Heri Adi Prabowo2010

(1)

EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI

BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG

DAN BANGUNAN DALAM NERACA DAERAH

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Mencapai Derajat Magister Sains Program Studi Magister Akuntansi

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh:

Heri Adi Prabowo

NIM. S4307019

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN

DALAM NERACA DAERAH

RINGKASAN TESIS

Disusun oleh:

Heri Adi Prabowo NIM. S4307019

Telah disetujui Pembimbing

Pada tanggal : ...

Pembimbing I

DR. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak

NIP. 19680401 199303 2 001

Pembimbing II

Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak

NIP. 19750218 200012 1 001

Mengetahui :

Ketua Program Studi Magister Akuntansi

Dr. Bandi, M.Si., Ak. NIP. 19641120 199103 1 002


(3)

EVALUASI PERLAKUAN AKUNTANSI KAPITALISASI BELANJA YANG DAPAT DIAKUI SEBAGAI ASET GEDUNG DAN BANGUNAN

DALAM NERACA DAERAH

Disusun oleh:

Heri Adi Prabowo NIM. S4307019

Telah disetujui Tim Penguji

Pada tanggal 18 Januari 2010

Ketua Tim Penguji : Dr. Payamta, M.Si., Ak. CPA ...

Sekretaris : Dr. Bandi, M.Si., Ak. ...

Anggota : Dr. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak. ...

Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak. ...

Mengetahui :

Direktur PPs UNS

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D.

Ketua Program Studi Magister Akuntansi


(4)

PERNYATAAN

PERNYATAAN

Nama : Heri Adi Prabowo

NIM : S4307019

Program Studi : Magister Akuntansi

Konsentrasi : Sektor Publik

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Evaluasi Perlakuan

Akuntansi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung Dan

Bangunan Dalam Neraca Daerah” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal

yang bukan karya saya, dalam tesis ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam

daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh

atas tesis tersebut.

Surakarta,

Yang menyatakan,


(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha penyayang lagi maha pengasih karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul berjudul “Evaluasi Perlakuan

Akuntansi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung Dan

Bangunan Dalam Neraca Daerah. Pengelolaan aset tetap pemerintah daerah

menjadi issue utama yang mendasari penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan

gambaran mengenai kondisi yang terjadi di daerah.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Asian Development Bank melalui State Audit Reform Sector Development Project (STAR–SDP) sebagai pemberi beasiswa kepada peneliti dalam menyelesaikan

pendidikan Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret

Surakarta, Ibu DR. Hj. Rahmawati, M.Si., Ak. sebagai Pembimbing I

(satu)/Utama dan Bapak Doddy Setiawan, S.E., M.Si., IMRI., Ak. sebagai

Pembimbing II (dua) dan selaku Ketua Program Studi Magister Akuntansi

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan motivasi, nasihat,

petunjuk dan bimbingan sangat berharga selama proses penelitian sampai dengan

penyelesaian penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Tim Penguji yang diketuai

oleh Bapak Dr. Payamta,M.Si.,Ak. CPA., Ak dan Sekretaris Penguji Bapak


(6)

penyempurnaan tesis ini. Terima kasih dan penghargaan saya sampaikan kepada

Rektor dan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta

jajarannya yang telah menerima dan memberikan kesempatan pada penulis untuk

menimba ilmu di kampus tercinta ini.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Bupati Sragen dan

Inspektur Inspektorat Kabupaten Sragen atas ijin dan perkenan yang diberikan

kepada penulis untuk menempuh pendidikan jenjang S-2 di Universitas Sebelas

Maret Surakarta sekaligus melakukan penelitian di Pemerintah Kabupaten Sragen.

Terima kasih juga kepada Bupati Karanganyar dan Bupati Sukoharjo beserta

jajarannya atas ijin yang diberikan untuk melakukan penelitian. Terima kasih

kepada banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis selama proses

perkuliahan, penelitian sampai dengan penulisan tesis yang mohon maaf tidak bisa

penulis sebutkan satu persatu.

Terima kasih kepada Ayahanda (Alm) FX. Suharso dan Ibunda F.Wahyuni,

atas semangat dan doanya dalam penyelesaian tesis dan studi penulis. Secara

khusus disampaikan terima kasih kepada istri tercinta Tri Supraptini,S.Kep atas

pengertian, pengorbanan dan kesabaran selama penulis menyelesaikan studi serta

buah hatiku Carissa Shofiyah Prabowo yang memberi motivasi dalam hidupku,.

Penulis menyadari, bahwa tiada gading yang tak retak sehingga apa yang

penulis lakukan masih belumlah sempurna karena keterbatasan kemampuan

penulis. Oleh karena itu kritik dan saran penyempurnaan selanjutnya penulis

sangat hargai. Diharapkan apa yang penulis lakukan dapat bermanfaat dalam


(7)

melalui Laporan Keuangan Daerah (LKD) khususnya pada penyajian aset gedung

dan bangunan.

Surakarta, Januari 2010


(8)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A Latar Belakang ... 1

B Permasalahan ... 8

C Tujuan Penelitian ... 9

D Manfaat Penelitian ... 9

E Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A Kapitalisasi ... 11

1. Kapitalisasi Pada Sektor Swasta (Private)/Perusahaan ... 11

2. Kapitalisasi Pada Sektor Publik/Pemerintahan ... 14

B Belanja Daerah ... 17

C Aset ... 22

D Aset Tetap Gedung dan Bangunan ... 26

1. Pengakuan Gedung dan Bangunan ... 27

2. Pengukuran Gedung dan Bangunan ... 28

3. Pengungkapan Gedung dan Bangunan ... 29

BAB III METODA PENELITIAN ... 30

A Pendekatan Penelitian ... 30

B Metoda Pengumpulan Data ... 31

C Analisa Data ... 34

D Tahap-tahap Penelitian ... 35

BAB IV ANALISA DATA ... 51

A Kabupaten Sragen ... 36

1. Gambaran Umum ... 36


(9)

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran

2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung

Dan Bangunan ... 38

4. Prosedur Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung dan Bangunan ... 40

5. Akuntansi Belanja Daerah ... 42

6. Kapitalisasi Belanja Daerah ... 43

7. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah ... 47

B Kabupaten Karanganyar ... 49

1. Gambaran Umum ... 49

2. Proses Penelitian ... 50

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan ... 51

4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung & Bangunan ... 53

5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah ... 53

C Kabupaten Sukoharjo ... 54

1. Gambaran Umum ... 54

2. Proses Penelitian ... 55

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan ... 55


(10)

4. Implementasi Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai

Aset Gedung & Bangunan ... 57

5. Hasil Audit BPK & Hasil Reviu Inspektorat Terhadap Penyajian Aset Tetap dalam Laporan Keuangan Daerah ... 58

D Pembandingan Kondisi Obyek Penelitian ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A Kesimpulan ... 61

B Keterbatasan Penelitian ... 63

C Saran-Saran ... 64

D Implikasi Manajerial ... 65


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Penggolongan Belanja Menurut PP No. 24 Tahun 2005

Permendagri No. 13 Tahun 2006 ... 18

Tabel II.2 Pencatatan Aset Gedung Dalam Neraca Berdasarkan KMK

No. 18/KMK.018/1999 ... 27

Tabel IV.1 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sragen Tahun

Anggaran 2008 ... 39

Tabel IV.2 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab

Sragen Tahun Anggaran 2008 ... 39

Tabel IV.3 Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap

Gedung Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008 .. 39

Tabel IV.4 Tabulasi Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemkab Sragen

dengan PMK No. 91/PMK.05/2007 ... 46

Tabel IV.5 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran 2008 ... 51

Tabel IV.6 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemerintah Kabupaten Karanganyar Tahun Anggaran 2008

... 52

Tabel IV.7 Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung Bangunan Pemkab Karanganyar Tahun Anggaran

2008 ... 52

Tabel IV.8 Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 ... 56


(12)

Tabel IV.9 Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran 2008 ... 56

Tabel IV.10 Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sukoharjo Tahun Anggaran

2008 ... 57


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten

Sragen Yang Mengatur Tentang Belanja

... 69

Lampiran 2 Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten

Sragen Yang Mengatur Tentang Aset

... 72

Lampiran 3 Daftar isian kuesioner yang diedarkan ……….. 74

Lampiran 4 Ijin penelitian di 3 Kabupaten ( Kabupaten Sragen,


(14)

INTISARI

Pengelolaan aset tetap milik pemerintah masih menemui banyak kendala baik dalam pengakuan, penilaian maupun pelaporannya. Kondisi tersebut berdampak pada tidak terpenuhinya kriteria kewajaran dalam penyajian akun aset tetap dalam Laporan Keuangan Daerah (LKD). Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintahan Daerah dan dapat memberikan evaluasi terhadap kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan apakah telah sesuai dengan standar yang ada.

Pendekatan deskriptif (descriptive research) digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan penelitian yang berusaha menggambarkan kondisi dan fenomena yang terjadi di lapangan tentang fokus penelitian seobjektif mungkin. Hasil analisis dan pembahasan menghasilkan kesimpulan bahwa prosedur kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan pada Pemerintah Daerah pada prinsipnya tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga tidak terdapat keseragaman pada implementasi di lapangan, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kapitalisasi (KMK No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah) belum mengatur secara spesifik tentang prosedur kapitalisasi dan belum ada pemahaman dari Pemerintahan Daerah objek penelitian (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) sehingga terjadi kecenderungan (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) tidak menerapkan kapitalisasi khususnya kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan.


(15)

ABSTRACT

The managing of the state-owned fixed assets still meets constraints in terms of asset acknowledgment, asset evaluation, and asset statement. Such a condition causes the naturalness criteria in the account presentation of the fixed-assets in the local financial statement to become unfulfilled. This research is expected to describe the procedure or process of the capitalization of expenditures, which can be acknowledged as the building assets in the local government, and to evaluate whether or not the former capitalization of expenditures has complied with the prevailing standards.

This research is a descriptive one. It tries to describe the condition and phenomena of the research objects taking place in the field as tangible as possible. Based on the results of the analysis a conclusion is drawn that the procedure of the capitalization of expenditures, which is acknowledged as the building assets in the local government has not principally been regulated specifically in the prevailing regulations and laws. As a result, there is not any uniformity in the implementation of the capitalization of the expenditures in the field, and the Decree of the Ministry of Finance, Number: 01/KM.12/2001 regarding Guidelines for Government-Owned Assets in the Government Accounting System, has not specifically regulated the procedure of the capitalization of expenditures. In addition, the local governments (Local General Treasuries and SKPD treasuries), which became the objects of this research, have not understood the procedure of the capitalization of expenditures. As a consequence, both the Local General treasuries and the SKPD treasuries tend not to implement the capitalization, particularly the capitalization of expenditures, which is acknowledged as the building assets.

Keywords : Capitalization, asset, expenditures, local government’s financial statement, regulation

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wujud aset tetap pada dasarnya adalah barang-barang fisik yang dimiliki oleh suatu entitas untuk memperlancar operasional entititas


(16)

dalam kegiatan normalnya dan mempunyai masa manfaat atau umur ekonomis lebih dari satu tahun. Aset tetap pemerintah merupakan salah elemen penting dalam menunjang operasional pemerintahan. Aset tetap tersebut dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah dalam rangka untuk menjalankan roda pemerintahan dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan. Diperlukan perhatian dan kebijakan khusus dalam pengelolaan aset tetap pemerintah sehingga peruntukan, pemanfaatan, dan penggunaannya tepat sasaran serta pelaporannya dapat memenuhi kriteria kewajaran sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku.

Laporan Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) selama 4 (empat) tahun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 menyatakan opini disclaimer yang salah satu penyebab dikeluarkannya opini tersebut adalah adanya aset/kekayaan negara khususnya Barang Milik Negara (BMN) belum diinventarisasi dan dinilai pada kondisi wajar, sehingga kevalidan dan keakuratan data masih perlu di cross check lagi. Pengelolaan dan pelaporan aset di tingkat pusat maupun daerah masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan sampai saat ini aset. hal ini dapat dilihat dari 1) hasil audit BPK RI terhadap Neraca Keuangan Pemerintah tahun 2004 menemukan 5 (lima) indikasi penilaian beberapa aset yang dibuat dibawah nilai sebenarnya atau understated yang menyebabkan sisi


(17)

ekuitas pada neraca menjadi negatif sekitar Rp. 500 triliun, 2) pernyataan Auditor Keuangan Negara BPK-RI Soekoyo yang menyatakan bahwa masih terdapat beberapa aset negara yang dinilai sebesar Rp. 1,- (satu rupiah), hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan agar aset negara tersebut tercatat terlebih dahulu dan untuk penentuan nilai yang akurat akan dilakukan kemudian (Kompas, 8/6/2004), 3) pernyataan Ketua BPK-RI Anwar Nasution yang menyatakan bahwa dari hasil audit BPK RI terhadap Neraca Keuangan Pemerintah tahun 2007 terdapat aset senilai Rp. l7,06 triliun di daerah yang rawan terhadap korupsi yang diakibatkan oleh pengelolaan aset yang belum tepat (Pelita, 4/5/2007).

Disyahkannya peraturan perundang-undangan tentang desentralisasi yaitu Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berimplikasi pada banyak hal yang harus disesuaikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Salah satu perubahan tersebut adalah reformasi pengelolaan keuangan daerah dengan diterapkannya desentralisasi pengelolaan keuangan daerah pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Perubahan-perubahan lain yang terjadi antara lain dapat dilihat pada 1) struktur APBD yang semula tersusun atas elemen pendapatan, belanja rutin dan belanja pembangunan berubah menjadi elemen pendapatan, belanja administrasi umum dan


(18)

belanja operasional, berdasarkan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diubah menjadi pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah, 2) konsep anggaran berimbang berubah menjadi konsep anggaran surplus/defisit, dan 3) laporan pertanggungjawaban APBD yang sebelumnya berbentuk Laporan Perhitungan APBD diganti dengan Laporan Keuangan Daerah (LKD) yang terdiri atas Neraca, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Bentuk Laporan Keuangan Daerah (LKD) hampir sama dengan laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan swasta pada umumnya.

Neraca daerah yang merupakan salah satu bentuk Laporan Keuangan Daerah adalah laporan untuk menunjukkan posisi keuangan berupa aset, hutang dan kekayaan pada suatu tanggal tertentu. Dari uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa komponen aset merupakan hal yang paling sulit dalam pengelolaan maupun pelaporannya. Salah satu permasalahan dalam pengelolaan aset tersebut salah satunya adalah kapitalisasi aset, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam paparannya pada Bimbingan Teknis (Bimtek) Review LKD di Kabupaten Sragen tanggal 2 Pebruari 2009 menyatakan bahwa:

Rata-rata di pemerintahan daerah belum melaksanakan pengkapitalisasian belanja yang dapat menambah nilai aset


(19)

(diakui sebagai aset) sehingga nilai aset yang disajikan belum menyatakan nilai yang sebenarnya terutama untuk aset gedung dan bangunan. Selain itu juga penentuan atau pengklasifikasian elemen-elemen biaya yang dapat dimasukkan dalam masing-masing pos rekening yang membentuk nilai nominal pos rekening tersebut belum menyatakan bahwa semua elemen-elemen biaya yang harus dilaporkan telah dimasukkan dalam jumlah tersebut. Kapitalisasi belanja dalam arti yang sederhana dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap belanja yang dapat menambah nilai suatu aset. Kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset tetap dapat disebabkan antara lain oleh biaya yang dialokasikan untuk perbaikan, rehabilitasi, dan perawatan suatu aset. Kondisi dilapangan menunjukan seringkali nilai rehabilitasi cukup besar, apalagi jika dilihat kenyataan bahwa SD Inpres yang didirikan tahun 1980-an baru direhabilitasi setelah 20 (dua puluh) tahun kemudian, tentunya memerlukan biaya yang cukup besar untuk melaksanakannya.

Sebagaimana dalam akuntansi komersial, pengalokasian belanja yang menambah masa manfaat aset dimasukkan sebagai penambah nilai aset tersebut. Namun dalam praktik di lapangan pada sektor publik (pemerintahan) hal ini menambah keruwetan bagi pelaksana pencatatan. Mereka harus memastikan, aset yang mana yang diperbaiki. Penentuan gedung sekolah yang akan diperbaiki, nampaknya tidak sulit dilakukan namun dalam kenyataannya cukup membuat permasalahan tersendiri bagi pelaksana di lapangan, hal ini dapat kita lihat dari kasus-kasus yang berkaitan dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) Sektor Pendidikan yang sebagian besar diperuntukkan


(20)

untuk pembangunan dan perbaikan gedung sekolah menemui banyak permasalahan dalam pelaksanaannya yang berujung pada penyelesaian di pengadilan. Contoh nyata, seorang Kepala Sekolah di Kabupaten Sragen diadukan oleh pihak Komite Sekolah ke pengadilan terkait dengan tuduhan telah melakukan mark up atas proyek rehabilitasi sekolah yang dananya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Sektor Pendidikan senilai Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Belum lagi permasalahan pengelolaan gedung sekolah yang diperbaiki berkaitan dengan pengukuran, pengakuan dan pelaporan nilai dari gedung sekolah tersebut. Berdasarkan kondisi tersebut penelitian berkaitan dengan kapitalisasi belanja menjadi sangat penting untuk dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang implementasi kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset pada akuntansi pemerintahan daerah.

Penelitian terdahulu berkaitan dengan aset pemerintah antara lain telah dilakukan oleh Abdullah dan Halim (2006) yang menyatakan alokasi untuk belanja modal berasosiasi positif terhadap belanja pemeliharaan untuk konteks pemerintahaan daerah di Indonesia setelah otonomi daerah dilaksanakan. Besaran belanja modal berasosiasi dengan pendapatan daerah yang bersumber dari pemerintah pusat, tapi tidak dengan pendapatan sendiri. Dewi (2006) menyatakan proses pengelolaan belanja dengan menggunakan metoda Activity-Based Costing (ABC) dapat mendeteksi adanya


(21)

biaya-biaya yang tidak menambah nilai bagi terlaksananya program unit kerja/dinas/instansi sehingga pemotongan biaya atas biaya-biaya tersebut dapat menambah efisiensi kinerja pemerintah dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Wirjolukito (2008), dalam penelitiannya menyatakan untuk mempertahankan konsep kapitalisasi, PSAK No. 26 perlu ditambah beberapa item pengungkapan selain yang sudah ada sekarang untuk membendung terjadinya asimetri informasi, antara penyaji dan pengguna laporan keuangan. Pendekatan teoritis yang terstruktur dipandang kurang tepat, karena adanya gap yang lebar antara teori dan praktek di lapangan. Akan tetapi jika tidak dan ingin mengadopsi standar internasional, yang tentu saja banyak keuntungannya, maka IAS No.23 merupakan suatu alternatif yang cukup baik dan direkomendasikan, Subronto (2009) yang menyatakan Neraca Daerah Pemerintah Kabupaten Sragen per 31 Desember 2007 belum menyajikan secara wajar nilai aset tanah dalam rekening aset tetapnya, hal ini dapat dilihat dari belum sesuainya penyajian aset tanah Neraca Daerah Pemerintah Sragen per 31 Desember 2007 dengan Standar Akuntansi Pemerintahan berkaitan dengan klasifikasi aset tanah, pengakuan aset tanah dan pengukuran/penilaian aset tanah serta belum terpenuhinya penyajian wajar asersi aset tanah berkaitan dengan hak dan kewajiban, penilaian dan penyajian aset tanah.


(22)

Penelitian dilakukan terfokus pada implementasi belanja yang dinyatakan dalam Daftar Penggunaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) yang dapat diakui (dikapitalisasi) sebagai penambah nilai aset khususnya pada aset gedung dan bangunan dengan alasan untuk memperoleh gambaran tentang prosedur kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset yang diterapkan pada Pemerintah Daerah serta memberikan evaluasi untuk mengidentifikasi adanya perbedaan penerapan kapitalisasi belanja yang dapat menambah nilai aset dengan standar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kontribusi terhadap kualitas pelaporan aset khususnya aset gedung dan bangunan yang memenuhi kriteria wajar menjadi motivasi dalam penelitian ini.

Lokasi penelitian adalah Pemerintah Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar dengan pertimbangan:

a. Pemerintah Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten

Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar telah membuat Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005.

b. Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008 Pemerintah Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan


(23)

Inspektorat Daerah masing-masing daerah dan sedang dalam proses audit oleh BPK RI. Hasil Audit BPK RI terhadap LKD Pemerintahan Daerah Tahun Anggaran 2007 menyatakan opini Wajar (Pemerintah Kabupaten Karanganyar), Wajar Dengan Perkecualian (Pemerintah Kabupaten Sragen), dan Disclaimer (Kabupaten Sukoharjo).

Berdasarkan alasan-alasan di atas, Pemerintah Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar dipilih menjadi lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa dari tiga lokasi penelitian tersebut cukup mewakili Laporan Keuangan Daerah (LKD) Pemerintahan Daerah yang ada saat ini.

B. Permasalahan

Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penelitian difokuskan pada prosedur/proses dalam melakukan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan serta mengevaluasi elemen-elemen dalam belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam aset gedung dan bangunan telah sesuai dengan standar yang ada.

Cakupan penelitian dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu:


(24)

1. Ruang lingkup persoalan diteliti yaitu persoalan prosedur/proses yang ditempuh dalam melakukan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan serta evaluasi terhadap elemen-elemen dalam belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam aset gedung dan bangunan disesuaikan dengan standar yang ada. 2. Ruang lingkup subjek dalam penelitian adalah belanja daerah, dan 3. Ruang lingkup wilayah/lokasi penelitian adalah Pemerintah

Kabupaten Sragen, Pemerintah Kabupaten Sukoharjo, dan Pemerintah Kabupaten Karanganyar.

Permasalahan dalam penelitian ini diwujudkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan yang dilakukan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo?

2. Apakah kapitalisasi belanja yang diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo telah sesuai dengan standar yang ada?

C. Tujuan Penelitian


(25)

1. Memberikan gambaran tentang prosedur/proses pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan di Pemerintahan Daerah.

2. Memberikan evaluasi terhadap kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan apakah telah sesuai dengan standar yang ada.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu sebagai berikut:

1. Pemerintah Daerah, bahwa melalui penelitian ini dapat meningkatkan kualitas penyajian rekening aset dalam Laporan Keuangan Daerah (LKD) yang memenuhi kriteria wajar, khususnya untuk aset gedung dan bangunan.

2. Akademisi, bahwa penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang kapitalisasi aset dalam akuntansi pemerintahan khususnya kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan dalam neraca daerah.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian terbagi atas 5 (lima) bagian atau bab yang terdeskripsi antara lain atas:


(26)

Menguraikan latar belakang penelitian, ide-ide dasar, isue utama yang mendasari penelitian, tujuandan manfaat penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Memuat kajian terhadap literatur-literatur yang dipergunakan sebagai dasar teori dalam penelitian.

BAB III : METODA PENELITIAN

Menguraikan metoda penelitian yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian.

BAB IV : ANALISIS DATA

Mendeskrisikan kondisi yang terjadi di lapangan berkaitan dengan fokus penelitian serta evaluasi terhadap kondisi yang ada.

BAB V : KESIMPULAN, KETERBATASAN, SARAN DAN IMPLIKASI Memuat kesimpulan atas kondisi yang terjadi di lapangan,

saran-saran untuk peneliti berikutnya dan implikasi manajerial dari penelitian yang dilakukan.

BAB II


(27)

A. Kapitalisasi

1. Kapitalisasi Pada Sektor Swasta (Private)/Perusahaan

Alokasi biaya yang tepat harus dilaksanakan diantara berbagai pos aktiva dan beban karena akan mempengaruhi perhitungan laba perusahaaan untuk serangkaian periode akuntansi. Segala pengeluaran perusahaan akan dicatat sebagai biaya (expense), namun sebenarnya beberapa jenis pengeluaran perusahaan harus dikapitalisasi. Kapitalisasi (capitalization) dilakukan apabila pengeluaran yang terjadi dianggap mempunyai

future benefit, manfaat masa depan, manfaat yang tidak habis

dalam periode pelaporan yang bersangkutan. Sebagai contoh pengeluaran tersebut misalnya pembelian aktiva tetap dimana penggolongan terhadap aktiva dibatasi oleh jumlah pengeluaran minimal, misalnya di atas Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dan dibatasi oleh masa manfaat minimal, misalnya lebih dari 1 (satu) tahun manfaat.

Kapitalisasi aktiva tetap pada umumnya akan diikuti dengan alokasi pembebanan biaya dengan menggunakan perhitungan depresiasi. Jadi secara prinsip, kapitalisasi tidak menghilangkan pengakuan biaya, hanya membagi beban sesuai dengan masa manfaat dan tidak membebankannya sekaligus pada saat pembelian. Secara periodik pembebanan biaya tersebut harus


(28)

tetap dikonversi untuk menambah (kapitalisasi) atau mengurangi (depresiasi) nilai aktiva tetap bersangkutan.

Hung, et al. (2005) mendeskripsikan kapitalisisasi sebagai berikut:

The capitalized cost of an asset is the total present values of its full net costs that an asset spends over its life. We show the total present value of equivalent annual costs (EAC) equals the capitalized cost of an asset that could be replaced for infinite periods.

Berdasarkan definisi diatas, kapitalisasi merupakan biaya yang dikeluarkan terhadap suatu aset yang menjadi nilai tambah bagi aset tersebut di masa sekarang dan menambah masa hidup/masa manfaat aset tersebut. Nilai total sekarang dari aset yang dilaporkan merupakan penggabungan dari biaya-biaya yang dikeluarkan selama satu periode akuntansi atau 1 (satu) tahun. Duffy (2002) menyatakan:

Capitalized assets represent funds spent on a particular project that are considered an investment in that project. As long as there is a reasonable belief that the project will generate revenue, there is value associated with the project. As long as there is value associated with the project, expenses can be capitalized up to the reasonable value of the project. This allows companies to track but not allocate costs associated with projects that have multi-year start-up cycles before revenue will be generated. It also allows companies to match expenses with revenues as the revenues are produced. Duffy (2002) mengaitkan kapitalisasi aset dengan investasi, kapitalisasi didefinisikan sebagai sejumlah dana yang dibelanjakan terhadap suatu proyek (aset) tertentu dengan mempertimbangkan adanya investasi dalam proyek (aset) tersebut. Sepanjang terdapat


(29)

keyakinan bahwa proyek akan menghasilkan pendapatan dan terdapat nilai yang dapat dihubungkan dengan proyek (aset) tersebut maka biaya kapitalisasi layak dilakukan.

Edu, et al. (2009) membahas kapitalisasi dihubungkan dengan bunga pinjaman, dalam hal ini biaya yang dikeluarkan terhadap suatu aset menggunakan dana pinjaman dan tidak berupa uang tunai. Dalam kegiatan simpan pinjam biasanya akan terdapat bunga pinjaman dalam pelunasan pinjaman tersebut. Menurut Edu, et al. (2009) bunga pinjaman tersebut dimasukkan dalam nilai aset sekarang, sebagai dinyatakan berikut:

Capitalization of interest, from the financial stand-point, refers to the cost associated with the borrowing of funds, or obtaining a loan in order to finance the acquisition of certain fixed assets. The focal point of this paper is an examination of the nature of the costs of fixed assets that can be capitalized Consequently, discussions revolve around the meaning of capitalization of interest or borrowing costs; steps that are involved in the computation of capitalization of interest costs; the arguments in favour and against interest costs capitalization. Technical difficulties or problems that confront an organization‘s policy on capitalization of interest costs such as the identification of the amount of financing costs that should be capitalized are also discussed. The paper concludes that there are finely balanced arguments in favour and against capitalisation. Furthermore, enterprises should be allowed to decide whether or not to capitalize their borrowing costs on fixed assets that take a substantial period of time to bring into service; and the requirements that are applicable to those enterprises that do not capitalize borrowing costs are aimed at ensuring that a consistent capitalization policy is adopted within the enterprise. Again, through disclosure the impact of capitalization on the results and financial position of the enterprise are understood; and that there is comparability between enterprises capitalizing interest costs


(30)

Biaya yang dikapitalisasi sebagai harga perolehan untuk aktiva tetap gedung adalah harga beli, biaya perbaikan sebelum gedung itu dipakai, komisi pembelian, bea balik nama, pajak-pajak yang menjadi tanggungan pembeli pada waktu pembelian. Apabila gedung itu dibuat sendiri maka harga perolehan gedung terdiri dari biaya-biaya pembuatan gedung, biaya perencanaan, biaya pengurusan izin bangunan, pajak-pajak selama masa pembangunan gedung, bunga selam pembuatan gedung, asuransi selama masa pembangunan. Alat-alat perlengkapan gedung seperti tangga berjalan, lift dan lain-lain dicatat tersendiri dalam rekening alat gedung dan akan didepresiasi selama umur alat-alat tersebut.

Wichita Falls Public Schools Administrative Regulation USA

dalam modulnya mendeskripsikan kriteria kapitalisasi untuk tanah dan bangunan sebagai berikut:

Land and Buildings:

1. Acquisitions of land and buildings will be capitalized as fixed assets regardless of cost.

2. New construction to existing buildings will be capitalized regardless of cost. Remodeling which increases the useful life of the building or substantially changes the use of the building will be capitalized as an addition to the building cost. Exceptions to this rule must be documented in the permanent file for the property.

3. Building improvements and major repairs not meeting the criteria in 2 above, but for which the cost is $100,000 or greater, will be capitalized as an addition to the building cost. Exceptions to this rule must be documented in the permanent file for the property.


(31)

Hal penting yang perlu dicermati dalam deskripsi kriteria kapitalisasi untuk tanah dan bangunan di atas adalah dalam melakukan kapitalisasi: 1) mengabaikan sumber pembiayaan tersebut diperoleh, 2) biaya penambahan konstruksi baru (rehabilitasi) terhadap bangunan dikapitalisasi ke dalam nilai bangunan tersebut dan manambah masa penggunaan, 3) penambahan konstruksi baru (rehabilitasi) tersebut bernilai $ 100,000 (seratus ribu dollar Amerika) atau lebih.

2. Kapitalisasi Pada Sektor Publik/Pemerintahan

Definisi kapitalisasi berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia (KMK RI) No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah Pasal 1 adalah sebagai berikut:

Kapitalisasi adalah penentuan nilai pembukuan terhadap semua pengeluaran untuk memperoleh aset tetap hingga siap pakai, untuk meningkatkan kapasitas/efisiensi, dan atau memperpanjang umur teknisnya dalam rangka menambah nilai-nilai aset tersebut.

Standar Akuntansi Pemerintahan PSAP 07-8 mengatur kapitalisasi sebagai berikut:

50. Pengeluaran setelah perolehan awal suatu aset tetap yang memperpanjang masa manfaat atau yang kemungkinan besar memberi manfaat ekonomik di masa yang akan datang dalam bentuk kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan


(32)

standar kinerja, harus ditambahkan pada nilai tercatat aset yang bersangkutan.

51. Kapitalisasi biaya dimaksud pada paragraf 50 harus ditetapkan dalam kebijakan akuntansi suatu entitas berupa kriteria seperti pada paragraph dan/atau suatu batasan jumlah biaya (capitalization thresholds) tertentu untuk dapat digunakan dalam penentuan apakah suatu pengeluaran harus dikapitalisasi atau tidak.

52. Dikarenakan organisasi pemerintah sangatlah beragam dalam jumlah dan penggunan aset tetap, maka suatu batasan jumlah biaya kapitalisasi (capitalization thresholds) tidak dapat diseragamkan untuk seluruh entitas yang ada. Masing-masing entitas harus menetapkan batasan jumlah tersebut dengan mempertimbangkan kondisi keuangan dan operasionalnya. Bila telah terbentuk maka batasan jumlah biaya kapitalisasi

(capitalization thresholds) harus diterapkan secara konsisten

dan diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Lebih lanjut, kapitalisasi juga diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pasal 239 yang menyatakan bahwa kebijakan kapitalisasi aset merupakan pengakuan terhadap jumlah kas/setara kas dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai penambah nilai aset tetap. Pemeliharaan terhadap aset tetap yang bersifat rutin dan berkala tidak dapat dikapitalisasi. Rehabilitasi yang bersifat sedang dan berat dikapitalisasi apabila memenuhi salah satu kriteria menambah volume, menambah kapasitas, meningkatkan fungsi, meningkatkan efisiensi dan/atau menambah masa manfaat.

Pengeluaran-pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang dapat dikapitalisasi diatur dalam Pasal 3 KMK RI No. 01/KM.12/2001 yaitu:


(33)

a. pembangunan gedung dan bangunan meliputi:

1) pembangunan gedung dan bangunan yang dilaksanakan melalui kontrak berupa pengeluaran nilai kontrak, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, jasa konsultan, biaya pengosongan dan pembongkaran bangunan lama;

2) pembangunan yang dilaksanakan secara swakelola berupa biaya langsung dan tidak langsung sampai siap pakai meliputi biaya bahan baku, upah tenaga kerja, sewa peralatan, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, biaya pengosongan dan pembongkaran bangunan lama;

Batasan nilai nominal rupiah yang dapat dikapitalisasi untuk gedung dan bangunan dinyatakan dalam Pasal 6 KMK RI No. 01/KM.12/2001 yaitu:

(1) Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap adalah pengeluaran pengadaan baru dan penambahan nilai aset tetap dari hasil pengembangan, reklasifikasi, renovasi, dan restorasi.

(2) Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap meliputi: a. pengeluaran untuk per satuan peralatan dan mesin,

dan alat olah raga yang sama dengan atau lebih dari Rp. 300.000 (tiga ratus ribu rupiah); dan

b. pengeluaran untuk gedung dan bangunan yang sama dengan atau lebih dari Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

(3) Nilai Satuan Minimum Kapitalisasi Aset Tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan terhadap pengeluaran untuk tanah, jalan/irigasi/jaringan, dan aset tetap lainnya berupa koleksi perpustakaan dan barang bercorak kesenian.

B. Belanja Daerah

Definisi belanja menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 adalah sebagai berikut:

Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Negara/Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah


(34)

Definisi lain dari belanja menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 adalah sebagai berikut belanja ialah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Kedua definisi tersebut di atas menjelaskan bahwa transaksi belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah. Kedua peraturan yang mengatur penatusahaan belanja tersebut, mengklasifikasikan belanja dengan klasifikasi yang berbeda. Perbedaan dimaksud semata-mata karena ada hal lain yang ingin dicakup dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006. Sebagaimana diketahui Permendagri No. 13 Tahun 2006 merupakan pedoman pengelolaan keuangan daerah, yang mencakup mengenai perencanaan, penganggaran, penatausahaan, akuntansi dan pertanggungjawaban. Sebagai instrumen penganggaran, beberapa informasi diperlukan, di antaranya informasi pengendalian yang dikaitkan dengan konsep anggaran berbasis kinerja.

Tabel II.1

Penggolongan Belanja Menurut PP No. 24 Tahun 2005 Permendagri No. 13 Tahun 2006

PP No. 24 Tahun 2005 Permendagri No. 13 Tahun 2006 Belanja Operasi: Belanja Tidak Langsung:


(35)

a. Belanja pegawai b. Belanja barang c. Bunga

d. Subsidi e. Hibah

f. Bantuan sosial

Belanja Modal: a. Belanja tanah

b. Belanja peralatan dan mesin

c. Belanja gedung dan bangunan

d. Belanja jalan, irigasi, dan jaringan

e. Belanja aset tetap lainnya f. Belanja aset lainnya

a. Belanja pegawai b. Belanja bunga c. Belanja subsidi d. Belanja hibah

e. Belanja bantuan sosial f. Belanja bagi hasil kepada

Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa g. Belanja bantuan keuangan

kepada

Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa h. Belanja tidak terduga Belanja Langsung: a. Belanja pegawai

b. Belanja barang dan jasa c. Belanja modal

Konsep anggaran berbasis kinerja menghendaki adanya keterkaitan antara output/hasil dari suatu program/kegiatan dikaitkan dengan input yang digunakan. Dalam bahasa keuangan, input tersebut tercermin dari belanja yang dikeluarkan untuk membiayai suatu program ataupun kegiatan. Oleh karena itu untuk tujuan dimaksud dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdapat pengelompokan Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan program dan kegiatan, sedangkan Belanja Tidak Langsung merupakan


(36)

belanja yang tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program/kegiatan. Selanjutnya, untuk keperluan penyajian Laporan Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, Permendagri No. 13 Tahun 2006 telah mengamanatkan bahwa penyajian laporan keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel II.1. Kewenangan Satuan Kerja (Satker) dalam transaksi belanja meliputi Belanja Tidak Langsung, yaitu belanja pegawai, dan Belanja Langsung, yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal.

Campo dan Tommasi (1991) dalam Buletin Teknis (Bultek) SAP No. 04 menyatakan bahwa pengklasifikasian belanja sangat penting dalam rangka untuk untuk memberikan kerangka dasar baik untuk pengambilan keputusan maupun untuk akuntabilitas. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, mengklasifikasikan belanja menurut organisasi, fungsi, dan ekonomi. Pengklasifikasian belanja tersebut dimaksudkan untuk kepentingan penganggaran dan pelaporan. Untuk tujuan manajemen anggaran, klasifikasi menurut jenis belanja sangat penting untuk digunakan dalam pengendalian anggaran (budgetary control) dan monitoring. PSAP No. 02 Paragraf 34 menetapkan bahwa belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi, dan fungsi. Klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang dikelompokkan lagi menjadi belanja operasi, belanja modal dan belanja lain-lain/tak terduga.


(37)

Belanja operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas Umum Negara/Daerah dalam rangka menyelenggarakan operasional pemerintah, sedangkan belanja modal adalah belanja yang dikeluarkan dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi belanja pegawai, belanja barang, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain/tak terduga. Klasifikasi belanja menurut fungsinya terbagi atas belanja pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, perumahan dan pemukiman, kesehatan, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Pengklasifikasian ini mengikuti pola Government Financial Statistics (GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF).

Klasifikasi belanja menurut Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 27 terbagi atas:

1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, dan kegiatan, serta jenis belanja;

2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah;

3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari: (a) klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial pemerintahan daerah, dan (b) klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan keuangan negara. Pengklasifikasi belanja sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah sebagai berikut:


(38)

1. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.

2. Klasifikasi belanja menurut fungsi digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas: pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata dan budaya, pendidikan dan perlindungan sosial.

Terdapat perbedaan pengklasifikasian belanja antara PP No. 24 Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 dimana dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi pertahanan dan agama karena kedua fungsi tersebut adalah kewenangan pemerintahan pusat dan tidak didesentralisasikan kepada pemerintah daerah.

Pengklasifikasian belanja berdasarkan kriteria apakah suatu belanja mempunyai kaitan/hubungan langsung dengan program/kegiatan atau tidak, terbagi atas 1) belanja langsung seperti belanja honorarium, belanja barang dan belanja modal dan 2) belanja tidak langsung seperti misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan, belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan sebagainya.

Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam belanja aparatur dan belanja


(39)

publik. Belanja publik merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat. Meskipun demikian, seiring perubahan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pengelolaan keuangan daerah sejak pemberlakuan Kepmendagri No. 29 Tahun 2003 yang selanjutnya diganti dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan diubah dengan Permendagri 59 Tahun 2007 kategorisasi belanja daerah selalu mengalami perubahan nama. Kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dengan mengupayakan peningkatan porsi belanja pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja aparatur.

C. Aset

Aset tetap merupakan elemen pendukung penting dalam menjalankan roda pemerintahan. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan, rehabilitasi dan pemeliharaan aset tetap oleh pemerintahan daerah sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak


(40)

jangka panjang secara finansial. Definisi aset tetap atau aktiva tetap berdasarkan PSAK No. 16:

Aktiva tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi entitas, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal entitas dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

Syaiful (2007) mendefinisikan aset sebagai sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya, sedangkan aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Bastian (2001: 131) menyatakan aset tetap sebagai berikut:

Aset tetap adalah aktiva berujud yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dengan dibangun terlebih dahulu, yang digunakan dalam operasi entitas pemerintah, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal entitas pemerintah dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.

Standar Akuntansi Pemerintahan dalam PSAP 07-1 mendefinisikan aset:

Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu


(41)

dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya.

Lampiran II Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 2005 menyatakan aset sebagai berikut:

60. Unsur yang dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dana. Masing-masing unsur didefinisikan sebagai berikut:

(a) Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya. (b) Kewajiban adalah utang yang timbul dari peristiwa masa lalu

yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah.

(c) Ekuitas Dana adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara aset dan kewajiban pemerintah. 61. Manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset adalah potensi aset tersebut untuk memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi kegiatan operasional pemerintah, berupa aliran pendapatan atau penghematan belanja bagi pemerintah.

62. Aset diklasifikasikan ke dalam aset lancar dan nonlancar. Suatu aset diklasifikasikan sebagai aset lancar jika diharapkan segera untuk dapat direalisasikan atau dimiliki untuk dipakai atau dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan. Aset yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria tersebut diklasifikasikan sebagai aset nonlancar.

63. Aset lancar meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang, dan persediaan.

64. Aset nonlancar mencakup aset yang bersifat jangka panjang, dan aset tak berwujud yang digunakan baik langsung maupun


(42)

tidak langsung untuk kegiatan pemerintah atau yang digunakan masyarakat umum. Aset nonlancar diklasifikasikan menjadi investasi jangka panjang, aset tetap, dana cadangan, dan aset lainnya.

65. Investasi jangka panjang merupakan investasi yang diadakan dengan maksud untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan manfaat sosial dalam jangka waktu lebih dari satu periode akuntansi. Investasi jangka panjang meliputi investasi non permanen dan permanen. Investasi nonpermanen antara lain investasi dalam Surat Utang Negara, penyertaan modal dalam proyek pembangunan, dan investasi non permanen lainnya. Investasi permanen antara lain penyertaan modal pemerintah dan investasi permanen lainnya.

66. Aset tetap meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap lainnya, dan konstruksi dalam pengerjaan.

Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh daerah. Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD. Secara singkat, berikut pengertian dan implikasi kedua sumber aset ini:

1. Aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan

output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun

anggaran. Namun, pengakuan besarnya nilai aset tidak sama dengan besaran anggaran belanja modal. Penafsiran atas Permendagri No.13/2006 memang memungkinkan kita menyataan bahwa besaran belanja modal sama dengan besaran penambahan aset di neraca. Hal ini kurang pas jika neraca dipandang dari konsep akuntansi, karena penilaian suatu aset haruslah sebesar nilai perolehannya (konsep full cost). Artinya, seluruh biaya yang dikeluarkan sampai aset tersebut siap digunakan (ready to use)


(43)

haruslah dihitung sebagai kos aset bersangkutan. Dalam konsep anggaran kinerja, biaya yang dikeluarkan adalah semua biaya yang menjadi masukan (input) dalam pelaksanaan kegiatan yang menghasilkan aset ini. Dengan demikian, termasuk di dalamnya belanja pegawai dan belanja barang & jasa, selain dari belanja modal tentunya. Jadi, kos untuk aset adalah seluruh pengeluaran untuk mencapai outcome.

2. Aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD. Dalam hal ini, pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai dan belanja barang & jasa. Pemda sering menerima aset dari pihak lain, seperti lembaga donor dan masyarakat. Saat ini, beberapa daerah menerima penambahan aset yang cukup signifikan dari pihak lain, seperti di Aceh, Sumut, dan DIY. Di Aceh, ALGAP dan LGSP memberikan sumbangan peralatan kerja seperti komputer jinjing, jaringan internet, dan printer. Belum lagi pembangunan gedung untuk perkantoran dari NGO asing.

D. Aset Tetap Gedung dan Bangunan

Bastian (2001:131-132) mengklasifikasikan aset berdasarkan kesamaan dalam sifat atau fungsinya dalam aktivitas operasi entitas, berikut adalah klasifikasi aset tetap yang digunakan: tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset


(44)

tetap lainnya; dan konstruksi dalam pengerjaan. Karena aktiva memiliki wujud maka seringkali aktiva tetap disebut aktiva tetap berwujud (tangible fixed assets). Aset gedung dan bangunan untuk sektor publik/pemerintahan diatur dalam Standar Akuntansi Pemerintahan PSAP 07-3 menyatakan bahwa gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Termasuk dalam kategori gedung dan bangunan adalah BMN yang berupa bangunan gedung, bangunan menara, rambu-rambu, serta tugu titik kontrol.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Republik Indonesia No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintahan, gedung dan bangunan yang harus dibukukan dalam Buku Inventaris Intrakomptabel dan dilaporkan dalam neraca adalah:

1) Semua gedung dan bangunan yag diperoleh sebelum 1 Januari 2002,

2) Gedung dan bangunan yang diperoleh setelah 1 Januari 2002 dengan biaya perolehannya lebih besar atau sama dengan Rp. 10.000.000,-

3) Gedung dan bangunan yang berasal dari transfer masuk/hibah dan penerimaan dari pertukaran.


(45)

Gedung dan bangunan yang tidak memenuhi kriteria di atas dibukukan dalam buku inventaris yang terpisah/tersendiri dan tidak dilaporkan, yaitu dalam Buku Inventaris Ekstrakomptabel. Pembukuan gedung dan bangunan tersebut dalam Buku Inventaris Ekstrakomptabel berdasarkan KMK No. 18/KMK.018/1999 dalam neraca nampak dalam tabel berikut:

Tabel II.2

Pencatatan Aset Gedung Dalam Neraca Berdasarkan KMK No. 18/KMK.018/1999

Klasifikasi BMN Menurut KMK

No.18/KMK.018/1999

Perkiraan Buku Besar Aset dalam BPS Kode

Bidang Nama Bidang

Kode

BB Nama Perkiraan 1.06

1.08 1.09 1.10

Bangunan Gedung Bangunan Menara Rambu-rambu

Tugu Titik Kontrol/Pasti

131511 Gedung dan Bangunan

1. Pengakuan Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan yang diperoleh bukan dari donasi diakui pada periode akuntansi ketika aset tersebut siap digunakan berdasarkan jumlah belanja modal yang diakui untuk aset tersebut. Gedung dan bangunan yang diperoleh dari donasi diakui pada saat gedung dan bangunan tersebut diterima dan hak kepemilikannya berpindah.


(46)

Pengakuan atas gedung dan bangunan ditentukan jenis transaksinya meliputi: penambahan, pengembangan, dan pengurangan. Penambahan adalah peningkatan nilai gedung dan bangunan yang disebabkan pengadaan baru, diperluas atau diperbesar. Biaya penambahan dikapitalisasi dan ditambahkan pada harga perolehan gedung dan bangunan tersebut. Pengembangan adalah peningkatan nilai gedung dan bangunan karena peningkatan manfaat yang berakibat pada: durasi masa manfaat, peningkatan efisiensiensi dan penurunan biaya pengoperasian. Pengurangan adalah penurunan nilai gedung dan bangunan dikarenakan berkurangnya kuantitas asset tersebut. 2. Pengukuran Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan dinilai dengan biaya perolehan. Apabila penilaian gedung dan bangunan dengan menggunakan biaya perolehan tidak memungkinkan maka nilai aset tetap didasarkan pada nilai wajar/taksiran pada saat perolehan. Biaya perolehan gedung dan bangunan yang dibangun dengan cara swakelola meliputi biaya langsung untuk tenaga kerja, bahan baku, dan biaya tidak langsung termasuk biaya perencanaan dan pengawasan, perlengkapan, tenaga listrik, sewa peralatan, dan semua biaya lainnya yang terjadi berkenaan dengan pembangunan aset tetap tersebut. Jika gedung dan bangunan diperoleh melalui


(47)

kontrak, biaya perolehan meliputi nilai kontrak, biaya perencanaan dan pengawasan, biaya perizinan, serta jasa konsultan.

3. Pengungkapan Gedung dan Bangunan

Gedung dan bangunan disajikan di Neraca sebesar nilai moneternya. Selain itu di dalam catatan atas laporan keuangan diungkapkan pula:

1) Dasar penilaian yang digunakan untuk menentukan nilai.

2). Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan:

a. Penambahan,

b. Pengembangan, dan c. Penghapusan.

3). Kebijakan akuntansi untuk kapitalisasi yang berkaitan dengan gedung dan bangunan.

BAB III

METODA PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif (descriptive research) yaitu pendekatan penelitian yang berusaha menggambarkan kondisi dan fenomena yang terjadi di lapangan tentang fokus penelitian seobjektif mungkin.


(48)

Pendekatan deskriptif bertujuan untuk memberikan penyandaraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi tertentu (Husaini dan Purnomo 1995). Data yang dipergunakan dalam penelitian deskriptif adalah data kualitatif yang bertumpu pada tulisan ucapan atau perilaku yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri (Bogdan dan Taylor 1992).

Penelitian yang dilakukan berusaha mengevaluasi kondisi yang terjadi di lapangan menggunakan data kualitatif yang dideskripsikan sesuai dengan fenomena yang ada dilapangan sehingga dapat bermanfaat bagi kepentingan praktis maupun ilmu pengetahuan. Tyler (1950) dalam Hernawo (2007) menyatakan evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana pendidikan dapat dicapai, evaluasi juga diartikan sebagai menyediakan informasi untuk pembuat keputusan sebagaimana dinyatakan oleh Cronbach (1963), Stufflebeam (1971) dan Alkin (1969). Maclcolm dan Provus (1971) dalam Hernawo (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai perbedaan apa yang ada dengan suatu standar untuk mengetahui apakah ada selisih. Komite gabungan yang dibentuk untuk membahas mengenai standar evaluasi atau yang disebut dengan Joint Committee (1981) dalam Hernawo (2007) yang terdiri atas 17 (tujuh belas) anggota yang mewakili 12 (dua belas) organisasi di dunia telah mendefinisikan evaluasi sebagai penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa obyek. Purwanto dan Suparman (1999)


(49)

dalam Hernawo (2007) mendefinisikan evaluasi sebagai proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan

reliable untuk membuat keputusan tentang program pendidikan dan

pelatihan.

Berdasarkan teori-teori tentang pendefinisian istilah evaluasi tersebut, evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini lebih menekankan pada sejauh mana gambaran implementasi di lapangan dihubungkan dengan standar yang ada dan apakah terdapat perbedaan diantara keduanya yang dapat menimbulkan selisih.

Peneliti dalam penelitian ini bertindak sebagai pelaku utama dalam

investigasi, inventarisasi dan pengolahan data dalam rangka memperoleh

gambaran kondisi di lapangan sesuai fokus dan obyek penelitian sehingga

untuk itu kehadiran peneliti di lapangan secara langsung dalam penelitian

deskriptif mutlak dilakukan.

B. Metoda Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian deskriptif adalah data kualitatif yang terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari sumber aslinya secara langsung sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai dengan kata lain data primer adalah data yang hanya dapat kita peroleh dari sumber asli atau pertama. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui studi


(50)

lapangan yang dilakukan dengan dua metode pengumpulan data, yaitu:

a. Wawancara yang dipandu dengan kuesioner (di lampiran), yaitu suatu proses memperoleh informasi dengan cara melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden yaitu Bendahara Umum Daerah, Tim Reviu Laporan Keuangan Daerah (LKD), dan Bendahara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) maupun pihak lain yang terkait, dengan menggunakan seperangkat pertanyaan (kuesioner) yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden.

b. Observasi, yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan secara langsung dan terencana untuk menggambarkan kejadian, perilaku, dan benda artifak yang ada di lokasi penelitian yang diteliti

Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia atau sudah ada sebelumnya sehingga tinggal mencari dan mengumpulkannya. Data sekunder berfungsi sebagai pendukung dalam memahami masalah yang diteliti dan memperjelas masalah menjadi lebih operasional dalam penelitian. Data sekunder dalam penelitian ini antara lain adalah Neraca Daerah Per 31 Desember 2008, Catatan Atas Laporan Keuangan Tahun Anggaran 2008, Kabijakan Akuntansi Pemerintah Daerah, dan Daftar Gedung dan Bangunan Milik/Dikuasi Pemerintah Daerah.


(51)

Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif sangat tergantung pada data yang diperoleh melalui daftar pertanyaan yang telah dirancang dan dibatasi sedemikian rupa yang kemudian daftar pertanyaan tersebut disampaikan ke responden melalui kurir, pos atau telephone, dalam penelitian kualitatif kepiawaian seorang peneliti dilapanganlah yang menentukan keberhasilan proses pengumpulan data. Metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif merupakan perpanjangan dari kegiatan yang lazim dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya seperti membaca, melihat, mendengar, berbicara, dan seterusnya. Dalam bahasa metodologis, kegiatan seperti ini disebut observasi dan interview. Kedua jenis metode ini merupakan aktifitas utama yang pada umumnya dilakukan peneliti dalam proses pengumpulan data kualitatif.

Dalam penelitian deskriptif yang mempergunakan data kualitatif menuntut peneliti untuk turun langsung ke lapangan berinteraksi dengan komunitas yang diteliti dan mungkin terlibat langsung dalam kegiatan yang mereka lakukan. Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

a. Identifikasi subyek penelitian untuk memperoleh gambaran awal mengenai karakteristik yang dimiliki oleh subyek penelitian subyek penelitian dan materialitas aset gedung dan bangunan yang dimiliki subyek penelitian.


(52)

b. Merancang daftar materi pertanyaan untuk menggali informasi dan data yang berkaitan dengan kapitalisasi belanja modal yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan.

c. Observasi lapangan dimana peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui lebih mendalam mengenai kondisi dan situasi subyek penelitian.

d. Wawancara untuk menggali informasi tentang kapitalisasi belanja modal yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan yang terjadi pada subyek penelitian berdasarkan daftar materi pertanyaan yang telah dibuat.

e. Inventarisasi data yang diperoleh dari lapangan sesuai dengan jenisnya berdasarkan fokus penelitian.

C. Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam rangka untuk memaknai dan mendapatkan pemahaman dari pernyataan-pernyataan atau gambaran perilaku yang terdapat dalam catatan lapangan. Prosedur yang dilakukan dalam analisa data adalah sebagai berikut:

a. Mengiventarisir data, b. Mengorganisir data,

c. Mengolah data sesuai fokus penelitian, dan


(53)

D. Tahap-Tahap Penelitian

Secara garis besar tahap-tahap dari penelitian yang dilakukan dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Penelitian pendahuluan untuk memahami karakteristik subyek penelitian melalui informasi-informasi yang berkaitan dengan subyek penelitian,

b. Menentukan desain penelitian (wawancara dan observasi), c. Penelitian di lapangan,

d. Inventarisasi data dari lapangan, e. Analisis data,

f. Penarikan kesimpulan awal,

g. Expose kesimpulan awal untuk memperoleh tanggapan (feed back) dari obyek penelitian, dan

h. Membuat kesimpulan akhir. i. Penulisan hasil penelitian.

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Kabupaten Sragen 1. Gambaran Umum

Kabupaten Sragen adalah sebuah kabupaten di Provinsi

Jawa Tengah dengan ibu kotanya adalah Sragen dan pusat


(54)

891025, Hunting (8 saluran) Fax. 891297 Sragen 57211. Sragen berada sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta

Kabupaten Boyolali di barat. Sragen terletak di jalur utama Solo-Surabaya dan merupakan gerbang utama sebelah timur Provinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa

Timur. Luas Kabupaten Sragen adalah 946,49 km² terbagi atas 20

kecamatan. Dasar hukum berdirinya Pemerintahan Kabupaten Sragen adalah UU No. 13 Tahun 1950.

Visi Kabupaten Sragen Tahun 2006-2011 adalah “Sragen menjadi Kabupaten Cerdas” yang dislogankan dalam istilah “Smart

Regency”. Sedangkan Misi Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen

adalah "Mewujudkan Rakyat yang Unggul, Produktif, dan Sejahtera".

2. Proses Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh oleh peneliti untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian di Kabupaten Sragen terbagi atas tahapan-tahapan berikut:


(55)

1. Obsevasi dan identifikasi awal subyek penelitian melalui informasi-informasi awal yang berkaitan dengan subyek penelitian.

2. Mempersiapkan materi wawancara/interview sesuai dengan fokus penelitian.

3. Peneliti melakukan komunikasi dan koordinasi dengan subyek penelitian mengenai waktu dan lokasi wawancara/interview. 4. Peneliti bertemu langsung dengan subyek penelitian dan

melakukan wawancara/interview berdasarkan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu tetapi tidak menutup kemungkinan pertanyaan berkembang sejauh kedalaman materi/data/informasi yang ingin digali/didapat oleh peneliti. Subyek dalam penelitian di Kabupaten Sragen adalah 11 orang Bendahara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Dinas Perhubungan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Inspektorat, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaaan dan Aset Daerah, Sekretariat Daerah, dan Dinas Pendidikan

5. Dokumentasi dan inventarisasi data dan informasi yang diperoleh.


(56)

3. Belanja APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2008 Dan Hubungannya Dengan Pertambahan Nilai Aset Gedung Dan Bangunan

Berdasarkan data sekunder diketahui bahwa dari alokasi belanja (belanja operasi, belanja modal & belanja tak terduga) dalam APBD Pemerintah Kabupaten Sragen Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp.799.960.083.000,- dapat terealisir sebesar Rp. 686.473.841.699,- (85,81%) dan realisasi belanja terkecil adalah belanja tak terduga (30,22%) dan realisasi belanja tertinggi adalah belanja operasi (90,48%).

Tabel IV.1

Realisasi Belanja dalam APBD Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008

NO APBD BELANJA OPERASI BELANJA MODAL

BELANJA TAK TERDUGA

Rp. % Rp. % Rp. %

1 Anggaran 644.511.195.000 100,00 153.198.888.000 100,00 2.250.000.000 100,00

2 Realisasi 583.131.186.612 90,48 102.662.655.087 67,01 680.000.000 30,22

Selisih 61.380.008.388 9,52 50.536.232.913 32,99 1.570.000.000 69,78 Sumber: Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Data sekunder (Neraca Daerah Per 31 Desember 2008) menyatakan bahwa selama tahun 2008 terdapat pertambahan nilai aset gedung dan bangunan sebesar Rp. 46.402.421.591,- (nilai aset gedung dan bangunan Tahun Anggaran 2007 Rp. 221.894.613.671,- dan nilai aset gedung dan bangunan Tahun


(57)

Anggaran 2008 Rp. 268.297.035.262,-). Hasil interview

menyatakan bahwa pertambahan nilai aset gedung dan bangunan tersebut diakibatkan oleh adanya pembangunan gedung dan bangunan baru (Tabel IV.2) serta rehab gedung dan bangunan lama.

Tabel IV.2

Penambahan Aset Tetap Gedung dan Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008

NO URAIAN NILAI (Rp.)

1 Gedung Kantor Dinkes 1.869.382.500

2 Rumah Dinas Kepala Puskesmas 326.498.100 3 Bangunan Sekolah Pendidikan 4.637.327.000

Jumlah 6.833.207.600

Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Tabel IV.3

Analisis Penyerapan Belanja Ke Dalam Nilai Aset Tetap Gedung Bangunan Pemkab Sragen Tahun Anggaran 2008

NO URAIAN NOMINAL (Rp.)

1 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan 46.402.421.591 2 Penambahan aset gedung dan bangunan baru 6.833.207.600 3 Pertambahan nilai aset gedung dan bangunan

tidak dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan bangunan baru

39.569.213.991

4 Belanja APBD TA 2008 686.473.841.699 5 Prosentase (%) pertambahan nilai aset tidak

dikarenakan oleh penambahan aset gedung dan


(58)

bangunan baru terhadap Belanja APBD

Sumber: Catatan Laporan Keuangan Daerah Tahun Anggaran 2008

Data sekunder menyatakan bahwa terdapat penyerapan belanja ke dalam nilai aset gedung dan bangunan atau dengan kata lain nilai belanja yang diakui/menambah nilai aset gedung dan bangunan, dan untuk Kabupaten Sragen nilai belanja yang terserap/menambah nilai aset gedung dan bangunan untuk Tahun Anggaran 2008 adalah dari alokasi belanja sebesar Rp. 686.473.841.699 terserap dan menambah nilai aset gedung dan bangunan tidak karena penambahan aset gedung dan bangunan baru sebesar Rp. 39.569.213.991,- atau 5,76% (Tabel IV.3).

4. Prosedur Kapitalisasi Belanja Yang Dapat Diakui Sebagai Aset Gedung dan Bangunan

Peraturan perundang-perundangan baik ditingkat pusat (Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah) maupun di tingkat daerah (Peraturan Bupati Sragen Nomor 14 Tahun 2006, tanggal 21-6-2006 tentang Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen) tidak mengatur secara spesifik tentang prosedur yang dilakukan dalam


(59)

pengkapitalisasian belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan.

Hasil interview terhadap 11 orang Bendahara SKPD pada saat penelitian lapangan bulan Aprir 2009 sampai dengan Mei 2009 di Dinas Perhubungan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Inspektorat, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendapatan Pengelolaan Kekayaaan dan Aset Daerah, Sekretariat Daerah, dan Dinas Pendidikan diperoleh gambaran bahwa tidak semua bendahara memahami konsep kapitalisasi sehingga bendahara mempunyai kecenderungan untuk tidak melakukan kapitalisasi terhadap belanja yang dapat diakui sebagai nilai aset khususnya aset gedung dan bangunan. Dari interview terhadap 5 orang Bendahara SKPD (Dinas Perhubungan, Dinas Hutbun, Dinas Peternakan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian) yang mempunyai pemahaman tentang kapitalisasi dapat dirumuskan prosedur kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan sebagai berikut: 1) Identifikasi dana yang dipergunakan untuk belanja berpedoman

pada sumber belanja tersebut berasal (alokasi dalam mata anggaran belanja) dengan berpedoman pada Daftar Penggunaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD).


(60)

2) Identifikasi biaya/belanja yang dikapitalisir ke dalam masing-masing aset sesuai kriteria yang telah ditetapkan dalam Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan.

3) Pengakuan belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan.

4) Pengukuran belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan dengan menggunakan mata uang rupiah berdasarkan nilai nominal kas yang dikeluarkan.

5) Pelaporan nilai aset aset gedung dan bangunan dalam Neraca Daerah dan Catatan Atas Laporan Keuangan.

5. Akuntansi Belanja Daerah

Akuntansi belanja yang diterapkan oleh Bendahara Satuan Kerja berdasarkan interview adalah sebagai berikut, transaksi belanja yang terjadi pada Satuan Kerja dicatat oleh Petugas Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja (PPK Satker)/Petugas Penatausahaan Keuangan Daerah (PPKD) secara harian pada saat kas dibayarkan oleh bendahara pengeluaran atau pada saat menerima tembusan bukti transfer dari pihak ketiga. Akuntansi belanja dilaksanakan berdasarkan asas bruto. Untuk transaksi belanja modal, pencatatan dilakukan secara corollary, yaitu dicatat dengan 2 (dua) jurnal, satu untuk mencatat belanja dan yang lain


(61)

untuk mencatat aset yang diperoleh dari transaksi belanja modal tersebut.

Jurnal untuk mencatat transaksi belanja modal, misalnya pengadaan gedung dan bangunan baru dilakukan sebagai berikut: 1) Mencatat belanja modal dalam neraca dan laporan realisasi

anggaran:

Belanja Modal ... xx Kas

... xx 2) Mencatat akun aset tetap gedung dan bangunan dan akun

ekuitasnya dalam jurnal korolari:

Gedung dan Bangunan ... xx

Diinvestasikan dalam Aset Tetap

... xx

Dengan penjurnalan di atas, pengeluaran kas akan dicatat dalam neraca dan laporan realisasi anggaran sekaligus aset gedung dan bangunan tercatat dalam akun aset tetap dan akun diinvestasikan dalam aset tetap dalam jumlah nominl yang sama.

Pengakuan terhadap aset disesuaikan dengan kebijakan akuntansi pemerintah daerah tentang kapitalisasi aset yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap jumlah kas/setara kas dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai penambah nilai aset tetap. Pedoman yang digunakan oleh


(1)

modal khususnya belanja gedung dan bamgunan dan pelaksanaannya telah berpedoman/sesuai dengan standar yang ada (Standar Akuntansi Pemerintahan dan Kebijakan Akuntansi Pemerintahan Daerah Kabupaten Sragen)

b. Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar belum menerapkan kapitalisasi belanja modal khususnya belanja gedung dan bangunan sehingga tidak dapat dibandingkan dengan aturan atau standar yang seharusnya.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur kapitalisasi (KMK No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara dalam Sistem Akuntansi Pemerintah) hanya mengatur tentang konsep, pemberlakuan dan batasan nilai minimum kapitalisasi belanja dan belum mengatur tentang prosedur kapitalisasi. Pemerintahan Daerah (Bendahara Umum Daerah maupun Bendahara SKPD) mempunyai kecenderungan tidak menerapkan kapitalisasi khususnya kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan sehingga hasil penelitian tentang penerapan kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset gedung dan bangunan tidak dapat sepenuhnya diperbandingkan dengan standar/peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(2)

Penelitian yang dilakukan di lapangan terhadap Pejabat/Petugas Bendahara dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan dalam penelitian menemui beberapa hambatan yang diakibatkan oleh:

1. Keterbatasan kemampuan intelektual (jenjang dan backgroud pendidikan) Bendahara SKPD dan kurangnya pemahaman tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) khususnya yang berkaitan dengan kapitalisasi belanja sehingga kesulitan dalam memperoleh informasi yang berhubungan dengan fokus penelitian.

2. Adanya pembatasan oleh obyek penelitian (SKPD) dalam mengiventarisir data maupun pernyataan terkait fokus penelitian. 3. Implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset

gedung dan bangunan di Pemerintah Daerah masih menemui kendala sebagai akibat dari 1) adanya peraturan perundang-undangan yang saling bertentangan yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13/2006 dengan Peraturan Menteri

Keuangan (PMK) Nomor 91/PMK.05/2007 terkait dengan

pengklasifikasian belanja sehingga menimbulkan salah presepsi

ditingkat pelaksana di lapangan yang berdampak pada

ketidaktepatan alokasi belanja yang dapat dikapitalisasi ke dalam nilai aset tetap khususnya aset gedung dan bangunan, dan 2) belum semua Pemerintah Daerah membuat/mempunyai Kebijakan


(3)

Akuntansi Pemerintah Daerah yang dapat menjadi pedoman dalam pembuatan Laporan Keuangan Daerah (LKD).

C. Saran-Saran

Saran untuk penelitian yang akan datang:

1. Penelitian yang akan datang disarankan dilakukan pada Pemerintah Daerah di wilayah lain, misalnya di Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Kalimantan Barat dan lain-lain.

2. Bagi peneliti yang akan datang hendaknya dapat meneliti untuk aset tetap yang lain misalnya tanah, peralatan dan mesin, jalan, irigasi & jaringan, aset tetap lainnya dan konstruksi dalam pengerjaan.

D. Implikasi Manajerial

Untuk meningkatkan kewajaran pengelolaan dan pelaporan aset gedung dan bangunan maka yang perlu dilakukan oleh Pemda

Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten

Karanganyar adalah sebagai berikut:

1. Perlu adanya standar baku yang diakomodir dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) untuk mengatur tentang prosedur dan implementasi kapitalisasi belanja yang dapat diakui sebagai aset khususnya aset gedung dan bangunan sehingga nilai aset


(4)

khususnya aset gedung dan bangunan yang disajikan dapat merefleksikan nilai yang sesungguhnya.

2. Pemerintah Daerah agar membuat dan menyempurnakan Kebijakan Akuntansi Pemerintah Daerah dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24/2005) sehingga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam penyusunan LKD khususnya dalam penyajian nilai aset yang selama ini masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S dan A, Halim. 2006. Studi Atas Belanja Modal Pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya Dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintahan. KSAP. Jakarta.

Bastian, I. 2006. Audit Sektor Publik. Salemba 4. Jakarta.

---. 2001. Sistem Akuntansi Sektor Publik. Salemba 4. Jakarta. Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 4 Tahun 2006

tentang Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah.

Bogdan, R. and Taylor, JS. 1992. Introduction to Qualitative Research Method. Alih bahasa Arief Furchan. Edisi I. Usaha Nasional. Surabaya.

Dewi, A. 2006. Kajian Penerapan Akuntansi Biaya Pada Anggaran Belanja Daerah Kota Singkawang. Skripsi. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Duffi, WJ. 2002. Capitalized Assets, Accounting Practices, and AORN- Treasurer's Report. Article. Available at: http://www.findaticle.com. Date download 27/8/2009.

Edu Bernard Enya, Ontonkue Agba DO, dan Duke Orok Ekpo Orok. 2009. Capitalization of Interest Cost. Article. Social Science Research Network.


(5)

Hung. Jung-Hua. Liu and Yong-Chin. 2005. An Empirical Comparison of the Capitalized Cost and Equivalent Annual Cost Methods for Evaluating Mutually Exclusive Projects. Article. Social Science Research Network.

Husaini dan Purnomo. 1995. Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Bandung.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2002. Standar Akuntansi Keuangan. Salemba 4. Jakarta.

Keputusan Menteri Keuangan RI No. 01/KM.12/2001 tentang Pedoman Kapitalisasi Barang Milik/Kekayaan Negara.

Kompas. Edisi 8/6/2004. BPK: Ada Aset Negara yang Dinilai Rp. 1,-. Moduls Accounting. 2005. Accounting CFB Capitalized Assets. Wichita

Falls Public Schools Administrative Regulation USA. Available at: www. Wichitafallspublicschools.com. Date download 27/8/2009.

Pelita. Edisi 4/5/2007. BPK Temukan Rp. l7 Triliun di Daerah Rawan Korupsi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Bupati Sragen Nomor 14 Tahun 2006 tentang Kebijakan Akuntansi Keuangan Pemerintahan Kabupaten Sragen.

Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

Saiful. 2007. Pengertian Dan Perlakuan Akuntansi Belanja Barang & Belanja Modal Dalam Kaidah Akuntansi

Pemerintahan. STIE-YKPN. Yogyakarta.

Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill Building Approach 4th.ed, Terjemahan. Salemba Empat. Jakarta.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Sragen Terima Penghargaan Kabupaten Terbaik. Available at: http://www.jawatengah.go.id. Date download 7/2/2009.

Subronto. 2009. Evaluasi Penyajian Aset Tanah Dalam Neraca Daerah Studi Di Kabupaten Sragen. Tesis. Tidak dipublikasikan. Magister Akuntansi UNS. Surakarta.

Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No. 900/743/BAKD tentang Akuntansi Di Satuan Kerja.


(6)

Sutopo, HB. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori & Penerapannya dalam Penelitian. Edisi 2. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Team PDE Sragen. 2007. Penghargaan yang Diperoleh Pemerintah Kabupaten Sragen. Available at: http://www.sragen.go.id. Date download 7/2/2009.

Undang-undang RI No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

--- No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

--- No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah.

Wirjolukito, A. 2000. Evaluasi Perlakuan Akuntansi Kapitalisasi Atas Biaya Bunga Pinjaman (PSAK no. 26) Ditinjau Melalui Pendekatan Sejarah Dan Konseptual Serta Dampaknya Terhadap Sektor Properti Di Indonesia. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta.