Putut Wisnu Kurniawan S 861102011

(1)

commit to user

PENDIDIKAN KARAKTER POLA TAMANSISWA DAN PONDOK PESANTREN KRAPYAK YOGYAKARTA

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Magister

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

Putut Wisnu Kurniawan S 861102011

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012


(2)

commit to user

PEI{DIDIKAN KARAKTER POLA TAMANSISWA DAIT PONDOK PESAI\ITREN KRAPYAK YOGYAKARTA

TESIS Oleh

Putut Wisnu Kurniawtn NIM. 5861102011

Tim Penguji Jabatan" Ketua Sekretaris Anggota Penguji

r*raurt*re*,

J-

29 Tanggal

-o7

-

2otL

19

-o1

-zotz

15 -07

-

20la

l'g- 07 -

zatL

Nama

Prof. Dr. Sri Yutrnini, M.Pd

NIP.-Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd NIP. 194403151978041001

Prof. Dr. Husain Haikal, MA NrP. 194409091 970 101001

Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd NrP. 19560303198603 1001

Telah dipertahankan di depan dinyatakan memenuhi syarat

Pada tanggal 16 Juli 2012

Pascasarjana UNS Ketua Progrr Studi Pendidikan Sejmah

Dr. He u Joebagio, M.Pd

llI W.tAhmad, Yunus, MS


(3)

commit to user xvi

Putut Wisnu Kurniawan. 2012. S 861102011. Pendidikan Karakter Pola Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Husain Haikal, MA, Pembimbing II: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Pola penerapan pendidikan karakter, (2) Persepsi pengajar dan siswa terhadap pendidikan karakter dan (3) Aktualisasi nilai karakter pada siswa. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan di Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif dengan strategi studi kasus ganda terpancang. Cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dengan criterion-based selection. Pengumpulan data dilaksanakan dengan observasi langsung, wawancara mendalam, dan pencatatan dokumen. Validasi data dilakukan dengan trianggulasi. Analisis yang digunakan adalah model analisis interaktif, yaitu pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa (1) Pola penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan MA Ali Maksum menggunakan pola yang hampir sama yaitu melalui kurikulum pembelajaran (terdapat pelajaran yang mengajarkan akhlak atau budi pekerti), kegiatan ekstrakurikuler, budaya sekolah, dan keteladanan guru. Pola lain yang diterapkan di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan adalah sistem among yaitu metode mendidik yang berjiwa kekeluargaan yang bersendi kepada kemerdekaan dan kodrat alam. Sistem ini diterapkan untuk memberikan siswa kemerdekaan untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya dengan pendekatan kekeluargaan. Pola yang lain untuk mengembangkan pendidikan karakter di MA Ali Maksum dengan model asrama (pondok pesantren). (2) Persepsi guru dan siswa mengenai pendidikan karakter akan mempengaruhi dalam penerapannya di sekolah. Persepsi guru dan siswa tentang pendidikan karakter yang muncul di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan lebih menekankan pada konsep budi pekerti yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara, sedangkan di MA Ali Maksum persepsi guru dan siswa lebih menekankan pada karakter Islam. Persepsi tersebut didasari dengan ideologi yang diterapkan di sekolah masing-masing. (3) Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dapat dilihat dari aktualisasi (pengamalan) siswa berupa sikap atau tindakan yang terlihat pada siswa. Aktualisasi yang muncul pada siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan adalah meliputi toleransi, religius, disiplin, kejujuran, kreatif, kerjasama, komunikatif, peduli, mandiri, cinta tanah air dan tanggung jawab. MA Ali Maksum dengan konsep pondok pesantren mempunyai nilai lebih beragam salah satunya kesabaran, kesederhanaan yang terlihat dalam kegiatan sehari-hari.

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pola, Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.


(4)

commit to user xvii

Putut Wisnu Kurniawan. 2012. S861102011. Character Education Model Tamansiswa and Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. THESIS. Principal advisor I: Prof. Dr. Husain Haikal, MA, Co-advisor: Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd. History Education Post-Graduate Program of Sebelas Maret University Surakarta.

ABSTRACT

The study has goals to investigate (1) the model of character education implementation, (2) teachers’ and students’ perception toward character education, and (3) actualization of character value to the students. The study was done at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan and MA Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

The study is descriptive qualitative by double-case study strategy, direct observation, in-depth interviews and recording of documents or archives. Data validity is done by triangulation, is data triangulation, investigator triangulation, methodological triangulation and theoretical triangulation. The analysis used is an interactive analysis model, namely data collection, data reduction, data presentation, and drawing conclusions.

The result of the study can be concluded that (1) the model of character education implementation used between SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan and MA Ali Maksum is the same model which consits of the school curriculum (there are subjects which learn about manner or good moral), extracurricular activities, school culture, and teachers model of good character. The other model which is implemented at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan is “among” system; a teaching method which has family characteristics which is based on freedom and their own character. This system is implemented in order to give students a freedom to grow-up base on their skills by family approach. The other model to develop character education at MA Ali Maksum is boarding-school model. (2) The teachers’ and students’ perception toward the character education will influence the system implementation on that school. The teachers’ and students’ perception toward character education which is shown at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan tends to teach good moral which is taught by Ki Hadjar Dewantara, meanwhile at MA Ali Maksum, it tends to the Islamic character teaching. Those perceptions are based on ideology which is implemented on each school. (3) The result of the character education in the school can be reflected from the students’ actualization on their attitude or act form the students. The actualization or acts which are shown by the students at SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan are a tolerance, a religion, a discipline, an honesty, a creactive, a cooperative, a care, an independence, a nationalist, and a responsibility. Meanwhile, MA Ali Maksum which applies the “pondok pesantren” concept has the higher value such as the a patient and a modesty that are shown from their daily activities.

Key words: Character education, Model, Tamansiswa and Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta


(5)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini globalisasi merupakan kenyataan yang dapat mempengaruhi semua segi kehidupan. Segi batas wilayah sudah tidak menjadi penghalang untuk mengetahui perkembangan informasi di dunia, salah satunya informasi bidang pendidikan. Pendidikan menjadi bagian yang penting untuk mengembangkan peradaban bangsa. Sejumlah peradaban besar tidak lahir dari kegiatan ekonomi dan politik semata, tetapi juga lahir dari pendidikan. Nilai-nilai pendidikan akan menjadi dasar peradaban apabila negara mendorong penuh usaha memperbaiki sistem, sarana, kebijakan yang tepat dan didukung sumber daya manusia yang profesional. Ini yang menjadi tantangan dunia pendidikan di Indonesia.

Tantangan pendidikan tidak terlepas dengan adanya krisis yang mulai merusak dunia pendidikan di Indonesia. Menurut Winarno (2007: 4), pendidikan dan kebudayaan ibarat keping mata uang logam, antar sisi satu dengan sisi yang lain tidak bisa saling dilepaskan. Pendidikan tanpa kebudayaan menjadi tidak bermakna, sebaliknya kebudayaan tanpa pendidikan tidak akan berpijak ke bumi.

Berbeda dengan pendapat Winarno, Syarifuddin Jurdi (2010: 29) berpendapat nilai-nilai pendidikan yang harus diperhatikan adalah untuk membentuk manusia yang cerdas, berkualitas, kreatif, dan membentuk karakter bangsa yang harus menjadi perhatian utama negara. Hal itu berbalik karena pendidikan yang dikembangkan dewasa ini telah terbawa pada kegiatan bisnis yang pada akhirnya hanya pada


(6)

commit to user

pencapaian tujuan kapitalisme semata. Biaya dan tuntutan sekolah di zaman sekarang tidak terlepas dari biaya yang cukup mahal. Tujuan ini tidak sesuai dan sudah melenceng dengan tujuan pendidikan yang diharapkan menurut Undang-Undang.

UUD 1945 mengamanatkan mengenai pentingnya pendidikan bagi seluruh warga negara seperti tertuang di dalam Pasal 28 B Ayat (1) bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya demi meningkatkan mutu hidupnya demi kesejahteraan umat manusia, dan Pasal 31 Ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, Kemendikbud sebagai penanggungjawab pendidikan nasional mempunyai visi menciptakan insan Indonesia cerdas dan kompetitif.

Dalam pasal 1 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian, dan karakter. Dengan demikian pendidikan tidak hanya membentuk insan cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter kuat dan berakhlak mulia yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa dan agama.

Dalam mewujudkan visi pendidikan tersebut Kemendikbud telah menetapkan misinya yaitu mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif dengan adil, bermutu, dan relevan untuk kebutuhan


(7)

commit to user

masyarakat global. Untuk mewujudkannya dibutuhkan mental atau psikologi dan karakter yang baik.

Masalah bangsa Indonesia sebenarnya terletak pada sistem dan manusia-manusia penyelenggara sistem tersebut. Untuk itu menurut Tyasno Sudarto, (2007: 29), dibutuhkan sosok pemimpin yang kuat dan berani bertindak berdasarkan kebenaran. Perbaikan itu hanya mungkin dilakukan salah satunya melalui pendidikan. Oleh karena itu peran pengajar atau guru menjadi sangat strategis dalam mendampingi peserta didik supaya tumbuh dan berkembang menjadi insan yang merdeka jiwa, pikiran, dan jasmaninya.

Pendapat itu sama dengan konsep Ki Hadjar Dewantara, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologinya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut adanya pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakat.

Jika melihat sejarah bangsa Indonesia, pendidikan karakter sesungguhnya bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar Dewantara, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, R.A Kartini, dan Moh. Hatta dulu pernah menerapkan semangat pendidikan karakter salah satunya berupa keteladanan sebagai pembentuk nilai-nilai suatu jati diri bangsa. Pada masa itu mereka mengajarkan budi pekerti, nilai-nilai dan juga semangat cinta tanah air. Hal itu dikarenakan sebagai


(8)

commit to user

tujuan dan keadaan pada saat itu. Dengan suasana seperti itulah semangat cinta tanah air dapat berkembang dalam masyarakat.

Melalui sekolah, semangat cinta tanah air, nilai budi pekerti atau pendidikan karakter dalam setiap proses pembelajaran seharusnya dapat dikembangkan. Dalam proses pembelajaran jika dijiwai dengan semangat pendidikan karakter, akan menjadi suatu tempat dan lingkungan yang efektif untuk pembentukan pribadi sehingga mereka atau siswa bisa berkembang baik dalam bermasyarakat. Menurut Doni Koesoema (2007: 222), sejak dahulu sekolah memiliki dua tujuan utama dalam pendidikan mereka, yaitu membentuk manusia yang cerdas dan baik.

Dengan dua keyakinan ini sekolah memiliki tanggungjawab yang besar dalam pendidikan karakter bagi anak didiknya, terutama melalui disiplin, keteladanan, dan organisasi sekolah (kebijakan dan kurikulum). Sekolah ataupun lembaga pendidikan harus mempunyai keberanian untuk menanamkan pemahaman konseptual dan praktik yang dipandu oleh nilai-nilai luhur yang akan membantu menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan manusiawi.

Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) setiap sekolah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan atau memasukkan pendidikan karakter. Tentunya dengan adanya otonomi sekolah, usaha mengembangkan kurikulum dan memasukkan pendidikan karakter akan lebih mudah serta membuat ciri dari masing-masing sekolah. Dalam pendidikan karakter Kemendikbud mewajibkan memasukan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Hal ini bisa dipengaruhi ideologi


(9)

commit to user

sekolah dan peran para pengajar terutama dalam pengembangan dan penerapan pendidikan karakter.

Penerapan pendidikan karakter harus diimbangi dengan pemahaman guru tentang karakter yang baik dan dapat menjadi contoh bagi siswanya. Guru terkadang belum mampu menjadi teladan bagi siswanya. Lingkungan yang baik dan kondusif tentunya akan berdampak baik bagi warga sekolah. Sebaliknya, apabila lingkungan tidak kondusif maka muncul berbagai karakter yang negatif. Misalnya terjadi tawuran pelajar, kekerasan, dan muncul ketidakadilan serta ketidakjujuran dari siswa adalah salah satu contoh belum berhasilnya tujuan pendidikan sesuai dengan Pasal 1 Sisdiknas tahun 2003 .

Pendidikan seharusnya bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa. Jika ingin merunut sejarah pendidikan di Indonesia bisa dipastikan akan membantu mengangkat wajah pendidikan di Indonesia. Beberapa tokoh yang merintis model pendidikan yang berwajah Indonesia salah satunya Ki Hadjar Dewantara. Pendidikan ini juga menjadi media mengobarkan semangat perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia (Daoed Joesoef, 2007: 6). Setelah Indonesia merdeka pendidikan mengemban misi menyiapkan generasi untuk mengisi kemerdekaan.

Pada tahun 2010 melalui Menteri Pendidikan Nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter. Output atau hasil dari pendidikan selama ini masih jauh dari harapan. Para pendidik yang mestinya mendidik malah harus dididik. Para pejabat yang semestinya melayani masyarakat malah minta dilayani dan itu sebagian dari fenomena yang bersumber pada karakter. Selain itu media sebagai tontonan


(10)

commit to user

masyarakat masih jauh dari identitas bangsa. Hal tersebut berdampak pada masyarakat secara keseluruhan.

Hancurnya nilai-nilai moral dalam masyarakat yang ditandai dengan merebaknya kekerasan, ketidakadilan, dan korupsi mengakibatkan lahirnya pendidikan karakter yang perlu dikembangkan di sekolah ataupun lembaga pendidikan. Lingkungan sekolah seharusnya bisa menjadi unsur terpenting bagi pertumbuhan pendidikan karakter. Lembaga pendidikan dapat menciptakan sebuah pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum, penegakan disiplin, manajemen kelas, maupun melalui program-program pendidikan yang dirancangnya.

Berbagai macam cara pandang pendidikan budi pekerti, baik itu dianggap sebagai mata pelajaran khusus, atau tergabung dalam mata pelajaran lain seperti Pendidikan Agama, Sejarah, PPKn atau Pendidikan Kewarganegaraan menunjukan bahwa bangsa ini sebenarnya memiliki keprihatinan mendalam tentang pembentukan karakter bangsa. Situasi ini sesungguhnya menantang untuk kembali dapat meletakkan dan memahami pendidikan karakter bagi pembentukan kepribadian bangsa (Doni Koesoema, 2007: 50-51).

Pendidikan karakter dianggap penting dan sudah dimasukkan dalam proses pembelajaran. Peran lembaga pendidikan dan guru sangat penting demi terciptanya tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini peneliti ingin mengkaji Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak di Yogyakarta karena melihat adanya perbedaan antar keduanya tentang ideologi atau karakteristik dan tentunya pelaksanaan sistem pendidikan yang berhubungan dengan pendidikan karakter akan juga berbeda.


(11)

commit to user

Persepsi pengajar yang mempunyai latar belakang berbeda akan mempengaruhi pola pendidikan karakter di sekolah. Persepsi inilah yang akan dikembangkan peneliti dan pola penerapannya. Tamansiswa yang terlihat kuat pengaruh dari ajaran Ki Hadjar Dewantara mengenai budi pekerti dan nilai-nilai moral akan berbeda dengan konsep Pondok Pesantren Krapyak di Yogyakarta. Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta mempunyai cara tersendiri untuk mengembangkan pendidikan karakter dalam model pembelajarannya. Dengan konsep pendidikan Islam dan model pondok pesantren akan mempengaruhi pembentukan karakter di Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Topik ini yang akan menjadi kajian penulis untuk diteliti lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

Pentingnya pendidikan karakter yang diterapkan di Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dapat dilihat dari latar belakang tersebut. Untuk memperjelas mengenai pola penerapan pendidikan karakter di Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pola penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta?


(12)

commit to user

2. Bagaimana persepsi pengajar dan siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta terhadap pendidikan karakter?

3. Bagaimana aktualisasi atau pengamalan nilai karakter pada siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, peneliti memiliki tujuan penelitian yang akan dicapai. Tujuan itu antara lain sebagai berikut.

1. Mengetahui pola penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

2. Mengetahui persepsi pengajar dan siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta terhadap pendidikan karakter.

3. Mengetahui aktualisasi atau pengamalan nilai karakter pada siswa di SMA Taman Madya Ibu dan di Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.


(13)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini mempunyai manfaat teoritis dan praktis. Manfaatnya adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan, khususnya mengenai penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru

Sebagai motivasi bagi guru atau pengajar untuk lebih meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya dalam penerapan pendidikan karakter di sekolah atau pondok pesantren.

b. Bagi Siswa

Sebagai saranan bagi siswa atau santri supaya memperoleh pengetahuan atau output atau hasil dalam pedidikan karakter yang diterapkan oleh masing-masing sekolah.

c. Bagi Sekolah

Sebagai upaya peningkatan kualitas sekolah melalui kegiatan pembelajaran yang humanis yang bermuara pada penerapan pendidikan karakter yang baik.


(14)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Pendidikan Karakter

a) Pengertian Karakter

Orang yang memiliki karakter kuat adalah mereka yang tidak mau dikuasai oleh sekumpulan kenyataan yang telah ada begitu saja dari asalnya. Sedangkan, orang yang memiliki karakter lemah adalah orang yang tunduk pada sekumpulan kondisi yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Orang yang berkarakter adalah seperti orang yang membangun dan merancang masa depannya sendiri. Dia tidak mau dikuasai oleh keadaan kodratinya yang menghambat pertumbuhannya. Sebaliknya, dia menguasai, mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya, (Doni Koesoema, 2007: 91).

Menurut Mounir yang dikutip Doni Koesoema (2007: 90-91) bahwa karakter dapat dilihat dari dua hal yaitu pertama sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui seorang pribadi mampu menguasai keadaan tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).


(15)

commit to user

Proses yang terlihat akan memberikan hasil dan menjadi kebiasaan. Menurut Dwi Budiyanto (2011: 83), karakter merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akan muncul secara spontan jika diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Karakter juga bersifat spontan dan alami, serta perilaku tersebut belum cukup apabila tidak sesuai dengan norma moral yang berlaku.

Secara umum menurut Marzuki (2011: 95), karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal atau umum yang meliputi seluruh aktifitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter inilah muncul konsep pendidikan karakter (character education).

Secara khusus karakter mempuyai pengertian watak, sifat atau hal-hal yang memang sangat mendasar yang ada pada diri seseorang. Hal-hal yang sangat abstrak yang ada pada diri seseorang. Karakter dapat ditemukan dalam sikap-sikap seseorang, terhadap dirinya, terhadap orang lain, terhadap tugas-tugas yang dipercayakan padanya dan dalam situasi-situasi lainnya, (Abdul Majid dan Dian Andayani 2011: 12).

Allport dikutip dalam Ki Fudyartanta (1998: 4) berpendapat bahwa “…character is personality evaluated, and personality is character devaluated….” artinya bahwa karakter atau watak adalah kepribadian yang dinilai dan kepribadian


(16)

commit to user

adalah karakter yang tidak dinilai. Jelasnya bahwa kepribadian yang telah terlibat dengan nilai-nilai budaya manusia ini maka terbentuklah watak. Konkritnya, bahwa setiap tingkah laku manusia termasuk penyesuaiannya di dalam masyarakat pasti berhadapan atau berdasarkan nilai-nilai tertentu. Misalnya seseorang memberi uang kepada pengemis, seseorang menolong temannya dan sebagainya.

Socrates berpendapat tentang karakter yaitu“…identified virtue with ethical knowledge (specifically, with knowledge of which things are intrinsically good and intrinsically evil), and so maintained that the truly virtuous consistently act virtuously….”, Erik J. (2006: 462). Socrates menjelaskan bahwa kebajikan atau kebaikan itu berhubungan dengan pengetahuan etika yang dimiliki (khususnya dengan pengetahuan yang hal-hal yang baik dan jahat), dan mempertahankan bahwa benar-benar bertindak berbudi pekerti secara konsisten. Artinya perlu ada pemahaman dari manusia dalam melakukan kebaikan, sehingga mengerti baik dan buruk serta manusia harus bisa mempertahankan secara tetap.

Pengertian di atas lebih lanjut dijelaskan Thomas Lickona mengenai unsur-unsur untuk membentuk karakter yang baik. Menurut Thomas Lickona (1991: 51) sebagai berikut:

Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling and moral behavior. Good character consists of knowing the good, desiring the good, and doing the good, habits of the mind, habits of the heart and habits of action. All three are necessary for leading a moral life; all three make up moral maturity. When we think about the kind of character we want to children , it’s clear that we want them to be able to judge what is right, car deeply about what is right, and then do what they believe to be right even in the face of pressure from without and temptation from within.


(17)

commit to user

Dari penjelasan Thomas Lickona karakter memiliki tiga bagian yang saling berhubungan yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri dari mengetahui moral yang baik terlebih dahulu, menginginkan orang berbuat baik dan melakukan kebiasaan baik dari pikiran dan kebiasaan tindakan. Ketiganya diperlukan untuk memimpin sebuah kehidupan moral serta membentuk kematangan moral ketika berpikir tentang jenis karakter, pengajar ingin anak-anak jelas bahwa ada keinginan mereka bisa menilai apa yang benar, kemudian mendalami tentang apa yang benar dan kemudian melakukan apa yang mereka yakini benar bahkan dalam menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.

Menurut Thomas Lickona, (2004: 7) tentang karakter yang baik adalah sebagai berikut.

The content of good character is virtue. Virtues such as honesty, justice, courage, and compassion are dispositions to behave in amorally good way. They are affirmed by societies and religions around the world. Because they are intrinsically good, they have a claim on our conscience. Virtues transcend time and culture (although their cultural expression may vary);

justice and kindness, for example, will always and everywhere be virtues, regardless of how many people exhibit them.

Thomas Lickona menekankan isi dari karakter yang baik adalah kebajikan. Kebajikan dapat dicontohkan dengan sikap kejujuran, keadilan, keberanian dan belas kasih adalah perilaku atau sikap yang baik. Dijelaskan juga secara terkandung bahwa dalam masyarakat dan nilai-nilai agama dapat mempengaruhi karakter, selanjutnya juga dikatakan kebajikan juga dapat muncul melalui budaya. Karakter baik perlu didukung dengan komponen-komponen, sehingga bisa


(18)

commit to user

menciptakan nilai-nilai yang baik. Menurut Thomas Lickona (1991: 53) komponen untuk membentuk karakter yang baik adalah sebagai berikut.

Bagan Komponen Karakter Baik Thomas Lickona (1991:53)

Thomas Lickona (1991:56-62), menekankan untuk mendapatkan pengetahuan yang baik tentang moral perlu adanya kesadaran moral, pengetahuan nilai-nilai moral, pengambilan sudut pandang, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan diri adalah nilai yang dapat membentuk moral. Semua memberikan sumbangan penting ke sisi penanaman karakter. Hati nurani, harga diri, empati, mencintai, pengawasan diri yang baik, kerendahan hati ini membentuk sisi emosional dari diri moral kita. Jadi pengetahuan tentang kebaikan kemudian akan

Moral knowing

1. Kesadaran moral 2. Mengetahui nilai

moral

3. Penentuan sudut pandang

4. Penalaran moral 5. Pengambilan

keputusan 6. Pengetahuan diri

Moral feeling

1. Hati nurani 2. Penghargaan diri 3. Empati

4. Mencintai kebaikan 5. Kontrol diri 6. Kerendahan hati

Moral action

1. Kompeten 2. Aksi 3. Kebiasaan


(19)

commit to user

menimbulkan komitmen atau niat terhadap kebaikan dan akhirnya benar-benar melakukan tindakan kebaikan.

Dalam penjelasan bagan di atas pendidikan karakter menuju terbentuknya moral yang baik dalam diri setiap siswa ada tiga tahapan strategi yang harus dilalui diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Moral knowingatau learning to know

Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter. Dalam tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai. Siswa harus mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai universal, siswa secara logis dan rasional mengerti pentingnya akhak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan.

2. Moral lovingatau moral feeling

Belajar mencintai dengan melayani orang lain. Belajar mencintai dengan cinta tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran guru adalah dimensi emosional siswa, hati atau jiwa. Guru menyentuh emosi siswa sehingga tumbuh kesadaran, keinginan dan kebutuhan.

3. Moral doingatau learning to do

Inilah puncak keberhasilan mata pelajaran akhlak, siswa mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya sehari-hari. Siswa menjadi semakin sopan, ramah, hormat, jujur, penyayang, displin, adil. Contoh atau teladan adalah guru yang paling baik dalam menanamkan nilai.


(20)

commit to user

Konsep pendidikan karakter juga disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu karakter adalah budi. Manusia menurut Ki Hadjar Dewantara, (1967: 70), adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi tidak lain artinya jiwa yang telah melalui batas kecerdasan yang tertentu, sehingga menunjukkan perbedaan yang tegas dengan jiwa makhluk lain (hewan). Jiwa manusia merupakan pembeda kekuatan-kekuatan, yang dikenal dengan sebutan konsep tri sakti. Ketiga kekuatan itu adalah fikiran, rasa dan kemauan atau cipta, rasa dan karsa.

Tri sakti ini yang disebut Ki Hadjar Dewantara sebagai budi. Setiap manusia mempunyai sifat budinya masing-masing. Sifat yang tetap dan pasti serta karenanya disebut watak dan dalam bahasa dipakai perkataan budi pekerti dan itu lebih tegas karena pekerti berarti tenaga. Budi pekerti berarti mempunyai sifat dari budinya (batin) sampai pekertinya (lahir).

Karakter dapat dilihat dari tingkah laku ketika orang berinteraksi, yang memiliki arti psikologis dan etis. Dalam arti psikologis, karakter adalah sifat-sifat yang demikian nampak dan seolah-olah mewakili pribadinya, sedangkan dalam arti etis, karakter harus mengenai nilai-nilai yang baik dan menunjukkan sifat-sifat yang selalu dapat dipercaya, sehingga orang berkarakter itu menunjukkan sifat mempunyai pendirian teguh, baik, terpuji dan dapat dipercaya. Berkarakter berarti memiliki prinsip dalam arti moral di mana perbuatannya atau tingkah lakunya dapat dipertanggungjawabkan dan teguh.

Karakter dijabarkan oleh Ryan dan Bohlin yang dikutip Abdul Majid, (2011: 11), menjelaskan bahwa karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui


(21)

commit to user

kebaikan (knowing good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Karakter itu harus diketahui, dicintai dan dilakukan. Unsur-unsur tersebut kemudian dijabarkan sesuai dengan kemampuan masing-masing lembaga.

Menurut Abdul Mujib (2006: 45), karakter adalah watak, perangai, sifat yang khas atau sifat yang tetap terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan cirri untuk mengidentifikasikan seseorang. Elemen karakter terdiri atas dorongan-dorongan, insting, refleks, kebiasaan, kecenderungan, perasaan, emosi, dan minat.

Dengan demikian karakter merupakan ciri khas dari setiap pribadi yang berkaitan dengan jati diri, hati (batiniyah atau rohaniah), cara berfikir serta cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) dalam hidup seseorang yang harus memberikan respon atau jawaban terhadap lingkungan baik keluarga, masyarakat ataupun negara.

b) Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dimaknai sebagai keseluruhan dinamika rasional antar pribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggungjawab atas pertumbuhan dirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka, (Sri Haryati, 2011: 5-6).


(22)

commit to user

Jika dilihat dari kacamata sosiologi dan politis, pendidikan karakter merupakan kepentingan negara, karena negara berkepentingan agar individu dapat memiliki persiapan yang matang ketika harus masuk dalam kehidupan politik masyarakat normal dan wajar tanpa kesulitan. Tanpa persiapan diri untuk menjadi warga negara yang baik (good citizen), dia akan mengalami kesulitan, tidak mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga memiliki potensi menjadi pengganggu dinamika dan kemapanan masyarakat.

Tokoh filsuf Jerman, Johann Herbart mengatakan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah perkembangan moral dan manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang baik, tetapi kalau moral dan pengetahuannya tidak dikembangkan, mereka akan cenderung membuat kesalahan, (Ari Benawa, 2010: 40-42). Tokoh pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara juga mengungkapkan pendapatnya tentang pendidikan karakter yaitu “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Artinya di depan memberi contoh atau teladan, di tengah ikut berkarya, dan di belakang ikut mendukung.

Pendidikan karakter merupakan sebuah keadaan dinamis stuktur antropologis individu, yang tidak mau sekedar berhenti atas determinisme kodratinya, melainkan juga sebuah usaha hidup untuk menjadi semakin integral mangatasi determinisme alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus-menerus. Karakter sekaligus berupa hasil dan proses dalam diri manusia yang sifatnya stabil dan dinamis untuk senantiasa berkembang maju mengatasi kekuarangan dan kelemahan dirinya, (Doni Koesoema, 2007 : 104).


(23)

commit to user

Dalam penerapannya pendidikan karakter lebih mengutamakan pertumbuhan moral. Menurut Doni Koesoema, (2007: 136) pemikiran pendidikan karakter merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Penanaman nilai dalam diri siswa dan pembaharuan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan perseorangan merupakan dua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan.

Pendidikan dan pengajaran sangat lekat dengan karakter. Menurut Ki Fudyartanta, (2010: 283) pendidikan adalah suatu upaya untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk meningkatkan kualitas perilakunya ke arah yang lebih baik dan lebih maju. Jadi secara tersirat pendidikan itu telah bermuatan untuk menanamkan kesadaran terhadap semua nilai-nilai kebaikan dan keburukan, sehingga diharapkan para lulusannya meningkat perilaku baiknya dari waktu ke waktu dan perilaku yang buruk berkurang.

Menurut Samsuri (2011: 8) pendidikan karakter hendaknya mencakup aspek pembentukan kepribadian yang membuat dimensi nilai-nilai kebajikan universal dan kesadaran kultural dimana norma-norma kehidupan itu tumbuh dan berkembang. Pendidikan karakter mampu membuat kesadaran individu untuk berperilaku dalam kehidupan sosial atau masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat Mastuhu (2003: 136) berpendapat bahwa pendidikan bisa mengembangkan human dignity yaitu harkat dan martabat manusia atau humaniziny human yaitu memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Sifat menghargai, toleransi dan


(24)

commit to user

mampu menjadi teladan baik merupakan ciri dari konsep yang diusung dari pendidikan karakter.

Yudi Latief yang dikutip Sabar Budi Raharjo (2010: 232) berpendapat pendidikan karakter adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan sosial. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan peserta didik.

Dalam pengertian makna pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan penerapan pembelajaran serta penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama


(25)

commit to user

ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut, Maksudin (2012: 4) menambahkan pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan maupun kebangsaan. Pendidikan karakter merupakan suatu penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri peserta didik yang tidak harus merupakan satu program atau pelajaran secara khusus.

Pendidikan karakter di sekolah bisa efektif dan berjalan dengan baik apabila ada komponen yang menjadi bagian dalam sekolah. Menurut Risworth Kidder yang dikutip Abdul Majid (2011: 37-38), ada tujuh kualitas yang diperlukan dalam pendidikan karakter, yaitu empowered, effective, extended into community,embedded,engaged, epistemologicaldanevaluative.

1. Empowered (pemberdayaan). Guru harus mampu memberdayakan dirinya untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan dimulai dari dirinya sendiri. 2. Effective, proses pendidikan harus dilaksanakan dengan efektif.

3. Extended into community, komunitas harus membantu dan mendukung sekolah dalam menanamkan nilai-nilai.

4. Embedded, integrasikan seluruh nilai ke dalam kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajaran.


(26)

commit to user

5. Engaged, melibatkan komunitas dan menampilkan topik-topik yang cukup esensial.

6. Epistemological, harus ada koherensi antara cara berfikir makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu siswa menerapkannya secara benar. 7. Evaluative, menurut Kidder terdapat lima hal yang harus diwujudkan dalam

menilai manusia berkarakter, yaitu: (a) diawali dengan kesadaran etik; (b) adanya kepercayaan diri untuk berpikir dan membuat keputusan tentang etik; (c) mempunyai kapasitas untuk menampilkan kepercayaan diri secara praktis dalam kehidupan; (d) mempunyai kapasitas dalam menggunakan pengalaman praktis tersebut dalam sebuah komunitas; (e) mempunyai kapasitas untuk menjadi agen perubahan dalam merealisasikan ide-ide etik dan menciptakan suasana yang berbeda.

Berdasarkan hal tersebut Dasim Budimansyah dalam Abdul Majid (2011: 109-110) berpendapat bahwa program pendidikan karakter perlu dikembangkan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut.

1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau kelas terakhir SMP. Pendidikan karakter bangsa di SMA adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.


(27)

commit to user

2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa dilakukan melalui kegiatan kurikuler setiap mata pelajaran, kurikuler dan ekstra kurikuler. Pembinaan karakter melalui kegiatan kurikuler mata pelajaran pendidikan Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama harus sampai melahirkan dampak instruksional (instructional effect) dan dampak pengiring (nurturant effect), sedangkan bagi mata pelajaran lain cukup melahirkan dampak pengiring.

3. Nilai tidak diajarkan, tetapi dikembangkan (value is neither cought nour taught, it is learned) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat ditangkap sendiri dan diajarkan, tetapi lebih jauh diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya adalah nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori dan prosedur ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran tertentu.

4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan guru. Guru menerapkan prinsip tut wuri handayani

dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.


(28)

commit to user

Prinsip tersebut hampir sama dengan pendapat Thomas Lickona. Menurut Lickona yang dikutip Maksudin (2012: 4), terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter berjalan efektif yaitu (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai pondasi karakter yang baik, (2) definisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa.

Selanjutnnya (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggungjawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai untuk membimbing peserta didik, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter dan sejauh mana siswa mengamalkan karakter yang baik.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai seperti kejujuran, kepedulian, keadilan, tanggungjawab dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan,


(29)

commit to user

etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagi basis gerakan karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu dan menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antar manusia dengan mengaplikasikan di sekolah dan masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut pendidikan karakter adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai baik dalam diri peserta didik secara umum dan harus ada program pendukung baik dalam proses pembelajaran atau di luar proses tersebut.

2. Pendidikan Sekolah Tamansiswa

a) Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Tentang Pendidikan

Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa pendidikan ialah usaha kebudayaan yang bermaksud memberi bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak agar dalam kodrat pribadinya serta pengaruh lingkunganannya, mereka memperoleh kemajuan lahir batin menuju ke arah adab kemanusiaan (Ki Suratman, 1987: 12). Sedang yang dimaksud adab kemanusiaan adalah tingkatan tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia yang berkembang selama hidupnya. Artinya dalam upaya mencapai kepribadian seseorang atau karakter seseorang, maka adab kemanusiaan adalah tingkat yang tertinggi.


(30)

commit to user

Pendidikan dan pengajaran sebenarnya suatu upaya untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk meningkatkan kualitas perilakunya kearah yang lebih baik dan lebih maju. Jadi secara implisit pendidikan itu telah bermuatan untuk menanamkan kesadaran terhadap semua nilai-nilai kebaikan dan keburukan, sehingga diharapkan para lulusannya meningkat perilaku baiknya.

Corak pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara haruslah bersifat nasional. Artinya secara nasional pendidikan harus memiliki corak yang sama dengan tidak mengabaikan budaya lokal. Bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, dan agama hendaknya memiliki kesamaan corak dalam mengembangkan karakter anak bangsanya.

Pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah Pendidikan Nasional. Hal ini bisa diartikan bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa harus didasari jiwa merdeka dan jiwa nasional dari bangsa itu. Hanya orang-orang yang berjiwa merdeka saja yang sanggup berjuang menuntut dan selanjutnya mempertahankan kemerdekaan. Syaratnya ialah Pendidikan Nasional, dan pendidikan merdeka pada anak-anak yang akan dapat memberi bekal kuat untuk membangun karakter bangsa.

Cara mendidik menurut Ki Hadjar Dewantara disebutnya sebagai “peralatan pendidikan”. Menurut Ki Hadjar Dewantara cara mendidik itu amat banyak, tetapi terdapat beberapa cara yang patut diperhatikan, yaitu:


(31)

commit to user b. Pembiasaan (pakulinan, gewoontevorming) c. Pengajaran (wulang-wuruk)

d. Laku (zelfbeheersching)

e. Pengalaman lahir dan batin (nglakoni, ngrasa) (Ki Hadjar Dewantara, 1977: 28).

Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang pendidik mengemukakan betapa pentingnya tiga pusat pendidikan ialah alam atau lingkungan keluarga, alam perguruan dan alam pemuda (Darsiti Soeratman, 1989: 6). Setiap pusat mempunyai tugas sendiri-sendiri tapi mempunyai tujuan yang sama. Sistem pendidikan dengan menggunakan pendekatan tiga pusat tersebut dinamakan Tripusat. Menurut Darsiti Soeratman, (1989: 7) tugas dari Tripusat atau tiga pusat pendidikan itu adalah sebagai berikut.

1. Alam keluarga, pusat pendidikan yang pertama dan yang terpenting. Tugasnya mendidik budi pekerti dan laku sosial,

2. Alam perguruan, pusat pendidikan yang berkewajiban mengusahakan kecerdasan pikiran dan memberikan ilmu pengetahuan,

3. Alam pemuda, membantu pendidikan baik menuju kepada kecerdasan jiwa maupun budi pekerti.

Daoed Joesoef (2007: 6) mengatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara mengadopsi sistem pendidikannya ke tanah air ini dengan konsepnya education is part of culture, jadi yang diajarkan adalah culture atau kebudayaan. Tentu kebudayaan bukan dalam arti seni pertunjukan ketoprak atau ludruk. Sistem


(32)

commit to user

pendidikan Indonesia yang ideal adalah yang menghamba pada pertumbuhan dan perkembangan anak didik sebagai warga negara Indonesia, oleh karena itu pendidikan tidak dapat dilepaskan dengan pemikiran mendalam soal kebudayaan bangsanya.

Kebudayaan adalah roh pendidikan dan menjadi ruang tempat proses demi proses pendidikan itu terjadi. Kebudayaan akan mengantar bangsa Indonesia pada dua arus utama, yakni pembangunan dan tuntutan peningkatan martabat manusia. Dalam konteks ini pendekatan pembangunan pendidikan hanya akan berhasil jika selalu ditempatkan dalam kerangka sitemik dan bukan ensiklopedik. Pada zaman sekarang ini sangat sulit mengajarkan setiap hal berdasarkan pendekatan fragmentaris belaka. Sebaliknya pendidikan seharusnya lebih diarahkan pada metodologi umum yang dapat membantu anak didik dalam mengorganisasi pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti kegiatan.

b) Sekolah Tamansiswa

Tamansiswa merupakan suatu badan perjuangan yang berjiwa nasional yaitu dengan ditandai suatu pergerakan sosial yang menggunakan kebudayaan sendiri sebagai dasar perjuangannya. Tamansiswa tidak hanya menghendaki pembentukan intelek saja, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam arti pemeliharaan dan latihan susila, (Darsiti Soeratman, 1989: 96).

Menurut Ki Soeratman (1982: 11), Tamansiswa adalah untuk mendidik agar anak didik menjadi manusia merdeka, manusia yang berjiwa merdeka. Maksudnya


(33)

commit to user

adalah supaya ciptanya merdeka (pikiran), rasanya merdeka (batin) dan karsanya merdeka (karsa mendorong perbuatan-tenaga). Manusia merdeka merupakan tujuan Tamansiswa dan sekaligus menjadi salah satu ciri pendidikan Tamansiswa yaitu pendidikan merdeka.

Ki Soeratman juga menyebutkan bahwa nasionalisme yang ada di dalam Tamansiswa adalah nasionalisme kultural yang selaras dengan kebutuhan masyarakat, maka cara memberikan pendidikan kebangsaan itu dilakukan melalui etik, sejarah kebudayaan, pelajaran bahasa, kesenian termasuk antara lain permainan, nyanyian, tarian dan musik serta kepemudaan.

Dalam pengertian lain Tamansiswa sering disebut sebuah peguruan. Perguruan merupakan tempat tinggal guru dan juga tempat guru mendidik murid-muridnya (Pranata, 1959: 57). Istilah perguruan ini sengaja diambil untuk membedakannya dari kata sekolah yang pada masa itu merupakan tempat yang dalam perguruan muncul rasa kekeluargaan. Hubungan batin antara murid dengan guru dan murid dengan murid akan lebih erat.

Tugas Tamansiswa adalah membina manusia-manusia merdeka, serta asas kebangsaannya, yang di Eropa dalam abad ke-19 dicerminkan oleh aliran liberalisme, mendapat ruang yang istimewa dalam semangat nasionalisme yang sedang berkobar-kobar dalam masyarakat Indonesia (Pranata, 1959: 58). Semangat nasionalisme inilah yang menjadi daya tarik orang-orang untuk masuk ke Tamansiswa.


(34)

commit to user

Suharman (2005: 95) berpendapat bahwa setiap perguruan Tamansiswa dan setiap pamong mempunyai kebebasan untuk mencari dan mencoba menemukan dan menentukan sendiri teknik mendidik yang sesuai dengan garis kodrat pribadi masing-masing dengan keadaan setempat yang berbeda-beda, dengan ketentuan tidak mengingkari atau menyalahi asas dan tujuan Tamansiswa.

3. Pendidikan Pondok Pesantren a) Konsep Pendidikan Islam

Islamisasi pengetahuan menurut Mujamil Qomar (2005: 223) adalah merupakan respon terhadap keadaan pengetahuan yang tersekulerkan, terdikotomikan, dan terbaratkan, sehingga mengarah pada deislamisasi. Dengan kata lain islamisasi pengetahuan adalah bermaksud mengembalikan pengetahuan ke dalam pengaruh nilai-nilai Islam, sebagaimana yang terjadi pada zaman kejayaan Islam.

Sistem pendidikan Islam ditawarkan sebagai alternatif bagi umat Islam ini merupakan koreksi selama ini terhadap sistem pendidikan yang berkembang dan yang pernah ada. Tidak menutup kemungkinan sistem pendidikan barat dapat diadaptasi tetapi tetap mengikuti petunjuk-petunjuk Islam. Dengan demikian identitas, karakter dan kemandirian sistem pendidikan Islam merupakan pola-pola dasar dari Islam yang dikembangkan untuk merangkai sistem pendidikan Islam itu sendiri.


(35)

commit to user

Sisi lain dari konsep pendidikan Islam menurut Murray adalah sebagai berikut.

One useful way to perceive educational trends in Indonesia, as well as in other Islamic societies, is from the vantage point of four goals on which an instructional system can focus. These are the goals (1)of producing good people (social/moral education); (2) of producing skilled communicators

(basic education in reading, writing, speaking, listening, calculating); (3)

of developing well-informed people who understand the physical and social universe (liberal or general education); and (4) of producing efficient worker (vocational education),(Thomas Murray, 1988: 897).

Menurut Murray, salah satu cara yang berguna untuk melihat gaya pendidikan di Indonesia, serta dalam masyarakat Islam lainnya adalah dari sudut pandang empat gol atau empat tujuan di mana sebuah sistem instruksional dapat fokus. Tujuannya antara lain, (1) menghasilkan yang baik orang (pendidikan sosial atau moral), (2) menghasilkan komunikator yang terampil (pendidikan dasar dalam membaca, menulis, berbicara, mendengarkan, menghitung), (3) dari berkembang baik informasi orang-orang yang memahami fisik dan sosial semesta (liberal atau pendidikan umum), dan (4) pekerja yang efisien menghasilkan (pendidikan kejuruan).

Dalam penjelasan Murray ingin menjelaskan model pendidikan di Indonesia yang di dalamnya mempunyai tujuan menjadi manusia yang bermoral, mempunyai pemahaman kognitif yang baik, tidak tertinggal dan mempunyai ketrampilan. Model pendidikan yang diharapkan bukan hanya sekedar penguatan pemahaman kognitif saja, melainkan juga mengembangkan moral dan ketrampilan.

Al Ghazali dengan hadist Rasulullah mengatakan, bahwa semua orang akan rusak kecuali orang yang berfikir (terpelajar), yang terpelajar akan rusak kecuali


(36)

commit to user

yang mengamalkan pengetahuannya, yang mengamalkan akan rusak kecuali yang menggunakan ketulusan. Maka Zamakhsyari Dhofier (1984: 21) mengatakan tujuan pendidikan Islam adalah memberikan moral, menghaluskan budi pekerti, meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Muhaimin (2002: 38) dalam konteks historik-sosiologik, pendidikan Islam pernah dimaknai sebagai pendidikan atau pengajaran keagamaan atau keislaman dalam rangka tarbiah al-muslimin(mendidik orang-orang Islam) untuk melengkapi dan membedakan dengan pendidikan sekuler (non keagamaan atau non keislaman). Misalnya adanya sistem pendidikan madrasah diniyah (sekolah agama sore hari) yang didirikan sebagai wahana penggalian, kajian dan penguasaan ilmu-ilmu keagamaan serta pengalaman ajaran agama Islam bagi para peserta didik muslim yang pada pagi harinya menempuh pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial Sistem pendidikan Islam semacam itu sampai sekarang ini masih tumbuh dan berkembang.

Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan ketrampilan hidup orang Islam, (Muhaimin, 2002: 39).

Selanjutnya menurut Jalaludin, (2001: 76) pendidikan Islam sebagai usaha untuk membimbing dan mengembangkan potensi manusia secara optimal agar dapat digunakan dalam memerankan dirinya sebagai pengabdi Allah yang setia. Jadi bisa


(37)

commit to user

disimpulkan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan Islam bukan hanya berhenti pada munculnya perilaku untuk berbuat baik saja, tetapi pendidikan Islam haruslah didasarkan pada kesadaran ketuhanan yang kuat.

Pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat. Menurut Abdul Majid perbedaan- perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas dan penekanan pada pahala di akhirat sebagai motivasi berperilaku moral. Inti dari perbedaan-perbedaan tersebut adalah keberadaan wahyu Ilahi sebagai sumber dan rambu-rambu dalam pendidikan karakter Islam, (2011: 58).

b) Pengertian Pondok Pesantren

Pesantren merupakan bagian dari infrastruktur masyarakat yang secara makro telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat yang mempunyai idealisme, kemampuan intelektual, dan perilaku mulia (al-akhlaq al-karimah) guna menata dan membangun karakter bangsa yang paripurna.

Definisi singkat istilah pondok adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kiai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.


(38)

commit to user

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kiai, termasuk perumahan kiai, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kiai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Kata pondok pesantren sendiri merupakan gabungan antara kata pondok dan pesantren. Pondok pesantren merupakan suatu lembaga pendidikan agama Islam tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.

Marwan dalam Achmad Patoni (2007: 91) juga berpendapat bahwa pondok pesantren berarti suatu lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara bandongan

dan sorogan dimana kiai mengajar santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam bahasa Arab oleh ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedang santri tinggal di pondok atau asrama.

Metode soroganmerupakan suatu metode pengajaran yang bersifat individual, dimana santri belajar secara langsung dan berhadapan dengan kiai. dalam metode ini yang dilakukan santri adalah mereka membawa kitab tertentu kepada sang kiai dan membacanya dihadapan kiai. Selanjutnya, kiai mendengarkan bacaan santri dan


(39)

commit to user

kalau dirasa perlu Dia membenarkan apa yang dibaca santri bila terjadi kesalahan. Berbeda dengan sistem sorogan, sistem bandongan merupakan metode pengajaran dimana kiai menghadapi santri secara klasikal yang masing-masing santri memegang kitab yang sama. Kiai membacakan, menerjemahkan dan menerangkan teks-teks Arab gundul (tanpa harakat), sedangkan santri menyimak.

Pendapat lain sebuah lembaga yang bernama pondok pesantren adalah suatu komunitas tersendiri, di dalamnya hidup bersama-sama sejumlah orang yang dengan komitmen hati dan keikhlasan atau kerelaan mengikat diri dengan kiai, tuan guru, buya, ajengan atau nama lainnya untuk hidup bersama dengan standar moral tertentu, membentuk budaya tersendiri. Sebuah komunitas disebut pondok pesantren minimal ada kiai, masjid, asrama (pondok), pengajian kitab kuning atau naskah salaf tentang ilmu-ilmu keislaman, (Achmad Patoni, 2007: 92).

Berdasarkan perspektif keterbukaan terhadap perubahan yang terjadi pondok pesantren dibagi menjadi salafi dan khalafi. Salafi tetap mengajarkan kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pengajarannya. Pondok pesantren khalafi telah memasukkan pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya atau membuka tipe-tipe sekolah umum dilingkungan pondok pesantren.

Dari sisi pendidikan yang dikembangkan ada tiga tipe pondok pesantren. Pertama, memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai, kurikulum tergantung kiai dan pengajuan secara individual. Kedua, memiliki madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan pelajaran secara umum dalam rentang waktu tertentu, santri bertempat tinggal di asrama untuk


(40)

commit to user

mempelajari pengetahuan umum dan agama. Ketiga, hanya berupa asrama, santri belajar di sekolah, madrasah, bahkan perguruan tinggi, sementara kiai sebagai pengawas dan pembina mental.

Menurut Mohammad Iskandar (2001: 91) pesantren pada dasarnya merupakan asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang dikenal dengan sebutan kiai atau ajegan. Unsur-unsur pesantren adalah masjid, pondok atau kobong, santri, pelajaran kitab-kitab Islam klasik yang sekarang dikenal dengan sebutan kitab-kitab kuning dan kiai. Biasanya letak asrama atau pondokan para santri tidak berjauhan dengan masjid dan rumah kiai.

Menurut Sumarsono Mustoko (1986: 65) para santri yaitu murid-murid yang belajar, diasramakan dalam suatu kompleks yang dinamakan pondok. Pondok tersebut dapat dibangun atas biaya guru yang bersangkutan ataupun atas biaya bersama dari masyarakat desa pemeluk agama Islam. Pesantren tersebut disamping berfungsi sebagai pondok juga dapat digunakan bersama untuk diusahakan antara para guru dan santri.

Zamakhsari Dhofier (1985: 51-52) membagi santri menjadi dua tipe. Pertama, santri mukim adalah murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok. Santri mukim yang paling lama tinggal disebuah pesantren biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah.


(41)

commit to user

Kedua adalah santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajaran di pesantren mereka pulang-pergi dari rumahnya sendiri. Biasanya pada pesantren kecil santri kalong lebih banyak, sedangkan dalam pesantren besar santri mukim lebih banyak jumlahnya.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok, (Dhofier, 1985:45).

Orang tua membawa anaknya ke pondok pesantren untuk dua tujuan, yaitu untuk belajar dan tinggal di pesantren lebih murah serta juga dimata orang tua bisa memberi latihan disiplin (Pradjarta Dirdjosanjoto. 1999: 150). Kemandirian, kesetiakawanan, disiplin merupakan harapan hasil dari pendidikan di pondok pesantren. Harapan lain adalah supaya anak mereka bisa lebih mendalami dan menghayati nilai-nilai islam. Pendidikan yang murah dan harapan mulia menjadi daya tarik orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren.

Pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan penyiaran agama. Abuddin Nata (2001: 112) berpendapat sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi) dan pendidikan nonformal yang secara khusus


(42)

commit to user

mengajarkan agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran ulama fikih, hadis, tafsir, tauhid dan tasawuf.

Ronald Lukens (2010: 9) berpendapat tentang pendidikan di pesantren khususnya dalam kurikulum dan yang dikembangkan adalah sebagai berikut.

The curriculum found in contemporary pesantren can be devided into four basic areas: religious education (ngaji), character development, vocational skills training and general education. The first three types of instruction are rigidly gender segregated. At some pesantren general education may be co-educational following the example of the government schools, thougt this has proven to be somewhat problematic. Religious education involves studying texts, which include the Qur’an, Hadith and the classical texts which include commentaries on scripute, expositions on mystic.

Ronald Lukens berpendapat bahwa kurikulum ditemukan di pesantren kontemporer dapat dibagi menjadi empat bidang dasar antara lain pendidikan agama (ngaji), pengembangan karakter, pelatihan ketrampilan kejuruan dan pendidikan umum. Pada beberapa pendidikan dipesantren mengikuti contoh pendidikan pada umumnya di sekolah-sekolah. Dalam pendidikan agama memasukan pelajaran teks yang meliputi Al Qur’an, hadist dan teks klasik.

Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membedakan tingkat sosial ekonomi mereka. Sementara itu setiap hari menerima tamu yang datang dari masyarakat. Mereka datang untuk bersilaturahim, berkonsultasi, memohon doa, meminta nasihat dan sebagainya. Sebagai penyiaran agama Islam, masjid pesantren sering dipakai untuk majelis taklim(pengajian), diskusi keagamaan dan berdakwah.


(43)

commit to user

Sesuai dengan fungsinya pesantren memiliki prinsip-prinsip utama dalam menjalankan pendidikannya. Menurut Abuddin Nata (2001: 113) ada dua belas prinsip yang seharusnya dipegang teguh pesantren yaitu (1) theocentric(2) sukarela dalam pengabdian; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) kemandirian; (9) pesantren adalah tempat untuk mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama; (11) belajar di pesantren bukan mencari ijazah; (12) restu kiai artinya semua perbuatan yang dilakukan setiap warga pesantren bergantung pada kerelaan dan doa kiai.

Jadi bisa disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah sebuah tempat tinggal santri atau asrama santri yang digunakan dalam proses belajar agama, sosial, pendidikan dan sebagai pengembangan minat dan bakat santri.

c) Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta

Yayasan Ali Maksum dalam sejarah berdirinya tidak terlepas dari sejarah Pondok Pesantren Krapayak Yogyakarta dan al-maghfurlah KH. Ali Maksum. Pondok Pesantren Krapyak didirikan tahun 1910 oleh al-maghfurlah KH. M. Moenawwir, merupakan salah satu pesantren di Indonesia yang telah dikenal luas di berbagai kalangan. Hal tersebut disebabkan karena Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta telah mampu menunjukan perannya dalam membina umat, menyiapkan kader-kader bangsa yang memiliki kesatuan wawasan dan kedalaman ilmu dengan landasan keimanan dan ketakwaan yang baik, Tim Yayasan Pondok Pesantren Ali Maksum (2011: 5).


(44)

commit to user

Arif Subhan (2003: 76) menyatakan bahwa Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dikenal sebagai pesantren Al Quran sehingga mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi terhadap KH. Munawir. Ketika tokoh ini tiada, sementara dikalangan anggota keluarga tidak ada yang memiliki kemampuan setara, maka reputasi pesantren mulai menurun. Dalam kondisi tersebut Ali Maksum tiba di Krapyak dengan mempertahankan ciri yang dikenal pesantren Al Quran. Ali Maksum mempertahankan ciri khas itu dan menambah sistem madrasah di lingkungan pesantren.

Dengan adanya madrasah tidak mengurangi tradisi pondok pesantren yang sudah berjalan. Justru akan membentuk kepribadian dengan banyak faktor yang brepengaruh pada santri seperti faktor lingkungan dan keteladanan. Sekarang Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta berkembang cukup pesat. Madrasah dari tingkat paling bawah sampai tingkat tinggi ada dalam Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dari Miftahuddin, Grendi Hendrastomo dan Sudrajat yang berjudul Implementasi Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta: Menggali Nilai-Nilai Moderasi Untuk Aksi Berbangsa dan Bernegara. Dalam penelitian ini dijelaskan implementasi pendidikan karakter di Pondok Pesantren Krapyak.


(45)

commit to user

Penelitian relevan lainnya salah satunya oleh Suharman, dengan judul Nilai-Nilai Kebangsaaan dalam Ajaran Tamansiswa dan Aktualisasinya di Bidang Pendidikan (Studi Kasus di SMA Taman Madya Yogyakarta). Penelitian ini menekankan pada pembentukan karakter dalam nilai-nilai kebangsaan di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan Yogyakarta. Dari dua penelitian tersebut penulis akan membahas pola pendidikan karakter yang terdapat di Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak, sehingga terdapat perbedaan dalam pengkajiannya.

C. Kerangka Berpikir

Pendidikan karakter dibutuhkan untuk menumbuhkan moral atau karakter yang ada dalam lembaga pendidikan. Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman tentang pentingnya penerapan dan evaluasi dari pendidikan karakter. Pola pendidikan karakter di setiap lembaga pendidikan mempunyai ciri yang berbeda. Hal itu bisa dilihat dalam lembaga pendidikan Tamansiswa yaitu di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta yaitu di Madrasah Aliyah Ali Maksum.

Pola pembetukan karakter yang diterapkan mempunyai pengaruh yang berbeda dan berkembang dengan ideologinya. Persepsi yang baik tentang pendidikan karakter akan mempermudah penerapan pendidikan karakter di sekolah. Siswa mempunyai respon dalam pola pengembangan pendidikan karakter dengan aktualisasi (pengamalan) dan persepsinya terhadap pembelajaran yang terdapat


(46)

commit to user

disekolah masing-masing. Harapannya semua proses tersebut mempunyai keselarasan dengan tujuan pendidikan nasional.

Bagan Kerangka Pikir

Grand Desain Pendidikan Karakter Bangsa

Budaya sekolah

Pola pendidikan karakter di Tamansiswa

Pola pendidikan karakter di Pondok Pesantren Krapyak

Respon dan aktualisasi (pengamalan) nilai karakter pada

siswa Tujuan Pendidikan Nasional

Persepsi pengajar dan siswa tentang pendidikan karakter


(47)

commit to user

BAB III

METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu 1. Tempat Penelitian

Tempat dalam penelitian ini adalah di wilayah Yogyakarta. Objek penelitian yang diambil di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini direncanakan dan dilaksanakan pada bulan November 2011 – Juni 2012. Adapun rincian waktu penelitian akan direncanakan sebagai berikut.

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian ini akan lebih memperjelas informasi kualitatif dengan deskripsi yang teliti, lebih bernuansa dan melihat aspek manusia secara lebih berisi atau substansial. Strategi yang dipilih adalah studi kasus ganda terpancang. Penelitian yang akan diteliti mempunyai sasaran (lokasi studi) lebih dari satu yang mempunyai perbedaan karakteristik dan sudah diarahkan atau ditentukan oleh peneliti.


(48)

commit to user

C. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah informan, tempat dan peristiwa, dokumen atau arsip yang berhubungan SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Data dan sumber data yang akan diteliti adalah sebagai berikut.

1. Informan atau nara sumber, yang terdiri dari pengelola sekolah, pengajar serta siswa atau peserta didik baik di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. 2. Tempat dan aktivitas dalam pembelajaran adalah perpustakaan, ruang kelas

dan lingkungan sekolah di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

3. Dokumen dan arsip terkait dengan Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

D. Teknik Sampling

Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empirisnya dan lain-lainnya. Oleh karena itu cuplikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling (cuplikan) dengan criterion-based selection sebagaimana yang dikemukakan oleh Goetz dan LeCompte (dalam Sutopo, 2006: 229).


(49)

commit to user

Purposive sampling digunakan untuk pertimbangan dapat memilih informan secara selektif dengan mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki tentang pola pendidikan karakter di Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Adapun informan yang direncanakan adalah pengelola sekolah, pengajar dan siswa yang terdapat di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

Pada cuplikan yang bersifat internal diharapkan dapat mewakili informasi bukan populasinya. Dalam teknik cuplikan informan yang kecil bisa menjelaskan informasi tertentu secara lengkap dan benar daripada banyak informan dan nara sumber tetapi kurang mengetahui dan memahami informasi yang sebenarnya.

Sampling dalam penelitian kualitatif sifatnya internal mengarah kepada kemungkinan generalisasi teoritis. Dengan menerapkan strategi tersebut diharapkan mendapatkan data yang akurat dan reliable sehingga penelitian ini dapat berhasil memuaskan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam kegiatan penelitian diperlukan cara-cara atau teknik pengumpulan data tertentu. Sesuai dengan bentuk penelitian kualitatif deskriptif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.


(50)

commit to user

1. Observasi Langsung

Pada penelitian ini observasi yang digunakan adalah observasi langsung dengan partisipasi aktif. Dalam observasi ini peneliti ikut dalam apa yang dilakukan nara sumber, tetapi tidak terlibat dalam semua kegiatannya. Observasi dilakukan dengan cara formal dan informal.

2. Wawancara Mendalam (in-depthinterviewing)

Wawancara adalah percakapan tertentu, percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviwee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2005: 186). Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam.

Dengan menggunakan wawancara ini maka peneliti peneliti dapat mengajukan pertanyaan secara terfokus sehingga informasi yang bisa dikumpulkan terfokus dan semakin rinci atau mendalam. Kelonggaran dan kelenturan inilah yang akan mampu mengorek informasi dan kejujuran informan terkait dengan penerapan pola pendidikan karakter di Tamansiswa dan Pondok Pesantren Krapyak. Wawancara ini akan dilakukan pada semua informan yang terdiri dari Kepala Sekolah atau Pengurus Yayasan, Guru atau pengajar dan murid.

3. Mencatat Dokumen (content analysis)

Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari dokumen dan arsip yang berkaitan dengan penerapan pola pendidikan karakter di


(51)

commit to user

SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.

F. Validitas Data

Untuk menjamin kebenaran data yang dikumpulkan perlu dilakukan validitas data. Secara umum dalam penelitian kualitatif teknik pengembangan validitas data yang digunakan adalah teknik trianggulasi. Dalam penelitian ini teknik trianggulasi yang digunakan adalah trianggulasi data (data trianggulation), trianggulasi peneliti (investigator triangulation), trianggulasi metode (methodological trianggulation) dan trianggulasi teori (theoretical trianggulation).

1. Trianggulasi data (data trianggulation)

Trianggulasi data atau sumber adalah teknik trianggulasi yang dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda. Dalam penelitian ini data tentang kompetensi guru, pembelajaran sejarah, kendala-kendala yang dihadapi oleh guru, kompetensi siswa dan hasil yang dicapai oleh siswa yang dapat digali dari sumber data yang berbeda berupa informan/ narasumber, peristiwa/ aktivitas dan arsip/ dokumen.

2. Trianggulasi peneliti (investigator triangulation)

Menurut Sutopo (2006: 96) yang dimaksud dengan Trianggulasi peneliti adalah hasil penelitian baik data atau pun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan, dan bahkan


(52)

commit to user

sampai dengan simpulan-simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantabkan hasil akhir penelitian.

3. Trianggulasi metode (methodological trianggulation)

Trianggulasi metode adalah teknik trianggulasi yang dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan metode yang berbeda. Data sejenis yang dikumpulkan dengan metode yang berbeda dibandingkan dan ditarik simpulan data yang lebih kuat validitasnya (Sutopo, 2006: 95). Dalam penelitian ini data tentang kompetensi guru, pembelajaran sejarah, kendala-kendala yang dihadapi oleh guru, kompetensi siswa dan hasil yang dicapai oleh siswa yang dikumpulkan melalui observasi langsung dibandingkan dengan hasil wawancara dan mencatat dokumen.

4. Triangulasi teori (theoretical triangulation)

Dalam trianggulasi teori peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. Dalam hal ini peneliti bisa membahas informasinya dengan teori-teori dari disiplin ilmu yang berbeda atau bisa dengan perspektif teori-teori yang berbeda tetapi masih dalam satu disiplin ilmu.

G. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif proses analisis dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data. Teknik analisis dalam penelitian ini bersifat induktif yaitu teknik analisis yang tidak dimaksudkan untuk membuktikan suatu prediksi atau hipotesis penelitian, tetapi simpulan dan teori yang dihasilkan


(53)

commit to user

berbentuk dari data yang dikumpulkan. Sifat analisis induktif menekankan pentingnya apa yang sebenarnya terjadi di lapangan yang bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya. Dalam penelitian ini analisis induktif yang digunakan adalah teknik analisis interaktif, yaitu setiap data yang diperoleh dari lapangan selalu dinteraksikan atau dibandingkan dengan unit data yang lain (Sutopo, 2006: 107).

Dalam proses analisis interaktif terdapat tiga komponen yang harus dipahami oleh para peneliti yaitu (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) sajian data (4) penarikan simpulan/ verifikasi.

1. Pengumpulan data

Dalam analisis data peneliti harus mengumpulkan data yang telah didapat sebelum direduksi. Data yang dikumpulkan bisa dari data lapangan (fieldnotes) termasuk data dari informan dan teori-teori yang berhubungan dengan tema yang diambil peneliti.

2. Reduksi data (data reduction)

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemfokusan, penyederhanaan data kasar yang ada dalam fieldnotes (catatan lapangan). Dalam proses reduksi data peneliti berusaha menggolongkan, menajamkan, mengarahkan dan membuang data lapangan yang tidak diperlukan. Selama pengumpulan data berlangsung, reduksi data dilakukan dengan membuat ringkasan isi dari catatan daya yang diperoleh dilapangan. Dalam menyusun ringkasan tersebut peneliti membuat coding,


(1)

commit to user

adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi negara yang demokratis serta bertanggung jawab serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.

Dalam tujuan pendidikan nasional ditekankan sikap akhlak mulia bisa dikembangkan di lembaga pendidikan dengan ciri, kekhasan dan potensinya sendiri. Sekolah diberikan ruang untuk memprioritaskan nilai-nilai yang akan dikembangkan. Dengan nilai-nilai yang terlihat dalam SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan MA Ali Maksum bisa menghasilkan kader-kader yang cerdas dan berakhlak mulia. Sifat-sifat inilah yang akan merubah Indonesia ke depan lebih baik lagi.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan temuan di lapangan serta pembahasan hasil penelitian, maka dapat dihasilkan suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut:

1. Pola penerapan pendidikan karakter di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak menggunkan pola yang hampir sama yaitu melalui kurikulum pembelajaran (terdapat pelajaran yang mengajarkan akhlak atau budi pekerti), budaya sekolah, kegiatan estrakurikuler, dan keteladanan guru. Pola lain yang diterapkan di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan adalah sistem among yaitu metode mendidik yang berjiwa kekeluargaan yang bersendi kepada kemerdekaan dan kodrat alam. Pola tersebut berpijak dari ajaran Ki Hadjar Dewantara sehingga sekolah di Tamansiswa mempunyai sifat nasionalisme yang tinggi dengan pendekatan budaya. Pola pendidikan karakter yang diterapkan di Madrasah Aliyah Ali Maksum dalam dengan model asrama (pondok pesantren). Nilai-nilai Islam menjadi acuan sehingga sekolah ditujukan untuk cenderung membentuk karakter Islam.

2. Persepsi atau pandangan guru dan siswa mengenai pendidikan karakter akan mempengaruhi dalam penerapannya di sekolah. Persepsi yang baik akan memudahkan guru untuk melaksanakan dan menyadarkan bahwa guru bukan sekedar menyampaikan pengetahuan umum tetapi juga menyampaikan


(3)

nilai-commit to user

nilai karakter yang baik. Persepsi pengajar dan siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan MA Ali Maksum cukup baik. Persepsi guru dan siswa tentang pendidikan karakter yang muncul di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan lebih menekankan pada konsep budi pekerti yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara, sedangkan di Madrasah Aliyah Ali Maksum persepsi guru dan siswa lebih menekankan pada karakter Islam. Persepsi tersebut didasari dengan ideologi yang diterapkan di sekolah masing-masing.

3. Keberhasilan pendidikan karakter di sekolah dapat dilihat dari aktualisasi (pengamalan) siswa berupa sikap atau tindakan yang terlihat pada siswa. Aktualisasi atau pengamalan yang muncul pada siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan MA Ali Maksum secara umum sama yaitu meliputi toleransi, religius, disiplin, kejujuran, kreatif, kerjasama, komunikatif, peduli, tanggung jawab, cinta tanah air dan mandiri. MA Ali Maksum dengan konsep pondok pesantren mempunyai nilai lebih beragam. Dengan adanya waktu dan kebersamaan serta pengawasan dari sekolah akan menghasilkan siswa-siswa yang berkarakter. Salah satu contohnya kesabaran, kesederhanaan, tolong menolong yang terlihat dalam kegiatan sehari-hari. Aktualisasi tersebut terlihat dari kegiatan sehari-hari.


(4)

B. Implikasi

Pola yang dikembangkan dan diterapkan di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan dan Madrasah Aliyah Ali Maksum hampir sama yaitu melalui keteladanan, kegiatan ekstrakurikuler, budaya sekolah dan dalam proses pembelajaran, akan tetapi konsep dasar yang diajarkan berbeda. SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan lebih cenderung kepada konsep ajaran Ki Hadjar Dewantara sehingga karakter nasionalis dan pengembangan budaya lebih menonjol. Berbeda dengan Madrasah Aliyah Ali Maksum yang lebih bersifat Islam. Dengan pola dan penerapan yang menjadi ciri masing-masing sekolah, maka akan membentuk karakter siswa sesuai dengan cara dan ajaran sekolah masing-masing. Siswa di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan mempunyai sifat nasionalis yang baik, sedangkan siswa di MA Ali Maksum mempunyai sifat religius atau keagamaan Islam yang baik.

Persepsi yang muncul mengenai pendidikan juga tidak jauh dari konsep dasar ajaran masing-masing sekolah. Persepsi guru dan siswa sebagian besar sudah cukup baik tentang pendidikan karakter, akan tetapi dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas masih belum optimal. Guru belum bisa memanfaatkan ruang tersebut untuk memasukkan nilai-nilai kepada siswa. Dampaknya moral knowing

yang didapatkan siswa belum optimal. Hal tersebut akan berpengaruh pada proses aktualisasi nilai-nilai karakter pada siswa.


(5)

commit to user

dilihat dalam kegiatan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran aktualisasi yang muncul belum terlihat dalam siswa. Metode pembelajaran yang variatif atu beragam belum dilaksanakan beberapa guru di kedua sekolah tersebut, sehingga guru perlu memaksimalkan proses pembelajaran di kelas.

C. Saran

1. Kepada pemerintah, khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerbitkan buku pedoman petunjuk pelaksanaan pendidikan karakter sampai hal teknis, supaya memudahkan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. 2. Kepada sekolah

a. Untuk di SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan perlu dikembangkan dan ditambah jam untuk pelajaran budi pekerti dan ketamansiswaan.

b. Untuk di Pondok Pesantren Ali Maksum dalam kurikulumnya perlu dikembangkan untuk memberi peluang sosialisasi dalam kehidupan masyarakat.

3. Kepada guru

a. Untuk SMA Taman Madya Ibu Pawiyatan peran guru dalam proses pembelajaran lebih dioptimalkan lagi, karena peran guru sangat strategis dalam pembentukan karakter. Guru hendaknya bukan hanya sekedar mentransfer atau menyalurkan ilmu saja melainkan juga penting mengajarkan nilai-nilai akhlak mulia atau budi pekerti kepada siswa.


(6)

b. Untuk di MA Ali Maksum perlu hendaknya menggunakan metode pembelajaran yang beragam dan inovatif dalam pembelajaran. Metode pembelajaran menarik akan membuat pelajaran menarik, sehingga mengurangi kepenatan siswa.