ABSTRAKSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL DI KABUPATEN GRESIK 1988 - 2008.

(1)

SKRIPSI

   

Oleh :

AHMAD FANANI

NPM 071101002

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TIMUR

2011


(2)

“Ya Allah... Yang Maha Hidup dan Maha Tegak di atas Dzat-Nya sendiri, dengan Rahmat-Mu ya Allah.... saya memohon baguskanlah diriku dan permudahkanlah segala urusanku dan janganlah Engkau serahkan urusanku pada diriku sendiri walau sekejap mata.”

Seuntai kalam Alhamdulillah dan sujud syukur saya persembahkan kepada Al-Kholik sangat Maha Bijak sebagai rasa syukur yang sangat dalam, atas karunia yang telah, sedang dan akan diberikan kepada hamba-Nya. Renungan hatiku mengisyaratkan bahwa titah pengabdian selama ini tiada bermakna tanpa bimbingan dan sinar illahi. Begitu juga dengan selesainya karya ini, di satu sisi nampak terukir rasa lega atas terwujudnya hasil jerih payah dari hasil perjalanan panjang study. Namun di sisi lain harapan untuk selalu dekat dengan Allah SWT akan senantiasa saya upayakan tetap menggema di setiap langkah-langkah irama kehidupanku selanjutnya dalam menghadapi goncangan dan cobaan hidup yang mungkin menghalang dan membentang di hadapan serta kehidupan yang luas ini.

Selama penulisan proposal ini, penulis telah mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Drs. Ec. Marseto, DS, Msi, Selaku ketua jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. 4. Bapak Drs. Ec. Arief Bachtiar, Msi, Selaku Dosen Pembimbing.

5. Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Fakultas Ekonomi.


(3)

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu terselesaikannya proposal penelitian untuk syarat menyusun skripsi S-1 ini. Dalam penulisan proposal penelitian ini penulis dengan rendah hati mengharap saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak untuk kesempurnaan dalam proposal ini di masa datang.

Akhir kata, walaupun Tugas Akhir ini dibuat dengan segala keterbatasan dan masih banyak kekurangan yang penulis sadari, namun penulis berharap bahwa skripsi ini dapat diterima serta bermanfaat baik untuk penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Surabaya, Mei 2011

Penulis  

                     


(4)

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

ABSTRAK ... ix

Bab I : PENDAHULUAN ... 1

1.1 LatarBelakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

Bab II : TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Hasil penelitian terdahulu ... 10

2.2 Landasan teori ... 14

2.2.1 Perencanaan Pembangunan ... 15

2.2.2 Pembiayaan Pembangunan Daerah Sebagai Unsur Penting Dalam Perencanaan ... 17

2.2.3 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ... 20

2.2.4 Derajat Desentralisasi Fiskal ... 21

2.2.5 Hubungan antara Perkembangan Ekonomi Daerah dengan Derajat Desentralisasi Fiskal ... 23

2.3 Kerangka Pemikiran ... 24

2.4 Hipotesis ... 28

BAB III : METODE PENELITIAN... 29


(5)

3.4.1 Teknik Analisis ... 32

3.4.2 Uji hipotesis ... 33

3.5 Uji penyimpangan Autokorelasi ... 37

3.6 Uji Penyimpangan Heteroskedastisitas ... 37

3.7 Uji Penyimpangan Multikolinearitas ... 38

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ... 39

4.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Gresik ... 39

4.1.2. Keadaan Kependudukan Kabupaten Gresik ... 42

4.1.3. Struktur Ekonomi ... 43

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 45

4.2.1. Derajat Desentralisasi Fiskal ... 45

4.2.2. Perkembangan Ekonomi Daerah ... 48

4.2.3. Sumbangan dan Bantuan (Block Grants) ... 49

4.2.4. Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat ... 51

4.3. Analisis Model dan Pembuktian Hipotesis ... 52

4.3.1. Analisis Model... 52

4.3.2. Pembuktian Hipotesis ... 59

4.4. Pembahasan ... 61

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

5.1. Kesimpulan ... 63

5.2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

Tabel 4.2. Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Gresik Tahun 1985-2005 ... 46 Tabel 4.3. Perkembangan Ekonomi Daerah Kabupaten Gresik Tahun 1985-2005 . 48 Tabel 4.4. Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants Kabupaten

Gresik Tahun 1985-2005 ... 49 Tabel 4.5. Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat Kabupaten Gresik Tahun

1985-2005 ... 51 Tabel 4.6. Hasil Perhitungan Regresi ... 53 Tabel 4.7. Tabel dan ... 56


(7)

KABUPATEN GRESIK” ... 27 Gambar 3.1 Kurva Distribusi T ... 35 Gambar 3.2 Kurva Distribusi F ... 36


(8)

Lampiran 2. Hasil Perhitungan Regresi

Lampiran 3. Hasil Uji Non Heteroskedastisitas Lampiran 4. Hasil Uji Non Autokorelasi Lampiran 5. Hasil Uji Non Multikolinearitas Lampiran 6. Penyesuaian PAD

Lampiran 7. Penyesuaian Data Total Pendapatan

Lampiran 8. Penyesuaian Data Sumbangan dan Bantuan (Block Grants) Lampiran 9. Penyesuaian Data Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat


(9)

Penelitian ini di lakukan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel perkembangan ekonomi daerah, sumbangan dan bantuan yang besifat Block Grants serta bagi hasil pajak pemerintah pusat terhadap derajat desentralisasi fiskal di Kabupaten Gresik 1988-2008. Variabel derajat desentralisasi fiskal dilihat dari kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total pendapatan daerah. Variabel perkembangan ekonomi daerah dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan, variabel sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants dilihat dari penerimaan sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants serta variabel bagi hasil pajak pemerintah pusat dilihat dari penerimaan bagi hasil pajak pemerintah pusat.

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa atau Ordinary Least Square (OLS). Penggunaan model regresi linier klasik (OLS) bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung secara parsial maupun secara bersama-sama, serta untuk mengetahui besaran dan arah dari pengaruh tersebut.

Hasil analis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel perkembangan ekonomi daerah berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap derajat desentralisasi fiskal. Variabel sumbangan dan bantuan bersifat Block Grant berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap derajat desentralisasi fiskal, sedangkan variabel bagi hasil pajak pemerintah pusat juga berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap derajat desentralisasi fiskal.

Kata kunci : Derajat Desentralisasi Fiskal, Block Grants, Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat, Perkembangan Ekonomi Daerah.


(10)

Pembangunan adalah suatu dynamic concept yang merupakan suatu proses perubahan secara terus – menerus ke arah perbaikan, yakni suatu upaya peningkatan keseluruhan sistem sosial dan ekonomi menuju suatu kehidupan yang lebih baik dalam arti lebih berperi kemanusiaan (Sya'dullah,1999: 56). Secara umum pembangunan mencakup empat aspek; pertama, pembangunan harus memberikan kapasitas (capacity), artinya apa yang harus di lakukan untuk meningkatkan kemampuan dan energi yang di perlukan untuk itu. Kedua, pembangunan harus menekan pada pemerataan (equity), artinya perhatian yang tidak merata pada berbagai kelompok masyarakat akan memecah belah dan menghancurkan kapasitas mereka. Ketiga, pemberian kuasa dan wewenang masyarakat harus lebih besar, dengan pengertian bahwa hasil pembangunan cukup bermanfaat bagi masyarakat apabila masyarakat memiliki wewenang yang sepadan. Keempat, pembangunan mengandung arti kelangsungan perkembangan (sustainble) dan interdepensi antara satu sektor dengan ektor yang lainnya (Juned, dkk., 1995 : 22).

Selanjutnya (Todaro, 1997: 8) mengatakan bahwa konsep tentang pembangunan harus diposisikan lebih dari pemenuhan kebutuhan materi di dalam kehidupan manusia, pembangunan merupakan proses multi dimensi yang meliputi perubahan organisasi dan orientasi dari seluruh sistem sosial dan ekonomi. Dengan demikian konsep pembangunan menunjukkan pada perubahan yang meningkat, baik pada bidang sosial maupun ekonomi.


(11)

Konsep pembangunan ekonomi diartikan sebagai perubahan yang meningkat pada kapasitas produksi nasional, peningkatan dimaksud dicerminkan pada pertumbuhan ekonomi. Indikator pertumbuhan ekonomi tidak dapat hanya di lihat secara materiel, seperti meningkatkan pendapatan per-kapita, tetapi juga peningkatan formasi kapital nonmateriel seperti kebijaksanaan sosial budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian (Kunarjo, 1993: 6).

Dalam upaya merealisasikan konsep pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat, maka peran pemerintah menjadi sentral karena sektor swasta tidak akan dapat mengatasi masalah perekonomian sepenuhnya, sehingga perekonomian tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta. Di dalam perekonomian modern, peranan pemerintah dapat diklasifikasikan dalam tiga golongan, yaitu (Mangkoesoebroto, 1998: 2-10):

1. Peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi, dalam hal ini pemerintah mengusahakan agar alokasi sumber-sumber ekonomi dilaksanakan secara efisien.

2. Peranan distribusi, peranan pemerintah dalam hal ini adalah distribusi pendapatan dan kekayaan.

3. Peranan stabilisasi perekonomian

Di dalam merealisasikan peranan tersebut, maka salah satu sisi penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah adanya perencanaan pembangunan secara integral, meliputi pusat dan daerah. Sehubungan dengan hal tersebut, Dror, Y., dalam (Kunarjo, 1993: 7) menyatakan bahwa perencanaan sebagai suatu proses penyiapan seperangkat


(12)

keputusan untuk di laksanakn pada waktu yang akan datang yang akan di arahkan pada pencapaian sasaran tertentu.

Perencanaan yang baik harus mempertimbangkan keadaan sekarang, kegagalan dan keberhasilan di waktu lampau, potensi yang ada, kemampuan merealisasikan potensi yang ada serta kendala (Kunarjo, 1993:17). Merencanakan sesuatu tanpa mengetahui sumber daya baik sumber daya alam, manusia serta sumber pembiayaan yang tersedia, adalah merupakan perencanaan yang ambisius dan hanya akan mengakibatkan berbagai kesulitan di kemudian hari.

Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan tidak hanya dalam konteks pembangunan nasional, akan tetapi mencakup pembangunan ekonomi di daerah, yang merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Hal ini menjadi semakin penting dengan adanya otonomi daerah yang pada prinsipnya untuk mempercepat terjadinya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dengan adanya semangat otonomi daerah, maka kabupaten dan kota dituntut untuk dapat merealisasikan pembangunan ekonomi daerah sesuai dengan keinginan masyarakat setempat berdasarkan atas inisiatif dan peran serta masyarakat.

Masalah pokok dalam pembangunan ekonomi daerah terletak pada penekanan kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarah pada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut untuk menciptakan kesempatan kerja yang dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi (Arsyad, 1999: 5). Sejalan dengan adanya hal tersebut maka diperlukan perencanaan untuk


(13)

memperbaiki penggunaan sumber daya yang tersedia di daerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan sumberdaya-sumberdaya secara bertanggung jawab.

Secara khusus bahwa di dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan termasuk di dalamnya perencanaan pembangunan daerah, maka faktor pembiayaan menjadi sangat penting, bahkan komponen pembiayaan termasuk di dalam perencanaan. Dalam kaitan ini, (Kunarjo, 1993: V) menyatakan bahwa perencanaan dan pembiayaan adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan tanpa pembiayaan yang memadai hanya angan-angan kosong yang tidak banyak manfaatnya, sedangkan pembiayaan tanpa suatu perencanaan yang baik adalah merupakan suatu pemborosan. Dengan perencanaan yang baik, maka pengeluaran-pengeluaran akan dapat diarahkan ke sasaran yang lebih baik, sistematis, efisien dan efektif.

Dalam pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia, pembiayaan pembangunan bagi kebanyakan daerah masih sangat mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat. Hal ini terlihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), bahwa sekitar dua pertiga dari total pengeluaran pemerintah daerah dibiayai oleh bantuan dan sumbangan pemerintah pusat (Shah, dkk., 1994). Berdasarkan hal tersebut tampak bahwa sumber-sumber PAD di kabupaten/ kota ternyata belum dapat mendukung terselenggaranya pembangunan daerah, karena sumber dana dari pemerintah pusat masih tetap lebih besar dari potensi yang dapat digali dari sektor PAD. Padahal kriteria penting dari adanya otonomi daerah adalah adanya kesepadanan antara dana dari pusat dan PAD, bahkan porsi PAD seharusnya jauh lebih besar daripada dana yang diterima dari pusat.


(14)

Di samping hal tersebut, (Koswara.,2000 : 98 ) berpendapat bahwa salah satu indikator yang menunjukan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah. Dalam hal ini daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber keuangannya sendiri, mengola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah.

Sejalan dengan hal tersebut, diperlukan pemahaman tentang potensi penerimaan daerah, yaitu kekuatan yang ada di daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Di satu sisi, sebagaimana dikemukakan oleh Mardiasmo dan Makhfatih (2000: 16) adalah dengan melihat struktur ekonomi dan sosial suatu daerah, yang dapat menentukan tinggi rendahnya tuntutan akan adanya pelayanan publik dalam kuantitas dan kualitas tertentu. Pada masyarakat industri tuntutan akan kuantitas dan kualitas pelayanan publik akan lebih tinggi daripada masyarakat yang berbasis pertanian. Pada masyarakat berbasis industri, pemerintah akan terpacu untuk menarik pungutan-pungutan guna memenuhi tuntutan ketersediaan fasilitas pelayanan publik tersebut. Di samping hal tersebut struktur ekonomi dan sosial suatu daerah juga menentukan kemampuan masyarakat untuk membayar segala pungutan yang telah ditetapkan pemerintah.

Realitas yang terjadi selama ini dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah rendahnya proposi PAD terhadap APBD, sehingga daerah sangat bergantung kepada sumber dana dari pemerintah pusat. Dalam kaitannya dengan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dapat diketahui bahwa derajat sentralisasi fiskal di Indonesia sangat tinggi di bandingkan dengan negara lain. Pemerintah daerah dalam


(15)

kenyataannya sangat tergantung pada sumber dana dari pemerintah pusat, baik untuk pengeluaran rutin maupun untuk pengeluaran pembangunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa derajat desentralisasi fiskal di Indonesia relatif rendah, karena masih dominannya alokasi dana dari pemerintah pusat kepada daerah.

Secara khusus Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) di Kabupaten Gresik yang terlihat dari kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 kecil, bahkan tidak terjadi peningkatan yang berarti. Pada tahun 2003-2008 kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah terbesar pada tahun 2008 yaitu sebesar 18,52, tetapi kenaikan dari kontribusi tersebut masih sangat kecil, bahkan pada tahun sebelumnya mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2004 dan pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria penting dari adanya otonomi daerah yang menunjuk pada kesepadanan antara sumber dana dari pusat dan PAD, bahkan porsi PAD seharusnya jauh lebih besar dari sumber dana dari pusat dengan terus mengalami peningkatan ternyata masih belum bisa terealisasi. Berarti tingkat ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat masih tinggi.

Tingginya kontribusi dana perimbangan dari pemerintah pusat terhadap total pendapatan daerah kabupaten Gresik yang ditunjukkan pada tahun 2003 sampai dengan 2008. Kontribusi tersebut mencapai lebih dari 50% atau separuhnya, dalam tabel dapat dilihat meski kontribusi dana perimbangan pemerintah pusat terhadap total pendapatan daerah di Kabupaten Gresik mulai tahun 2004 terjadi penurunan yang cukup berarti hingga tahun 2008, yaitu sebesar kontribusi dana perimbangan terhadap total pendapatan secara berturut-turut mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 adalah 84,28%, 78,50%, 74,41%, 72,95%, 69,42%, namun angka sebesar itu masih cukup


(16)

tinggi. Hal ini menunjukkan tingkat sentralisasi fiskal Kabupaten Gresik masih tinggi. Terkait dengan hal tersebut diperlukan upaya meningkatkan penerimaan PAD dengan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan APBD, sehingga proporsi PAD terhadap total penerimaan APBD menjadi meningkat.

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahannya adalah bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik, yang tercemin dari kontribusi PAD terhadap total APBD masih rendah. Kenyataan ini menyebabkan pendanaan bagi kepentingan pembangunan daerah masih sangat tergantung dari dana yang berasal dari pemerintah pusat. Terkait dengan hal tersebut, untuk meningkatkan Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Gresik perlu dilihat faktor-faktor yang mempengaruhi, utamanya faktor non PAD yang meliputi : Perkembangan ekonomi daerah, bagi hasil pajak pemerintah pusat, serta sumbangan dan bantuan yang dalam penelitian ini di khususkan pada sumbangan dan bantuan yang bersifat umum (Block Grants) atau Dana Alokasi Umum (DAU).

1.2.Perumusan Masalah

Sebelum penulis mengemukakan permasalahan yang ada, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan arti dari kata masalah itu sendiri, menurut Kartini Kartono (1996: 18) :

“Masalah adalah situasi yang punya karakteristik sifat-sifat yang belum diketahui untuk di pecahkan atau di ketahui secara pasti.”

Dari definisi masalah tersebut dan berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut:


(17)

1. Apakah variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat di Kabupaten Gresik masing-masing berpengaruh secara parsial dan signifikan terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik?

2. Apakah variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat di Kabupaten Gresik masing-masing berpengaruh secara bersama-sama dan signifikan terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis pengaruh secara parsial variabel-variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik.

2. Untuk menganalisis pengaruh bersama variabel-variabel perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik.

1.4.Manfaat Penelitian


(18)

1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu ekonomi perencanaan dan pembangunan yaitu tentang mekanisme kebijakan desentralisasi beserta seluruh teori yang mendasarinya serta variabel-variabel yang terdapat di dalamnya.

2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Gresik, khususnya dalam upaya peningkatan Derajat Desentralisasi Fiskal, dengan melihat perkembangan ekonomi daerah, Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat, serta Sumbangan dan Bantuan, utamanya yang bersifat Block Grants.

3. Sebagai bahan perbandingan dan informasi bagi pihak lain untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.


(19)

2.1.Penelitian terdahulu

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak yang dapat dipakai sebagai bahan masukan serta pengkajian dalam penelitian ini di lakukan oleh :

Menurut Solichin (2002), dengan judul penelitian “Faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapataan Asli Daerah (PAD) di Kotamadya Kediri” melakukan pengujian secara simultan dengan menggunakan uji F, Variabel bebas jumlah penduduk ( ), inflasi ( ) dan jumlah industri ( ) berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (Y) dengan = 10,144 dan = 4,76 dengan α = 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial dengan menggunakan uji t, variabel bebas ( ) jumlah penduduk berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat (Y) yaitu Pendapatan Asli Daerah dengab menggunakan = 0,05 sehingga hasil yang diperoleh yaitu = 4,107 = 1,943, sedangkan variabel ( ) inflasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat (Y) dengan = -1,647

= -1,943, sedangkan variabel ( ) jumlah indutri tidak berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat (Y) dengan = 1,273 = 1,943, dari ketiga variabel diatas dapat diketahui bahwa variabel jumlah penduduk memberikan pengaruh terbesar yaitu 74% terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Menurut Qoryatin (2002) dengan judul penelitian “ Faktor-faktor yangmempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Probolinggo” melalui analisis uji linier berganda dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan uji F untuk regresi secara


(20)

simultan, variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat dengan = 54,824 = 3,39 dengan menggunakan Level of significant (α) sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t dengan = 0,025, sehingga dapat diketahui variabel bebas Produk Domestik Regional Bruto ( ) berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan = 2,158 = 2,201 Untuk variabel bebas jumlah penduduk ( ) diperoleh = 2,609 = 2,201 yang berarti jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk variabel inflasi ( ) diperoleh = 1,408 dari = -2,201 yang berarti bahwa inflasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tidak berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang disebabkan karena pemerintah kurang memanfaatkan sektor-sektor perekonomian yang ada sehingga Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menjadi turun dan mengakibatkan turunnya produktivitas yang secara tidak langsung akan diikuti dengan turunnya produksi. Dan variabel inflasi tidak berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang disebabkan karena terus naiknya harga-harga barang sehingga mengakibatkan turunnya nilai mata uang. Sehingga perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) maupun inflasi dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap naik turunnya Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Menurut Fuad (2004), dengan judul penelitian “Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Jawa Tinur” dari hasil penelitian melalui analisis uji linier berganda dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan uji F untuk regresi secara simultan variabel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat


(21)

dengan = 112,874 = 3,59 dengan menggunakan Level of significant (α) sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t dengan = 0,025, sehingga dapat diketahui variabel bebas Produk Domestik Regional Bruto ( ) berpengaruh secara nyata terhadap variabel terikat dengan = 2,613 = 2,201. Untuk variabel bebas jumlah penduduk ( ) diperoleh = 2,045 = 2,201 yang berarti jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) ini disebabkan karena kenaikan jumlah penduduk yang tidak diikuti dengan peningkatan taraf hidup penduduk menyebabkan masyarakat lebih cenderung menggunakan pendapatan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan hidup daripada membayar pajak dimana pajak adalah salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sedangkan variabel bebas pengeluaran pembangunan ( ) diperoleh = 2,752 = 2,201 yang berarti bahwa pengeluaran pembangunan berpengaruh secara nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Menurut I Wandana (2006) dengan judul penelitian “Analisis beberapa faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Gresik” dari hasil penelitian disimpulkan bahwa : Melalui analisis regresi linier berganda dapat diperoleh persamaan regresi dengan menggunakan uji regresi secara simultan. Variabel terikat dengan = 18,946 = 3,48 dengan menggunakan level of significant (x) sebesar 0,05. Sedangkan dari pengujian secara parsial, menggunakan uji t dengan penduduk ( ) tidak berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan asli daerah Kabupaten Gresik (Y) dengan = 0,040 = 2,220 (untuk inflasi variabel bebas inflasi ( ) diperoleh = -0,622 = -2,228 sehingga secara parsial inflasi tidak berpengaruh dan nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gresik


(22)

untuk variabel jumlah tenaga kerja ( ) diperoleh = 3,833 = 2,228 sehingga secara parsial dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kerja berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Gresik. Untuk variabel produk Domestik Regional Bruto (y) diketahui = 2,665 = 2,220 sehingga secara parsial dapat di ketahui bahwa produksi domestic regional bruto berpengaruh secara nyata terhadap pendapatan asli daerah di Kabupaten Gresik.

Menurut Sari (2006) dengan judul penelitian “Faktor-faktor yang mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Lamongan” dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa : Hasil analisis data menunjukkan bahwa variabel bebas secara simultan berpengaruh nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Lamongan. Hal ini diketahui dari uji F, yaitu diperoleh = 117,80 + = 3,35% secara parsial menunjukkan investasi, pengeluaran pemerintah dan Pendapatan Domestic Regional Bruto (PDRB) berpengaruh nyata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaetn Lamongan. Dimana untuk variabel investasi = 5,897 (2,201) untuk pengeluaran pemerintah = 4,459 (2,201) dan untuk variabel PDRB = -2,207 + ) -2,201), sedangkan jumlah tenaga kerja sektor industri tidak berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Lamongan, di mana yang dihasilkan -0,098 (2,201). Hasil analisis dengan parsial menunjukkan bahwa variabel investasinya berpengaruh dominant terhadap Pendapatan Asli Daerah (y) di Kabupaten Lamongan.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu, mendukung terhadap penulisan usulan penelitian yang sekarang ini. Pendapat saya dengan penelitian


(23)

terdahulu adalah Pendapatan Asli Daerah yaitu penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan daerah yang digali dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah dengan pola menggunakan pungutan-pungutan yang berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Perencanaan Pembangunan

Pembangunan merupakan suatu proses memperbaiki mutu kehidupan manusia, dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan soal pengorganisasian dan peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi dan sosial (Todaro, 1997: 8). Di dalam proses pembangunan agar dapat di laksanakan secara terarah dalam mencapai tujuan, baik jangka panjang, menengah maupun jangka pendek di perlukan perencanaan yang integral. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tjokroamidjojo (1994: 12) bahwa perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan yang pada hakekatnya terdapat pada tiap jenis usaha manusia. Dengan demikian, perencanaan adalah suatu cara bagaimana mencapai tujuan sebaik-baiknya (Maximum Output) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien dan efektif.

Di sisi lain, Albert Waterston dalam (Tjokroamidjojo, 1994: 12) menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan adalah “melihat ke depan dengan mengambil pilihan berbagai alternatif dari kegiatan untuk mencapai tujuan masa depan dengan terus mengikuti agar supaya pelaksanaannya tidak menyimpang dari tujuan”. Secara khusus dengan demikian perencanaan merupakan proses penyiapan seperangkat keputusan


(24)

untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu.

Unsur-unsur perencanaan secara umum adalah: Pertama, berhubungan dengan hari depan, kedua, mendesain seperangkat kegiatan secara sistematis, ketiga, dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan persyarataan perencanaan pembangunan yang baik menurut Kunarjo (1993: 15) adalah:

1. Didasari dengan tujuan pembangunan 2. Konsisten dan realitis

3. Pengawasan dan kontinyu

4. Mencakup aspek fisik dan pembiayaan

5. Memahami berbagai ciri hubungan antar variabel ekonomi 6. Mempunyai koordinasi yang baik.

Di sisi lain, tujuan pembangunan yang merupakan dasar perencanaan pada prinsipnya mencakup hal-hal pokok sebagai berikut:

1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi

2. Meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat 3. Meningkatkan kesempatan kerja

4. Meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah.

Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia, tidak terpisah dengan pembangunan yang dilaksanakan di daerah, karena secara keseluruhan proses pembangunan nasional. Hal tersebut sejalan dengan otonomi yang diberikan kepada daerah bahwa mksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah berorientasi pada pembangunan dalam arti luas meliputi segala aspek kehidupan.


(25)

Dengan demikian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab (Abe, 2001: 47).

Pembangunan ekonomi mempunyai kedudukan yang amat penting, karena keberhasilan di bidang ekonomi dapat menyediakan sumber daya yang lebih luas bagi pembangunan di bidang lainnya. Untuk melakukan pembangunan tersebut diperlukan landasan yang kuat, yaitu pengambilan kebijakan yang tepat, akurat dan terarah, untuk mencapai sasaran di dalam perencanaan ekonomi. Tujuan dari kebijakan ekonomi itu sendiri adalah dicapainya keseimbangan intern dan ekstern. Keseimbangan intern diarahkan untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kesempatan kerja yang meningkat dan laju inflasi yang rendah.

Dilihat dari peran pemerintah, termasuk kaitannya dalam proses pembangunan daerah dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) (Mangkoesoebroto, 1998: 2), yaitu:

1. Peranan Alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi

2. Peranan distribusi 3. Peranan stabilisasi

Dalam pembangunan ekonomi daerah, peran pemerintah daerah utamanya adalah memfasilitasi dan mempromosikan proses penciptaan nilai tambah secara optimal. Lebih lanjut Arsyad (2006) menyatakan bahwa peranan pemerintah daerah dalam pembangunan ekonimi daerah adalah sebagai entrepreneur, koordinator, fasilitator dan/atau stimulator.


(26)

Dengan peranan pemerintah sebagaimana di sebutkan, maka kegiatan ekonomi tidak akan berjalan dengan baik tanpa campur tangan pemerintah, termasuk pengaruhnya terhadap pembangunan yang dilaksanakan di daerah. Salah satu masalah pokoknya sebagaimana dikemukakan Arsyad (1999: 298) adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (Endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan dan suber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan pada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan peningkatan kegiatan ekonomi.

Dengan demikian pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah memerlukan suatu perencanaan dari pemerintah daerah agar pembangunan ekonomi daerah mempunyai arah, dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan serta kebijakan yang diambil sesuai dengan kekhasan daerah yang bersangkutan. Untuk melakukan suatu perencanaan yang baik dan sesuai dengan pembangunan yang dilakukan di daerah memerlukan dukungan dari masyarakat dan sumber daya lokal serta informasi dan data yang lengkap karena kedekatan dengan obyek perencanaan. Karena pembangunan ekonomi daerah tanpa adanya suatu perencanaan yang matang merupakan pembangunan yang tanpa arah sehingga sulit untuk mencapai tujuannya.

2.2.2. Pembiayaan Pembangunan Daerah Sebagai Unsur Penting Dalam Perencanaan

Secara khusus bahwa di dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan termasuk di dalamnya perencanaan pembangunan daerah, maka faktor pembiayaan


(27)

menjadi sangat penting, bahkan komponen pembiayaan termasuk di dalam perencanaan. Dalam kaitan ini, (Kunarjo, 1993: V) menyatakan bahwa perencanaan dan pembiayaan adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Perancanaan tanpa pebiayaan yang memadai hanya angan-angan kosong yang tidak banyak manfaatnya, sedangkan pembiayaan tanpa suatu perencanaan yang baik adalah merupakan suatu pemborosan.

Dengan perencanaan yang baik, maka pengeluaran-pengeluaran akan dapat diarahkan kesasaran yang lebih baik, sistematis, efisien dan efektif.

Sejalan dengan hal tersebut pembiayaan merupakan salah satu aspek di dalam suatu anggaran. Sedangkan maenurut (Mardiasmo, 2002: 122), anggaran merupakan alat perencanaan manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk:

1. merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan

2. merencanakan berbagai progran dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif pembiayaannya

3. mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun 4. menentukan indikator kinerja pencapaian strategi.

Didalam pelaksanaan otonomi daerah, maka dilihat dari sisi pembiayaan telah ditentukan bahwa untuk Kabupaten dan Kota terdiri dari:

1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi: a. Hasil Pajak Daerah

b. Hasil Retribusi Daerah


(28)

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah 2. Dana Perimbangan, meliputi:

a. Dana Bagi Hasil

b. Dana Alokasi Umum (DAU) c. Dana Alokasi Khusus (DAK) 3. Lain-lain pendapatan Daerah yang sah

Berdasarkan komponen pendapatan daerah tersebut terlihat bahwa terdapat 2 hal pokok dalam hal pendapatan daerah Kabupaten/Kota yaitu pendapatan yang berasal dari daerah sendiri dan pendapatan yang berasal dari pemerintah pusat serta provinsi.

Dalam pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia, pembiayaan pembangunan bagi kebanyakan daerah masih sangat mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan yang berasal dari pemerintah pusat. Hal ini terlihat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), bahwa sekitar dua pertiga total pengeluaran pemerintah daerah dibiayai oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat (Shah, dkk., 1994). Berdasarkan kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten/ Kota belum sepenuhnya dapat mendukung terselenggaranya pembangunan di daerah. Padahal salah satu kriteria penting penyelenggaraan otonomi daerah adalah adanya kesepadanan antara sumber dana dari pemerintah pusat dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), bahkan secara ideal porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih besar dibandingkan dengan sumber dana yang berasal dari pemerintah pusat.


(29)

2.2.3. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Peningkatan kemampuan organisasi pemerintah daerah, secara bertahap dan berencana, khususnya di bidang keuangan dan pendapatan daerah diarahkan untuk lebih mendekati hakikat otonomi yang diberikan, sebab permasalahan fiskal suatu pemerintah daerah tidak akan dapat berhasil jika tidak didukung oleh kemampuan organisasinya. Apabila segi fiskal dari pemerintah daerah ditingkatkan dengan jalan menggali potensi Pendapatan Asli Daerah, maka kemampuan organisasi ditingkatkan dengan jalan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai pelaku kegiatan ekonomi daerah.

Sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah hendaknya mampu memberikan kejelasan tentang seberapa luas kewenangan yang dipunyai pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatannya serta memanfaatkannya, serta berapa luas kebebasan pemerintah daerah untuk mengadakan pungutan-pungutan, menetapkan tarif dan ketentuan-ketentuan penerapan sanksinya, dan seberapa luas kebebasan pemerintah daerah dalam menentukan besar dan arah pengeluarannya.

Dalam hubungannya dengan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, maka faktor perimbangan keuangan menjadi penting. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, sebagaimana dikemukakan Soetrisno P.H (1982: 21) yaitu:

1. Latar belakang sosial politik

2. Alasan luasnya pemasaran barang-barang dan jasa 3. Alasan manfaat barang-barang kolektif


(30)

2.2.4. Derajat Desentralisasi Fiskal

Keterbatasan dana pembangunan dari pemerintah pusat bagi pembangunan di daerah memerlukan strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tiap daerah (Usman, 1996: 11). Sejalan dengan hal tersebut bahwa otonomi daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai dengan desetralisasi finansial yang efektif dengan lebih menekankan optimalisasi penerimaan PAD (Radianto, 1997). Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, maka desentralisasi fiskal merupakan salah satu aspek penting. Hal tersebut disebabkan karena pengertian desetralisasi fiskal menunjukkan pada kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan peranan PAD, meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagi laba Badan Usaha Milik Negara (BUMD) serta penerimaan lainnya, dengan tingkat pertumbuhan yang lebih besar daripada tingkat pertumbuhan penerimaan APBD.

Desentralisasi fiskal dilaksakan dengan beberapa alasan: pertama, untuk mengalokasikan barang-barang dan jasa publik yang bermaanfaat dan eksternalitasnya berskala regional serta lokal. Kedua, pemerintah daerah akan lebih cepat dalam menginterpretasikan kebutuhan masyarakat di daerahnya. Pandangan tentang desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan otonomi daerah, Maxwel dalam (Radianto, 1997) mengemukakan bahwa kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsinya tergantung pada kemampuan dalam menggali sumber-sumber penerimaan yang independen. Pemerintah daerah yang memiliki pendapatan yang lebih besar dan independen akan mempunyai posisi yang lebih baik daripada pemerintah daerah yang tergantung pada dana pemerintah pusat dengan disertai kontrol yang ketat.


(31)

Hal penting bagi otonomi daerah adalah bahwa daerah mempunyai keleluasaan terutama dalam menggunakan dan abgi kepentingan masyarakat daerah (Davey, 1988: 40). Dalam demikian alokasi dana yang berasal dari pemerintah pusat yang disertai kontrol yang ketat dalam penggunaannya tidak akan mendorong daerah dalam menggali dan mengembangkan sumber-sumber pendapatan daerah yang ada, tetapi justru dapat mematikan inisiatif-inisiatif daerah yang bersangkutan serta membuat daerah semakin tergantung pada alokasi dana dari pemerintah pusat (Radianto, 1997 : 68).

Realitas hubungan keuangan antara pusat dan daerah selama ini ditandai dengan tingginya tingkat ketergantungan fiskal daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini berarti bahwa PAD masing-masing Kabupaten/ Kota di Indonesia belum mampu membiayai pengeluaran rutin dan kotribusi PAD terhadap total penerimaan APBD relatif lebih kecil. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan asas desentralisasi bagib Kabupaten/Kota, maka secara finansial pemerintah daerah harus bersifat independen di dalam perencanaan dan penggunaan keuangan. Dalam kaitan ini maka penerimaan PAD harus dapat di optimalkan seimbang dengan penerimaan APBD. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya optomalisasi penerimaan PAD terhadap total penerimaan APBD dengan tingkat pertumbuhan PAD yang lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan penerimaan APBD, sehingga derajat desentralisasi fiskal akan meningkat dan derajat ketergantungan fiskal akan semakin menurun.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi Derajat Desentralisasi Fiskal adalah perkembangan ekonomi daerah, serta bantuan pemerintah pusat (Nanga, 1991). Faktor lain yang mempengaruhi Derajat Desentralisasi Fiskal adalah bagi hasil pajak pemerintah pusat (Devas, dkk., 1989: 118) sedangkan menurut Rencana Strategis Dinas


(32)

Pendapatan Kabupaten Gresik Tahun 2005-2008, faktor-faktor internal yang mempengaruhi Derajat Desentralisasi Fiskal adalah:

1. Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi PAD 2. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

2.2.5. Hubungan antara Perkembangan Ekonomi Daerah dengan Derajat Desentralisasi Fiskal

Tingkat perkembangan ekonomi daerah dapat dilihat dari tingkat perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Semakin maju perekonomian suatu daerah, maka laju pertumbuhan sektor atau lapangan usaha semakin besar pula, sehingga PDRB juga semakin besar. Hal tersebut sejalan dengan fungsi utama dari kegiatan lapangan usaha untuk menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan manusia bagi kesejahteraannya.

Perkembangan ekonomi daerah di mungkinkan akan berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah sebagaimana di kemukakan Peacock dan Wiseman, bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat dengan semakin meningkatnya obyek pungutan pajak dan semakin meningkat pula kemampuan masyarakat dalam membayar pungutan pajak (Mangkoesubroto, 1998: 73).

Semakin meningkatnya laju perkembangan ekonomi daerah, maka semakin besar peluang daerah untuk meningkatkan potensi penerimaan daerah khususnya dari sektor PAD. Hal tersebut ditandai dengan berkembangnya sektor-sektor usaha atau lapangan usaha yang melakukan suatu kegiatan usaha, misalnya berkembangnya sektor industri.


(33)

Dengan demikian semakin besar realisasi perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), maka semakin besar potensi penerimaan daerah, khususnya dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sejalan dengan hal tersebut, maka perkembangan PDRB akan berpengaruh positif terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal.

2.3 Kerangka Pemikiran

Untuk menciptakan perekonomian suatu negara yang seimbang di butuhkan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Keterbatasan dana pembangunan dari pemerintah pusat bagi pembangunan di daerah memerlukan strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tiap daerah (Usman, 1996: 11). Sejalan dengan hal tersebut bahwa otonomi daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai dengan desentralisasi finansial yang efektif dengan lebih menekankan optimalisasi penerimaan PAD (Radianto, 1997: 42). Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan,maka Desentralisasi Fiskal merupakan salah satu aspek penting. Desentralisasi Fiskal di pengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Sumbangan Pemerintah. Berdasarkan pemikiran di atas, maka dapat di jelaskan mengenai hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat sebagai berikut :

a. Hubungan antara Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan Desentralisasi Fiskal adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah seluruh nilai tambah (produk) yang ditimbulkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha, yang melakukan kegiatan usahanya di suatu daerah tertentu tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksi. Oleh karena itu maka PDRB menunjukkan


(34)

kemampuan suatu daerah tertentu dalam menghasilkan pendapatan atau balas jasa kepada faktor-faktor yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi tersebut. Dengan demikian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencerminkan ukuran produktivitas suatu wilayah dan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi penduduk. Sehingga PDRB dapat memperlihatkan laju perkembangan ekonomi suatu daerah, baik PDRB secara total maupun secara sektoral. Sehingga laju perkembangan ekonomi daerah dengan indikator PDRB yang meningkat maka semakin besar pula kontribusi sektor PDRB yang secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa semakin besar kemajuan sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di daerah tersebut. Tingkat perkembangan ekonomi daerah dapat di lihat dari tingkat perkembangan PDRB. Semakin maju perekonomian suatu daerah, maka laju pertumbuhan sektor atau lapangan usaha semakin besar pula, sehingga PDRB juga semakin besar. Besaran PDRB dalam pembangunan ekonomi menjadi salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. (Nopirin, 1996: 9). b. Hubungan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Desentralisasi Fiskal, adalah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) sepenuhnya dapat mendukung terselenggaranya pembangunan di daerah. Salah satu kriteria penting penyelenggaraan otonomi daerah adalah kesepadanan antara sumber dana dari pemerintah pusat dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Otonomi daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai dengan desentralisasi finansial yang efektif dengan lebih menekankan optimalisasi penerimaan PAD (Radianto, 1997: 42). Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah dalam kerangka pelaksanaan pembangunan, maka desentralisasi fiskal merupakan salah satu aspek penting. Hal tersebut disebabkan karena


(35)

pengertian desentralisasi fiskal menunjukan pada kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan peranan PAD, meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) serta penerimaan lainnya. Perkembangan ekonomi daerah di mungkinkan akan berdampak positif terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat dengan semakin meningkatnya obyek pungutan pajak dan semakin semakin meningkat pula kemampuan masyarakat dalam membayar pungutan pajak. Semakin meningkatnya laju perkembangan ekonomi daerah, maka semakin besar peluang daerah untuk meningkatkan potensi penerimaan daerah khususnya dari sektor Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Mangkoesubroto, 1998: 73).

c. Hubungan Sumbangan Dan Bantuan Pemerintah dengan derajat Desentralisasi fiskal bahwa bantuan pemerintah pusat kepada daerah merupakan hal yang sangat penting di dalam suatu Negara dengan sistem bertingkat. Realitas selama ini menunjukan bahwa bantuan pemerintah pusat kepada daerah pada dasarnya ada 2 (dua) jenis, yaitu bantuan umum (Block grants) dan bantuan khusus (Spesific grants). Dari kedua jenis bantuan tersebut, maka bantuan umum (Block grants) menjadi penting, karena adanya keleluasaan bagi daerah di dalam penggunaannya. Hal ini berbeda dengan bantuan khusus (Spesific grants),di mana daerah tidak mempunyai keleluasaan di dalam penggunaannya karena telah di arahkan oleh pemerintah pusat. Bantuan umum akan mengurangi tingkat ketergantungan fiskal bila bantuan tersebut di arahkan untuk usaha mengoptimalkan penerimaan daerah. Di sisi lain dengan semakin besarnya dana yang berasal dari pemerintah pusat yang bersifat Block grants, maka daerah mempunyai keleluasaan pengalokasiannya.


(36)

Pengalokasian dana yang di arahkan bagi sektor-sektor yang bersifat strategis, akan mampu mendorong upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan perluasan potensi penerimaan daerah, khususnya dari sektor PAD. Bantuan umum akan mengurangi tingkat ketergantungan fiskal bila bantuan tersebut diarahkan untuk usaha mengoptimalkan penerimaan daerah. Dengan demikian bantuan pemerintah pusat yang bersifat Block grants akan berpengaruh positif terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal (Kuncoro 2003: 53).

Gambar 2.1 : Paradigma “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL DI KABUPATEN GRESIK”

Sumber : Penulis

Pertumbuhan Ekonomi ↑

Otonomi Daerah ↑ PDRB ↑

Mencerminkan produktifitas suatu wilayah dan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi penduduk

PAD ↑

Merupakan Sumber pendapatan daerah dengan mengelola dan memanfaatkan potensi daerahnya

Desentralisasi Fiskal ↑

Sumbangan dan Bantuan Pemerintah ↑ mengurangi Tingkat ketergantungan Fiskal bila bantuan tersebut di arahkan untuk usaha mengoptimalkan

penerimaan daerah

Investasi dalam Negeri ↑


(37)

2.4 Hipotesis

Setelah memahami permasalahan dan beberapa variabel yang mempengaruhi Derajat Desentralisasi Fiskal maka disusun hipotesis sbb :

a. Variabel Perkembangan ekonomi daerah, Sumbangan dan Bantuan Pemerintah dan signifikan terhadap Pusat yang bersifat Block grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat masing-masing berpengaruh secara posotif dan signifikan terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik.

b. Variabel Perkembangan Ekonomi Daerah, Sumbangan, dan Bantuan yang bersifat Block Grants, serta Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap Derajat Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Gresik.


(38)

3.1.Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

Definisi operasional menurut NAZIR (1998 : 152), adalah suatu definisi yang diberikan kepada sesuatu dengan cara memberikan sesuatu dengan cara memberikan arti atau menspesifikasikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variabel tersebut.

Definisi operasional adalah ruang lingkup atau batasan dari variabel penelitian berdasarkan data-data didalam penelitiannya. Adapun pengukuran variabel berkaitan dengan upaya penglkasifikasian atau identitas variabel berdasarkan definisi operasional dan pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

a. Variabel Terikat / Dependent Variabel ( Y )

Yaitu variabel yang dapat dipengaruhi dalam hal ini Derajat Desentralisasi. Derajat Desentralisasi Fisikal adalah besarnya rasio Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Pendapatan dalam satuan persen. Untuk mengetahui besaran rasio PDA terhadap total pendapatan daerah atau lebih disebut dengan Derajat Desentralisasi Fisikal digunakan analisis rasio dengan formulasi dasar sebagaimana dikemukakan Widodo (1993 :69) sebagai berikut:

P Xm k = 100% Di mana:

P adalah Rasio


(39)

k adalah Banyaknya Variabel bebas m adalah besaran subsektor variabel bebas

b. Variabel Bebas / Independent Variabel ( X ) Yaitu variabel yang berpengaruh terhadap varabel terikat yaitu :

1. Perkembangan ekonomi daerah ( X1 )

Adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Gresik berdasarkan Harga Konstan yang dinyatakan dalam satuan persen. 2. Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat ( X2)

Adalah realisasi penerimaan Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat yang diterima oleh Kabupaten Gresik setiap tahun yang dinyatakan dalam satuan persen.

3. Sumbangan dan Bantuan pemerintah pusat ( X3 )

adalah realisasi penerimaan sumbangan dan bantuan dari Pemerintah Pusat yang bersifat Block Grants yang diterima oleh Kabupaten Gresik setiap tahun yang dinyatakan dalam satuan persen.

Untuk mengetahui besarnya laju perkembangan ekonomi daerah yang dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan, realisasi penerimaan Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat, realisasi penerimaan Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants di Kabupaten Gresik digunakan analisis pertumbuhan dengan menggunakan formulasi sebagaimana di kemukakan oleh Widodo (1993: 36) :

= 100% di mana:


(40)

adalah besaran X pada tahun t adalalah besaran X pada tahun t-1

3.2. Teknik Penentuan Sampel

Penelitian ini menggunakan jenis data time series atau runtut waktu. Data yang diperoleh adalah data sekunder yang diperoleh dari penelitian di instansi Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Gresik. Sedangkan periode waktu yang dipilih sebagai sumber data adalah mulai tahun 1988-2008 (21 tahun) dan semua data yang dianalisis merupakan data tahunan. Penekanan dalam masalah ini adalah data yang dipakai telah mengalami penyesuaian, penyesuaian yang dimaksud adalah penyesuaian dari tahun anggaran menjadi tahun takwim atau tahun pajak yaitu dalam 1 tahun mulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun tersebut, agar data yang digunakan mengalami keseragaman sehingga dalam perhitungan analisis regresi diperoleh hasil yang optimal.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menunjang penelitian, maka bahan acuan dan data yang akan dikumpulkan adalah menggunakan prosedur sebagai berikut:

1. Studi Kepustakaan, yaitu mengumpulkan bacaan-bacaan yang bersumber dari literatur-literatur yang berfungsi sebagai bahan referensi.

2. Data Sekunder, dalam penelitian ini data yang diperoleh dari Instansi Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Gresik.


(41)

3.4. Teknik Analisis Dan Uji Hipotesis 3.4.1. Teknik Analisis

Tenik analisis yang digunakan untuk mengestimasi model persamaan regresi dalam penelitian ini menggunakan metode persamaan regresi dalam penelitian ini menggunakan metode Ordinary LeastSquare (OLS). Penggunaan metode regresi linier klasik (OLS) bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel tergantung dengan variabel-variabel bebas baik secara bersama-sama maupun secara persial, serta untuk mengetahui besaran dan arah dari hubungan/ pengaruh tersebut.

Menurut Sumodiningrat (1993: 102) ada lima asumsi dasar untuk sebuah model regresi linier, biasanya dikenal sebagai “Asumsi-asumsi Model Regresi Linier”, yaitu :

1. adalah sebuah variabel random riil dan memiliki distribusi normal. 2. Nilai rerata dari setiap periode tertentu adalah nol.

E[ ] = 0 (i = 1,...,n)

3. Varian dari adalah konstan setiap periode. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi “homoskedastisitas”.

E[ ] =   adalah konstan)

4. Faktor penggunaan dari pengamatan yang berbeda-beda ( , ) tidak tergantung. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi “nir-autokorelasi”.

E[ ] = 0 ( i≠ j )

5. Variabel-variabek bebas adalah variabel nir-stokastik dan di ukur tanpa kesalahan; tidak tergantung pada variabel babas.


(42)

6. Tidak ada hubungan linier yang pasti antara variabel X, yaitu tidak ada multikolinearitas.

Kehandalan parameter-parameter yang diestimasi dapat dilihat melalui dua kriteria. Yang pertama adalah kriteria statistik, adalah uji signifikansi dan homoskedastisitas. Kriteria statistik hanya akan valid jika asumsi-asumsi regresi linier klasik terpenuhi. Analisisis Kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat bantu Ekonometrika dengan menggunakan program komputer Eviews versi 4.0.

3.4.2. Uji Hipotesis

Berdasarkan perhitungan dari model, akan diperoleh koefisien-koefisien variabel bebas baik yang bertanda positif maupun negatif. Tanda yang diperoleh dari perhitungan, selanjutnya dibandingkan dengan teori. Kemudian langkah selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan derajat kepercayaan tertentu. Metode yang digunakan adalah:

1.Uji Koefisien Determinasi ( )

Koefisien determinasi merupakan uji yang dilakukan dengan tujuan mengetahui seberapa besar variasi dari variabel tergantung dapat dijelaskan oleh variabel independen. Nilai berkisar antara 0 dan 1. Semakin besar nilai berarti semakin besar variasi variabel tergantung yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel bebas, dan sebaliknya.

2.Uji t

Uji t dilakukan untuk mengetahui signifikasi tidaknya hubungan variabel bebas secara parsial terhadap variabel tergantung, dengan jalan membandingkan nilai


(43)

a. : = 0 ( i= 1,2,3), berarti koefisien β tidak signifikan atau tidak mempunyai arti secara statistik.

b. : ≠ 0 ( i= 1,2,3), berarti koefisien β signifikan atau mempunyai arti statistik.

c. Uji t dihitung dengan rumus : t = / s

di mana :

t adalah nilai t adalah koefisien regresi

s adalah Standar Deviasi dari koefisien regresi

d. Menentukan dengan tingkat kepercayaan (α) tertentu dengan rumus: = α / 2; n-k-1

Dimana :

α adalah tingkat signifikan n adalah banyaknya observasi k adalah banyaknya variabel bebas e. Menentukan kriteria uji t, yaitu :

Bila , maka ditolak, berarti variabel bebas secara parsial memiliki pengaruh yang berarti terhadap variabel tergantung. Sebaliknya, bila , maka diterima, artinya variabel bebas secara parsial tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap variabel tergantung.


(44)

Gambar 3.1 : Kurva Distribusi T

ditolak Daerah Penerimaan ditolak

( -t ; n-k-1 ) ( t ; n-k-1 ) Sumber : Sudrajat, MSW, 1988, Mengenai Ekonometrika Pemula, Cetakan Kedua,

CV Amico, Bandung, Halaman 94 3.Uji F

Uji F dilakukan untuk mengetahui signifikasi tidaknya variabel-variabel bebas, yaitu perkembangan ekonomi daerah, Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat serta sumbangan Bantuan yang bersifat block grants secara bersama-sama terhadap variabel tergantung, yaitu Derajat Desentralisasi Fiskal. Langkah-langkah uji F adalah sebagai berikut :

a. Merumuskan hipotesis sebagai berikut :

: = = = 0, artinya variable bebas secara bersama – sama tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variabel tergantung.

: Not all slope coefficient are simultaneously zero (tidak semua koefisien slope secara simultan sama dengan nol), artinya variable bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang berarti tehadap variable tergantung.

. Uji F di hitung dengan rumus

F =

Dimana :


(45)

k adalah banyaknya variable bebas n adalah banyaknya observasi c. Menentukan dengan rumus :

= α (k) (n-k-1) Di mana :

α adalah tingkat signifikan

k adalah banyaknya variable bebas n adalah banyaknya observasi d. Menentukan kriteria uji F, yaitu :

Bila , berarti ditolak artinya variable bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang berarti terhadap variable tergantung. Sebaliknya, bila      , berarti di terima artinya variable bebas secara bersama-sama tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap variabel tergantung.

Gambar 3.2 : Kurva Distribusi F

Daerah Penolakan Daerah Penerimaan

F (α)

Sumber : Sudrajat, MSW, 1988, Mengenai Ekonometrika Pemula, Cetakan Kedua, CV Amico, Bandung, Halaman 94


(46)

3.5. Uji penyimpangan Autokorelasi

Autokorelasi adalah suatu keadaan dimana variabel-variabel gangguan pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel g

angguan pada periode lain. Keadaan tersebut menyebabkan nilai dan cenderung berlebihan. Masalah ini timbul karena residual tidak bebas dari satu observasi lainnya.

Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya masalah utokorelasi, antara uji d Durbin – Watson ( Durbin – watson d Test), uji Breusch Godfrey Lagrange Multiplier. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi ada tidaknya masalah autokorelasi digunakan uji-uji Breusch – Godfrey Lagrange Multiplier Test.

Pedoman dari penggunaan uji Breusch – Godfrey Lagrange Multiplier adalah Hipotesis nol ( ) menyatakan bahwa tidak ada masalah autokorelasi sedangkan hipotesis alternatif ( ) menyatakan bahwa ada masalah autokorelasi. Dasar pengambilan keputusan adalah dengan membandingkan dan atau dengan melihat nilai probabilitas (P – Value). Dalam penelitian ini didasar pengambilan keputusan yang digunakan adalah dengan melihat nilai probabilitas (P – Value).

3.6. Uji Penyimpangan Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas merupakan situasi tidak konstannya varian dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Konsekwensi terjadinya Heteroskedastisitas adalah uji signifikansi terhadap model menjadi invalid. Ada beberapa cara mendektaksi masalah heteroskedastisitas dalam model empiris. Para ahli ekonometrika menyarankan beberapa metode untuk dapat mendeteksi ada tidaknya


(47)

masalah heteroskedastisitas dalam model empiris, seperti dengan menggunakan uji Park, uji Glejser, uji White. Dalam penelitian ini, untuk mendeteksi atau melacak ada tidaknya masalah heteroskedastisitas dalam model empiris yang sedang diestimasi digunakan uji White ( White’s HeteroscedasticityTest ).

Pedoman dari penggunaan model White adalah Hipotesis ( ) menyatakan bahwa kondisi Homoskedastisitas terpenuhi (tidak terdapat masalah Heteroskedastisitas), sedangkan hipotesis alternatif menyatakan kondisi Homoskedastisitas tidak terpenuhi ( terdapat masalah Heteroskedastisitas). Uji White dapat dilakukan secara langsung dalam program Eviews, dimana menyediakan dua versi Uji White yaitu Uji White Heteroscedasticity (no cross term dan Uji White

Heteroscedasticity (cross term). Dasar pengambilan keputusan adalah dengan

membandingkan dan atau dengan melihat nilai probabilitas (P – Value).

3.7. Uji Penyimpangan Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan hubungan linier (korelasi) antar variabel bebas. Untuk mendeteksi adanya masalah Multikolinearitas dapat digunakan Eviews dengan uji Pairwise Correlation Matrix. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dari hasil analisis untuk melihat adanya masalah Multikolinearitas yang meliputi (1) Besarnya Codition Index dari proses Collinearity Index, dimana akan dipergunakan pedoman bahwa Codition Index > 30 mengidikasikan bahwa adanya masalah Multikolinearitas dan (2) Matriks koefisien korelasi antara masing-masing variabel bebas. Jika koefisien korelasi antara masing-masing variabel bebas lebih besar dari 0,8 maka Multikolinearitas terjadi antara masing-masing variabel tersebut.


(48)

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian 4.1.1. Kondisi Geografis Kabupaten Gresik

Kabupaten Gresik berada di antara 7 derajat dan 8 derajat Lintang Selatan dan di antara 112 derajat dan 113 derajat Bujur Timur. Sebagian besar wilayahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-12 meter di atas permukaan laut kecuali sebagian kecil di bagian utara (kecamatan Panceng) mempunyai ketinggian sampai 25 meter di atas permukaan laut. Bagian utara Kabupaten Gresik dibatasi oleh Laut Jawa, bagian timur dibatasi oleh Selat Madura dan Kota Surabaya, bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto, sementara bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Lamongan.

Kabupaten Gresik mempunyai kawasan kepulauan yaitu Pulau Bawean dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Luas wilayah daratan Gresik seluruhnya 1.192,25 Km² terdiri dari 998, 14 Km² luas daratan ditambah sekitar 196, 11 Km² Luas Pulau Bawean, sedangkan luas wilayah perairan adalah 5.773, 80 Km² yang sangat potensial dari sub sektor perikanan laut. Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Gresik terdiri dari jenis Aluvial, Grumosal, Mediteran Merah dan Litosol. Curah huajn di Kabupaten Gresik adalah relatif rendah, yaitu rata-rata 2.000 mm per tahun sehingga hampir setiap tahun mengalami musim kering yang panjang.

Berdasarkan ciri-ciri fisik tanahnya, Kabupaten Gresik dapat di bagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu :


(49)

a. Kabupaten Gresik bagian utara (meliputi wilayah Panceng, Ujung pangkah, Sidayu, Bungah, Dukuh, Manyar) adalah bagian dari daerah pegunungan Kapur Utara yang memiliki tanah relatif kurang subur (wilayah Kecamatan Panceng). Sebagian dari daerah ini adalah daerah hilir aliran Bengawan Solo yang bermuara di Pantai Utara Kabupaten Gresik. Kecamatan Ujung Pangkah daerah hilir sungai tersebut sangat potensial karena mampu menciptakan lahan yang cocok untuk pemukiman maupun usaha pertambakan. Potensial karena mampu menciptakan lahan yang cocok untuk pemukiman maupun usaha pertambakan. Potensi bahan-bahan galian di wilayah ini cukup potensial terutama dengan adanya beberapa jenis bahan galian golongan C.

b. Kabupaten Gresik bagian tengah (meliputi wilayah Duduk Sampeyan, Balong Panggang, Benjeng, Cerme, Gresik, Kebomas) merupakan kawasan dengan tanah yang relatif subur. Di wilayah ini terdapat sungai-sungai kecil antara lain Kali Lamong, Kali Corong, Kali Manyar sehingga di bagian tengah wilayah ini merupakan daerah yang cocok untuk pertanian dan pertambakan.

c. Kabupaten Gresik bagian selatan meliputi Menganti, Kedamean, Driyorejo, dan Wringin Anom adalah merupakan sebagian dataran rendah yang cukup subur dan sebagian merupakan daerah bukit-bukit (Gunung Kendeng). Potensi bahan-bahan galian di wilayah ini di duga cukup potensial terutama dengan adanya beberapa jenis bahan galian golongan C, bahan galian yang bukan strategis dan juga bukan vital seperti batu kapur, phospat, dolomit, batu bintang dan tanah liat, pasir dan bahan galian lainnya. Sebagian dari bahan galian golongan C ini telah diusahakan dengan baik, dan sebagian lainnya taraf eksplorasi.


(50)

d. Kabupaten Gresik wilayah Kepulauan Bawean dan Pulau kecil di sekitarnya yang meliputi Kecamatan Sangkapura dan Tambak berpusat di Sangkapura. Kabupaten Gresik adalah salah satu wilayah penyangga Kota Surabaya, di mana Kota Surabaya adalah ibukota sekaligus pusat ekonomi di Jawa Timur. Di samping Kabupaten Gresik daerah lain yang juga dapat dikatakan sebagai kawasan penyangga Kota Surabaya adalah Kabupaten Sidoarjo, Bangkalan, Mojokerto dan Lamongan. Keenam wilayah ini di kenal dengan istilah kawasan Gerbang Kertasusila. Fungsi wilayah penyangga bagi Kabupaten Gresik dapat bernilai positif secara ekonomis, jika kabupaten Gresik dapat mengantisipasi dengan baik kejenuhan perkembangan kegiatan industri di surabaya yaitu dengan menyediakan lahan alternatif pembangunan kawasan industri yang representatif, kondusif dan strategis.

Hampir sepertiga dari wilayah Kabupaten Gresik merupakan daerah pesisir pantai, yaitu sepanjang 140 Km meliputi Kecamatan Kebomas, Kecamatan Gresik, Kecamatan Bungah, Kecamatan Ujung Pangkah, Sidayu, Panceng serta Kecamatan Tambak dan Sangkapura yang berada di Pulau Bawean. Sebagai wilayah pesisir yang juga telah difasilitasi dengan pelabuhan besar, maka Kabupaten Gresik memiliki akses perdagangan regional, nasional, bahkan internasional. Keunggulan greografis ini menjadikan Gresik sebagai alternatif terbaik untuk investasi atau penanaman modal.

Dengan fasilitas Pelabuhan yang ada, Gresik memiliki potensi akses regional maupun nasional sebagai pintu masuk baru unruk kegiatan industri dan perdagangan untuk kawasan Indonesia Timur setelah Surabaya mengalami kejenuhan. Disamping itu Kabupaten Gresik merupakan Kabupaten yang berpengalaman mengelola kegiatan indusrti besar dan telah memiliki reputasi internasional selama puluhan tahun, seperti


(51)

Semen Gresik Petrokimia Gresik. Demikian pula dengan dukungan sarana dan prasarana transportasi darat, seperti; akses jalan tol menuju Surabaya, jarak yang relatif dekat dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, jalan beraspal dan angkutan umum keselururan pelosok wilayah kecamatan, dan sarana transportasi laut yang memadai berupa pelabuhan atau dermaga, Gresik siap menunjang aktivitas perdagangan dalam taraf internasional.

4.1.2. Keadaan Kependudukan Kabupaten Gresik

Menurut catatan statistik Kantor Kependudukan Kabupaten Gresik menunjukkan bahwa jumlah penduduk kabupaten Gresik pada tahun 2008 sebesar 1.159.033 jiwa yang terbagi ke dalam sejumlah 279.103 keluarga, yang terdiri diri :

1. Penduduk perempuan : 547.517 jiwa 2. Penduduk laki-laki : 511.516 jiwa.

Jumlah penduduk sebanyak itu, dengan luas wilayah 1.191,25 Km² diperoleh kepadatan penduduk sebesar 973 jiwa/km², dengan rata-rata per keluarga terdiri dari 4 orang. Apabila di bandingkan dengan hasil regrestasi penduduk tahun 2004, dengan jumlah penduduk sebesar 1.006.470 jiwa dan kepadatan penduduk mencapai 845 jiwa/km², maka terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 15,16% dan kepadatan penduduk meningkat 15,15%. Namun demikian, masalahnya bahwa tingkat kepadatan penduduk Gresik tersebut tidaklah merata pada keseluruhan wilayah. Wilayah perkotaan jauh dipadati penduduk sebesar 1814 jiwa/km² di bandingkan dengan wilayah pedesaan yang hanya dihuni 736 jiwa/km². Kondisi ini tentu harus direspon secara objektif oleh pemerintah daerah,terutama menyangkut alokasi fasilitas dasar kebutuhan penduduk.


(52)

4.1.3. Struktur Ekonomi

Pada hakikatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja dan pemerataan pembagian pendapatan masyarakat. Pendapatan ekonomi mempunyai kedudukan yang amat penting, karena keberhasilan dalam bidang ekonomi dapat menyediakan sumber daya yang lebih luas bagi pembangunan di bidang lainnya. Untuk melakukan pembangunan di perlukan landasan yang kuat, yaitu pengambilan kebijakan yang tepat, akurat dan terarah, supaya hasil yang di capai akan benar-benar sesuai dengan yang direncanakan.

Tidak dapat di pungkiri bahwa perkembangan ekonomi di Kabupaten Gresik dari tahun ke tahun menunjukan arah positif. Di tinjau dari struktur perekonomian yang ada, pilar utamanya adalah industri pengolahan. Sumbangannya terhadap PDRB, sektor industri pengolahan menyumbang 49,06% dari seluruh kontruksi ekonomi daerah Gresik tahun 2008. Dengan banyaknya industri tersebut akan nada kecenderungan semakin cepat berdiri industri baru yang merupakan mata rantai industri yang saling menunjang. Dengan demikian sektor industri merupakan sektor yang bias di harapkan memulihkan perekonomian di Kabupaten Gresik, karena sektor industri ini di samping menyerap banyak tenaga kerja juga menggerakkan perkembangan sektor-sektor lain. Distribusi PDRB atas dasar harga konstan di Kabupaten Gresik pada sektor-sektor ekonomi tahun 2008 di tunjukan pada tabel 4.1.


(53)

TABEL 4.1

DISTRIBUSI PRESENTASE PDRB ATAS DASAR HARGA KONSTAN KABUPATEN GRESIK TAHUN 2008

NO Sektor Ekonomi Persentase (%)

1 Industri pengolahan 49,06

2 Perdagangan, Hotel dan Restoran 21,38

3 Pertanian 10,41

4 Bangunan/ Konstruksi 5,35

5 Listrik, Gas dan Air Bersih 4,88

6 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 3,66

7 Transportasi & Komunikasi 2,14

8 Jasa-jasa 1,74

9 Pertambangan & Penggalian 1,38

Sumber : Kabupaten Gresik Dalam Angka, 2008

Berdasarkan Tabel 4.1 sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang sangat erat dengan sektor industri, sehingga mempunyai sumbangan terbesar kedua yaitu sebesar 21,38%. Pembangunan infrastruktur yang menunjang sektor industri merupakan kebutuhan utama, sektor yang menunjang sektor industri tersebut adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih yang memiliki sumbangan sebesar 4,88%. Wilayah Kabupaten Gresik yang memanjang dari utara ke selatan sejauh lebih dari 82 km, apalagi ditambah dengan pulau Bawean menjadi berjarak lebih dari 208 Km,


(54)

ternyata Kabupaten Gresik masih memiliki potensi sector Pertanian yang cukup besar, sector pertanian mempunyai peranan di urutan ketiga yakni sebesar 10,41%.

4.2. Deskripsi Hasil Penelitian

Mengingat bahwa realisasi pendapatan daerah tahun 2003 hanya berlangsung 9 bulan akibat adanya penyesuaian tahun anggaran dari bulan april sampai dengan bulan Maret menjadi bulan bulan Januari sampai dengan bulan Desember, maka data dalam penelitian ini dilakukan penyesuaian. Penyesuaian data dimaksud dilakukan mulai tahun 1987/1988 sampai dengan tahun 2003 dengan cara pergeseran Triwulan IV tahun sebelumnya menjadi Triwulan I tahun bersangkutan, sehingga diperoleh data tahunan mulai bulan Januari hingga bulan Desember.

Data pendapatan daerah yang semula dimulai pada bulan April sampai dengan bulan Maret tahun berikutnya, disesuaikan menjadi data tahunan yang dimulai pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun bersangkutan. Sehingga diperoleh keseragaman data tahunan selama 12 bulan, hal ini di lakukan agar hasil perhitungan dan analisis data bisa optimal. Perhitungan penyesuaian data tersebut sebagaimana terlampir (Lampiran 5-8).

4.2.1. Derajat Desentralisasi Fiskal

Dalam penelitian ini Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) di Kabupaten Gresik dilihat dari rasio PAD terhadap total pendapatan daerah tampak pada tabel 4.2 sebagai berikut :


(55)

TABEL 4.2

DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL KABUPATEN GRESIK TAHUN 1988-2008 TAHUN Realisasi PAD (Rp) Realisasi Total

Pendapatan Daerah (Rp) DDF (%)

1988 1.413.951.636 9.092.770.164 15,55

1989 1.028.181.802 5.837.149.429 17,61

1990 1.584.592.675 5.344.826.182 29,65

1991 1.850.871.084 5.817.490.354 31,82

1992 2.080.041.915 5.996.768.256 34,69

1993 2.356.470.832 8.230.438.135 28,63

1994 2.926.903.964 11.077.281.999 26,42

1995 3.168.924.490 15.006.981.596 21,12

1996 4.305.019.401 16.359.661.602 22,24

1997 5.811.866.070 26.858.749.104 21,64

1998 9.411.810.872 32.459.101.821 29,00

1999 15.728.982.702 51.338.223.076 30,64

2000 15.146.975.231 49.222.687.310 30,77

2001 14.462.459.102 53.021.897.982 27,28

2002 17.435.772.088 92.937.722.379 18,76

2003 22.857.994.979 124.543.140.698 18,35

2004 32.464.795.392 249.209.458.397 18,03

2005 50.324.021.762 310.396.091.440 16,21

2006 59.811.702.093 388.497.835.692 15,40

2007 73.186.337.984 425.841.802.589 17,19

2008 87.961.119.316 474.988.244.204 18,52

Rata-rata 20.253.275.971 112.479.920.115 23,27 Sumber : Perhitungan APBD Kabupaten Gresik, 1988-2008, data diolah


(56)

Berdasarkan Tabel 4.2 rata-rata realisasi penerimaan PAD selama periode selama periode 1988 - 2008 sebesar Rp 20.253.275.971,-. Penerimaan PAD yang paling besar terjadi pada tahun 2008 yaitu Rp 87.961.119.316,- sedangkan penerimaan PAD yang paling kecil selama periode 1988 - 2008 terjadi pada tahun 1989 yaitu sebesar Rp 1.028.181.802,- ,dilihat dari realisasi penerimaan PAD selama periode 1988 - 2008 tersebut, PAD di Kabupaten Gresik mulai tahun 1989 sampai dengan 2008 terus mengalami peningkatan.

Dilihat dari realisasi penerimaan total pendapatan total pendapatan adalah sebesar Rp 112.479.920.115,- dengan total pendapatan daerah yang paling tinggi terjadi pada tahun 2008 yaitu sebesar Rp 474.988.244.204,- sedangkan yang paling rendah terjadi pada tahun 1990 sebesar Rp 5.344.826.182,-. Sama halnya dengan PAD, total pendapatan daerah di Kabupaten Gresik selama periode 1988 - 2008 selalu mulai tahun 1990 selalu mengalami perkembangan kecuali pada tahun 2000 yang mengalami penurunan.

Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) menunjukkan kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah. Dalam tabel 4.2 tersebut selama periode penelitian (1988 - 2008) derajat desentralisasi fiskal tertinggi pada tahun 1992 yaitu sebesar 34,69%, sedangkan derajat desentralisasi fiskal terendah terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 15,40%. Tetapi kalau dilihat secara keseluruhan derajat desentralisasi fiskal di Kabupaten Gresik masih rendah, hal ini ditunjukkan selama periode penelitian (1988 - 2008) derajat desentralisasi fiskal masih di bawah 50%, belum bias mencapai angka lebih dari 50% yang berarti bahwa ketergantungan fiskal Kabupaten Gresik masih tinggi.


(57)

4.2.2. Perkembangan Ekonomi Daerah

Perkembangan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dalam penelitian ini perkembangan ekonomi daerah dilihat dari perkembangan PDRB atas dasar harga konstan di Kabupaten Gresik tahun 1988-2008. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai berikut :

TABEL 4.3

PERKEMBANGAN EKONOMI DAERAH KABUPATEN GRESIK TAHUN 1988-2008 Tahun Realisasi PDRB atas dasar Harga

Konstan (dalam juta Rp)

Perkembangan PDRB atas dasar Harga Konstan (%) 1987 299.064,25

1988 342.129,50 14,40

1989 410.589,62 20,01

1990 480.184,56 16,95

1991 582.559,91 21,32

1992 692.255,94 18,83

1993 904.155,48 30,61

1994 1.138.783,82 25,95

1995 1.516.404,54 33,16

1996 1.807.099,29 19,71

1997 2.129.666,51 17,85

1998 2.523.288,89 18,84

1999 3.073.292,78 21,80

2000 3.655.681,77 18,95

2001 4.802.103,57 31,36

2002 5.675.126,00 18,18

2003 6.219.938,09 9,60

2004 6.951.402,81 11,76


(58)

Tahun Realisasi PDRB atas dasar Harga Konstan (dalam juta Rp)

Perkembangan PDRB atas dasar Harga Konstan (%)

2006 9.333.617,69 16,12

2007 10.926.866,23 17,07

2008 11.441.521,63 4,71

Rata-Rata 3.826.497,76 16,96

Sumber : Perhitungan APBD Kabupaten Gresik, 1988-2008, data diolah

Pada Tabel 4.3 terlihat PDRB atas dasar harga konstan di Kabupaten Gresik selama periode 1988-2008 secara rata-rata sebesar Rp 3.826.497,76 juta. Nilai tersebut dari tahun ke tahun selalu mengalami perkembangan. Dilihat dari perkembangannya PDRB atas dasar harga konstan di Kabupaten Gresik selama periode penelitian (1988-2008) perkembangan yang paling tinggi terjadi pada tahun 1995 yaitu mencapai 33,16%, sedangkan perkembangan yang paling rendah terjadi pada tahun 2008 yaitu hanya sebesar 4,71%.

4.2.3. Sumbangan dan Bantuan (Block Grants)

Dalam penelitian ini variable sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants. Perkembangan sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants selama periode 1988-2008 seperti tampak pada Tabel 4.4 sebagai berikut

TABEL 4.4

SUMBANGAN DAN BANTUAN YANG BERSIFAT BLOCK GRANTS DI KABUPATEN GRESIK 1988-2008

Tahun Realisasi Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants (Rp)

Perkembangan Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants

(%) 1987 5.123.284.370

1988 5.639.711.434 10,08


(59)

Tahun Realisasi Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants (Rp)

Perkembangan Sumbangan dan Bantuan yang bersifat Block Grants

(%)

1990 8.927.340.440 34,73

1991 12.567.909.871 40,78

1992 17.806.214.704 41,68

1993 23.262.038.891 30,64

1994 30.159.233.422 29,65

1995 36.522.831.674 21,10

1996 43.411.037.728 18,86

1997 48.789.665.302 12,39

1998 57.498.620.559 17,85

1999 71.902.025.009 25,05

2000 86.943.928.641 20,92

2001 103.341.553.582 18,86

2002 120.971.622.623 17,06

2003 161.557.602.013 33,55

2004 173.819.824.006 7,59

2005 204.412.113.031 17,60

2006 235.135.253.620 15,03

2007 251.712.289.000 7,05

2008 261.283.000.000 3,80

Rata-rata 89.427.872.586 21,04

Sumber : Perhitungan APBD Kabupaten Gresik, 1988-2008, data diolah

Pada Tabel 4.4 terlihat secara rata-rata realisasi penerimaan sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants selama periode 1988-2008 Rp 98.427.872.586,- dan dilihat dari perkembangannya, nilai sumbangan dan bantuan yang bersifat Block Grants selama periode penelitian (1988-2008) selalu mengalami perkembangan dengan rata-rata perkembangannya adalah sebesar Rp 21,04%. Peningkatan yang paling tinggi terjadi pada tahun 1992 sebesar 41,68%, sedangkan peningkatan yang paling rendah selama periode penelitian adalah pada tahun 2008 yaitu sebesar 3,80%.


(60)

4.2.4. Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat

Dalam penelitian ini variabel Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat tersebut tampak seperti pada Tabel 4.5 sebagai berikut

TABEL 4.5

BAGI HASIL PAJAK PEMERINTAH PUSAT KABUPATEN GRESIK TAHUN 1988-2008 Tahun Realisasi Bagi Hasil Pajak

Pemerintah Pusat (Rp)

Perkembangan Bagi Hasil Pajak Pemerintah Pusat (%) 1987 843.408.103

1988 977.501.050 15,90

1989 1.181.027.642 20,82

1990 1.516.675.698 28,42

1991 1.951.203.286 28,65

1992 2.539.881.317 30,17

1993 3.172.057.777 24,89

1994 3.720.506.566 17,29

1995 4.310.950.958 15,87

1996 5.393.430.744 25,11

1997 6.516.882.368 20,83

1998 8.116.125.301 24,54

1999 10.690.560.247 31,72

2000 13.608.014.138 27,29

2001 17.024.986.488 25,11

2002 19.815.381.774 16,39

2003 26.168.193.170 32,06

2004 34.981.640.630 33,68

2005 37.532.009.721 7,29

2006 47.666.387.368 27,00

2007 53.166.498.878 11,54

2008 67.753.851.829 27,44

Rata-rata 16.756.690.187 23,43


(1)

4. Kondisi perekonomian global yang tidak dapat diprediksi membuat pemerintah berhati-hati menetapkan asumsi makro pada Rancangan Anggaran Pendapatan danBelanja Negara (RAPBN) 2012. Menurut Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada Kementerian Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, pemerintah perlu berhati-hati menentukan asumsi makro, meskipun kondisi perekonomian dan sentimennya saat ini cenderung positif. Selain itu, pemerintah juga masih akan menjaga defisit anggaran agar tidak terlalu tinggi.

5. Dalam menjalankan desentralisasi bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga desentralisasi di Indonesia seringkali mengalami pasang surut karena berbagai kendala yang harus dihadapi oleh pemerintah daerah terutama dalam hal keterbatasan SDM, finansial dan minimnya potensi daerah. Sehingga membuat tujuan desentralisasi seringkali tidak sejalan (bahkan di satu sisi distorsif) dengan tujuannnya. Penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) di 42 kabupaten/kota menunjukkan kendala terbesar yang saat ini dihadapi oleh pemerintah daerah adalah dalam hal desentralisasi fiskal. Karena dalam praktiknya hampir semua daerah sering kesulitan dalam mencari dan meningkatkan pendapatannya sendiri, sehingga walaupun 10 tahun desentralisasi dijalankan sebagian besar daerah masih menggantungkan penerimaannya dari bantuan pusat baik dalam bentuk block grant (DAU) maupun specific grant (DAK). Daerah-daerah yang bisa menjalankan desentralisasi fiskalnya hanyalah daerah yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah atau daerah yang berkarakteristik perkotaan besar. Bagi 92% kabupaten/kota di Indonesia yang


(2)

67

 

tidak memiliki kekayaan sumber daya alam, menjadi tidak mudah untuk melepaskan ketergantungan dari bantuan pemerintah pusat. Walaupun sebenarnya sampai saat ini di daerah-daerah penelitian tersebut semua pemerintah daerah terus berupaya untuk menumbuhkan potensi ekonominya dengan membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua investor untuk menginvestasikan modalnya di daerah masing-masing. Hanya saja, upaya tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah karena selain minimnya potensi yang membuat tidak tertariknya investor, juga keterbatasaan dana dari pemerintah daerah untuk meningkatkan fasilitas-fasilitas infrastruktur dan suprastruktur ekonomi di daerahnya. Karena itulah, satu-satunya upaya yang saat ini dilakukan pemerintah daerah untuk mengurangi tingkat ketergantungan keuangannya terhadap pemerintah pusat (walaupun tidak signifikan) dilakukan dengan cara menggenjot PAD semaksimal mungkin terutama di sektor retribusi daerah. Dampaknya cukup negatif karena retribusi yang dinaikkan tersebut rata-rata adalah retribusi yang sifatnya memberikan beban bagi rakyat miskin (retribusi kesehatan) dengan rata-rata di atas 60% dari total PAD.

6. Lemahnya derajat desentralisasi fiskal juga berdampak pada belanja daerah, dimana biaya program pembangunan sebagian besar harus ikut bergantung dari bantuan pusat sehingga celah fiskal daerah menjadi tinggi. Masalahnya APBN juga memiliki keterbatasaan yang tidak mungkin dapat menutupi tingginya celah fiskal daerah, sehingga prosentase DAU sebagian besar hanya diberikan untuk memenuhi alokasi dasar (gaji PNS) saja. Wajar jika kemudian, wajah belanja semua daerah menjadi tidak pro poor karena sebagian besar belanja telah habis


(3)

dulu untuk menutupi kebutuhan birokrasi (gaji, tunjangan, perjalanan dinas, gedung, perkantoran, dll). Itu pula, kenapa walaupun di sektor pendidikan alokasi belanja di 42 kab/kota rata/rata telah berada di atas 20% namun sebagian besar penggunaannya hanya bisa digunakan untuk memenuhi gaji guru dan dinas, tidak sampai pada program pelayanan publik seperti pengadaan dan kondisi daerah yang masih kesulitan dalam menjalankan desentralisasi fiskalnya, sangat urgen untuk memikirkan ulang (terutama bagi pemerintah pusat) perlunya membuat grand strategy yang dalam penguatan desentralisasi fiskal, agar otonomi daerah dapat berjalan lebih efektif. Grand strategy tersebut dengan memperbaiki beberapa aturan sistem yang telah ada, yang pertama menyangkut penggunaan DAU dan perampingan birokrasi. Berdasarkan hasil penelitian World Bank (2007) terhadap Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan RI, celah fiskal dan alokasi dasar dalam DAU yang digelontorkan ke daerah (miskin) perbandingannya adalah 50:50. Namun dalam praktiknya di 41 kab/kota yang hasilnya rata-rata 80:20. Kesimpang-siuran ini paling tidak harus dijawab dengan perlunya sebuah aturan mengenai batas minimal perbandingan penggunaan antara alokasi dasar dan celah fiskal yang bersifat proporsional dan memungkinkan bagi daerah miskin untuk bisa membiayai pembangunan di daerahnya.

7. Krisis ekonomi tahun 1998 yang mengakibatkan kerusakan struktural perekonomian di beberapa Negara menyebabkan fluktuasi yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan output terhadap tern berupa kontrasi atau ekspansi ekonomi yang kemudian membentuk suatu pola siklus naik turun. aktifitas naik


(4)

69

 

turunnya perekonomian tersebut terekam dalam agregat ekonomi yang tertrasmisi ke kinerja penerimaan yang tercermin dalam APBN. Menurut Edi Wahyudi, Program Doktor (S-3) IPB, Salah satu komponen penting di sisi penerimaan dalam APBN adalah sektor pajak. Untuk mendorong pertumbuhan pendapatan Negara dalam mewujudkan kemandirian keuangan bangsa dalam membiayai pembangunan melalui optimalisasi penggalian dana yang bersumber dari dalam negeri, maka pemerintah perlu menyusun berbagai kebijakan fiskal, baik di bidang perpajakan maupun Negara bukan pajak


(5)

Arsyad, Lincolin, 1999. Ekonomi Pembangunan, Edisi Keempat, STIE YKPN,Yogyakarta

Davey, Kenneth 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI-Press, Jakarta

Devas, N., Binder, B., Both, A., Davey, K., Kelly, R., 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, cetakan Pertama, UI-Press, Jakarta

Juned M.J., Thoha M., Darwin M., 1995. “ Implementasi Kebijakan Program Bantuan Pembangunan Daerah Tingkat II, Studi Kasus di Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Utara”, Laporan Penelitian, BPPS, UGM, Yogyakarta

Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1996

Koswara, 2000. “Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU Nomer 22 Tahun 1999: Suatu Telaahan Menyangkut Kebijakan, Pelaksanaan dan Kompleksitasnya”, Tahun XXIX Nomer 1, 36 – 53

Kunarjo, 1993, Perencanaan dan Pembiayaan Pembangunan, Edisi Kedua, UI-Press, Jakarta

Kuncoro, Mudrajad, 2003. Ekonomi Pembangunan, Edisi ketiga, AMP YKPN, Yogyakarta

Mangkoesoebroto, G., 1998. Ekonomi Publik, Edisi Ketiga, BPFE, Yogyakarta Mardiasmo, 2002. Otonomi Dan Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta Nanga, Muana, 1991, “Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II (Suatu Studi Kasus di

Kabupaten Malang, Probolinggo dan Trenggalek, Jawa Timur)”, Tesis Program Pasca Sarjana (Tidak Dipublikasikan), UGM, Yogyakarta

Nopirin, 1996. “Globalisasi dan Regionalisasi Ekonomi: Indikator dan Trend Ekonomi Daerah, Pendekatan Makro”, Modul Program PMSES (Tidak Dipublikasikan), Yogyakarta

P.H., Soetrisno, 1982. Dasar-Dasar Keuangan Negara, Cetakan Kedua, BPFE, Yogyakarta


(6)

71

 

Radianto, Elia, 1997. “Otonomi Keuangan Daerah Tingkat II, Suatu Studi di Maluku”, Prisma, No. 3 Tahun XXVI, LP3ES, Jakarta, 39 – 50

Shah, A., Zia, Q., Bagchi, A., Binder, B., Heng-fu, Zai, 1994. “Intergovermental Fiscal Relations in Indonesia Issues and Reform Options”, The World Bank, Washington DC,82 – 97

Sumodiningrat, Gunawan, 1998. Ekonometrika, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta Tjokroamidjojo, Bintoro, 1994. Perencanaan Pembangunan, MASAGUNG,

JakartaTodaro, Michael, 1997. Economic Development, Sixth Edition, Addisson Wesley Longman Ltd., Harlow, England

Usman, Marzuki, 1996. “Strategi Pembiayaan Pengembangan Otonomi Daerah”, Makalah Seminar, Jakarta

Widodo, S. Triyanto, 1993. Indikator Ekonomi, Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta