Proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan
PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI
YANG BERSELINGKUH DALAM RANGKA
MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Nathalia Nindi Kristyaningrum NIM: 089114043
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI
YANG BERSELINGKUH DALAM RANGKA
MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Nathalia Nindi Kristyaningrum NIM: 089114043
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2013
(3)
(4)
(5)
TENTANG KEHIDUPAN... HIDUP ADALAH BELAJAR
Belajar BERSYUKUR meski TAK CUKUP Belajar IKHLAS meski TAK RELA
Belajar TAAT meski BERAT Belajar SABAR meski TERGODA
Belajar MEMBERI meski TAK SEBERAPA Belajar MENGASIHI meski DISAKITI Belajar TENANG meski GELISAH Belajar PERCAYA meski SUSAH (Anonym)
Dari AIR kita belajar KETENANGAN Dari BATU kita belajar KETEGARAN Dari TANAH kita belajar KEHIDUPAN Dari KUPU-KUPU kita belajar MERUBAH DIRI Dari PADI kita belajar RENDAH HATI Dari KASIH TUHAN kita belajar
tentang KASIH YANG SEMPURNA
(Anonym) Bila TUHAN menjawab doamu, DIA menambahkan imanmu
Bila DIA menunda, DIA menambahkan kesabaranmu Tapi...
Bila DIA menjawab tidak , DIA menyediakan sesuatu yang lebih baik dari yang kamu harapkan
(Anonym)
(6)
TENTANG CINTA...
“Kita di dunia ini bukan mencari orang yang sempurna untuk dicintai, tetapi untuk mencintai orang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna....”
(Anonym)
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...
Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...
Seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada...”
(Anonym)
“Cinta datang... Kepada orang yang masih mempunyai harapan, walau meraka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walau mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walau mereka telah disakiti sebelumnya. Dan... Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangun kembali kepercayaan...” (Anonym)
(7)
HALAMAN PERSEMBAHAN
TUHAN YESUS KRISTUS,
Karya yang jauh dari sempurna ini kusembahkan kehadirat-Nya yang selalu mendampingiku dan mencurahkan karunia-karunia di saat aku merasa tidak
dapat melakukan apa pun.
Papa dan Mama,
Banyak hal yang telah Papa dan Mama lakukan untukku tetapi seringkali aku lupa untuk mengucapkan terima kasih dengan tulus. Terima kasih Papa dan
Mama atas segala bimbingan, dukungan dan kasih yang selalu tercurahkan untukku. Terima kasih untuk semua yang Papa dan Mama berikan untukku.
Mas Bram dan Mba Nia,
Terima kasih atas dukungan semangat dan doa yang selalu dipanjatkan untuku, sehingga aku dapat menyelesaikan perjuanganku sampai akhir.
Ponakan kecilku Kara,
Terima kasih atas tawa kecil, tangisan manja, dan keceriaan yang ditunjukkan. Semua itu, merupakan penghiburanku di saat aku merasa patah semangat.
Seluruh keluarga besar Herman Suwargo dan Hadi Sudarmo Terima kasih atas dukungan doa dan motivasi yang diberikan selama ini.
I love you all...
(8)
(9)
PROSES SUAMI MEMAAFKAN ISTRI YANG BERSELINGKUH DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN
Nathalia Nindi Kristyaningrum
ABSTRAK
Kehidupan perkawinan tidaklah mudah untuk dijalani. Terdapat berbagai macam permasalahan yang muncul dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga. Salah satu permasalahan yang dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga adalah perselingkuhan. Perselingkuhan itu sendiri tidak hanya didominasi oleh para suami, tetapi istri juga dapat melakukan perselingkuhan. Jika istri berselingkuh maka perselingkuhan tersebut akan membawa dampak psikologis terhadap suami. Dampak psikologis yang dirasakan suami adalah berupa perasaan kehilangan identitas diri dan kehilangan keistimewaan diri. Perasaan seperti ini membuat suami sulit untuk tetap mempertahankan perkawinan. Namun, pada kenyataannya masih ada beberapa suami yang berusaha mempertahankan perkawinannya dengan istri yang berselingkuh yaitu dengan memaafkan perbuatan istri mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan perkawinan. Ada 4 tahap memaafkan yang dilalui oleh suami, yaitu tahap terluka, tahap membenci, tahap penyembuhan, dan tahap kembali bersama. Peneliti memilih metode naratif untuk melihat cara subjek menggambarkan diri dan menjalani kehidupan dalam menghadapi permasalahan perselingkuhan. Penelitian ini melibatkan 2 subjek penelitian yang mempunyai pengalaman dalam berproses memaafkan istri mereka yang berselingkuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua subjek berupaya untuk menyembuhkan perasaan terluka yang dialami akibat perselingkuhan istri mereka yaitu dengan refleksi diri. Upaya kedua subjek dalam merefleksikan peristiwa yang mereka alami membuat mereka dapat melihat istri mereka dengan cara pandang yang baru dan menerima istri mereka kembali. Upaya refleksi diri yang dilakukan kedua subjek disebut sebagai bedah spritual membuat mereka pada akhirnya dapat memaafkan dan tetap mempertahankan perkawinan dengan istri.
Kata kunci: perselingkuhan, suami, memaafkan
(10)
THE PROCESS OF FORGIVING HUSBAND TOWARDS WIFE’S IN AFFAIR IN ORDER TO KEEP MARRIAGE
Nathalia Nindi Kristyaningrum ABSTRACT
Marriage is not easy to live. There are various kinds of problems that can be the trigger a rift in the household. One of the problems that can lead to cracks in the household is infidelity. Infidelity itself is not only dominated by the husband, but the wife can also do infidelity. If the wife was having an affair then the affair will bring the psychological impact of the husband. The psychological impact that is felt by the husband is a sense of loss of identity and loss of self privileges. The husband feelings such as these make it difficult to maintain marriage. However, in reality there are still some husbands are still working on his marriage with his wife who is having an affair by forgiving the wife. This study aims to describe the process of forgiving by the husband towards his wife who cheated in order to maintain a marriage. There are 4 phases of forgiving traversed by the husband, they are: the injured phase, the hate phase, the recovery phase, and the back together phase. The researcher chose the method of narrative to see how subjects describe themselves and live a life in facing infidelity problems. The study involved 2 subjects who had experience in proceeds to forgive their wives infidelity. The results showed that the two subjects were trying to heal hurt feelings experienced by their wives infidelity is by self-reflection. The second attempt in the subjects they reflect on the events that caused them to be able to see their wives with a new perspective and accept their wives back. The self-reflection efforts that were through by the two subjects referred as the spiritual treatment finally can make them forgive and still maintain a marriage with his wife.
Keywords: infidelity, husband, forgiving
(11)
(12)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat limpahan
karunia dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Terima kasih
Tuhan, karena Engkau telah mendampingiku dalam penyelesaian Skripsi yang
berjudul Proses Suami Memaafkan Istri Yang Berselingkuh Dalam Rangka
Mempertahankan Perkawinan Di Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya Skripsi ini tidak lepas dari
bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi.selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Almarhumah Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si. yang telah memberikan
teladan dan inspirasi untuk terus tetap berjuang dalam kondisi apa pun.
3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing yang
selalu sabar memberikan masukan dan pengarahan dalam penulisan skripsi
ini.
4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. dan Bapak Dr. Tarsisius Priyo
Widiyanta, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran
sehingga skripsi saya menjadi lebih baik.
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
yang selama 8 semester telah memberikan banyak ilmu, baik secara teori
maupun pengalaman hidup kepada penulis.
(13)
6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma (Pak Gie,
Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Doni dan Mas Muji) yang telah memberikan
banyak bantuan, nasihat dan juga dukungan selama penulis menjalani
hari-hari di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
7. Papa dan Mama yang selalu aku sayangi, terima kasih atas segala cinta,
nasihat, dukungan yang besar baik secara materi dan spritual. Terima kasih
atas semua yang telah diberikan. Aku tidak bisa membalas semua itu, yang
hanya bisa kuberikan adalah dengan membuat Papa Mama bangga dengan
kelulusanku ini.
8. Mas Bram dan Mba Nia, kedua kakakku yang selalu medukungku dalam
meyelesaikan skripsi ini.
9. Aurelia Ayukara, keponakanku yang membuat aku sering malas mengerjakan
skripsi karena kelucuannya. Terima kasih atas segala penghiburan yang
diberikan ketika aunty mu ini kesulitan dalam mengerjakan skripsi.
10. Kedua subjekku Bapak ES dan Bapak DN, terima kasih telah bersedia
meluangkan waktu untuk membagikan pengalaman dalam berproses
mempertahankan perkawinan.
11. Teman-temanku di Psikologi angkatan 2008: Desi, Nita, Martha, Meili, Siska,
Dian, Mitha, Fany, Irin, Rosa, Lita, Intan, Icha, Nana, Dewi, Henry, Pudji,
Cory, Budi, Agung, Rio, Alberto, Priska, Abet, Wawan, Ade, Lusi, Risa,
Shinto dan teman-teman yang lain yang tidak dapat aku sebutkan satu per
satu, ada perjuampaan pasti ada perpisahan, terima kasih atas kebersamaan
yang dilalui selama 8 semester.
(14)
12. Teman-teman seperjuangan (Intan, Meili, Icha, Rio, Nana, Mba Jina, dan Mas
Komeng), terima kasih atas segala dukungan bersama.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa
saja yang membacanya.
Yogyakarta, 24 September 2013
Penulis,
Nathalia Nindi Kristyaningrum
(15)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………. i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...….…... ii
HALAMAN PENGESAHAN……….………... iii
HALAMAN MOTTO…...………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………... vii
ABSTRAK………... viii
ABSTRACT……… ix
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... x
KATA PENGANTAR………... xi
DAFTAR ISI………. xiv
DAFTAR SKEMA……… xvii
DAFTAR LAMPIRAN………. xviii
BAB I PENDAHULUAN………. 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ……….…………... 9
C. Tujuan Penelitian ……….………... 9
D. Manfaat Penelitian ………...………... 10
1. Manfaat Teoretis ……… 10
2. Manfaat Praktis ……….. 10
(16)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….. 11
A.Perkawinan ………... 11
1. Definisi Perkawinan ...………... 11
2. Alasan Orang Menikah ………... 13
3. Komunikasi Dalam Keluarga ………... 16
4. Permasalahan Dalam Perkawinan ...………... 19
B.Perselingkuhan ...………..…... 23
1. Definisi Perselingkuhan ... 23
2. Penyebab Perselingkuhan ... 25
3. Jenis-jenis Perselingkuhan ... 27
4. Dampak Perselingkuhan ... 30
C.Memaafkan ... 36
1. Definisi Memaafkan ... 36
2. Proses Memaafkan ... 38
3. Manfaat Memaafkan ... 41
D.Budaya Patriarki ... 42
E. Proses Suami Memaafkan Istri Yang Pernah Selingkuh ……… 43
F. Kerangka Penelitian ... 47
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………... .. 49
A.Jenis Penelitian dan Metode Penelitian ……… .. 49
B.Subjek Penelitian ………. 51
C.Fokus Penelitian ……….. 51
D.Metode Pengambilan Data ………. .. 53
(17)
E. Analisis Data ...………... 53
F. Keabsahan Data ………... ... 59
1. Kredibilitas ... 59
2. Dependabilitas ... 60
3. Konfirmabilitas ... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………... … 62
A.Proses Penelitian .………... 62
B.Profil Subjek ………. 65
1. Subjek 1 (ES) ………... 65
2. Subjek 2 (DN) ……….. 69
C. Hasil Analisis Data Penelitian .………... 72
1. Subjek 1 (ES) ………... 72
2. Subjek 2 (DN) ……….. 89
D. Pembahasan ………... 108
BAB V PENUTUP ... 118
A.Kesimpulan………...………. 118
B.Saran………...……… 119
1. Bagi Pasangan Suami-Istri ……….. 119
2. Bagi Peneliti Selanjutnya……….. 119
DAFTAR PUSTAKA………. 120
LAMPIRAN-LAMPIRAN.……… 126
(18)
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Kerangka Penelitian: Proses Suami Memaafkan Istri yang Pernah
Selingkuh untuk Mempertahankan Perkawinan ... 48
Skema 2. Dinamika Memaafkan Subjek 1 (ES) ... 88
Skema 3. Dinamika Memaafkan Subjek 2 (DN) ... 106
Skema 4. Dinamika Memaafkan Subjek ES dan DN... 107
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Rekap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Yuridikasi
Mahkamah Syar'iyah Profinsi / Pengadilan Tinggi Agama Seluruh
Indonesia Tahun 2010 ... 127
Lampiran 2. Rekap Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Yuridikasi
Mahkamah Syar'iyah Profinsi / Pengadilan Tinggi Agama Seluruh
Indonesia Tahun 2011 ... 130
Lampiran 3. Data Perkara Cerai Talak, Cerai Gugat dan Perkara Lain yang
Diterima Yuridikasi Mahkamah Syar'iyah Profinsi / Pengadilan
Tinggi Agama Seluruh Indonesia Tahun 2010 ... 133
Lampiran 4. Koding Subjek 1 (ES) ... 136
Lampiran 5.Koding Subjek 2 (DN) ... 157
(20)
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Memilih pasangan hidup dan menikah merupakan keputusan yang
penting bagi kebanyakan orang (McFall, 2011). Seseorang memutuskan untuk
menikah karena berbagai alasan, misalnya hukum, sosial, emosional, ekonomi,
agama atau untuk meneruskan garis keturunan dan memiliki anak (Fatima &
Ajmal, 2012). Beberapa pasangan yang memutuskan untuk menikah terkadang
berpikir dan merasa bahwa mereka begitu mirip dan dapat bekerja sama,
melayani bersama, hidup bersama, serta membesarkan anak bersama-sama
dengan hampir tidak ada konflik (Piper, 2009).
Namun, dalam pernikahan dan keluarga justru akan menemukan banyak
tantangan berupa permasalahan yang terkadang dapat menimbulkan konflik
dan keretakan pada pasangan dalam keluarga. Konflik yang tejadi terkadang
dapat mengancam keharmonisan dan kelangsungan hubungan pasangan serta
hubungan antaranggota keluarga. Terdapat beragam kasus yang terjadi dalam
kehidupan perkawinan dan keluarga di Indonesia yang dapat menjadi pemicu
keretakan hubungan dan perceraian. Adapun kasus-kasus tersebut adalah
adanya pria dan wanita idaman lain (PIL dan WIL) atau perselingkuhan,
kehidupan pasangan yang tinggal dengan mertua, pertengkaran antaranggota
dalam keluarga, anak cacat, penyimpangan hubungan seksual pada salah satu
pasangan, dan perbedaan agama (Kertamuda, 2009).
(21)
Berdasarkan hasil penelitian, perceraian telah terbukti berdampak negatif
pada perkembangan anak-anak dalam keluarga yang bersangkutan. Anak-anak
dengan orangtua yang telah bercerai akan memiliki trauma, cenderung kurang
memiliki kepercayaan diri, kepuasan terhadap kehidupan dan sekolah, rentan
untuk merokok, minum alkholol dan memakai obat-obatan
(www.kainsutera.com).
Sepanjang tahun 2005 hingga 2010 tercatat telah terjadi peningkatan
angka perceraian di Indonesia sebesar 70% (www.republika.co.id). Pada tahun
2010 Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)
mencatat telah terjadi 285.184 kasus perceraian di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data yang menjadi penyebab pisahnya pasangan antara lain yaitu
faktor ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab
78.407 perkara, masalah ekonomi 67.891 perkara, perselingkuhan (gangguan
pihak ketiga) 20.199 perkara, dan masalah lain (misal: KDRT, salah satu
pasangan cacat, serta masalah lain) 26.846 perkara (www.badilag.net,
Lampiran 1).
Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kasus
perselingkuhan yang berpotensi mengakhiri hubungan perkawinan. Hal ini
dikarenakan terjadi peningkatan angka perceraian akibat perselingkuhan yang
meningkat setiap tahun, dengan angka yang cukup besar. Pada tahun 2011
angka perceraian akibat perselingkuhan meningkat menjadi 20.563 perkara
(www.badilag.net, Lampiran 2). Berdasarkan data mengenai perceraian di
(22)
tahun 2010 tercatat bahwa 190.280 kasus perceraian diajukan oleh istri
sedangkan 94.099 diajukan oleh suami. Kasus perceraian yang diajukan istri
pada umumnya meliputi masalah ekonomi dan perselingkuhan
(http://www.lensaindonesia.com, Lampiran 3).
Banyak kasus perselingkuhan yang terjadi di Indonesia pada akhirnya
berujung pada perceraian suami istri. Kasus perceraian yang dapat diketahui
dan menjadi konsumsi publik adalah perceraian pasangan artis. Misal, pada
tahun 2007 ramai dibicarakan di berbagai media bahwa pasangan artis ME dan
AD mengguggat cerai AD dikarenakan ada orang ketiga. ME mengguggat
cerai AD karena dia mengetahui bahwa AD telah berselingkuh dengan
pasangan duet ME (http://life.viva.co.id). Pada tahun 2009 juga tidak lepas dari
kasus perceraian para artis yang diakibatkan salah satu pasangan berselingkuh.
Diberitakan bahwa artis A mengguggat cerai K karena mengetahui kalau K
telah berselingkuh dengan salah satu pengusaha kaya (http://life.viva.co.id).
Kasus pria dan wanita idaman lain (PIL dan WIL) pada dasarnya dikenal
sebagai istilah affair, selingkuh, ketidaksetiaan, perzinahan, serong, atau seks
di luar pernikahan yang dilakukan oleh satu atau keduanya dari pasangan
suami istri. Perselingkuhan secara umum dipahami sebagai pelanggaran
perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan yang dilakukan oleh
seseorang, dan ancaman terhadap ikatan perkawinan. Layton (dalam Zaka al
Farisi, 2008) menyebutkan bahwa perselingkuhan dapat terjadi karena berbagai
antara lain seperti konflik dalam rumah tangga yang tidak kunjung selesai,
(23)
Selama ini, penelitian yang dilakukan lebih membahas mengenai
dinamika istri dalam menghadapi perselingkuhan yang dilakukan oleh suami
mereka. Penelitian yang pernah dilakukan Ratih (2007) mahasiswa Universitas
Indonesia menunjukkan bahwa istri menilai perselingkuhan yang dilakukan
oleh suami mereka merupakan suatu hal yang menyakitkan
(www.lontar.ui.ac.id). Jayaprawira (2005) mahasiswa Psikologi Universitas
Sanata Dharma juga membahas dinamika istri dalam menghadapi
perselingkuhan suami. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bagaimana
perilaku coping stress yang dilakukan oleh istri dalam proses pemulihan
hubungan setelah perselingkuhan suami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
upaya istri dalam menghadapi stress setelah perselingkuhan suami dengan
memaanfaatkan sumberdaya yang berupa dukungan sosial yang berasal dari
diri sendiri, keluarga dan lingkungan.
Perselingkuhan tidak selalu dilakukan oleh seorang pria (suami), tapi
wanita (istri) juga dapat melakukan perselingkuhan (Mao & Raguram, 2009).
Dalam skripsi mengenai Latar Belakang Suami Mempertahankan Perkawinan
oleh Yuniarti (2009) juga menyebutkan bahwa perselingkuhan itu sendiri tidak
hanya didominasi oleh para pria, tetapi juga wanita sehingga dalam
perselingkuhan tidak menutup kemungkinan siapa yang berselingkuh, bisa
suami ataupun istri. Yuniarti (2009) menjelaskan lebih lanjut bahwa jika istri
berselingkuh maka perselingkuhan itu akan membawa dampak moral yang
harus ditanggung suami. Masyarakat secara umum, khususnya pada
(24)
dapat mentoleransi perselingkuhan yang dilakukan oleh istri. Perselingkuhan
yang dilakukan istri membuat posisi suami sebagai kepala rumah tangga
terancam. Suami menjadi merasa malu dan harga diri direndahkan, dimana
kehormatannya sebagai laki-laki dan sebagai suami terancam.
Perselingkuhan yang dilakukan oleh salah satu pasangan atau keduanya
dalam perkawinan akan memiliki dampak yang besar bagi keberlangsungan
perkawinan. Selain akan menjadi penyebab berakhirnya perkawinan atau
perceraian, perselingkuhan juga mempengaruhi kondisi psikologis pasangan
yang bersangkutan. Dampak psikologis yang muncul seperti hilangnya harga
diri, rasa hormat, rasa aman, kenyamanan dan kepercayaan yang telah
bertahun-tahun dibangun serta rasa dilecehkan oleh pasangannya yang
melakukan perselingkuhan (Spring, 2006).
Ketika perselingkuhan terjadi, hal ini sering dikaitkan dengan sejumlah
hasil merugikan bagi pernikahan dan individu yang bersangkutan (Atkins, D. &
Kessel, D., 2008). Dalam artikel mereka disebutkan bahwa berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa perselingkuhan
berhubungan positif dengan perceraian. Betzig (dalam Shackelford, Buss, &
Bennett, 2002) menjelaskan bahwa perselingkuhan mungkin menjadi faktor
tertinggi sebagai sumber pembubaran hubungan. Dalam sebuah studi dari 160
budaya, perselingkuhan adalah alasan yang paling sering dikutip untuk
perceraian. Mengakhiri suatu hubungan perkawinan atau bercerai tampak
menjadi salah satu solusi umum untuk masalah perselingkuhan yang telah
(25)
kualitas perkawinan yang buruk. Shackelford et al. (2008) dalam penelitian
yang mereka lakukan menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi dikarenakan
faktor kepribadian dan kepuasan perkawinan.
Namun, perselingkuhan tidak selalu diakhiri dengan perceraian. Ada
beberapa pasangan yang mengalami perselingkuhan, pada akhirnya
memutuskan untuk tetap mempertahankan perkawinan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yuniarti (2009) menunjukkan bahwa alasan suami
mempertahan perkawinannya dengan istri yang berselingkuh adalah karena
merasa harapan terhadap perkawinanya telah terpenuhi, keberadaan anak,
subjek yakin bahwa istri tidak akan berselingkuh lagi dan rasa cinta.
Ketika seseorang mengetahui mengenai pengkhianatan atau
perselingkuhan yang telah dilakukan oleh pasangannya, pilihan utama yang
dihadapi adalah untuk memaafkan pasangan dan tetap bersama-sama atau
untuk mengakhiri hubungan (Shackelford et al., 2002). Lawson (dalam
Shackelford et al., 2002) menyebutkan bahwa tidak semua pasangan
mengakhiri hubungan perkawinan mereka setelah mengetahui telah terjadi
perselingkuhan. Berdasarkan hasil survey Lawson, terhadap pasangan yang
salah satu dari pasangan telah melakukan perselingkuhan menyebutkan bahwa
pasangan yang terlibat perselingkuhan menjelaskan alasan mengapa mereka
berselingkuh kepada pasangan yang lain. Beberapa dari pasangan memutuskan
untuk mengikuti terapi pasangan dalam upaya untuk menemukan akar masalah
dan memperbaiki perkawinan mereka. Beberapa pasangan yang lain berusaha
(26)
mengenali acaman dan dampak akibat perselingkuhan. Beberapa pasangan
pada akhirnya memutuskan untuk memaafkan pasangan mereka.
Gilbert et al. (dalam Pearlman, 2010) menyebutkan bahwa penelitian
mengenai peran penting memaafkan dalam perkawinan telah menjadi
pembahasan psikologis, terlebih memaafkan berfungsi sebagai stabilitas
keutuhan rumah tangga. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
memaafkan dapat menjadi faktor penting dalam membantu untuk
menyembuhkan dan memulihkan hubungan yang bermasalah. Memaafkan
dalam perkawinan telah terbukti bermanfaat ketika pasangan suami istri
dihadapkan pada pelanggaran sehari-hari, dan memaafkan juga sangat penting
ketika pasangan suami istri dihadapkan dengan pengkhianatan besar, seperti
perselingkuhan. Berdasarkan penelitian dan observasi klinis yang telah
dilakukan memaafkan merupakan terapi yang tepat dalam pemulihan hubungan
perkawinan pada pasangan setelah terjadi perselingkuhan (Spring, 2006).
Memaafkan juga bermanfaat untuk diri sendiri, hubungan interpersonal
(Suwartono & Viktoria, 2010) dan mengurangi konflik yang telah terjadi
(Suwartono & Viktoria, 2010; McNulty, 2008). Memaafkan pelanggaran yang
terjadi dalam suatu perkawinan merupakan salah satu faktor pendukung untuk
menciptakan kehidupan perkawinan yang bahagia (Fatima & Ajmal, 2012).
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkkan bahwa memaafkan juga
berkaitan dengan kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis (Witvliet, 2001).
Di lain pihak, perilaku tidak memaafkan berkorelasi positif dengan indikator
(27)
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa memaafkan atau
mengakhiri suatu hubungan perkawinan tergantung pada jenis kelamin dan
sifat atau jenis dari perselingkuhan (Shackelford et al., 2002). Penelitian yang
dilakukan oleh Fisher et al. (2008) menunjukkan bahwa baik suami atau istri
percaya pasangan mereka akan memiliki waktu yang lebih sulit untuk
memaafkan perselingkuhan seksual daripada perselingkuhan emosional, tetapi
hal tersebut tidak menunjukkan bahwa perselingkuhan seksual akan lebih
cenderung mengarah pada pembubaran hubungan atau perceraian. Penelitian
yang juga banyak dilakukan adalah mengenai usaha terapis klinis membantu
pasangan memunculkan sikap memaafkan terhadap pasangannya yang
melakukan perselingkuhan (Bird, Butler, & Fife, 2007; Fife, Weeks, &
Gambescia, 2008; Olmstead, Blick, & Mills, 2009; Parker, Berger, &
Campbell, 2010).
Peneliti merasa tertarik untuk melihat dan mengkaji mengenai
memaafkan dalam lingkup yang lebih spesifik yaitu memaafkan
perselingkuhan yang terjadi dalam perkawinan. Memaafkan merupakan sesuatu
yang tidak mudah untuk dilakukan, terlebih pelanggaran yang dilakukan
merupakan suatu pengkhianatan yang dilakukan oleh pasangan yang dicintai.
Di sisi lain, memaafkan merupakan cara bagi pasangan yang memutuskan
untuk tetap mempertahankan perkawinan.
Penelitian mengenai memaafkan perselingkuhan di Indonesia pernah
dilakukan oleh Sa’adah et al. (2012). Hasil penelitian mereka menunjukkan
(28)
berulang-ulang. Proses memaafkan itu sendiri dipengaruhi oleh faktor-faktor
seperti permintaan maaf suami, dukungan dari keluarga, dan kepedulian anak
terhadap permasalahan, membantu seorang istri dalam proses memafkan suami
yang melakukan perselingkuhan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti melihat bahwa kebanyakan penelitian
yang dilakukan membahas mengenai dinamika istri dalam menghadapi
perselingkuhan yang dilakukan oleh suami mereka. Pada faktanya, tidak
menutup kemungkinan bahwa istri juga dapat melakukan perselingkuhan. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk membahas mengenai
dinamika suami dalam menghadapi perselingkuhan yang dilakukan oleh istri
mereka. Peneliti ingin mengkaji lebih dalam mengenai bagaimanakah proses
suami memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan
perkawinan.
B.Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian adalah: Bagaimanakah proses suami
memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan
perkawinan?
C.Tujuan Peneltian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi proses suami
memaafkan istri yang berselingkuh dalam rangka mempertahankan
(29)
D.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada ilmu
psikologi, khususnya psikologi keluarga dan psikologi well-being, mengenai
proses suami memaafkan istri yang pernah selingkuh sebagai upaya
mempertahankan perkawinan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pasangan suami-istri
Penelitian ini diharapkan dapat mejadi referensi kepada suami
dalam upaya mempertahankan perkawinan dengan cara memaafkan
ketika terjadi perselingkuhan yang dilakukan oleh istri.
b. Bagi psikolog, konselor dan terapis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu para psikolog, konselor
dan terapis dalam melakukan konseling atau terapi memaafkan pada
pasangan suami istri yang sedang menghadapi masalah perselingkuhan
dalam rangka mendampingi pasangan mempertahankan perkawinan.
c. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat bahwa solusi dari perselingkuhan dalam perkawinan tidak
selalu harus berakhir dengan perceraian, tetapi ada solusi lain yaitu
memaafkan yang pada akhirnya dapat tetap mempertahankan
(30)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini peneliti menjabarkan lebih lanjut mengenai landasan teori
yang mendasari penelitian “Proses Suami Memaafkan Istri yang Berselingkuh
dalam Rangka Mempertahankan Perkawinan”. Pada bab ini akan dibahas
mengenai pengertian perkawinan, perselingkuhan, memaafkan, dan proses
memaafkan dalam perkawinan yang salah satu pasangan pernah melakukan
perselingkuhan.
A.Perkawinan
1. Definisi Perkawinan
Menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 Bab 1 Pasal
1 menyatakan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (Walgito, 2000).
Menurut Fatima dan Ajmal (2012) perkawinan merupakan lembaga
sosial di mana seorang pria dan seorang wanita membangun keputusan
mereka untuk hidup sebagai pasangan suami istri dengan komitmen
hukum dan upacara keagamaan. Perkawinan merupakan kontrak yang sah
antara dua orang yang memungkinkan mereka untuk bereproduksi atau
melakukan hubungan intim yang sah dalam hukum dan agama. Seseorang
(31)
memutuskan untuk menikah karena berbagai alasan, misalnya hukum,
sosial, emosional, ekonomi, agama atau untuk meneruskan garis keturunan
dan memiliki anak.
Sigelman (dalam Fatima & Ajmal, 2012) mendefinisikan
perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda jenis
kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam hubungan tersebut terdapat
peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang didalamnya terdapat
unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan
seksual, dan menjadi orang tua.
Berikut ini definisi perkawinan menurut beberapa agama, antara lain:
Perkawinan dalam Islam ialah suatu akad atau perjanjian mengikat
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan
kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela dan kerelaan kedua
belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi
rasa kasih sayang dan ketentraman atau sakinah dengan cara-cara yang di
ridhoi Allah SWT (http://definisipengertian.com).
Dalam Katolik perkawinan didefinisikan sebagai
persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita, yang terjadi
karena persetujuan pribadi, yang tak dapat ditarik kembali, dan harus
diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami istri, dan pada
pembangunan keluarga, dan oleh karenanya menuntut kesetiaan yang
sempurna, dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh
(32)
Agama Hindu mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan sekala
niskala atau lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
atau satya Alaki rabi (http://www.babadbali.com).
Perkawinan dalam pengertian Buddhisme adalah suatu ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai
dengan Dhamma atau ajaran Sang Budha (http://artikelbuddhist.com).
Dari definisi mengenai perkawinan di atas, peneliti menarik
kesimpulan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan sah baik secara
hukum dan agama, antara pria dan wanita yang dilakukan berdasarkan
persetujuan pribadi serta dilandasi rasa saling mencintai sebagai pasangan
suami istri dan dituntut adanya tanggung jawab yang melibatkan
keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual,
dan menjadi orang tua serta kesetiaan kepada pasangan.
2. Alasan Orang Menikah
Ada banyak alasan ketika seseorang memutuskan untuk menikah.
Setiap orang mempunyai alasan yang berbeda-beda ketika memutuskan
untuk menikah. Bagi orang-orang yang memutuskan untuk menikah,
mereka memiliki motivasi yang mendorong mereka untuk memenuhi
(33)
Helms (1995) menyebutkan beberapa alasan seseorang memutuskan untuk
menikah, yaitu:
a. Cinta
Cinta dan komitmen menjadi salah satu alasan utama seseorang
memutuskan untuk menikah. Melalui perkawinan pasangan yang saling
mencintai dan memiliki komitmen dapat berbagi satu dengan yang lain
dalam hubungan yang lebih intim dan abadi.
b. Persahabatan
Persahabatan juga merupakan alasan penting seseorang untuk
menikah. Melalui perkawinan, pasangan yang saling mencintai
memiliki kesempatan untuk menghabiskan hidup bersama dengan
dilandasi ikatan emosional, perasaan aman dan nyaman sebagai
pasangan suami istri. Perasaan sebagai sahabat pada pasangan yang
saling mencintai menyediakan kesempatan untuk saling berbagi dalam
menjalani keseharian hidup berkeluarga.
c. Konformitas
Bagi kebanyakan orang pernikahan merupakan suatu hal yang
harus dilakukan atau tahap perkembangan alami yang dilalui dalam
membangun hubungan. Setelah melalui tahap berpacaran dan
bertunangan, menikah dipandang sebagai tahap akhir dari proses
memilih pasangan hidup. Alasan ini biasanya juga didukung oleh
adanya dorongan sosial seperti dari keluarga, teman, dan hal-hal pribadi
(34)
d. Legitimasi untuk berhubungan seks
Status pernikahan memberikan persetujuan sosial kepada
pasangan untuk melakukan hubungan seksual, meskipun besar
kemungkinan hubungan seksual dapat dilakukan di luar pernikahan.
Tetapi hal ini didasari oleh nilai-nilai sosial yang berkembang dalam
masyarakat.
e. Legitimasi untuk mendapatkan anak
Seorang anak lahir dalam hubungan perkawinan memiliki
identitas yang sah. Pada beberapa masyarakat sangat merasa bahwa
seorang anak yang lahir di luar nikah adalah tidak bermoral. Faktanya,
kebanyakan pasangan yang memutuskan untuk menikah karena mereka
ingin memiliki keturunan atau anak secara sah di mata hukum dan
agama.
f. Kesiapan
Kebanyakan pasangan melaporkan bahwa mereka memutuskan
untuk menikah setelah mereka memang benar-benar merasa siap.
Kebanyakan pasangan yang telah siap untuk menikah merasa bahwa
mereka telah melakukan hal-hal yang mereka inginkan sebelum
menikah. Hal-hal tersebut biasanya meliputi pendidikan yang sudah
selesai, pencapaian karir, dan hal yang bersifat pribadi.
g. Mendapatkan manfaat lain
Alasan lain yang membuat pasangan memutuskan untuk menikah
(35)
bukan merupakan alasan utama atau yang sering diungkapkan tetapi
secara tidak langsung pasangan yang telah menikah akan secara
bersama-sama meningkatkan kesejahteraan hidup dalam hal ini
ekonomi.
Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa alasan pasangan yang
memutuskan untuk menikah seperti yang telah dijabarkan di atas, yaitu
cinta, rasa persahabatan, dorongan dari berbagai pihak, legitimasi untuk
berhubungan seks, keinginan untuk memiliki anak, kesiapan, dan
peningkatan kesejahteraan hidup. Selain itu ada juga alasan yang pernah
diungkapkan bahwa pasangan yang memutuskan untuk menikah karena
mereka tidak mau hidup sendiri. Mereka memutuskan untuk menikah
karena ingin menemukan teman hidup dan keluarga serta merasakan
kebahagian hidup bersama pasangan (Turner, 1996).
3. Komunikasi dalam Keluarga
Komunikasi merupakan hal yang penting dalam hubungan
perkawinan dan keluarga. Komunikasi dapat dilihat sebagai suatu simbol,
proses timbal balik, atau secara sederhana, merupakan proses menciptakan
dan berbagi makna. Komunikasi sebagai simbol yang dimaksud adalah
bahwa simbol digunakan untuk menyampaikan suatu pesan. Komunikasi
verbal adalah simbol yang paling sering diggunakan, tetapi komunikasi
verbal juga melibatkan perilaku nonverbal, seperti ekspresi wajah, kontak
(36)
suatu keluarga terkadang mungkin menggunakan ciuman, makanan
spesial, mainan, benda atau puisi sebagai suatu simbol untuk menunjukkan
cinta (Galvin & Brommel, 1982).
Galvin dan Brommel (1982) menjelaskan mengenai sistem
karakteristik yang ada dalam suatu keluarga, yaitu adanya:
a. Saling bergantung: dalam suatu keluarga, setiap anggota memiliki
keterikatan satu sama lain. Ketika anggota yang lain sedang mengalami
kesulitan atau sedang sakit, anggota keluarga yang lain akan membantu
menjaga dan memberikan dukungan serta kekuatan sehingga anggota
tersebut dapat menghadapi kesulitan tersebut.
b. Aturan: setiap keluarga memiliki aturan dan pola komunikasi dalam
berinteraksi dengan anggota keluarga. Aturan dan pola komunikasi
yang dimiliki suatu keluarga dapat menunjukkan cara keluarga tersebut
dapat memecahkan suatu permasalahan yang terjadi.
c. Penyesuaian: setiap keluarga memiliki kemampuan dalam
merestrukturisasi diri mereka kembali untuk mengatasi perkembangan
dan perubahan situasi di sekitar mereka. Keluarga memiliki
kemampuan penyesuaian untuk menghadapi situasi-situasi yang mereka
alami.
d. Keterbukaan: setiap anggota keluarga saling membutuhkan satu sama
lain. Mereka saling bergatung satu dengan yang lainnya. Oleh karena
(37)
anggota keluarga. Keterbukaan membantu suatu keluarga dalam
memahami siatuasi yang dialami setiap anggota keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian (Navran, dalam Galvin & Brommel,
1982) menunjukkan bahwa pasangan suami istri yang sering
berkomunikasi satu dengan yang lain akan menunjukkan bahwa mereka
adalah pasangan yang bahagia. Pasangan yang berbahagia lebih sering
melakukan komunikasi, seperti:
a. Mereka lebih sering membicarakan hal-hal yang menyenangkan yang
terjadi selama hari itu.
b. Mereka merasa lebih saling memahami satu sama lain dengan pasangan
mereka.
c. Mereka mendiskusikan hal-hal yang menarik.
d. Mereka selalu berusaha untuk tetap berkomunikasi setiap hari.
e. Mereka lebih sering membicarakan satu sama lain mengenai masalah
pribadi yang sedang dialami.
f. Mereka membuat kata-kata pribadi yang hanya dipahami oleh mereka
berdua.
g. Mereka sering berdiskusi mengenai berbagai peristiwa, berkaitan
dengan diri mereka berdua.
h. Mereka lebih sensitif terhadap perasaan yang dialami oleh pasangan
mereka dan melakukan penyesuaian diri untuk berbicara dengan
(38)
i. Mereka secara bebas membicarakan hal-hal yang intim tanpa merasa
malu.
j. Mereka lebih dapat menyampaikan seberapa baiknya pasangan mereka
hari ini.
k. Mereka juga lebih banyak melakukan komunikasi nonverbal untuk
menunjukkan perasaan cinta terhadap pasangan.
Gottman et al. (dalam Galvin & Brommel, 1982) menyimpulkan
bahwa perilaku atau komunikasi nonverbal adalah hal yang penting.
Mereka menunjukkan ada kemungkinan bahwa pasangan yang sedang
mengalami suatu tekanan akan lebih mengekspresikan perasaan mengenai
permasalahan yang sedang dihadapi, hal yang dipikirkan, dan
ketidaksetujuan, dengan perilaku atau komunikasi nonverbal yang negatif.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan komunikasi verbal dan nonverbal
serta pola komunikasi berperan penting dalam menjaga kestabilan suatu
keluarga.
4. Permasalahan dalam Perkawinan
Kertamuda (2009) menjelaskan bahwa dalam perkawinan dan hidup
berkeluarga tidak lepas dari adanya permasalahan. Banyak kasus yang
disebabkan oleh permasalahan dalam perkawinan yang dapat
menimbulkan konflik dan keretakan pada pasangan. Permasalahan yang
(39)
pasangan dan hubungan antaranggota keluarga sehingga terkadang dapat
menyebabkan perceraian. Permasalahan tersebut antara lain:
a. Pria Idaman Lain (PIL) dan Wanita Idaman Lain (WIL)
Istilah PIL dan WIL yang sering diggunakan pada masyarakat
umum pada dasarnya menunjuk pada istilah affair, selingkuh,
ketidaksetiaan, perzinahan, serong atau seks di luar pernikahan yang
dilakukan oleh salah satu atau keduanya dari pasangan suami istri.
b. Tinggal dengan mertua
Beberapa pasangan suami istri yang telah menikah seringkali
memilih untuk tetap tinggal dengan salah satu orangtua mereka.
Terdapat banyak alasan yang membuat pasangan suami istri tetap
tinggal dengan orangtua ataupun mertua. Masalah yang muncul adalah
tidak cukup mudah untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan yang
baru sebagai tempat tinggal. Permasalahan yang sering timbul adalah
mengenai komunikasi, budaya, nilai-nilai, persepsi, serta
masalah-masalah yang terkait dengan pola asuh di keluarga tersebut.
c. Pertengkaran antaranggota keluarga
Adakalanya hubungan antaranggota tidak berjalan dengan
mulus, banyak faktor yang menjadi penyebab perselisihan. Faktor
tersebut dapat muncul baik dari dalam maupun luar keluarga tersebut.
Masalah yang tidak dapat dikendalikan akan memunculkan konflik
yang berkepanjangan sehingga sering mengakibatkan pertengkaran
(40)
d. Anak cacat
Dalam keluarga yang memiliki anak cacat, baik itu secara fisik
maupun mental dapat menimbulkan permasalahan tersendiri terutama
bagi orangtua. Permasalahan yang ada akan mempengaruhi keluarga
tersebut di dalam lingkungan keluarga itu sendiri dan lingkungan
masyarakat. Permasalahan yang dihadapi keluarga dengan anak yang
mengalami dan menderita cacat adalah tidak mudah untuk menerima
dan menghadapi lingkungan sosialnya.
e. Penyimpangan hubungan seksual pada salah satu pasangan
Masalah seksual terkadang juga dapat menjadi pemicu
munculnya konflik dalam perkawinan. Ketidakpuasan dalam
hubungan seksual dapat menjadi salah satu indikator yang
memunculkan permasalahan dalam perkawinan. Ada orang-orang
tertentu yang memiliki penyimpangan seksual, seperti contoh
homoseksual, pedofilia (penyimpangan seksual dimana seorang
dewasa menyukai orang yang usianya jauh terpaut dibawahnya), dan
promiscuity (hubungan seksual dengan dua atau lebih pasangan).
Penyimpangan seksual yang terjadi dalam perkawinan dapat
menimbulkan konflik dan perasaan-perasaan yang dapat mengganggu
hubungan suami istri.
f. Perbedaan agama
Perbedaan agama dapat menjadi konflik pasangan dalam
(41)
ketidakpahaman, ketidaktahuan atau ketidaksesuaian dengan yang
dikerjakan oleh pasangannya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang dapat menyebabkan
perceraian di atas, peneliti berfokus pada permasalahan perselingkuhan.
Banyak kasus perceraian akibat perselingkuhan (gangguan pihak ketiga)
yang terjadi di Indonesia. Peneliti tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai kasus perceraian akibat perselingkuhan yang banyak terjadi di
Indonesia. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil pencatatan oleh Badilag
telah terjadi peningkatan perceraian sepanjang tahun 2005 hingga 2010
sebesar 70%. Perselingkuhan merupakan salah satu alasan yang menjadi
penyebab utama pasangan suami istri bercerai. Pada tahun 2010 sendiri
menunjukkan bahwa perselingkuhan menempati posisi keempat sebagai
alasan pasangan bercerai. Tercatat sebanyak 20.199 perkara perceraian
yang diputuskan akibat perselingkuhan. Pada tahun 2011 kasus perceraian
akibat perselingkuhan yang dicatat Badilag juga mengalami peningkatan
sebesar 20.563 perkara. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk
menggali lebih lanjut mengenai perselingkuhan yang terjadi dalam
perkawinan karena perselingkuhan berpotensi untuk mengakhiri suatu
(42)
B.Perselingkuhan
1. Definisi Perselingkuhan
Perselingkuhan pada umumnya dipahami sebagai pelanggaran
terhadap perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan
seseorang, dan merupakan ancaman terhadap ikatan perkawinan (Mao &
Raguram, 2009).
Stephen (2005) menyebutkan bahwa perselingkuhan bertentangan
dengan aturan umum dasar perkawinan. Perselingkuhan melibatkan
pengkhianatan terhadap pasangan dan sumpah atau janji perkawinan.
Secara umum, perselingkuhan dianggap sebagai tanda bahwa ada
sesuatu yang salah dalam hubungan perkawinan. Perselingkuhan
menunjukkan bahwa tidak ada kasih dan kebahagiaan dalam hubungan
perkawinan (Kristee, 2011).
Then (2008, terj.) dalam buku yang berjudul Kisah-kisah Perempuan
yang Bertahan dalam Perkawinan menjelaskan perselingkuhan sebagai
suatu bentuk pelanggaran terhadap eksklusifitas hubungan seks antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menikah.
Perselingkuhan terjadi ketika seorang yang telah menikah melakukan
hubungan seks dengan seseorang yang bukan pasangannya.
Hackathorn et al. (2011) dalam artikel Practicing What You Preach:
Infidelity Attitudes as a Predictor of Fidelity menjelaskan bahwa
perselingkuhan secara umum dikenal sebagai setiap tindakan seksual yang
(43)
pelanggaran perjanjian yang telah dibuat. Namun, definisi tersebut tidak
selalu tepat untuk digunakan, karena ada banyak cara di mana seseorang
mungkin melakukan perselingkuhan tanpa melibatkan tindakan seksual.
Seseorang dapat melakukan perselingkuhan dengan melibatkan interaksi
seksual dan atau dengan membentuk hubungan emosional yang dalam dan
bermakna dengan pasangan selingkuh.
Definisi mengenai perselingkuhan terkadang masih cukup ambigu,
dengan melihat perilaku yang dilakukan dalam perselingkuhan. Weis dan
Felton (dalam Hackathorn et al., 2011) mengemukakan bahwa, meskipun
ada anggapan umum bahwa aktivitas seksual yang dilakukan dengan
pasangan di luar pernikahan adalah perselingkuhan, ada ketidaksetujuan
tentang apakah perilaku ambigu (misalnya pergi ke bioskop dengan orang
lain yang bukan pasangan) juga dapat dianggap sebagai perselingkuhan.
Feldman dan Cauffman (dalam Hackathorn et al., 2011) mengemukakan
bahwa perilaku perselingkuhan yang ambigu seperti minum kopi dan pergi
ke bioskop dengan orang lain yang bukan pasangan merupakan perilaku
yang dapat diterima dan dipertimbangkan. Di sisi lain, perilaku seperti
menggoda dan berfantasi tentang orang lain yang bukan pasangan
merupakan perilaku yang kurang dapat diterima. Hackathorn (dalam
Hackathorn et al., 2011) menunjukkan bahwa perilaku online, seperti
chatting, dapat dianggap sebagai perselingkuhan dengan konsekuensi yang
(44)
Dari definisi di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa
perselingkuhan dapat diartikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap janji
dan komitmen perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua
orang dari pasangan tersebut, dimana pelanggaran yang dilakukan
melibatkan perilaku seksual dan atau perasaan emosional yang mendalam
dengan orang lain.
2. Penyebab Perselingkuhan
Shackelford et al. (2008) dalam penelitian yang mereka lakukan
menunjukkan bahwa perselingkuhan terjadi dikarenakan faktor
kepribadian dan kepuasan perkawinan. Dalam penelitian mereka
menunjukkan bahwa orang dengan pasangan yang tidak menyenangkan
dan tidak bisa diandalkan akan cenderung merasa kurang puas dengan
pernikahan mereka. Hal tersebut yang pada akhirnya menjadi faktor yang
berpotensi seseorang melakukan perselingkuhan.
Ginanjar (2009) menyimpulkan sejumlah alasan perselingkuhan dari
berbagai sumber (contoh, Blow, 2008; Eaves & Robertson-Smith, 2007;
Subotnik & Harris, 2005; Weiner-Davis, 1992) yaitu:
1. Perselingkuhan terjadi karena ada kesempatan untuk melakukan
perselingkuhan, seperti kemudahan bertemu dengan lawan jenis di
tempat kerja, ada sarana hotel dan apartemen yang dapat dijadikan
sebagai tempat pertemuan rahasia, dan tersedianya sarana komunikasi
(45)
2. Ketidakharmonisan rumah tangga yaitu ditunjukkan dengan tidak
tercapainya harapan-harapan perkawinan yang justru harapan-harapan
tersebut diperoleh dari pasangan selingkuh.
3. Kebutuhan seks yang tidak terpenuhi dalam perkawinan.
4. Kebutuhan yang besar akan perhatian yang tidak dapat diperoleh dari
pasangan perkawinan, kebutuhan akan perhatian justru dapat diperoleh
dari pasangan selingkuh.
5. Hubungan jarak jauh dengan pasangan, misal pasangan memiliki
pekerjaan yang mengharuskan selalu keluar kota. Hal ini yang juga
akan memunculkan perasaan kesepian pada pasangan yang ditinggal
pergi untuk pekerjaan.
Layton (dalam Zaka al Farisi, 2008), seorang ahli psikologi meneliti
mengenai alasan seseorang melakukan perselingkuhan. Dalam penelitian
Layton terhadap pasangan yang melakukan perselingkuhan disebutkan
beberapa alasan yang selalu diungkapkan seseorang ketika mereka terlibat
perselingkuhan. Alasan-alasan tersebut, yaitu:
1. merasakan ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan
2. adanya kekosongan emosional dalam kehidupan pasangan tersebut
3. problem pribadi di masa lalu
4. kebutuhan untuk mencari variasi dalam kehidupan seksual
5. sulit untuk menolak “godaan”
6. marah terhadap pasangan
(46)
8. kecanduan alkohol atau pun obat-obatan
9. seringnya hidup berpisah lokasi
10. ingin membuat pasangan menjadi cemburu
Dari penyebab perselingkuhan yang telah dijabarkan di atas peneliti
menyimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) faktor yang menyebabkan
seseorang berselingkuh, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal
dapat berupa kepribadian dan kondisi dalam hubungan perkawinan,
sedangkan faktor eksternal dapat berupa kesempatan untuk bertemu
dengan pasangan selingkuh.
3. Jenis-jenis Perselingkuhan
Perselingkuhan pada umumnya dipahami sebagai suatu pelanggaran
terhadap perjanjian perkawinan, suatu pengkhianatan kepercayaan
seseorang, dan merupakan ancaman terhadap ikatan perkawinan.
Penelitian mengenai perselingkuhan telah menjawab terdapat 3 (tiga) jenis
pengkhianatan yang terjadi, yatu: perselingkuhan seksual, emosional, dan
perselingkuhan secara online yang merupakan penelitian terbaru.
a. Perselingkuhan seksual
Perselingkuhan seksual, dapat didefinisikan sebagai hubungan
seks yang dilakukan bukan dengan pasangan dalam perkawinan. Pada
konteks hubungan monogami, perselingkuhan seksual dianggap
menjadi salah satu ancaman yang paling signifikan terhadap stabilitas
(47)
Milhausen, 2009). Perselingkuhan seksual cenderung dilakukan oleh
pria (Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001). Alasan yang dikemukanan
pria ketika melakukan perselingkuhan, yaitu ketidakpuasan hubungan
seksual dengan istri dan keinginan untuk mencari variasi kehidupan
seksual (Cann & Baucom, 2004).
b. Perselingkuhan emosional
Brase et al. (dalam Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001)
menjelaskan bahwa perselingkuhan emosional terjadi ketika seseorang
yang berada dalam hubungan berkomitmen (perkawinan) menjadi
terlibat secara emosional (misalnya, perasaan cinta romantis) dengan
orang lain selain pasangan mereka. Perselingkuhan emosional
cenderung dilakukan oleh perempuan (Atkins, Baucom, & Jacobson,
2001). Alasan yang sering diungkapkan oleh istri ketika berselingkuh
yaitu karena merasa kurang adanya perhatian dari suami mereka
(Kristee, 2011).
c. Perselingkuhan secara online
Penelitian yang dilakukan oleh Mao dan Raguram (2009)
menjelaskan bahwa dengan perkembangan internet saat ini,
perselingkuhan yang merupakan hubungan romantis, seksual, dan
perasaan emosional dengan orang lain selain pasangan, dapat dilakukan
melalui kontak online dan percakapan elektronik yang terjadi melalui
email dan chat room. Perselingkuhan melalui media elektornik
(48)
interaktif dengan anggota lawan jenis melalui media tersebut.
Hubungan melalui dunia maya dapat menjadi suatu hubungan yang
berkelanjutan khususnya bagi seseorang yang bekerja menggunakan
media online atau chat room.
Terdapat perdebatan tentang apakah chatting merupakan
perselingkuhan. Perdebatan yang muncul adalah melihat sifat dari
media chatting yang bersifat pribadi dan rahasia. Mileham (dalam Mao
& Raguram, 2009) telah mendefinisikan bahwa sebagian besar
perselingkuhan terjadi berdasarkan tiga faktor: Pertama, lembaga
perkawinan yang melibatkan keberadaan ikatan emosional dan seksual,
ketika terjadi hubungan yang melibatkan perilaku seksual dengan orang
lain selain pasangan tersebut dianggap sebagai perselingkuhan. Kedua,
perselingkuhan biasanya terjadi secara rahasia, dan disembunyikan dari
pasangannya. Ketiga, sifat dari penghubung chat room yang pribadi
dapat menyebabkan terjadi perselingkuhan. Kebanyakan pasangan
merasa dikhianati, marah, dan sakit hati dengan perselingkuhan online
karena mereka mengganggap bahwa aktivitas online yang dilakukan
secara pribadi dan sembunyi-sembunyi menandakan telah terjadi
perselingkuhan. Mileham juga menetapkan bahwa dalam kasus ketika
kegiatan chat room dilakukan tidak tersembunyi dari pasangan, maka
(49)
4. Dampak Perselingkuhan
Perselingkuhan kebanyakan pada akhirnya berujung pada perceraian
pasangan suami istri. Selain itu, Spring (2006) dalam bukunya After the
Affair menjelaskan bahwa perselingkuhan yang terjadi akan membawa
dampak psikologis bagi pasangan yang telah dikhianati. Dampak
psikologis tersebut, adalah:
a. Kehilangan identitas diri
Seseorang yang mengetahui pasangannya telah berselingkuh
dapat mengalami perubahan konsep terhadap diri sendiri. Seseorang
akan mengganggap dirinya sebagai orang yang telah hancur dan
dilecehkan. Seseorang yang pada awalnya mengganggap bahwa dirinya
adalah orang yang punya kemampuan, baik, bersahabat, mandiri,
humoris, dan menarik, ketika mengetahui pasangannya telah
berselingkuh dapat seketika berubah pandangan terhadap diri sendiri.
Seseorang yang mengetahui pasangannya telah berselingkuh akan
memiliki gambaran negatif terhadap diri sendiri. Seseorang akan
menggaggap dirinya sebagai seseorang yang pencemburu, pemarah,
pendedam, tidak dapat mengendalikan diri, terlecehkan, penakut,
kesepian, terhina, buruk, curiga, dan telah dipermalukan secara sosial.
Seseorang yang telah dibutakan oleh pengkhianatan pasangannya akan
kehilangan diri yang dikenalnya, dia menjadi meragukan kebaikan yang
dilakukkannya, serta kehilangan kemampuan untuk memahami
(50)
b. Kehilangan rasa keistimewaan dalam diri
Pada awalnya seseorang merasa bahwa dia adalah orang yang
paling berarti bagi pasangannya. Tetapi, ketika seseorang mengetahui
bahwa pasangannya telah mengkhianatinya dengan melakukan
perselingkuhan, maka munculah perasaan tidak berguna dalam diri
orang tersebut. Seseorang akan merasa bahwa dirinya tidak ada artinya
lagi. Salah satu klien dari Spring (2006) mengungkapkan bahwa ketika
dia mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh dengan sekretaris,
dia merasa telah kehilangan orang yang selama ini dicintai dan
dipercayai. Klien dari Spring (2006) merasa bahwa dia tidak berguna
lagi, kehilangan semangat dalam menjalani hidup dan seperti “sampah”.
c. Hilangnya harga diri karena telah mengorbankan nilai-nilai yang
dipercayai
Seseorang yang mengetahui bahwa pasangannya telah
berselingkuh akan muncul perasaan tak berdaya dalam diri. Ada
beberapa orang yang berusaha untuk tetap mempertahankan pasangan
dengan merebut kembali pasangan dari teman berselingkuh. Banyak
cara yang dilakukan seseorang untuk merebut kembali pasangan mereka
hingga mengorbankan nilai-nilai yang mereka percayai. Spring (2006)
menjelaskan lebih lanjut bahwa kebanyakan klien yang datang
kepadanya merasa putus asa setelah mengetahui pasangan mereka telah
berselingkuh. Kebanyakan klien merasa bahwa suami mereka yang
(51)
perkawinan yang mereka jalani. Salah seorang klien mengatakan bahwa
dia mengalami depresi yang berat ketika mengetahui suaminya
berselingkuh. Klien tersebut kehilangan napsu makan dan mengalami
penurunan berat badan sampai 10 (sepuluh) kilogram.
d. Hilangnya harga diri karena gagal menyadari kekeliruan yang telah
terjadi
Pada saat kasus perselingkuhan belum terungkap jelas dalam
perkawinan, tetapi seseorang mengetahui bahwa pasangannya telah
berselingkuh mengganggap harga dirinya akan hancur, sehingga
terkadang mereka berusaha untuk menyembunyikan kecurigaan mereka
dan menyimpan di dalam hati.
Salah seorang klien dari Spring (2006) bernama Tom
mengungkapkan bahwa sebelum dia pada akhirnya bercerai dengan
istrinya, suatu waktu dia pernah memergoki istrinya berpelukan dengan
atasan. Tom berusaha untuk tidak mempercayai pengelihatannya dan
membuang pikiran negatif mengenai ada kemungkinan istrinya
berselingkuh dengan atasan. Tom kemudian mencoba menanyakan hal
tersebut kepada istrinya, tetapi istrinya menjawabnya dengan nada
mengejek. Perilaku yang ditunjukkan istri Tom, membuat dia menjadi
percaya bahwa memang benar istrinya telah berselingkuh. Pada saat
suatu perselingkuhan terungkap, seseorang berharap untuk tidak
menjadi terlalu waspada terhadap pasangannya. Kecurigaan yang
(52)
dan tajam. Apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh pasangan
menjadi sulit dibedakan antara yang merupakan kebenaran atau hanya
karangan saja. Seseorang menjadi tidak mempercayai pasangan dan
juga tidak mempercayai kebenaran kecurigaannya selama ini.
e. Kehilangan kontrol atas pikiran dan perasaan
Setelah perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan terungkap,
seberapa pun besar usaha seseorang untuk mengurai apa yang telah
terjadi, baik pikiran mau pun perilaku yang ditunjukkan menjadi di luar
kontrol diri seseorang. Seseorang akan menjadi lebih obsesif terhadap
kebohongan pasangannya, detail perselingkuhan, dan peristiwa yang
menyebabkan perselingkuhan. Seseorang menjadi lebih bekerja keras
untuk menekan kecemasan yang muncul akibat perselingkuhan.
f. Kehilangan perasaan aman dan keadilan
Seseorang mungkin mengganggap bahwa dirinya dapat
memahami bagaimana dunia bekerja, dan merasa dapat mengendalikan
kehidupan yang dijalani. Namun, ketika seseorang mengetahui
pasangannya telah berselingkuh, dia menjadi memiliki kayakinan dan
mengganggap bahwa dunia akan berakhir. Asumsi yang dimiliki
seseorang terhadap perkawinannya akan langgeng menjadi hancur.
Seseorang menjadi merasa tidak nyaman lagi dengan perkawinan yang
(53)
g. Kehilangan kepercayaan akan Tuhan
Setelah perselingkuhan yang telah dilakukan oleh pasangan
seseorang terkuak, seseorang berusaha untuk mencoba memahami
penderitaan yang dialami. Beberapa orang yang menjadi korban
perselingkuhan oleh pasangannya merasa seperti telah dihukum dan
ditinggalkan oleh Tuhan. Seseorang menjadi memiliki anggapan bahwa
Tuhan itu kejam. Seseorang menjadi meragukan kepercayaannya akan
Tuhan.
h. Kehilangan keterikatan dengan orang lain atau orang disekitar
Setelah perselingkuhan yang dilakukkan oleh pasangan seseorang
terkuak di muka umum, seseorang akan menjadi malu dan merasa
rendah diri. Seseorang merasa bahwa orang-orang disekitarnya akan
menjadi membicarakan dan menghindarinya karena aib yang dialami.
Pada saat seseorang ingin mengungkapkan perasaan yang dideritanya,
seseorang tidak dapat melakukan karena merasa sendiri. Seseorang
menjadi merasa ditinggalkan oleh orang-orang di sekitarnya.
i. Kehilangan tujuan dan kemauan untuk hidup
Seseorang yang menjadi korban perselingkuhan menjadi tidak
dapat menggambarkan bagaimana dia harus mencintai dan dicintai lagi.
Seseorang menjadi kehilangan kemampuan untuk menilai diri sendiri
dan memaknai kehidupan yang dijalani. Seseorang menjadi merasa
bahwa hidup lebih menyakitkan daripada tidak hidup. Respon yang
(54)
Seseorang merasa tidak mempunyai keinginan untuk menjalani hidup
lagi karena pengkhianatan yang dilami.
Satiadarma dalam buku Menyikapi Perselingkuhan (2001)
menjelaskan bahwa dampak negatif sebenarnya juga dirasakan oleh
pasangan yang melakukan perselingkuhan berupa tekanan dari kesadaran
moral yang membuatnya sangat bersalah, dan berdampak pada fisik serta
tekanan psikologis. Dampak psikologis yang dirasakan oleh pasangan
yang melakukan perselingkuhan biasanya berupa perasaan malu dan
tersisih, sehingga seringkali muncul upaya untuk melarikan diri dan
rasionalisasi terhadap kesalahan yang dilakukan. Dampak perselingkuhan
dalam perkawinan juga akan dirasakan oleh anak dalam keluarga. Anak
akan mengalami konflik dalam diri melihat kedua orangtua yang
mengalami perselingkuhan. Anak menjadi merasa terbebani dan memiliki
perasaan yang tidak menentu. Di sisi lain, anak membutuhkan kedua
orangtua mereka sebagai figur panutan, tetapi ketika mereka mengetahui
permasalahan perselingkuhan pada orangtua mereka menjadi meragukan
apakah kedua orangtua mereka dapat dijadikan figur panutan.
Jadi, selain memiliki potensi untuk mengakhiri suatu hubungan
perkawinan, perselingkuhan juga membawa dampak negatif pada
psikologis pasangan yang disakiti, terhadap pelaku perselingkuhan yang
berupa perasaan bersalah, dan juga dampak negatif pada anak-anak
pasangan yang mengalami perselingkuhan berupa pikiran yang terbebani
(55)
C.Memaafkan
1. Definsi Memaafkan
Memaafkan merupakan suatu konsep yang sebelumnya selalu
dikaitkan dengan agama dan praktek keimanan seseorang. Seiring
berjalannya waktu konsep mengenai memaafkan kemudian diterima dalam
studi empiris di luar literatur agama, dalam hal ini literatur psikologi
(Idemudia & Mahri, 2011).
Dalam literatur psikologis, memaafkan bukanlah kondisi yang
mengarah pada melupakan peristiwa yang telah terjadi pada seseorang.
Sebaliknya, memaafkan adalah suatu bentuk tanggapan terhadap
ketidaksesuaian yang menyebabkan berkurangnya perasaan dendam dan
marah terhadap pelaku dan peristiwa, serta memunculkan perasaan,
pemikiran dan perilaku yang lebih positif (Worthington, 2001).
Yamhure Thompson et al. (dalam Lopez & Synder, 2003)
mendefinisikan memaafkan sebagai proses reframing atau pemaknaan
kembali suatu pelanggaran yang dapat bersumber dari diri sendiri, orang
lain atau, situasi diluar kendali yang dirasakan seseorang, sehingga respon
yang diberikan terhadap pelanggar, pelanggaran, dan dampak dari
pelanggaran tersebut berubah dari negatif menjadi netral atau positif.
Mereka juga menjelaskan bahwa memaafkan merupakan proses
intrapersonal.
Enright et al. (dalam Lopez & Synder, 2003) mendefinisikan
(56)
judgment yang negatif, dan perilaku menarik diri terhadap seseorang yang
telah melukai perasaan, ketika seseorang tidak seharusnya memberikan
rasa kasihan, kemurahan hati, dan juga cinta terhadap orang yang telah
menyakiti. Mereka juga merumuskan bahwa memaafkan merupakan
perbuatan baik terhadap pelaku sebagai kebutuhan bagian dalam
memaafkan.
Younger et al. (dalam Sharon, 2009) menyebutkan bahwa
memaafkan sebagai proses relasional yaitu melepaskan dampak negatif
dengan tujuan untuk tetap mempertahankan hubungan.
Tsarenko dan Toijib (dalam Kymenlaakso, 2012) mendefinisikan
memaafkan sebagai proses berkembangnya emosional dan kognitif
seseorang yang membutuhkan usaha pada setiap tahap. Setelah emosi
negatif sudah dilepas dan kemauan untuk menghukum atau membalas
dendam kepada pelaku telah diselesaikan, maka proses memaafkan dari
mengubah ke dalam bentuk tindakan dikatakan bahwa memaafkan telah
diberikan kepada pelaku.
Dari definisi mengenai memaafkan di atas, peneliti menarik
kesimpulan bahwa memaafkan merupakan proses pengolahan emosional
dan kognitif seseorang setelah orang tersebut mengalami suatu
pelanggaran (dalam hal ini perselingkuhan), sehingga emosi negatif yang
muncul dapat diubah dalam bentuk perilaku yang positif, kebencian dan
(57)
keinginan untuk tetap mempertahankan hubungan dengan orang yang telah
melukai.
2. Proses Memaafkan
Gani (2011) dalam buku yang berjudul Forgiveness Therapy
menyebutkan bahwa beberapa ahli yang meneliti mengenai memaafkan
juga telah menuliskan tahapan untuk memaafkan. Jika diamati lebih lanjut,
setiap proses yang dilakukan pada dasarnya sama, tetapi para ahli
memutuskan untuk memisahkannya menjadi satu proses yang juga
menjadi bagian proses yang lain.
Fred Luskin (dalam Gani, 2011) menjelaskan terdapat 4 (empat)
tahap dalam memaafkan, yaitu:
Tahap 1: Seseorang menyadari emosi kemarahan yang ada dalam diri
Tahap 2: Seseorang menyadari perasaan negatif yang dimiliki dapat
berbahaya bagi diri
Tahap 3: Seseorang kemudian memilih untuk bertindak lebih bermanfaat
Tahap 4: Seseorang memutuskan untuk mengambil tindakan proaktif
Enright (dalam Gani, 2011) juga menjelaskan bahwa untuk dapat
memaafkan, seseorang akan melalui 4 (empat) tahapan, yaitu:
Tahap 1: Seseorang dapat mengungkap apa yang menjadi sumber
kemarahan, bagaimana menghindari dan menghadapi kemarahan,
kesadaran bahwa kemarahan berpengaruh pada kesehatan, bagaimana
(58)
yang dialami pelaku, serta melihat apakah luka yang ditimbulkan
mempengaruhi perubahan kehidupan dan cara pandang terhadap dunia.
Tahap 2: Seseorang berkeinginan untuk melakukan proses memaafkan,
kemudian memutuskan memilih untuk memaafkan.
Tahap 3: Seseorang melakukan pemaafan dengan mencoba memahami,
melakukan hal yang baik, menerima rasa sakit dengan hati yang tulus, dan
memberikan hadiah kepada pelaku berupa pemaafan tersebut.
Tahap 4: Seseorang melakukan pendalaman dengan menemukan makna
penderitaan, menemukan kebutuhan untuk memaafkan, menemukan
bahwa seseorang yang merupakan korban tidak sendirian, menemukan
tujuan hidup, dan menemukan kebebebasan memaafkan.
Smedes juga menyebutkan dalam buku Forgive and Foget (1996)
bahwa perilaku memaafkan berasal dari diri sendiri. Perilaku memaafkan
merupakan tindakan yang sangat sederhana, tetapi juga akan melibatkan
pergolakan emosi yang sangat dalam. Hal ini merupakan cara yang tersulit
dalam semua hubungan personal. Menurut Smedes (1996) untuk dapat
memaafkan orang harus dapat jujur satu dengan yang lainnya. Seseorang
harus dapat menurunkan ego masing-masing, berbicara satu dengan yang
lain dengan tenang dan dapat melihat permasalahan dengan bijak. Lewis
menambahkan terdapat 4 (empat) tahapan memaafkan, yaitu:
Tahap 1: Tahap terluka. Seseorang merasa telah terluka sangat dalam
(59)
melupakan perilaku orang tersebut. Pada situasi seperti ini seseorang
berada pada masa krisis untuk memaafkan.
Tahap 2: Tahap membenci. Seseorang tidak dapat menghilangkan ingatan
mengenai seberapa dalam dia sangat terluka. Seseorang yang telah terluka
berharap orang yang melukainya tidak dapat hidup dengan baik. Seseorang
yang telah terluka terkadang berharap orang yang telah melukainya juga
merasakaan penderitaan yang sama.
Tahap 3: Tahap penyembuhan. Seseorang dapat melihat permasalahan
yang diahadapi dengan bijak. Seseorang dapat melihat permasalahan
dengan cara dan sudut pandang yang baru. Seseorang dapat melihat
seseorang yang telah melukainya dengan sudut pandang yang lebih positif.
Ingatan seseorang mengenai rasa sakit yang dideritanya akan hilang dan
akan terbebas. Pada tahap ini seseorang memutuskan untuk memaafkan
pelanggaran yang terjadi.
Tahap 4: Tahap kembali bersama. Seseorang yang telah melalui tahap
penyembuhan, dia sudah terlepas dari rasa sakit hati dan tidak ada dendam
lagi kepada orang yang telah menyakitinya. Seseorang dapat mengundang
kembali orang yang telah menyakitinya untuk bersama-sama lagi
membangun hubungan dan rasa cinta yang baru.
Jadi, memaafkan tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi memaafkan
memiliki proses yang cukup panjang dan bertahap. Dalam penelitian ini,
peneliti akan menggunakan tahapan memaafkan menurut Smedes.
(60)
menggambarkan proses terluka ketika salah satu pasangan dalam
perkawinan mengetahui adanya perselingkuhan hingga keinginannya
untuk memaafkan dan kembali menjalani hidup bersama dengan
pasangannya.
3. Manfaat Memaafkan
Penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa memaafkan
berkaitan dengan kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis (Mauger et
al., 1992; Witvliet, 2001). Para peneliti membuktikan bahwa terdapat
hubungan antara memaafkan dengan kesehatan fisik. World Health
Organization (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan
kesejahteraan antara aspek fisik, mental, dan sosial individu. Hal tersebut
juga menunjukkan bahwa tidak adanya penyakit dalam diri orang yang
bersangkutan (Witvliet, 2001).
Anderson (dalam Witvliet, 2001) mendefinisikan kesehatan sebagai
kemampuan untuk mengatasi stres dan tidak adanya penyakit serta
kematian dini. Kesehatan bergantung pada keberhasilan atau kegagalan
dari tubuh untuk merespon dengan cara yang adaptif dalam menghadapi
tantangan dari lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasa benci
atau permusuhan merupakan faktor utama yang memberikan efek pada
fisik seseorang terhadap kesehatan yang berkaitan dengan memaafkan.
(61)
jantung koroner. Oleh karena itu, memaafkan secara tidak langsung
berhubungan dengan penyakit jantung koroner.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa memaafkan merupakan hal yang
sangat penting untuk dilakukan. Memaafkan dapat memberikan manfaat
yang positif bagi seseorang yang melakukannya serta dapat membantu
seseorang untuk lebih sehat secara fisik dan psikologis yang terkait dengan
kesejahteraan hidup.
D.Budaya Patriarki
Budaya patriarki adalah budaya dimana kaum pria memiliki pengaruh
yang besar dan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan wanita.
Setelah sorang pria menikah, dia akan menjadi suami yang bertanggung jawab
penuh sebagai seorang pemimpin dalam keluarga. Dalam budaya patriarki
seorang suami yang berhak mengambil keputusan ketika ada masalah dan juga
yang menentukan iya atau tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh keluarganya
itu, boleh dilakukan atau tidak. Dalam budaya Indonesia sendiri, kaum pria
(dalam hal ini suami) dianggap sebagai pemimpin dan penanggung jawab
dalam rumah tangga. Suami dituntut untuk dapat bertanggung jawab penuh dan
mengayomi keluarganya sehingga jauh dari penderitaan. Seorang suami juga
dituntut harus mapan, dapat diandalkan dan juga mampu menjadi tulang
punggung keluarganya ketika membutuhkan sesuatu (http://www.scribd.com).
Young dalam artikel A Dawsonian View of Patriarchy (2007)
(62)
pemimpin dituntut dapat melindungi istri dan anak-anaknya. Pada saat muncul
permasalahan dalam perkawinan, seorang suami sebagai kepala rumah tangga
diharapkan dapat dengan bijak menyelesaikan permasalahan yang ada.
Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam melihat bahwa
kedudukan seorang suami sebagai pemimpin dan pengambil keputusan juga
terlihat dalam penentuan perceraian. Maksudnya, bahwa seorang suami
mempunyai kekuasaan dan pemegang keputusan dalam masalah pengajuan
perceraian. Hal ini terlihat jelas dalam agama Islam yang menggunakan istilah
talak dalam pengajuan perceraian. Talak merupakan bahasa Arab yang
bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan. Melepas dalam hal ini
adalah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri atau
dikenal dengan perceraian. Dalam Islam hak menjatuhkan talak (menceraikan
istri) merupakan hak suami, sedangkan istri tidak diberikan hak talak untuk
menceraikan suami (http://asysyariah.com). Hal ini menunjukkan bahwa dalam
Islam, menempatkan suami sebagai penentu keputusan dalam hal ini
pemutusan perceraian yang merupakan hak suami.
E.Proses Suami Memaafkan Istri Yang Pernah Selingkuh
Memutuskan untuk menikah berarti memutuskan untuk memasuki
kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupan ketika masih melajang. Dalam
kehidupan perkawinan pasangan suami istri akan menemukan banyak
peramasalahan, seperti adaptasi, komunikasi, dan relasi baik dengan pasangan
(63)
2009). Konflik dan permasalahan komunikasi dalam perkawinan telah dibahas
cukup lama dalam penelitian psikologi. Perselingkuhan merupakan salah satu
konflik dan permasalahan yang menjadi fenomena umum dalam suatu
perkawinan (Atkins, Baucom, & Jacobson, 2001).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan perselingkuhan terjadi
karena berbagai faktor seperti ketidakpuasan dalam kehidupan perkawinan,
ketidakharmonisan rumah tangga, adanya kekosongan emosional dalam
kehidupan pasangan tersebut, problem pribadi di masa lalu, kebutuhan untuk
mencari variasi dalam kehidupan seksual, sulit untuk menolak “godaan”,
marah terhadap pasangan, tidak lagi bisa mencintai pasangan, kecanduan
alkohol atau pun obat-obatan, seringnya hidup berpisah lokasi, ingin membuat
pasangan menjadi cemburu dan ada kesempatan untuk melakukan
perselingkuhan (Shackelford et al., 2008; Ginanjar, 2009; Layton, dalam Zaka
al Farisi, 2008).
Pada umumnya, masyarakat memandang bahwa pria (dalam hal ini
suami) merupakan orang yang melakukan perselingkuhan. Tetapi pada
faktanya, wanita (dalam hal ini istri) juga mempunyai potensi untuk melakukan
perselingkuhan (McDougall, tanpa tahun; Mao & Raguram, 2009).
Berdasarkan penelitian, kebanyakan perselingkuhan yang dilakukan oleh istri
lebih bersifat emosional. Dalam perselingkuhan yang dilakukan oleh istri lebih
karena kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang yang tidak didapatkan dari
(1)
464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493 494
itu ya biasanya kalau misal habis pulang dari kantor gitu ya biasanya nonton TV bareng, ngobrol-ngobrol santai kayak ngomongin masalah kantor atau apa gitu... kalau dulu jarang sih mba
kami berdua jalan pergi berdua, mungkin kalau pergi keluar kalau ada yang pas ulang tahun kayak ulang tahun pernikahan kami atau ulang tahun anak-anak itu kami biasanya makan di luar...
Kalau perubahan-perubahan itu malah saya tidak merasakan itu mba... saya dulu sebelum mengetahui bahwa istri saya berselingkuh itu ya biasa-biasa saja mba... kami menjalaninya tanpa ada permasalahan-permasalahan. (menghela napas) Maka dari itu mba
ketika dulu itu setelah saya tau kalau istri saya berselingkuh sangat kecewa sekali dan merasa bahwa selama saya dan istri saya menjalani hidup bersama itu sia-sia... (menghela napas). Saya waktu
itu tidak pernah kepikiran akan mengalami masalah demikian. Saya mengganggap.... kalau dalam menjalani kehidupan berumah tangga kami itu baik-baik saja, tetapi malah sebaliknya... Istri saya malah berselingkuh dan malah menyalahkan saya sebagai suami yang tidak perhatian dan pengertian (diam).
Ya mungkin setelah saya mendapat nasihat dari ulama saya itu.... jadi tersadarkan juga mba.... kalau saya itu belum menjadi imam yang baik.
Kalau mau diingat dulu itu saya termasuk orang yang keras dan kalau sudah menentukan suatu keputusan anak-anak dan istri saya harus menurutinya.
bersama dengan istri sebelum terjadi perselingkuhan (A1.2).
Perasaan yang dialami subjek setelah
mengetahui istri telah berselingkuh (T2.3; T3.3).
Hal yang membuat
subjek tetap mempertahankan
(2)
495 496 497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525
Mungkin... sikap saya itu karena didikan ayah saya dulu juga... mungkin ya... ayah saya dulu orang yang keras dan sangat disiplin. Jadi karena sikap saya seperti itu, istri saya jadi tertekan.. merasa tidak dihargai dan tidak dianggap sebagai seorang istri dan ibu.... ya setelah saya merenungi nasihat dari ulama yang saya temui itu.. saya mencoba merefleksikan diri saya mba waktu itu... (diam)
Jujur saja mba dulu ceritanya setelah saya meminta nasihat dari ulama itu, saya sempat pisah dengan istri saya itu, tapi bukan pisah rumah hanya pisah kamar saja, sempat beberapa hari saya bicara ketus dengan istri saya. Kalau mau diingat dulu pertentangan
batin juga mba.... antara sakit hati saya dan mempertahankan perkawinan mba.... rasanya berat mba.... di sisi lain saya juga kepikiran anak-anak
mba.... istri saya memang sudah meminta maaf dan saya juga sudah berbicara untuk segera memutuskan hubungan dengan si WW itu, tapi rasanya waktu itu
untuk membangun rasa percaya lagi kepada istri saya itu berat mba...
waktu itu saya sempat membenci istri saya, menyalahkan dia.... kerena tega mengkhianati saya.
Tapi, dengan saya merefleksikan diri.. juga dengan sholat dan bercerita pada ibu saya mengenai perasaan saya, jadi lebih ringan dan membantu saya untuk berpikiran secara jernih....
Kesulitan yang dialami subjek ketika memutuskan untuk tetap mempertahankan perkawinan (AK1.4).
Perasaan yang dialami subjek setelah
mengetahui istri telah berselingkuh (T2.3; T3.3).
(3)
526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540 541 542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556
Waktu itu, setelah saya dapat berpikiran jernih ya.. saya rasa bahwa diri saya yang keras dan otoriter yang menyebabkan istri saya sempat berpaling. Setelah... saya menyadari kekurangan saya, waktu itu saya melihat istri saya sebagai orang yang butuh didengarkan juga pendapatnya, butuh diperhatikan.... Waktu itu saya dan istri saya saling
koreksi diri juga, jadi setelah saya sempat mendiamkan istri saya itu, kemudian... saya mencoba mengajak dia jalan keluar untuk makan bareng berdua.... ya waktu itu saya dan istri saling share mengungkapkan perasaan kami masing-masing. Mulai waktu itu kami jadi lebih terbuka lah mba.. saya jadi sadar kekurangan saya dan saya juga berusaha memahami istri saya juga. Kemudian setelah kami saling share waktu itu, lalu kami saling berjanji untuk saling mengubah sikap, saling mengingatkan juga kalau ada yang salah, lalu juga kami saling janji untuk saling mendukung dalam menjalani hari ke depannya. Yah... mulai waktu itu kami jadi lebih terbuka lah mba.. saya jadi sadar kekurangan saya dan saya juga berusaha memahami istri saya juga. Saya jadi melihat bahwa istri saya
memerlukan saya sebagai suami yang melindungi dan menjaganya, dan juga saya membutuhkan istri saya yang bisa memahami dan menerima saya apa adanya he..he... gitu mba....
Kalau istilahnya setelah peristiwa itu ya, komunikasi dalam keluarga jadi dua arah mba, kalau dulu saya yang jadi penentu keputusan dan semua yang saya putuskan harus dilaksanakan,
Penilaian subjek terhadap istri setelah memutuskan tetap mempertahankan perkawinan (AK1.2).
Penilaian subjek terhadap istri setelah memutuskan tetap mempertahankan perkawinan (AK1.2).
Pelajaran yang subjek pahami setelah
peristiwa
(4)
557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587
jadi... cuman satu arah saja dulu komunikasinya cuman dari saya. Setelah saya menyadarinya dan mengalami peristiwa yang demikian, saya mencoba mengubah komunikasi saya seperti melibatkan istri dan anak-anak juga dalam menentukan keputusan.
Setelah saya merubah sikap demikian, ya saya jadi mengetahui perasaan-perasaan istri saya, apa yang dirasakan istri saya, ya... saya jadi bisa menerima dia kembali mba.... setelah... mengalami peristiwa itu saya ingin menjadi imam yang baik juga buat istri dan anak-anak, seperti nasihat ulama yang membuat saya
sadar juga kalau saya juga mempunyai tugas mengayomi, melindungi kehormatan dan keselamatan istri... saya juga berpikir bahwa di dunia ini tidak ada orang yang sempurna, semua orang... pasti pernah melakukan kesalahan juga tow mba. Kalau misal setiap orang yang melakukan
kesalahan dihindari ya kasihan tow mba. Seperti halnya mba nindi juga calon psikolog juga harus bisa menerima baik itu orang baik atau jahat yang datang konsultasi ke mba nindi tow. Istri saya juga seperti
itu, melakukan suatu kesalahan tapi karena saya sudah memilih dia sebagai seorang istri ya saya bertanggung jawab untuk mengingatkan dan membimbing dia kalau melakukan kesalahan. Apalagi, istri saya adalah orang yang sangat saya cintai, saya memilih dia sebagai istri karena melihat dia adalah orang yang baik dan penuh perhatian.
(AK1.5).
Pelajaran yang subjek pahami setelah
peristiwa
perselingkuhan berlalu (AK1.5).
Hal yang membuat
subjek tetap mempertahankan
(5)
588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614
He..he... kalau itu, gini ya mba.. he....he.. seperti yang saya bilang kalau saya bukan orang yang romantis mba.. he..he... ya kalau manggil sayang seperti sebelum-sebelumnya ya bilang papa sayang mama gitu... he....he... mungkin yang berubah jadi sering memperhatikan penampilan istri sih mba setelah peristiwa itu ya mba, jadi sering muji istri saya cantik gitu he..he... trus kalau mau pergi-pergi juga ngasih pendapat kalau dia cantiknya pakek baju yang ini atau yang itu he...he....
Setelah peristiwa itu, jadi lebih banyak meluangkan waktu berdua kalau malem lebih jadi sering cerita-cerita juga. Sampai sekarang juga seperti itu lebih banyak waktu untuk ngobrol, apalagi anak-anak juga sudah pada besar dan punya kesibukan sendiri-sendiri. Ya satu-satunya yang bisa diajak ngobrol ya istri saya juga he...he...
Kegiatan yang lain apa ya.. he..he.. mungkin nonton film, ya gara-gara anak saya nih saya dan istri saya juga suka nonton film he..he.... kadang kalau hari libur itu saya dan istri saya pinjam film untuk dilihat bersama. Kadang anak saya yang meminjamkan juga untuk ditonton bareng-bareng he...he... kegiatan yang lain mungkin kalau sore apa hari minggu atau pas libur gitu ya kita jalan bareng atau pergi ke mana gitu berdua, biasanya pergi makan malam gitu... he..he...
Kegiatan keseharian yang dilakukan subjek bersama dengan istri saat ini setelah peristiwa
perselingkuhan berlalu (AK2.8).
(6)