BAB II PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Problematika terhadap Pekerja dalam Proses Kepailitan Perseroan Terbatas

BAB II PEMBAHASAN

Sebelum mengkaji lebih dalam mengenai analisis penulis terkait permasalahan atau problematika pekerja (kreditor) sebagai pemohon kepailitan perusahaan tempatnya bekerja (debitor), penting untuk memahami konsep hukum kepailitan. Oleh karena kepailitan digunakan sebagai pranata hukum untuk menyelesaikan sengketa utang piutang oleh pekerja terhadap perusahaan, maka pekerja harus memenuhi syarat pengajuan permohonan pailit baik syarat formil maupun materil. Syarat formil dan materil digunakan sebagai kaidah untuk menentukan apakah permohonan pernyataan pailit dapat dikabulkan ataupun ditolak. Syarat formil terdiri dari dua komponen, yaitu kompetensi Pengadilan Niaga dan pembuktian sederhana. Sedangkan syarat materil terdiri dari tiga komponen, yaitu adanya debitor, adanya dua kreditor atau lebih dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam satu syarat materil, menyatakan bahwa salah satu pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah kreditor.

Untuk dapat menjelaskan bahwa pekerja dapat menjadi kreditor oleh karena tidak terpenuhinya hak normatif yang seharusnya diterima oleh karena Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan sehingga besarnya hak normatif yang dapat ditentukan dalam bentuk sejumlah uang tersebut dikategorikan sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena itu, dalam bab ini lebih mentitikberatkan pada Untuk dapat menjelaskan bahwa pekerja dapat menjadi kreditor oleh karena tidak terpenuhinya hak normatif yang seharusnya diterima oleh karena Pemutusan Hubungan Kerja oleh perusahaan sehingga besarnya hak normatif yang dapat ditentukan dalam bentuk sejumlah uang tersebut dikategorikan sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena itu, dalam bab ini lebih mentitikberatkan pada

Oleh sebab itu, sistematika penulisan dalam bab ini dibagi dalam beberapa bagian yakni sebagai berikut. Pertama, membahas mengenai latar belakang adanya lembaga kepailitan. Kedua, membahas konsep kepailitan yang diuraikan berdasarkan pendekatan etimologis, doktrin dan pendekatan UU. Ketiga, memuat uraian tentang hukum acara dalam kepailitan, yang terdiri dari dua, yaitu syarat permohonan pailit dan acara pemeriksaan pailit. Syarat permohonan pailit yang dimaksud adalah syarat formil dan materil termasuk uraian mengenai pekerja sebagai pemohon pailit dan perseroan terbatas sebagai termohon pailit. Keempat, memuat uraian tentang hasil penelitian terhadap kasus-kasus kepailitan. Kelima, memuat uraian tentang analisis yang terdiri dari tiga bagian, yaitu variasi pertimbangan hakim dan amar putusan dalam memutus 10 (sepuluh) kasus kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja, penetapan PHI yang menentukan besarnya hak normatif yang diterima pekerja akibat PHK dan variasi yang dapat dilakukan oleh pekerja agar permohonan kepailitan dapat dikabulkan.

A. Latar Belakang Lembaga Kepailitan

Banyaknya kredit macet pada sejumlah bank pada akhir tahun 1997 telah menandai awal krisis moneter yang berkepanjangan di Indonesia. Kondisi ini

Amerika, yang pernah mencapai titik terendah Rp. 15.000,00/1 US$. Seiring dengan merosotnya nilai tukar rupiah tersebut, kemudian para debitor Indonesia dalam membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo, baik dalam mata uang asing ataupun rupiah juga ikut merosot. Permasalahan kredit macet ini dinilai, selain merupakan sumber krisis moneter yang telah terjadi, juga merupakan faktor

penghambat perbaikan ekonomi Indonesia pasca krisis moneter tersebut. 1 Pada tahun 1988, akibat terjadi krisis moneter di Indonesia berpengaruh terhadap peraturan kepailitan. Faillisements Verordening (Staatsblad No. 217 Tahun 1905 Jo. Staatsblad No. 348 Tahun 1906) yang merupakan peraturan kepailitan yang berlaku pada saat itu di Indonesia dirasakan tidak mampu lagi untuk menyelesaikan permasalahan kredit macet tersebut. Oleh karena itu, pada tanggal 22 April 1998 pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang (peraturan) kepailitan. Perpu tersebut mengubah dan menambah faillisements verordening (FV) dan tidak mencabut faillisements verordening (FV), yang kemudian menjadi Undang-Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Salah satu pokok penyempurnaan yang dilakukan oleh perpu kepailitan yang disebutkan dalam penjelasan atas Undang-Undang Kepailitan bagian umum adalah pembentukan Pengadilan Niaga yang khusus memeriksa

permohonan kepailitan dan sengketa bisnis. 2 Pembentukan Pengadilan Niaga ini untuk mengatasi sistem hukum dan

kompetensi hakim pengadilan umum yang tidak mencukupi dalam memutuskan

1 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan makalah seri Workshop Kepailitan I - IV, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma 1 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta: Kumpulan makalah seri Workshop Kepailitan I - IV, Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma

tempat penyelesaian perkara kepailitan dirasakan mengalami penurunan. 3 Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Jumlah perkara kepailitan yang diterima Pengadilan Niaga dari Tahun 1998-2003

Tahun Jumlah perkara yang diterima Pengadilan Niaga 1998

Salah satu yang diyakini menjadi penyebab kemunduran perkembangan Pengadilan Niaga adalah banyaknya ketidakjelasan aturan yang terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1998. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 4 Tahun 1998 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan yang baru dan Salah satu yang diyakini menjadi penyebab kemunduran perkembangan Pengadilan Niaga adalah banyaknya ketidakjelasan aturan yang terdapat dalam UU No. 4 Tahun 1998. Oleh karena itu dilakukan perubahan terhadap UU No. 4 Tahun 1998 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan yang baru dan

pada Pasal 2 ayat (5) serta syarat-syarat dan prosedur pernyataan paiit. 4

B. Konsep Kepailitan

Istilah “pailit” dapat dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Latin, Belanda, Inggris dan Perancis. Kata pailit berasal dari bahasa Latin yaitu „failure‟, dalam

bahasa Belanda digunakan istilah „failiet‟, sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah „to fail‟, serta Perancis menyebut pailit dengan menggunakan istilah „failite‟ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan

pembayaran. 5 Algra mendefinisikan bahwa kepailitan adalah “Faillissementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van

zijn gezamenlijke schuldeiser”. 6 (kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk melunasi utang-

4 Edward Manik, Op.Cit., h. 14-29.

utangnya kepada kreditor (si berpiutang)). Henry Campbell Black dalam B lack‟s Law Dictionary juga mendefinisikan bahwa:

Bankrupt is the state or condition of a person (Individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its

debt as they are, or become due. 7 The term includes a person againts whom an involuntary petition has been filed, or who has

filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi

keuangan dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. 8 Sedangkan pengertian kepailitan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

Dalam pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah pelaksanaan dari dua asas/prinsip dalam rezim hukum harta kekayaan yaitu prinsip paritas creditorium (Pasal 1131 KUHPerdata) dan prinsip pari passu prorata parte (Pasal 1132 KUHPerdata). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik barang bergerak atapun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorata parte adalah harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor

7 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1979, h.

itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. 9

Walaupun dinyatakan bahwa seluruh harta kekayaan debitor (Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004) menjadi jaminan bagi pelunasan utang kepada Kreditor, akan

tetapi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap: 10

(a) Benda termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan unuk kesehatan, tempat tidur, dan perlengkapannya yang digunakan oleh Debitor dan keluargannya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; (b) Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau (c) Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Ketentuan dalam UU Kepailitan bertujuan untuk melindungi hak dasar atau hakiki yang dimiliki debitor sebagai manusia. Sehingga dengan dipailitkannya debitor, tidak bermakna bahwa seluruh harta kekayaan debitor menjadi disita oleh Pengadilan untuk membayar seluruh hutangnya kepada kreditor.

C. Hukum Acara dalam Kepailitan

1. Syarat Agar Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima

Adapun syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit sehingga dapat diterima terbagi menjadi dua, yaitu syarat formil dan syarat materil.

9 Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, 2001, dalam Rudhy A. Lontoh (ed.), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran

Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka permohonan pailit yang ajukan oleh pemohon ditolak oleh Pengadilan Niaga dimana permohonan itu diajukan.

a. Syarat Formil

Terdapat 2 (dua) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, yakni pengajuan permohonan pailit merupakan kewenangan Pengadilan Niaga di tempat kedudukan debitor dan perkara dapat dibuktikan secara sederhana.

1) Kompetensi Pengadilan Niaga

Pengadilan Niaga merupakan bagian dari Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum juncto Pasal 1 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004. Pengadilan Niaga mempunyai kompetensi (kewenangan) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang . Kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa :

Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang- Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor.

Selain itu, Pasal 300 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pengadilan Niaga juga berwenang untuk memeriksa dan memutus Selain itu, Pasal 300 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pengadilan Niaga juga berwenang untuk memeriksa dan memutus

2) Pembuktian sederhana

Syarat ini diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Dalam proses pembuktian hukum kepailitan, fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana yang dimaksud adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan adanya fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Fakta dan kenyataan tersebut harus terbukti secara sederhana dalam jangka waktu proses sejak pengajuan permohonan hingga dikeluarkanya putusan yaitu selama 60 hari. Apabila fakta dan kenyataan tidak terbukti sederhana atau dengan kata lain perlu jangka waktu yang lama untuk dapat membuktikan bahwa terdapat sengketa utang-piutang antara debitor dan kreditor, maka esensi dari kepailitan akan hilang. Hal ini dikarenakan kepailitan termasuk sebagai proses acara peradilan cepat. Apabila fakta dan kenyataan tidak sederhana, maka pihak yang berkepentingan tersebut harus mengajukan gugatan keperdataan ke Pengadilan Negeri.

b. Syarat Materil

Ada 3 (tiga) syarat agar pengajuan permohonan pailit dapat diterima sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, yaitu:

Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

1) Adanya Debitor Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

Undang-Undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. 11 Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum, baik orang perseorangan

atau orang alamiah (natuurlijk persoon) maupun badan hukum (rechts persoon ) seperti Perseroan Terbatas. Tanpa adanya perikatan maka tidak ada debitor sebagai si berutang yang memiliki kewajiban pembayaran utang kepada Kreditor dan merupakan subjek utama dalam hukum kepailitan.

2) Adanya dua Kreditor atau lebih

Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. 12 Yang dimaksud dengan “kreditor” adalah baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. 13 Adanya dua kreditor atau

lebih yang dimaksud adalah untuk dapat mengajukan permohonan pailit

11 Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004.

kepada debitor, maka debitor tersebut harus memiliki sekurangnya 2 (dua) kreditor. Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor saja, maka seluruh harta kekayaannya menjadi jaminan bagi pelunasan hutang tersebut, serta pranata hukum yang digunakan adalah jalur gugatan keperdataan di Pengadilan Negeri. Akan tetapi, jika debitor memiliki lebih dari 1 (satu) kreditor maka harta kekayaan debitor haruslah dibagi berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum kepailitan, seperti prinsip paritas creditorum dan prinsip pari passu prorata parte.

3) Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu

dan dapat ditagih Syarat ini dimaksudkan adalah apabila akan mengajukan permohonan pailit, maka dari dua kreditor atau lebih tersebut harus memiliki minimal adanya satu utang yang tidak dibayar lunas oleh debitor serta utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Yang dimaksud dengan

“telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena

percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun

karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. 14 Pengertian “utang” sebagai syarat pengajuan permohonan pailit tercantum dalam

Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004 yakni: Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat

dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau

Dari definisi tersebut utang yang dimaksud dalam hukum kepailitan adalah utang dalam arti luas atau tidak ada pembatasan, oleh karena utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang- piutang dan pinjam- meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah

uang.” 15 Selain itu, pengertian utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih atau kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu

yang dimaksud adalah karena percepatan waktu penagihan (klausula Cross Dwolt ), pengenaan sanksi atau denda serta karena putusan pengadilan atau arbitrase.

Bagan 2.

Lima syarat agar permohonan pernyataan pailit dapat diterima

Kompetensi Pengadlan Niaga

Syarat Formil

Pembuktian Sederhana

Lima Syarat Agar Permohonan pernyataan pailit

Adanya Debitor

dapat diterima Adanya 2 Kreditor

Syarat Materil

atau lebih

Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang

telah jatuh waktu dan dapat tagih

2. Pemohon Pailit

Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi pemohon pailit adalah debitor sendiri, satu atau lebih kreditor, atau oleh pihak ketiga, seperti Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) maupun

Menteri keuangan. 16 Dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada dasar hukum mengapa pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor sehingga

memiliki kedudukan hukum untuk menjadi pemohon pailit.

a. Pekerja

Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 17 Jika dilihat dalam UU Kepailitan tidak disebutkan secara eksplisit bahwa pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor. Hal ini dikarenakan pada Pasal 2 UU Kepailitan yang mengatur pihak yang berkedudukan sebagai pemohon pailit, hanya mengatur kreditor dalam arti luas atau tidak bersifat limitatif siapa yang dapat menjadi

kreditor. Akan tetapi, menurut Ricardo Simanjuntak 18 pekerja termasuk dalam salah satu golongan yang mendapat pembagian dari hasil penjualan boedel pailit menurut urutan haknya, yaitu setelah hak preferensi separatis dan sebelum hak preferensi khusus. Hak para kreditor untuk mendapatkan pembagian dari hasil penjualan pailit dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat mulai dari hak yang paling tinggi (memiliki hak yang harus didahulukan) sampai hak yang paling rendah yaitu sebagai berikut:

1) Hak retensi merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan yang diberikan kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditor ini berhak untuk menahan benda (boedel pailit) yang berada di bawah kekuasaannya sebelum biaya

perbaikan terhadap boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi, 19 serta

17 Pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2003. 18 Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2011, h. 301-302. 19 Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3) huruf b UU No. 16 Tahun

2009 tentang Perppu No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahaan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 2009 tentang Perppu No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahaan Keempat Atas UU No. 6 Tahun

2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak yang dimiliki kantor pajak untuk mendapatkan pembayaran (tagihan pajak) dari boedel pailit

lebih dahulu dari kreditor lainnya, 21 yaitu hak mendahulu untuk tagihan pajak atas barang-barang Wajib Pajak (boedel pailit) kreditor;

3) Hak prefensi separatis merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor- kreditor yang memegang jaminan dalam bentuk hak tanggungan, hipotek,

gadai dan fidusia; 22

4) 23 Hak istimewa pekerja/buruh;

5) Hak prefensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal 1139 KUHPerdata;

6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUHPerdata;

7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk dibayarkan secara pro rata berdasarkan Pasal 1132 KUHPerdata.

Dari penjelasan di atas, pekerja termasuk dalam salah satu golongan yang mendapat pembagian dari hasil penjualan boedel pailit menurut urutan haknya, yaitu hak yang diistimewakan oleh UU Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) yang berbunyi: ”Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan

20 Pasal 21 ayat (3) huruf c UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1) KUHPerdata.

21 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 Jo. Pasal 1134 dan Pasal 1137 KUHPerdata.

perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari

pekerja merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. ” Dari pasal

tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa oleh karena hak pekerja merupakan utang, maka dalam hukum kepailitan pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor oleh karena utang yang tidak dibayarkan oleh perusahaan. Utang yang dimaksud adalah hak pekerja seperti hak atas pembayaran upah dan hak-hak lainnya yang dimaksudkan adalah hak-hak normatif sebagaimana diatur dalam Pasal 165 UU No. 13 Tahun 2003. Oleh sebab itu pekerja dapat menjadi pemohon pailit dalam hukum kepailitan.

b. Serikat Pekerja

Walaupun tidak disebutkan secara ekspilisit dalam UU No. 37 tahun 2004 bahwa serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai subjek yang dapat menjadi pemohon pailit, akan tetapi berdasarkan pada Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh yang menyatakan:

Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.

Jadi, serikat pekerja dapat mewakili pekerja untuk memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Serikat Pekerja memiliki hak untuk mewakili pekerja dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan Jadi, serikat pekerja dapat mewakili pekerja untuk memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Serikat Pekerja memiliki hak untuk mewakili pekerja dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan

Para pihak PT. Arta Glory Buana diwakili dikantor utama Willi Josep Candra melawan Fakhur Khakam, dkk. sebagai Pimpinan Serikat Pekerja Nasional PT. AGB yang bertindak untuk dan atas nama seluruh anggota Serikat Pekerja Nasional yang berjumlah 1942 orang berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Nasional Nomor: KEP.83/A-INT/DPC SPN/III/07 dan berdasarkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Serikat Pekerja Nasional.

Dalam amar putusannya mengabulkan permohonan pemohon pailit. Dengan kata lain, majelis hakim menyimpulkan bahwa persyaratan permohonan pailit oleh serikat pekerja telah terpenuhi. Dengan demikian adanya pengakuan jika serikat pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor atau pemohon pailit dengan mewakili anggotanya (pekerja) untuk memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan pekerja. Hak dan kepentingan yang dimaksud adalah hak pekerja untuk menerima pemenuhan hak normatifnya yang tidak dibayarkan oleh perusahaan sehingga diperlukan upaya hukum untuk mengajukan permohonan pailit yang diwakili oleh Serikat Pekerja.

24 Pasal 25 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat

3. Hubungan Pekerja dan Kepailitan

a. Kedudukan Hukum Sebagai Kreditor

UU Kepailitan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai kedudukan pekerja sebagai kreditor. Akan tetapi jika dilihat berdasarkan golongan kreditor yang terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,

kreditor preferen dan kreditor separatis 26 pekerja memiliki kedudukan sebagai kreditor preferen umum. Golongan kreditor yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Kreditor konkuren

Kreditor konkuren diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata. Kreditor konkuren adalah para kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah terpenuhi. Kreditor konkuren mendapatkan pelunasan berdasarkan prinsip pari passu pro rata parte , artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh kekayaan debitor tersebut. Dengan demikian, para kreditor konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitor tanpa ada yang didahulukan.

2) Kreditor preferen

Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu kreditor yang oleh undang- undang, semata-mata karena sifat piutangnya mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang yang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata karena sifat piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata). Kreditor preferen terdiri atas kreditor preferen umum dan kreditor preferen khusus.

a) Kreditor preferen khusus

Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang piutang-piutangnya diistimewakan menurut prefensi khusus (Pasal 1139 KUHPerdata). Prefensi khusus tersebut antara lain: (1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu

penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda tersebut, bahkan lebih dahulu daripada gadai dan hipotik;

(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak, biaya-biaya perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi persetujuan sewa;

(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang belum dibayar; (4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang; (5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu barang, yang masih harus

dibayar kepada tukang;

(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumah

penginapan sebagai demikian sebagai seorang tamu; (7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya tambahan; (8) Apa yang harus dibayar kepada tukang batu, tukang kayu dan

lain-lain; (9) Penggantian serta pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang memangku suatu jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.

b) Kreditor preferen umum

Kreditor preferen umum adalah kreditor yang piutang-piutangnya diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak yang disebut prefensi umum (Pasal 1149 KUHPerdata). Adapun prefensi umum didasarkan pada urutan sebagai berikut: (1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan oleh

pelelangan dan penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini didahulukan daripada gadai dan hipotek;

(2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk menguranginya, jika biaya itu terlampau tinggi; (3) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan;

(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal 1602 KUHPerdata; 27 (5) Piutang karena penyerahan baha-bahan makanan yang dilakukan kepada si berutang beserta keluarganya, selama waktu enam bulan yang terakhir;

(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah berasrama, untuk tahun yang penghabisan; (7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang terampu terhadap sekalian wali dan pengampu mereka.

3) Kreditor separatis (secured creditor)

Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai, hipotek, hak tanggungan dan fidusia. Hak yang dimiliki kreditor separatis adalah hak untuk dengan kewenangan sendiri menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa putusan pengadilan.

Selain itu, pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-VI/2008 pekerja juga diakui memiliki kedudukan sebagai kreditor. Kreditor terbagi menjadi empat macam, yaitu :

1) Kreditor istimewa, yaitu hak mendahului negara atas utang pajak (penjelasan pasal 41 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004);

2) Kreditor separatis, yaitu kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya atau kreditor dengan jaminan (pasal 55 ayat 1 UU. No 37 Tahun 2004);

3) Kreditor preferen dengan privilege khusus, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa oleh karena pembelian barang yang belum dibayar, jasa tukang dan lain-lain;

4) Kreditor preferen dengan privilege umum, yaitu kreditor yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas seperti pekerja (Pertimbangan hakim 3.18 dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 Jo. Putusan PK MA No. 080 PK/Pdt.Sus/2009);

5) Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak memiliki hak jaminan kebendaan atau hak istimewa termasuk kreditor yang terikat perjanjian sebelum dinyatakan pailit (Pasal 37 ayat (1) UU. No 37 Tahun 2004).

Dalam Putusan MK No. 18/PUU-VI/2008 memuat bahwa diperlukan adanya peranan negara dalam bentuk kebijakan konkret untuk memberikan perlindungan hak pekerja dalam hal terjadi kepailitan, dengan kata lain dalam Putusan MK tersebut tetap mengakui bahwa kedudukan pekerja sebagai kreditor preferen dengan privilege umum walaupun mengajukannya tidak menghapuskan kedudukan kreditor separatis oleh karena pekerja tidak kehilangan hak-hak atau upahnya. Akan tetapi dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat berstatus sebagai kreditor, yaitu sebagai kreditor preferen dengan privilege umum.

b. Hak Normatif Pekerja Yang Dikategorikan Sebagai Utang Dalam Arti Luas

Pekerja memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk dapat berstatus sebagai pemohon pailit, yaitu sebagai kreditor preferen dengan privilege umum oleh karena tidak dipenuhinya hak normatif oleh perusahaan akibat dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hak normatif yang dimaksud tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 t entang Ketenagakerjaan, yaitu : “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. ” Dalam hukum kepailitan, besarnya hak normatif sebagai kewajiban perusahaan yang dinyatakan dalam jumlah uang dikategorikan sebagai utang dalam arti luas. Oleh karena besarnya hak normatif dapat dikategorikan sebagai utang, maka pekerja dapat berkedudukan sebagai kreditor untuk mengajukan permohonan pailit.

Akan tetapi, hak normatif pekerja dapat dianggap sebagai utang apabila terlebih dahulu telah ditentukan berdasarkan kesepakatan antara perusahaan dan pekerja atau ditentukan oleh putusan pengadilan mengenai besarnya uang yang harus dibayarkan debitor kepada pekerja (berkedudukan

sebagai kreditor). 28 Yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan kesepakatan antara debitor dan pekerja dapat dilihat dalam kasus PT.

Unggul Summit Particle Board Industry (selanjutnya disingkat PT. USPBI) melawan Dewan Pengurus Serikat Pekerja Indonesia PT. Unggul Summit

Particle Board Industry. 29 Dalam perkara tersebut, PT. USPBI telah melakukan kesepakatan dengan Serikat Pekerja dalam bentuk Surat Perjanjian Bersama tanggal 14 Mei 2013 yang memuat kewajiban membayar uang pesangon, uang penggantian hak dan upah terakhir. Namun besarnya hak normatif tersebut belum dibayarkan oleh PT. USPBI sehingga dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan mengabulkan permohonan. Dalam kasus tersebut, dapat disimpulkan bahwa majelis hakim menyimpulkan bahwa persyaratan permohonan pailit oleh Serikat Pekerja telah terpenuhi. Hal ini dikarenakan hak normatif sebagai kewajiban debitor yang dinyatakan dalam sejumlah uang berdasarkan surat perjanjian bersama tersebut yang belum dibayarkan oleh PT. USPBI dapat dikategorikan sebagai utang.

Sedangkan yang dimaksud dianggap sebagai utang berdasarkan putusan pengadilan yang menentukan besarnya uang yang harus dibayarkan debitor kepada pekerja adalah dikeluarkannya putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang menyatakan hak normatif dalam bentuk sejumlah

uang. Misalnya dalam kasus PT. Indah Pontjan melawan Rohani, dkk. 30 Dalam perkara tersebut, oleh karena PHK yang dilakukan secara sepihak

oleh perusahaan, maka para mantan pekerja mengajukan gugatan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Pengadilan Negeri Medan. Berdasarkan pada putusan PHI No. 04 G/2008/PHI Mdn. yang menghukum PT. Indah Pontjan untuk membayar hak-hak mantan pekerja sebesar Rp. 148.263.300,00 (seratus empat puluh juta dua ratus enam puluh tiga ribu oleh perusahaan, maka para mantan pekerja mengajukan gugatan Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) ke Pengadilan Negeri Medan. Berdasarkan pada putusan PHI No. 04 G/2008/PHI Mdn. yang menghukum PT. Indah Pontjan untuk membayar hak-hak mantan pekerja sebesar Rp. 148.263.300,00 (seratus empat puluh juta dua ratus enam puluh tiga ribu

4. Termohon Pailit

Termohon pailit adalah pihak yang diajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga. Pihak yang dapat menjadi termohon pailit adalah debitor. Debitor yang dimaksud adalah subjek hukum baik orang alamiah (natuurlijk persoon ) maupun badan hukum (recht persoon) seperti Perseroan Terbatas. Selain itu, subjek hukum yang dapat menjadi debitor adalah bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,

atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik. 31 Akan tetapi, dalam penulisan ini lebih memfokuskan pada Perseroan Terbatas

sebagai debitor atau pihak yang berkedudukan sebagai temohon pailit.

Perseroan Terbatas

Semula Perseroan Terbatas diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan terbatas. Tetapi kemudian diganti dengan UU No. 40 Tahun 2007 yang memberikan definisi Perseroan Terbatas pada Pasal 1 angka (1), yaitu:

Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan

Perseroan Terbatas memiliki status sebagai badan hukum (legal entity) dengan penekanan sebagai persekutuan modal. Ini berarti, PT merupakan subjek hukum namun bersifat artificial. Sementara itu, badan hukum ini merupakan persekutuan modal. Sama seperti halnya subjek hukum orang perseorangan, badan hukum memiliki sifat dapat melakukan perbuatan hukum

– yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga dapat dituntut maupun menuntut di muka pengadilan. Namun oleh karena badan

hukum tidak memiliki sifat alamiah yang sama dengan subjek hukum alamiah (orang perseorangan), untuk dapat mengaktualisasikan tindakan badan hukum

memerlukan suatu organ yang berfungsi sebagai representasi. 32 Fungsi representative sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU No. 37 Tahun 2004 untuk mewakili perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan sebagai

persona standi in judicio 33 adalah wewenang direksi (kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar perseroan).

5. Acara Pemeriksaan Pailit

Asas acara pemeriksaan kepailitan adalah acara cepat maka proses kepailitan menggunakan proses pembuktian sederhana (sumir). Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terbukti secara sederhana (sumir) bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana yang disyaratkan

dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan terpenuhi, 34 yakni terpenuhinya syarat formil dan materil. Kekhususan persidangan dalam

32 Tri Budiyono, Op. Cit., h. 31-33.

kepailitan adalah hanya pembuktian apakah debitor mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayar serta adanya minimal dua kreditor. 35

Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, maka pekerja (kreditor) atau pemohon lainnya dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor dan menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitor dan mengawasi pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau penjaminan kekayaan debitor yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator. Apabila setelah sita jaminan dijatuhkan dan ada pihak ketiga yang mengklaim sebagai pemilik barang yang disita, maka

bantahannya harus diajukan ke Pengadilan Niaga tersebut. 36

Berikut ini adalah bagan yang menggambarkan proses beracara permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga dan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung berdasarkan pada Pasal 6 -14 UU No. 37 Tahun 2004.

Bagan 3.

Proses beracara permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga

Permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan

Pendafataran permohonan pernyataan pailit oleh Panitera

Panitera menyampaikan permohonan kepada ketua Pengadilan (max. 2 hari)

Pengadilan mempelajari permohonan dan

menetapkan hari sidang (max. 3 hari)

Pemanggilan debitor & kreditor

Sidang Pemeriksaaan permohonan pailit

(max. 20 hari)

Penundaan sidang (max. 25 hari)

Putusan diucapkan (max. 60 hari)

Dikabulkan

Terbukti secara sederhana bahwa persyaratan Pasal 2 ayat (1) telah

dipenuhi

Upaya hukum:

Kasasi

Bagan 4.

Proses beracara dalam upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung

Permohonan kasasi diajukan (max. 8 hari) dengan mendaftarkan

ke Panitera Pengadilan

Pendaftaran permohonan oleh Panitera

Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi

Panitera mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak termohon kasai (max. 2 hari)

Termohon kasasi mengajukan kontra memori kasasi (max. 7 hari)

Paniter menyampaikan permohonan, memori, kontra memori kasasi beserta berkas perkara ke MA (max. 14 hari)

MA mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang (max. 2 hari)

Sidang pemeriksaan (max. 20 hari)

Putusan diucapkan (max. 60 hari)

Upaya hukum: Peninjauan Kembali Berlaku mutatis mutandis Proses kasasi

Setelah proses pemeriksaan terhadap permohonan dilakukan, maka hakim Pengadilan Niaga harus menetapkan putusannya paling lambat 60 hari

sejak permohonan tersebut didaftarkan di Pengadilan. 37 Sifat putusan pailit adalah uit vorbaar bij voorrad atau putusan serta-merta, yaitu putusan dalam sejak permohonan tersebut didaftarkan di Pengadilan. 37 Sifat putusan pailit adalah uit vorbaar bij voorrad atau putusan serta-merta, yaitu putusan dalam

kepailitan adalah melakukan pembagian aset untuk membayar utang-utang debitor terhadap kreditor, sehingga jika para kreditor telah terlanjur terbayar karena putusan pailit tersebut dibatalkan, maka pembayaran tersebut pada hakikatnya tidak merugikan debitor pailit itu sendiri karena utang pada prinsipnya harus dibayar baik sekarang atau nanti hanya persolalan waktu saja. Selain itu, dengan dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya

utang-utang debitor terhadap kreditor. 39

Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika telah dikeluarkannya putusan Pengadilan Niaga, akan tetapi pada upaya hukum kasasi dibatalkan oleh karena pekerja (kreditor) sebagai pemohon pailit yang mengajukan permohonan atas Perseroan Terbatas (debitor) sebagai termohon pailit adalah BUMN? seperti pada kasus PT. Merpati Nusantara Airlines

40 (Persero) 41 dan Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Amar putusan

pada tingkat kasasi membatalkan putusan Pengadilan Niaga dengan pertimbangan yang harus mengajukan permohonan pailit adalah Menteri Keuangan. Jika dibatalkannya putusan pailit tidak menjadikan hapusnya utang- utang debitor terhadap kreditor, maka siapakah yang akan membayar? apakah negara atau PT jenis BUMN tersebut? Dengan demikian maka perlunya penjelasan khusus terkait putusan serta-merta dalam hukum acara kepailitan.

38 Pasal 8 ayat (7) UU No. 37 Tahun 2004. 39 M. Hadi Shubhan, Op. Cit., h. 126. 40 Putusan Pengadilan Niaga No. 04/Pdt.Sus/2016/PN Niaga Jkt Pst Jo. Putusan Kasasi MA No.

447 K/Pdt.Sus/2016.

D. Hasil Penelitian

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai 10 (sepuluh) kasus kepailitan yang didasarkan pada adanya permohonan pailit dimana pekerja berkedudukan sebagai pemohon untuk mempailitkan Perseroan Terbatas yang mempekerjakan para pekerja tersebut. Harapannya analisis terhadap kasus-kasus kepailitan ini dapat menjawab problematika pekerja dalam proses kepailitan Perseroan Terbatas. Problematika yang hendak dijawab yaitu bagaimana variasi pertimbangan hakim dalam memutus kasus-kasus kepailitan yang mana pemohonnya adalah pekerja, variasi yang sebagai solusi bagi pekerja sebelum mengajukan permohonan kepailitan serta apakah proses permohonan kepailitan melindungi hak para pekerja yang mana para pekerja memohon untuk mempailitkan perusahaan sendiri di tempat mereka bekerja. Berikut ini uraian mengenai sepuluh kasus tersebut.

1. Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi

Kasus PT. Dirgantara Indonesia (Persero), PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) melawan Heryono, Nugroho dan Sayudi memperoleh kekuatan hukum tetap pada tingkat kasasi. Berikut ini uraian putusan terhadap tingkat pertama dan tingkat kasasi :

Pengadilan Niaga No.41/Pailit/2007/PN.Niaga/Jkt.Pst Indikator

a. Tingkat

Pemohon Pailit

1) Heryono (Prmohon I);

2) Nugroho (Pmohon II);

3) Sayudi (Permohon III).

Termohon Pailit

PT. Dirgantara Indonesia (Persero)

Pertimbangan Hakim

Debitor memiliki dua Setelah mencermati dan meneliti permohonan pernyataan pailit kreditor atau lebih

pemohon maka terungkap fakta bahwa pemohon dalam perkara ini adalah para pekerja termasuk dari 6.561 pekerja yang di PHK oleh termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004. Selain itu, termohon juga mempunyai hutang kepada Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25; Sdr. Sukriadi Djasa sebesar ± Rp. 79.024.764,81; dan BANK MANDIRI sebesar Rp. 125.658.033.228.

Debitor tidak

1) Bahwa pemohon dalam dalil permohonannya berdasarkan Putusan membayar sedikitnya

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4 satu hutang yang telah

Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004, jatuh tempo dan dapat

dengan amar Putusan P4 Pusat mewajibkan kepada Pengusaha PT. ditagih

DIRGANTARA INDONESIA untuk memberikan kompensasi pensiun dengan nilai tagihan masing-masing:

a) Heryono sebesar Rp. 83.347.862,82;

b) Nugroho sebesar Rp. 59.258.079,22;

c) Sayudi sebesar Rp. 74.040.827,91.

2) Terbukti sebagai hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejak putusan P4P tanggal 29 Januari 2004 dengan bukti teguran/peringatan kepada Termohon :

a) Surat teguran Depnakertrans RI No.B.169/DJPPK/IX/2004;

b) Penetapan teguran/peringatan Ketua PN Jakarta Pusat No.

079/2005.EKS;

c) Hasil kesepakatan Direksi PT. Dirgantara Indonesia (Persero) dan SP FKK PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Hingga gugatan pailit, termohon tidak ada realisasi maupun pembayaran, walaupun hutang terseut telah jatuh tempo dan dapat

3) Selain itu, penggugat dalam permohonannya juga mendalilkan bahwa termohon mempunyai utang kepada kreditor lain, yaitu:

a) Sdri. Nelly Ratnasari sebesar ± Rp. 12.701.489,25;

b) Sdr. Sukriadi Djasa sebesar ± Rp. 79.024.764,81;

c) BANK MANDIRI sebesar Rp. 125.658.033.228. Atas permohonan

Berdasarkan surat permohonan pernyataan pailit yang diajukan sendiri maupun atas

pemohon dan jawaban termohon dapat disimpulkan bahwa permintaan seorang

permohonan pailit ini diajukan oleh para pekerja termasuk dari 6.561 atau lebih kreditor

orang pekerja selaku kreditur dari termohon pailit yang di PHK oleh termohon berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Putusan P4 Pusat) No. 142/03/02-8/X/PHK/1-2004 tanggal 29 Januari 2004.

Terdapat fakta atau Berdasarkan fakta, ternyata termohon telah memiliki utang kepada keadaan yang terbukti pemohon dan kreditur lainnya dan telah jatuh tempo akan tetapi secara sederhana

termohon tidak dapat membayar utangnya tersebut meskipun telah ditagih oleh pemohon.

Putusan

Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; Menyatakan bahwa termohon PT. DIRGANTARA INDONESIA

(Persero) pailit dengan segala akibat hukumnya. Tanggal Putusan

Selasa, 4 September 2007

b. Tingkat Kasasi: Putusan Mahkamah Agung No. 075 K/Pdt.Sus/2007 Indikator

Uraian

Pemohon Kasasi

1) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) - Pemohon Kasasi I;

2) PT. Perusahaan Pengelola Aset (Persero) - Pemohon Kasasi II. Termohon Kasasi

1) Heryono (Termohon I);

2) Nugroho (Termohon II);

3) Sayudi (Termohon III).

Pertimbangan Hakim

Kesalahan dalam Mahkamah Agung membenarkan alasan-alasan kasasi dari Pemohon penerapan hukum

Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum Kasasi oleh karena judex facti telah salah dalam menerapkan hukum

1) Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa dalam hal Debitor adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan;

2) Yang dimaksud BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004 adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham;

3) PT. Dirgantara Indonesia (Persero) adalah BUMN yang keseluruhan modalnya dimiliki oleh Negara, yang pemegang sahamnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri Keuangan RI;

4) Perusahaan Perseroan/Persero menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN adalah BUMN berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya dimiliki oleh Negara RI, atau BUMN berbentuk PT yang modalnya terbagi dalam saham yang paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara RI;

5) Terbaginya modal Pemohon Kasasi I atas saham yang pemegangnya adalah Menteri Negara BUMN dan Menteri Keuangan RI adalah untuk memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 1 Tahun 1995 tentang PT yang mewajibkan pemegang saham suatu perseroan sekurang-kurangnya dua orang, karena itu terbaginya modal atas saham yang seluruhnya dimiliki oleh Negara tidak membuktikan bahwa Pemohon Kasasi I adalah BUMN yang tidak bergerak di bidang kepentingan Publik;

6) Dalam lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 03/M- IND/PER/2005 disebutkan bahwa PT. DI adalah objek vital industri, dan yang dimaksud dengan objek vital industri adalah kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan Negara 6) Dalam lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 03/M- IND/PER/2005 disebutkan bahwa PT. DI adalah objek vital industri, dan yang dimaksud dengan objek vital industri adalah kawasan lokasi, bangunan / instalasi dan atau usaha industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan Negara

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Aspek Normatif UU Kepailitan (Bagian I)

4 84 3

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100