Proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan.

(1)

PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI YANG BERSELINGKUH DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN

Nathalia Nindi Kristyaningrum

ABSTRAK

Kehidupan perkawinan tidaklah mudah untuk dijalani. Terdapat berbagai macam permasalahan yang muncul dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga. Salah satu permasalahan yang dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para suami, tetapi istri juga dapat melakukan perselingkuhan. Jika istri berselingkuh maka perselingkuhan tersebut akan membawa dampak psikologis terhadap suami. Dampak psikologis yang dirasakan suami adalah berupa perasaan kehilangan identitas diri dan kehilangan keistimewaan diri. Perasaan seperti ini membuat suami sulit untuk tetap mempertahankan perkawinan. Namun, pada kenyataannya masih ada beberapa suami yang berusaha mempertahankan perkawinannya dengan istri yang berselingkuh yaitu dengan memaafkan perbuatan istri mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan. Ada 4 tahap memaafkan yang dilalui oleh suami, yaitu tahap terluka, tahap membenci, tahap penyembuhan, dan tahap kembali bersama. Peneliti memilih metode naratif untuk melihat cara subjek menggambarkan diri dan menjalani kehidupan dalam menghadapi permasalahan perselingkuhan. Penelitian ini melibatkan 2 subjek penelitian yang mempunyai pengalaman dalam berproses memaafkan istri mereka yang berselingkuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek berupaya untuk menyembuhkan perasaan terluka yang dialami akibat perselingkuhan istri mereka yaitu dengan refleksi diri. Upaya kedua subjek dalam merefleksikan peristiwa yang mereka alami membuat mereka dapat melihat istri mereka dengan cara pandang yang baru dan menerima istri mereka kembali. Upaya refleksi diri yang dilakukan kedua subjek disebut sebagai bedah spritual membuat mereka pada akhirnya dapat memaafkan dan tetap mempertahankan perkawinan dengan istri.

Kata kunci: perselingkuhan, suami, memaafkan


(2)

THE PROCESS OF FORGIVING HUSBAND TOWARDS WIFE’S IN AFFAIR IN ORDER TO KEEP MARRIAGE

Nathalia Nindi Kristyaningrum

ABSTRACT

Marriage is not easy to live. There are various kinds of problems that can be the trigger a rift in the household. One of the problems that can lead to cracks in the household is infidelity. Infidelity itself is not only dominated by the husband, but the wife can also do infidelity. If the wife was having an affair then the affair will bring the psychological impact of the husband. The psychological impact that is felt by the husband is a sense of loss of identity and loss of self privileges. The husband feelings such as these make it difficult to maintain marriage. However, in reality there are still some husbands are still working on his marriage with his wife who is having an affair by forgiving the wife. This study aims to describe the process of forgiving by the husband towards his wife who cheated in order to maintain a marriage. There are 4 phases of forgiving traversed by the husband, they are: the injured phase, the hate phase, the recovery phase, and the back together phase. The researcher chose the method of narrative to see how subjects describe themselves and live a life in facing infidelity problems. The study involved 2 subjects who had experience in proceeds to forgive their wives infidelity. The results showed that the two subjects were trying to heal hurt feelings experienced by their wives infidelity is by self-reflection. The second attempt in the subjects they reflect on the events that caused them to be able to see their wives with a new perspective and accept their wives back. The self-reflection efforts that were through by the two subjects referred as the spiritual treatment finally can make them forgive and still maintain a marriage with his wife.

Keywords: infidelity, husband, forgiving


(3)

PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI

YANG BERSELINGKUH DALAM RANGKA

MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Nathalia Nindi Kristyaningrum NIM: 089114043

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI

YANG BERSELINGKUH DALAM RANGKA

MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Nathalia Nindi Kristyaningrum NIM: 089114043

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2013


(5)

(6)

(7)

TENTANG KEHIDUPAN...

HIDUP ADALAH BELAJAR

Belajar BERSYUKUR meski TAK CUKUP Belajar IKHLAS meski TAK RELA

Belajar TAAT meski BERAT Belajar SABAR meski TERGODA

Belajar MEMBERI meski TAK SEBERAPA Belajar MENGASIHI meski DISAKITI Belajar TENANG meski GELISAH Belajar PERCAYA meski SUSAH (Anonym)

Dari AIR kita belajar KETENANGAN Dari BATU kita belajar KETEGARAN Dari TANAH kita belajar KEHIDUPAN Dari KUPU-KUPU kita belajar MERUBAH DIRI Dari PADI kita belajar RENDAH HATI Dari KASIH TUHAN kita belajar

tentang KASIH YANG SEMPURNA

(Anonym) Bila TUHAN menjawab doamu, DIA menambahkan imanmu

Bila DIA menunda, DIA menambahkan kesabaranmu Tapi...

Bila DIA menjawab tidak , DIA menyediakan sesuatu yang lebih baik dari yang kamu harapkan

(Anonym)


(8)

TENTANG CINTA...

“Kita di dunia ini bukan mencari orang yang sempurna untuk dicintai, tetapi untuk mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna....”

(Anonym)

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...

Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...

Seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada...”

(Anonym)

“Cinta datang... Kepada orang yang masih mempunyai harapan, walau meraka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walau mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walau mereka telah disakiti sebelumnya. Dan... Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaan...” (Anonym)


(9)

HALAMAN PERSEMBAHAN

TUHAN YESUS KRISTUS,

Karya yang jauh dari sempurna ini kusembahkan kehadirat-Nya yang selalu mendampingiku dan mencurahkan karunia-karunia di saat aku merasa tidak

dapat melakukan apa pun.

Papa dan Mama,

Banyak hal yang telah Papa dan Mama lakukan untukku tetapi seringkali aku lupa untuk mengucapkan terima kasih dengan tulus. Terima kasih Papa dan

Mama atas segala bimbingan, dukungan dan kasih yang selalu tercurahkan untukku. Terima kasih untuk semua yang Papa dan Mama berikan untukku.

Mas Bram dan Mba Nia,

Terima kasih atas dukungan semangat dan doa yang selalu dipanjatkan untuku, sehingga aku dapat menyelesaikan perjuanganku sampai akhir.

Ponakan kecilku Kara,

Terima kasih atas tawa kecil, tangisan manja, dan keceriaan yang ditunjukkan. Semua itu, merupakan penghiburanku di saat aku merasa patah semangat.

Seluruh keluarga besar Herman Suwargo dan Hadi Sudarmo Terima kasih atas dukungan doa dan motivasi yang diberikan selama ini.

I love you all...


(10)

(11)

PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI YANG BERSELINGKUH DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN

Nathalia Nindi Kristyaningrum

ABSTRAK

Kehidupan perkawinan tidaklah mudah untuk dijalani. Terdapat berbagai macam permasalahan yang muncul dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga. Salah satu permasalahan yang dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para suami, tetapi istri juga dapat melakukan perselingkuhan. Jika istri berselingkuh maka perselingkuhan tersebut akan membawa dampak psikologis terhadap suami. Dampak psikologis yang dirasakan suami adalah berupa perasaan kehilangan identitas diri dan kehilangan keistimewaan diri. Perasaan seperti ini membuat suami sulit untuk tetap mempertahankan perkawinan. Namun, pada kenyataannya masih ada beberapa suami yang berusaha mempertahankan perkawinannya dengan istri yang berselingkuh yaitu dengan memaafkan perbuatan istri mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan. Ada 4 tahap memaafkan yang dilalui oleh suami, yaitu tahap terluka, tahap membenci, tahap penyembuhan, dan tahap kembali bersama. Peneliti memilih metode naratif untuk melihat cara subjek menggambarkan diri dan menjalani kehidupan dalam menghadapi permasalahan perselingkuhan. Penelitian ini melibatkan 2 subjek penelitian yang mempunyai pengalaman dalam berproses memaafkan istri mereka yang berselingkuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek berupaya untuk menyembuhkan perasaan terluka yang dialami akibat perselingkuhan istri mereka yaitu dengan refleksi diri. Upaya kedua subjek dalam merefleksikan peristiwa yang mereka alami membuat mereka dapat melihat istri mereka dengan cara pandang yang baru dan menerima istri mereka kembali. Upaya refleksi diri yang dilakukan kedua subjek disebut sebagai bedah spritual membuat mereka pada akhirnya dapat memaafkan dan tetap mempertahankan perkawinan dengan istri.

Kata kunci: perselingkuhan, suami, memaafkan


(12)

THE PROCESS OF FORGIVING HUSBAND TOWARDS WIFE’S IN AFFAIR IN ORDER TO KEEP MARRIAGE

Nathalia Nindi Kristyaningrum

ABSTRACT

Marriage is not easy to live. There are various kinds of problems that can be the trigger a rift in the household. One of the problems that can lead to cracks in the household is infidelity. Infidelity itself is not only dominated by the husband, but the wife can also do infidelity. If the wife was having an affair then the affair will bring the psychological impact of the husband. The psychological impact that is felt by the husband is a sense of loss of identity and loss of self privileges. The husband feelings such as these make it difficult to maintain marriage. However, in reality there are still some husbands are still working on his marriage with his wife who is having an affair by forgiving the wife. This study aims to describe the process of forgiving by the husband towards his wife who cheated in order to maintain a marriage. There are 4 phases of forgiving traversed by the husband, they are: the injured phase, the hate phase, the recovery phase, and the back together phase. The researcher chose the method of narrative to see how subjects describe themselves and live a life in facing infidelity problems. The study involved 2 subjects who had experience in proceeds to forgive their wives infidelity. The results showed that the two subjects were trying to heal hurt feelings experienced by their wives infidelity is by self-reflection. The second attempt in the subjects they reflect on the events that caused them to be able to see their wives with a new perspective and accept their wives back. The self-reflection efforts that were through by the two subjects referred as the spiritual treatment finally can make them forgive and still maintain a marriage with his wife.

Keywords: infidelity, husband, forgiving


(13)

(14)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat limpahan karunia dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Terima kasih Tuhan, karena Engkau telah mendampingiku dalam penyelesaian Skripsi yang berjudul Proses Suami Memaafkan Istri Yang Berselingkuh Dalam Rangka

Mempertahankan Perkawinan Di Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya Skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi.selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Almarhumah Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si. yang telah memberikan teladan dan inspirasi untuk terus tetap berjuang dalam kondisi apa pun.

3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing yang selalu sabar memberikan masukan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. dan Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanta, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran sehingga skripsi saya menjadi lebih baik.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang selama 8 semester telah memberikan banyak ilmu, baik secara teori maupun pengalaman hidup kepada penulis.


(15)

6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma (Pak Gie, Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Doni dan Mas Muji) yang telah memberikan banyak bantuan, nasihat dan juga dukungan selama penulis menjalani hari-hari di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

7. Papa dan Mama yang selalu aku sayangi, terima kasih atas segala cinta, nasihat, dukungan yang besar baik secara materi dan spritual. Terima kasih atas semua yang telah diberikan. Aku tidak bisa membalas semua itu, yang hanya bisa kuberikan adalah dengan membuat Papa Mama bangga dengan kelulusanku ini.

8. Mas Bram dan Mba Nia, kedua kakakku yang selalu medukungku dalam meyelesaikan skripsi ini.

9. Aurelia Ayukara, keponakanku yang membuat aku sering malas mengerjakan skripsi karena kelucuannya. Terima kasih atas segala penghiburan yang diberikan ketika aunty mu ini kesulitan dalam mengerjakan skripsi.

10. Kedua subjekku Bapak ES dan Bapak DN, terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membagikan pengalaman dalam berproses mempertahankan perkawinan.

11. Teman-temanku di Psikologi angkatan 2008: Desi, Nita, Martha, Meili, Siska, Dian, Mitha, Fany, Irin, Rosa, Lita, Intan, Icha, Nana, Dewi, Henry, Pudji, Cory, Budi, Agung, Rio, Alberto, Priska, Abet, Wawan, Ade, Lusi, Risa, Shinto dan teman-teman yang lain yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu, ada perjuampaan pasti ada perpisahan, terima kasih atas kebersamaan yang dilalui selama 8 semester.


(16)

12. Teman-teman seperjuangan (Intan, Meili, Icha, Rio, Nana, Mba Jina, dan Mas Komeng), terima kasih atas segala dukungan bersama.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Yogyakarta, 24 September 2013 Penulis,

Nathalia Nindi Kristyaningrum


(17)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...….…... ii

HALAMAN PENGESAHAN……….………... iii

HALAMAN MOTTO…...………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………... vii

ABSTRAK………... viii

ABSTRACT……… ix

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... x

KATA PENGANTAR………... xi

DAFTAR ISI………. xiv

DAFTAR SKEMA……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN………. xviii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ……….…………... 9

C. Tujuan Penelitian ……….………... 9

D. Manfaat Penelitian ………...………... 10

1. Manfaat Teoretis ……… 10

2. Manfaat Praktis ……….. 10


(18)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 11

A.Perkawinan ………... 11

1. Definisi Perkawinan ...………... 11

2. Alasan Orang Menikah ………... 13

3. Komunikasi Dalam Keluarga ………... 16

4. Permasalahan Dalam Perkawinan ...………... 19

B.Perselingkuhan ...………..…... 23

1. Definisi Perselingkuhan ... 23

2. Penyebab Perselingkuhan ... 25

3. Jenis-jenis Perselingkuhan ... 27

4. Dampak Perselingkuhan ... 30

C.Memaafkan ... 36

1. Definisi Memaafkan ... 36

2. Proses Memaafkan ... 38

3. Manfaat Memaafkan ... 41

D.Budaya Patriarki ... 42

E. Proses Suami Memaafkan Istri Yang Pernah Selingkuh ……… 43

F. Kerangka Penelitian ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... .. 49

A.Jenis Penelitian dan Metode Penelitian ……… .. 49

B.Subjek Penelitian ………. 51

C.Fokus Penelitian ……….. 51

D.Metode Pengambilan Data ………. .. 53


(19)

E. Analisis Data ...………... 53

F. Keabsahan Data ………... ... 59

1. Kredibilitas ... 59

2. Dependabilitas... 60

3. Konfirmabilitas... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………... … 62

A.Proses Penelitian .………... 62

B.Profil Subjek ………. 65

1. Subjek 1 (ES) ………... 65

2. Subjek 2 (DN) ……….. 69

C. Hasil Analisis Data Penelitian .………... 72

1. Subjek 1 (ES) ………... 72

2. Subjek 2 (DN) ……….. 89

D. Pembahasan ………... 108

BAB V PENUTUP ... 118

A.Kesimpulan………...………. 118

B.Saran………...……… 119

1. Bagi Pasangan Suami-Istri ……….. 119

2. Bagi Peneliti Selanjutnya……….. 119

DAFTAR PUSTAKA………. 120

LAMPIRAN-LAMPIRAN.……… 126


(20)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Penelitian: Proses Suami Memaafkan Istri yang Pernah

Selingkuh untuk Mempertahankan Perkawinan... 48

Skema 2. Dinamika Memaafkan Subjek 1 (ES)... 88

Skema 3. Dinamika Memaafkan Subjek 2 (DN)... 106

Skema 4. Dinamika Memaafkan Subjek ES dan DN... 107


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Yuridikasi Mahkamah Syar'iyah Profinsi / Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia Tahun 2010 ... 127 Lampiran 2. Rekap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Yuridikasi

Mahkamah Syar'iyah Profinsi / Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia Tahun 2011 ... 130 Lampiran 3. Data Perkara Cerai Talak, Cerai Gugat dan Perkara Lain yang

Diterima Yuridikasi Mahkamah Syar'iyah Profinsi / Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia Tahun 2010 ... 133 Lampiran 4. Koding Subjek 1 (ES) ... 136 Lampiran 5.Koding Subjek 2 (DN) ... 157


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Memilih pasangan hidup dan menikah merupakan keputusan yang penting bagi kebanyakan orang (McFall, 2011). Seseorang memutuskan untuk menikah karena berbagai alasan, misalnya hukum, sosial, emosional, ekonomi, agama atau untuk meneruskan garis keturunan dan memiliki anak (Fatima & Ajmal, 2012). Beberapa pasangan yang memutuskan untuk menikah terkadang berpikir dan merasa bahwa mereka begitu mirip dan dapat bekerja sama, melayani bersama, hidup bersama, serta membesarkan anak bersama-sama dengan hampir tidak ada konflik (Piper, 2009).

Namun, dalam pernikahan dan keluarga justru akan menemukan banyak tantangan berupa permasalahan yang terkadang dapat menimbulkan konflik dan keretakan pada pasangan dalam keluarga. Konflik yang tejadi terkadang dapat mengancam keharmonisan dan kelangsungan hubungan pasangan serta hubungan antaranggota keluarga. Terdapat beragam kasus yang terjadi dalam kehidupan perkawinan dan keluarga di Indonesia yang dapat menjadi pemicu keretakan hubungan dan perceraian. Adapun kasus-kasus tersebut adalah adanya pria dan wanita idaman lain (PIL dan WIL) atau perselingkuhan, kehidupan pasangan yang tinggal dengan mertua, pertengkaran antaranggota dalam keluarga, anak cacat, penyimpangan hubungan seksual pada salah satu pasangan, dan perbedaan agama (Kertamuda, 2009).


(23)

Berdasarkan hasil penelitian, perceraian telah terbukti berdampak negatif pada perkembangan anak-anak dalam keluarga yang bersangkutan. Anak-anak dengan orangtua yang telah bercerai akan memiliki trauma, cenderung kurang memiliki kepercayaan diri, kepuasan terhadap kehidupan dan sekolah, rentan untuk merokok, minum alkholol dan memakai obat-obatan (www.kainsutera.com).

Sepanjang tahun 2005 hingga 2010 tercatat telah terjadi peningkatan angka perceraian di Indonesia sebesar 70% (www.republika.co.id). Pada tahun 2010 Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat telah terjadi 285.184 kasus perceraian di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang menjadi penyebab pisahnya pasangan antara lain yaitu faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, masalah ekonomi 67.891 perkara, perselingkuhan (gangguan pihak ketiga) 20.199 perkara, dan masalah lain (misal: KDRT, salah satu pasangan cacat, serta masalah lain) 26.846 perkara (www.badilag.net,

Lampiran 1).

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus perselingkuhan yang berpotensi mengakhiri hubungan perkawinan. Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan angka perceraian akibat perselingkuhan yang meningkat setiap tahun, dengan angka yang cukup besar. Pada tahun 2011 angka perceraian akibat perselingkuhan meningkat menjadi 20.563 perkara (www.badilag.net, Lampiran 2). Berdasarkan data mengenai perceraian di Indonesia, kebanyakan pihak yang mengajukan perceraian adalah istri. Pada


(24)

tahun 2010 tercatat bahwa 190.280 kasus perceraian diajukan oleh istri sedangkan 94.099 diajukan oleh suami. Kasus perceraian yang diajukan istri pada umumnya meliputi masalah ekonomi dan perselingkuhan (http://www.lensaindonesia.com, Lampiran 3).

Banyak kasus perselingkuhan yang terjadi di Indonesia pada akhirnya berujung pada perceraian suami istri. Kasus perceraian yang dapat diketahui dan menjadi konsumsi publik adalah perceraian pasangan artis. Misal, pada tahun 2007 ramai dibicarakan di berbagai media bahwa pasangan artis ME dan AD mengguggat cerai AD dikarenakan ada orang ketiga. ME mengguggat cerai AD karena dia mengetahui bahwa AD telah berselingkuh dengan pasangan duet ME (http://life.viva.co.id). Pada tahun 2009 juga tidak lepas dari kasus perceraian para artis yang diakibatkan salah satu pasangan berselingkuh. Diberitakan bahwa artis A mengguggat cerai K karena mengetahui kalau K telah berselingkuh dengan salah satu pengusaha kaya (http://life.viva.co.id).

Kasus pria dan wanita idaman lain (PIL dan WIL) pada dasarnya dikenal sebagai istilah affair, selingkuh, ketidaksetiaan, perzinahan, serong, atau seks di luar pernikahan yang dilakukan oleh satu atau keduanya dari pasangan suami istri. Perselingkuhan secara umum dipahami sebagai pelanggaran perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan yang dilakukan oleh seseorang, dan ancaman terhadap ikatan perkawinan. Layton (dalam Zaka al Farisi, 2008) menyebutkan bahwa perselingkuhan dapat terjadi karena berbagai antara lain seperti konflik dalam rumah tangga yang tidak kunjung selesai, situasi lingkungan tempat bergaul atau bekerja, atau pun hubungan jarak jauh.


(25)

Selama ini, penelitian yang dilakukan lebih membahas mengenai dinamika istri dalam menghadapi perselingkuhan yang dilakukan oleh suami mereka. Penelitian yang pernah dilakukan Ratih (2007) mahasiswa Universitas Indonesia menunjukkan bahwa istri menilai perselingkuhan yang dilakukan oleh suami mereka merupakan suatu hal yang menyakitkan (www.lontar.ui.ac.id). Jayaprawira (2005) mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma juga membahas dinamika istri dalam menghadapi perselingkuhan suami. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bagaimana perilaku coping stress yang dilakukan oleh istri dalam proses pemulihan hubungan setelah perselingkuhan suami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya istri dalam menghadapi stress setelah perselingkuhan suami dengan memaanfaatkan sumberdaya yang berupa dukungan sosial yang berasal dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan.

Perselingkuhan tidak selalu dilakukan oleh seorang pria (suami), tapi wanita (istri) juga dapat melakukan perselingkuhan (Mao & Raguram, 2009). Dalam skripsi mengenai Latar Belakang Suami Mempertahankan Perkawinan oleh Yuniarti (2009) juga menyebutkan bahwa perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para pria, tetapi juga wanita sehingga dalam perselingkuhan tidak menutup kemungkinan siapa yang berselingkuh, bisa suami ataupun istri. Yuniarti (2009) menjelaskan lebih lanjut bahwa jika istri berselingkuh maka perselingkuhan itu akan membawa dampak moral yang harus ditanggung suami. Masyarakat secara umum, khususnya pada masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat patriarki memang belum


(26)

dapat mentoleransi perselingkuhan yang dilakukan oleh istri. Perselingkuhan yang dilakukan istri membuat posisi suami sebagai kepala rumah tangga terancam. Suami menjadi merasa malu dan harga diri direndahkan, dimana kehormatannya sebagai laki-laki dan sebagai suami terancam.

Perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangan atau keduanya dalam perkawinan akan memiliki dampak yang besar bagi keberlangsungan perkawinan. Selain akan menjadi penyebab berakhirnya perkawinan atau perceraian, perselingkuhan juga mempengaruhi kondisi psikologis pasangan yang bersangkutan. Dampak psikologis yang muncul seperti hilangnya harga diri, rasa hormat, rasa aman, kenyamanan dan kepercayaan yang telah bertahun-tahun dibangun serta rasa dilecehkan oleh pasangannya yang melakukan perselingkuhan (Spring, 2006).

Ketika perselingkuhan terjadi, hal ini sering dikaitkan dengan sejumlah hasil merugikan bagi pernikahan dan individu yang bersangkutan (Atkins, D. & Kessel, D., 2008). Dalam artikel mereka disebutkan bahwa berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perselingkuhan berhubungan positif dengan perceraian. Betzig (dalam Shackelford, Buss, & Bennett, 2002) menjelaskan bahwa perselingkuhan mungkin menjadi faktor tertinggi sebagai sumber pembubaran hubungan. Dalam sebuah studi dari 160 budaya, perselingkuhan adalah alasan yang paling sering dikutip untuk perceraian. Mengakhiri suatu hubungan perkawinan atau bercerai tampak menjadi salah satu solusi umum untuk masalah perselingkuhan yang telah dilakukan oleh pasangan. Selain itu, perselingkuhan juga dikaitkan dengan


(27)

kualitas perkawinan yang buruk. Shackelford et al. (2008) dalam penelitian yang mereka lakukan menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi dikarenakan faktor kepribadian dan kepuasan perkawinan.

Namun, perselingkuhan tidak selalu diakhiri dengan perceraian. Ada beberapa pasangan yang mengalami perselingkuhan, pada akhirnya memutuskan untuk tetap mempertahankan perkawinan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti (2009) menunjukkan bahwa alasan suami mempertahan perkawinannya dengan istri yang berselingkuh adalah karena merasa harapan terhadap perkawinanya telah terpenuhi, keberadaan anak, subjek yakin bahwa istri tidak akan berselingkuh lagi dan rasa cinta.

Ketika seseorang mengetahui mengenai pengkhianatan atau perselingkuhan yang telah dilakukan oleh pasangannya, pilihan utama yang dihadapi adalah untuk memaafkan pasangan dan tetap bersama-sama atau untuk mengakhiri hubungan (Shackelford et al., 2002). Lawson (dalam Shackelford et al., 2002) menyebutkan bahwa tidak semua pasangan mengakhiri hubungan perkawinan mereka setelah mengetahui telah terjadi perselingkuhan. Berdasarkan hasil survey Lawson, terhadap pasangan yang salah satu dari pasangan telah melakukan perselingkuhan menyebutkan bahwa pasangan yang terlibat perselingkuhan menjelaskan alasan mengapa mereka berselingkuh kepada pasangan yang lain. Beberapa dari pasangan memutuskan untuk mengikuti terapi pasangan dalam upaya untuk menemukan akar masalah dan memperbaiki perkawinan mereka. Beberapa pasangan yang lain berusaha untuk menggali dan membuat rincian mengenai permasalahan dalam rangka


(28)

mengenali acaman dan dampak akibat perselingkuhan. Beberapa pasangan pada akhirnya memutuskan untuk memaafkan pasangan mereka.

Gilbert et al. (dalam Pearlman, 2010) menyebutkan bahwa penelitian mengenai peran penting memaafkan dalam perkawinan telah menjadi pembahasan psikologis, terlebih memaafkan berfungsi sebagai stabilitas keutuhan rumah tangga. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa memaafkan dapat menjadi faktor penting dalam membantu untuk menyembuhkan dan memulihkan hubungan yang bermasalah. Memaafkan dalam perkawinan telah terbukti bermanfaat ketika pasangan suami istri dihadapkan pada pelanggaran sehari-hari, dan memaafkan juga sangat penting ketika pasangan suami istri dihadapkan dengan pengkhianatan besar, seperti perselingkuhan. Berdasarkan penelitian dan observasi klinis yang telah dilakukan memaafkan merupakan terapi yang tepat dalam pemulihan hubungan perkawinan pada pasangan setelah terjadi perselingkuhan (Spring, 2006).

Memaafkan juga bermanfaat untuk diri sendiri, hubungan interpersonal (Suwartono & Viktoria, 2010) dan mengurangi konflik yang telah terjadi (Suwartono & Viktoria, 2010; McNulty, 2008). Memaafkan pelanggaran yang terjadi dalam suatu perkawinan merupakan salah satu faktor pendukung untuk menciptakan kehidupan perkawinan yang bahagia (Fatima & Ajmal, 2012). Penelitian yang telah dilakukan menunjukkkan bahwa memaafkan juga berkaitan dengan kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis (Witvliet, 2001). Di lain pihak, perilaku tidak memaafkan berkorelasi positif dengan indikator stres dan psikopatologi (Berry & Worthington, 2001; Witvliet, 2001).


(29)

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa memaafkan atau mengakhiri suatu hubungan perkawinan tergantung pada jenis kelamin dan sifat atau jenis dari perselingkuhan (Shackelford et al., 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Fisher et al. (2008) menunjukkan bahwa baik suami atau istri percaya pasangan mereka akan memiliki waktu yang lebih sulit untuk memaafkan perselingkuhan seksual daripada perselingkuhan emosional, tetapi hal tersebut tidak menunjukkan bahwa perselingkuhan seksual akan lebih cenderung mengarah pada pembubaran hubungan atau perceraian. Penelitian yang juga banyak dilakukan adalah mengenai usaha terapis klinis membantu pasangan memunculkan sikap memaafkan terhadap pasangannya yang melakukan perselingkuhan (Bird, Butler, & Fife, 2007; Fife, Weeks, & Gambescia, 2008; Olmstead, Blick, & Mills, 2009; Parker, Berger, & Campbell, 2010).

Peneliti merasa tertarik untuk melihat dan mengkaji mengenai memaafkan dalam lingkup yang lebih spesifik yaitu memaafkan perselingkuhan yang terjadi dalam perkawinan. Memaafkan merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan, terlebih pelanggaran yang dilakukan merupakan suatu pengkhianatan yang dilakukan oleh pasangan yang dicintai. Di sisi lain, memaafkan merupakan cara bagi pasangan yang memutuskan untuk tetap mempertahankan perkawinan.

Penelitian mengenai memaafkan perselingkuhan di Indonesia pernah dilakukan oleh Sa’adah et al. (2012). Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa proses istri memaafkan suami yang berselingkuh terjadi bertahap dan


(30)

berulang-ulang. Proses memaafkan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti permintaan maaf suami, dukungan dari keluarga, dan kepedulian anak terhadap permasalahan, membantu seorang istri dalam proses memafkan suami yang melakukan perselingkuhan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat bahwa kebanyakan penelitian yang dilakukan membahas mengenai dinamika istri dalam menghadapi perselingkuhan yang dilakukan oleh suami mereka. Pada faktanya, tidak menutup kemungkinan bahwa istri juga dapat melakukan perselingkuhan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk membahas mengenai dinamika suami dalam menghadapi perselingkuhan yang dilakukan oleh istri mereka. Peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai bagaimanakah proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian adalah: Bagaimanakah proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan?

C.Tujuan Peneltian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan.


(31)

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu psikologi, khususnya psikologi keluarga dan psikologi well-being, mengenai proses suami memaafkan istri yang pernah selingkuh sebagai upaya mempertahankan perkawinan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pasangan suami-istri

Penelitian ini diharapkan dapat mejadi referensi kepada suami dalam upaya mempertahankan perkawinan dengan cara memaafkan ketika terjadi perselingkuhan yang dilakukan oleh istri.

b. Bagi psikolog, konselor dan terapis

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para psikolog, konselor dan terapis dalam melakukan konseling atau terapi memaafkan pada pasangan suami istri yang sedang menghadapi masalah perselingkuhan dalam rangka mendampingi pasangan mempertahankan perkawinan. c. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat bahwa solusi dari perselingkuhan dalam perkawinan tidak selalu harus berakhir dengan perceraian, tetapi ada solusi lain yaitu memaafkan yang pada akhirnya dapat tetap mempertahankan perkawinan.


(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini peneliti menjabarkan lebih lanjut mengenai landasan teori yang mendasari penelitian “Proses Suami Memaafkan Istri yang Berselingkuh dalam Rangka Mempertahankan Perkawinan”. Pada bab ini akan dibahas mengenai pengertian perkawinan, perselingkuhan, memaafkan, dan proses memaafkan dalam perkawinan yang salah satu pasangan pernah melakukan perselingkuhan.

A.Perkawinan

1. Definisi Perkawinan

Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2000).

Menurut Fatima dan Ajmal (2012) perkawinan merupakan lembaga sosial di mana seorang pria dan seorang wanita membangun keputusan mereka untuk hidup sebagai pasangan suami istri dengan komitmen hukum dan upacara keagamaan. Perkawinan merupakan kontrak yang sah antara dua orang yang memungkinkan mereka untuk bereproduksi atau melakukan hubungan intim yang sah dalam hukum dan agama. Seseorang


(33)

memutuskan untuk menikah karena berbagai alasan, misalnya hukum, sosial, emosional, ekonomi, agama atau untuk meneruskan garis keturunan dan memiliki anak.

Sigelman (dalam Fatima & Ajmal, 2012) mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua.

Berikut ini definisi perkawinan menurut beberapa agama, antara lain: Perkawinan dalam Islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman atau sakinah dengan cara-cara yang di

ridhoi Allah SWT (http://definisipengertian.com).

Dalam Katolik perkawinan didefinisikan sebagai

persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, yang terjadi karena persetujuan pribadi, yang tak dapat ditarik kembali, dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami istri, dan pada pembangunan keluarga, dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna, dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian (http://www.imankatolik.or.id).


(34)

Agama Hindu mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan sekala

niskala atau lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal atau satya Alaki rabi (http://www.babadbali.com).

Perkawinan dalam pengertian Buddhisme adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma atau ajaran Sang Budha (http://artikelbuddhist.com).

Dari definisi mengenai perkawinan di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan sah baik secara hukum dan agama, antara pria dan wanita yang dilakukan berdasarkan persetujuan pribadi serta dilandasi rasa saling mencintai sebagai pasangan suami istri dan dituntut adanya tanggung jawab yang melibatkan keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua serta kesetiaan kepada pasangan.

2. Alasan Orang Menikah

Ada banyak alasan ketika seseorang memutuskan untuk menikah. Setiap orang mempunyai alasan yang berbeda-beda ketika memutuskan untuk menikah. Bagi orang-orang yang memutuskan untuk menikah, mereka memiliki motivasi yang mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sosial, dalam hal ini menikah. Secara garis besar Turner dan


(35)

Helms (1995) menyebutkan beberapa alasan seseorang memutuskan untuk menikah, yaitu:

a. Cinta

Cinta dan komitmen menjadi salah satu alasan utama seseorang memutuskan untuk menikah. Melalui perkawinan pasangan yang saling mencintai dan memiliki komitmen dapat berbagi satu dengan yang lain dalam hubungan yang lebih intim dan abadi.

b. Persahabatan

Persahabatan juga merupakan alasan penting seseorang untuk menikah. Melalui perkawinan, pasangan yang saling mencintai memiliki kesempatan untuk menghabiskan hidup bersama dengan dilandasi ikatan emosional, perasaan aman dan nyaman sebagai pasangan suami istri. Perasaan sebagai sahabat pada pasangan yang saling mencintai menyediakan kesempatan untuk saling berbagi dalam menjalani keseharian hidup berkeluarga.

c. Konformitas

Bagi kebanyakan orang pernikahan merupakan suatu hal yang harus dilakukan atau tahap perkembangan alami yang dilalui dalam membangun hubungan. Setelah melalui tahap berpacaran dan bertunangan, menikah dipandang sebagai tahap akhir dari proses memilih pasangan hidup. Alasan ini biasanya juga didukung oleh adanya dorongan sosial seperti dari keluarga, teman, dan hal-hal pribadi lain yang mendorong pasangan untuk menikah.


(36)

d. Legitimasi untuk berhubungan seks

Status pernikahan memberikan persetujuan sosial kepada pasangan untuk melakukan hubungan seksual, meskipun besar kemungkinan hubungan seksual dapat dilakukan di luar pernikahan. Tetapi hal ini didasari oleh nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat.

e. Legitimasi untuk mendapatkan anak

Seorang anak lahir dalam hubungan perkawinan memiliki identitas yang sah. Pada beberapa masyarakat sangat merasa bahwa seorang anak yang lahir di luar nikah adalah tidak bermoral. Faktanya, kebanyakan pasangan yang memutuskan untuk menikah karena mereka ingin memiliki keturunan atau anak secara sah di mata hukum dan agama.

f. Kesiapan

Kebanyakan pasangan melaporkan bahwa mereka memutuskan untuk menikah setelah mereka memang benar-benar merasa siap. Kebanyakan pasangan yang telah siap untuk menikah merasa bahwa mereka telah melakukan hal-hal yang mereka inginkan sebelum menikah. Hal-hal tersebut biasanya meliputi pendidikan yang sudah selesai, pencapaian karir, dan hal yang bersifat pribadi.

g. Mendapatkan manfaat lain

Alasan lain yang membuat pasangan memutuskan untuk menikah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Walaupun, alasan ini


(37)

bukan merupakan alasan utama atau yang sering diungkapkan tetapi secara tidak langsung pasangan yang telah menikah akan secara bersama-sama meningkatkan kesejahteraan hidup dalam hal ini ekonomi.

Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa alasan pasangan yang memutuskan untuk menikah seperti yang telah dijabarkan di atas, yaitu cinta, rasa persahabatan, dorongan dari berbagai pihak, legitimasi untuk berhubungan seks, keinginan untuk memiliki anak, kesiapan, dan peningkatan kesejahteraan hidup. Selain itu ada juga alasan yang pernah diungkapkan bahwa pasangan yang memutuskan untuk menikah karena mereka tidak mau hidup sendiri. Mereka memutuskan untuk menikah karena ingin menemukan teman hidup dan keluarga serta merasakan kebahagian hidup bersama pasangan (Turner, 1996).

3. Komunikasi dalam Keluarga

Komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan perkawinan dan keluarga. Komunikasi dapat dilihat sebagai suatu simbol, proses timbal balik, atau secara sederhana, merupakan proses menciptakan dan berbagi makna. Komunikasi sebagai simbol yang dimaksud adalah bahwa simbol digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Komunikasi verbal adalah simbol yang paling sering diggunakan, tetapi komunikasi verbal juga melibatkan perilaku nonverbal, seperti ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh, posture tubuh, penampilan, dan jarak spasial. Pada


(38)

suatu keluarga terkadang mungkin menggunakan ciuman, makanan spesial, mainan, benda atau puisi sebagai suatu simbol untuk menunjukkan cinta (Galvin & Brommel, 1982).

Galvin dan Brommel (1982) menjelaskan mengenai sistem karakteristik yang ada dalam suatu keluarga, yaitu adanya:

a. Saling bergantung: dalam suatu keluarga, setiap anggota memiliki keterikatan satu sama lain. Ketika anggota yang lain sedang mengalami kesulitan atau sedang sakit, anggota keluarga yang lain akan membantu menjaga dan memberikan dukungan serta kekuatan sehingga anggota tersebut dapat menghadapi kesulitan tersebut.

b. Aturan: setiap keluarga memiliki aturan dan pola komunikasi dalam berinteraksi dengan anggota keluarga. Aturan dan pola komunikasi yang dimiliki suatu keluarga dapat menunjukkan cara keluarga tersebut dapat memecahkan suatu permasalahan yang terjadi.

c. Penyesuaian: setiap keluarga memiliki kemampuan dalam merestrukturisasi diri mereka kembali untuk mengatasi perkembangan dan perubahan situasi di sekitar mereka. Keluarga memiliki kemampuan penyesuaian untuk menghadapi situasi-situasi yang mereka alami.

d. Keterbukaan: setiap anggota keluarga saling membutuhkan satu sama lain. Mereka saling bergatung satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, keterbukaan sangat diperlukan dalam menjalin komunikasi antar


(39)

anggota keluarga. Keterbukaan membantu suatu keluarga dalam memahami siatuasi yang dialami setiap anggota keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian (Navran, dalam Galvin & Brommel, 1982) menunjukkan bahwa pasangan suami istri yang sering berkomunikasi satu dengan yang lain akan menunjukkan bahwa mereka adalah pasangan yang bahagia. Pasangan yang berbahagia lebih sering melakukan komunikasi, seperti:

a. Mereka lebih sering membicarakan hal-hal yang menyenangkan yang terjadi selama hari itu.

b. Mereka merasa lebih saling memahami satu sama lain dengan pasangan mereka.

c. Mereka mendiskusikan hal-hal yang menarik.

d. Mereka selalu berusaha untuk tetap berkomunikasi setiap hari.

e. Mereka lebih sering membicarakan satu sama lain mengenai masalah pribadi yang sedang dialami.

f. Mereka membuat kata-kata pribadi yang hanya dipahami oleh mereka berdua.

g. Mereka sering berdiskusi mengenai berbagai peristiwa, berkaitan dengan diri mereka berdua.

h. Mereka lebih sensitif terhadap perasaan yang dialami oleh pasangan mereka dan melakukan penyesuaian diri untuk berbicara dengan pasangan mereka.


(40)

i. Mereka secara bebas membicarakan hal-hal yang intim tanpa merasa malu.

j. Mereka lebih dapat menyampaikan seberapa baiknya pasangan mereka hari ini.

k. Mereka juga lebih banyak melakukan komunikasi nonverbal untuk menunjukkan perasaan cinta terhadap pasangan.

Gottman et al. (dalam Galvin & Brommel, 1982) menyimpulkan bahwa perilaku atau komunikasi nonverbal adalah hal yang penting. Mereka menunjukkan ada kemungkinan bahwa pasangan yang sedang mengalami suatu tekanan akan lebih mengekspresikan perasaan mengenai permasalahan yang sedang dihadapi, hal yang dipikirkan, dan ketidaksetujuan, dengan perilaku atau komunikasi nonverbal yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal serta pola komunikasi berperan penting dalam menjaga kestabilan suatu keluarga.

4. Permasalahan dalam Perkawinan

Kertamuda (2009) menjelaskan bahwa dalam perkawinan dan hidup berkeluarga tidak lepas dari adanya permasalahan. Banyak kasus yang disebabkan oleh permasalahan dalam perkawinan yang dapat menimbulkan konflik dan keretakan pada pasangan. Permasalahan yang terjadi seringkali mengancam keharmonisan, kelangsungan hubungan


(41)

pasangan dan hubungan antaranggota keluarga sehingga terkadang dapat menyebabkan perceraian. Permasalahan tersebut antara lain:

a. Pria Idaman Lain (PIL) dan Wanita Idaman Lain (WIL)

Istilah PIL dan WIL yang sering diggunakan pada masyarakat umum pada dasarnya menunjuk pada istilah affair, selingkuh, ketidaksetiaan, perzinahan, serong atau seks di luar pernikahan yang dilakukan oleh salah satu atau keduanya dari pasangan suami istri. b. Tinggal dengan mertua

Beberapa pasangan suami istri yang telah menikah seringkali memilih untuk tetap tinggal dengan salah satu orangtua mereka. Terdapat banyak alasan yang membuat pasangan suami istri tetap tinggal dengan orangtua ataupun mertua. Masalah yang muncul adalah tidak cukup mudah untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru sebagai tempat tinggal. Permasalahan yang sering timbul adalah mengenai komunikasi, budaya, nilai-nilai, persepsi, serta masalah-masalah yang terkait dengan pola asuh di keluarga tersebut.

c. Pertengkaran antaranggota keluarga

Adakalanya hubungan antaranggota tidak berjalan dengan mulus, banyak faktor yang menjadi penyebab perselisihan. Faktor tersebut dapat muncul baik dari dalam maupun luar keluarga tersebut. Masalah yang tidak dapat dikendalikan akan memunculkan konflik yang berkepanjangan sehingga sering mengakibatkan pertengkaran antaranggota keluarga.


(42)

d. Anak cacat

Dalam keluarga yang memiliki anak cacat, baik itu secara fisik maupun mental dapat menimbulkan permasalahan tersendiri terutama bagi orangtua. Permasalahan yang ada akan mempengaruhi keluarga tersebut di dalam lingkungan keluarga itu sendiri dan lingkungan masyarakat. Permasalahan yang dihadapi keluarga dengan anak yang mengalami dan menderita cacat adalah tidak mudah untuk menerima dan menghadapi lingkungan sosialnya.

e. Penyimpangan hubungan seksual pada salah satu pasangan

Masalah seksual terkadang juga dapat menjadi pemicu munculnya konflik dalam perkawinan. Ketidakpuasan dalam hubungan seksual dapat menjadi salah satu indikator yang memunculkan permasalahan dalam perkawinan. Ada orang-orang tertentu yang memiliki penyimpangan seksual, seperti contoh homoseksual, pedofilia (penyimpangan seksual dimana seorang dewasa menyukai orang yang usianya jauh terpaut dibawahnya), dan

promiscuity (hubungan seksual dengan dua atau lebih pasangan).

Penyimpangan seksual yang terjadi dalam perkawinan dapat menimbulkan konflik dan perasaan-perasaan yang dapat mengganggu hubungan suami istri.

f. Perbedaan agama

Perbedaan agama dapat menjadi konflik pasangan dalam perkawinan. Konflik yang terjadi dapat muncul karena


(43)

ketidakpahaman, ketidaktahuan atau ketidaksesuaian dengan yang dikerjakan oleh pasangannya.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dapat menyebabkan perceraian di atas, peneliti berfokus pada permasalahan perselingkuhan. Banyak kasus perceraian akibat perselingkuhan (gangguan pihak ketiga) yang terjadi di Indonesia. Peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai kasus perceraian akibat perselingkuhan yang banyak terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil pencatatan oleh Badilag telah terjadi peningkatan perceraian sepanjang tahun 2005 hingga 2010 sebesar 70%. Perselingkuhan merupakan salah satu alasan yang menjadi penyebab utama pasangan suami istri bercerai. Pada tahun 2010 sendiri menunjukkan bahwa perselingkuhan menempati posisi keempat sebagai alasan pasangan bercerai. Tercatat sebanyak 20.199 perkara perceraian yang diputuskan akibat perselingkuhan. Pada tahun 2011 kasus perceraian akibat perselingkuhan yang dicatat Badilag juga mengalami peningkatan sebesar 20.563 perkara. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai perselingkuhan yang terjadi dalam perkawinan karena perselingkuhan berpotensi untuk mengakhiri suatu hubungan perkawinan.


(44)

B.Perselingkuhan

1. Definisi Perselingkuhan

Perselingkuhan pada umumnya dipahami sebagai pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan seseorang, dan merupakan ancaman terhadap ikatan perkawinan (Mao & Raguram, 2009).

Stephen (2005) menyebutkan bahwa perselingkuhan bertentangan dengan aturan umum dasar perkawinan. Perselingkuhan melibatkan pengkhianatan terhadap pasangan dan sumpah atau janji perkawinan.

Secara umum, perselingkuhan dianggap sebagai tanda bahwa ada sesuatu yang salah dalam hubungan perkawinan. Perselingkuhan menunjukkan bahwa tidak ada kasih dan kebahagiaan dalam hubungan perkawinan (Kristee, 2011).

Then (2008, terj.) dalam buku yang berjudul Kisah-kisah Perempuan yang Bertahan dalam Perkawinan menjelaskan perselingkuhan sebagai suatu bentuk pelanggaran terhadap eksklusifitas hubungan seks antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menikah. Perselingkuhan terjadi ketika seorang yang telah menikah melakukan hubungan seks dengan seseorang yang bukan pasangannya.

Hackathorn et al. (2011) dalam artikel Practicing What You Preach:

Infidelity Attitudes as a Predictor of Fidelity menjelaskan bahwa

perselingkuhan secara umum dikenal sebagai setiap tindakan seksual yang dilakukan di luar hubungan komitmen pasangan, yang juga merupakan


(45)

pelanggaran perjanjian yang telah dibuat. Namun, definisi tersebut tidak selalu tepat untuk digunakan, karena ada banyak cara di mana seseorang mungkin melakukan perselingkuhan tanpa melibatkan tindakan seksual. Seseorang dapat melakukan perselingkuhan dengan melibatkan interaksi seksual dan atau dengan membentuk hubungan emosional yang dalam dan bermakna dengan pasangan selingkuh.

Definisi mengenai perselingkuhan terkadang masih cukup ambigu, dengan melihat perilaku yang dilakukan dalam perselingkuhan. Weis dan Felton (dalam Hackathorn et al., 2011) mengemukakan bahwa, meskipun ada anggapan umum bahwa aktivitas seksual yang dilakukan dengan pasangan di luar pernikahan adalah perselingkuhan, ada ketidaksetujuan tentang apakah perilaku ambigu (misalnya pergi ke bioskop dengan orang lain yang bukan pasangan) juga dapat dianggap sebagai perselingkuhan. Feldman dan Cauffman (dalam Hackathorn et al., 2011) mengemukakan bahwa perilaku perselingkuhan yang ambigu seperti minum kopi dan pergi ke bioskop dengan orang lain yang bukan pasangan merupakan perilaku yang dapat diterima dan dipertimbangkan. Di sisi lain, perilaku seperti menggoda dan berfantasi tentang orang lain yang bukan pasangan merupakan perilaku yang kurang dapat diterima. Hackathorn (dalam Hackathorn et al., 2011) menunjukkan bahwa perilaku online, seperti

chatting, dapat dianggap sebagai perselingkuhan dengan konsekuensi yang


(46)

Dari definisi di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa perselingkuhan dapat diartikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap janji dan komitmen perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua orang dari pasangan tersebut, dimana pelanggaran yang dilakukan melibatkan perilaku seksual dan atau perasaan emosional yang mendalam dengan orang lain.

2. Penyebab Perselingkuhan

Shackelford et al. (2008) dalam penelitian yang mereka lakukan menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi dikarenakan faktor kepribadian dan kepuasan perkawinan. Dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa orang dengan pasangan yang tidak menyenangkan dan tidak bisa diandalkan akan cenderung merasa kurang puas dengan pernikahan mereka. Hal tersebut yang pada akhirnya menjadi faktor yang berpotensi seseorang melakukan perselingkuhan.

Ginanjar (2009) menyimpulkan sejumlah alasan perselingkuhan dari berbagai sumber (contoh, Blow, 2008; Eaves & Robertson-Smith, 2007; Subotnik & Harris, 2005; Weiner-Davis, 1992) yaitu:

1. Perselingkuhan terjadi karena ada kesempatan untuk melakukan perselingkuhan, seperti kemudahan bertemu dengan lawan jenis di tempat kerja, ada sarana hotel dan apartemen yang dapat dijadikan sebagai tempat pertemuan rahasia, dan tersedianya sarana komunikasi modern saat ini.


(47)

2. Ketidakharmonisan rumah tangga yaitu ditunjukkan dengan tidak tercapainya harapan-harapan perkawinan yang justru harapan-harapan tersebut diperoleh dari pasangan selingkuh.

3. Kebutuhan seks yang tidak terpenuhi dalam perkawinan.

4. Kebutuhan yang besar akan perhatian yang tidak dapat diperoleh dari pasangan perkawinan, kebutuhan akan perhatian justru dapat diperoleh dari pasangan selingkuh.

5. Hubungan jarak jauh dengan pasangan, misal pasangan memiliki pekerjaan yang mengharuskan selalu keluar kota. Hal ini yang juga akan memunculkan perasaan kesepian pada pasangan yang ditinggal pergi untuk pekerjaan.

Layton (dalam Zaka al Farisi, 2008), seorang ahli psikologi meneliti mengenai alasan seseorang melakukan perselingkuhan. Dalam penelitian Layton terhadap pasangan yang melakukan perselingkuhan disebutkan beberapa alasan yang selalu diungkapkan seseorang ketika mereka terlibat perselingkuhan. Alasan-alasan tersebut, yaitu:

1. merasakan ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan

2. adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan tersebut 3. problem pribadi di masa lalu

4. kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual 5. sulit untuk menolak “godaan”

6. marah terhadap pasangan


(48)

8. kecanduan alkohol atau pun obat-obatan 9. seringnya hidup berpisah lokasi

10. ingin membuat pasangan menjadi cemburu

Dari penyebab perselingkuhan yang telah dijabarkan di atas peneliti menyimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) faktor yang menyebabkan seseorang berselingkuh, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat berupa kepribadian dan kondisi dalam hubungan perkawinan, sedangkan faktor eksternal dapat berupa kesempatan untuk bertemu dengan pasangan selingkuh.

3. Jenis-jenis Perselingkuhan

Perselingkuhan pada umumnya dipahami sebagai suatu pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan seseorang, dan merupakan ancaman terhadap ikatan perkawinan. Penelitian mengenai perselingkuhan telah menjawab terdapat 3 (tiga) jenis pengkhianatan yang terjadi, yatu: perselingkuhan seksual, emosional, dan perselingkuhan secara online yang merupakan penelitian terbaru.

a. Perselingkuhan seksual

Perselingkuhan seksual, dapat didefinisikan sebagai hubungan seks yang dilakukan bukan dengan pasangan dalam perkawinan. Pada konteks hubungan monogami, perselingkuhan seksual dianggap menjadi salah satu ancaman yang paling signifikan terhadap stabilitas hubungan orang dewasa, termasuk perkawinan (Mark, Janssen, &


(49)

Milhausen, 2009). Perselingkuhan seksual cenderung dilakukan oleh pria (Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001). Alasan yang dikemukanan pria ketika melakukan perselingkuhan, yaitu ketidakpuasan hubungan seksual dengan istri dan keinginan untuk mencari variasi kehidupan seksual (Cann & Baucom, 2004).

b. Perselingkuhan emosional

Brase et al. (dalam Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001) menjelaskan bahwa perselingkuhan emosional terjadi ketika seseorang yang berada dalam hubungan berkomitmen (perkawinan) menjadi terlibat secara emosional (misalnya, perasaan cinta romantis) dengan orang lain selain pasangan mereka. Perselingkuhan emosional cenderung dilakukan oleh perempuan (Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001). Alasan yang sering diungkapkan oleh istri ketika berselingkuh yaitu karena merasa kurang adanya perhatian dari suami mereka (Kristee, 2011).

c. Perselingkuhan secara online

Penelitian yang dilakukan oleh Mao dan Raguram (2009) menjelaskan bahwa dengan perkembangan internet saat ini, perselingkuhan yang merupakan hubungan romantis, seksual, dan perasaan emosional dengan orang lain selain pasangan, dapat dilakukan melalui kontak online dan percakapan elektronik yang terjadi melalui

email dan chat room. Perselingkuhan melalui media elektornik


(50)

interaktif dengan anggota lawan jenis melalui media tersebut. Hubungan melalui dunia maya dapat menjadi suatu hubungan yang berkelanjutan khususnya bagi seseorang yang bekerja menggunakan media online atau chat room.

Terdapat perdebatan tentang apakah chatting merupakan perselingkuhan. Perdebatan yang muncul adalah melihat sifat dari media chatting yang bersifat pribadi dan rahasia. Mileham (dalam Mao & Raguram, 2009) telah mendefinisikan bahwa sebagian besar perselingkuhan terjadi berdasarkan tiga faktor: Pertama, lembaga perkawinan yang melibatkan keberadaan ikatan emosional dan seksual, ketika terjadi hubungan yang melibatkan perilaku seksual dengan orang lain selain pasangan tersebut dianggap sebagai perselingkuhan. Kedua, perselingkuhan biasanya terjadi secara rahasia, dan disembunyikan dari pasangannya. Ketiga, sifat dari penghubung chat room yang pribadi dapat menyebabkan terjadi perselingkuhan. Kebanyakan pasangan merasa dikhianati, marah, dan sakit hati dengan perselingkuhan online karena mereka mengganggap bahwa aktivitas online yang dilakukan secara pribadi dan sembunyi-sembunyi menandakan telah terjadi perselingkuhan. Mileham juga menetapkan bahwa dalam kasus ketika kegiatan chat room dilakukan tidak tersembunyi dari pasangan, maka hal tersebut bukan merupakan perselingkuhan.


(51)

4. Dampak Perselingkuhan

Perselingkuhan kebanyakan pada akhirnya berujung pada perceraian pasangan suami istri. Selain itu, Spring (2006) dalam bukunya After the

Affair menjelaskan bahwa perselingkuhan yang terjadi akan membawa

dampak psikologis bagi pasangan yang telah dikhianati. Dampak psikologis tersebut, adalah:

a. Kehilangan identitas diri

Seseorang yang mengetahui pasangannya telah berselingkuh dapat mengalami perubahan konsep terhadap diri sendiri. Seseorang akan mengganggap dirinya sebagai orang yang telah hancur dan dilecehkan. Seseorang yang pada awalnya mengganggap bahwa dirinya adalah orang yang punya kemampuan, baik, bersahabat, mandiri, humoris, dan menarik, ketika mengetahui pasangannya telah berselingkuh dapat seketika berubah pandangan terhadap diri sendiri. Seseorang yang mengetahui pasangannya telah berselingkuh akan memiliki gambaran negatif terhadap diri sendiri. Seseorang akan menggaggap dirinya sebagai seseorang yang pencemburu, pemarah, pendedam, tidak dapat mengendalikan diri, terlecehkan, penakut, kesepian, terhina, buruk, curiga, dan telah dipermalukan secara sosial. Seseorang yang telah dibutakan oleh pengkhianatan pasangannya akan kehilangan diri yang dikenalnya, dia menjadi meragukan kebaikan yang dilakukkannya, serta kehilangan kemampuan untuk memahami lingkungan sekitarnya.


(52)

b. Kehilangan rasa keistimewaan dalam diri

Pada awalnya seseorang merasa bahwa dia adalah orang yang paling berarti bagi pasangannya. Tetapi, ketika seseorang mengetahui bahwa pasangannya telah mengkhianatinya dengan melakukan perselingkuhan, maka munculah perasaan tidak berguna dalam diri orang tersebut. Seseorang akan merasa bahwa dirinya tidak ada artinya lagi. Salah satu klien dari Spring (2006) mengungkapkan bahwa ketika dia mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh dengan sekretaris, dia merasa telah kehilangan orang yang selama ini dicintai dan dipercayai. Klien dari Spring (2006) merasa bahwa dia tidak berguna lagi, kehilangan semangat dalam menjalani hidup dan seperti “sampah”. c. Hilangnya harga diri karena telah mengorbankan nilai-nilai yang

dipercayai

Seseorang yang mengetahui bahwa pasangannya telah berselingkuh akan muncul perasaan tak berdaya dalam diri. Ada beberapa orang yang berusaha untuk tetap mempertahankan pasangan dengan merebut kembali pasangan dari teman berselingkuh. Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk merebut kembali pasangan mereka hingga mengorbankan nilai-nilai yang mereka percayai. Spring (2006) menjelaskan lebih lanjut bahwa kebanyakan klien yang datang kepadanya merasa putus asa setelah mengetahui pasangan mereka telah berselingkuh. Kebanyakan klien merasa bahwa suami mereka yang berselingkuh telah melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam


(53)

perkawinan yang mereka jalani. Salah seorang klien mengatakan bahwa dia mengalami depresi yang berat ketika mengetahui suaminya berselingkuh. Klien tersebut kehilangan napsu makan dan mengalami penurunan berat badan sampai 10 (sepuluh) kilogram.

d. Hilangnya harga diri karena gagal menyadari kekeliruan yang telah terjadi

Pada saat kasus perselingkuhan belum terungkap jelas dalam perkawinan, tetapi seseorang mengetahui bahwa pasangannya telah berselingkuh mengganggap harga dirinya akan hancur, sehingga terkadang mereka berusaha untuk menyembunyikan kecurigaan mereka dan menyimpan di dalam hati.

Salah seorang klien dari Spring (2006) bernama Tom mengungkapkan bahwa sebelum dia pada akhirnya bercerai dengan istrinya, suatu waktu dia pernah memergoki istrinya berpelukan dengan atasan. Tom berusaha untuk tidak mempercayai pengelihatannya dan membuang pikiran negatif mengenai ada kemungkinan istrinya berselingkuh dengan atasan. Tom kemudian mencoba menanyakan hal tersebut kepada istrinya, tetapi istrinya menjawabnya dengan nada mengejek. Perilaku yang ditunjukkan istri Tom, membuat dia menjadi percaya bahwa memang benar istrinya telah berselingkuh. Pada saat suatu perselingkuhan terungkap, seseorang berharap untuk tidak menjadi terlalu waspada terhadap pasangannya. Kecurigaan yang dimiliki seseorang terhadap pasangannya terkadang terlalu mendalam


(54)

dan tajam. Apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh pasangan menjadi sulit dibedakan antara yang merupakan kebenaran atau hanya karangan saja. Seseorang menjadi tidak mempercayai pasangan dan juga tidak mempercayai kebenaran kecurigaannya selama ini.

e. Kehilangan kontrol atas pikiran dan perasaan

Setelah perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan terungkap, seberapa pun besar usaha seseorang untuk mengurai apa yang telah terjadi, baik pikiran mau pun perilaku yang ditunjukkan menjadi di luar kontrol diri seseorang. Seseorang akan menjadi lebih obsesif terhadap kebohongan pasangannya, detail perselingkuhan, dan peristiwa yang menyebabkan perselingkuhan. Seseorang menjadi lebih bekerja keras untuk menekan kecemasan yang muncul akibat perselingkuhan.

f. Kehilangan perasaan aman dan keadilan

Seseorang mungkin mengganggap bahwa dirinya dapat memahami bagaimana dunia bekerja, dan merasa dapat mengendalikan kehidupan yang dijalani. Namun, ketika seseorang mengetahui pasangannya telah berselingkuh, dia menjadi memiliki kayakinan dan mengganggap bahwa dunia akan berakhir. Asumsi yang dimiliki seseorang terhadap perkawinannya akan langgeng menjadi hancur. Seseorang menjadi merasa tidak nyaman lagi dengan perkawinan yang dijalani dan mengganggap bahwa kehidupan ini tidak adil baginya.


(55)

g. Kehilangan kepercayaan akan Tuhan

Setelah perselingkuhan yang telah dilakukan oleh pasangan seseorang terkuak, seseorang berusaha untuk mencoba memahami penderitaan yang dialami. Beberapa orang yang menjadi korban perselingkuhan oleh pasangannya merasa seperti telah dihukum dan ditinggalkan oleh Tuhan. Seseorang menjadi memiliki anggapan bahwa Tuhan itu kejam. Seseorang menjadi meragukan kepercayaannya akan Tuhan.

h. Kehilangan keterikatan dengan orang lain atau orang disekitar

Setelah perselingkuhan yang dilakukkan oleh pasangan seseorang terkuak di muka umum, seseorang akan menjadi malu dan merasa rendah diri. Seseorang merasa bahwa orang-orang disekitarnya akan menjadi membicarakan dan menghindarinya karena aib yang dialami. Pada saat seseorang ingin mengungkapkan perasaan yang dideritanya, seseorang tidak dapat melakukan karena merasa sendiri. Seseorang menjadi merasa ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya.

i. Kehilangan tujuan dan kemauan untuk hidup

Seseorang yang menjadi korban perselingkuhan menjadi tidak dapat menggambarkan bagaimana dia harus mencintai dan dicintai lagi. Seseorang menjadi kehilangan kemampuan untuk menilai diri sendiri dan memaknai kehidupan yang dijalani. Seseorang menjadi merasa bahwa hidup lebih menyakitkan daripada tidak hidup. Respon yang sering banyak ditunjukkan adalah keinginan untuk bunuh diri.


(56)

Seseorang merasa tidak mempunyai keinginan untuk menjalani hidup lagi karena pengkhianatan yang dilami.

Satiadarma dalam buku Menyikapi Perselingkuhan (2001) menjelaskan bahwa dampak negatif sebenarnya juga dirasakan oleh pasangan yang melakukan perselingkuhan berupa tekanan dari kesadaran moral yang membuatnya sangat bersalah, dan berdampak pada fisik serta tekanan psikologis. Dampak psikologis yang dirasakan oleh pasangan yang melakukan perselingkuhan biasanya berupa perasaan malu dan tersisih, sehingga seringkali muncul upaya untuk melarikan diri dan rasionalisasi terhadap kesalahan yang dilakukan. Dampak perselingkuhan dalam perkawinan juga akan dirasakan oleh anak dalam keluarga. Anak akan mengalami konflik dalam diri melihat kedua orangtua yang mengalami perselingkuhan. Anak menjadi merasa terbebani dan memiliki perasaan yang tidak menentu. Di sisi lain, anak membutuhkan kedua orangtua mereka sebagai figur panutan, tetapi ketika mereka mengetahui permasalahan perselingkuhan pada orangtua mereka menjadi meragukan apakah kedua orangtua mereka dapat dijadikan figur panutan.

Jadi, selain memiliki potensi untuk mengakhiri suatu hubungan perkawinan, perselingkuhan juga membawa dampak negatif pada psikologis pasangan yang disakiti, terhadap pelaku perselingkuhan yang berupa perasaan bersalah, dan juga dampak negatif pada anak-anak pasangan yang mengalami perselingkuhan berupa pikiran yang terbebani serta perasaan yang tidak menentu.


(57)

C.Memaafkan

1. Definsi Memaafkan

Memaafkan merupakan suatu konsep yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan agama dan praktek keimanan seseorang. Seiring berjalannya waktu konsep mengenai memaafkan kemudian diterima dalam studi empiris di luar literatur agama, dalam hal ini literatur psikologi (Idemudia & Mahri, 2011).

Dalam literatur psikologis, memaafkan bukanlah kondisi yang mengarah pada melupakan peristiwa yang telah terjadi pada seseorang. Sebaliknya, memaafkan adalah suatu bentuk tanggapan terhadap ketidaksesuaian yang menyebabkan berkurangnya perasaan dendam dan marah terhadap pelaku dan peristiwa, serta memunculkan perasaan, pemikiran dan perilaku yang lebih positif (Worthington, 2001).

Yamhure Thompson et al. (dalam Lopez & Synder, 2003) mendefinisikan memaafkan sebagai proses reframing atau pemaknaan kembali suatu pelanggaran yang dapat bersumber dari diri sendiri, orang lain atau, situasi diluar kendali yang dirasakan seseorang, sehingga respon yang diberikan terhadap pelanggar, pelanggaran, dan dampak dari pelanggaran tersebut berubah dari negatif menjadi netral atau positif. Mereka juga menjelaskan bahwa memaafkan merupakan proses intrapersonal.

Enright et al. (dalam Lopez & Synder, 2003) mendefinisikan memaafkan sebagai suatu kesediaan untuk membuang kemarahan,


(58)

judgment yang negatif, dan perilaku menarik diri terhadap seseorang yang telah melukai perasaan, ketika seseorang tidak seharusnya memberikan rasa kasihan, kemurahan hati, dan juga cinta terhadap orang yang telah menyakiti. Mereka juga merumuskan bahwa memaafkan merupakan perbuatan baik terhadap pelaku sebagai kebutuhan bagian dalam memaafkan.

Younger et al. (dalam Sharon, 2009) menyebutkan bahwa memaafkan sebagai proses relasional yaitu melepaskan dampak negatif dengan tujuan untuk tetap mempertahankan hubungan.

Tsarenko dan Toijib (dalam Kymenlaakso, 2012) mendefinisikan memaafkan sebagai proses berkembangnya emosional dan kognitif seseorang yang membutuhkan usaha pada setiap tahap. Setelah emosi negatif sudah dilepas dan kemauan untuk menghukum atau membalas dendam kepada pelaku telah diselesaikan, maka proses memaafkan dari mengubah ke dalam bentuk tindakan dikatakan bahwa memaafkan telah diberikan kepada pelaku.

Dari definisi mengenai memaafkan di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa memaafkan merupakan proses pengolahan emosional dan kognitif seseorang setelah orang tersebut mengalami suatu pelanggaran (dalam hal ini perselingkuhan), sehingga emosi negatif yang muncul dapat diubah dalam bentuk perilaku yang positif, kebencian dan keinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku hilang, serta adanya


(59)

keinginan untuk tetap mempertahankan hubungan dengan orang yang telah melukai.

2. Proses Memaafkan

Gani (2011) dalam buku yang berjudul Forgiveness Therapy menyebutkan bahwa beberapa ahli yang meneliti mengenai memaafkan juga telah menuliskan tahapan untuk memaafkan. Jika diamati lebih lanjut, setiap proses yang dilakukan pada dasarnya sama, tetapi para ahli memutuskan untuk memisahkannya menjadi satu proses yang juga menjadi bagian proses yang lain.

Fred Luskin (dalam Gani, 2011) menjelaskan terdapat 4 (empat) tahap dalam memaafkan, yaitu:

Tahap 1: Seseorang menyadari emosi kemarahan yang ada dalam diri Tahap 2: Seseorang menyadari perasaan negatif yang dimiliki dapat berbahaya bagi diri

Tahap 3: Seseorang kemudian memilih untuk bertindak lebih bermanfaat Tahap 4: Seseorang memutuskan untuk mengambil tindakan proaktif

Enright (dalam Gani, 2011) juga menjelaskan bahwa untuk dapat memaafkan, seseorang akan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu:

Tahap 1: Seseorang dapat mengungkap apa yang menjadi sumber kemarahan, bagaimana menghindari dan menghadapi kemarahan, kesadaran bahwa kemarahan berpengaruh pada kesehatan, bagaimana kemudian seseorang membandingkan situasi yang dialami sendiri dengan


(60)

yang dialami pelaku, serta melihat apakah luka yang ditimbulkan mempengaruhi perubahan kehidupan dan cara pandang terhadap dunia. Tahap 2: Seseorang berkeinginan untuk melakukan proses memaafkan, kemudian memutuskan memilih untuk memaafkan.

Tahap 3: Seseorang melakukan pemaafan dengan mencoba memahami, melakukan hal yang baik, menerima rasa sakit dengan hati yang tulus, dan memberikan hadiah kepada pelaku berupa pemaafan tersebut.

Tahap 4: Seseorang melakukan pendalaman dengan menemukan makna penderitaan, menemukan kebutuhan untuk memaafkan, menemukan bahwa seseorang yang merupakan korban tidak sendirian, menemukan tujuan hidup, dan menemukan kebebebasan memaafkan.

Smedes juga menyebutkan dalam buku Forgive and Foget (1996) bahwa perilaku memaafkan berasal dari diri sendiri. Perilaku memaafkan merupakan tindakan yang sangat sederhana, tetapi juga akan melibatkan pergolakan emosi yang sangat dalam. Hal ini merupakan cara yang tersulit dalam semua hubungan personal. Menurut Smedes (1996) untuk dapat memaafkan orang harus dapat jujur satu dengan yang lainnya. Seseorang harus dapat menurunkan ego masing-masing, berbicara satu dengan yang lain dengan tenang dan dapat melihat permasalahan dengan bijak. Lewis menambahkan terdapat 4 (empat) tahapan memaafkan, yaitu:

Tahap 1: Tahap terluka. Seseorang merasa telah terluka sangat dalam akibat perilaku orang lain. Seseorang merasa bahwa dia tidak akan dapat


(61)

melupakan perilaku orang tersebut. Pada situasi seperti ini seseorang berada pada masa krisis untuk memaafkan.

Tahap 2: Tahap membenci. Seseorang tidak dapat menghilangkan ingatan mengenai seberapa dalam dia sangat terluka. Seseorang yang telah terluka berharap orang yang melukainya tidak dapat hidup dengan baik. Seseorang yang telah terluka terkadang berharap orang yang telah melukainya juga merasakaan penderitaan yang sama.

Tahap 3: Tahap penyembuhan. Seseorang dapat melihat permasalahan yang diahadapi dengan bijak. Seseorang dapat melihat permasalahan dengan cara dan sudut pandang yang baru. Seseorang dapat melihat seseorang yang telah melukainya dengan sudut pandang yang lebih positif. Ingatan seseorang mengenai rasa sakit yang dideritanya akan hilang dan akan terbebas. Pada tahap ini seseorang memutuskan untuk memaafkan pelanggaran yang terjadi.

Tahap 4: Tahap kembali bersama. Seseorang yang telah melalui tahap penyembuhan, dia sudah terlepas dari rasa sakit hati dan tidak ada dendam lagi kepada orang yang telah menyakitinya. Seseorang dapat mengundang kembali orang yang telah menyakitinya untuk bersama-sama lagi membangun hubungan dan rasa cinta yang baru.

Jadi, memaafkan tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi memaafkan memiliki proses yang cukup panjang dan bertahap. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan tahapan memaafkan menurut Smedes. Menurut peneliti tahapan memaafkan yang telah dijabarkan Smedes


(62)

menggambarkan proses terluka ketika salah satu pasangan dalam perkawinan mengetahui adanya perselingkuhan hingga keinginannya untuk memaafkan dan kembali menjalani hidup bersama dengan pasangannya.

3. Manfaat Memaafkan

Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa memaafkan berkaitan dengan kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis (Mauger et al., 1992; Witvliet, 2001). Para peneliti membuktikan bahwa terdapat hubungan antara memaafkan dengan kesehatan fisik. World Health

Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan

kesejahteraan antara aspek fisik, mental, dan sosial individu. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa tidak adanya penyakit dalam diri orang yang bersangkutan (Witvliet, 2001).

Anderson (dalam Witvliet, 2001) mendefinisikan kesehatan sebagai kemampuan untuk mengatasi stres dan tidak adanya penyakit serta kematian dini. Kesehatan bergantung pada keberhasilan atau kegagalan dari tubuh untuk merespon dengan cara yang adaptif dalam menghadapi tantangan dari lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasa benci atau permusuhan merupakan faktor utama yang memberikan efek pada fisik seseorang terhadap kesehatan yang berkaitan dengan memaafkan. Bukti empiris menunjukkan permusuhan sebagai faktor risiko penyakit


(63)

jantung koroner. Oleh karena itu, memaafkan secara tidak langsung berhubungan dengan penyakit jantung koroner.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa memaafkan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Memaafkan dapat memberikan manfaat yang positif bagi seseorang yang melakukannya serta dapat membantu seseorang untuk lebih sehat secara fisik dan psikologis yang terkait dengan kesejahteraan hidup.

D.Budaya Patriarki

Budaya patriarki adalah budaya dimana kaum pria memiliki pengaruh yang besar dan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan wanita. Setelah sorang pria menikah, dia akan menjadi suami yang bertanggung jawab penuh sebagai seorang pemimpin dalam keluarga. Dalam budaya patriarki seorang suami yang berhak mengambil keputusan ketika ada masalah dan juga yang menentukan iya atau tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh keluarganya itu, boleh dilakukan atau tidak. Dalam budaya Indonesia sendiri, kaum pria (dalam hal ini suami) dianggap sebagai pemimpin dan penanggung jawab dalam rumah tangga. Suami dituntut untuk dapat bertanggung jawab penuh dan mengayomi keluarganya sehingga jauh dari penderitaan. Seorang suami juga dituntut harus mapan, dapat diandalkan dan juga mampu menjadi tulang punggung keluarganya ketika membutuhkan sesuatu (http://www.scribd.com).

Young dalam artikel A Dawsonian View of Patriarchy (2007) menjelaskan bahwa dalam kehidupan perkawinan, seorang suami sebagai


(64)

pemimpin dituntut dapat melindungi istri dan anak-anaknya. Pada saat muncul permasalahan dalam perkawinan, seorang suami sebagai kepala rumah tangga diharapkan dapat dengan bijak menyelesaikan permasalahan yang ada.

Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam melihat bahwa kedudukan seorang suami sebagai pemimpin dan pengambil keputusan juga terlihat dalam penentuan perceraian. Maksudnya, bahwa seorang suami mempunyai kekuasaan dan pemegang keputusan dalam masalah pengajuan perceraian. Hal ini terlihat jelas dalam agama Islam yang menggunakan istilah

talak dalam pengajuan perceraian. Talak merupakan bahasa Arab yang

bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan. Melepas dalam hal ini adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri atau dikenal dengan perceraian. Dalam Islam hak menjatuhkan talak (menceraikan istri) merupakan hak suami, sedangkan istri tidak diberikan hak talak untuk menceraikan suami (http://asysyariah.com). Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, menempatkan suami sebagai penentu keputusan dalam hal ini pemutusan perceraian yang merupakan hak suami.

E.Proses Suami Memaafkan Istri Yang Pernah Selingkuh

Memutuskan untuk menikah berarti memutuskan untuk memasuki kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupan ketika masih melajang. Dalam kehidupan perkawinan pasangan suami istri akan menemukan banyak peramasalahan, seperti adaptasi, komunikasi, dan relasi baik dengan pasangan maupun orang-orang disekitar seperti keluarga besar dan tetangga (Kertamuda,


(65)

2009). Konflik dan permasalahan komunikasi dalam perkawinan telah dibahas cukup lama dalam penelitian psikologi. Perselingkuhan merupakan salah satu konflik dan permasalahan yang menjadi fenomena umum dalam suatu perkawinan (Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan perselingkuhan terjadi karena berbagai faktor seperti ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan, ketidakharmonisan rumah tangga, adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan tersebut, problem pribadi di masa lalu, kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual, sulit untuk menolak “godaan”, marah terhadap pasangan, tidak lagi bisa mencintai pasangan, kecanduan alkohol atau pun obat-obatan, seringnya hidup berpisah lokasi, ingin membuat pasangan menjadi cemburu dan ada kesempatan untuk melakukan perselingkuhan (Shackelford et al., 2008; Ginanjar, 2009; Layton, dalam Zaka al Farisi, 2008).

Pada umumnya, masyarakat memandang bahwa pria (dalam hal ini suami) merupakan orang yang melakukan perselingkuhan. Tetapi pada faktanya, wanita (dalam hal ini istri) juga mempunyai potensi untuk melakukan perselingkuhan (McDougall, tanpa tahun; Mao & Raguram, 2009). Berdasarkan penelitian, kebanyakan perselingkuhan yang dilakukan oleh istri lebih bersifat emosional. Dalam perselingkuhan yang dilakukan oleh istri lebih karena kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang yang tidak didapatkan dari suami mereka (Kristee, 2011).


(1)

464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493 494

itu ya biasanya kalau misal habis pulang dari kantor gitu ya biasanya nonton TV bareng, ngobrol-ngobrol santai kayak ngomongin masalah kantor atau apa gitu... kalau dulu jarang sih mba kami berdua jalan pergi berdua, mungkin kalau pergi keluar kalau ada yang pas ulang tahun kayak ulang tahun pernikahan kami atau ulang tahun anak-anak itu kami biasanya makan di luar...

Kalau perubahan-perubahan itu malah saya tidak merasakan itu mba... saya dulu sebelum mengetahui bahwa istri saya berselingkuh itu ya biasa-biasa saja mba... kami menjalaninya tanpa ada permasalahan-permasalahan. (menghela napas) Maka dari itu mba ketika dulu itu setelah saya tau kalau istri saya berselingkuh sangat kecewa sekali dan merasa bahwa selama saya dan istri saya menjalani hidup bersama itu sia-sia... (menghela napas). Saya waktu itu tidak pernah kepikiran akan mengalami masalah demikian. Saya mengganggap.... kalau dalam menjalani kehidupan berumah tangga kami itu baik-baik saja, tetapi malah sebaliknya... Istri saya malah berselingkuh dan malah menyalahkan saya sebagai suami yang tidak perhatian dan pengertian (diam).

Ya mungkin setelah saya mendapat nasihat dari ulama saya itu.... jadi tersadarkan juga mba.... kalau saya itu belum menjadi imam yang baik.

Kalau mau diingat dulu itu saya termasuk orang yang keras dan kalau sudah menentukan suatu keputusan anak-anak dan istri saya harus menurutinya.

bersama dengan istri sebelum terjadi perselingkuhan (A1.2).

Perasaan yang dialami subjek setelah

mengetahui istri telah berselingkuh (T2.3; T3.3).

Hal yang membuat

subjek tetap mempertahankan


(2)

495 496 497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525

Mungkin... sikap saya itu karena didikan ayah saya dulu juga... mungkin ya... ayah saya dulu orang yang keras dan sangat disiplin. Jadi karena sikap saya seperti itu, istri saya jadi tertekan.. merasa tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai seorang istri dan ibu.... ya setelah saya merenungi nasihat dari ulama yang saya temui itu.. saya mencoba merefleksikan diri saya mba waktu itu... (diam)

Jujur saja mba dulu ceritanya setelah saya meminta nasihat dari ulama itu, saya sempat pisah dengan istri saya itu, tapi bukan pisah rumah hanya pisah kamar saja, sempat beberapa hari saya bicara ketus dengan istri saya. Kalau mau diingat dulu pertentangan batin juga mba.... antara sakit hati saya dan mempertahankan perkawinan mba.... rasanya berat mba.... di sisi lain saya juga kepikiran anak-anak mba.... istri saya memang sudah meminta maaf dan saya juga sudah berbicara untuk segera memutuskan hubungan dengan si WW itu, tapi rasanya waktu itu untuk membangun rasa percaya lagi kepada istri saya itu berat mba...

waktu itu saya sempat membenci istri saya, menyalahkan dia.... kerena tega mengkhianati saya.

Tapi, dengan saya merefleksikan diri.. juga dengan sholat dan bercerita pada ibu saya mengenai perasaan saya, jadi lebih ringan dan membantu saya untuk berpikiran secara jernih....

Kesulitan yang dialami subjek ketika memutuskan untuk tetap mempertahankan perkawinan (AK1.4).

Perasaan yang dialami subjek setelah

mengetahui istri telah berselingkuh (T2.3; T3.3).


(3)

526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541 542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556

Waktu itu, setelah saya dapat berpikiran jernih ya.. saya rasa bahwa diri saya yang keras dan otoriter yang menyebabkan istri saya sempat berpaling. Setelah... saya menyadari kekurangan saya, waktu itu saya melihat istri saya sebagai orang yang butuh didengarkan juga pendapatnya, butuh diperhatikan.... Waktu itu saya dan istri saya saling koreksi diri juga, jadi setelah saya sempat mendiamkan istri saya itu, kemudian... saya mencoba mengajak dia jalan keluar untuk makan bareng berdua.... ya waktu itu saya dan istri saling share mengungkapkan perasaan kami masing-masing. Mulai waktu itu kami jadi lebih terbuka lah mba.. saya jadi sadar kekurangan saya dan saya juga berusaha memahami istri saya juga. Kemudian setelah kami saling share waktu itu, lalu kami saling berjanji untuk saling mengubah sikap, saling mengingatkan juga kalau ada yang salah, lalu juga kami saling janji untuk saling mendukung dalam menjalani hari ke depannya. Yah... mulai waktu itu kami jadi lebih terbuka lah mba.. saya jadi sadar kekurangan saya dan saya juga berusaha memahami istri saya juga. Saya jadi melihat bahwa istri saya memerlukan saya sebagai suami yang melindungi dan menjaganya, dan juga saya membutuhkan istri saya yang bisa memahami dan menerima saya apa adanya he..he... gitu mba....

Kalau istilahnya setelah peristiwa itu ya, komunikasi dalam keluarga jadi dua arah mba, kalau dulu saya yang jadi penentu keputusan dan semua yang saya putuskan harus dilaksanakan,

Penilaian subjek terhadap istri setelah memutuskan tetap mempertahankan perkawinan (AK1.2).

Penilaian subjek terhadap istri setelah memutuskan tetap mempertahankan perkawinan (AK1.2).

Pelajaran yang subjek pahami setelah

peristiwa


(4)

557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587

jadi... cuman satu arah saja dulu komunikasinya cuman dari saya. Setelah saya menyadarinya dan mengalami peristiwa yang demikian, saya mencoba mengubah komunikasi saya seperti melibatkan istri dan anak-anak juga dalam menentukan keputusan.

Setelah saya merubah sikap demikian, ya saya jadi mengetahui perasaan-perasaan istri saya, apa yang dirasakan istri saya, ya... saya jadi bisa menerima dia kembali mba.... setelah... mengalami peristiwa itu saya ingin menjadi imam yang baik juga buat istri dan anak-anak, seperti nasihat ulama yang membuat saya sadar juga kalau saya juga mempunyai tugas mengayomi, melindungi kehormatan dan keselamatan istri... saya juga berpikir bahwa di dunia ini tidak ada orang yang sempurna, semua orang... pasti pernah melakukan kesalahan juga tow mba. Kalau misal setiap orang yang melakukan kesalahan dihindari ya kasihan tow mba. Seperti halnya mba nindi juga calon psikolog juga harus bisa menerima baik itu orang baik atau jahat yang datang konsultasi ke mba nindi tow. Istri saya juga seperti itu, melakukan suatu kesalahan tapi karena saya sudah memilih dia sebagai seorang istri ya saya bertanggung jawab untuk mengingatkan dan membimbing dia kalau melakukan kesalahan. Apalagi, istri saya adalah orang yang sangat saya cintai, saya memilih dia sebagai istri karena melihat dia adalah orang yang baik dan penuh perhatian.

(AK1.5).

Pelajaran yang subjek pahami setelah

peristiwa

perselingkuhan berlalu (AK1.5).

Hal yang membuat

subjek tetap mempertahankan


(5)

588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614

He..he... kalau itu, gini ya mba.. he....he.. seperti yang saya bilang kalau saya bukan orang yang romantis mba.. he..he... ya kalau manggil sayang seperti sebelum-sebelumnya ya bilang papa sayang mama gitu... he....he... mungkin yang berubah jadi sering memperhatikan penampilan istri sih mba setelah peristiwa itu ya mba, jadi sering muji istri saya cantik gitu he..he... trus kalau mau pergi-pergi juga ngasih pendapat kalau dia cantiknya pakek baju yang ini atau yang itu he...he....

Setelah peristiwa itu, jadi lebih banyak meluangkan waktu berdua kalau malem lebih jadi sering cerita-cerita juga. Sampai sekarang juga seperti itu lebih banyak waktu untuk ngobrol, apalagi anak-anak juga sudah pada besar dan punya kesibukan sendiri-sendiri. Ya satu-satunya yang bisa diajak ngobrol ya istri saya juga he...he...

Kegiatan yang lain apa ya.. he..he.. mungkin nonton film, ya gara-gara anak saya nih saya dan istri saya juga suka nonton film he..he.... kadang kalau hari libur itu saya dan istri saya pinjam film untuk dilihat bersama. Kadang anak saya yang meminjamkan juga untuk ditonton bareng-bareng he...he... kegiatan yang lain mungkin kalau sore apa hari minggu atau pas libur gitu ya kita jalan bareng atau pergi ke mana gitu berdua, biasanya pergi makan malam gitu... he..he...

Kegiatan keseharian yang dilakukan subjek bersama dengan istri saat ini setelah peristiwa

perselingkuhan berlalu (AK2.8).


(6)