AL DAKHIL DALAM TAFSIR AL MUNIR LI MA'ALIM AL TANZIL KARYA SYAIKH NAWAWI AL BANTANI.

(1)

Al-Dakhi>l dalam Tafsir al-

Muni>r li Ma’a

>lim al-Tanzi>l

Karya Syaikh Nawawi al-Bantani

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

SRIWAYUTI NIM: E03213085

JURUSAN ILMU ALQURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Sriwayuti, E03213085. Al-Dakhi>l dalam Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l Karya Syaikh Nawawi al-Bantani.

Tafsir sebagai suatu proses, akan terus berkembang tanpa adanya kata final yang berlandaskan pada perkembangan peradaban manusia. Perbedaan tafsir tidak terlepas dari makna Alquran sendiri yang multitafsir. Selain itu wawasan serta kecenderungan mufassir juga berpengaruh besar di dalamnya. Namun perbedaan-perbedaan tersebut tetap mengarah pada satu muara, yaitu untuk mencari maksud dan tujuan suatu teks.

Seiring dengan perkembangan tafsir, para mufassir sering melakukan pemotongan sanad, sehingga menyulitkan bagi generasi selanjutnya untuk membedakan riwayat yang sahih dan tidak. Hal ini terus berlanjut dan menjadi

peluang besar untuk menyusupkan kisah-kisah Isra>iliyya>t, hadis-hadis palsu,

hadis lemah dan sebagainya. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk

menganalisa penggunaan riwayat syaikh Nawawi dalam tafsirnya, tafsir al-Muni>r

li Ma’a>lim al-Tanzi>lterkait bentuk-bentuk dakhi>l, terutama dakhil naqli yang ada di dalamnya.

Sebelum masuk dalam penafsirannya, diperlukan gambaran utuh tentang syaikh Nawawi dan seluk beluk kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif yang bersifat library research, selanjutnya data dikelolah secara

deskriptif-analitis. Penelitian ini mengacu pada kiprah syaikh Nawawi sebagai

ulama pribumi yang go internasional, yang mana dalam penafsirannya meskipun

menggunakan bi al-Ra’y, namun juga tidak meninggalkan sumber bi al-Riwayah.

Dalam pengutipan sebuah riwayat, syaikh Nawawi sering melakukan pemotongan sanad, selain itu juga jarang mengomentari hadis yang digunakan.

Dalam penelitian ini ditemukan beberapa penggunaan riwayat-riwayat isra>iliyya>t untuk menjelaskan kisah-kisah lama, hadis d}a’i>f dan maud}u>’. Namun

terlepas dari itu semua, tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l merupakan salah satu

kitab tafsir lokal yang telah banyak memberikan manfaat dan pengaruh, khususnya terhadap citra masyarakat Indonesia.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

ABSTRAK ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN SKRIPSI ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Keguanaan Penelitian ... 8

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Metodologi Penelitian ... 11

H. Sistematika Pembahasan ... 14

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG AL-DAKHI>L DALAM TAFSIR A. Definisi Tafsi>r... 16


(8)

C. Macam-macam al-Dakhi>l ... 20

D. Transformasi dakhi>lke dalam Kajian Tafsir ... 22

E. Respon terhadap al-Dakhi>l ... 26

BAB III: MENGENAL SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI A. Sosio-Historis Syaikh Nawawi al-Bantani ... 29

B. Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani ... 32

C. Guru dan Murid Syaikh Nawawi al-Bantani ... 36

D. Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani ... 37

E. Madzhab Syaikh Nawawi al-Bantani ... 40

F. Latar Belakang Kepenulisan Kitab Tafsir al-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 42

G. Karakteristik Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 44

H. Metode dan Corak Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 48

BAB IV: TELAAH BENTUK AL-DAKHI>L DALAM PENAFSIRAN SYAIKHNAWAWI AL-BANTANI A. al-Dakhi>l dalam Tafsi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 51

B. Analisa Terjadinya Dakhi>ldalam Tasi>ral-Muni>r li Ma‘a>lim al-Tanzi>l ... 67

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72 DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dinamika perkembangan tafsir terus berkembang secara signifikan seiring dengan persoalan umat manusia. Perkembangan tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang memang Alquran sendiri diturunkan kepada manusia, bukan untuk Tuhan, agar manusia menjadikannya sebagai petunjuk. Oleh sebab itu ketika Alquran turun, maka ia diapresiasi, dikaji dan dipahami oleh generasi sahabat waktu itu. Begitu Alquran disampaikan dan dijelaskan oleh Rasulullah kepada para sahabat, kemudian mereka memahami dan mengamalkannya.1 Setelah Rasulullah wafat, perbedaan pemahaman terhadap Alquran antara sahabat satu dengan sahabat lainnya kerap terjadi. Tidak hanya berhenti pada masa sahabat, perbedaan-perbedaan itu juga berlangsung sampai sekarang. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang disebabkan oleh dua hal, pertama faktor dalam Alquran itu sendiri yang memang memiliki beragam cakupan makna, kedua, faktor eksternal Alquran yaitu keahlian Mufassir yang didukung dengan adanya syarat-syarat sebagai mufassir, yang meliputi akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, mengambil Alquran sebagai sumber utama penafsiran sebelum beralih pada al-sunnah, mengetahui bahasa arab dengan berbagai cabang keilmuannya, mengetahui ulu>m Alqura>n, dan memahami dengan cermat terhadap

1Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014), 11-12.


(10)

2

suatu makna dalam Alquran.2 Serta kecenderungan para mufassir dalam memahami Alquran yang terbentuk dari latar belakang penulis, ideologi, politik, penguasa pada waktu itu dan sebagainya. Dengan demikian tafsir tidak mengenal final, melainkan akan terus berkembang sebagaimana persoalan-persoalan manusia yang terus bermunculan.

Seiring dengan perkembangan penafsiran, penyimpanga-penyimpangan dalam penafsiran (dakhi>l) juga marak dalam karya tafsir. Secara bahasa dakhi>l berasal dari kata dakhila yang bermakna bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh kerusakan dan mengandung cacat.3 Sedangkan secara terminologi dakhi>l dalam tafsir yaitu suatu aib dan cacat yang sengaja ditutup-tutupi dan disamarkan hakikatnya serta disisipkan di dalam beberapa bentuk tafsir Alquran yang otentik.4

Adanya dakhi>l tidak dapat dipisahkan dari dinamika penafsiran yang secara garis besar dibagi dalam dua periode, yaitu periwayatan dan pembukuan. Perkembangan tafsir bi al-ma’thu>r berakhir dengan dihapuskannya isnad-isnad, dan orang mengutipnya tanpa menyebutkan urutan sanad-sanad tersebut. Penggunaan riwayat-riwayat yang lemah bahkan maudhu’ serta pengutipan riwayat isra>iliyya>t yang sering dilakukan oleh para ulama klasik, menjadi masalah tersendiri dalam khazanah kitab-kitab tafsir, karena dapat merusak akidah umat Islam. Selain sumber bi al-ma’thu>r, sumber bi al-ra’yi juga berakhir

2Manna>’ Khali>l al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, trj.Mudzakir AS. (Bogor: Litera AntarNusa, 2011), 462-465.

3Ibra>hi>m Mus}t}afa>, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Turki: Da>r al-Da’wah, 1990), 275.

4Ibrahil Khalifah, al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r, jilid 1 (Kairo: Da>r al-Baya>n, ttp), 2; Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, ‚Al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Studi Kritis dalam Metodologi Tafsir)‛, Tafaqquh, vol. 2 No. 2, Desember 2014, 81.


(11)

3

karena didominasi oleh kecenderungan-kecenderungan perorangan dan madzhab-madzhab teologik atau madzhab-madzhab-madzhab-madzhab yang lain.5

Penghapusan isnad-isnad pada tafsi>r bi al-ma’thu>r, telah memberi ruang kejahatan bagi kaum muslimin. Hal ini memungkinkan manipulasi penafsiran dengan memasukkan kisah-kisah legenda isra>iliyya>t ke dalamnya. Selain itu, penggunaan hadis tanpa adanya isnad juga bisa dilakukan demi melegitimasi aliran yang dianut dengan mengatasnamakan bahwa hadis tersebut merupakan hadis Nabi saw, sehingga oleh para pembaca hadis tersebut diyakini kebenarannya, meskipun pada kenyataannya bukan dari Nabi saw.6

Pembuangan sanad juga mengakibatkan banyaknya riwayat-riwayat yang lemah, palsu dan bohong. Sebab penyebutan sanad sering kali menunjukkan tempat cacat, sumber penyakit, dan orang yang menjadi sebab bencana bagi orang.7

Berbagai dampak yang bermunculan sebagaimana di atas, dapat diminimalisir dengan menyertakan kembali sanad-sanad dalam periwayatan hadis. Para mufassir yang menyertakan sanad-sanad dalam tafsirnya, sebenarnya telah melaksanakan kewajibannya, walaupun dalam hubungan ini mereka tidak melakukakn pengecekan terhadap kualitas hadis tersebut, seperti yang dilakukan oleh al-T{aba>riy.8

5Muh}ammad H{usein adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran

al-Qur’an, trj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 11-12.

6Ibid., 12.

7Muhammad ibn Muhammad Abu Syahbah, Isra>‘iliyya>t dan Hadis-hadis Palsu Tafsir

al-Qur’an, trj. Mujahidin Muhayan dkk. (Depok: Keira Publishing, 2014), 89. 8adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan..., 12-13.


(12)

4

Selain pembuangan sanad, adanya dakhi>l dilatarbelakangi dua faktor besar, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang muncul dari umat islam itu sendiri, terkait dengan keterbatasan keilmuan mufassir dan subjektifitas mufassir, sikap mufassir yang kurang hati-hati dalam mencantumkan riwayat dan tidak selektif dalam menerima sumber dari luar islam. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar Islam, yang ingin merusak islam melalui penafsiran Alquran.

Mengingat begitu pentingnya tafsir terhadap pemahaman Alquran, maka tidak sedikit ulama yang menuangkan pemahamannya secara tertulis dalam suatu karya, termasuk Indonesia yang telah banyak mengalami metamofosis dalam bentuk penafsiran. Dari segi generasi, Howard M. Federsipiel membagi dalam tiga generasi. Generasi pertama, dari awal abad 20 sampai awal tahun 1960-an. Pada generasi ini, cenderung dalam bentuk penerjemahan dan penafsiran yang masih parsial dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Generasi kedua, sebagai penyempurna dari generasi pertama yang muncul pada pertengahan tahun 1960-an. Pada generasi ini, tafsir mempunyai beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan mufradat, dan terkadang disertai indeks yang sederhana. Selanjutnya tafsir generasi ketiga yang mulai muncul pada 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas dan juga disertai terjemahnya.9

Salah satu karya tafsir Nusantara yang muncul pada abad 19 M secara utuh dengan berbahasa Arab yaitu tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya

9

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2013), 57-58.


(13)

5

Syaikh Nawawi al-Bantani. Syaikh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abdal Mu’ti Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani (1813-1879 M), merupakan salah satu mufassir Indonesia yang produktif. Hasil karyanya yang cukup monumental adalah kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l, yang selesai ditulis pada hari Rabu, 5 Rabiul Akhir 1305 H.10 karya tafsirnya ini menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, karena memang ditulis di Makkah dan sebagai rujukan umat Islam, tidak hanya Indonesia, sehingga tafsir al-Muni>r li Ma’alim al-Tanzi>l tidak hanya tersebar di wilayah Indonesia saja, namun telah memberi pengaruh terhadap perkembangan islam di Timur Tengah dan belahan dunia islam. Sebagai mufassir yang tergolong pada periodesasi pertama, tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l atau Tafsi>r Mara>h} Labi>d tergolong sudah menggunakan metode bi al-Ra’y.

Meskipun penafsiran Syaikh Nawawi tergolong bi al-Ra’y, namun juga tidak serta merta meninggalkan metode klasik, yang mengambil syaikh Nawawi terkadang tidak menyebutkan sanadnya sama sekali atau mengomentarinya. Seperti ketika menafsirkan surat an-Naml ayat 82 yang menggunakan hadis d}a‘i>f berikut:

ِإَن

يُط

َل

ي

ِست

َني

ِ

عا

يِ

ِ

ِعا

ي

دآ

ِي

عَ

يِه

ي

سلا

َا

ي

َا

يي

ُِك

يَط

ِل

ي

َا

ي

ه في

ي

ِ

11

Dalam menukil hadis tersebut, syaikh Nawawi tidak menyebutkan rangkaian sanadnya sama sekali. Dan penulis hanya mendapatkan redaksi hadis tersebut dalam kitab tafsir al-Muni>r.

10Ibid. 43.

11

Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi> al-Ja>wi>, Mara>h} Labi>d li Kashf Ma’na> al-Qur’a>n al -Maji>d, vol. 2 (Lebanon: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008),481.


(14)

6

Dalam menafsirkan Alquran, syaikh Nawawi merujuk dari kitab-kitab tafsir terdahulu, seperti tafsi>r al-Kabi>r Mafa>tih} al-Ghai>b karya ar-Razi, al-Siraj al-Muni>r karya Muhammad bin Ahmad al-Syirbani, Tanwi>r al-Miqbas karya Ibn Abbas, dan Tafsi>r Abi> al-Sa’u>d.12

Melihat syaikh Nawawi sebagai ulama’ pribumi yang go Internasional, namun dalam pengambilan riwayat cenderung melakukan pemotongan terhadap sanad hadis, maka perlu adanya penelitian terhadap kualitas Hadis baik dari segi sanad, maupun penerimaannya untuk menganalisa adanya penyimpangan penafsiran. Oleh karena itu perlu adanya penelitian yang komprehensif terhadap kitab tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l terkait dakhi>l (penyimpangan) dalam menggunakan hadis sebagai sumber periwayatan tafsir, mengklasifikasi bentuk-bentuk penyimpangan terutama yang terkait dengan dakhi>l naqli serta menganalisa sikap syaikh al-Nawawi dalam penggunaan sumber penafsiran dengan sanad yang tidak lengkap.

B. Identifikasi Masalah

Berlandaskan dari uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana metodologi dan kecenderungan penafsiran yang digunakan Shaykh Nawawi al-Bantani dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l? 2. Bagaimana pendapat ulama terhadap Shai>kh Nawawi al-Bantani?

3. Bagaimana bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?

12Nawawi> al-Ja>wi>, Mara>h} Labi>d..., 5.


(15)

7

4. Apa yang melatarbelakangi terjadinya penyimpangan dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l?

5. Bagaimana sikap para ulama dalam menyikapi penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir?

Dengan melihat keluasan pembahasan tentang penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran, maka penelitian ini difokuskan pada nomor 3 dan 4, yaitu bentuk-bentuk dakhi>l terutama dakhi>l dalam bentuk al-Naql serta hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani serta dengan berpedoman pada teori dakhi>l sebagai pisau analitis.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka memunculkan permasalahan-perasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?

2. Apa yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mendiskripsikan bentuk-bentuk dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya Syaikh Nawawi al-Bantani?


(16)

8

2. Untuk menganalisa terjadinya dakhi>l dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian \ini secara garis besar \ memiliki dua kegunaan, yaitu:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu menambah khazanah pengetahuan dan referensi \metodologi kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l karya al-Nawawi al-Bantani serta bentuk-bentuk dakhi>l \ didalamnya. 2. Secara praktis, penelitian ini berguna untuk menjadi salah satu pertimbangan dalam upaya menyikapi penyimpangan-penyimpangan terhadap karya-karya tafsir, khususnya tafsir Nusantara.

F. Telaah Pustaka

Penelitian terhadap al-Dakhil bukanlah hal yang baru. Di antara beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penelitian al-dakhi>l adalah sebagai berikut:

1. Dakhi>l al-Naqli dalam Alquran dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004, karya Dr. Ibrahim Syuaib Z. Dalam Executive Summary Lembaga Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2009. Pada penelitian ini hanya membahas dakhil dari segi naqli saja.

2. Infiltration of Shia: Segmentation of Dakhil in Interpretation of al-Misbah, karya Afrizal Nur dalam Jurnal Ushuluddin vol. 23 no. 1, Juni 2015. 3. Al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Studi Kritis dalam Metodologi Tafsir), karya Ahmad


(17)

9

2014. Penelitian ini menjelaskan secara umum dakhil dalam Alquran serta sikap yang harus diambil para mufassir dalam menafsirkan Alquran.

4. Dakhi>l dalam Kitab Tafsir Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l Karya Al -Bayd}a>wi> (Kajian Surat al-Fa>tih}ah dan Surat al-Baqarah), disertasi yang ditulis oleh Fahul Bari pada program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2013. Penelitian ini mengkaji dakhi>l dalam tafsir al-Bayd}a>wi> pada surat al-Fa>tih}ah dan Surat al-Baqarah.

Sedangkan penelitian terkait dengan penelitian kitab al-Nawawi yaitu: 1. Metode Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Menafsirkan Al-Qur’an (Sebuah

Tinjauan terhadap Tafsir Mirahu Labid), skripsi yang ditulis oleh Mhd. Ikhsan Kolba Siregar pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sulthan Syarif Kasim Riau Pekanbaru 2011. Skripsi ini membahas metode yang digunakan oleh imam al-Nawawi. Selain itu juga disebutkan bahwa salah satu kelemahan kitab tersebut yaitu, mengambil hadis sebagai penafsiran dengan isnad yang tidak lengkap, namun dalam skripsi ini tidak mengklarifikasi hadis-hadis tersebut.

2. Isra’iliyyat in Interpretative Literature of Indonesia: A Comparison between Tafsir Marah Labid and Tafsir al-Azhar, karya Ahmad Levi Fachrul Avivy, Jawiah Dakir dan Mazlan Ibrahim dalam Mediterranean Journal of Social Sciences mcser Publishing vol. 6 no. 3 S2 May 2015 The National University of Malaysia. Penelitian ini membahas tentang bagian daripada dakhi>l, yaitu Isra>iliyya>t dengan menkomparasikan antara kitab Marah Labid dengan Tafsir al-Azhar.


(18)

10

3. Konsep Toleransi Beragama dalam Pandangan Syekh Nawawi Banten (Studi Analisis terhadap Tafsir Mara>h Labi>d), karya Nur Hidayat dalam Jurnal Budaya dan Agama, Sahaja, volume 4 No. 2 Juli 2014. Pada penelitian ini, tidak mengungkap dakhi>l yang ada pada kitab Mara>h Labi>d, melainkan pemikiran syaikh Nawawi terkait dengan kebudayaan.

4. Karakteristik Tafsir Mara>h Labi>d Karya Syaikh Nawawi al-Bantani, ditulis oleh Ahmad Muttaqin dalam Jurnal Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadits, Vol. 8 No. 1 Januari-Juni 2014. Jurnal ini menjelaskan ruang lingkup kitab Mara>h Labi>d, mulai dari biografi sampai metodologinya. 5. Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren (Analisis terhadap Tafsir Mara>h Labi>d Karya K.H. Nawawi Banten), yang ditulis oleh Mamat S. Burahanuddin tahun 2006. Buku ini menjelaskan bahwa konsepsi hermeneutika Nawawi cenderung mengarah pada upaya pemahaman teks ayat Alquran yang sedikit banyak dipengaruhi unsur subjektivitasnya sebagai seorang guru yang moderat, intelektual yang tengah merespon perkembangan zaman, seorang mujaddid tanpa menafikan ulama salaf, seorang yang kecewa dengan kondisi politik di tanah airnya. Nawawi berhasil menghadirkan Alquran ‚hidup‛ dalam irama problema kehidupan manusia di masanya.

Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, penelitian tentang dakhi>l dalam kitab Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l secara komprehensif belum dilakukan. Oleh karena itu perlu adanya penelitian terhadap bentuk-bentuk


(19)

11

dakhi>l naql, serta alasan yang melatarbelakangi terjadinya dakhi>l dalam Tafsi>r al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.

G. Metodologi Penelitian

Sebuah riset ilmiah dilakukan untuk mencari kebenaran obyektif. Untuk merealisasikan itu semua, peneliti harus mempunyai metodologi dalam penelitiannya. Metodologi merupakan serangkaian proses dan prosedur yang harus ditempuh oleh seorang peneliti, untuk sampai pada kesimpulan yang benar tentang riset yang dilakukan.13Adapun langkah-langkah yang dilakukan yaitu:

1. Model dan jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah:

Tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya.14

Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang bentuk-bentuk dakhi>l yang ada pada kitab al-Munir li Ma’a>lim al-Tanzi>l melalui riset kepustakaan (Library Research) dan disajikan secara deskriptif-analitis, yaitu mendeskripsikan konstruksi dasar teori dakhi>l, lalu menganalisa dakhil-dakhil yang ada pada kitab al-Munir serta memberikan kesimpulan terkait sikap al-Nawawi dalam menafsirkan Alquran.

13Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2015), 5.

14Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1996), 3.


(20)

12

2. Sumber data

Sesuai dengan jenis penelitiannya, sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Sumber data primer.

Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitab tafsir Mara>h} Labi>d karya syaikh Nawawi al-Bantani.

b. Sumber data sekunder.

Sumber pendukung yaitu literatur yang relevan dengan penelitian, yang meliputi:

1. Buku-buku biografi syaikh Nawawi seperti: Penghulu Ulama di Negeri Hijajz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani karya Amirul Ulum, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani Samsul Munir Amin, Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren: Analisis terhadap Tafsi>r Mara>h} Labi>d Karya K.H. Nawawi Banten buku dari Mamat S. Burhan.

2. skripsi, artikel dan sebagainya, yang dapat menunjang kevalidan suatu data. Seperti: ‚ad-Dakhi>l dalam Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al -Qur’a>n Karya al-Qurtubi>: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah‛, karya Maryam Shofa, dalam jurnal S}uh}u>f, Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, ‚al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r: Studi Kritis dalamMetodologi Tafsir‛, Tafaqquh, dan sebagainya.


(21)

13

3. Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan langah-langkah sebagai berikut:

1. Penulis menetapkan tokoh yang dikaji dan objek formal yang menjadi fokus kajian, yaitu tokoh Shaikh Nawawi al-Bantani dengan objek formal kajiannya tentang dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’alim al -Tanzi>l.

2. Menginventarisasi data dan menyeleksi karya-karya Shaykh Nawawi al-Bantani dan literatur lain yang terkait dengan penelitian ini.

3. Melakukan identifikasi elemen-elemen penting tentang dakhi>l, mulai dari asumsi dasar, argumentasi hingga implikasi-implikasinya.

4. Data yang penulis peroleh akan penulis abstraksikan melalui metode deskriptif, bagaimana sebenarnya syaikh Nawawi al-Bantani menyikapi dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.

5. Penulis akan melakukan analisis kritis terhadap asumsi-asumsi dasar tentang dakhi>l tersebut.

6. Penulis akan membuat kesimpulan-kesimpulan secara komprehensif sebagai jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan.

4. Teknik analisis data

Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan metode deskriptif-analitis. yaitu metode yang mengumpulkan sumber data serta menyajikan


(22)

14

penjelasan data tersebut dan dilanjutkan dengan analisis terhadap objek yang ditemukan pada data.15

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penelusuran dalam melakukan penelitian, penulis menyuguhkan alur pembahasan dalam beberapa bab dan sub bab tertentu. Adapun rasionalisasi pembahasan penelitian adalah:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah yang membahas tentang seberapa unik dan menarik tema yang dibahas untuk dijadikan penelitian. Selanjutnya mengenai identifikasi masalah yang membahas tentang kemungkina permasalahan-permasalahan yang muncul untuk dijadikan fokus pembahasan, dilanjutkan dengan rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini, kemudian mengenai tujuan penelitian tentang arah yang ingin dituju dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian. Dilanjutkan dengan telaah pustaka yang memaparkan penelitian terdahulu yang relevan dengan topik yang bersangkutan untuk menghindari adanya persamaan pembahasan. Selanjutnya, metode penelitian yang berisi tentang jenis penelitian, sumber data, pendekatan penelitian dan teknik pengolahan data. Sedangkan sistematika pembahasan merupakan bagian terakhir dari bab ini yang menjelaskan tentang gambaran umum isi penelitian. Bab pertama inilah yang akan menjadi acuan dalam penelitian.

Bab kedua akan menyuguhkan tinjauan umum tentang al-dakhi>l, yang terdiri dari tiga sub bab, yang dimulai dari tafsir definisi tafsir, definisi dakhi>l


(23)

15

dan macam-macamnya, transformasi dakhi>l ke dalam kajian tafsir. Dilanjutkan respon para ulama terhadap penyimpangan-penyimpangan dalam karya tafsir. Bab ini merupakan gambaran umum yang digunakan sebagai bahan analisis pada bab selanjutnya.

Kemudian bab ketiga menyuguhkan tentang biografi Syaikh Nawawi al-Bantani dan kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l, yang meliputi latar belakang kehidupan Syaikh Nawawi al-Bantani, guru dan murid, karya-karya, madzhab Syaikh Nawawi, latar belakang kepenulisan kitab dan metodologi Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l. Bab ketiga ini dimaksudkan untuk analisis pemikiran Syaikh Nawawi tentang al-dakhi>l melalui setting sosio-historis.

Bab keempat mencakup bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Syaikh Nawawi. Pada bab ini, membahas macam-macam dakhi>l, serta menganalisa terjadinya dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l.

Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban singkat yang diajukan dalam rumusan masalah serta saran untuk penelitian selanjutnya. Pada bagian akhir, penulis akan menyertakan daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan riwayat hidup penulis (Curriculum Vitae).


(24)

BAB I

I

TINJAUAN UMUM TENTANG

AL-

DAKHI<L

DALAM TAFSIR

A. Definisi Tafsi>r

Alquran sebagai petunjuk manusia pada realitanya tidak semua dapat diterapkan secara langsung, akan tetapi membutuhkan pemikiran dan analisa yang mendalam melalui tafsir. Secara harfiah, kata tafsir berasal dari kata fassara yang berararti menjelaskan, membuka dan menampakkan makna yang ma’qu>l.1 Meminjam definisi dari Abdul Mustaqim, tafsir adalah hasil ijtihad atau interpretasi mufasir atas teks-teks Alquran yang harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak final dan harus selalu diletakkan dalam konteks di mana tafsir itu diproduksi.2

Berbicara tentang hakikat Tafsir, Abdul Mustaqim menyatakan setidaknya ada dua paradigma utama dalam melihat hakikat tafsir, yaitu tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk. Berangkat dari asumsi bahwa Alquran itu berlaku universal dan bersifat s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n, maka Alquran meskipun turun di masa lalu dengan konteks dan lokalitas sosial budaya tertentu, harus selalu dijadikan landasan moral teologis dalam menjawab persoalan di era modern-kontemporer. Oleh karena itu tafsir harus selalu berproses seiring dengan tuntutan zaman.3 Sedangkan hakikat tafsir sebagai produk adalah sebuah

1Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2010), 12.

2Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 4.


(25)

17

pemahaman seorang mufasir terhadap teks kitab suci yang sangat terkait dengan konteks sosio-kultural baik internal maupun eksternal penafsirannya.4

Berangkat dari pengertian tafsir sebagaimana di atas, maka segala upaya yang dimaksudkan untuk menjelaskan dan menyingkapkan makna yang tersembunyi di balik firman Allah SWT yang tertuang dalam teks Alquran dapat disebut sebagai tafsir, terlepas apakah tafsir tersebut dalam kategori tafsir yang terpuji atau yang tercela. Namun, sudah pasti tafsir yang terpuji lebih diperioritaskan sebagai pedoman dan basis teologi dalam menyelesaikan problem sosial keagamaan. Suatu penafsiran dapat diterima sebagai tafsir yang terpuji dengan kata lain al-As}i>l, jika sumber penafsirannya menggunakan Alquran, Hadis, aqwa>l al-S}ah}a>bah, bahasa Arab yang benar, Ijma’ dari tabi’in serta ijtihad yang dibenarkan, yang sudah memenuhi syarat sebagai mujtahid.5 Adapun bentuk as}i>l al-Naql meliputi:

1. Menafsirkan Alquran dengan Alquran. Penafsiran bentuk ini merupakan penafsiran yang mempunyai kredibilitas tinggi.

2. Menafsirkan Alquran dengan hadis yang layak dijadikan hujjah. Alquran yang bersifat global, masih membutuhkan penjelasan dari hadis-hadis untuk mendapatkan keterangan yang lebih rinci.

3. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang setara dengan hadis marfu>’.

4Ibid., 21.

5Seorang Mujtahid harus memiliki kredibilitas tinggi diidang Alquran, Sunnah, Bahasa Arab dan us}u>l al-Fiqh. Lihat ibn Taimiah, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibn Taimiyah, ter. Sholihin (Jakarta: al-Kauthar, 2014), 20-22.


(26)

18

4. Menafsirkan Alquran dengan hasil ijma’ para sahabat atau tabi’in. Mengingat persoalan yang terus bermunculan, sementara wahyu telah berhenti maka sangat memungkinkan kebutuhan akan ijtihad dari para tabi’in dalam menginterpretasikan Alquran.

Keempat bentuk as}i>l al-Naql ini wajib diterima sebagai penafsir Alquran sesuai dengan urutannya, dengan syarat bentuk as}i>l al-Naql yang manapun dari keempat bentuk as}i>l al-Naql itu tidak kontradiktif dalam bentuk kontradiksi yang kontras dan tidak dapat dikompromikan dengan logika positif. Bila kontradiksi seperti ini terjadi maka as}i>l al-Naql tersebut wajib ditakwil.

5. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang kontradiktif dengan pendapat sahabat lain, tetapi kontradiksinya tidak kontras dan dapat dikompromika dan ditarjih.

6. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang tidak merupakan hasil ijma’ sahabat dan tidak pula kontradiktif dengan pendapat sahabat lain

7. Menafsirkan Alquran dengan hadis mursal yang setara dengan hadis marfu>’ dan yang mengutarakannya adalah termasuk salah seorang tokoh tafsir yang belajar kepada sahabat atau hadis mursal tersebut diperkuat oleh hadis mursal lain. 6

6Ibrahim Syuaib Z., ‚Dakhi>l al-Naqli dalam Alquran dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004‛, Executive Summary, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2009, 4-5.


(27)

19

B. Definisi al-Dakhi>l

Secara bahasa ََلِخَد artinya bagian dalamnya rusak, ditimpa oleh kerusakan dan mengandung cacat.7 Menurut ibn Mandu>r al-dakhi>l adalah kerusakan yang menimpa akal atau tubuh.8al-Ra>ghib al-As}fa>h}a>ni> menyebutkan bahwa kata dakhala merupakan kinayah dari suatu kerusakan.9

Al-Zamakhshari> dalam kitabnya asa> al-Bala>ghah mengartikannya sebagai aib atau makanan yang bisa merusak tubuh. Al-Ra>zi> memaknai al-dakhi>l sebagai aib atau keraguan. Sementara kata dakhalan dalam surat al-Nah}l ayat 94 bermakna suatu perbuatan makar atau penipuan.10

Dari berbagai pengertian istilah dakhi>l di atas, dapat disimpulkan bahwa al-dakhi>l yang berasal dari kata kerja dakhila mempunyai arti: kerusakan, aib, penyakit, makar, dan penipuan. Sedangkan istilah dakhi>l dalam kajian tafsir yaitu suatu metode atau cara penafsiran yang tidak memiliki asal penetapannya dalam islam, bertentangan dengan ruh Alquran dan bertolak belakang dengan akal sehat, sehingga memunculkan pemahaman yang tidak tetap terhadap Alquran.11

Ibra>hi>m Khali>fah dalam bukunya Dakhi>l fi> Tafsi>r mendefinisikan al-dakhi>l sebagai penafsiran yang tidak memiliki sumber yang valid dalam Islam,

7Ibra>hi>m Mus}t}afa>, al-Mu’jam al-Wasi>t} (Turki: Da>r al-Da’wah, 1990), 275.

8Ibn Mandu>r al-Ifri>qi, Lisan al-‘Arab (Beirut: Da>r S}a<dir, 1956), 241.; Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, ‚al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r: Studi Kritis dalamMetodologi Tafsir‛, Tafaqquh, Vol. 2 No. 2, Desember 2014, 81.

9Al-Ra>ghib al-As}fa>h}a>ni>, al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n (Lubnan: Da>r al-Ma’rifah: T. th), 166.

10Al-Ra>zi>, Mukhta>r al-S}ih}h}a>h}, cet. 1 (Beirut: Maktabah Lubna>n Nashiru>n, 1995), 218. 11‘Abd al-Waha>b al-Fayd}, al-Dakhi>l fi> Tafsi>r Alqura>n al-Kari>m (Kairo: Mat}ba’ah al -H}ad}a>rah al-‘Arabiyyah, 1980), 3.


(28)

20

baik penafsiran tersebut menggunakan riwayat-riwayat hadis lemah dan palsu ataupun menggunakan teori-teori sesat.12

Menurut Jamal Mus}t}afa> al-Najja>r, al-dakhi>l adalah penafsiran yang didustakan kepada Rasulullah SAW, sahabat dan tabi’in atau penafsiran dengan menggunakan riwayat yang memang bersumber dari sahabat atau tabi’in, tetapi riwayat tersebut tidak memenuhi syarat diterimanya sebuah riwayat.13

C. Macam-macam Dakhi>l

Secara garis besar dakhi>l dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu pertama, dakhi>l al-Naql yang meliputi:

1. Menafsirkan Alquran dengan hadis yang tidak layak dijadikan hujjah, seperti hadis mawd}u>‘ (palsu), yaitu hadis yang dicipta serta dibuat oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah SAW, secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak,14 dan hadis d}a’i>f, yaitu hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis s}ah}i>h} atau h}asan.15

2. Menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat yang tidak valid.

3. Penafsiran dengan pendapat sahabat yang diduga mengacu riwayat isra>iliyya>t. Bentuk dakhi>l ini meliputi riwayat isr>iliyya>t16 yang bertentangan

12Ibra>hi>m Khali>fah, al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Kairo: Universitas al-Azhar, 1996), 41.

13Jama>l Mus}t}afa> al-Najja>r, Us}u>l al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r Ayy al-Tanzi>l (Kairo: Universitas al-Azhar, 2009), 26.

14Fatchur Rahman, Ikhtisa>r Musht}ala>h} al-Hadi>th (Bandung: al-Ma’arif, T.th), 169. 15Ibid., 166.

16

Bentuk jamak dari kata isra>’iliyya>t, nisbat kepada bani Israil, yaitu anak-anak Ya’qub mulai dari keturunan mereka sampai zaman Musa dan nabi-nabi setelahnya, Zaman Isa as., sampai zaman nabi Muhammad SAW.


(29)

21

dengan Alquran dan hadis s}ah}i>h} serta riwayat isr>iliyya>t yang tdak sesuai dan senada dengan Alquran dan hadis s}ah}i>h}.

4. Penafsiran dengan pendapat sahabat yang saling kontradiktif satu sama lain dan tidak dapat dikompromikan ataupun ditarjih.

5. Penafsiran Alquran dengan pendapat tabi’in yang tidak valid.

6. Penafsiran Alquran dengan hadis mursal yang berupa isra>iliyya>t, meskipun sesuai dengan Alquran maupun hadis sahih, selama hadis mursal tersebut tidak ada penguat hadis lain yang dapat menaikkan derajat kualitas hadis pada hadis hasan lighairih.

7. Penafsiran Alquran dengan empat bentuk as}i>l al-Naql yang pertama yang bertolak belakang dengan logika

8. Penafsiran Alquran dengan tiga bentuk as}i>l al-Naql yang terakhir yang bertolak belakang dengan logika, sekalipun logika tersebut asumtif.

9. Penafsiran Alquran dengan salah satu bentuk as}i>l al-Naql yang bertolak belakang dengan as}i>l al-Naql yang lebih kuat kedudukannya.

Sedangkan bentuk dakhi>l yang kedua yaitu dakhi>l al-Aql yang meliputi: 1. Kesalahpahaman karena kurang terpenuhinya syarat-syarat ijtihad

2. Mengabaikan riwayat yang s}ah}i>h} dan mengabaikan makna z}a>hir ayat

3. Berpegang teguh pada z}a>hir ayat dan mengabaikan tuntutan nalar dan menuntut upaya ta’wil.

4. Ekstrimitas pengungkapan makna-makna filosofis yang mendalam 5. Ekstrimitas pengungkapan kepelikan bahasa dan i’rab


(30)

22

6. Ekstrimitas pembuktian kemukjizatan Alquran dalam berbagai disiplin ilmu sehingga mengungkapkan hal-hal baru seperti penemuan ilmiah yang tidak terkait dengan tujuan diturunkannya Alquran

7. Pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah dan upaya untuk merusak Islam D. Transformasi Dakhi>l ke dalam Kajian Tafsir

Fase tafsir sebagai ilmu yang independen, dimulai sejak masa al-Farra’ (w. 207 H) melalui kitabnya, ma’ani Alqur’a>n,17 merupakan katalisator unsur-unsur luar yang masuk ke dalam kajian tafsir, hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah dakhi>l. Pada abad kedua ini, meskipun tafsir sudah terpisah dari hadis, namun para mufassir masih menggunakan sumber bi al-ma’thu>r. Meskipun demikian, seringkali mufassir meringkas sanad dan menukil perkataan-perkataan tanpa menisbatkan kepada orang yang mengatakannya. Sehingga bercampurlah antara periwayatan yang s}ah}i>h} dan yang tercela. Ironisnya periwayatan yang tanpa menyebutkan sumbernya ini juga dikutip oleh para generasi selanjutnya.

Interaksi antara umat Islam dengan ahli kitab terutama Yahudi, menjadi salah satu faktor terjadinya transformasi dakhi>l ke dalam kajian tafsir yang ditandai dengan banyaknya ahli kitab yang masuk Islma, seperti ‘Abd al-‘Azi>z ibn Juraij, Abdullah ibn Sala>m Ka’ab al-Ah}ba>r, dan Wahb ibn Munabbih. Sehingga keberadaan mereka yang notabene sebagai sumber primer riwayat isra>iliyya>t cukup berpengaruh dalam penyebaran riwayat-riwayat tersebut.18

17Mustaqim, Pergeseran Epistemologi..., 40.

18Maryam Shofa, ‚ad-Dakhi>l dalam Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n Karya al-Qurtubi>: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah‛, S}uh}u>f, vo. 6, No. 2, 2013, 273.


(31)

23

Istilah al-dakhi>l sebagaimana penuturan Ibra>hi>m Shu’ay>b, pertama kali dicetuskan dan diperkenalkan kepada publik tahun 1980-an oleh Ibra>hi>m Khali>fah melalui bukunya al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r.19 Menurut Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam bukunya al-Isra>’iliyya>t wa al-Mawd}u>‘a>t fi> Kutub al-Tafsi>r menyebutkan bahwa pemalsuan tafsir bi al-Ma‘thu>r disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:20

1. Penyusupan orang-orang zindiq di antara orang-orang Yahudi, Persia, Romawi dan lainnya dalam riwayat Islam.

2. Pertentangan-pertentangan politik dan madzhab.

Perpecahan umat Islam pasca Rasululah SAW wafat rupanya telah mendorong umat menutup kebenaran kelompok lain. Berawal dari masalah politik yang selanjutnya ditarik ke ranah agama. Setiap kelompok mengklaim kebenaran madzhab yang diikutinya. Tidak hanya berhenti disitu saja, bahkan sampai mengarang hadis-hadis palsu dan menarik penafsiran untuk sekedar melegitimasi madzhab yang dianutnya.

3. Para pendongeng.

Sekelompok pendongeng biasanya bercerita di masjid-masjid,

memberikan motivasi dan peringatan kepada masyarakat untuk menarik perhatian mereka dengan menukil kisah-kisah isra>iliyya>t, khurafat dan kebatilan lainnya. Adapun tujuan para pendongeng menceritakan isra>iliyya>t

19Ibra>hi>m Shuay>b, Metodologi Kritik Tafsir; al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r (Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Jati, 2008), ii.;Shofa, ‚ad-Dakhi>l dalam Tafsir.., 274. 20Lihat Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Isra>’iliyya>t wa al-Mawd}u>‘a>t fi> Kutub al-Tafsi>r


(32)

24

yaitu untuk mencari popularitas dan penghormatan di hadapan masyarakat serta untuk mencari rejeki.

4. Sebagian yang mengaku zahid dan sufi

Mereka telah membolehkan diri untuk mengarang hadis-hadis dan kisah-kisah tentang motivasi, ancaman dan lainnya. mereka berasumsikan mendustai untuk Nabi dan bukan berdusta atas Nabi.

5. Penukilan dari ahl kitab yang masuk Islam.

Isra>iliyya>t dan riwayat-riwayat ini tidak berkaitan dengan pokok agama, melainkan seputar kisah-kisah, cerita-cerita umat terdahulu, peperangan-peperangan besar, bencana-bencana, awal penciptaan, rahasia alam semesta dan tentang hari kiamat.

6. Banyak penukilan dari perkataan dan pendapat yang dinisbatkan kepada para sahabat dan tabi’in tanpa menyebutkan sanad dan tanpa meneliti para rawinya.

Sementara DR. Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam kitab Asba>b al-Khat}a>’ fi> al-Tafsi>r: Dira>satuhu wa Tashiliyyatu, menjelaskan empat penyebab timbulnya kesalahan dalam penafsiran, yaitu:

1. Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan sahih

Kaidah-kaidah dan us}u>l dalam setiap keilmuan merupakan pokok yang menjadi landasan untuk melangkah. Berpaling dari sumber merupakan langkah awal dari suatu penyimpangan. Penyimpangan dalam hal ini bisa dilakukan dengan penggunaan ijtihad atas ayat yang sudah dijelaskan dalam nash lain, atau menafsirkan Alquran dengan berpegangan pada hadis maud}u>’


(33)

25

dan d}a’i>f, riwayat-riwayat isra>’iliyya>t, prasangka dan dongeng, berpedoman pada makna bahasa semata dan mengalahkan riwayat yang sahih, serta berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziyah dan tunduk pada tamsil dan imajinasi, terlalu larut dalam filsafat dan ilmu kalam, serta hanya mengandalkan perkataan ahli bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.

2. Tidak teliti memahami teks ayat dan dalalah-nya.

3. Menundukkan nash Alquran untuk kepentingan hawa nafsu, fanatisme madzhab, dan bid’ah.

Seperti pada surat al-Ra’d ayat 25:

ينيِ ّ لا

ييِفي ن دِسحفي ي لص ييحن أيِهِبيهّ لاي أي ي ن ع طحقي يِهِق ثيِيِدعبينِيِهّ لايد عي ن ضُقني

ِاّدلايُء سي ل يُنعّ لاي ليكِ ل ُأيِ أا

Artinya:

Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahanam).

Sebagian ulama’ syi’ah mengatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan kaum khawarij, kemudian sebagai balasannya, khawarij menyatakan bahwa yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 204 adalah Ali bin Abi Thalib.

عيهّ لايدِ شي ي ينّدلايِ يححلاييِفيهُل قيك ِجعيين يِس ّنلاينِ

ِ ِخحلايّد ل أي يِهِح قييِفي يى

Artinya:

“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.”


(34)

26

4. Mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir.

Berdasarkan sebab-sebab di atas, secara garis besar sebab-sebab tersebut tercover dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari Islam itu sendiri, yang berkaitan langsung dengan keilmuan mufassir dan yang melatarbelakanginya. Seperti tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir, atau memiliki kecederungan yang menjadikan penafsirannya menyimpang seperti karena adanya pertentangan-pertentangan madzhab dan teologi. Sedangkan faktor yang kedua yaitu faktor eksternal, yang berasal dari luar Islam untuk menghancurkan islam. Alquran adalah kekuatan terbesar umat islam, maka kelemahan terbesar juga ada padanya. Jika Alquran yang sudah dijamin keontetikannya oleh Allah, maka jalan lain untuk menghancurkan islam adalah melalui penafsiran-penafsiran, yang selanjutnya dapat menyesatkan para pengikutnya. Melalui penyusupan-penyusupan riwayat isra>iliyya>t, hadis-hadis palsu dan sebagainya.

E. Respon terhadap Dakhi>l

Berdasarkan pemaparan dakhi>l di atas, secara garis besar dakhi>l mempunyai orientasi lebih luas, yaitu periwayatan-periwayatan baik yang berupa hadis-hadis d}a‘i>f, palsu, maupun isra>’iliyya>t. Adapun mengenai pengamalan hadis d}a’i>f masih terdapat perbedan pendapat di kalangan para ulama. Perbedaan tersebut secara garis besar terbagi dalam tiga kategori, yaitu:


(35)

27

1. Tidak dapat diamalkan

Pendapat pertama ini diikuti oleh Yahya ibn Ma’in, Abu Bakar ibn ‘Arabi, al-Bukhari, Muslim dan bn Hazm yang secara mutlak menolak hadis dhaif baik dalam masalah fad}>ail al-A‘ma>l maupun hukum.

2. Dapat diamalkan secara mutlak

Pendapat ini diikuti oleh Abu Dawud dan Ahmad ibn Hanbal. Mereka berpendapat bahwa hadis d}a‘i>f lebih kuat daripada pendapat manusia.

3. Dapat dijadikan hujjah dalam hal fad}a>’il al-A’ma>l, Mawa>iz}, Id}ai>f al-Tarhi>b wa al-Targhi>b. Menurut ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis ini dapat dijadikan hujjah ketika memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Ke-d}a’i>f-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan. b. Terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan

c. Ketika mengamalkannya tidak beriktikad bahwa hadis itu thubu>t, melainkan dalam rangka hati-hati.

Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama karena pada dasarnya kemuliaan akhlak merupakan tiang-tiang agama yang sama halnya dengan hukum yang berlandaskan pada hadis yang maqbu>l.21

Sementara yang terkait dengan isra>iliyya>t, terdapat tiga pandangan yaitu: 1. Selaras dengan kebenaran Alquran dan Hadis. Alquran sudah memuat segalanya, namun pengambilan isra>’iliyya>t bisa diamalkan untuk


(36)

28

menguatkan dalil dan menegakkan hujjah atas ahl kitab dari kitabnya sendiri.

2. Meninggalkan apa yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Ma>’idah ayat 41:

ينِي ِ كحلاي ن ُفِّحي

ِهِعِضا يِدعب

Artinya:

‚Mereka mengubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya.‛22

3. Bagian yang didiamkan, yaitu tidak mempercayai dan juga tidak mendustakan apa yang berasal dari ahl kitab.

Sementara itu mengenai hadis mawd}u>‘, para ulama salaf dan khalaf melarang meriwayatkan hadis mawd}u>’ (palsu) dalam hal apapun, kecuali disertai dengan penjelasan bahwa itu adalah hadis palsu dan dusta, begitu pula dengan isra>iliyya>t.23 Sementara itu M. Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa segala riwayat yang tidak dapat dipastikan kebenarannya seperti jalinan kisah cinta nabi Sulaiman dengan ratu Balqis yang berujung pada pernikahan hendaknya disingkirkan dari uraian tafsir.

22Lajnah Pentas}h}i>h mus}h}af Alquran, Alqur’a>n al-Kari>m (Jakarta: Menara Kudus, 2006), 114.


(37)

BAB III

MENGENAL SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI

A. Sosio-Historis Syaikh Nawawi al-Bantani

K. H. Nawawi al-Bantani memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al-Tanara al-Bantani. Ia lahir di kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/ 1230 H. Mengenai tahun kelahiran Syaikh Nawawi, masih terdapat beberapa versi. Versi pertama, Chaidar meyebut bahwa Syaikh Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan tahun 1813 M.1 Sedangkan menurut versi lain, jika dilihat dari persesuaian antara tahun hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, lebih tepatnya yaitu bulan Muharram 1230 H sama dengan bulan Desember 1814 M. akan tetapi jika kelahiran syaikh Nawawi setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah 1815 M, atau antara bulan Januari dan November 1815 M.2

Syaikh Nawawi hidup di masa ketika semangat pembaharuan Islam bergema di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir. Ia hidup sezaman dengan gerakan Pan-Islamisme, Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M), Muhammad

Abduh (lahir 1349 M), dan Rifaah Badawi Rafi’ al-Tahtawi (1801-1873 M).3

1Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syaikh Nawawi al-Bantani Indonesia, (Jakarta: CV. Sarana Utama, 1979), 5.; Ahmad Muttaqin, “Karakteristik Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi al-Bantani”, al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadis, Vol. 8. No. 1 Januari-Juni 2014, 63.

2Yuyun Rosdiana, “Syaikh Nawawi al-Bantani: Riwayat Hidup dan Sumbangannya

terhadap Islam”, skripsi, (Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990), 12.; Muttaqin, Karakteristik Tafsir, 63.


(38)

30

Syaikh Nawawi hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang religius. Ayahnya yaitu Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki Jantan bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Tajul Arsyi (Pangeran Sunyararas) bin Sultan Hasanuddin bin Sunan Gunung Jati,4 seorang ulama yang sangat mencintai ilmu dan penghulu di desa Tanara. Selain itu, ia mendedikasikan dirinya untuk masjid dengan mengadakan berbagai pertemuan bersama para ulama dan mengajar ilmu agama termasuk kepada putera-puterinya sendiri. Sementara ibunya, Nyai Zubaidah binti Singaraja adalah wanita sholihah, yang tidak pernah berhenti mendoakan syaikh Nawawi sejak masih dalam kandungan.5

Kiai Umar memberi nama Nawawi kepada putra sulungnya, diinspirasi dari seorang ulama yang banyak menguasai disiplin ilmu agama, yaitu Syaikh Abu Zakariya bin Sharaf bin Murri bin H{asan Hizami Haurani Nawawi Dimasyqi (631 H-676 / 1233 M-1277 M) atau lebih dikenal dengan imam al-Nawawi dari Nawa, Damaskus. Suriah.6 Dengan memberi nama Nawawi, kiai Umar berharap kelak syaikh Nawawi mampu menjadi ulama yang handal seperti halnya imam Nawawi.

Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon). Sebagaimana ditulis oleh Rafiuddin Ramli, urutan silsilah Syaikh Nawawi dari ayahnya, yaitu syaikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqum bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsy (Pangeran

4Amirul Ulum, Penghulu Ulama di Negeri Hijajz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015), 50.

5Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani (Yogyakarta:LKIS, 2009), 19-20.


(39)

31

Suryanaras) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amaruddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra binti

Rasululah SAW.7

Dalam perjalanan hidupnya, Syaikh Nawawi al-Bantani menikah dengan Nyai Nursimah, seorang gadis asal Tanara. Dalam pernikannya ini, Nawawi

dikarunia tiga puteri yaitu Nafisah, Maryam dan Rubi’ah. Namun dalam

pernikahannya nyai Nursimah meninggal lebih dulu dari Nawawi. Setelah istri pertama wafat, syaikh Nawawi menikah dengan Nyai Hamdanah, putri K.H. Sholeh Darat, yang masih berusia sekitar 7-12 tahun. Pada pernikahan yang kedua ini, al-Nawawi dikaruniai dua anak, yaitu Abdul Mu’thi dan Zahroh. Sepeninggal syekh al-Nawawi, Nyai Hamdanah menikah dengan K.H. Raden Asnawi, salah seorang murid dari al-Nawawi, dan tinggal di Kudus Jawa Tengah.8

Mengingat begitu alimnya syaikh Nawawi, dikisahkan bahwa ketika syaikh Nawawi berkunjung ke Jayakarta (sekarang Jakarta), tepatnya masjid yang dibangun oleh Sayyid Usman bin Aqil bin Yahya al-Alawi. Ketika melihat posisi masjid tersebut, syaikh Nawawi berpendapat bahwa masjid tersebut tidak

7

Amin, Sayyid Ulama..., 14-16.

8Ainur Ruchama’, “Kehujjahan dan Reinterpretasi Hadis Misogini dalam kitab Syarah

‘Uqu>d al-Lujjay>n fi> Baya>n H}uqu>q al-Zawjay>n Karya Nawawi al-Bantani”, Skripsi 8 Juli 2002, 62.


(40)

32

mengarah kiblat, maka syaikh Nawawi menunjukkan arah kiblat yang tepat. Namun kiai Usman tetap dengan pendiriannya bahwa masjid tersebut sudah pada posisi yang tepat. Kemudian syaikh Nawawi menarik lengan baju kiai Usman untuk berdiri lebih dekat dan menunjukkan arah kiblat yang dimaksud, dan ternyata benar, bahwa posisi masjid tersebut terlalu ke kiri dari ka’bah.9

Semasa hidupnya, syaikh Nawawi banyak memanfaatkan waktunya untuk megkaji ilmu-ilmu agama, menyibukkan diri mengajar dan mengarang untuk dijadikan suatu karya. Usianya yang cukup berumur sehingga jalannya membungkuk danmengharuskan syaikh Nawawi untuk memakai tongkat. Sampai pada akhirnya syaikh Nawawi kembali ke rahmat Alla>h dalam usia 84 tahun, bertepatan pada 25 Syawwal 1314 H/ 1879 M, sedangkan menurut al-Zarkali, syaikh Nawawi wafat pada tahun 1316 H/ 1898 M. syaikh Nawawi dimakamkan

di pemakaman Ma’la bersanding dengan makam ibn Hajar dan Asma’ binti Abu

Bakar.10

B. Pendidikan Syaikh Nawawi al-Bantani

Sebagai anak sulung dari ke-enam saudaranya, yaitu Ahmad, Shihabuddin, Tamim, Said, Abdullah, Sakilah, dan Shahriyah,11 syaikh Nawawi dikader untuk menjadi panutan bagi adik-adiknya. Sejak usia 5 tahun, Syaikh Nawawi sudah mendapat pendidikan agama dari ayahnya sendiri, seperti pengetahuan dasar bahasa Arab (Nahwu dan s}arf), fiqh}, tauh}i>d dan tafsi>r. Setelah tiga tahun belajar bersama sang ayah, tepatnya pada tahun 1821 M dalam usia 8 tahun, syaikh

9Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), 2-3. 10Ulum, Penghulu Ulama..., 94.


(41)

33

Nawawi bersama kedua saudaranya, yaitu Tamim dan Ahmad belajar kepada kiai Sahal, seorang ulama terkenal di Banten.12

Sebelum syaikh Nawawi beserta adik-adiknya pergi, ibu nyai Zubaidah berpesan kepada ketiganya untuk tidak pulang sebelum buah Kelapa yang ditanam berbuah. Hal ini dimaksudkan bahwa ibu nyai Zubaidah menginginkan putranya belajar sungguh-sungguh tanpa adanya batasan waktu. Setelah belajar pada kiai Sahal, ketigaya melanjutkan ke pesantren yang ada di Purwakerta, yaitu pesantren yang diasuh oleh K. H. Yusuf.13

Setelah belajar di Purwakarta, syaikh Nawawi dan kedua saudaranya melanjutkan studinya ke pesantren Cikampek, Jawa Barat untuk mempelajari Bahasa Arab dan Gramatikanya. Sebagaimana pada pesantren umumnya, untuk masuk ke pesantren Cikampek ini, setiap calon santri harus melalui ujian sebagai standarisasi pesantren. Atas ijin Allah SWT ketiganya mampu melaluinya dengan baik. Selain itu ketiganya juga mendapat apresiasi karena kecerdasannya, terlebih syaikh Nawawi. Setelah dirasa cukup, sang kiai menyuruh syaikh Nawawi dan kedua adiknya untuk pulang. Adapun rentan waktu belajar yang dibutuhkan syaikh Nawawi dan kedua saudaranya dari ketiga pesantren tersebut diperkirakan enam atau tujuh tahun, yang mengacu pada masa tanam buah Kelapa sampai berbuah.14

Kedatangan syaikh Nawawi dan kedua adiknya mendapatkan simpati yang cukup dari kedua orang tuanya. Dalam rangka menguji kualitas keilmuan syaikh

12Amin, Sayyid Ulama, 20. 13Ulum, Penghulu Ulama, 56-59. 14Ibid., 59-61.


(42)

34

Nawawi, maka kiai Umar menyuruhnya untuk turut membantu mengajar di pesantren. Ternyata harapan orang tua berbanding lurus dengan kualitas keilmuan anaknya. Keilmuan syaikh Nawawi meningkat drastis, sehingga banyak para santri yang turut serta dalam pengajiannya.15

Melihat usia syaikh Nawawi yang masih muda, kiai Umar berkeinginan agar syaikh Nawawi melanjutkan studi-nya ke daerah Haramain. Kiai Umar memilih daerah Haramain karena memang daerah yang menjadi pusat keislaman pada waktu itu. Namun sebelum keberangkatannya, syaikh Nawawi mendapat ujian yang cukup berat atas kepergian ayahnya, kiai Umar pada tahun 1826. Sehingga secara otomatis segala tanggungjawab kiai Umar beralih kepada syaikh Nawawi. Namun melihat keinginan syaikh Nawawi yang begitu kuat untuk menuntut ilmu di negeri Hijaz dan demi mewujudkan keinginan ayahnya, maka nyai Zubaidah pun merestui syaikh Nawawi untuk tetap melanjutkan studi-nya pada tahun 1828. Sehingga tanggungjawab pesantren beralih dari syaikh Nawawi kepada adiknya, Tamim.16

Pada tahun 1830 M, syaikh Nawawi kembali ke Nusantara setelah lebih kurang tiga tahun berkelana di negeri Hijaz, tepatnya pada usia 17 tahun. Sebelum sampai rumah, syaikh Nawawi menyempatkan diri untuk belajar di pesantren Qura yang ada di Karawang. Di pesantren yang berbasis qiraah ini, syaikh Nawawi menyimakkan hafalannya kepada pengasuh pesantren Qura. Tradisi seperti ini biasa disebut dengan istilah “ngaji tabarukan”, yaitu sebuah proses belajar mengajar yang berupa transfer ilmu dari seorang kiai kepada seorang santri

15Ibid., 63. 16Ibid., 62-64.


(43)

35

yang bertujuan untuk ziya>dah al-Khay>r(bertambah kebaikannya) berkucuran pada santri tersebut.17

Kembalinya syaikh Nawawi disambut gembira oleh keluarga dan juga masyarakat sekitar. Karena kecerdasannya, para masyarakat menaruh simpati lebih kepadanya, sehingga kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak dari berbagai pelosok.18 Pengaruh kuat dari Nawawi dan pesantrennya cukup membuat perhatian pemerintah Belanda yang trauma terhadap gerakan pemberontakan santri Diponegoro (1825-1830).19

Selama 25 tahun syaikh Nawawi bersama istri pertamanya, Nyai Nursimah mengasuh pesantren milik ayahnya, ia selalu mendapatkan intimidasi dari Belanda untuk turut mengisi roda pemerintahannya, seperti menjadi penghulu sebagaimana adiknya, Ahmad. Namun syaikh Nawawi tidak menggandrungi ranah pemerintahan, ia lebih memilih berjuang yang orientasinya pada pendidikan. Penolakan yang dilakukan syaikh Nawawi membuat Belanda semakin geram dan tertekan karena ulama adalah poros umat, sehingga pergerakan islam selalu diawasi. Selain itu para ulama juga harus dengan sangat terpaksa melihat penderitaan rakyat, termasuk syaikh Nawawi, hal ini membuatnya tidak nyaman sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Hijaz. Kemblinya syaikh Nawawi ke Hijaz bukan berarti menghindar dari perlawanan Belanda, namun mental rakyat pasca kekalahan perang Diponegoro semakin susut, yang tidak memungkinkan syaikh Nawawi berjuang sendirian. Oleh karena itu syaikh Nawawi kembali ke

17Ibid., 71-72. 18

Chaidar, Sejarah Pujangga Islam, Syaikh Nawawi al-Bantani-Indonesia (Jakarta: Penerbit CV Utama, 1978), 4.; Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika Alquran ala Pesantren: Anlisis terhadap Tafsi>r Mara>h} Labi>d (Yogyakarta: UII Press, 2006), 21. 19Burhanuddin, Hermeneutika Alquran, 21-22.


(44)

36

Hijaz dengan harapan mampu mempelajari islam sedalam-dalamya untuk ditularkan kepada umat Islam, sehingga terwujudlah umat yang militan dalam mempertahanakan agama dan negara.20

Syaikh Nawawi bersama keluarga ke negeri Hijaz pada tahun 1855 M. Sehingga tanggungjawab pesantren dilimpahkan kepada adik-adiknya. Sesampai di Hijaz, syaikh Nawawi juga melanjutkan pengembaraannya ke Mesir dan Syam untuk belajar agama.21

C. Guru dan Murid Syaikh Nawawi al-Bantani

Semangat belajar syaikh Nawawi telah menyita banyak waktu dalam hidupnya. Baginya belajar adalah harga mati yang tidak terikat oleh tempat, namun guru adalah modal utama dalam proses belajar. Syaikh Nawawi tidak hanya belajar kepada orang-orang pribumi, namun juga kepada ulama di negeri Hijaz. Guru-guru Syaikh Nawawi selama belajar di Indonesia dan Arab, yaitu: Kyai Sahal, kyai Yusuf, syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, syaikh Muhammad Khatib al-Hanbali, syaikh Muhammad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Samulaweni, syaikh Abdul Hamid Dagastani.22

Selain sebagai santri, syaikh an-Nawawi juga seorang guru yang reputasinya dapat menarik banyak kalangan untuk belajar kepadanya, baik di wilayah Melayu-Indonesia terutama Jawa Barat maupun di tanah Hijaz. Menurut Azra, murid syaikh Nawawi selama di Hijaz berjumlah sekitar 200 orang setiap

20Amirul Ulum, Penghulu Ulama..., 74-77. 21Ibid., 77.


(45)

37

tahunnya, sedangkan syaikh Nawawi mengajar di sana selama 15 tahun, maka dapat dikalkulasikan tidak kurang dari 3.000 orang.23

Di antara murid-murid syaikh Nawawi yang berasal dari Indonesia, yaitu:

K.H. Hasyim Asy’ari dari Tebuireng Jombang Jawa Timur, K.H. Khalil dari Bangkalan Madura Jawa Timur, K.H. Asy’ari dari Bawean (menikah dengan putrinya, Nyai Maryam), K.H. Nahjun dari Kampong Gunung (menikah dengan cucu syaikh Nawawi, Nyai Salmah binti Ruqayyah binti Nawawi), K.H. Asnawi dari Carigin Labuan Pandeglang Benten, K.H. Ilyas dari kampong Teras Tanjung Keragilan Serang Banten, K.H. Abdul Ghaffa>r dari kampong Lamung Tirtayasa Serang Banten, K.H. Arsyad T}awi>l dari Banten, K.H. Tubagus Bakri dari Sempur Purwakarta Jawa Barat, Kiai Mahfuz} Termas dari pondok pesantren Termas Pacitan Jawa Timur, K.H. R. Asnawi Kudus Jawa Tengah, K.H. Wasit} (seorang ulama dan pemimpin pemberontakan Ciregon pada tahun 1888), K.H. Tubagus Ismail, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri lembaga Muhammadiyah), Kiai Abdus al-Satta>r al-Dahlawi dari Delhi India dan sebagainya.24

D. Karya-karya Syaikh Nawawi al-Bantani

Sebagai ulama yang produktif, syaikh Nawawi telah banyak menghasilkan karya baik yang sempat diterbitkan maupun yang sudah diterbitkan. Menurut Snouck, Syaikh Nawawi cenderung lebih tajam penanya daripada lidahnya. Mengenai jumlah karya syaikh Nawawi, masih terjadi banyak perbedaan, menurut

23

Taufik Abdullah Et. All, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), cet. 1, Jilid 5, 134.

24Husein Muhammad, Fiqh} Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Jender (Yogyakarta: LkiS, 2001), Cet. 1, 172.


(46)

38

Amirul Ulum karya-karya syaikh Nawawi berkisar 155 atau 99 karya.25 Data dari sarkis mengungkapkan ada 38 karya sementara dalam versi Brocklemen menyebutkan 40 buah dengan klasifikasi dalam tujuh bidang, di antaranya:

1. Bidang tafsi>r

Kitab Tafsir Mara>h} Labi>d atau Tafsi>r al Muni>r li Ma’a>lim Tanzi>l al-Musfar ‘an Wuju>h Mah{a>sin al-Ta’wi>l diterbitkan tahun 1305 H di Kairo. 2. Bidang tawh}i>d

a. Dhari>’a>t al-Yaqi>n (1317 H), Sharh} kitab> ‘Umm al-Bara>him. b. Nu>r al-Z}ula>m (1329 H), komentar tentang ‘Aqi>dah al-‘Awa>m.

c. Ti>ja>n Dara>riy ditulis pada tahun 1301 H, Sharh} kitab Risa>lah fi ‘Ilm al-Tawh}i>d karya Syekh Ibra>hi>m al-Bajuri.

d. Qat}r al-Ghai>th Sharh} Masa>’il Abi> Lay>th, sharh} dari kitab al-Masa>’il. e. H}ilyah al-S}ibya>n, sharh} kitab Fath} al-Rah}ma>n.

f. Fath} al-Maji>d (1298 H), Sharh} kitab al-Du>rr al-Fari>d fi> ‘Ilm al-Tawh}i>d. g. al-Thama>r al-Ya>ni’ah (1299 H), sharh} dari kitab al-Riya>d al-Badi>‘ah fi>

Us}u>l al-Di>n wa Ba‘d Furu>‘ al-Shari>‘ah karya Muh}ammad ibn Sulaima>n H}asb Allah.

h. al-Nahjah al-Jadi>dah (1303 H). 3. Bidang fiqh

a. Qu>t al-H}abi>b (Kairo: 1301,1305,1310 H) atau Tawshi>h} ‘ala> ibn Qa>sim Qu>t al-H}abi>b al-Ghari>b, Syarh} dari Fath} al-Qari>b.

b. Mara>qy al-‘Ubu>diyah, Sharh} Bida>yah al-Hida>yah karya al-Ghazali.


(47)

39

c. Fath} al-Muji>b (1276 H), Sharh} dari Mana>qib al-H}ajj. d. Sullam al-Muna>ja>t (1297 H), sharh} dari Safi>nah al-S}ala>h

e. al-‘Aqd al-Thami>n Sharh} al-Manz}u>mah al-Sitti>n al-Mas’alah al-Musama> al-Fath} al-Mubi>n (Kairo 1300 H).

f. Ka>shifah al-Saja> (1305 H), merupakan sharh} dari kitab Safi>na>t al-Naja> karya Ibn Sami>r dari Sih}r di Hadramawi.

g. Niha>yah al-Zay>n (1297 H)

h. ‘Uqu>d al-Lujay>n fi> Bayan al-H}uqu>q al-Zawjay>>n (1297 H). i. Mirqat ash-Shu’ud al-Tas}di>q (1292 H).

j. Suluk al-Jadah (1300 H). 4. Bidang akhla>q atau tasawuf

a. Sala>lim Fud}ala>’ (Kairo 1301, Mekka 1315), Sharh} dari Manzu>m Hida>yat al-Azkiya> ila> T}ari>q al-Awliya>’ karya Zainuddin al-Malibari (w. 928 H). b. Manz}u>ma>t fi> Shu’abi al-Imam Nawawi menulis Qa>mi’ al-T}ughya>n

(1296).

c. Mis}ba>h} al-Z}ala>m ‘ala> Manhaj al-Ta>mm fi> Tabwi>b al-H}ika>m (1314 H). d. Bida>yah al-Hida>yah

e. Maraq al-‘Ubudiyah (1298 H), 5. Bidang ta>ri>kh

a. Fath} al-S}ama>d (1292 H), atau al-‘Uru>s, Bugyah al-Awa>m (1207 H). b. Targhi>b al-Mus}ta>qi>n (1292 H) atau dengan nama lain mada>rij as-Su’u>d ila>

Iktisa>’il al-Buru>d (1296 H), sharh} Mawli>d karya Ja’far ibn Hasan. c. Al-Durur al-Bahy (1299), sharh} dari kitab al-Khas}a>is} al-Anbiya>’.


(48)

40

d. Al-Ibri>z al-Da>ni> (1292 H), kutipan dari Mawlid karya al-Qastallani . 6. Bidang bahasa

a. Fath} Gha>fir al-Khat}iyah ala al-Kawa>kib al-Jaliyah fi> Naz}m al-Juru>miyah (1298 H), sharh} dari Jurumiyah.

b. Al-Fushush Yaqutiyah (1299 H), sharh} Al-Rauda Bahiyya fi> al-Abwa>b al-Tasrifiyya.

c. Kashf al-Marut}iy (1299 H), sharh} dari al-A<jurumiyah. 7. Bidang retorika

Luba>b Baya>n si> ‘ilm Baya>n (1301 H), sharh} dari Risalat al-Isra>’iliyya>t karya Husain al-Nawawi al-Malikiy.26

Karya lainnya yang belum selesai karena imam Nawawi telah meninggal dunia, yaitu Sharh} Minha>j al-T}a>libi>n.27

E. Madzhab Syaikh Nawawi al-Bantani

Syaikh Nawawi adalah seorang ulama multidisipliner yang menguasai semua bidang keilmuan Islam. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang tidak hanya pada satu bidang, sebagaimana pengklasifikasian Brockleman yang meliputi bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah, bahasa dan retorika. Namun dari kesemua bidang tersebut dapat dijadikan suatu acuan pemikiran atas syaikh Nawawi yang mewarisi keilmuan ulama salaf sebagai pijakan anlisis untuk

26Nina M. Armando, Starlita, dkk. Ensiklopedi Islam, vol. 5 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 199-200.; Burhanuddin, Hermeneutika al-Qur’a. lihat juga M. Rosyidi, dkk. Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid. 2(Jakarta: Departemen Agama RI, 1993), 842-843.


(49)

41

merekonstruksi pemikirannya. Madzhab keilmuan syaikh Nawawi al-Bantani sebagaimana berikut:

a. Bidang fiqh

Dalam masalah fikih, syaikh Nawawi menjadi pengikut imam Syafi’i. hal ini tercermin dari karya-karyanya seperti sharh} safi>nah al-naja>h, sharh} sulla>m al-tawfi>q, niha>yah al-zay>n fi> irsha>d al-mubtadi’i>n yang berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna.28

b. Bidang teologi

Dalam beberapa tulisannya, seringkali syaikh Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi imam Abu Hasan al-Asy’ari dan imam Abu Mansur

al-Maturidi. Sebagai penganut Asy’ariyah, syaikh Nawawi banyak

memperkenalkan konsep s}ifatiyah Allah. Selain itu mengenai naqli dan aqli syaikh Nawawi juga memposisikan sebagaimana proporsinya, tidak mendahulukan akal di atas dalil nas}.29

c. Bidang tasawuf

Syaikh Nawawi merupakan salah satu ulama Indonesia yang mempraktikkan konsep tasawuf ortodoks. Dalam memahami tasawuf, syaikh Nawawi menggambarkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautannya dan hakikat merupakan intan dalam lautan, yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya, syariat dan t}ari>qah merupakan awal perjalanan seorang sufi, sementara hakikat adalah

28Mamat Slamet Burhanuddin, “K.H. Nawawi Banten (w. 1314/1897) Akar Tradisi

Keintelektualan NU”, Miqat, Vol. XXXIV No. 1 Januari-Juni 2010, 130-131.


(50)

42

hasil dari syariat dan t}ari>qah. Paparan konsepsi tasawuf syaikh Nawawi menunjukkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam hal ini syaikh Nawawi terlihat berkiblat pada imam Ghazali yang berupaya memadukan antara fikih dan tasawuf. Selain itu syaikh Nawawi juga merekomendasikan kepada umat Islam untuk mengikuti tasawuf al-Junaidi dengan konsep ittihad-nya, yaitu ajaran penyatuan makhluk dan Tuhan, namun tetap dengan berlandasan pada syariat.30

Seperti ketika syaikh Nawawi menafsirkan surat al-Shu‘ara>’ ayat 10 yang mengutip pendapat dari Abu> H{asan ‘Ash’ari> dan Abu> Mans}u>r al-Ma>turidy> yang sejalan dengan konsep qadi>m-nya Alqura’an sebagai berikut:

ق

ي أ

ب

ي

غحلا

س

ني

غأا

ش

عِ

ي:

ما

س

ي

يحلا

ك

ا

يحلا

قِد

ي

،ي

ف

ك

ي أ

ني

ا

هي

ع

ى

ي

ا

ي

ش

ِه

يلا

ا

ي

ي أن

ي

ِئي

يِف

ي

ي

ِخ ا

ِي

ِن

ي

يِ

ي

كي

ي

ا

ي

ِج

،ي

ف

ك

اي

ك

ا

هي

ن

يع

ني

ش

ب

ِي

حلا

ِي

حاغأ

ص

ِ ا

ي

ي أن

هي

س

.

ق

ي أ

ب

ي

ن

ِي

حلا

ِي

ِد

ي:

لاِ

ي

س

عه

ي

س

ى

يع

يِه

ي

سلا

ا

ي

ك

ني

ِند

ظءاي

ِن

ي

ِجن

ِي

حلا

ح

ِي

حاغأ

ص

ِ ا

يِ

غأن

ي

ن ك

يِب أ

ني

ُك

لي

ج

يي

ِ

ي أ

حني

ي

ي

ل

يي ث

ِ

ي أن

ين

س

ي

حاغأ

ج

س

ِي ف

ييح

ي

ِص

ح

ي

ك

ني

ُ ك

لي

ج

ي

س

ع

31

F. Latar Belakang Kepenulisan Kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l

Syaikh Nawawi al-Bantani mengemukakan bahwa kitab Tafsi>r al Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l ditulis sebagai jawaban terhadap permintaan beberapa koleganya agar ia menulis sebuah kitab tafsir sewaktu berada di Makkah. Kitab ini diselesaikan pada tahun 1305 H/ 1884 M dan diterbitkan pertama kali di

30Ibid., 132-134.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Bentuk-bentuk dakhi>l terutama dakhi>l naql dalam kitab tafsir al-Muni>r li

Ma‘lim al-Tanzi>l, penulis kelompokkan menjadi empat macam dakhi>l dari

kedelapan bentuk dakhi>l naqli yang ada, diantaranya yaitu pertama: bentuk penafsiran Alquran dengan hadis mursal yang berupa isra>iliyya>t, yang mana dalam hal ini tidak ada penguat hadis lain. kedua: penafsiran dengan pendapat sahabat yang diduga mengacu riwayat isra>iliyya>t, dan ketiga: penafsiran Alquran dengan hadis yang tidak layak dijadikan hujjah, seperti hadis mawd}u>‘ (palsu) dan hadis d}a’i>f (lemah).

2. Terjadinya dakhi>l dalam tafsir al-Muni>r li Ma’alim al-Tanzi>l cenderung karena kurangnya selektif syaikh Nawawi terhadap kualitas sanad hadis. Dalam pengambilan riwayat syaikh Nawawi juga terkadang melakukan pemotongan transmisi (sanad) hadis dan membiarkannya tanpa komentar. Namun dalam penggunaannya, syaikh Nawawi hanya berorientasi pada suatu kisah-kisah sebagai informasi kisah terdahulu serta penggunaan riwayat sebagai motivasi dalam beribadah.


(2)

72 B. Saran

Dakhi>l merupakan salah satu studi kritik ilmu tafsir yang masih tergolong muda, yang baru diperkenalkan sekitar tahun 1980-an. Meskipun demikian, kajian dakhi>l juga merupakan hal yang urgen, mengingat semakin maraknya penggunaan hadis-hadis d}a‘i>f, palsu dan juga riwayat isra>iliyya>t dalam tafsir. Salah satunya adalah dakhi>l dalam kitab Tafsir al-Muni>r li Ma’alim al-Tanzi>l yang belum sepenuhnya mendapatkan sentuhan peneliti langsung, sehingga bisa dilakukan lebih komprehensif terutama dakhi>l dalam bentuk aql.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

adz-Dzahabi, Muhammad Husein. Penyimpangan-penyimpangan dalam

Penafsiran al-Qur’an, trj. Hamim Ilyas dan Machnun Husein. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.

Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam. ‚Al-Dakhi>l fi> Tafsi>r (Studi Kritis dalam Metodologi Tafsir)”, Tafaqquh. vol. 2 No. 2. Desember 2014.

Ahmad Muttaqin. “Karakteristik Tafsir Marah Labid Karya Syaikh Nawawi al -Bantani”, al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadis. Vol. 8. No. 1 Januari-Juni 2014.

Ainur Ruchama’.“Kehujjahan dan Reinterpretasi Hadis Misogini dalam kitab Syarah ‘Uqu>d al-Lujjay>n fi> Baya>n H}uqu>q Zawjay>n Karya Nawawi al-Bantani”. Skripsi 8 Juli 2002.

al-Alba>niy, Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n. D}a‘i>f al-Targhi>b wa al-Tarhi>b, Jilid 2. Riyad}: Maktabah al-Ma‘a>rif, T.th.

al-As}fa>h}a>ni>, Al-Ra>ghib. al-Mufrada>t fi> Ghari>b al-Qur’a>n. Lubnan: Da>r

al-Ma’rifah: T. Th.

al-D}ah}a>k, Muh}ammad bin ‘I.sa> bin Sawrah bin Mu>sa> bin. Sunan al-Tirmidzi jilid 5, Cet. 2. Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba‘ah Mus}t}afa> al-Ba>biy al-H}albiy, 1975.

al-Di>n, Shams. al-Sira>j al-Muni>r fi> al-‘I‘a>nah ‘Ala> Ma’rifah ba‘d} Ma‘a>niy Kala>m Rabbuna> al-H{aki>m al-Khabi>r. Kairo: Mat}baqah Bu>laq, 1285 H.

al-Fayd}, Abd al-Waha>b. al-Dakhi>l fi> Tafsi>r Alqura>n al-Kari>m. Kairo: Mat}ba’ah al-H}ad}a>rah al-‘Arabiyyah, 1980.

al-Ja>wi>, Muh}ammad bin ‘Umar Nawawi>. Mara>h} Labi>d li Kashf Ma’na> al-Qur’a>n al-Maji>d, vol. 2. Lebanon: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008.

al-Ma>liki>, Muha}ammad al-Ami>r al-Kabi>r. al-Nakhbah al-Bahiyah fi> al-Ah}a>di>th al-Makdhu>bah ‘Ala> al-Khai>r Bariyah juz 1. Beirut: Maktab al-Isla>miy, 1988.

al-Manya>wi>, Abu> al-Mundhir Mah}mu>d bin Muh}ammad bin Mus}t}afa> bin ‘Abd Lat}i>f. al-Jumu>’ al-Bahiyah lil‘aqi>dah al-Salafiyah juz 2. Mesir: Maktabah Ibn ‘Abba>s, 2005.


(4)

74

al-Najja>r, Jama>l Mus}t}afa>. Us}u>l al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r Ayy al-Tanzi>l. Kairo: Universitas al-Azhar, 2009.

al-Qat}t}a>n, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, trj.Mudzakir AS. Bogor: Litera AntarNusa, 2011.

al-Qurt}ubi>, Abu> ‘Abd Allah>h Muh}ammad bin Ah}mad bin Abi> Bakr bin Farh} al

-Ans}a>ri> al-Khazarji> Shams al-Di>n. al-I’la>m bima> fi> Di>n al-Nas}ara> min al-Fasa>d wa al-Awha>m juz 1. Kairo: Da>r al-Tura>th al-‘Arabi>, T.th.

Al-Ra>zi>, Mukhta>r al-S}ih}h}a>h}, cet. 1. Beirut: Maktabah Lubna>n Nashiru>n, 1995. al-Sha>fi’iy, Shams al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad al-Khat}i>b al-Shirbaniy. al-Sira>j

al-Muni>r fi> al-I’a>nah ‘ala> Ma’rifah Ba’d} Ma’a>ni> Kala>m Rabbuna> al-H}aki>m al-Khabi>r, Jilid 1. Kairo: Mat}ba’ah Bu>la>q, 1285 H.

al-Shawka>ni>, Muhammad bin ‘Ali> bin Muhammad. al-Fawa>‘id al-Majmu>’ah fi> al-Ah}a>di>th al-Mawd}u>’ah. Libanon: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Amin, Samsul Munir. Karomah Para Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008. Amin, Samsul Munir. Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani.

Yogyakarta:LKIS, 2009.

Arifin, Zaenal Dasar-Dasar Penulisan Karya Ilmiah. Jakarta: Gramedia, 2008. Ayu>b, Sulaima>n bin Ah}mad bin. al-Mu‘jam Awsat}, Juz. 6. Kairo: Da>r

al-H}aramai>n, T.th.

Baidan, Nashruddin. Metode Penafsiran Alquran: Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat yang Beredaksi Mirip. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Bakar bin Abd Alla>h Abu. Zay>d bin Muh}ammad bin ‘Abd Alla>h bin Bakar bin

‘Uthma>n bin Yah}ya> bin Ghaihab bin Muh}ammad, Mu’jam al-Muna>hi>

al-Lafz}iyah wa Fawa>id fi> al-Fa>z}. Riyad}: Da>r al-‘A<shimah linshr wa al -Tawzi>’, 1996.

Burhanuddin, Mamat S. Hermeneutika Alquran ala Pesantren: Anlisis terhadap Tafsi>r Mara>h} Labi>d. Yogyakarta: UII Press, 2006.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999. Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi.

Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2013.

Ibrahim Syuaib Z. ‚Dakhi>l al-Naqli dalam Alquran dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004‛. Executive Summary, Universitas Islam Negeri


(5)

75

Idris, Studi Hadis. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

Khalifah, Ibrahil. al-Dakhi>l fi> al-Tafsi>r, jilid 1. Kairo: Da>r al-Baya>n, ttp.

Lajnah Pentas}h}i>h mus}h}af Alquran. Alqur’a>n al-Kari>m. Jakarta: Menara Kudus, 2006.

M. Rosyidi, dkk. Ensiklopedi Islam di Indonesia, jilid. 2. Jakarta: Departemen Agama RI, 1993.

Mamat Slamet Burhanuddin. “K.H. Nawawi Banten (w. 1314/1897) Akar Tradisi Keintelektualan NU”, Miqat. Vol. XXXIV No. 1 Januari-Juni 2010.

Maryam Shofa. ‚ad-Dakhi>l dalam Tafsir al-Ja>mi’ li Ah}ka>m al-Qur’a>n Karya al-Qurtubi>: Analisis Tafsir Surah al-Baqarah‛. S}uh}u>f. vo. 6, No. 2, 2013. Moeleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Bandung, 1996.

Muhammad, Husein. Fiqh} Perempuan: Refleksi Kyai atas Wacana Agama dan Jender. Yogyakarta: LkiS, 2001.

Mus}t}afa>, Ibra>hi>m. al-Mu’jam al-Wasi>t}. Turki: Da>r al-Da’wah, 1990.

Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an. Yogyakarta: Adab Press, 2014.

Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2015.

Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Rahman, Fatchur. Ikhtisa>r Musht}ala>h} al-Hadi>th. Bandung: al-Ma’arif, T.th. Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2010.

Shihab, M. Quraish. Tafsi>r al-Mis}ba>h}: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, vol. 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish. Tafsi>r al-Mis}ba>h}: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, vol. 10. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Syahbah, Muhammad ibn Muhammad Abu. Isra>‘iliyya>t dan Hadis-hadis Palsu Tafsir al-Qur’an, trj. Mujahidin Muhayan dkk. Depok: Keira Publishing, 2014.


(6)

76

Taimiah, ibn. Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibn Taimiyah, ter. Sholihin. Jakarta: al-Kauthar, 2014.

Taufik Abdullah Et. All, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara .Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Ulum, Amirul. Penghulu Ulama di Negeri Hijajz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani. Yogyakarta: Pustaka Ulama, 2015.