FINISH BUKU 5 Rev 17 feb 2015 B5

(1)

Pengembangan dan penerapan

informasi spasial dan temporal zona

potensi penangkapan ikan berdasarkan


(2)

CRESTPENT PRESS

Kantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor (P4W-LPPM)

Kampus IPB Baranangsiang, JL. Pajajaran, Bogor 16144 Telp/Fax. (0251) 8359072, email: crestpent@gmail.com

Pengembangan dan penerapan informasi spasial dan

temporal zona potensi penangkapan ikan berdasarkan

data penginderaan jauh

ISBN No : 978-602-14437-4-3

Dicetak dan diterbitkan oleh :

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG HAK CIPTA

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


(3)

i Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

Pengantar Penerbit

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya buku dengan judul “Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan”. Buku ini membahas teknologi satelit lingkungan dan cuaca NOAA-AVHRR dan Aqua/Terra, ekstraksi suhu perukaan laut (SPL) dan kloroil-a, sebagai data utama untuk pembuatan informasi spasial zona potensi penangkapan ikan (ZPPI), informasi spasial ZPPI mingguan dan bulanan, serta beberapa contoh penerapan informasi spasial ZPPI pada beberapa daerah .

Diterbitkannya buku ini dengan harapan dapat menjadi pegangan baik bagi para peneliti maupun mahasiswa jurusan perikanan dan kelautan, dan pemangku kepentingan dalam upaya lebih memahami teknologi dan potensi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan..

Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mencurahkan energinya dalam penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini dapat berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan di bidang perikanan dan kelautan.


(4)

ii Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

Kata Sambutan

Wilayah Indonesia yang demikian luasnya dengan dominasi laut Wilayah Indonesia yang demikian luasnya dengan dominasi laut menuntut penggunaan teknologi satelit untuk memetakan potensi sumber daya alamnya. Untuk sumber daya alam di darat, objek tampak di permukaan dan relatif mudah dikenali, seperti hutan dan lahan pertanian. Namun untuk sumber daya alam di laut, secara kasat mata sulit dikenali. Ikan, misalnya, berada di dalam air yang tidak mudah diketahui keberadaannya.

Dengan menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh, parameter utama yang diukur dari pengamatan laut adalah suhu permukaannya. Bukan hanya untuk kajian cuaca dan varibilitas iklim, data suhu permukaan laut juga ternyata memberikan informasi penting tentang zona berkumpulnya ikan. Bila informasi itu dilengkapi dengan data keberadaan fitoplankton sebagai makanan ikan, maka makin lengkaplah informasi untuk menemukan zona potensial untuk menangkap ikan pada suatu saat. Itulah yang diidentifikasikan oleh para peneliti LAPAN sebagai Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI). ZPPI seperti itu terus dikaji keandalannya untuk meningkatkan tangkapan bagi para nelayan. Informasi ZPPI juga terus disosialisasikan kepada kelompok-kelompok nelayan untuk meningkatkan kemampuan mereka memanfaatkan informasi satelit penginderaan jauh.

Buku “Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial dan Temporal Zona Potensi Penangkapan Ikan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh” oleh Dr. Bidawi Hasyim memberikan bahasan yang cukup lengkap terkait dengan metode dan aplikasi ZPPI tersebut.


(5)

iii Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya atas karunia rahmat dan nikmatNya sehingga buku berjudul “Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial dan Temporal Zona Potensi Penangkapan Ikan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh” ini berhasil diselesaikan. Buku ini disusun dengan harapan dapat menjadi pegangan baik bagi para peneliti maupun mahasiswa jurusan perikanan dan kelautan dalam upaya lebih memahami potensi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada :

1. Prof. Dr. Thomas Djamaluddin selaku Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) atas perhatiannya dalam penerbitan buku in i. 2. Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc. selaku Deputi Penginderaan Jauh Lapan atas

perhatian dan dukungannya dalam penerbitan buku ini ;

3. Dr. M. Rokhis Komarudin, S.Si., M.Si. selaku Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatjaja) Lapan; dan Syarif Budhiman, S.Pi., M.Si. selaku Kepala Bidang Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut, Pusfatja Lapan atas dukungan dan fasilitasinya dalam penerbitan buku ini.

4. Prof. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. dan Dr. Ir. Vincentius Siregar, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, atas bantuannya dalam memberikan koreksi dan masukannya dalam usaha penyelesaian penulisan buku ini.

5. Dr. Ir. Dony Kushardono, M.Eng.Sc., Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Sc., Dr. Bambang Trisakti, Dra. Maryani Hartuti, M.Sc., dan Dr. Ety Parwati, M.Si., Pusfatja – Lapan, atas koreksi dan masukannya dalam penulisan dan penerbitan buku ini.

6. Teman-teman dari Bidang Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut – Pusfatja khususnya Puji Lestari, Spi. dan Bagus Dwi Kurniawan Nugroho, S.Pi., atas bantuannya dalam pengadaan data untuk penulisan buku ini.

7. Sugiyanto ST, Aris Maulana, dan Panji Rachman Ramadhan, S.T., Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lapan atas bantuannya dalam pengadaan gambar-gambar sistem penerima data satelit NOAA dan Terra/Aqua.

8. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat dalam penulisan dan penerbitan buku ini.

Penulis berharap, penerbitan buku ini dapat memotivasi teman-teman peneliti di instansi penulis bekerja untuk meningkatkan karya tulis ilmiahnya. Semoga buku ini menjadi pendorong semangat dan motivasi bagi generasi penerus untuk aktif melakukan penelitian dan inovasi.

Penulis


(6)

iv Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

DAFTAR ISI

Halaman

Pengantar Penerbit... i

Kata Sambutan ………... ii

Prakata Penulis ... iii

DAFTAR ISI ………... iv

DAFTAR GAMBAR ………... viii

DAFTAR TABEL ………... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

2 PARAMETER OSEANOGRAFI DAN BEBERAPA JENIS IKAN TARGET PENANGKAPAN ... 5

2.1. SPL dan Klorofil-a ………... 5

2.2. Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis ... 9

2.3. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ……….... 13

2.4. Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan . 15 2.5. Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan …………... 16

3 PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP ... 19

3.1. Satelit Lingkungan dan Cuaca seri NOAA ... 19

3.2. Sensor pada Satelit NOAA ... 21

3.2.1. Sensor Advanced Very High Resolution Radiomater... 22

3.2.2. Sensor Data Collection System... 26

3.3. Satelit Terra/Aqua (MODIS) ... 29

4 EKSTRAKSI PARAMETER SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A ... 33

4.1. Koreksi Geometrik Data NOAA-AVHRR ... 33


(7)

v Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

4.2. Ekstraksi Parameter SPL Berdasarkan Data NOAA-AVHRR... 37

4.3. Ekstraksi Parameter SPL Menggunakan Data MODIS ... 43

4.4. Ekstraksi Parameter Klorofil-a Menggunakan Data MODIS... 44

5 INFORMASI SPASIAL ZPPI DAN PERKEMBANGANNYA ... 47

5.1. Tahapan Pengolahan Data ... 47

5.2. Penelitian SPL dan Upwelling/Thermal Front... 49

5.3. PenelitianUpwelling/Fishing Ground ... 50

5.4. Pengembangan Informasi Spasial ZPPI ... 55

5.4.1. Pengembangan Peta Zona Ikan ... 55

5.4.2. Pengembangan Informasi Zona Potensi Ikan (ZPI) ... 56

5.4.3. Pengembangan Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan ………... 57

5.4.4. Pengembangan Informasi Spasial ZPPI Secara Unit Spasial ... 60

6 IDENTIFIKASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN MINGGUAN ………...……….. 61

6.1. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Desember ... 61

6.2. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Januari ... 63

6.3. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Februari ... 65

6.4. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Maret ... 67

6.5. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan April ... 69

6.6. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Mei ... 71

6.7. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Juni ... 72

6.8. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Juli ... 74

6.9. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Agustus ... 77

6.10. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan September ... 79

6.11. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Oktober ... 82

6.12. Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Nopember ... 84


(8)

vi Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

7

IDENTIFIKASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN

BULANAN ...

87

7.1. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Desember ... 87

7.2. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Januari ... 88

7.3. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Februari ... 89

7.4. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Maret ... 90

7.5. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan April ... 91

7.6. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Mei ... 93

7.7. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Juni ... 94

7.8. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Juli ... 95

7.9. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Agustus ... 96

7.10. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan September ... 98

7.11. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Oktober ... 99

7.12. Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan November ... 100

8 UJI COBA PENERAPAN INFORMASI SPASIAL ZPPI ... 103

8.1. Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Sibolga – Sumatera... 103

8.2. Utara Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Pangandaran – Jawa Barat ... 105 8.3. Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Pekalongan – Jawa Tengah ... 107 8.4. Uji Coba Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura ... 109

8.4.1. Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Mei .. 110

8.4.2. Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Juni . 111 8.4.3. Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Juli .. 111

8.4.4. Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Agustus ... 113 8.4.5. Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan September ... 114 8.4.6. Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Oktober ... 115 vi


(9)

vii Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi 8.4.7. Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan

November ...

117

8.5. Hubungan Sumber daya ikan dan Musim ... 119

9 PENUTUP ...

121

10 DAFTAR PUSTAKA ...

123

Indek ...

125


(10)

viii Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 3.1 Jenis sensor dan tata letaknya pada satelit NOAA ... 22 3.2 Sistem penerima data NOAA-AVHRR... 27 3.3 Contoh citra yang dihasilkan sensor AVHRR kanal visible,

diterima oleh stasiun bumi satelit lingkungan dan cuaca LAPAN di Pekayon. ... 28 3.4 Perbandingan kenampakan citra yang dihasilkan sensor

AVHRR, kanal visible-1 (a), viisibel-2 (b), infra merah dekat (c), infra merah termal -1 (d), dan infra merah termal - 2 (e)

29 3.5 Sistem penerima data MODIS di Lapan Parepare ... 32 3.6 Citra Modis hasil akuisisi stasun bumi LAPAN di Parepare . 32 4.1 Citra NOAA-AVHRR kanal 2 (visibel) hasil akuisisi tanggal

6 Mei 2013 sebelum dilakukan koreksi geometrik ...

35 4.2 Citra NOAA-AVHRR hasil koreksi gemetrik sistematik tetapi

belum dilakukan koreksi geometrik berdasarkan titik kontrol

36 4.3 Citra NOAA-AVHRR sesudah dilakukan koreksi geometrik.. 36 4.4 Diagram Alir Pengolahan Data NOAA-AVHRR untuk

mendapatkan nilai SPL... 41 4.5 Data NOAA-AVHRR band 4 hasil kuisisi tanggal 15

Agustus 2013 ...

42 4.6 Data NOAA-AVHRR band 5 hasil kuisisi tanggal 15

Agustus 2013 ...

42 4.7 Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) yang diturunkan

berdasarkan data NOAA-AVHRR kanal 4 dan 5 menggunakan algoritma McMillin and Crosby ...

42 4.8 Diagram Alir Pengolahan Data MODIS dari satelit Terra/

Aqua untuk mendapatkan nilai SPL ...

43 4.9 Sebaran Suhu Permukaan Laut berdasarkan data MODIS

hasil akuisisi tanggal 15 Agustus 2013 ...

44 4.10 Diagram Alir Pengolahan Data Data MODIS untuk ekstraksi

parameter Klorofil-a ...

45 4.11 Sebaran klorofil-a yang diturunkan dari data MODIS


(11)

ix Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi 5.1 Diagram alir proses umum pembuatan informasi spasial

ZPPI ... 48 5.2 Citra SPL dalam 2 hari berurutan yaitu tanggal 1 Juni dan

2 Juni ... 49 5.3 Sebaran SPL pada perairan pertemuan antara Laut Flores

dan Laut Jawa, serta perairan sekitar NTT ... 50 5.4 Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan

lokasi penangkapan ikan pada 24 Juni 1995 ... 53

5.5 Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan

lokasi penangkapan ikan 9 Agustus 1995 ... 53 5.6 Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan

lokasi penangkapan ikan 17 Juli 1996 ... 54

5.7 Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan

lokasi penangkapan ikan 3 Juni 1997... 54

5.8 Garis kontur thermal front sebagai indikator jalur yang

potensial untuk lokasi-lokasi penangkapan ikan ... 55

5.9 Contoh bentuk Peta yang mengadopsi format papan catur

atau format tabel pada perangkat lunak Excel ... 56

5.10 Contoh bentuk Peta ZPI yang pertama kali diterapkan di

Kabupaten Situbondo, Jawa Timur ... 57

5.11 Hubungan antara jarak titik zona potensi penangkapan

dengan hasil tangkapan pada jarak terhadap titik tersebut dalam bentuk lingkaran dengan diamieter 10 km ... 58 5.12 Contoh format informasi ZPPI dengan ukuran unit spasial

10’ x 10’ yang dilengkapi dengan WPP... 60

6.1 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya

pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Desember (d) ... 62 6.2 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya

pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Januari ... 64 6.3 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya

pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Februari ... 66


(12)

x Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

6.4 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Maret ... 68 6.5 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya

pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan April ... 70

6.6 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Mei ... 72

6.7 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Juni ... 74

6.8 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Juli ... 76

6.9 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Agustus ... 78

6.10 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan September ... 81

6.11 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Oktober ... 83

6.12 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Nevember ... 85

7.1 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Desember ...

88 7.2 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan Januari ... 89 7.3 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan Februari ...

90 7.4 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan Maret ...

91


(13)

xi Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi 7.5 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan April ...

92 7.6 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan Mei ... 93

7.7 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Juni ...

95 7.8 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan Juli ...

96 7.9 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan Agustus ... 97 7.10 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan September ... 98 7.11 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan Okttober ... 100 7.12 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan

sekitarnya pada bulan November ... 101 8.1 Informasi ZPI yang disosialisasikan dan digunakan pada uji

coba penangkapan di Sibolga menunjukkan lokasi yang disarankan untuk kegiatan penangkapan ... 104 8.2 Rangkaian foto kegiatan uji coba ZPPI di Sibolga ... 104

8.3 Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang

digunakan pada uji coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran ... 105 8.4 Informasi spasial ZPPI tanggal 15 dan 16 Juli 2003 yang

digunakan pada uji coba penangkapan ikan di perairan laut Pangandaran ... 106

8.5 Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura yang dipergunakan oleh nelayan Pekalongan ... 107 8.6 Contoh penggunaan informasi spasial dengan 2 (dua) ZPPI

di Laut Jawa sebelah utara Tuban dan Rembang oleh nelayan Pekalongan ... 108 8.7 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan feedback

hasil penangkapan pada bulan Mei 2004 ... 110

8.8 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Juni 2004 ... 111


(14)

xii Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

8.9 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Juli 2003 ... 112 8.10 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Juli 2004 ... 113 8.11 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Agustus 2003 ... 114 8.12 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan September 2004 115 8.13 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober 2003 ... 115 8.14 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober 2005 ... 116 8.15 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember 2003 .. 117 8.16 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data

feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember 2005 .. 118


(15)

xiii Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

DAFTAR TABEL

Halaman 3.1. Karakteristik beberapa bagian dari satelit lingkungan dan

cuaca seri NOAA ...

19 3.2. Seri satelit NOAA, waktu peluncuran, operasional, dan akhir

operasinya ...

20 3.3. Jadual waktu lintasan dan sudut elevasi satelit NOAA-18

dan 19 masing-masing pada lintasan siang dan malam hari . 21 3.4. Karakteristik sensor AVHRR/2 yang dibawa oleh satelit

NOAA-7, 9, 11, 12 and 14 ………...

23 3.5. Karakteristik sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit

NOAA-15, 16, 17, 18 and 19……….... 24 3.6. Nilai gain and interceptuntuk data AVHRR/3 kanal visibel ... 25 3.7. Karakteristik Satelit Terra dan Aqua ... 30 3.8 Karakteristik Spektral Sensor MODIS Terra/Aqua ... 31

4.1. Posisi pixel pada sumbu X dan Y dalam citra NOAA

sebelum koreksi geometrik dan titik koordinat posisi berdasarkan peta acuan, serta RMS berdasarkan hasil proses koreksi geometrik ...

34 4.2. Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR 38

4.3. SPL maksimum, minimum, dan suhu tengah-tengah

berdasarkan masing-masing rumus perolehan suhu permukaan laut ...

39 8.1. Nomor, koordinat-X dan koordinat-Y dari 4 ZPPI yang ada di

perairan sekitar Sibolga pada tanggal 21 Oktober 2002 ... 103 8.2 Feedbackhasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan Mei 2004 ... 110 8.3 Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan Juni 2004 ... 111 8.4 Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan Juli 2003 ... 112


(16)

xiv Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

8.5 Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Juli 2004 ... 113 8.6 Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan Agustus 2003 ... 114 8.7 Feedbackhasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan September 2004 ... 115 8.8 Feedbackhasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan Oktober 2003 ... 116 8.9 Feedbackhasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan Oktober 2005 ... 116 8.10 Feedbackhasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di

bulan November 2003 ... 117 8.11 Feedbackhasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di


(17)

1 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

BAB 1

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang luasnya sekitar 2,7 juta km2. Ini berarti bahwa Indonesia dapat memanfaatkan sumberdaya di perairan laut yang luasnya sekitar 5,8 juta km2. Potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut diantaranya terdiri dari ikan pelagis besar sebesar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,6 juta ton, dan ikan demarsal 1,36 juta ton. Nilai produksi tersebut memberikan indikasi bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai 58,80%, dan sebagian besar merupakan ikan pelagis (Dahuri, 2003).

Sumberdaya ikan Indonesia yang sangat besar merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat memberikan keuntungan bagi kesejahteraan masyarakat dan sumber devisa negara. Pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di beberapa wilayah perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah perairan laut yang lain sudah mencapai kondisi padat tangkap atau overfishing terutama wilayah perairan Laut Jawa. Hal tersebut dapat disebabkan karena pengelolaan sumberdaya perikanan belum dilaksanakan dengan baik, sebagai akibat belum tersedianya perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan secara akurat dan sesuai dengan kondisi spesifik perairan, sumberdaya ikan, sarana dan prasarana perikanan serta sosial budaya masyarakat.

Wilayah perairan laut Indonesia memiliki kandungan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hayati (ikan) yang berlimpah dan beraneka ragam. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001 bahwa, potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia, diduga sebesar 6,4 juta ton per tahun, dengan rincian 5,14 juta ton per-tahun berasal dari perairan teritorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi penangkapan ikan khususnya ikan pelagis adalah sangat terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan. Armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan bukan untuk menangkap tetapi lebih banyak mencari lokasi penangkapan sehingga selalu berada dalam kondisi ketidakpastian tentang lokasi yang potensial untuk melakukan penangkapan ikan, sehingga hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti.


(18)

2 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

Penentuan lokasi potensi penangkapan ikan yang umum dilakukan oleh nelayan sejauh ini masih menggunakan cara-cara tradisional, berdasarkan pada kemampuan individu nelayan, atau yang diperoleh secara turun-temurun. Akibatnya, nelayan tidak mampu mengantisipasi perubahan kondisi oseanografi dan cuaca yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan yang berubah secara dinamis. Sering terjadi ekspansi penangkapan nelayan besar ke daerah penangkapan nelayan kecil mengakibatkan terjadi persaingan yang kurang sehat bahkan terjadi konflik antara nelayan besar dengan nelayan kecil.

Nelayan pada umumnya memerlukan waktu yang lama untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan karena harus mencari gerombolan ikan (schooling) terlebih dahulu atau dengan mencoba-coba (trial fishing) tanpa dukungan informasi atau teknologi untuk penangkapan ikan. Pencarian lokasi gerombolan ikan dengan cara trial fishing memerlukan waktu cukup lama sehingga menghabiskan bahan bakar cukup banyak berdampak pada meningkatkan biaya kegiatan penangkapan ikan, sementara hasil tangkapannya tidak dapat dipastikan. Di sisi lain, banyak faktor yang menyebabkan gerombolan ikan ada disuatu tempat, antara lain suhu,salinitas dan klimatologi khususnya curah hujan, termasuk juga faktor yang berkaitan dengan fish behavior (Wudianto, 2001).

Dalam upaya meningkatkan efisiensi kegiatan penangkapan ikan, diperlukan informasi secara spasial dan temporal tentang lokasi yang prospektif untuk kegiatan penangkapan ikan. Informasi tersebut seharusnya memiliki unit spasial yang dapat dipergunakan secara operasional dan resolusi temporal dengan periode yang sesuai dengan pola penangkapan ikan oleh nelayan. Di sisi lain, saat ini telah terdapat teknologi yang dikenal dengan satelit penginderaan jauh yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi beberapa parameter oseaografi khususnya suhu permukaan laut dan klorofil-a yang berkaitan erat dengan kehidupan ikan khususnya ikan pelagis.

Penginderaan jauh yang selanjutnya disebut dengan inderaja adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena alam melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, maupun fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Di sisi kain, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan menyatakan bahwa penginderaan jauh adalah penginderaan permukaan bumi dari dirgantara dengan memanfaatkan sifat gelombang elektromagnetik yang dipancarkan, dipantulkan, atau dihamburkan oleh obyek yang diindera. Pada prinsipnya penginderaan jauh terdiri dari empat komponen penting yaitu: (1) sumber energi elektromagnetik, (2) interaksi energy dengan atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dengan objek di permukaan bumi, dan (4) sensor. Satelit penginderaan jauh yang menggunakan sensor pasif maka sumber energinya adalah cahaya matahari, sedangkan sistem satelit penginderaan jauh yang menggunakan sensor aktif maka sumber


(19)

3 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi energinya berasal dari gelombang microwave(radar) yang ada pada satelit itu sendiri.

Penulis memulai penelitian pemanfaatan data inderaja untuk mengamatan suhu permukaan laut (SPL) sudah dilakukan sejak tahun 1983 dengan menggunakan data NOAA-AVHRR (National Oceanic and atmospheric Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer) yang diterima oleh Stasiun Bumi Nasional Satelit Lingkungan dan Cuaca – Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang berlokasi di Pekayon, Jakarta Timur. Penelitian yang dilakukan masih terbatas pada ekstraksi parameter suhu permukaan laut (SPL).

Dengan dibentuknya Bidang Matra Laut di bawah Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh pada tahun 1988, Penelitian Pemanfaatan data penginderaan jauh khususnya data NOAA-AVHRR untuk pemetaan SPL terus ditingkatkan. Peningkatan penelitian yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1997, dengan dilakukannya penelitian fenomena upwelling berdasarkan data penginderaan jauh NOAA-AVHRR dalam kaitannya dengan lokasi penangkapan ikan dan tingkat keberhasilan usaha penangkapannya. Pemanfaatan data penginderaan jauh mulai dimasukkan menjadi salah satu data yang digunakan untuk mendukung pengkajian sumberdaya ikan laut melalui Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan Laut. Sejak saat itu, telah dilakukan berbagai penelitian sampai akhirnya pada tahun 2009 dilakukan suatu peningkatan yang cukup berarti yaitu dengan dikembangkannya informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan yang selanjutnya biasa disebut dengan ZPPI. Pengembangan dan penerapan informasi spasial tersebut didukung dengan pemahaman tentang potensi dan karakteristik sumberdaya ikan dan klimatologi kelautan, khususnya tentang kecepatan angin dan ketinggian gelombang.

Pengembangan informasi spasial ZPPI merupakan muara dari penelitian panjang tentang pemanfatan data satelit inderaja NOAA-AVHRR untuk identifikasi parameter oseanografi khususnya suhu permukaan laut (SPL), kemudian dilanjutkan dengan penelitian pemanfaatan data sebaran SPL untuk identifikasi fishing ground. Tahun 2002 merupakan awal dilakukannya uji coba penerapan informasi spasial ZPPI dalam penangkapan ikan secara langsung di beberapa daerah dan mendapat tanggapan yang sangat positif baik dari nelayan, pemilik perahu motor, maupun pemangku kepentingan terkait baik di daerah maupun di pusat.

Sosialisasi penerapan informasi spasial ZPPI, memerlukan upaya yang tidak sedikit dan usaha yang sungguh-sungguh, sehingga diperlukan adanya kerjasama sinergis antara LAPAN sebagai instansi pemerintah yang mempunyai tugas utama dalam penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek inderaja dengan Pemerintah Daerah yang berkepentingan secara langsung dalam pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat nelayan. Sosialisasi dan penerapan infomasi spasial ZPPI pada usaha penangkapan ikan ini berperan antara lain dalam hal:


(20)

4 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

(1) Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pelatihan, pembinaan, dan penyediaan informasi spasial ZPPI harian untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan.

(2) Dapat meningkatkan efisiensi biaya operasional dan meningkatkan efektivitas dengan memperpendek masa operasi penangkapan.

(3) Menjadi alat pengelolaan untuk menghindarkan konflik perebutan daerah penangkapan antar nelayan kecil/tradisional, dengan kapal-kapal besar, dengan cara pengaturan pemberian informasi zona potensi ikan yang berbeda.

(4) Meningkatkan produksi ikan daerah, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan.

Pengembangan penelitian pemanfaatan ZPPI juga didasari oleh umpan balik dan pengalaman penerapan informasi spasial ZPPI di berbagai wilayah perairan Indonesia. Pengembangan informasi spasial ZPPI didasari oleh penelitian jangka panjang tentang pemanfaatan data NOAA-AVHRR untuk pemetaan SPL tahun sejak 1983, dilanjutkan dengan deteksi thermal front/upwelling dalam kaitannya dengan lokasi penangkapan ikan sekitar 1995 sampai dengan tahun 1997.

Pengembangan informasi spasial ZPPI oleh LAPAN sendiri melewati penelitian dan uji coba penerapan cukup lama di beberapa daerah, mulai tahun 1999 dengan nama informasi Zona Ikan (ZI), kemudian diberi nama informasi Zona Potensi Ikan yang disingkat dengan ZPI yang waktu itu hanya menggunakan data SPL yang dihitung berdasarkan data NOAA-AVHRR. Berdasarkan Laporan Kegiatan LAPAN (2002), telah dilakukan sosialisasi ZPPI dan penerapannya di beberapa lokasi di antaranya di Situbondo, Pekalongan, Badung – Bali Selatan, dan Bengkulu. Nama informasi zona potensi ikan tersebut terakhir diubah menjadi informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) dengan mulai memasukkan parameter kandungan klorofil-a dalam penentuan ZPPI.

Dalam upaya mendapatkan feedback hasil identifikasi ZPPI, telah dilakukan sosialisasi dan penerapan ZPPI ke beberapa daerah seperti Pangandaran (Jawa Barat), Pekalongan (Jawa Tengah), Bangkalan (Madura), Bengkulu, Manado, Biak, Padang, Balikpapan, Parepare (Sulawesi Selatan) dan Nusa Tenggara Timur. Uji coba penerapan ZPPI ini mendapatkan feedback hasil penangkapan pada lokasi yang ditentukan dan jenis ikan hasil tangkapan, bahkan sampai tingkat perhitungan keuntungan yang diperoleh pemilik perahu motor.


(21)

5 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

BAB 2

PARAMETER OSEANOGRAFI DAN

BEBERAPA JENIS IKAN TARGET PENANGKAPAN

2.1 SPL dan Klorofil-a

Narendra (1993) menggunakan data satelit NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,3 - 11,3 µm dan 11,5 - 12,5 µm serta resolusi spasial 1,1 km untuk mendeteksi suhu permukaan laut (SPL). SPL yang dihasilkan selanjutnya menjadi data utama dalam menentukan zona potensi penangkapan ikan. Dalam perhitungan SPL dilakukan 3 (tiga) tahap proses yaitu : (1) koreksi radiometrik; (2) koreksi geometrik; (3) perhitungan SPL. Koreksi radiometrik terhadap data NOAA-AVHRR dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh posisi matahari dan atmosfir pada saat transmisi energi dari matahari ke permukaan laut dan emisi dari permukaan laut ke sensor pada satelit. Koreksi geometrik dilakukan untuk menghilangkan efek kelengkungan permukaan bumi dan rotasi bumi pada saat observasi oleh satelit. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dari segi geometrik juga digunakan beberapa titik kontrol peta sebagai acuan pada saat koreksi geometrik. Sedangkan perhitungan suhu permukaan laut menggunakan multi kanal yaitu kanal 4 dan kanal 5, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang akurat.

Gastellu (1988) menyatakan bahwa, pengguna ilmiah sangat berkepentingan dengan data yang didapat dari satelit khususnya yang berkaitan dengan SPL dan dinamika oseanografi (thermal front, upwelling, dan arus eddy). Keterbatasan aspek fisik dan teknologi menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan hasil pengamatan SPL dari satelit. Permasalahan utama disebabkan oleh kandungan uap air di atmosfir yang menyebabkan kesalahan sampai 10o C. Keragaman emisivitas permukaan laut dan noise pada sensor satelit juga merupakan faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam perhitungan SPL. Dengan menggunakan koreksi radiometrik dan proses pengolahan yang baik dimungkinkan untuk mendapatkan SPL yang cukup teliti.

Gordon (2005) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian menggunakan data MODIS Aqua dan data SeaWiFSdiketahui bahwa SPL, klorofil-a, dan upwelling masing-masing sangat dipengaruhi oleh angin monsun. Dari hasil penelitian arus lintas kepulauan Indonesia diketahui bahwa, termoklin di Samudera Hindia dengan suhu dingin dan salinitas rendah bergerak memotong arus lintas kepulauan Indonesia dekat 12oLS. Perairan laut Indonesia mengalami penurunan disebabkan oleh pergerakan Arus Lintas Kepulauan Indonsia (ALKI) dan diganti oleh air laut dari termoklin Pasifik Utara melintasi lapisan bawah termoklin dan masuk pada lapisan lebih dalam, kemudian langsung diganti oleh air dari Pasifik Selatan. Air masuk yang menggantikan nampak sebagai campuran utama


(22)

6 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

pada perairan laut Indonesia. Jika tidak ada arus lintas Indonesia dan air tidak menjadi dingin, dan zona perairan dengan salinitas rendah memotong Samudera Hindia tropis maka dapat dibuat satu asumsi bahwa air yang hangat akan terdapat di perairan tropis dan Samudera Hindia bagian utara dengan salinitas tinggi.

Tangdom, et.al. (2005) menyatakan bahwa, monsun Asia

mempunyai pengaruh dominan pada variasi SPL. Pada bulan Agustus, ketika angin monsun tenggara bertiup dominan, area yang luas sebelah selatan lebih dingin 5oC, dengan suhu minimum pada daerah upwelling di perairan sebelah selatan Pulau Jawa dan di perairan Arafura. Air yang dingin digerakkan ke Laut Jawa bagian timur. Di Selat Makassar, ketika parameter koreolis berakhir dan hilang maka air permukaan mengalir ke arah utara searah dengan pergerakan angin. Dampak dari aliran air permukaan diperkecil oleh perluasan aliran air bagian permukaan dari Samudera Pasifik, dan sebagai hasilnya maka SPL di Selat Makassar selama musim bersangkutan lebih tinggi dari 29o C. Angin monsun sebaliknya menggerakkan massa air yang relatif dingin dan salinitas rendah dari Laut China Selatan ke lapisan permukaan Laut Jawa bagian selatan. SPL terendah dari perairan laut Indonesia terdapat di Laut Jawa bagian barat, yaitu ketika terjadi perluasan radiasi panas permukaan sehingga SPL lebih tinggi dari 29oC.

Juga dinyatakan bahwa, mekanisme yang menyebabkan dan memelihara SPL pada kondisi yang tetap di lautan Indonesia terjadi sebagai akibat dari topografi yang komplek dan pertemuan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai tambahan terhadap radiasi panas permukaan, percampuran pasang yang intensif dari permukaan laut dan termoklin yang digerakkan oleh angin di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia memainkan peran dalam pergerakan dan pemeliharaan SPL. Konsekuensinya, dinamika regional lautan dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan “Maritime Continent” telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik secara lokal maupun global.

Tangdom et.al. (2005) juga menyatakan bahwa penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil. Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi selama periode salinitas tinggi (340/00). Hasil tangkapan ikan tertinggi selama periode tersebut didaratkan

dari fishing ground di kepulauan Masalembo. Fenomena terjadinya pergeseran massa air dari arah timur ke barat berkorelasi dengan meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut.


(23)

7 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi Hasil tangkapan ikan rata-rata di perairan sekitar kepulauan Masalembo menunjukkan adanya siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin monsun. Hasil tangkapan (ton/hari) cenderung tinggi pada bulan Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari – April dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 ton/hari.

Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan Selat Makassar dan Laut Flores yang bervariasi mengikuti perubahan musiman. Hasil penelitian pada perairan di sekitar Pulau Matasiri dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa SPL maksimum mencapai 30o C selama angin barat laut atau musim basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26oC pada Februari 1994. Suhu minimum dengan nilai 26oC terjadi selama akhir musim angin tenggara atau musim kering pada bulan September 1993.

Salinitas permukaan laut mengikuti bentuk yang berlawanan dengan nilai maksimum 34,5 o/oo terjadi pada bulan September 1992 sampai Oktober 1993, kemudian turun menjadi 31 – 32 o/oo pada bulan Februari 1994. Salinitas teringgi (34 o/oo) ditemukan pada fishing ground utama dari Bawean, Masalembo dan kepulauan Matasiri.

Pengukuran SPL di perairaan sekitar kepulauan Masalembo menunjukkan bahwa SPL cenderung tinggi (290 C) selama periode Mei, November dan Desember 1992, juga pada bulan Juni, November dan Desember 1993. Kondisi lingkungan Laut Jawa; sangat dipengaruhi oleh perubahan permukaan laut dan interaksi atmosfir pada saat arus permukaan timur – barat mengikuti arah angin mengakibatkan terjadinya percampuran mulai sepanjang permukaan ke perairan yang lebih dalam melalui pengadukan secara vertikal. Proses pengadukan terus berlangsung sampai perairan laut mencapai kondisi homogen dengan salinitas tinggi (340/00) yang terjadi selama musin angin tenggara pada bulan Juli –

Oktober. Proses sebaliknya terjadi dari barat laut selama monsun barat laut pada bulan November sampai Februari dengan salinitas rendah (<32 0/00)

berkaitan dengan masuknya air tawar dari beberapa sungai besar selama musim hujan. Salinitas terendah pada permukaan laut terjadi pada bulan Mei 1992 (32 – 32,5 0/00) dan tertinggi tejadi pada bulan Oktober 1993 (33 –

34,5 0/00).

Sediadi (2004) menyatakan bahwa, pada waktu musim timur terjadi proses upwelling di perairan Laut Banda. Untuk mengetahui effek upwelling terhadap kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda, dilakukan penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili musim timur dan bulan Oktober 1998 yang mewakili musim peralihan sebagai pembanding. Data kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton dari kedalaman 100 m ke permukaan. Hasil pengamatan pada musim timur (Agustus 1997) menunjukkan bahwa


(24)

8 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

proses taikan air (upwelling) masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai regresi antara suhu dan salinitas (r2 = 84,1 %), suhu dan nitrat (94,5%). Pada saat musim timur tercatat 33 jenis fitoplankton, komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi dibandingkan musim peralihan yang hanya 26 jenis fitoplankton.

Berdasarkan hasil penelitian klorofil-a di Selat Bali dengan menggunakan data satelit SeaWiFS yang dilakukan oleh Gaol et al (2004) bahwa terjadi peningkatan kandungan klorofil-a secara musiman. Konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan pada bulan Mei dan mencapai kondisi tertinggi pada bulan September, dan berkorelasi erat dengan fluktuasi SPL. Distribusi suhu permukaan Selat Bali menunjukkan bahwa proses upwelling terjadi selama monsun tenggara. Rata-rata kelimpahan fitoplankton selama monsun tenggara adalah 35,5 x 103cel/m3, sedangkan pada monsun timur laut adalah 35,5 x 103 cel/m3. Sementara proses upwelling di perairan Laut Jawa bagian selatan mencapai puncaknya pada saat monsun tenggara.

Penelitian SPL dan klorofil-a menggunakan data SeaWiFS di perairan sekitar Nias yang dilakukan oleh Gaol et al (2007) menunjukkan bahwa, variasi SPL hasil estimasi dari sensor satelit NOAA-AVHRR dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global. Pada musim timur SPL cenderung lebih rendah. Variasi SPL antara musim timur dan musim barat tidak terlalu tinggi dengan rata-rata 1,5oC, namun variasi SPL akibat pengaruh iklim global cukup tinggi, rata-rata 4 oC. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a berdasarkan sensor satelit SeaWiFS menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a juga dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global.

Sugimori (2006) menyatakan bahwa, lama kegiatan penangkapan ikan bervariasi mulai dari beberapa hari sampai satu musim, dengan liputan mulai dari 1 km sampai 100 km, dengan memperhatikan sirkulasi musim ikan. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan memperhatikan kondisi nutrien di perairan laut, masa bertelur, pengasuhan dan masa mencari makan. Deteksi ikan dengan teknologi satelit dilakukan dengan cara tidak langsung karena keterbatasan skala peta yang diperoleh dari citra satelit dan ikan berada di bawah permukaan air laut, namun dilakukan dengan mendeteksi distribusi produktivitas primer (klorofil-a), suhu permukaan lau, dan parameter oseanografi lainnya dengan menggunakan sensor penginderaan jauh.

Sulistya (2007) menyatakan bahwa, pemahaman tentang karakteristik dan SPL Laut Jawa belum memadai. Analisis spektral, spasial dan temporal perlu digunakan untuk mempelajari karakteristik SPL dalam kaitannya dengan musim. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, SPL tertinggi di Laut Jawa pada umumnya terjadi pada bulan April – Mei dan bulan November, sebaliknya SPL terendah umumnya terjadi pada bulan Februari dan Agustus.

Kostianoy (2004), melakukan penelitian thermal frontmenggunakan SPL rata-rata mingguan yang dihasilkan dari NOAA-AVHRR dengan


(25)

9 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi resolusi 18 km. Untuk mendapatkan data dengan resolusi spasial maksimum, analisis tidak didasarkan pada data rata-rata bulanan, tetapi menggunakan rata-rata data mingguan pada pertengahan tiap bulan dalam 3 tahun. Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 36 peta SPL (36 mingguan tiap pertengahan bulan). Untuk mendapatkan gambar dari thermal front utama di bagian selatan dari Samudera Hindia, peta SPL dikonversi menjadi peta gradien SPL. Gradien SPL dihitung untuk tiap piksel berdasarkan operator gradien dua dimensi yang menghitung perbedaan antara dua piksel yang berdekatan. Dengan menggunakan 36 peta gradien SPL mingguan untuk tiap pertengahan bulan, diperoleh indikasi secara umum tentang struktur, perluasan, keragaman, dan intensitas dari thermal front di bagian selatan Samudera Hindia.

2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis

Pengetahuan mengenai penyebaran dan bioekologi berbagai jenis ikan sangat penting artinya bagi usaha penangkapan. Data dan informasi tentang penyebaran dan bioekologi ikan pelagis sangat diperlukan dalam mengkaji ZPPI di suatu perairan. Berdasarkan habitatnya, ikan pelagis dibagi menjadi ikan jenis pelagis besar dan pelagis kecil. Menurut Komnas Kajiskanlaut (1998), diantara ikan-ikan utama dalam kelompok ikan pelagis besar adalah; madidihang, tuna mata besar, albakora tuna sirip biru, cakalang, marlin (ikan pedang, setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran), tongkol dan tenggiri (tongkol dan tenggiri), dan cucut (cucut mako). Sedangkan jenis ikan pelagis kecil antara lain; ikan layang, selar, sunglir, teri, japuh, tembang, lemuru, Siro, dan ikan kembung.

Tuna dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol, kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Kedalaman renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 meter. Suhu perairan berkisar 17 - 31o C. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32 – 35 ppt atau di perairan oseanik. Madidihang (thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu antara 17 -31oC dengan suhu optimum yang berkisar antara 19o - 23oC (Nontji, 1987), suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20o- 28oC (Wudianto, 2001).

Ikan tongkol (Euthynnus spp) hidup pada suhu 20 – 22o C dengan salinitas dalam kisaran 32,21–34,40 o/oo, tersebar di perairan Kalimantan,

Sumatera, pantai India, Filipina dan sebelah selatan Australia, sebelah barat Afrika Barat, Jepang, sebelah barat Hawai dan perairan pantai Pasific – Amerika. Ikan tongkol memiliki panjang tubuh mencapai 80 cm dan umumnya 30 – 50 cm. Jenis tongkol lainnya adalah axuis thazard, hidup di


(26)

10 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan berkelompok besar, panjangnya mencapai 50 cm, umumnya 25 – 40 cm.

Tenggiri (scomberomorus lineolatus), habitatnya di seluruh perairan pantai dengan salinitas 34,21–34,60 o/oo. Tenggiri tersebar di seluruh

perairan Indonesia, Sumatera, Jaut Jawa. Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora (makan ikan–ikan kecil, cumi-cumi) dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis ikan tersebut ditangkap saat gelombang dan angin sedang.

Ikan layang (decapterus spp.) bersifat stenohaline, hidup secara berkelompok pada kedalaman 20 – 25 meter, menghendaki perairan yang jernih dan merupakan ikan karnivora (plankton, crustacea). Sebarannya di Indonesia terdapat di perairan Ambon, Ternate, Laut Jawa. Ikan Selar atau bentong (selar cromenopthalmus) hidup berkelompok di perairan pantai yang hangat sampai kedalaman 80 m. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan kecil, crustacea), panjang dapat mencapai 30 cm, namun umumnya berukuran 20 cm. Ikan ini tersebar di Sumatera, Nias, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Ambon, Seram, Laut Merah, Natal, Zanzibar, Madagaskar, Muskat, India, Cina, Jepang, Formosa, Filipina, sampai perairan tropis Australia.

Linting (1994) menyatakan bahwa, informasi tentang musim ikan merupakan satu di antara unsur penunjang pengembangan usaha perikanan. Yang dimaksud dengan musim ikan adalah saat melimpahnya hasil tangkapan yang diperoleh dan didaratkan di suatu wilayah tanpa ada hubungan langsung dengan kelimpahan stok ikan yang ada di suatu perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musim ikan dicirikan oleh tingginya hasil tangkapan dan bukan oleh tingginya indeks kelimpahan stok.

Dari data yang diperoleh di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), dapat diketahui bahwa beberapa jenis ikan ekonomis yang menonjol memperlihatkan fluktuasi hasil tangkapan bulanan. Fluktuasi hasil tangkapan secara rinci menunjukkan pola yang sedikit berbeda satu sama lain. Produksi rata-rata ikan layang selama periode 1985 – 1992 berkisar antara 65,7 – 191, 8 ton. Musim ikan layang dicirikan oleh tingginya produksi bulanan yang melebihi 100 ton/bulan dan terjadi selepas puncak musim barat (Februari sampai dengan Mei) dan mulai puncak musim timur sampai dengan Oktober. Ikan layang yang didaratkan terdiri atas jenis layang biasa dan jenis layang berukuran besar dari jenis Decapterus himimulatus.

Ikan selar atau megalaspis cordyla, hidup di perairan pantai sampai kedalaman 60 m dan berkelompok, dari perairan tropis yang suhunya hangat. Panjang tubuh ikan ini mencapai 40 cm dan umumnya 30 cm. Sebaran ikan ini di Laut Jawa, Sulawesi, Sumatera, Selat Karimata, Bali, Sumbawa dan Ambon, Madagaskar, Teluk Bengala, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Formosa, Filipina, Samoa, dan Hawaii. Selar kuning (caranx leptolepis) banyak ditemukan hidup di perairan pantai sampai kedalaman


(27)

11 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi 25 m dan hidup berkelompok. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan-ikan kecil, udang-udangan) dan pada umumnya berukuran 15 cm. Ikan ini tersebar di daerah Sumatera (Bangka, Belitung, Selat Karimata), Laut Jawa dan Selat Makasar. Ikan ini ditangkap pada kedalaman 20–25 m dan berjarak 25–30 km dari pantai dengan waktu penangkapan pada pagi hari menjelang subuh.

Ikan Kuweh (caranx sexfaciathus) hidup di perairan dangkal dan pantai, hidup berkelompok, dan termasuk ikan karnivora (ikan kecil, crustacea), panjangnya mencapai 40 cm umumnya 20 – 30 cm. Ikan ini dijumpai di perairan pantai seluruh Indonesia, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Filipina, Cina, Formosa sampai ke perairan tropis Australia. Kuweh jenis lain yaitu alectis indicus, hidup di perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman 20 – 25 m, termasuk ikan karnivora (makan crustacea, ikan kecil) dan hidup berkelompok. Jenis ikan ini, panjangnya mencapai 75 cm dan umumnya 40 cm, terdapat di perairan Sumatera, Laut Jawa, Bangka, Kalimantan dan Sulawesi, Teluk Benggala, Teluk Siam, Pantai Cina Selatan sampai perairan tropis Australia. Ikan ini tertangkap pada kedalaman 20 m dan berjarak 2–4 mil dari pantai.

Ikan Kembung laki-laki atau banyar (rastelliger kanagurta), hidup di perairan pantai dan lepas pantai dengan suhu 22 – 24oC, kedalaman 8 – 15 meter yang perairannya berkadar garam tinggi dan hidup berkelompok. Bersifat karnivora, dengan panjang mencapai 35 cm dan umumnya 20 –25 cm. Ikan ini terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Arafuru, Teluk Siam. Kembung perempuan (rastelliger neglectus), hidup di perairan neritik, mendekati pantai dan membentuk kelompok besar. Bersifat karnivora (plankton, diatom, copepoda), melakukan migrasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, makanan dan arus. Panjangnya mencapai 30 cm dan umumnya 15 – 20 cm. Ikan ini banyak terdapat di perairan Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Muna, Buton, dan Arafuru.

Zainuddin (2007) menyatakan bahwa, ikan kembung di perairan Sulawesi Selatan mempunyai hubungan yang signifikan antara hasil tangkapan dengan faktor oseanografi yaitu SPL, salinitas dan kecepatan arus. Ini berarti bahwa dengan ketiga faktor oseanografi tersebut, pada tingkat akurasi tertentu hasil tangkapan ikan kembung dapat diprediksi dengan persamaan. Sedangkan uji signifikansi parameter menunjukkan bahwa SPL dan kecepatan arus memberi kontribusi yang lebih nyata dalam menjelaskan variasi hasil tangkapan. Hasil pengukuran SPL yang diperoleh selama penelitian di Kabupaten Bantaeng berkisar 29°C - 31°C. Kebanyakan upaya penangkapan ikan kembung dilakukan dengan alat tangkap gillnet pada kisaran suhu 29 - 29,5° C. Secara statistik faktor SPL berpengaruh nyata terhadap variasi jumlah hasil tangkapan. Hal ini berarti bahwa variabel SPL memegang peran penting dalam memprediksi hasil tangkapan ikan kembung.


(28)

12 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

Ikan lemuru termasuk jenis ikan stenohaline, pada umumnya hidup pada kedalaman 70 – 200 meter di perairan dengan salinitas 30 o/oo.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa ikan lemuru di Selat Bali hanya terdapat di paparan saja (baik paparan Jawa maupun Bali) pada kedalaman kurang dari 200 m. Pada siang hari ikan ini membentuk kelompok yang padat pada kedalaman sekitar 70 m. Sebagian besar dari jenis-jenis ikan lemuru yang tertangkap di sebagian perairan Indonesia dan sekitarnya adalah sardinella fimbriata, sardinella gibbosa, sardinella sirm. Khusus di Selat Bali, sardinella yang dominan adalah sardinella longiceps. Pet (1997) menyatakan bahwa, puncak hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Madura dan Selat Bali tercatat mulai awal musim hujan sekitar November dan Desember, sedangkan di Samudera Hindia terjadi pada musim kemarau mulai bulan Juli sampai Oktober. Aktivitas reproduksi ikan Sardinella di Selat Madura terjadi pada bulan November dan Desember, dan diperkirakan mengalami perkembangan sampai mencapai ukuran panjang sekitar 12 cm, 17 cm dan 19 cm masing-masing pada tahun pertama, kedua, dan ketiga. Di sisi lain, Lumban Gaol (2004) menyatakan bahwa lemuru merupakan pemakan plankton, namun hubungan antara fitoplankton dan lemuru di Selat Bali sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena keterbatasan data plankton dari hasil pengukuran secara langsung. Namun demikian, citra satelit penginderaan jauh dapat memberikan informasi dan kontribusi tentang hubungan antara konsentrasi klorofil-a dan kelimpahan lemuru.

Pasaribu et al (2004) menyatakan bahwa, eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di lepas pantai Laut Jawa telah dilakukan sejak tiga puluh tahun terakhir. Alat tangkap (jaring) yang dipergunakan terdiri dari beberapa macam, namun ikan yang didaratkan umumnya dilakukan dengan alat tangkap purse seine. Tangkapan ikan paling tinggi didominasi oleh ikan jenis scads (deapterus spp.), jack mackarel (rastrellin ger spp.) dan sardines (sardinella spp.). Analisis upaya yang didasarkan pada data statistik perikanan Pekalongan (Jawa Tengah) yang merupakan pangkalan perikanan utama dengan alat tangkap purse seine dalam periode tahun 1976 sampai 2000 menunjukkan bahwa, jumlah hasil tangkapan cenderung meningkat sebanding dengan jumlah perahu/kapal motor.

Secara hirarkis, ikan pelagis kecil di Laut Jawa dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu ikan pelagis yang tertangkap oleh purse seine besar di wilayah laut lepas, dan ikan pelagis yang tertangkap oleh mini purse seine di perairan dekat pantai. Penyebaran ikan pelagis kecil juga ditemukan di sisi timur dari Selat Makassar dan sekitar Laut Cina Selatan. Patir et al (1995) membagi ikan pelagis kecil menjadi tiga tipe populasi yaitu :

(1) Oceanic, yang tertangkap ketika air laut dari Laut Banda masuk ke Laut Jawa selama musim monsun tenggara antara Agustus sampai November.

(2) Neritic, yang tertangkap sepanjang tahun.

(3) Coastal, yang tertangkap sepanjang tahun dalam jumlah yang sedikit.


(29)

13 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi Ikan pelagis juga banyak dipengaruhi oleh suhu perairan yang menjadi tempat hidupnya. Pengaruh suhu secara vertikal diantaranya terlihat pada saat suhu perairan tiba-tiba mengalami kenaikan cukup tajam akan meningkatkan metabolisme dalam tubuh ikan, sehingga kebutuhan oksigen pada ikan juga meningkat. Di sisi lain, kenaikan suhu justru akan menurunkan tingkat kelarutan oksigen. Kondisi ini biasa terjadi pada siang hari dan akan menyebabkan ikan lebih suka berada di lapisan lebih dalam dibandingkan di permukaan. Kepekaan beberapa jenis ikan pelagis terhadap suhu, kedalaman, salinitas, dan kecerahan air laut yang menjadi habitatnya.

Penelitian tentang hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a berdasarkan data Aqua Modis untuk pengkajian pendugaan hasil tangkapan ikan pelagis besar (tongkol dan cakalang) di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SPL tertinggi terjadi pada bulan April 2003 yakni sebesar 30,35oC. Dengan kondisi suhu tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 6,142 ton. Sedangkan rata-rata SPL terendah terjadi pada bulan Agustus 2006 yakni sebesar 25,64o C, dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 65,195 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan kondisi SPL adalah 26,65oC. Sedangkan berdasarkan kandungan klorofil-a, pada periode Juli 2002 – Desember 2006, rata-rata kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan September 2006 yakni sebesar 1.0177 mg/m3. Dengan kondisi kandungan klorofil-a tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 145,5 ton, sedangkan rata-rata kandungan klorofil-a terendah terjadi pada bulan Januari 2003 yakni sebesar 0.1083 mg/m3 dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 17,321 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan kandungan klorofil-a adalah 0.3201 mg/m3.

2.3 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Meningkatnya kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut oleh berbagai pihak, mendorong adanya kompetisi di antara pelaku penangkapan dan industri perikanan tangkap. Kompetisi ini menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah, masyarakat setempat dan swasta, disebabkan adanya perbedaan kepentingan masing-masing pihak yang merasa berhak atas suatu wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et al., 1996). Konflik perbedaan kepentingan tersebut berakar dari masalah berikut:

(1) Pihak yang berkepentingan cenderung menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, dan perencanaan secara sektoral sering berbeda dengan kepentingan pemerintah daerah atau masyarakat setempat, terutama nelayan tradisional yang merupakan obyek dari perencanaan dan pengelolaan tersebut.


(30)

14 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

(2) Belum ada pembagian wewenang dan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya laut. (3) Belum ada instansi tersendiri atau instansi koordinasi yang secara

khusus menangani pengelolaan wilayah pesisir dan lautan.

(4) Belum tersedianya data dan informasi mengenai sumberdaya wilayah lautan secara akurat.

(5) Lemahnya kemampuan aparatur dan kelembagaan dalam mengelola sumberdaya lautan secara lestari.

(6) Jumlah dan tingkat laju kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan lautan belum ditetapkan atas dasar pertimbangan daya dukung lingkungan, dan kemungkinan timbulnya dampak negatif suatu sektor pembangunan terhadap sektor lainnya.

(7) Pesatnya laju degradasi dan depresi sumberdaya laut, dimana 60% ekosistem telah punah.

(8) Belum ada batas pengelolaan yang tegas dan jelas tentang kawasan (wilayah) pesisir yang menjadi kewenangan setiap provinsi dan juga batas antar negara.

Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya meliputi kegiatan-kegiatan berikut.

(1) Pengumpulan dan analisis data, meliputi seluruh variable atau komponen yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan, meliputi aspek biologi, produksi dan penangkapan ikan, sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan.

(2) Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya perikanan, meliputi perizinan, waktu serta lokasi penangkapan ikan.

(3) Penetapan alokasi penangkapan ikan (berapa banyak ikan yang boleh ditangkap) antar nelayan dalam satu kelompok, antara kelompok nelayan yang berbeda, antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang dari tempat lain, atau antara nelayan yang berbeda alat tangkap dan metode penangkapan ikan.

(4) Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang memang telah mengalami tekanan ekologis akibat penangkapan ikan atau kejadian-kejadian alam, perlindungan terhadap habitat ikan, serta perlindungan yang diarahkan untuk menjaga kualitas perairan supaya tetap dalam kondisi baik.

(5) Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan, sekaligus merupakan umpan balik yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hukum dan perundang-undangan.

(6) Pengembangan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang yang ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka pendek atau yang saat ini sedang diimplementasikan. Pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi sumberdaya ikan itu sendiri maupun sumberdaya ikan beserta seluruh aspek yang berpengaruh atau dipengaruhi sumberdaya ikan tersebut.


(31)

15 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi Vasconcellos (2003) menyatakan bahwa, ada tiga kriteria yang digunakan dalam pengelolaan ikan sardin di Brazilia, yaitu tangkapan rata-rata, bervariasi tangkapan, dan kemungkinan stok mengalami penurunan secara drastis. Kriteria pengelolaan penangkapan ini dipilih karena memberikan gambaran tiga tujuan pengelolaan perikanan yaitu :

a. memaksimumkan hasil tangkapan, peningkatan jumlah ikan hasil tangkapan mempunyai dampak lebih banyak ikan untuk industri, lebih banyak peluang keuntungan pada sektor perikanan tangkap, yang berarti membuka lebih banyak lapangan kerja;

b. memaksimumkan stabilitas penangkapan : umumnya, ketertarikan terbesar dari perencanaan pengelolaan adalah untuk menjamin stabilitas hasil tangkapan, karena itu perlu memelihara pasokan ikan yang konstan untuk bahan baku industri; dan

c. meminimalkan peluang kerugian pada sektor perikanan, ini merupakan tujuan dasar untuk rencana pengelolaan perikanan, dengan mempertimbangkan ekologi, faktor ekonomi dan biaya yang berhubungan dengan kerugian pada sektor perikanan.

2.4 Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Dahuri (1996) menyatakan, agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, pada dasarnya diperlukan informasi yang antara lain meliputi :

(1) Distribusi spasial jenis-jenis sumberdaya ikan.

(2) Potensi lestari maximum sustainable yield (MSY) setiap jenis sumberdaya ikan.

(3) Persyaratan ekologis bagi kehidupan dan pertumbuhan setiap jenis sumberdaya ikan.

(4) Transfer energi dan materi antar tingkat trofik dalam suatu ekosistem perairan dimana sumberdaya ikan yang dikelola hidup.

(5) Dinamika populasi sumberdaya ikan. (6) Siklus hidup dari sumberdaya ikan.

(7) Kualitas perairan dimana sumberdaya ikan hidup.

(8) Tingkat penangkapan terhadap sumberdaya ikan dalam bentuk upaya tangkap secara time series.

Pengelolaan informasi untuk lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan sangat diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemprosesan, penelusuran, dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunanya pada waktu yang diinginkan. Dalam perspektif pembangunan perikanan, suatu lingkungan perairan beserta sumberdaya yang ada didalam-nya secara garis besar dapat dimanfaatkan bagi tiga peruntukkan yaitu :

(1) Kegiatan penangkapan. (2) Budidaya perairan. (3) Kawasan perlindungan.


(32)

16 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

Data spasial atau sering juga disebut data keruangan adalah data yang terikat dengan posisi koordinat ruang di permukaan bumi. Data spasial dapat berupa peta dasar atau peta tematik, data/informasi yang diperoleh dari data penginderaan jauh satelit, atau data hasil pengamatan lapangan yang dikaitkan dengan posisi koordinat yang diukur dengan Global Positioning System (GPS) atau titik acuan berdasarkan posisi koordinat pada peta dasar.

Data spasial berupa peta dasar atau peta tematik antara lain : (1) peta rupabumi; (2) peta laut (kedalaman); (3) peta lingkungan pesisir dan laut. Data spasial berupa parameter fisik dan lingkungan terkini yang diperoleh dari data penginderaan jauh antara lain terdiri dari :

(1) Data daerah potensi penangkapan ikan (fishing ground).

(2) Data lingkungan pesisir dan pantai seperti terumbu karang, mangrove, dan kualitas perairan.

(3) Daerah potensi budidaya laut.

Berdasarkan catatan bahwa, hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali pernah mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu dari melebihi 6.500 ton pada tahun 1950 menjadi kurang 200 ton pada tahun 1956, tetapi kemudian naik lagi disebabkan oleh faktor-faktor atau peristiwa yang tidak diketahui. Penurunan stok ikan secara drastis dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu factor pertama adalah tekanan penangkapan berlebih dan pengaruh lingkungan oseanografi. Faktor kedua disebabkan oleh ketidakpastian dalam estimasi sumberdaya ikan lemuru (sandine) di Indonesia akibat kesenjangan informasi tentang distribusi ikan lemuru secara geografis dari stok ikan dalam potensi lestari (Pet, 1997).

2.5 Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan

Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kelautan dikembangkan dengan beberapa alasan yaitu: (a) tersedianya sensor baru dengan resolusi spektral dan spasial yang dapat mengamati/mengukur parameter oseanografi dengan lebih teliti; (b) kemudahan dalam mengakses data; (c) kemampuan mengolah dan mendisseminasikan data melalui sistem pengolahan digital; (d) meningkatnya kepedulian dari pengguna dalam memanfaatkan keunggulan dari teknologi penginderaan jauh (Hartuti, 2006).

Penggunaan data SPL dan kandungan klorofil-a yang dihitung dengan menggunakan data MODIS yang dihasilkan LAPAN dapat digunakan untuk prediksi zona potensi penangkapan ikan dengan analisis overlay antara citra kantur SPL dengan citra kontur kandungan klorofil-a. Wilayah tumpang tindih antara kontur SPL dan kontur klorofil-a yang merupakan indicator keberadaan ikan, dipredikasi sebagai zona potensi penangkapan ikan pelagis. Hasil penelitian yang dilakukan menujukkan bahwa ikan-ikan pelagis kecil (tembang, kembung, layang dan cakalang) cenderung tertangkap di perairan dengan suhu dalam selang 260 – 290 C dan konsentrasi klorofil-a 0,5 – 2,5 mg/m3. Di sisi lain, Santos (2000)


(33)

17 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi menyatakan bahwa pemahaman tentang interaksi antara lingkungan oseanografi dengan organisme laut masih sangat minim dan sangat sulit untuk meneliti atau mengamati melalui kegiatan eksperimen. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh sangat penting untuk memecahkan masalah perikanan untuk mengetahui hubungan antara lingkungan oseanografi dengan penyebaran dan kelimpahan sumberdaya ikan (Sumedi, 2009).


(34)

(35)

19 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

BAB 3

PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH

UNTUK PERIKANAN TANGKAP

Terdapat dua jenis satelit lingkungan dan cuaca yang dapat menghasilkan data parameter oseanografi yang dapat digunakan untuk pengembangan ZPPI yaitu satelit NOAA dan satelit Aqua/Terra. Satelit-satelit tersebut masing-masing membawa sensor AVHRR untuk mendeteksi SPL, sedangkan satelit Aqua/Terra membawa sensor MODIS untuk mendeteksi SPL dan klorofil-a.

3.1 Satelit Lingkungan dan Cuaca seri NOAA

Satelit lingkungan dan cuaca NOAA merupakan satelit inderaja berorbit polar sun-synchronous pada ketinggian sekitar 833 – 870 km di atas permukaan bumi dengan periode orbit 102 menit, mengelilingi bumi sekitar 14 kali per hari. Satelit NOAA merupakan pengembangan lanjut dari satelit Television Infrared Observation System (TIROS) yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 1 April 1961. Satelit NOAA dirancang dan dikembangkan dengan serangkaian satelit NOAA-K, L, M, N, P dan NPOESS yang masing-masing diluncurkan pada tahun 1998, 2000, 2002, 2005, 2006 dan 2009.

Karakteristik beberapa satelit seri NOAA seperti diperlihatkan pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3.1. Karakteristik dari satelit lingkugan dan cuaca seri NOAA

No. Elemen Spesifikasi

1. Waktu peluncuran NOAA-K: 13 Mei 1998.

NOAA-L: 21 September 2000. NOAA-M: 24 Juni 2002. NOAA-N: 20 Mei 2005

NPOESS (Proyek Persiapan): 31 Oktober 2006

NOAA-P: Februari 2009

2. Masa operasi Minimum 2 tahun

3. Orbit Sun-synchronous

Wahana Satelit

4.

Berat Satelit 1.478,9 kg pada orbit dan 2.231,7 kg pada peluncuran

5 Panjang/Diameter 4,18 m / 1,88 m

6 Pengendali ketinggian

(Attitude) 3-axis

7 Daya Transfer energi langsung

Kecepatan Transmisi Data– Real Time

8. TIROS Information Processor

(TIP) 8,32 kilobits per second (kbps)


(36)

20 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

No. Elemen Spesifikasi

9. High Resolution Picture

Transmission (HRPT) 665,4 kbps.

10 Automatic Picture Transmission (APT)

Sekitar 2 kHz untk citra resolusi medium dari 2 kanal sensor AVHRR .

Rate Data - Perekaman

11 Global Area Coverage (GAC) 665,4 kbps. 12 Local Area Coverage (LAC) 665,4 kbps HRPT.

13 Playback 2,66 Megabits per second (mbps) selama

operasi normal. Sumber : NOAA (2013).

Satelit NOAA selalu bekerja berpasangan, satu satelit NOAA beroperasi dalam lintasan ascending yaitu mengorbit arah utara selatan, sedangkan yang lain melakukan orbit discending yaitu mengorbit dari selatan ke utara. Satelit NOAA-1 yang merupakan satelit seri NOAA yang pertama diluncurkan pada tahun 1972. Satelit seri NOAA yang saat ini masih berperasi terdiri dari NOAA-18 dan NOAA-19. Satelit NOAA yang telah menyelesaikan misinya dan yang saat ini sedang mengorbit diperlihatkan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Seri satelit NOAA, waktu peluncuran, operasional, dan akhir operasinya.

No. Nama Satelit Peluncuran Mulai Operasional

Akhir Operasional 1. TIROS-N 13-Okt-1978 19-Okt-1978 30-Jan-980 2. NOAA-6 27-Jun-979 27-Jun-1979 16-Nov-1986 3. NOAA-7 23-Jun-1981 24-Agt-1981 7-Jun-1986 4. NOAA-8 28-Mar-1983 3-Mei-1983 31-Okt-1985 5. NOAA-9 12-Des-1984 25-Feb-1985 11-Mei-1994 6. NOAA-10 17-Sep-1986 17-Nov-1986 17-Sep-1991 7. NOAA-11 24-Agt-1988 8-Nov-1988 13-Sep-1994 8. NOAA-12 13-Mei-1991 14-Mei-1991 15-Des-1994 9. NOAA-14 30-Des-1994 30-Des-1994 23-Mei-2007 10. NOAA-15 13-Mei-1998 13-Mei-1998 Masih operasi 11. NOAA-16 21-Sep-2000 21-Sep-2000 Masih operasi 12. NOAA-17 24-Jun-2002 24-Jun-2002 Masih operasi 13. NOAA-18 20-Mei-2005 30-Agt-2005 Masih operasi 14. NOAA-19 6-Feb-2009 2-Jun-2009 Masih operasi 15 MetOp-A 19-Okt-2006 20-Jun-2007 Masih operasi Sumber : NOAA(2013).

Penerus satelit seri NOAA tersebut yaitu satelit NPOESS sudah mengorbit dalam melakukan observasi terhadap permukaan bumi dan atmosfir.Jika memperhatikan karakteristik lintasan satelit NOAA tersebut di atas, maka dalam sehari terdapat 2 satelit yang mengobit di atas wilayah Indonesia seperti terlihat pada Tabel 3.3 berikut.


(37)

21 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi Tabel 3.3. Waktu lintasan dan sudut elevasi satelit NOAA-18 dan 19 pada lintasan siang dan malam hari.

No. Seri Satelit NOAA

Waktu

Lintasan Sudut Elevasi Keterangnan

1. NOAA-19 13:20:57 79,0o

Lintasan Siang Hari

2. NOAA-18 14:46:57 51,0o

3. NOAA-18 16:29:14 10,4o

4. NOAA-19 00:29:39 24,1o

Lintasan Malam Hari

5. NOAA-18 01:55:55 16,1o

6. NOAA-19 02:10:11 23,2o

7. NOAA-18 03:35:18 35,7o

3.2 Sensor pada Satelit NOAA

Satelit seri NOAA generasi awal (dekade 1980) pada umumnya membawa 5 (lima) sensor, 4 (empat) sensor untuk melakukan pengamatan lingkungan dan cuaca sedangkan 1 (satu) sensor untuk fungsi resque. Kelima sensor utama tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Advanced Very High Resolution Radiomater (AVHRR); (2) Tiros Operational Vertical Sounder (TOVS);

(3) Data Collection System (DCS);

(4) Space Environment Monitor (SEM); dan (5) Search and Resque Satellite System (Sarsat).

Sejalan dengan perkembangan teknologi sensor, fenomena alam, dan kebutuhan pengguna data maka sensor yang dibawa oleh satelit NOAA terus dikembangkan. Diantara pengembangan tersebut adalah mengganti sensor TOVS dengan sensor-sensor lain yang lebih baik, sehingga secara umum satelit NOAA dalam menjalankan fungsinya

melakukan pengamatan serta pemantauan lingkungan dan cuaca,

dilengkapi dengan 9 (sembilan) sensor sebagai berikut.

(1) Advanced Very High Resolution Radiomater (AVHRR);

(2) Data Collection System (DCS);

(3) Space Environment Monitor (SEM);

(4) Search and Resque Satellite System (Sarsat);

(5) High Resolution Infrared Radiation Sounder (HIRS/3 and HIRS/4);

(6) Advanced Microwave Sounding Unit-A (AMSU-A);

(7) Advanced Microwave Sounding Unit-B (AMSU-B);

(8) Solar Backscatter Ultraviolet Spectral Radiometer (SBUV/2); dan

(9) Microwave Humidity Sounder (MHS).

Sembilan sensor sebagaimana terlihat pada Gambar 3.1 di atas beroperasi secara independen, namun demikian pemanfaatan data yang dihasilkan dapat saling mendukung satu sama lainnya. Dari sembilan sensor tersebut, 2 diantaranya sangat bermanfaat untuk keperluan penelitian kelautan dan pengembangan informasi spasial ZPPI yaitu AVHRR dan DCS yang di laut menggunakan buoys. Data yang dihasilkan


(38)

22 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

oleh buoys sangat bermanfaat dalam penelitian untuk meningkatkan akurasi informasi suhu permukaan laut berdasarkan data AVHRR. Oleh karena itulah, pembahasan selanjutnya tentang karakteristik dan fungsi sensor NOAA akan dititik beratkan pada sensor AVHRR dan sedikit pembahasan tentang sensor DCS.

Gambar 3.1. Sensor-sensor dan tata letaknya pada satelit NOAA, yaitu AVHRR, DCS, SEM, Sarsat, HIRS-3/6, AMSU-A/B,SBUV/2, dan MHS. (Sumber NOAA, 2013).

3.2.1 Sensor Advanced Very High Resolution Radiomater

Sensor Advanced Very High Resolution Radiomater (AVHRR) mempunyai fungsi untuk mendeteksi pantulan gelombang elektromanetik oleh awan, obyek di permukaan bumi, serta gelombang emisi suhu permukaan awan dan permukaan perairan. Sensor AVHRR mempunyai 6 detektor yang bekerja pada kanal radiometer dengan panjang gelombang yang berbeda mulai dari sinar tampak (visible) dan infra merah termal.

Sensor AVHRR yang pertama hanya terdiri dari 4 kanal radiometer, dibawa oleh TIROS-N yang diluncurkan pada bulan Oktober 1978. Kanal radiometer pada AVHRR kemudian disempurnakan menjadi 5 (lima) kanal radiometer yang dikenal dengan sensor AVHRR/2 dan pertama kali dibawa oleh satelit NOAA-7 yang diluncurkan pada bulan Juni 1981. Sensor AVHRR yang terakhir adalah AVHRR/3 dengan 6 (enam) kanal radiometer yang dibawa oleh satelit NOAA-15 yang diluncurkan pada Mei 1998.

Data yang dihasilkan sensor AVHRR dibagi menjadi 2 jenis yaitu data Local Areal Coverage (LAC) dan Global Area Coverage (GAC). Data AVHRR dari jenis LAC mempunyai resolusi spasial 1,1 km dititik nadir lintasan satelit. Setiap orbit mampu merekam data yang mencakup lebar sapuan daerah pengamatan sekitar 3000 km sedangkan liputan utara selatannya dapat mencapai lebih dari 5.000 km. Data AVHRR dari


(39)

23 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi masing kanal mempunyai karakterisktik tertentu, sehingga potensi pemanfaatan datanya berlainan. Data kanal-kanal 1 dan 2 dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemantauan vegetasi. Sementara itu, data kanal infra merah dan infra merah termal (kanal 3, 4, dan 5) dapat digunakan untuk estimasi suhu permukaan darat dan permukaan laut. Karakteristik sensor AVHRR yang terdiri dari panjang gelombang, spectral, dan kegunaannya sebagaimana diperlihatkan pada Tabel Tabel 3.4.

Data AVHRR sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam proses estimasi suhu permukaan laut (SPL) secara global dan kontinyu dalam suatu periode pengamatan. Karena resolusi temporalnya sangat tinggi (dua kali setiap hari) maka dapat dilakukan pemetaan suhu permukaan laut dalam periode harian, mingguan atau periode-periode pengamatan lainnya. Dengan tersedianya tiga kanal dalam kisaran spektrum radiasi infra merah dan infra merah termal tersebut dimungkinkan untuk melakukan estimasi SPL menggunakan data multikanal (kombinasi data dari dua atau tiga kanal radiometer).

Tabel 3.4. Karakteristik sensor AVHRR/2 yang dibawa oleh satelit NOAA-7, 9, 11, 12 and 14.

Nomor Kanal

Panjang

Gelombang (um) Spektral Kegunaan

1 0,58 - 0,68 Sinar

tampak Pemetaan awan pada siang hari, pemantauan salju dan lapisan es serta cuaca

2 0,72 - 1,10 Sinar

tampak

Pemantauan perkembangan

tumbuh-tumbuhan (indeks

vegetasi), deteksi awan dan salju

3 3,55 - 3,93 Infra

merah dekat

Penentuan awan pada malam hari, pengukuran SPL, membedakan antara daratan dan laut, memantau aktivitas vulkanik, dan monitoring kebakaran hutan

4 10,50 - 11,50 Infra

merah termal

Pemetaan awan baik siang maupun malam, pengukuran suhu permukaan laut, dan penelitian air tanah

5 11,50 - 12,50 Infra

merah termal

Sama seperti saluran 4 dan merupakan koreksi terhadap data saluran 4

Sumber: NOAA.


(40)

24 Pengembangan Dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi

Tabel di atas menujukkan bahwa sensor AVHRR/2 mempunyai 5 kanal radiometer. Kombinasi kanal 3 dan 4, digunakan untuk mendeteksi panas dan suhu permukaan laut di malam hari. Kombinasi kanal 4 dan 5, untuk pemetaan awan di siang atau malam hari, pengukuran SPL, kelengasan tanah, dan penelitian air tanah. Sensor AVHRR/3 mempunyai 6 kanal radiometer dengan penambahan pada kanal 3 menjadi kanal 3A dank anal 3B, lihat Tabel 3.5 berikut. Dalam operasinya, kanal 3A dan 3B tiidak dioperasikan secara serentak, hanya salah satu saja yang dioperasikan sesuai kebutuhan, sehingga jumlah kanal yang diterima tetap 5 kanal.

Tabel 3.5. Karakteristik sensor AVHRR/3 yang dibawa oleh satelit NOAA-15, 16, 17, 18 and 19.

No. Nomor

Kanal

Resolusi pada Nadir

Panjang

Gelombang (um) Kegunaan

1 1 1,09 km 0,58 - 0,68 Pemetaan awan dan

permukaan di siang hari.

2 2 1,09 km 0,725 - 1,00 Pemetaan awan dan

permukaan di siang hari, serta batas daratan dan air.

3 3A 1,09 km 1,58 - 1,64 Deteksi es dan salju.

4 3B 1,09 km 3,55 - 3,93 Pemetaan awan di malam

hari, suhu permukaan.

5 4 1,09 km 10,30 - 11,30 Pemetaan awan malam

hari dan suhu permukaan laut.

6 5 1,09 km 11,50 - 12,50 Pemetaan awan malam

hari dan Suhu permukaan laut.

Sumber: NOAA(2013).

Sensor NOAA-AVHRR melakukan scanning secara serentak dengan frekuensi 40 kHz, dan dikonversi menjadi 10 bit data biner dengan jumlah sampling sebanyak 2048 sampel yang selanjutnya dikenal dengan nama pixel (picture element) dan setiap pixel dikuantifikasi dalam bentuk data biner 10 bit. Dengan kata lain, sensor AVHRR melakukan pengamatan terhadap muka bumi arah barat-timur sebanyak 2048 sampel. Sementara itu, sensor NOAA-AVHRR seri sebelumnya menghasilkan data dalam bentuk biner 8 bit.

Dalam kegiatan pengolahan data sehari-hari khususnya dalam analisis visual, jumlah digit dari bilangan biner dinyatakan sebagai tingkat keabuan. Jika setiap pixel dikuantifikasi menjadi 8 digit data, berarti setiap


(1)

Simposium on Applications of Aerospace Remote Sensing in Marine Research. October 6-10. Woods-Hole, Mass.

McClain, E.P., Pichel, W.G., and Walton, C.C 1985. Comparative Performance of AVHRR-Based Multi channel Sea Surface Temperatures. Journal of Geophysical Research, 90(C6):11579-11601

Narendra Nath A. 1993. Retrieval of Sea Survface Temperature Using NOAA-AVHRR Data for Identification of Potential Fishing Zone – Dissemination andValidation. National Remote Sensing Agency. Hiyderabad, India. 40 pages.

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Jambatan. Jakarta. 367 halaman.

Pasaribu B.P., Manurung D., and Nugroho D. 2004.Fish Stock Assessment Using Marine Acoustics Detection And Oceanographical Characteristics In Java Sea. Jurnal Gayana68(2):1-5. Page 466-475. Pellegrini, J.J. and Penrose, I.D. 1986. Comparison of Ship Rased Satellite

AVHRR Estimates of Sea Surface Temperature. Proceeding 1st Australian AVHRR Conference. Perth, Australia.

Pet J.S., Densen W.L.T, Machiels M.A.M,. Sukkel M, Setyohadi D, and Tumuljadi A. 1997. Length-based Analysis of Population Dynamics and Stock Identification in the Sardine Fisheries around East Java, Indonesia. Journal of Fisheries Research31. Page 107 – 120.

Priyanti N.S. 1999. Studi Daerah Penangkapan Rawai Tuna di Perairan Selatan Jawa Timur – Bali Pada Musim Timur Berdasarkan Pola Dsitribusi Suhu Permukaan Laut Citra Satelit NOAA/AVHRR dat Data Hasil Tangkapan. Skripsi. IPB. 78 halaman.

Santos M. 2000. Fisheries oceanography using satellite and airborne remote sensing methods: a review. Journal of Fisheries Research 49. Page 1 – 20.

Singh, S.M. 1984. Removal of Atmosfheric Effects on a Pixel by Pixel Basis From the Thermal Infrared Data From Instruments on Satellites “The Advanced Very High Resolution Radometer (AVHRR)”. Int. J. Of RemoteSensing, 8(1):161-183.

Sediadi A. 2004. Effek Upwelling Terhadap Kelimpahan dan Distribusi Fitoplankton di Perairan Laut Banda dan Sekitarnya. Jurnal Makara, Sains, Vol. 8, No. 2. Halaman 43-51.

Strong, A.E. and McClain, E.P. 1984. Improved Ocean Surface Temperature from Space Comparison with Drifting Buoys. Bulletin Am. Mateorology Soc, 65:138-142

Sumedi B. 2009. Kebutuhan dan Pengalaman Memanfaatkan Data Satelit Penginderaan Jauh untuk Perikanan Tangkap di Selat Makassar. Berita Inderaja LAPAN, Volume VII, No. 13. Halaman 38 – 42.

Sulistya W., Hartoko A., and Prayitno B. 2007. The Characteristics and Variability of Sea Surface Temperatur in Java Sea. International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences. International Society


(2)

of Remote sensing and Earth Sciences IJeReSES, Volume 4. Denpasar Bali. 162 pages.

Tangdom Q., Du Y., Strachan J., Meyer G. S., and Slingo J. 2005. Sea Surface Temperature And Its Variability In The Indonesian Region Sea Surface Temperature And Its Variability In The Indonesian Region. Journal Oceanography Vol. 18, No. 4. Page 51 – 61.

Vasconcellos M,. 2003. An Analysis of Harvest Strategies and Information Needs in the Purse Seine Fishery for the Brazillian Sardine.Journal of Fisheries Research 59. Page 363 – 378.

Wudianto. 2001. Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sadinela lemuru Bleeker 1853) di Perairan Selat Bali : Kaitannya Dengan Optimasi Penangkapan. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 221 halaman.

Zainuddin M. 2007. Pemetaan Daerah Potensial Penangkapan Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger Kanagurta) di Perairan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Jurnal Sains & Teknologi Vol. 7 No. 2. Halaman 57–64.


(3)

INDEK

AMSU 21, 22 APT 20

AVHRR 3, 4, 5, 8, 19-29, 33-42, 44, 47, 49, 50, 58, 59, 61, 121,

ALKI 5 Ascending 20,

Atmosfir 5, 40. Buoy 21, 22

Caranx leptolepis 10 Caranx sexfaciathus 11 Cromenopthalmus 10 Cropping 44

Crustacea 10 DCS 21, 22, 26, 27.

Decapterus himimulatus 10, Decapterus spp. 10,

Discending 20,

Feedback4, 106, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118.

Fish behavior 2

Fishing ground 3,6. 58, 109, Fish scooling 57.

GAC 20, 22

Geografis 9, 16, 124,

GPS 16, 33, 103

GT 62, 63, 64, 65, 67, 68, 70, 75, 103, 105, 106, 109, 122, HIRS 21, 22

HRPT 20

Ikan pelagis 1, 6, 9, 12, 13, 16, 33, 119, 120. Inderaja 2, 3, 19, 37, 48, 59, 125,

Kanal 5, 20, 22-25, 28-31, 35, 37- 40, 42-44.

Kerjasama penangkapan 65, 70, 71, 73, 77-82, 84, 86-89, 91-99, 101, Klorofil-a 2, 61, 120, 122,


(4)

Komnas Kajiskanlaut 9, 55, 56

Koreksi geometrik 5, 28, 33, 34, 35, 36, 60, Koreksi radiometrik 5, 33, 40,

LAC 20, 22,

Lapan 3, 4, 16, 27, 28, 32, 49, 50, 59, 60, 61, 103, 105, 106, 109, 122, 124.

Laut Jawa 6, 7, 8, 10, 12, 107, 108, 109

Maritime Continent 6 Megalaspis cordyla 10, MHS 21

Microwave 3, 21.

Migrasi 9, 11, 26, 108,

MODIS 5, 13, 16, 19, 29, 30, 31, 32, 33, 43, 44, 45, 124 MSY 15

Musim barat 8, 10, 61, 87, 88, 89, 119, 120, Musim peralihan pertama 90, 119, 120, Musim timur 7,8,10, 119, 125,

Musim peralihan kedua 100, 119,

Near-real time 33,

Nelayan tradisional 4, 13, 61, 63, 67, 71, 74, 75.

NOAA 3, 4, 5, 8, 20-28, 33- 39, 40-, 41, 42, 44, 47, 49, 50, 58, 61, 121, 123.

One day fishing57.

Overfishing 1, 120,

NPOESS 19, 20,

Oceancolor44, 47, 61.

Oseanografi1, 2, 58, 120,

Penginderaan Jauh 2, 3, 12, 16, 17, 19, 32, 47, 49-51, 55, 56, 59, 103, 105, 109, 120-125.

piksel (pixel) 24, 25, 34, 39, 47, 125,

pelagis kecil 1, 6, 12, 119, 124, pelagis besar 1, 9, 13,


(5)

Peta laut 16, 34, 59.

Plankton 7, 8, 10, 11, 12, 31,

Prospektif 2, 48, 76.

Purse Seine 6, 12, 103, 104, 108, 109, 121, 126,

Pusbangja 59, 103, 122,

Radiometer count 37, Rastrellin ger spp. 12

Rastrelliger kanagurta 126 Repetitive 33

Resolusi spektral 16,

Resolusi spasial 5, 9, 22, 30, 33,

Salinitas 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 119, 120,

Sardinella longiceps 12, 119. Sardinella spp. 12,

Sarsat 21, 22

Satelit 2, 3, 5, 8, 12, 16, 17, 19-30, 32, 33, 37, 40, 43-45, 49, 50, 56, 59, 61, 120, 121, 123,125,

SBUV 21, 22

Scomberomorus lineolatus 9, SeaWiFS 5, 8, 44.

Selar 10, 10, 110, 115, 116, 117, 118, 119. SEM 21

Sempenit 119, Schooling 2,

Situbondo 4, 123, 124.

SPL 3, 5-9, 11, 16, 19, 22, 30, 33, 37-41, 42, 43, 46, 48, 49, 60, 121, 122.

SST 26, 33, 40, 123

Stock assessment125 .

Stenohaline 10, 12. TOVS 21.

Teknologi 2, 5, 8, 15, 123, 126. Temporal 2, 8, 23, 124.


(6)

Thermal front 4, 5, 8, 9, 47, 49, 49, 50, 51, 52, 55, 58, 61, 122. Thunnus albacores 9

Time series 15. TIP 19.

TIROS19.

TPI 10, 70, 76, 77, 79, 81, 87, 92, 101, 106, 109. Trial fishing 2.

Unit spasial 2, 59, 60, 61, 62, 63, 67, 87, 109, 120. Upwelling 3, 4, 5, 6, 7, 8, 49, 50, 51, 54, 121, 125. Visibel 28, 29, 35.

WPP 60. ZEE 1, 33. ZI 4, 55.

ZPI 4, 58, 103, 104.