Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengurangan Tindakan Bullying dengan Metode Psikodrama pada Siswa Kelas VI SDN Bawen 03 Kabupaten Semarang Tahun Ajaran 2013/2014 T1 132010067 BAB II

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Bullying

2.1.1. Pengertian Bullying

Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa inggris) yang berarti “banteng” yang suka menanduk, pihak pelaku bullying biasa disebut bully. Bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok. Pihak yang kuat disini tidak berarti kuat dalam ukuran fisik, tetapi juga kuat secara psikologis. Dalam hal ini sang korban tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik maupun psikologis. Yang perlu dan sangat penting kita perhatikan adalah bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi dampak tindakan tersebut bagi korban, misalnya seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar, bila yang didorong merasa terintimidasi, apalagi tindakan tersebut dilakukan secara berulang-berulang, maka perilaku bullying telah terjadi, (Yayasan Sejiwa, 2008).

Definisi bullying menurut Coroloso (2006), mengemukakan sebuah konsep mengenai bullying yaitu bahwa adalah aktivitas sadar, disengaja dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjutan, dan menciptakan teror yang dilakukan oleh seorang anak atau sekelompok anak.


(2)

Definisi bullying menurut Mellor (2005), menjelaskan bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan oranglain, dan ia merasa takut bila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi, dan merasa tidak berdaya untuk mencegahnya.

Biden (2010), mengatakan bahwa bullying adalah kondisi ketika satu anak atau sekelompok anak terus menyakiti anak-anak lain dengan kata-kata atau tindakan. Bullying dilakukan dengan memukul, mendorong, menendang, menyebut nama dengan sembarangan, trik kotor dalam bermain, menyebarkan desas-desus berita bohong, meneror, membuat orang ketakutan, dan mempermalukan. Bullying terjadi ketika satu orang (bully) memiliki emosional dan kekuatan fisik yang lebih banyak daripada korban.

2.1.2. Aspek-Aspek Bullying

Ada beberapa jenis dan wujud bullying menurut Sejiwa (2008). Secara umum, praktik-praktik bullying dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Bullying Fisik

Bullying fisik adalah jenis bullying yang kasat mata, siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contoh-contoh bullying fisik antara lain: menarik baju, menyenggol dengan bahu, menampar, menimpuk, menjewer, menjambak, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang,


(3)

menghukum dengan berlari keliling lapangan, dan menghukum dengan cara push-up.

b. Bullying Verbal

Bullying verbal adalah jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa tertangkap indra pendengaran. Contoh-contoh bullying verbal antara lain: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gosip, memfitnah, dan juga menolak.

c. Bullying Psikologis

Bullying psikologis adalah jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga kita jika kita tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik bullying ini terjadi diam-diam dan di luar radar pemantauan. Contoh-contohnya: memandang dengan sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat sms atau e-mail, memandang dengan merendahkan, memelototi, dan mencibir.

2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bullying

Bullying di sekolah bisa terjadi karena beberapa faktor, diantaranya: Pertama, karena kebanyakan guru kurang menghayati pekerjaannya sebagai panggilan profesi


(4)

sehingga cenderung kurang memiliki kemampuan mendidik dengan benar serta tidak mampu menjalin ikatan emosional yang konstruktif dengan siswa (Mulyadi, 2006).

Kedua, dengan dalih demi kedisiplinan siswa, guru kerap kali kehilangan kesabaran hingga melakukan hukuman fisik, atau melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan melanggar batas etika dan moralitas, seperti memukul, meninju, dan menendang serta mengeluarkan kata-kata yang tidak mendidik, yang dapat menyinggung perasaan siswa atau ucapan-ucapan yang dapat mendiskreditkan siswa, misalnya: sindiran, perkataan seperti kalian anak yang bodoh, anak bandel, dan susah diatur.

Ketiga, kurikulum terlalu padat dan kurang berpihak pada siswa, sehingga mengakibatkan guru cenderung menjalankan tugasnya sekedar mengejar target kurikulum. Ini tentu terkait dengan belum optimalnya upaya peningkatan kualitas dan kesejahteraan siswa (Mulyadi, 2006).

Ada beberapa persepsi anak-anak menjadi bully, Sejiwa (2008) antara lain:

1. Karena pernah menjadi korban bullying. 2. Ingin menunjukkan eksistensi diri. 3. Pengaruh tayangan televisi yang negatif 4. Senioritas.

5. Suasana hati.


(5)

7. Mencari perhatian. 8. Balas dendam.

9. Sering diperlakukan kasar di rumah dan disekolah. 10.Ingin terkenal.

11.Ikut-ikutan.

Bullying tidak mungkin terjadi hanya dengan adanya pelaku bullying. Harus ada korban yang menjadi sasaran penganiayaan dan penindasan. Beberapa ciri yang bisa dijadikan korban bullying, antara lain:

a. Berfisik kecil, lemah

b. Berpenampilan lain dari biasa c. Sulit bergaul

d. Siswa yang rendah kepercayaan dirinya.

e. Anak yang canggung (sering salah bicara/ bertindak/ berpakaian) f. Anak yang memiliki aksen berbeda

g. Anak yang dianggap menyebalkan atau menantang bully h. Cantik/ ganteng, tidak cantik/ tidak ganteng

i. Anak orang tidak punya/ anak orang kaya j. Kurang pandai

k. Anak yang gagap


(6)

2.1.4. Karakteristik Pelaku Bullying

Tujuh tipe pelaku bullying yang dikemukakan oleh Coloroso (2006) adalah sebagai berikut:

1. Pelaku bullying yang percaya diri. Pelaku bullying muncul secara sengaja, memiliki ego yang besar, kebanggaan diri yang berlebihan, perasaan berhak dan berkuasa, tidak memiliki empati pada targetnya. Teman-teman sebaya dan guru kerap mengaguminya karena pelaku bullying memilki karakter kepribadian yang kuat.

2. Pelaku bullying sosial, menggunakan desas-desus, gosip, penghinaan verbal dan penghindaran untuk mengisolasi targetnya. Pelaku bullying cemburu pada sifat positif orang lain dan memilki kebanggaan diri yang berlebihan, namun pelaku bullying menyembunyikan perasaannya dalam kepercayaan diri dan kehangatan yang berlebihan. Pelaku bullying manipulatif dan penuh tipu muslihat.

3. Pelaku bullying bersenjata lengkap, biasanya bersikap dingin. Bully memiliki tekad yang kuat untuk melaksanakan misi bullying. Pelaku bullying mencari kesempatan untuk melakukan bullying ketika tidak ada satupun orang dewasa yang melihat atau menghentikannya.

4. Pelaku bullying hiperaktif, memilki masalah akademis dan keterampilan sosial yang buruk. Bully biasanya kurang memiliki kecakapan dalam belajar, sulit


(7)

5. Pelaku bullying yang menjadi korban bullying adalah target sekaligus penindas. Pelaku bullying biasanya tertindas dan disakiti oleh orang lain, pelaku bullying menindas orang lain untuk mendapatkan obat bagi ketidakberdayaan dan kebencian pada dirinya sendiri.

6. Kelompok pelaku bullying adalah sekumpulan teman yang secara kolektif melakukan secara perorangan yang ingin mereka sakiti.

7. Gerombolan pelaku bullying adalah sekumpulan anak-anak menakutkan yang berfungsi sebagai aliansi strategis dalam upaya menguasai, mengontrol, mendominasi, menduduki, dan menjajah.

Meskipun cara dan tindakan bullying siswa berbeda-beda namun pada dasarnya memiliki sifat-sifat yang sama, yaitu :

1) Suka mendominasi orang lain.

2) Suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan oleh pelaku bullying.

3) Sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain.

4) Hanya peduli pada kebutuhan dan kesenangan bully sendiri.

5) Cenderung melukai anak-anak lain ketika tidak ada orang dewasa di sekitar pelaku bullying.


(8)

7) Menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan pelaku bullying kepada targetnya.

8) Tidak mau bertanggungjawab atas tindakannya.

9) Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan, yaitu tidak mampu memikirkan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.

10) Haus akan perhatian.

2.1.5. Konsekuensi dari Bullying

Bullying yang terjadi di sekolah tidak hanya berkonsekuensi terhadap korban, tapi juga terhadap pelaku bullying dan iklim sekolah yang pada akhirnya akan berkonsekuensi terhadap reputasi sekolah. Berikut ini akan dijelaskan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul dari bullying (Yustiana, 2008).

1) Konsekuensi bagi Korban

Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource menunjukkan bahwa bullying dapat menutun korban merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam waktu yang lama, dapat mempengaruhi self esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri dan depresi serta rasa tidak aman. Dalam kasus yang lebih


(9)

ekstrem, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, membunuh atau melakukan bunuh diri.

Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara berulang-ulang, para korban yaitu korban akan merasa depresi dan marah, korban marah terhadap diri sendiri dan terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang-orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolong korban. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi akademiknya.

Dari penelitian Riauskina, dkk (2005), ketika mengalami bullying, korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, dan terancam) namun tidak berdaya menghadapinya. Dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga.

Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (dalam Yustiana 2008) menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya self esteem, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.


(10)

2) Konsekuensi bagi Pelaku

National Youth Violence Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya para pelaku memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal orang yang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, dan mudah frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Sesuai yang dikemukakan oleh Coloroso (1980), mengungkapkan bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus menerus tanpa intervensi, perilaku bullying dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.

3) Konsekuensi bagi siswa lain yang menyaksikan bullying

Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima di sekolah. Dalam kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan


(11)

penindas karena takut menjadi sasaran tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.

4) Konsekuensi bagi Sekolah

Bagi sekolah, bullying dapat menciptakan iklim sekolah yang tidak aman yang pada akhirnya akan berpengaruh pada reputasi sekolah itu sendiri. Selain itu, bullying yang terjadi juga dapat membahayakan misi pendidikan yang ingin dibawa oleh pihak sekolah.

2.1.6. Kebijakan Sekolah tentang Bullying

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat sekolah ingin membentuk kebijakan sekolah antibullying. Menurut Mellor, pakar antibullying dari Skotlandia, ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembentukan kebijakan sekolah yang antibullying, yaitu: kejujuran, keterbukaan, pemahaman dan tanggungjawab, Sejiwa (2008).

a) Kejujuran

Kejujuran dibutuhkan agar semua pihak yang terlibat bersedia untuk jujur pada diri sendiri dan pada lingkungan seputar fenomena bullying yang ada. Kejujuran pada diri sendiri bahwa mungkin selama ini kita tanpa disadari telah melakukan bullying dan kejujuran lingkungan bahwa selama ini


(12)

perilaku-perilaku bullying telah dianggap sebagai suatu kebiasaan. Ketidakjujuran akan mengarah pada situasi yang semakin tidak sehat.

b) Keterbukaan

Keterbukaan adalah salah satu hal yang mungkin selama ini kurang dimiliki oleh sekolah. Sekolah kerap kali menutup-nutupi kasus bullying yang terjadi karena menganggap itu sebuah aib dan akan berpengaruh pada reputasi sekolah itu. Keterbukaan terhadap fakta-fakta yang ada, walaupun itu fakta yang kurang mengenakkan bagi pihak sekolah tetap harus dijalankan.

c) Pemahaman

Apabila kita ingin menyusun sebuah kebijakan maka kita harus berangkat dari dasar pemahaman yang sama mengenai bullying. Pemahaman yang sama akan sangat membantu dalam pembentukan kebijakan sekolah, karena sudut pandang setiap pihak bisa berbeda-beda.

d) Tanggung jawab

Tanggung jawab untuk pembentukan kebijakan sekolah yang antibullying bukanlah semata-mata tanggung jawab sekolah. Semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam pembentukan kebijakan itu. Tantangannya adalah bagaimana rasa tanggung jawab ini didasarkan pada rasa saling menghargai.


(13)

2.2. Permainan Peranan dengan Metode Psikodrama 2.2.1. Permainan Peranan

Dalam pelaksanaan bimbingan, permainan peranan diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, dimana individu memerankan situasi yang imaginatif dengan tujuan untuk membantu tercapainya pemahaman diri sendiri, meningkatkan keterampilan-keterampilan, menganalisis perilaku atau menunjukkan pada orang lain bagaimana perilaku seseorang atau bagaimana seseorang dapat bertingkah laku, (Corsini dalam Romlah ,2001).

Permainan peranan merupakan salah satu teknik yang telah diteliti oleh para ahli yang bekerja di bidang penyelenggaraan latihan-latihan. Mereka telah membuktikan bahwa permainan peranan merupakan teknik latihan yang bermutu. Teknik peranan ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Moreno, seorang psikiatri dari Vienna, pada tahun 1923 mengembangkan satu teknik yang disebutnya psikodrama (Mclntyre,1982). Tetapi psikodrama tersebut digunakan untuk melatih orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian. Kemudian para ahli psikologi perilaku menggunakan teknik tersebut untuk melatih ahli komunikasi atau ahli hubungan antarpribadi dalam lingkungan pekerjaan. Pada saat ini permainan peranan secara luas telah diterima sebagai teknik yang melatih berbagai macam hubungan antarpribadi.


(14)

2.2.2. Dasar Teori Permainan Peranan

Seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri yang baik apabila ia dapat berperilaku sesuai dengan peranan yang dimilikinya baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Individu mempelajari peranan-peranan yang berbeda tersebut mulai sejak lahir. Seseorang bayi dilahirkan dalam lingkungan masyarakat tertentu, ia harus belajar bahasa dan perilaku yang dituntut dalam masyarakat itu. Pada dasarnya seseorang dilahirkan dengan kemampuan untuk bereaksi terhadap stimulus-stimulus diluar dirinya secara spontan. Pada dasarnya manusia itu spontan dan kreatif, tetapi spontanitas dan kreativitas ini berkurang atau hilang karena kesalahan dalam hubungan antarpribadi atau karena hambatan kebudayaan, (Moreno dalam Romlah, 2001).

Permainan peranan merupakan suatu alat belajar yang dapat digunakan untuk menambah kemampuan individu untuk menghadapi situasi yang terjadi “sekarang dan disini”. Secara analogi, permainan peranan dalam hubungan antarpribadi berusaha untuk menciptakan suasana spontanitas dan kreativitas dimana tekanan-tekanan yang menghambat dihilangkan, dan individu mendapat kesempatan untuk belajar dalam suasana yang bebas tanpa hambatan. Salah satu faktor penting yang menentukan dalam permainan peranan yang akan menghasilkan perubahan perilaku adalah pengurangan hambatan-hambatan. Hambatan-hambatan yang biasa timbul adalah perasaan takut dikritik, takut dihukum, atau ditertawakan. Sebagai hasilnya


(15)

konteks yang baru. Permainan peranan menyediakan kondisi yang dapat menghilangkan rasa takut atau cemas, karena disini individu dapat mengekspresikan dirinya secara bebas tanpa takut terkena “sanksi” sosial terhadap perbuatannya.

Perubahan perilaku atau perubahan sikap melalui permainan peranan terjadi secara bertahap. Menurut (Lewin dalam Romlah, 2001) menggolongkan perubahan itu dalam tiga tahap, yaitu pola-pola perilaku yang tidak kaku yang dimiliki sekarang, perubahan kearah pola-pola perilaku yang baru, dan melaksanakan pola-pola perilaku baru dalam kehidupan sehari-hari.

2.2.3. Pengertian Psikodrama

Psikodrama merupakan permainan peranan yang dimaksudkan agar individu yang bersangkutan dapat memperoleh pengertian lebih baik tentang dirinya, dapat menemukan konsep pada dirinya, menyatakan kebutuhannya-kebutuhannya, dan menyatakan reaksinya terhadap tekanan-tekanan terhadap dirinya, (Corey dalam Romlah, 2001). Dalam psikodrama individu yang bermasalah memerankan masalahnya sendiri. Psikodrama dilaksanakan untuk tujuan terapi atau penyembuhan.

Didalam psikodrama klien memerankan situasi-situasi dramatis yang dialaminya pada waktu lalu, sekarang, dan yang diantisipasi akan dialami pada waktu yang akan datang, dengan tujuan untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai dirinya dan melepaskan tekanan-tekanan yang dialami atau katarsis. Kejadian-kejadian yang penting dimainkan kembali agar klien dapat mengenali


(16)

perasaan-perasaannya dan dapat mengungkapkan perasaannya sepenuhnya sehingga terbuka jalan untuk terbentuknya perilaku yang baru.

Kelompok psikodrama memberikan kesempatan pada anggota kelompok untuk menguji kenyataan, karena kelompok terdiri dari individu-individu dan situasi-situasi kehidupan yang nyata. Anggota kelompok juga dapat memberikan saran-saran pemecahan masalah yang dihadapi yang mungkin belum terpikirkan oleh individu yang bermasalah. Selain tujuan terapi, psikodarama juga dapat dipakai sebagai metode mengajar yang sangat bermanfaat bagi para mahasiswa dan orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan mental yang disebut Moreno sebagai psikodrama didaktis, Corey (dalam Romlah, 2001). Dengan memerankan peranan klien tersebut mereka akan dapat menghayati perasaan-perasaan kliennya. Anggota-anggota kelompok lain dapat memberikan alternatif-alternatif bagaimana menghadapi klien-klien yang sulit, dan memberikan balikan yang membantu memisahkan masalah klien-klien dengan proyeksi-proyeksi terapis.

2.2.4. Komponen-komponen Psikodrama

Komponen yang ada dalam teknik psikodrama dalam Romlah (2001) diantaranya :

1. Panggung permainan

Panggung permainan mewakili ruang hidup peran utama psikodrama. Panggung atau tempat permainan hendaknya cukup luas untuk memberi


(17)

ruang gerak yang cukup bagi pemeran utama, pemimpin, dan individu-individu lain yang berperan dalam psikodrama tersebut.

2. Pemimpin psikodrama

Pemimpin psikodrama adalah terapis atau konselor. Menurut Corey (dalam Romlah, 2001) pemimpin psikodrama memiliki tiga peranan, yaitu sebagai produser, katalisator/fasilitator, dan pengamat atau penganalisis. Pemimpin membantu pemilihan pemegang peran utama, dan menentukan teknik yang mana yang paling tepat untuk mengeksplorasi masalah individu tersebut, merencanakan pelaksanaannya, menyiapkan situasi tepat, dan memperhatikan dengan cermat perilaku pemain utama selama psikodrama berlangsung. Sebagai katalisator atau fasilitator pemimpin membantu pemain utama (klien) dalam mengembangkan adegan, membantu agar ia dapat mengungkapkan perasaannya dengan bebas, dan membuat interpretasi untuk penyembuhannya, serta ia agar memperoleh pemahaman baru mengenai masalahnya. Untuk dapat menjadi pemimpin psikodrama yang efektif seseorang harus mempunyai tiga sifat yang utama, yaitu kreativitas, keberanian, dan kharisma, Corsini (dalam Romlah, 2001). Hal yang terbaik bagi seorang pemimpin kelompok adalah menggunakan pengalaman-pengalaman pribadinya dan model-model terapi yang dikembangkan sendiri untuk memahami ekspresi pribadi dan komunikasi antarpribadi yang terjadi dalam kelompok.


(18)

3. Pemegang peran utama (protagonist)

Pemegang peran utama adalah individu yang dipilih oleh kelompok dan pemimpin kelompok untuk memerankan kembali kejadian-kejadian penting yang dialami mulai dari kejadian waktu lampau, apa yang terjadi sekarang, dan situasi yang diperkirakan akan terjadi. Pelaku utama menentukan kejadian dan masalah yang akan dimainkan. Dalam memainkan kejadian itu ia didorong supaya melakukannya dengan spontan, tidak terlalu banyak menggunakan kata-kata tetapi lebih banyak mengungkapkan dalam bentuk gerakan dan perbuatan. Meskipun kejadian masa lalu diperagakan, tetapi titik berat permainan adalah pada hal-hal yang terjadi pada saat sekarang. Pemusatan perhatian pada apa yang terjadi pada saat sekarang itu akan mengungkapkan perasaan-perasaan yang dialami klien dalam berhubungan dengan orang-orang penting yang berpengaruh pada masa lampau. Pemain utama biasanya memlilih anggota-anggota kelompok yang akan menyertainya bermain yang berperan sebagai orang-orang yang ada kaitannya dengan masalah yang dialaminya. Pemilihan didasarkan pada sifat-sifat anggota kelompok yang menyerupai orang-orang yang berkaitan dengan masalah pemain utama.


(19)

4. Pemeran pembantu (the auxiliary egos)

Pemeran pembantu atau pembantu terapis adalah siapa saja dalam kelompok yang membantu pemimpin kelompok dan pemeran utama dalam produksi psikodrama. Pemeran pembantu mempunyai dua fungsi. Pertama mereka menggambarkan peranan-peranan tertentu yang mempunyai hubungan dekat dengan pemeran utama dalam kehidupan yang sebenarnya. Mereka dapat berupa orang yang sudah meninggal, yang masih hidup, binatang piaraan, atau benda-benda yang menjadi kesayangan pemeran utama. Kedua, pemeran-pemeran pembantu tersebut berfungsi sebagai alat terapi, misalnya mereka dapat berfungsi sebagai pemeran ganda mengungkapkan perasaan-perasaan yang diperkirakan dialami oleh pemeran utama tetapi tidak diungkapkannya. Secara singkat fungsi pemeran pembantu adalah mendorong pemeran utama agar terlibat secara mendalam ke hal-hal yang terjadi pada saat ini. Dengan bantuan yang efektif dari pembantu terapis, psikodrama dapat menjadi alat yang efektif untuk mengubah perilaku.

5. Penonton

Penonton dalam psikodrama adalah anggota-anggota kelompok yang tidak menjadi pemeran utama dan pemeran pembantu. Penonton memberikan dukungan yang sangat bernilai dan memberikan balikan


(20)

kepada pemeran utama. Setelah permainan selesai diadakan diskusi, dan penonton diminta untuk memberikan reaksinya secara spontan mengenai apa yang dilihatnya dan memberikan pandangan dan sumbangan pikiran. Berbagi reaksi dan sumbangan dari penonton tersebut akan membantu pemeran utama memahami akibat perilakunya terhadap oranglain. Dengan demikian proses pengujian kenyataan telah berlangsung.

2.2.5. Teknik-teknik dalam Psikodrama

Teknik-teknik dalam psikodrama menurut Fatimahnoor (2013) adalah:

a. Creative imagery, pembayangan kreatif merupakan teknik pemanasan untuk mengundang peserta psikodrama membayangkan adegan dan objek yang menyenangkan dan netral.

b. The magic shop, merupakan teknik pemanasan yang berguna bagi protagonis yang tidak dapat memutuskan atau ragu tentang nilai dan tujuannya.

c. Sculpting, anggota kelompok menggunakan metode nonverbal untuk menyusun orang lain dalam kelompok konfigurasi seperti kelompok orang yang signifikan yang sesuai dengan orang-orang dalam keluarganya dan sebagainya. Penyusunan ini melibatkan postur tubuh dan membantu konseli melihat, mengetahui persepsi mereka tentang orang lain yang signifikan dengan cara yang lebih dinamis.


(21)

d. Teknik berbicara-sendiri (soliloquy), teknik ini melibatkan protagonis (klien) menyajikan suatu monolog tentang situasi dirinya.

e. Monodrama (autodrama), teknik ini merupakan bentuk inti terapi gestalt. Dalam teknik ini, protagonis memainkan semua bagian peranan atau tidak menggunakan ego pembantu.

f. The double and multiple double technique. Teknik double adalah suatu teknik yang sangat penting dalam psikodrama. Teknik ini terdiri atas pengambilan peran aktor dari ego protagonis dan membantu protagonis mengekspresikan perasaan terdalam yang sesungguhnya secara lebih jelas. Jika protagonist memiliki perasaan ragu, maka teknik multiple double dapat digunakan.

g. Role reverals (pemindahan peran). Dalam teknik ini protagonis memindahkan peran dengan orang lain di pentas dan memainkan bagian orang itu. Teknik ini mendorong ekspresi konflik-konflik secara maksimum, dan merupakan teknik inti dari psikodrama.

h. Teknik cermin. Dalam aktivitas ini, protagonis memperhatikan dari luar pentas, sementara cermin ego pembantu memantulkan kata-kata, gerak tubuh, dan postur protagonis. Teknik ini dipakai pada fase tindakan untuk membantu protagonis melihat dirinya secara lebih akurat.


(22)

2.2.6. Langkah-langkah pelaksanaan Psikodrama

Pelaksanaan psikodrama terdiri dari tiga tahap dalam Romlah (2001) yaitu: 1. Tahap persiapan (The warm-up)

Tahap persiapan dilakukan untuk memotivasi anggota kelompok agar mereka siap berpartisipasi secara aktif dalam permainan, menentukan tujuan-tujuan permainan, dan menciptakan perasaan aman dan saling percaya dalam kelompok. Corey (dalam Romlah, 2001) mengemukakan beberapa cara yang dapat dipakai untuk menyiapkan kelompok sebagai berikut :

a. Pemimpin kelompok memberikan uraian singkat mengenai hakikat dan tujuan psikodrama, dan anggota kelompok diminta untuk mengajukan pertanyaan bila ada hal-hal yang belum jelas.

b. Pemimpin kelompok mewawancarai tiga anggota kelompok secara singkat dalam situasi kelompok.

c. Anggota kelompok membentuk kelompok-kelompok kecil dan diberi waktu beberapa menit untuk membicarakan konflik-konflik yang pernah mereka alami yang ingin mereka kemukakan dalam permainan psikodrama.

2. Tahap pelaksanaan (The action)

Tahap pelaksanaan terdiri dari kegiatan dimana pemain utama dan pemain pembantu memperagakan permainannya. Dengan bantuan pemimpin


(23)

kelompok dan anggota kelompok lain pemeran utama memperagakan masalahnya. Satu kejadian dapat diperagakan beberapa adegan. Adegan-adegan dibuat berdasarkan masalah-masalah yang diungkapakan pemeran utama. Psikodrama biasanya berkembang dari hal-hal yang bersifat permukaan ke arah hal-hal yang lebih mendalam dan merupakan sumber masalah klien. Lama pelaksanaan psikodrama berbeda-beda bergantung pada penilaian pemimpin kelompok terhadap tingkat keterlibatan emosional pemain utama dan anggota-anggota kelompok lain.

a) Protagonis dan peran pembantu memainkan peranannya dalam kegiatan psikodrama.

b) Lama pelaksanaan tergantung pada penilaian pemimpin kelompok terhadap tingkat keterlibatan emosional protagonist dan pemain lainnya.

3. Tahap diskusi (The sharing)

Dalam tahap diskusi atau tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota kelompok diminta untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran terhadap permainan yang dilakukan oleh pemeran utama. Peranan pemimpin kelompok pada tahap ini adalah memimpin diskusi dan mendorong agar sebanyak mungkin anggota kelompok memberikan balikannya. Dalam memberikan balikan supaya ditekankan pada saling berbagi perasaan dan


(24)

memberikan dukungan. Apabila anggota kelompok berusaha untuk menganalisis dan memberikan pemecahan masalah, pemimpin kelompok hendaknya menegur, misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti : “Bagaimana perasaan anda setelah melihat psikodrama tadi?”

Pemimpin kelompok mengamati perilaku pemeran utama pada waktu mendapat balikan dari anggota kelompok, dan menetralisasi balikan yang bersifat menyerang atau menjatuhkan pemeran utama. Hal ini penting sekali karena setelah pemeran utama membuka diri mengungkapkan hal-hal pribadi, ia membutuhkan dukungan kelompok agar mampu mengintegrasi pengalaman yang baru saja dialaminya. Apabila tidak ada balikan dari anggota kelompok, ia akan merasa ditolak dan kehilangan pegangan.

Tahap diskusi ini penting karena merupakan rangkaian proses perubahan perilaku pemeran utama kearah keseimbangan pribadi. Menurut Blatnerr (dalam Romlah, 2001). Ada tiga cara dalam proses pencapaian keseimbangan pribadi pemeran utama, yaitu: mengembangkan pemahaman dan penguasaan terhadap konflik dan masalah yang dihadapi, memperoleh dukungan dan balikan dari kelompok, dan mengadakan latihan perubahan perilaku baru. Setelah latihan dalam kelompok, individu yang bersangkutan dapat melaksanakan perubahan perilakunya dengan orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengannya diluar kelompok dan dapat menyesuaikan diri


(25)

Misalnya memerankan peran yang merupakan kebalikan dari peran yang dimainkan sebelumnya yaitu teknik cermin, dan teknik lain yang diuraikan diatas. Inti dari tahap terakhir ini (diskusi/sharing) adalah:

a) Pemimpin kelompok meminta para anggota kelompok untuk memberikan tanggapan dan brainstorm terhadap permainan pemeran protagonis.

b) Pemimpin kelompok memimpin diskusi dan mendorong sebanyak mungkin anggota kelompok memberikan balikannya.

c) Pemimpin kelompok menetralisir balikan yang bersifat menyerang atau menjatuhkan protagonis.

2.2.7. Kelebihan dan Kelemahan Metode Psikodrama

Kelebihan dari metode psikodrama menurut Fatimahnoor (2013):

a. Mengembangkan kreativitas siswa (dengan peran yang dimainkan siswa dapat berfantasi).

b. Melatih berfikir cepat dan spontan dalam memainkan psikodrama.

c. Memupuk kerjasama antara siswa.

d. Menumbuhkan bakat siswa dalam seni drama.


(26)

f. Memupuk keberanian berpendapat di depan kelas.

g. Melatih siswa untuk menganalisa masalah dan mengambil kesimpulan dalam waktu singkat.

Kekurangan dari metode psikodrama menurut Fatimahnoor (2013) :

a. Adanya kurang kesungguhan para pemain menyebabkan tujuan tidak tercapai.

b. Pendengar (siswa yang tidak berperan) sering mentertawakan tingkah laku pemain sehingga merusak suasana.

2.2.8. Penelitian yang Relevan

Menurut penelitian Siswanti dan Widayanti (2009) mengenai “Fenomena Bullying di Sekolah Dasar Negeri di Semarang”, hasilnya menunjukkan 37,55% siswa menjadi korban bullying, 42.5% siswa terluka karena bullying secara fisik dan 34,5% dari bullying non fisik. Dalam penelitiannya, penulis menyarankan bahwa keterlibatan guru BK sangat penting untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai bullying sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat, hal ini bertujuan memutus rantai kekerasan.

Penelitian yang dilakukan Widiastuti (2010), bedasarkan hasil penelitian tentang “Mengatasi Bullying Siswa Kelas IV Melalui Analisis Pengubahan Perilaku di SDN Mangunsari 07 Salatiga”, setelah diberikan layanan melalui pendekatan


(27)

analisis pengubahan perilaku pada siswa kelas IV SD Negeri Mangunsari 07 Salatiga menunjukkan bahwa nilai sign.2-tailed adalah 0,023 < 0,05. Mean rank pada kelompok eksperimen pada saat pre-test adalah 19,13 kemudian pada saat post-test turun menjadi 11,87. Dengan demikian ada penurunan skor yang signifikan pada perilaku bullying siswa pada kelompok eksperimen setelah pemberian perlakuan (treatment).

Pada penelitian yang dilakukan Astia (2011), berdasarkan hasil penelitian tentang “Mengurangi frekuensi tindakan bullying melalui konseling kelompok dengan model Sequentially Planned Integrative Counseling for Children (SPICC) pada siswa kelas V SD Negeri Pasekan 03 Ambarawa menunjukkan sign.2-tailed 0,027 < 0,050. Mean rank pada kelompok eksperimen pada saat pre-test adalah 18,73 kemudian pada saat post-test 12,27. Dengan demikian ada pengurangan skor yang signifikan pada frekuensi tindakan bullying siswa pada kelompok eksperimen setelah pemberian perlakuan (treatment).

Sedangkan penelitian Zulaikah (2011), bedasarkan hasil penelitian tentang “Perubahan Perilaku Bystander Bullying melalui Role Play Pada Siswa Kelas VIII E SMP Negeri 8 Salatiga”, menunjukkan bahwa nilai sig.(2-tailed) 0.024 < 0.05, sehingga ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah kelompok eksperimen diberi bimbingan kelompok dengan metode role play.


(28)

2.2.9. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:

“Metode psikodrama dapat mengurangi tindakan bullying secara signifikan pada siswa kelas VI SD Negeri Bawen 03 Kabupaten Semarang”.


(1)

kelompok dan anggota kelompok lain pemeran utama memperagakan masalahnya. Satu kejadian dapat diperagakan beberapa adegan. Adegan-adegan dibuat berdasarkan masalah-masalah yang diungkapakan pemeran utama. Psikodrama biasanya berkembang dari hal-hal yang bersifat permukaan ke arah hal-hal yang lebih mendalam dan merupakan sumber masalah klien. Lama pelaksanaan psikodrama berbeda-beda bergantung pada penilaian pemimpin kelompok terhadap tingkat keterlibatan emosional pemain utama dan anggota-anggota kelompok lain.

a) Protagonis dan peran pembantu memainkan peranannya dalam kegiatan psikodrama.

b) Lama pelaksanaan tergantung pada penilaian pemimpin kelompok terhadap tingkat keterlibatan emosional protagonist dan pemain lainnya.

3. Tahap diskusi (The sharing)

Dalam tahap diskusi atau tahap bertukar pendapat dan kesan, para anggota kelompok diminta untuk memberikan tanggapan dan sumbangan pikiran terhadap permainan yang dilakukan oleh pemeran utama. Peranan pemimpin kelompok pada tahap ini adalah memimpin diskusi dan mendorong agar sebanyak mungkin anggota kelompok memberikan balikannya. Dalam memberikan balikan supaya ditekankan pada saling berbagi perasaan dan


(2)

memberikan dukungan. Apabila anggota kelompok berusaha untuk menganalisis dan memberikan pemecahan masalah, pemimpin kelompok hendaknya menegur, misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti : “Bagaimana perasaan anda setelah melihat psikodrama tadi?”

Pemimpin kelompok mengamati perilaku pemeran utama pada waktu mendapat balikan dari anggota kelompok, dan menetralisasi balikan yang bersifat menyerang atau menjatuhkan pemeran utama. Hal ini penting sekali karena setelah pemeran utama membuka diri mengungkapkan hal-hal pribadi, ia membutuhkan dukungan kelompok agar mampu mengintegrasi pengalaman yang baru saja dialaminya. Apabila tidak ada balikan dari anggota kelompok, ia akan merasa ditolak dan kehilangan pegangan.

Tahap diskusi ini penting karena merupakan rangkaian proses perubahan perilaku pemeran utama kearah keseimbangan pribadi. Menurut Blatnerr (dalam Romlah, 2001). Ada tiga cara dalam proses pencapaian keseimbangan pribadi pemeran utama, yaitu: mengembangkan pemahaman dan penguasaan terhadap konflik dan masalah yang dihadapi, memperoleh dukungan dan balikan dari kelompok, dan mengadakan latihan perubahan perilaku baru. Setelah latihan dalam kelompok, individu yang bersangkutan dapat melaksanakan perubahan perilakunya dengan orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengannya diluar kelompok dan dapat menyesuaikan diri


(3)

Misalnya memerankan peran yang merupakan kebalikan dari peran yang dimainkan sebelumnya yaitu teknik cermin, dan teknik lain yang diuraikan diatas. Inti dari tahap terakhir ini (diskusi/sharing) adalah:

a) Pemimpin kelompok meminta para anggota kelompok untuk memberikan tanggapan dan brainstorm terhadap permainan pemeran protagonis.

b) Pemimpin kelompok memimpin diskusi dan mendorong sebanyak mungkin anggota kelompok memberikan balikannya.

c) Pemimpin kelompok menetralisir balikan yang bersifat menyerang atau menjatuhkan protagonis.

2.2.7. Kelebihan dan Kelemahan Metode Psikodrama

Kelebihan dari metode psikodrama menurut Fatimahnoor (2013):

a. Mengembangkan kreativitas siswa (dengan peran yang dimainkan siswa dapat berfantasi).

b. Melatih berfikir cepat dan spontan dalam memainkan psikodrama.

c. Memupuk kerjasama antara siswa.

d. Menumbuhkan bakat siswa dalam seni drama.


(4)

f. Memupuk keberanian berpendapat di depan kelas.

g. Melatih siswa untuk menganalisa masalah dan mengambil kesimpulan dalam waktu singkat.

Kekurangan dari metode psikodrama menurut Fatimahnoor (2013) :

a. Adanya kurang kesungguhan para pemain menyebabkan tujuan tidak tercapai.

b. Pendengar (siswa yang tidak berperan) sering mentertawakan tingkah laku pemain sehingga merusak suasana.

2.2.8. Penelitian yang Relevan

Menurut penelitian Siswanti dan Widayanti (2009) mengenai “Fenomena Bullying di Sekolah Dasar Negeri di Semarang”, hasilnya menunjukkan 37,55% siswa menjadi korban bullying, 42.5% siswa terluka karena bullying secara fisik dan 34,5% dari bullying non fisik. Dalam penelitiannya, penulis menyarankan bahwa keterlibatan guru BK sangat penting untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai bullying sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat, hal ini bertujuan memutus rantai kekerasan.

Penelitian yang dilakukan Widiastuti (2010), bedasarkan hasil penelitian tentang “Mengatasi Bullying Siswa Kelas IV Melalui Analisis Pengubahan Perilaku di SDN Mangunsari 07 Salatiga”, setelah diberikan layanan melalui pendekatan


(5)

analisis pengubahan perilaku pada siswa kelas IV SD Negeri Mangunsari 07 Salatiga menunjukkan bahwa nilai sign.2-tailed adalah 0,023 < 0,05. Mean rank pada kelompok eksperimen pada saat pre-test adalah 19,13 kemudian pada saat post-test turun menjadi 11,87. Dengan demikian ada penurunan skor yang signifikan pada perilaku bullying siswa pada kelompok eksperimen setelah pemberian perlakuan (treatment).

Pada penelitian yang dilakukan Astia (2011), berdasarkan hasil penelitian tentang “Mengurangi frekuensi tindakan bullying melalui konseling kelompok dengan model Sequentially Planned Integrative Counseling for Children (SPICC) pada siswa kelas V SD Negeri Pasekan 03 Ambarawa menunjukkan sign.2-tailed 0,027 < 0,050. Mean rank pada kelompok eksperimen pada saat pre-test adalah 18,73 kemudian pada saat post-test 12,27. Dengan demikian ada pengurangan skor yang signifikan pada frekuensi tindakan bullying siswa pada kelompok eksperimen setelah pemberian perlakuan (treatment).

Sedangkan penelitian Zulaikah (2011), bedasarkan hasil penelitian tentang “Perubahan Perilaku Bystander Bullying melalui Role Play Pada Siswa Kelas VIII E SMP Negeri 8 Salatiga”, menunjukkan bahwa nilai sig.(2-tailed) 0.024 < 0.05, sehingga ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah kelompok eksperimen diberi bimbingan kelompok dengan metode role play.


(6)

2.2.9. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:

“Metode psikodrama dapat mengurangi tindakan bullying secara signifikan pada siswa kelas VI SD Negeri Bawen 03 Kabupaten Semarang”.


Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24