lain dan kepada dirinya.

b. Kebutuhan neurotik akan rekan yang kuat

Kurangnya kepercayaan diri membuat orang-orang neurotik berusaha mendekatkan dirinya dengan pasangan yang lebih kuat. Dalam hal ini


(45)

mereka memiliki peniliaian yang tinggi tehadap cinta dan takut jika sendirian atau ditinggalkan.

c. Kebutuhan neurotik untuk membatasi hidupnya dalam lingkungan yang sempit

Orang-orang neurotik berusaha untuk tidak menonjol atau biasanya cenderung menempati posisi kedua. Ia akan merasa puas dengan stimulus yang sangat sedikit. Orang-orang neurotik menurunkan kemampuannya ketingkat yang lebih rendah dan takut membuat permintaan yang dirasanya membebani orang lain.

d. Kebutuhan neurotik akan kekuasaan

Kekuasaan dan kasih sayang merupakan kebutuhan yang paling besar bagi neurotik. Kebutuhan akan kekuasaan disertai dengan kebutuhan akan penghargaan sosial dan kepemilikan yang tampak dalam bentuk kebutuhan untuk mengatur orang lain serta menghindari perasaan lemah. e. Kebutuhan neurotik untuk memanfaatkan orang lain

Orang-orang neurotik suka menilai orang berdasarkan bagaimana orang tersebut dapat dimanfaatkan bagi kepentingannya. Namun, disaat yang bersamaan mereka takut untuk dimanfaatkan oleh orang lain.

f. Kebutuhan neurotik akan penghargaan sosial atau gengsi

Kebalikan pada kebutuhan c, di sini orang-orang neurotik berusaha untuk menempati urutan pertama, menjadi orang yang paling penting, dan berusaha mencari perhatian orang lain.


(46)

g. Kebutuhan neurotik akan kekaguman pribadi

Harga diri yang tinggi membuat orang-orang neurotik harus terus ditunjang dengan kekaguman dan penerimaan dari orang lain. Mereka cenderung lebih mengagumi diri mereka dibandingkan dengan apa yang mereka miliki.

h. Kebutuhan neurotik akan ambisi dan pencapaian pribadi

Orang-orang neurotik mempunyai dorongan yang kuat agar menjadi yang terbaik. Mereka berusaha mengalahkan orang lain agar dapat membuktikan kehebatannya.

i. Kebutuhan neurotik akan kemandirian dan kebebasan

Berbeda dengan sebelumnya, orang-orang neurotik berusaha untuk menjauh dari orang lain agar dapat membuktikan bahwa mereka bisa hidup tanpa orang lain.

j. Kebutuhan neurotik akan kesempurnaan dan ketidakmungkinan untuk salah

Orang-orang neurotik berusaha semaksimal mungkin agar menjadi sempurna. Mereka takut jika membuat kesalahan sehingga mereka mereka berusaha untuk menyembunyikan kelemahan mereka dari orang lain.


(47)

3. Tipe-Tipe Kepribadian Neurotik

Berdasarkan kesepuluh kebutuhan tersebut Horney (dalam Olson & Hergenhahn, 2011) mengelompokkan kebutuhan tersebut menjadi tiga kategori umum, yaitu :

a. Mendekati orang lain (compliant)

Kepribadian yang seperti ini disebut sebagai tipe yang penurut. Individu yang memiliki kepribadian ini utamanya memilih untuk selalu mengalah. Tipe ini membutuhkan untuk disukai, dinginkan, dicintai, diharapkan, merasa diterima, menjadi penting bagi orang lain khusunya pada orang tertentu, dan inginnya untuk diperhatikan serta dibimbing terutama pada orang yang kuat atau berpengaruh. Tipe kepribadian ini juga didasari pada permusuhan dasar dengan mencari cinta dan afeksi. Keramahan yang dibuat karena didasarkan kepada agresivitas yang direpresi.

b. Melawan orang lain (aggressive)

Tipe ini merupakan tipe kebalikan dari tipe compliant. Horney menyebut tipe ini adalah tipe bermusuhan yang memiliki kebutuhan akan kekuasaan, mengeksplotasi orang lain, dan seringnya mencari prestise. Tipe bermusuhan ini sama kompulsifnya dengan orang-orang penurut dan tingkah laku mereka juga sama-sama dipicu oleh kecemasan dasar. Individu ini termotivasi oleh keinginan kuat untuk memeras orang lain


(48)

dan memanfaatkan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri serta jarangnya untuk mengakui kesalahannya.

c. Menjauhi orang lain (detached)

Pada tipe kepribadian ini, Horney menyebutnya sebagai tipe menghidar. Individu ini berusaha memisahkan dirinya dari orang lain agar dapat menjaga jarak secara emosional. Ia berusaha menyangkal dan menekan semua perasaannya terhadap orang lain terutama cinta dan kebencian. Baginya keintiman hanya akan membawa konflik sehingga harus dihindari. Individu dengan kepribadian ini berusaha untuk menjaga privasi sebanyak mungkin waktu untuk sendirian karena kebersamaan akan mengganggunya.


(49)

Tabel 1

Rangkuman dari Kecenderungan Kepribadian Neurotik Horney :

Kecenderungan Neurotik

Mendekati orang lain Melawan orang lain Menjauhi orang

lain

Konflik dasar atau sumber dari kecenderungan neurotik Kepribadian penurut (The compliant personality) Kepribadian agresif (The aggressive personality) Kepribadian memisahkan diri (The detached personality) Perasaan ketidakberdayaan Perlindungan dari permusuhan atau ketidakramahan orang lain Perasaan terpisah Kebutuhan neurotik

1. Kasih saying 4. Kekuasaan 9. Kemandirian

dan kebebasan 2. Rekan yang

berpengaruh atau kuat

5. Pemerasan 10.

Kesempurnaan dan gengsi 3. Batasan sempit

dalam hidup

6. Penghargaan dari ketidakmungkinan untuk salah

7. Kekaguman pribadi 8. Pencapaian pribadi

Ciri normal yang serupa

Ramah, penuh cinta kasih Kemampuan untuk bertahan hidup dilingkungan yang kompetitif Mandiri dan tenang


(50)

C. REMAJA

1. Definisi Remaja

Menurut Santrock (2007) masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan masa kanak-kanak dengan dan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun. Pada masa ini terjadi proses pematangan baik itu fisik maupun psikologis. Tidak ada seorang anak yang memasuki masa remaja dalam bentuk daftar kosong, yang hanya memiliki kode genetik yang akan menentukan berbagai pikiran, perasaan, dan perilakunya. Namun, dikombinasi dengan faktor keturunan, pengalaman masa kanak-kanak, dan pengalaman masa remaja, menentukan rangkaian perkembangan remaja.

Menurut Larson (dalam Santrock, 2007) remaja tidak hanya melibatkan pertimbangan mengenai usia, namun juga pengaruh dari sosio-historis. Dengan mempertimbangkan konteks sosio-historis, masa remaja didefinisikan sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, sosi-emosional dan kognitif.

Meurut Piaget (dalam Santrock, 2007) remaja secara kognitif mulai mengembangkan pemikiran operasional formal. Pada tahap ini remaja sudah mulai dapat berpikir abstrak, konkret, logis, dapat menarik kesimpulan dari informasi yang ia dapatkan dari lingkungannya dan dapat menggambarkan keadaan yang ideal. Keadaan ideal tersebut membuat mereka menyadari


(51)

bahwa dirinya merupakan tanggung jawab orang dewasa. Namun, menurut remaja, mereka lebih baik dibandingkan orang dewasa. Sehingga seringkali remaja memiliki perbedaan pendapat dan dapat menjadi konflik.

Santrock (2007) membagi remaja menjadi dua rentang usia. Pertama adalah masa remaja awal dengan rentang usia 10 tahun hingga 13 tahun. Kedua adalah masa remaja akhir dengan rentang usia 18 tahun hingga 22 tahun. Santrock membedakan remaja menjadi dua bagian karena masa remaja akhir telah mencapai transisi perkembangan yang hampir mendekati masa dewasa. Menurut Erikson (dalam Feist & Feist, 2010) masa remaja dibagi menjadi tiga tahapan yakni masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Usia masa remaja awal pada perempuan yaitu 13-15 tahun dan pada laki-laki yaitu 15-17 tahun. Usia pada masa remaja pertengahan pada perempuan yaitu 15-18 tahun dan pada laki-laki yaitu 17-19 tahun. Sedangkan usia masa remaja akhir pada perempuan yaitu 18-21 tahun dan pada laki-laki 19-21 tahun. Selain itu, menurut WHO, remaja adalah orang-orang yang memiliki usia 10 tahun hingga 20 tahun (Sarwono, 2011).

Berdasarkan pengertian remaja yang telah dipaparkan, dapat diambil kesimpulan bahwa masa remaja adalah individu yang berusia 15 tahun hingga 18 tahun. Usia tersebut berada pada tahap remaja madya di mana remaja mengalami kebingungan untuk memilih yang mana, peka atau peduli, kelompok atau sendiri serta optimis atau pesimis.


(52)

2. Tahap Perkembangan Remaja

Masa remaja adalah periode peralihan perkembangan dari anak-anak ke masa dewasa, dimulai sekitar usia 10-12 dan berakhir pada usia 18-21 tahun. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi baik perubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial (Pediatri, 2010). Santrock (2007) mengemukakan dua transisi remaja yaitu pada masa kanak-kanak ke masa remaja dan masa remaja ke masa dewasa.

a. Masa Kanak-Kanak ke Masa Remaja

Masa kanak-kanak ke masa remaja dilalui pada usia 10 tahun hingga 13 tahun. Pada transisi ini sejumlah perubahan terjadi baik secara biologis, kognitif, dan juga sosio-emosional. Remaja mengalami fase pubertas yang ditunjukka melalui perubahan fisik dan perubahan hormonal.

Selain itu, pada masa remaja awal, terjadi perubahan di otak yang memungkinkan kemajuan dalam berpikir. Ketika remaja memasuki transisi ini, mereka mulai berpikir secara lebih egosentris, sering kali memandang dirinya seolah-olah berada di atas pentas, unik, dan tak terkalahkan. Perubahan juga terjadi pada sosio-emosional, meliputi tuntutan untuk mencapai kemandirian, konflik dengan orang tua, dan keinginan lebih banyak untuk meluangkan waktu bersama kawan-kawan sebaya. Menurut Reed Larson dan Maryse Richards (dalam Santrock, 2007) emosi yang dimiliki oleh remaja lebih ekstrem dan berlalu lebih cepat dibadingkan orang dewasa (Santrock, 2007).


(53)

Berdasarkan penelitian dari Blakemore & Mills, 2014; Kar, Vijay, & Mishra, 2013; Steinberg, 2013 dalam King 2016) perubahan otak remaja berfokus pada perkembangan awal amigdala yang meliputi emosi dan perkembangan akhir korteks prafrontal yang berhubungan dengan penalaran dan pengambilan keputusan. Adanya perubahan tersebut membuat remaja memiliki pemikiran yang egosentris (Byrnes & Kuhn, dalam King, 2016). Transisi dari masa kanak-kanak hingga masa remaja bersifat kompleks dan multidimensional yang melibatkan perubahan di berbagai aspek kehidupan (Santrock, 2007).

b. Masa Remaja ke Masa Dewasa

Masa remaja diawali pada segi biologis dan berakhir pada aspek kultural. Artinya, transisi dari masa kanak-kanak hingga remaja dimulai dengan kematangan pubertas, sementara transisi dari remaja menuju dewasa ditentukan oleh standar dan pengalaman budaya. Pada masa ini remaja lebih memperhatikan masa depan seperti karir, mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis, dan eksplorasi identitas lebih menonjol dibandingkan pada masa remaja awal.

Transisi masa remaja hingga masa dewasa dapat berlangsung cukup lama hingga remaja mengembangkan berbagai keterampilan yang lebih efektif untuk menjadi anggota penuh dari suatu masyarakat. Kenneth Kenniston (dalam Santrock, 2007) transisi antara remaja dan masa dewasa


(54)

merupakan masa di mana ekonomi dan kehidupan pribadi bersifat sementara. Selama transisi ini penghasilan mereka sering kali masih rendah dan bersifat sporadis, tempat tinggal merekasering berubah-ubah. Menurut Santrock (2007) rentang usia pada transisi ini adalah 18 tahun hingga 22 tahun.

D. Dinamika Hubungan Kepribadian Neurotik dengan Impulsive Buying

Setiap individu memilki kepribadian yang berbeda-beda. Kepribadian dapat mempengaruhi perilaku baik pada lingkungan sekitar maupun pada kehidupan. Menurut Tom (2015) setiap indvidu memiliki kepribadian yang unik dan memiliki karisma tersendiri yang membedakan perilaku dan adaptasi terhadap lingkungan dari orang lain. Salah satu kepribadian tersebut adalah kepribadian neurotik. Menurut Chaplin (2006) kepribadian neurotik didefinisikan sebagai suatu organisasi kecenderungan yang berorientasi pada perolehan jaminan keamanan dan perlindungan secara maksimum.

Menurut Horney (dalam Olson & Hergenhahn, 2011) kepribadian neurotik dikelompokkan menjadi tiga tipe kepribadian neurotik yaitu compliant, aggressive, dan detached.

Pada tipe kepribadian neurotik yang pertama yaitu compliant. Tipe ini merupakan kepribadian yang penurut, ia selalu berusaha memenuhi harapan orang lain dan menyenangkan orang lain. Hal tersebut dilakukan karena agar ia mendapatkan cinta dan afeksi orang lain. Kepribadian ini sangat peka terhadap


(55)

setiap tanda penolakan dan ketidakramahan dalam (dalam Semiun, 2012). Individu yang memiliki tipe kepribadian compliant yang tinggi cenderung memiliki ketergantungan yang tidak wajar (mood dependency) pada orang yang berpengaruh di kelompoknya atau di lingkungannya.

Tipe kepribadian compliant yang tinggi cenderung mudah untuk dipengaruhi. Mudahnya untuk dipengaruhi disebabkan tipe kepribadian

compliant merupakan tipe yang penurut, sehingga ketika diberikan iklan dengan

tagline untuk membeli produk tersebut akan mendorong individu segera membeli produk yang ditawarkan (Kumar, 2012). Individu yang penurut yang mudah dipengaruhi oleh sekitarnya karena ingin diterima oleh lingkungan sosialnya disebut sebagai konformitas. Menurut Lin & Chen (2012) bahwa individu yang cenderung melakukan konformitas rentan untuk melakukan impulsive buying.

Menurut Beatty dan Ferrell (1998) impulsive buying didefinisikan sebagai perilaku pembelian yang terjadi secara spontan yang dilakukan pada saat itu juga tanpa memiliki rencana sebelumnya untuk membeli produk.

Pada tipe kepribadian neurotik kedua yaitu aggressive. Tipe ini merupakan tipe bermusuhan dengan orang disekitarnya (Horney dalam Olson & Hergenhahn, 2011). Individu yang memiliki tipe kepribadian aggressive yang tinggi cenderung berusaha untuk mendapatkan kekuasaan dengan melakukan apapun untuk mendapatkannya (Horney dalam Coolidge, 2001). Selain itu, individu yang memiliki tipe kepribadian aggressive yang tinggi cenderung memiliki pemikiran-pemikiran untuk selalu memusuhi orang lain, seperti ingin


(56)

selalu mengalahkan orang lain dan menjadi urutan teratas tanpa ada orang lain yang dapat mengungguulinya serta inginya menjadi pusat perhatian dengan cara berpenampilan semenarik mungkin dan diakui oleh lingkungannya tanpa peduli berapa harga yang harus dibayar agar dapat mengungguli orang sekitarnya (dalam Olson & Hergenhahn, 2011). Hal ini mengindikasikan individu yang memiliki tipe kepribadian aggressive yang tinggi rentan melakukan impulsive buying karena inginya berpenampilan menarik agar dapat mengungguli orang lain tanpa peduli dengan harga yang harus dibayar. Hal tersebut juga didukung dengan pendapat dari Rook (1987) bahwa ketika orang melakukan impulsive buying ia tidak peduli atau mengabaikan resiko dari perilakunya.

Tipe kepribadian terakhir adalah detached. Tipe ini merupakan tipe yang menjauh dari orang lain (Horney dalam Feist & Feist, 2012). Individu yang memiliki kepribadian detached yang tinggi cenderung menarik diri dari lingkungannya baik secara emosi dengan orang lain dengan cara apapun baik dalam bentuk cinta, persahabatan, ataupun kompetisi (Horney dalam Coolidge, 2001). Hal ini dilakukan karena suatu ekspresi dari kebutuhan akan kesendirian dan kebebasan. Kecenderungan pada tipe kepribadian detached yang tinggi akan membuat individu tidak mudah terpengaruh oleh lingkungannya dan tidak terikat akan apapun, misalnya sesuatu yang sedang trend. Kecenderungan untuk menarik diri akan relasi sehingga tipe kepribadian ini tidak terikat oleh apapun membuat individu tersebut tidak mudah terpengruh oleh lingkungan.


(57)

E. Skema Hubungan Kepribadian Neurotik dengan Impulsive Buying

1. Skema 1 (Hubungan antara tipe kepribadian compliant dan impulsive buying)

Comliant

Tinggi

Memenuhi harapan orang lain

Takut ditolak

Ketergantungan yang tidak wajar

Penurut

Mudah dipengaruhi

Rendah

Tidak mudah memenuhi harapan orang lain

Bebas

Sulit dipengaruhi

Impulsive buying

tinggi

Impulsive buying


(58)

2. Skema 2 (Hubungan antara tipe kepribadian aggressive dan impulsive buying)

Aggressive

Tinggi

Kekuasaan

Permusuhan

Menjadi yang pertama dengan melakukan apapun

Menjadi pusat perhatian

Tampil menarik

Ketidakpedulian

Rendah

Bersahabat

Ramah

Peduli dengan orang lain

bersaing secara adil

Impulsive buying

tinggi

Impulsive buying


(59)

3. Skema 3 (Hubungan antara tipe kepribadian detached dan impulsive buying)

F. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Terdapat hubungan positif antara tipe kepribadian neurotik compliant

dengan impulsive buying.

2. Terdapat hubungan posittif antara tipe kepribadian neurotik aggressive

dengan impulsive buying.

Detached

Tinggi

Menyendiri

Tidak terikat

Menarik diri dari lingkungan sosial

Tidak mudah terpengaruh

Bebas

Rendah Mau menjalin relasi

Mudah terpengaruh dan ketergantungan

Impulsive buying

rendah

Impulsive buying


(60)

3. Terdapat hubungan negatif antara tipe kepribadian neurotik detached


(61)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif korelasi yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan dengan variabel lainnya. Menurut Santoso (2010), teknik korelasi dilakukan untuk melihat kecenderungan pola pada suatu variabel berdasarkan kecenderungan pola pada variabel yang lain. jika kecenderungan pada suatu variabel selalu diikuti oleh kecenderungan pada variabel lain, dapat dikatakan bahwa kedua variabel tersebut memiliki hubungan atau berkolerasi. Penelitian ini bertujuan menguji hubungan antara kepribadian neurotik dengan impusive buying pada remaja di Tarakan.

B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel Tergantung (Y) : Impulsive buying pada remaja

2. Variabel Bebas (X) : Kepribadian Neurotik, yaitu tipe compliant,


(62)

C. DEFINISI OPERASIONAL 1. Impusive Buying

Impulsive buying adalah perilaku belanja yang didorong oleh keinginan dalam diri tanpa adanya perencanaan, spontan, segera dalam melakukan pembelian dengan tidak adanya pertimbangan kegunaan dan konsekuensi dari pembelian tersebut.

Impulsive buying diukur dengan skala impulsive buying. Skala tersebut terdiri dari aspek afektif dan aspek kognitif. Perolehan skor tinggi pada skala ini mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan impulsive buying yang tinggi. Sebaliknya, perolehan skor yang rendah mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan

impulsive buying yang rendah.

2. Kepribadian Neurotik

Kepribadian neurotik secara operasional definisikan kepribadian neurotik adalah munculnya kecemasan dasar karena tidak memperoleh jaminan keamanan dan perlindungan dari orang tua sehingga mengembangkan permusuhan dasar yang kemudian direpresi membuat individu tersebut terperangkap pada kebutuhan-kebutuhan kompulsif untuk mengurangi kecemasan tersebut. Terdapat dari tiga tipe kepribadian neurotik yaitu :


(63)

a. Compliant (patuh), memiliki kebutuhan untuk mendekati orang lain untuk melindungi diri dari ketidakberdayaan, dan ketergantungan yang tidak wajar pada orang lain (codependency)

b. Aggressive, memiliki kebutuhan akan kekuasaan, ingin dikagumi, ingin memperoleh penghargan dan gengsi, melawan orang lain, dan memiliki ambisi pribadi.

c. Detached (lepas dari orang lain), memiliki kebutuhan untuk menjauhi orang lain, kesendirian, kebebasan, dan kemandirian. Sebagian neurotik menganggap berhubungan dengan orang lain merupakan sebuah tekanan.

Skor pada skala tipe kepribadian dihitung berdasarkan skor total untuk setiap tipenya. Semakin tinggi nilai skor total tiap tipe, maka subjek memiliki skor yang tinggi pada tiap tipe kepribadian neurotik tersebut.

D. SUBJEK PENELITIAN

E. Subjek pada penelitian ini adalah remaja laki-laki dan remaja perempuan. Kriteria sampel yang dipilih adalah remaja dengan rentang usia 15 tahun hingga 18 tahun di Tarakan, Kalimantan Utara. Hal ini dikarenakan rentang usia tersebut masuk dalam klasifikasi remaja (Santrock, 2007). Alasan peneliti memilih remaja sebagai subjek karena remaja merupakan penyumbang terbesar dalam hal perilaku konsumsi khusunya pada produk fashion (Swa dalam dalam Anin, BS, dan Atamimi, 2008). Remaja yang digunakan pada


(64)

penelitian ini adalah dengan menggunakan subjek penelitian remaja di Tarakan karena di Tarakan merupakan salah satu kota yang memiliki fenomena impulsive buying.

Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti menggunkan teknik

non-probability sampling, khusunya sampling insidental. Sampling insidental

merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/ insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, jika kebetulan orang yang ditemui cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2010). Pengambilan sampel berdasarkan latar belakang pendidikan SMA dan SMK.

F. PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan skala yang disebarkan pada remaja di beberapa sekolah SMA dan SMK di Kota Tarakan, Kalimantan Utara yang bersedia mengisi skala. Peneliti membagikan skala, kemudian peneliti meminta subjek untuk mengambil skala dan membaca informed consent serta memberikan tanda tangan sebagai tanda persetujuan untuk menjadi subjek penelitian pada lembar skala dan sebagai tanda untuk menjaga kerahasian data subjek. Lalu peneliti menjelaskan instruksi pengerjaan skala secara klasikal di depan kelas dan peneliti menginstruksikan agar pengerjaannya dilakukan pada saat itu juga.


(65)

G. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA

Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan metode skala. Skala adalah alat ukur psikologis dalam bentuk pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menangkap respon seseorang terhadao konsep yang diukur sehingga dapat diberi penilaian atau skor dan dapat diinterpretasikan (Azwar, 1999). Jenis skala yang digunakan adalah skala Likert dengan item dalam bentuk favourable dan unfavourable. Item

favourable adalah item yang isinya mendukung, memihak, atau menunjukkan

ciri variabel yang diukur. Sedangkan item unfavourable adalah item yang isinya tidak mendukung atau tidak menggambarkan variabel yang diukur (Azwar, 1999). Skala yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan pernyataan dengan alternatif jawaban Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Penggunaan empat

kategori respon tanpa menggunakan kategori respon “netral”, hal ini

dikarenakan jika menggunakan alternatif tengah dalam kategori jawaban tidak memiliki efek yang signifikan pada data (Andrews dalam Anggoro & Widhiarso, 2010) dan ketika subjek memilih alternatif tengah menunjukkan subjek ragu-ragu dalam mengerjakan tugas (Kulas & Stachowski, 2009). Respon yang dipilih oleh subjek memiliki skor sebagai berikut :


(66)

Tabel 2

Skor Favorabel dan Unfovorabel Variabel

Respon Favorabel Unfavorabel

Sangat Sesuai 4 1

Sesuai 3 2

Tidak Sesuai 2 3

Sangat Tidak Sesuai 1 4

Tingginya skor favourable mengindikasikan bahwa subjek memiliki tingkat impulsive buying yang tinggi. Sebaliknya, rendahnya skor mengindikasikan bahwa subjek memiliki tingkat impulsive buying yang rendah.

Selain itu, pada pernyataan favourable, tingginya skor mengindikasikan bahwa subjek memiliki tipe kepribadian neurotik yang tinggi. Sebaliknya, rendahnya skor mengindikasikan bahwa subjek memiliki tipe kepribadian neurotik yang rendah.

1. Skala Impulsive Buying

Dalam penelitian ini, alat pengambilan data yang digunakan untuk mengukur perilaku impulsive buying adalah skala impulsive buying dalam bentuk skala likert. Skala impulsive buying didasari oleh aspek kognitif dan aspek afektif yang dikembangkan oleh Verplanken dan Herabadi (2001). Skala ini berisi 20 aitem soal dengan 12 aitem favorabel dan 8 aitem unfavorabel.


(67)

Tabel 3

Sebaran Aitem Skala Impulsive Buying

Aspek No Aitem

Favorabel

No Aitem Unfavorabel

Jumlah Bobot

Aspek Kognitif

1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 19

13 10 50%

Aspek Afektif

3, 10, dan 20

11, 12, 14, 15, 16, 17, dan 18

10 50%

Total 20 100%

2. Skala Tipe Kepribadian Neurotik

Pengukuran kepribadian neurotik dalam penelitian ini menggunakan skala HCTI (Horney Coolidge Type Inventory). Dalam penelitian ini, pengukuran kepribadian neurotik menggunakan tiga tipe kepribadian neurotik yaitu compliant (patuh), aggressive, dan detached (menjauh). yang dikembangkan oleh Frederick L. Coolidge (2001). Skala ini berisi 57 aitem.


(68)

Tabel 4

Sebaran Aitem Skala Kepribadian Neurotik

Tipe-Tipe Kepribadian

Neurotik

No Soal Jumlah Bobot

Compliant 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 25, 28, 31, 34,37, 40, 43, 46, 49, 52, dan 55.

19 33.3%

Aggressive 2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, 23, 26, 29, 32, 35, 38, 41, 44, 47, 50, 53, dan 56.

19 33.3%

Detached 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27, 30, 33, 36, 39, 42, 45, 48, 51, 54, dan 57

19 33.3%

Total 57 100%

H. VALIDITAS DAN RELIABILITAS

1. Validitas Skala

Validitas adalah proses pengujian untuk mengetahui apakah suatu skala mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2015). Skala penelitian ini dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila skala tersebut sesuai dengan fungsi ukurnya. Sebaliknya, apabila skala penelitian dikatakan memiliki validitas yang rendah apabila skala tersebut menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran (Azwar, 2011).


(69)

Validitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas isi tersebut dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan terhadap aspek yang hendak diukur (professional judgement) (Azwar, 2009). Hal ini dilakukan untuk dapat membuktikan kesesuaian aitem-aitem dalam tes dengan aspek-aspek yang akan diungkap.

2. Skala Aitem

Penelitian ini menggunakan uji coba atau try out terpakai, sehingga penelitian hanya dilakukan satu kali. Hal ini didasari oleh alasan sebagai berikut :

a. Alasan Teoris

Uji coba atau try out terpakai merupakan uji coba yang hasilnya dapat digunakan sebagai data penelitian untuk menguji hipotesis penelitian dan hanya aitem yang sahih saja yang dianalisis. Dengan kata lain, uji coba terpakai digunakan untuk menguji validitas dan reliabilitas dengan cara pengambilan datanya hanya sekali dan hasil uji cobanya langsung digunakan untuk menguji hipotesis. Kelebihan uji coba terpakai ini adalah peneliti dapat mempersingkat waktu pelaksanaan, tenaga dan biaya. Namun, uji coba terpakai ini memiliki resiko yaitu banyaknya aitem yang gugur


(70)

dan sedikitnya aitem yang bertahan, sehingga peneliti tidak mempunyai kesempatan untuk merevisi kuesionernya (Hadi, 2004). b. Alasan Praktis

Alasan utama peneliti menggunakan data terpakai karena sebelumnya peneliti melakukan pre-riset untuk mengetahui tingkat

impulsive buying pada remaja secara online dan terlihat beberapa dari subjek tidak mengisi secara menyeluruh sehingga peneliti ingin mengawasi secara langsung ketika subjek hendak mengisi skala tersebut. Kemudian, peneliti menggunakan uji coba atau try out

terpakai karena jauhnya tempat untuk mengambil data yaitu di Tarakan, Kalimantan Utara.

Alasan lain peneliti menggunakan data try out terpakai karena sedikitnya waktu yang tersisa. Hal ini disebabkan karena subjek yang hendak dipakai akan segera mengikuti ujian sekolah.

Pada penelitian ini, seleksi aitem dilakukan berdasarkan daya diskriminasi atau daya beda. Seleksi aitem dilakukan dengan cara menguji kesesuaian karakteristik masing-masing aitem dengan aspek yang mewakili setiap variabel. Daya diskriminasi aitem untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang akan diukur. Aitem yang memiliki daya diskriminasi tinggi bila semua atau sebagian


(71)

kelompok tinggi menjawab dengan hasil besar dan semua atau sebagian kelompok rendah mendapat nilai rendah (Azwar, 2012).

Parameter daya beda aitem berupa koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor total skala (riX) yang

memperlihatkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala dalam mengungkapkan perbedaan individual. Besarnya koefisien korelasi aitem-total bergerak dari 0 – 1,00 dengan tanda positif atau negatif. Semakin mendekati angka 1,00 maka semakin baik daya diskriminasi aitem, sebaliknya semakin mendekati angka 0 atau memiliki tanda negatif mengindikasi bahwa aitem tidak memiliki daya diskriminasi. Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem-total dengan menggunakan batasan riX ≥ 0,30. Aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30

daya bedanya dianggap memuaskan. Begitupun sebaliknya, aitem yang harga riX atau ri(X-i) kurang dari 0,30 dinyatakan sebagai aitem yang

memiliki daya beda rendah. Namun, dapat dipertimbangkan untuk menurunkan sedikit batasan kriteria menjadi 0,25 apabila aitem masih tidak mencukupi (Azwar, 2012).

Hasil pengujian data pada skala impulsive buying dari total 20 aitem terdapat 5 aitem yang gugur karena riX ≤ 0,25, yaitu no 4, 10, 12,

14, dan 17. Namun, karena ada perbedaan jumlah aitem pada aspek kognitif dan aspek afektif, maka aitem diseimbangkan sehingga aitem yang gugur adalah 5, 7, dan 9. Skala kecenderungan kepribadian neurotik


(72)

terdapat 57 aitem. Pada tipe kepribadian neurotik compliant aitem yang memiliki riX ≤ 0,25 yaitu no 25, 34, 37, 40, 43, dan 55. Pada tipe

kepribadian neurotik aggressive aitem yang memiliki riX ≤ 0,25 yaitu no

29. Kemudian, tipe kepribadian neurotik detached, aitem yang memiliki riX≤ 0,25 yaitu no 6, 39, dan 57. Gugurnya aitem pada setiap tipe menjadi

tidak seimbang. Oleh sebab itu, aitem diseleksi kembali dengan cara menyamakan pada tipe kepribadian yang paling sedikit, sehingga aitem yang gugur yaitu 5, 6, 8, 9, 17, 23, 25, 29, 32, 33, 34, 37, 39, 40, 43, 54, 55, dan 57.

Tabel 5

Sebaran aitem skala impulsive buying setelah seleksi aitem

Aspek No Aitem

Favorabel

No Aitem Unfavorabel

Jumlah Bobot

Aspek Kognitif

1, 2, 6, 8, dan 19

13 6 50%

Aspek Afektif

3 dan 20 11, 15, 16, dan 18

6 50%


(73)

Tabel 6

Sebaran aitem skala impulsive buying setelah seleksi aitem

Tipe-Tipe Kepribadian

Neurotik

No Soal Jumlah Bobot

Compliant 1, 4, 7, 10, 13, 16, 19, 22, 28, 31, 46, 49, dan 52.

13 33.33%

Aggressive 2, 11, 14, 20, 26, 35, 38, 41, 44, 47, 50, 53, dan 56.

13 33.33%

Detached 3, 12, 15, 18, 21, 24, 27, 30, 36, 42, 45, 48, dan 51.

13 33.33%

Total 39 100%

3. Reliabilitas Skala

Salah satu ciri instrumen ukur yang berkualitas yang baik adalah reliabel, yaitu mampu menghasilkan skor yang cermat dengan eror pengukuran kecil (Azwar, 2015). Hal ini dilakukan untuk mengacu pada keterpercayaan atau konsistensi hasil ukur yang mengandung makna seberapa kecermataan pengukuran. Menurut Azwar (2015) reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi angka reliabilitasnya mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya,


(74)

jika koefisien yang semakin mendekati angka 0, berarti semakin rendah reliabilitasnya. Penelitian ini menggunkan teknik koefisien Alpha Cronbach untuk menguji reliabilitas dengan menggunakan perhitungan

SPSS 23.0 for Windows. Skala impulsive buying memiliki reliabilitas sebesar 0.747, skala pada tipe kepribadian compliant memiliki reliabilitas sebesar 0.758, skala pada tipe kepribadian aggressive memiliki reliabilitas sebesar 0.801, dan skala pada tipe kepribadian detached memiliki reliabilitas sebesar 0.795.

I. METODE ANALISIS DATA

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara distribusi sebaran antara variabel bebas dengan variabel tergantung dalam penelitian ini bersifat normal atau tidak.

b. Uji Linearitas

Uji lenearitas yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan linear atau tidak antara variabel bebas dan variabel tergantung, yang tampak dengan ada tidaknya garis lurus dalam pengujian tersebut.


(75)

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis akan dilakukan dengan teknik analisis data dengan SPSS yaitu uji korelasi Product Moment dari Pearson. Perhitungan yang digunakan adalah menggunakan aplikasi SPSS versi 23.00 for windows. Hubungan antar variabel dinyatakan dalam koefisien korelasi. Koefisien korelasi positif terbesar = 1 dan koefisien korelasi negatif terbesar = -1. Sedangkan yang terkecil adalah 0. Jika hubungan antara dua variabel mempunyai koefisien korelasi = 1 atau -1, maka hubungan tersebut sempurna (Sugiyono, 2008). Hal ini dikarenakan peneliti ingin melihat bagaimana hubungan antara variabel bebas dengan variabel tergantung dan sejauh mana kekuatan dari hubungan tersebut. Selain itu, apabila asumsi tidak terpenuhi yaitu apabila data tidak normal, maka uji hipotesis akan menggunakan pengujian korelasi Spearman’s Rho SPSS for


(1)

23.______ Orang-orang tidak pengertian. 24.______ Saya pribadi yang tertutup.

25.______ Saya lebih suka bersama orang lain daripada sendirian.

26.______ Saya akan menguji diri sendiri dalam situasi yang menakutkan untuk membuat diri saya lebih kuat.

27.______ Saya menghindari pertanyaan tentang kehidupan pribadi saya.

28.______ Saya mudah memaafkan dan mudah melupakan masalah tersebut

29.______ Saya suka pendapat yang baik.

30.______ Saya ingin hidup mandiri/ bebas dari orang lain. 31.______ Saya peduli apa yang orang lain pikirkan tentang saya. 32.______ Saya seorang yang percaya diri dan berani.

33.______ Saya menghindar/ menolak dari kewajiban yang lama.

34.______ Saya merasa hancur ketika saya ditolak.

35.______ Orang yang meminta-minta membuat saya marah.

36.______ Saya merasa kesepian.

37.______ Kebanyakan orang lebih menarik dari pada saya.

38.______ Untuk bertahan hidup di dunia ini, kamu harus melihat pada diri kamu terlebih dahulu.

39.______ Saya membenci orang yang mencoba untuk mempengaruhi saya.

40.______ Saya merasa lemah dan tak berdaya ketika saya sendirian. 41.______ Orang-orang cenderung tidak dapat dipercaya.

42.______ Saya mencoba untuk menghindari saran dari orang lain.

43.______ Saya mencoba untuk menghindari perkelahian atau perdebatan. 44.______ Orang-orang cenderung memiliki trik.

45.______ Saya bisa hidup dengan baik tanpa teman atau keluarga. 46.______ Saya cenderung merasa itu salah saya jika terjadi kesalahan.

47.______ Anak-anak harus diajarkan untuk memiliki prinsip dan keyakinan yang teguh. 48.______ Saya merasa lebih baik ketika orang tidak berbagi pikiran atau perasaan mereka


(2)

114

kepada saya.

49.______ Saya cenderung orang yang meminta maaf terlebih dahulu.

50.______ Fakta kehidupan orang yang paling sukses memanfaatkan orang lain untuk maju. 51.______ Saya merasa lebih baik tanpa orang lain daripada bersama orang lain.

52.______ Saya butuh kehadiran orang lain. 53.______ Sifat dasar manusia adalah agresif.

54.______ Saya mencoba untuk menghindari konflik.

55.______ Anak-anak harus diajarkan untuk bersikap baik dan penuh kasih. 56.______ Saya sudah bertemu dengan banyak orang idiot dalam hidup saya. 57.______ Anak-anak harus diajarkan kemandirian.


(3)

(4)

116 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

118 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI