Pemaknaan karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover Majalah Tempo (Studi semiotik Terhadap Cover Majalah Tempo Edisi Januari 2010). SKRIPSI.

(1)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kuasa

yang Maha Pengasih dan Penyayang sehingga peneliti dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Pemaknaan Karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover

Majalah Tempo” (Studi semiotik Terhadap Cover Majalah Tempo Edisi Januari

2010).

Penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sebanyak-banyaknya kepada

Bpk. Zainal Abidin Achmad, M. Si, M. Ed selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan serta dorongan kepada peneliti,

sehingga peneliti bisa menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Serta peneliti

juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1.

Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan FISIP UPN “Veteran” Jawa

Timur

2.

Bpk Juwito, S.Sos, Msi Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UPN

“Veteran” Jatim

3.

Kedua Orang Tua peneliti, yaitu Bpk. M. Zulaini Arifin dan Ibu Endang

Widaryati yang telah membantu baik secara materiil dan doa, adik peneliti

yaitu Novita Dwi Kartika Sari dan M. Ludfi Zulkarnaiin yang memberikan

support.

4.

Teman sekaligus sahabat-sahabat saya, yaitu : Ike Pratiwi, Fadilla Dwi

Anggia, Erni Purnamawati dan Niken Rizki Oktasyah (Thx garls buat

motivasi yang olweys kalian kasih)


(2)

ii

5.

Buat semua yang gak bisa di sebut satu persatu, trima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi

kesempurnaan skripsi ini.

Surabaya, 1 Juni 2010


(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Hubungan tanda, objek, dan interpretan Pierce………. 32

Gambar 2.2

Model kategori tanda Pierce……….. 32

Gambar 4.1

Karikatur dalam kategori tanda Pierce………... 48


(4)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kabinet Lanjutkan tapi Mirip Pemula ... 108

2. Popularitas SBY Turun, Demokrat Cemas ... 109

3. Program 100 Hari Hanya Sekadar Pencitraan ... 110

4. Program 100 Hari Kabinet Dikritik ... 111

5. Kepuasan Atas Kinerja Pemerintah Turun ... 112

6. Pengunjuk Rasa Tidak Puas ... 113


(5)

DAFTAR TABEL

2.1. Perangkat Framing William A.Gamson dan Modigliani ...

29

2.2. Kerangka Berpikir ...

31

3.1. Tabel 4.1 ...

50

3.2. Tabel 4.2 ...

51

3.3. Tabel 4.3 ...

52

3.4. Tabel 4.4 ...

59

4.1. Frame Berita Jawa Pos 27 Januari 2010 ...

67

4.2. Frame Berita Jawa Pos 28 Januari 2010 ...

73

4.3. Frame Berita Jawa Pos 29 Januari 2010 ...

80

4.4. Frame Berita Kompas 27 Januari 2010 ...

86

4.5. Frame Berita Kompas 28 Januari 2010 ...

92

4.6. Frame Berita Kompas 29 Januari 2010 ...

99

4.7. Frame Umum Perbandingan Jawa Pos dan Kompas ... 100


(6)

ABSTRAKSI

Citra Eka Prafitrian. Pemaknaan karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover

Majalah Tempo (Studi semiotik Terhadap Cover Majalah Tempo Edisi Januari

2010). SKRIPSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan karikatur “Artalyta

Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010

Teori-teori yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu : Majalah

Sebagai Media Massa, Majalah, Media Cetak, Ilustrasi Cover, Komunikasi visual,

Kartun Dan Karikatur, Karikatur Sebagai Kritik Sosial, Konsep Makna, Relasi

Politik Dengan Hukum, Pemaknaan Warna, dan Pendekatan Semiotika.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif, yang menggunakan analisis semiotik dari Charles Sanders Pierce.

Korpus dari pemberitaan tersebut yaitu : Gambar karikatur “Artalyta ‘Ayin’

Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010.

Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa ikon korpus tersebut

adalah seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang

memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri,

berjalan melewati tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar. Timbangan

tidak imbang, menuruni tangga, sandal lepas, uang terbang, baju berkibar, kain

putih terjuntai di pedang, langit berwarna orange yang berawan, rambut yang di

ikat, dan wajah yang tersenyum merupakan indeks dalam gambar tersebut.

Sedangkan simbol ditujukan oleh gambar palu, uang, pedang, sandal, pilar,

hanger, baju, tangga, dan timbangan.

.

ABSTRACT

Citra Eka Prafitrian. Confessing Caricature "Artalyta Suryani" On Tempo

Magazine Cover. (Semiotic Studies on Tempo Magazine Cover January 2010

edition). THESIS.

This study aimed to determine the meaning of caricature "Artalyta Suryani"

on the cover of Tempo magazine January 2010 edition.

Researchers used the theory in this research are: Magazine For Mass Media,

Magazines, Mass-Media, Cover Illustration, Visual Communications, Cartoon and

Caricature, Caricature As Social Critic, The Concept Of Meaning, Relationships

Politics And Law, Color Meanings, and the Semiotic Approach.

The method used in this study is a qualitative research method, which uses a

semiotic analysis of Charles Sanders Pierce. Corpus of the features are : Image

caricature "Artalyta 'Ayin' Suryani” on the cover of Tempo magazine January

2010 edition.

Based on the results, it can be concluded that the icon of the corpus is the

women who wear clothes, hair rollers and slippers holding a sword in his right

hand and left hand holding the weight, walking past the stairs, beyond that there

are two pillars. Scales are not balanced, down the stairs, flip-off, money to fly, fly


(7)

clothes, a white cloth hanging on the sword, the sky was cloudy orange color, hair

in that group, and the smiling face is the index of the image. While the picture

presented by the hammer symbol, money, swords, sandals, pillars, hanger,

clothes, stairs, and scale.

Kata Kunci : Pemaknaan Karikatur “Artalyta Suryani”, Charles Sanders Pierce,

Majalah Tempo..


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologi memandang bahwa dalam komunikasi antar manusia, maka media yang paling dominan dalam berkomunikasi adalah panca indra manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima panca indra selanjutnya diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan. Media yang dimaksud ialah media yang digolongkan atas empat macam yakni media antar pribadi, media kelompok, media publik, dan media massa.

Media massa adalah penyaji realita. Para pengelola media massa ibarat koki yang memproses peristiwa menjadi berita, features, investigative reporting, artikel, foto-foto, gambar bergerak, suara penyiar dan sounds effect, dialog interaktif, dan sebagainya untuk disajikan kepada para khalayak. Sang koki seharusnya memang merujuk pada fakta, akurasi, aktualitas, kaidah bahasa, dan etika. Namun ia boleh memasukkan subyektifitas dengan menentukan mana yang diletakkan pada bagian yang “sangat penting” atau “tidak penting” dan sebagainya agar mendapat perhatian dan minat khalayak.

Media massa terdiri dari media massa cetak dan media massa elektronik. Media massa cetak terdiri dari surat kabar, buku, majalah dan lain-lain. Media


(9)

massa elektronik terdiri dari televisi, radio, film, internet, dan lain-lain. Media cetak seperti majalah, surat kabar, dan buku, justru mampu memberi pemahaman yang tinggi kepada para pembacanya, karena ia sarat dengan analisis yang lebih dalam dibanding media lainnya (Cangara, 2005:128).

Majalah merupakan medium yang memiliki kualitas dalam menyajikan informasi. Majalah juga memiliki kemampuan membawa pesan yang sangat spesifik untuk keperluan studi, pengetahuan, hobi atau hiburan dengan penyajian mendalam yang sangat jarang ditemukan pada media lain. Pesan-pesan yang terdapat pada majalah dibentuk melalui proses interpretasi atau fenomena yang terjadi. Hal ini diperkuat sebagai berikut, di Indonesia sendiri majalah lebih dahulu melakukan jurnalisme interpretatif ketimbang koran ataupun kantor-kantor berita. Bagi majalah, interpretasi justru menjadi sajian utama. Aneka majalah sengaja menyajikan tinjauan dan analisis terhadap suatu peristiwa secara mendalam, dan itulah hakikat interpretasi. Tidak hanya itu saja, dalam kenyataannya, majalah ikut berperan dalam reformasi politik maupun sosial. Majalah tidak seperti koran yang biasanya memiliki perspektif nasional, sehingga terbebas dari sentimen kedaerahan. Bahkan majalah juga berjasa ikut memelihara kesadaran tentang kesatuan bangsa, dan menyodorkan berbagai topik diskusi kepada semua orang (River, 2003: 212).

Seiring dengan perkembangan jaman, majalah sudah mengalami berbagai kemajuan. Jika pada jaman dahulu majalah hadir dalam bentuk cetak sederhana, dicetak di atas kertas dengan kualitas apa adanya. Maka saat ini majalah terbit dan hadir dalam bentuk dan sajian yang menarik. Karena dicetak dengan kualitas yang


(10)

tinggi serta kemasan yang sangat menarik. Kini majalah semakin tersegmentasi, dengan mulai adanya majalah khusus anak-anak, seperti majalah BOBO. Khusus remaja, Gadis, Kawanku, dll. Untuk politik terdapat Tempo dan Gatra. Selain itu juga terdapat majalah khusus untuk olahraga, keluarga, pria serta wanita. Hal ini yang menyebabkan masyarakat semakin selektif dalam memilih majalah sesuai dengan kebutuhan mereka terhadap informasi maupun hiburan.

Majalah merupakan media yang terbit secara berkala, yang isinya meliputi bermacam-macam artikel, cerita, gambar dan iklan (Djuroto, 2002: 32). Fungsi dari majalah adalah, menyebarkan informasi kepada masyarakat. Selain itu memberikan hiburan baik dalam bentuk tekstual atau visual seperti gambar kartun maupun karikatur. Artini Kusmiati juga mengatakan di dalam bukunya Teori Komunikasi Visual (1999:36) bahwa media gambar atau visual mampu mengkomunikasikan pesan dengan cepat dan berkesan. Sebuah gambar bila dapat memilihnya bisa memiliki nilai yang sama dengan ribuan kata, juga secara individual mampu untuk memikat perhatian. Visualisasi adalah cara atau sarana yang paling tepat untuk membuat sesuatu yang abstrak menjadi lebih jelas. Penampilan secara visual selalu mampu untuk menarik emosi pembaca dan dapat memutuskan suatu problema untuk kemudian menghayalkan pada kejadian yang sebenarnya. Media verbal gambar merupakan media yang paling cepat untuk menanamkan pemahaman. Informasi bergambar lebih disukai dibandingkan dengan informasi tertulis karena menatap gambar jauh lebih mudah dan sederhana. Gambar berdiri sendiri, memiliki subyek yang mudah dipahami dan merupakan “simbol” yang jelas dan mudah dikenal (Waluyanto, 2000: 128).


(11)

Pada dasarnya simbol adalah sesuatu yang berdiri atau yang ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan diantaranya tersembunyi atau tidak jelas. Sebuah simbol dapat berdiri untuk institusi, cara berpikir, ide, harapan, dan banyak hal lain (Sobur, 2003:163). Dapat disimpulkan bahwa simbol atau tanda pada sebuah gambar memiliki makna yang dapat digali. Dengan kata lain, bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis pula. Atau memiliki sesuatu yang mesti diungkap maksud dan artinya.

Memahami makna karikatur sama susahnya dengan membongkar makna sosial dibalik tindakan manusia, atau menginterpretasikan maksud dari karikatur sama dengan menafsirkan tindakan sosial. Indarto (1999: 1) menyatakan dibalik tindakan manusia ada makna yang harus ditangkap dan dipahami, sebab manusia melakukan interaksi sosial melalui saling memahami makna dari masing-masing tindakan.

Karikatur juga perlu memiliki referensi-referensi sosial agar mampu menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh karikaturisnya. Tokoh, isi, maupun metode pengungkapan kritik yang dilukiskan secara karikatural sangat bergantung pada isu besar yang berkembang dijadikan headline.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa karikatur merupakan salah satu wujud lambang (simbol) atau bahasa visual yang keberadaannya dikelompokkan dalam kategori komunikasi non verbal dan dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Karikatur merupakan ungkapan ide dan pesan dari karikaturis kepada publik yang dituju melalui simbol yang berwujud gambar, tulisan dan lainnya.


(12)

Wahana penyampai kritik sosial dalam bentuk karikatur dapat kita temui dalam berbagai media cetak, dalam media ini karikatur menjadi pelengkap terhadap tajuk rencana, opini, serta artikel pilihan lainnya. Keberadaannya biasanya disajikan sebagai selingan atau dapat dikatakan sebagai penyejuk setelah para pembaca menikmati artikel-artikel yang lebih lebih serius dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan pembacanya. Meskipun sebenarnya pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah karikatur sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat artikel-artikel, namun pesan-pesan dalam karikatur lebih mudah dicerna karena sifatnya yang menghibur. Seringkali gambar itu terkesan lucu dan menggelikan sehingga membuat kritikan yang disampaikan oleh karikatur tidak begitu dirasa melecehkan atau bahkan mempermalukan.

Karikatur juga dapat menjadi kontrol sosial . keberadaan karikatur maupun gambar kartun dalam media massa cetak, khususnya pada majalah tidak hanya melengkapi artikel tulisan-tulisan di majalah saja, tetapi juga memberikan informasi kepada masyarakat agar mereka tahu antara tindaka-tindakan mana yang layak dan tidak layak untuk dilakukan. Banyak kejadian yang dilaporkan dalam bentuk gambar (misalnya kartun) yang lebih efektif dibanding dengan kata-kata, karena kartun mempunyai kekuatan dan karakter sehingga pembaca tertarik untuk sekedar melihat atau bahkan berusaha memahami makna dan pesan yang terkandung dalam gambar kartun tersebut.

Kartun sendiri merupakan produk keahlian seorang kartunis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, teknik menulis, psikologis, cara melobi, referensi, bacaan, maupun bagaimana tanggapan atau opini secara subjektif terhadap suatu


(13)

kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu. Karena itu kita bisa mendeteksi tingkat intelektual sang kartunis dari sudut ini. Juga cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur, 2003:140).

Peletakan karikatur juga dapat menjadi nilai plus tersendiri. Headline dengan menggunakan karikatur pada bagan paling depan sebuah majalah yaitu cover, dapat mempermudah konsumen untuk mengetahui secara langsung, berita hangat apa yang sedang beredar di masyarakat saat ini. Jangan pungkiri keberadaan kemasan cover dari majalah. Walaupun orang sering mengatakan “Jangan melihat atau menilai buku hanya dari sampulnya”, namun kekuatan cover / sampul sebagai daya tarik dari sebuah cover juga tidak dapat dipungkiri. Cover merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sebuah majalah dan memiliki peranan penting karena pada saat akan membeli atau membaca majalah, yang pertama kali diperhatikan adalah cover dan ilustrasi gambarnya. Karena melalui ilustrasi gambarnya, seorang penulis dapat menuangkan ide dan kreatifitasnya dari karya yang dihasilkan. Sehingga cover majalah dibuat untuk membuat calon pembeli atau pembaca dalam hal pemahaman pesan.

Cover / sampul juga perlu didesain secara indah dan artistik agar mampu menarik perhatian khalayak untuk membacanya. Pemilihan gambar harus dapat dimengerti oleh khalayak. Pada sebuah cover / sampul, ilustrasi digunakan sebagai gambaran pesan yang tidak terbaca, namun bisa mewakili isi dalam bentuk grafis yang memikat. Meskipun ilustrasi merupakan attention-getter (penarik perhatian) yang paling efektif, tetapi akan lebih efektif lagi bila ilustrasi


(14)

tersebut juga mampu menunjang pesan yang terkandung dari sebuah isi. Dengan ilustrasi, maka pesan menjadi lebih berkesan, karena pembaca akan lebih mudah mengingat gambar daripada kata-kata.

Peneliti menaruh perhatian terhadap ilustrasi cover depan majalah Tempo edisi Januari 2010. Karena pada cover tersebut mengangkat isu yang sedang hangat beredar di masyarakat. Tentang Artalyta ‘Ayin’ Suryani dalam rubrik opini yang mendapat perlakuan istimewa. Sebenarnya hal seperti ini telah menjadi isu yang telah lama beredar dimasyarakat. Para koruptor kelas berat sebelumnya telah mendapatkan perlakuan istimewa terlebih dahulu. Lihatlah Bob Hasan di Nusakambangan dan Tommy Soeharto di Cipinang. Banyak pemberitaan tentang sel mewah yang diberitakan dengan cara yang unik, salah satunya lewat karikatur. Dan setiap gambar yang muncul (melalui karikatur) memiliki pengertian yang berbeda-beda, sehingga akan memunculkan makna dibalik pemberitaan tersebut. Oleh karena itu para desaigner-desaigner dari berbagai media massa menyampaikan pesan atau memberikan sebuah informasi yang salah satunya melalui karikatur tersebut.

Berita tentang sel mewah milik Artalyta Suryani tersebut menjadi bulan-bulanan media massa. Pada media elektronik berupa televisi kita ambil contoh di Liputan 6 dengan judul “Artalyta Kendalikan Perusahaan Dari Penjara” (11/01/2010, 19:25). Pada media Cetak berupa majalah, Tempo edisi Januari 2010 yang dimuat pada rubrik opini.

Penelitian ini berusaha menangkap makna yang terkandung pada karikatur, tentang penggambaran lambang seorang dewi keadilan di Yunani pada rubrik


(15)

opini majalah Tempo edisi Januari 2010, ditampilkan seorang Artalyta ‘Ayin’ Suryani yang sedang menggunakan baju serta sandal berwarna putih. Beberapa rol rambut menghiasi kepala, lengkap dengan make up tebal. Tangan kiri memegang timbangan yang terbuat dari penggantung pakaian yang di isi dengan uang yang sebagian bertebangan dan palu, terlihat seimbang. Tangan kanan memegang pedang yang patah, dan selembar kain putih yang berkibar terkena angin. Dalam gambar tersebut ia menggunakan sandal berwarna putih, yang sebelah kirinya terlepas. Sedangkan pada background terdapat dua pilar dan Tiga buah anak tangga. Serta dominan warna orange dan kuning.

Peneliti ingin sedikit mengingatkan pembaca tentang siapa Artalyta ‘Ayin’ Suryani. Wanita yang sering dijuluki sebagai ratu lobi ini, adalah terdakwa kasus korupsi yang dituntut hukuman lima tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu Artalyta harus membayar denda sebesar Rp. 250 juta. JPU KPK menilai Artalyta terbukti menyuap jaksa Urip Tri Gunawan sebesar 660 ribu dollar AS, untuk kepentingan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas nama Sjamsul Nursalim (Suara Karya, 08 Juli 2008. 09:18). Sebagian publik mungkin sudah lupa dengan kasus tersebut, akan tetapi pada 10 Januari 2010. Publik kembali dikejutkan dengan pemberitaan Artalyta ‘Ayin’ Suryani yang memiliki sel mewah di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta. Hampir sebagian besar media elektronik memberi perhatian terhadap pemberitaan sel mewah tersebut. Hal ini juga diulas oleh majalah Tempo edisi Januari 2010 pada rubrik opini.


(16)

Tempo merupakan salah satu majalah yang mempunyai rubrik khusus dalam menyajikan karikatur. Majalah yang terkenal dengan pesan-pesannya yang kritis ini lebih banyak menyajikan topik-topik dalam bidang sosial politik dalam setiap kali penerbitannya. Akibat kekritisannya tersebut Majalah Tempo juga pernah dibredel pada tahun 1982 dan 1994 namun hal ini tidak membuat Tempo terus tenggelam. Dengan semangatnya untuk memperjuangkan kebebasan Pers, Tempo berhasil bangkit dan menerbitkan kembali sirkulasinya pada tahun 1998 dan berhasil menjadi pemimpin untuk industri penerbitan Majalah di Indonesia serta diterbitkan dengan skala nasional atau beredar diseluruh wilayah Indonesia (www.tempointeractive.com).

Peneliti memilih majalah Tempo karena merupakan salah satu majalah mingguan yang pada umumnya meliput berita dan politik. Pada majalah Tempo, terdapat rubrik opini yang menyesuaikan isu-isu hangat tentang politik yang masih banyak dibicarakan oleh masyarakat luas, salah satunya tentang koruptor. Dengan adanya penyampaian pesan lewat karikatur akan didapatkan persepsi yang berbeda-beda dari khalayak sasaran yang memaknainya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik, yaitu studi tentang tanda yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungan dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimanya oleh mereka yang menggunakannya. Selain itu peneliti juga menggunakan warna sebagai acuan untuk meneliti cover depan majalah Tempo tersebut, karena memiliki makna yang bermacam-macam.

Dengan menggunakan metode semiotik dari Charles Sanders Pierce, maka tanda-tanda pada gambar ilustrasi tersebut dapat dilihat dari jenis tanda yang


(17)

digolongkan dalam semiotik, yaitu ikon, indeks dan simbol. Dari interpretasi tersebut, maka dapat diungkapkan muatan pesan yang terkandung dalam ilustrasi yang terkandung dalam ilustrasi cover depan majalah Tempo edisi Januari 2010.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana makna karikatur pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010?”

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pemaknaan cover majalah Tempo dengan karikatur Artalyta ‘Ayin’ Suryani.

1.4Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan teoritis, memberikan makna pada tanda dan lambang yang terdapat dalam objek untuk memperoleh hasil dari interpretasi data mengenai pemaknaan karikatur pada cover majalah Tempo dengan menggunakan metode semiotik Pierce.

2. Kegunaan praktis, untuk mengetahui penerapan tanda dalam studi semiotik, sehingga dapat memberi masukan bagi para pembaca majalah mengenai makna dari cover Tempo edisi Januari 2010.


(18)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Majalah Sebagai Media Massa

Berbeda dengan surat kabar, majalah telah jauh lebih menspesialisasikan produknya untuk menjangkau konsumen tertentu. Umunya setiap majalah mempunyai pembaca jauh lebih sedikit dibanding pembaca surat kabar, namun memiliki pasar yang mengelompok. Usia majalah juga jauh lebih panjang dari surat kabar. Majalah memiliki kedalaman isi yang jauh berbeda dengan surat kabar yang hanya menyajikan berita. Disamping itu, majalah menemani pembaca dengan menyajikan cerita atas berbagai kejadian dengan tekanan unsur menghibur atau mendidik.

Jenis-jenis majalah itu sendiri dapat dibedakan atas dasar frekuensi penerbitan dan khalayak pembaca. Sedangkan frekuensi penerbitan di Indonesia pada umumnya terbit mingguan, bulanan, dua kali sebulan, tiga kali sebulan dan bahkan ada pula yang terbit triwulanan.

Klasifikasi majalah menurut khalayak pembaca umumnya dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Majalah Konsumen

yakni majalah yang diarahkan pada para konsumen yang akan langsung membeli barang-barang konsumsinya. Majalah-majalah jenis ini dijual secara eceran, langganan, dan di toko-toko buku.


(19)

2. Majalah Bisnis

yakni majalah yang ditujukan untuk kepentingan kalangan bisnis. 3. Majalah Pertanian

yakni majalah yang ditujukan kepada para petani atau peminat dibidang pertanian atau perkebunan.

Pembaca majalah dapat diklasifikasikan menurut segmen-segmen demografis, misalnya, majalah anak-anak, remaja, pria, remaja wanita, wanita dewasa atau pria dewasa, ataupun secara geografis, psikografis dan dari segi kebijakan editorial. Dari segi kebijakan editorial dapat dibedakan antara Majalah Berita (Tempo, Editor), Majalah Umum (Intisari), Wanita (Femina, Kartini), Bisnis (Swasembada, Warta Ekonomi) dan Special Interest (ASRI) dan lain-lain.

Majalah sebagai media massa tidak melepaskan konsekuensinya sebagai alat yang ampuh untuk menyebarkan informasi, edukasi dan budaya. Dari media itu kita bisa tahu mengenai apa yang wajar atau disetujui, apa yang salah dan apa yang benar, apa yang mesti diharapkan sebagai individu, kelompok atau bangsa lain. Majalah memang dianggap sebagai media massa, meskipun demikian masih tercatat ada ratusan majalah khusus (special interest magazine), yang masing-masing ditujukan untuk khalayak yang memiliki perhatian dan gaya hidup khusus (Shimp, 2003:517).

2.1.2 Majalah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, informasi yang patut diketahui


(20)

oleh konsumen pembaca, artikel, sastra, dan sebagianya yang menurut kala terbitnya dibedakan atas majalah bulanan, majalah tengah bulanan, majalah mingguan dan sebagainya.

Majalah lazimnya berjilid, sampul depannya dapat berupa ilustrasi foto, gambar atau lukisan tetapi dapat pula berisi daftar isi atau artikel utama serta kertas yang digunakan lebih mewah dari surat kabar. Majalah sebagai salah satu bentuk dari media massa yang sangat perlu diperhatikan keheterogenan pembaca yang merupakan cirri dari komunikasi massa. Majalah adalah terbitan berkala yang berita bacaannya ditujukan untuk umum dan ditulis oleh beberapa orang dengan bahasa yang popular sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.

Menurut Junaedhi (1991: 54), dilihat dari isinya majalah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Majalah Umum

Majalah yang memuat karangan-karangan, pengetahuan umum, komunikasi yang menghibur, gambar-gambar, olahraga, film dan seni.

b. Majalah Khusus

Majalah yang hanya memuat karangan-karangan mengenai bidang-bidang khusus seperti majalah keluarga, politik, dan ekonomi

2.1.3 Media Cetak

Media massa dapat dibedakan menjadi dua, yakni media massa elektronik dan media massa cetak. Media massa elektronik maupun cetak banyak yang digunakan oleh masyarakat di berbagai lapisan sosial terutama di masyarakat kota.


(21)

Keberadaan media massa seperti halnya pers, radio, televisi, film dan lain-lain, tidak terlepas dengan kaitannya dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Media massa dapat menjadi jembatan yang menghubungkan komunikator dengan komunikan yang melintasi jarak, waktu bahkan lapisan sosial dalam masyarakat.

Media cetak dalam hal ini adalah suatu bentuk media yang stastis yang mengutamakan pesan-pesan visual. Media ini terdiri dari lembaran dengan sejumlah kata, gambaran atau foto dalam tata warna dan halaman putih (Kasali,1995:99).

2.1.4 Ilustrasi Cover

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian ilustrasi adalah gambar (foto, lukisan) untuk membantu memperjelas isi suatu buku, majalah, karangan dan dapat pula berupa gambar, desain atau diagram untuk penghias halaman cover.

Sesuai dengan pengertian tersebut maka ilustrasi cover adalah sebuah gambar atau lukisan dan tulisan-tulisan yang dipergunakan untuk menghiasi sebuah majalah, sekaligus sebagai media untuk memperjelas pandangan dan penilaian dari pihak tim kreatif suatu majalah akan suatu fenomena kehidupan.

Dengan adanya ilustrasi berupa gambar pada cover, khalayak atau pembaca diharapkan tertarik dan tergugah untuk mengetahui pesan, sesuai dengan yang diharapkan. Melalui ilustrasi, khalayak dapat lebih mudah mendapatkan


(22)

pemahaman serta lebih kaya lagi terhadap ide-ide yang terdapat pada isi majalah tersebut.

Gambar adalah lambang lain yang digunakan dalam berkomunikasi non-verbal, gambar dapat digunakan untuk menyatakan suatu pikiran atau perasaan. Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau bahasa visual yang didalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, warna dan komposisi. Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi non-verbal, ia dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Gambar banyak dimanfaatkan sebagai lambang visual pesan guna mengefektifkan komunikasi (http://puslipetra.ac.id/journals/desain).

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka ilustrasi sampul novel sangat berperan dalam mengefektifkan komunikasi, karena ilustrasi merupakan sebuah proses komunikasi dimana, terdapat informasi atau pesan yang sengaja digunakan oleh komunikator (ilustrator) untuk disampaikan atau ditransmisikan kepada komunikan (khalayak atau pembaca) dengan menggunakan bahasa.

2.1.5 Komunikasi Visual

Sejak awal sejarah terciptanya manusia di alam raya ini, komunikasi antar manusia adalah bagian yang paling penting dalam berkomunikasi. Komunikasi visual yang dalam bentuk kehadirannya seringkali perlu ditunjang dengan suara, pada hakikatnya adalah suatu bahasa. Tugas utamanya membawakan pesan dari seseorang, lembaga atau kelompok masyarakat tertentu kepada yang lain (Pirous dalam Tinaburko, 2003:31-32).


(23)

Sebagai bahasa, maka efektifitas penyampaian pesan tersebut menjadi pemikiran utama seorang pendesain komunikasi visual. Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia dibidang informasi visual melalui lambang-lambang kasat mata, dewasa ini mengalami perkembangan pesat. Hampir disegala sektor kegiatan, lambang-lambang atau simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda, corporate identity, sampai berbagai display produk dipusat pertokoan dengan aneka daya tarik.

Gambar merupakan salah satu wujud lambang atau bahasa visual yang di dalamnnya terkandung struktur rupa, seperti: garis, warna dan komposisi. Keberadaannya dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi non-verbal, ia dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan maupun ucapan.

Di dalam rancangan grafis yang kemudian berkembang menjadi desain komunikasi visual banyak memanfaatkan daya dukung gambar sebagai lambang visual pesan guna mengefektifkan komunikasi. Upaya mendayagunakan lambang-lambang visual berangkat dari premis (dasar pemikiran) bahwa bahasa visual memiliki karakteristik yang bersifat khas bahkan sangat istimewa untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal.

Maka dalam berkomunikasi diperlukan sejumlah pengetahuan yang memadai seputar siapa publik yang dituju dan bagaimana cara sebaik-baiknya berkomunikasi dengan mereka. Semakin baik dan lengkap pemahaman kita terhadap hal-hal tersebut maka akan semakin mudah untuk menciptakan bahasa yang komunikatif (Hadi dalam Tinaburko, 2003:32-33).


(24)

2.1.6 Kartun dan Karikatur

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa karikatur seperti halnya kartun gags (kartun kata), kartun komik dan kartun animasi adalah bagian dari apa yang dinamakan kartun.

Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang kartunis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, tekhnik melukis, psikologis, cara melobi, referensi bacaan, maupun bagaimana dia memilih topik isu yang tepat. Karena itu, kita bisa mendeteksi intelektual seorang karikaturis dari sudut ini juga, cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur, 2006:140)

Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur, 2006:40).

Sedangkan kartun sendiri merupakan suatu keahlian seorang kartunis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, tekhnik melukis, psikologis, cara melobi, referensi bacaan, maupun bagaimana dia memilih isu yang tepat. Kartun merupakan tanggapan atau opini secara subjektif terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran atau pesan tertentu. Karena itu bisa mendeteksi tingkat intelektual yang membuat kartun dari sudut ini. Juga cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang dikritik justru tersenyum (Sobur, 2003:140).


(25)

Kartun mempunyai keunggulan sekaligus kelemahan. Ia dapat ditangkap pikiran orang, tetapi tidak mampu menjelaskan persoalan secara lengkap dan tuntas. Kemudahan dan daya tembus sebuah kartun dapat diterima oleh semua kalangan mulai dari rakyat yang buta huruf sampai intelektual yang sarat dengan cara pandang kritis. Menurut ketua PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia) Pramono, kartun yang baik antara lain memiliki misi pendidikan, yaitu meningkatkan kemampuan berpikir dan perenungan bagi penikmatnya, meskipun mediumnya berupa humor. Oleh Karena itu kartun yang berhasil tentu saja terbit dari ide yang cerdas dan dapat dinikmati secara cerdas pula.

2.1.7 Karikatur Sebagai Kritik Sosial

Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat, dalam konteks inilah kritik sosial merupakan unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Masoed, 1999:47).

Krtitik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial, bahwa kritik sosial menjadi sarana komunikasi, gagasan baru, sembari menilai gagasan yang lama untuk suatu perubahan sosial. Persepsi kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat kritik sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial (Masoed, 1999:49). Kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada peneropongan kepentingan diri


(26)

saja, melainkan justru melibatkan dan mengajak masyarakat atau khalayak untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik sosial kiranya didasarkan pada rasa tanggung jawab bahwa manusia bersama-sama bertanggung jawab atas perkembangan lingkungan sosialnya.

Kritik memiliki fungsi taktis dan peranan strategis dalam menumbuhkan berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan pemerintahannya. Kontrol sosial dan kritik sosial merupakan dua sisi dari mata uang yang sama, yang selalu ada didalam masyarakat manapun. Dengan demikian, apabila kontrol sosial cenderung dipahami sebagai aktivitas pengendalian, kritik sosial cenderung dianggap sebagai aktivitas pembebasan dari segala bentuk kontrol dan pengendalian.

Kritik sosial sebenarnya bagian yang sangat penting dalam kemajuan jalannya pemerintahan, karena kritik menciptakan cambuk bagi pemerintahan agar mampu dan sebisa mungkin mengerti apa yang diinginkan masyarakat dan juga merupakan apresiasi dari masyarakat terhadap pemerintahan, lewat karikatur media cetak yang diproduksi para desaigner media dalam hal ini majalah. Kritik sosial seringkali ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah dan tabloid. Kritikan-kritikan yang jenaka disampaikan secara jenaka tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan (Wijana, 2004:4).

2.1.8 Konsep Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of Meaning, (Ogden


(27)

dan Ricards dalam Kurniawan, 2008:27) telah mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna.

Makna sebagaimana dikemukakan oleh Fisher (dalam Sobur, 2004:248), merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritis ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan “ultarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai kerespon yang dikeluarkan Skinner. “tetapi” (Jerold Katz dalam Kurniawan, 2008:47), “setiap usaha untuk memberikan jawaban yang langsung telah gagal. Beberapa seperti misalnya Plato, telah terbukti terlalu samar dan spekulatif. Yang lainnya memberikan jawaban salah”.

Menurut Devito, makna terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. “Kita” lanjut Devito, menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan akan sangat berbeda dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar dan apa yang ada dalam benak kita.

Ada tiga hal yang dijelaskan para filusuf sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal tersebut adalah (1) menjelaskan makna secara alamiah, (2) mendeskripsikan secara alamiah, (3) menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Kempson dalam Sobur, 2004:258).


(28)

Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep makna. Model konsep makna (Johnson dalam Devito, 2997:123-125) sebagai berikut:

1. Makna dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata, melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan, tetapi kata-kata itu tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar apa yang ada dalam benak kita dan proses ini adalah proses yang bisa saja salah.

2. Makna berubah. Kata-kata relative statis, banyak dari kata-kata yang kita gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini dan berubah, ini khusus yang terjadi pada dimensi emosional makna.

3. Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal.

4. Penyingkatan berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa acuan tersebut kita butuhkan bilamana terjadi masalah komunikasi yang akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkan acuan yang diamati. Bila kita berbicara tentang cerita, persahabatan, kebahagiaan, kejahatan dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.

5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu kebanyakan


(29)

kita mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila ada sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.

6. Makna yang dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut yang tetap tinggal dalam benak kita, karenanya pemaknaan yang sebenarnya mungkin juga merupakan tujuan yang ingin kita capai tetap tidak pernah tercapai (Sobur, 2003:285-289).

2.1.9 Relasi Politik Dengan Hukum

Hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan. Ciri-ciri hukum mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sangsi, hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara, hukum adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan., kaidah hukum dibuat untuk memberikan sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan politik.

Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang


(30)

berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas dari proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.

Pada hukum terdapat istilah-istilah seperti penjara, tahanan, narapidana, terdakwa, tersangka. Penjara adalah tempat untuk membatasi ruang gerak atau kebebasan individu yang berada di dalamnya. Penjara di Indonesia sendiri Penjara di Indonesia dikenal dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan Unit Pelayanan Teknis di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dimana didalamnya dilakukan pembinaan terhadap narapidana. Sedangkan rumah tahanan sendiri adalah adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di Indonesia. Rumah Tahanan Negara merupakan unit pelaksana teknis di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

2.1.10 Pemaknaan Warna

Para teoritis bahasa mengemukakan bahwa kebanyakan kata memiliki makna majemuk. Setiap kata dari kata-kata, seperti: merah, kuning, hitam, dan putih memiliki makna konotatif yang berlainan. Dalam Roget’s Thesaurus, seperti dikutip Mulyana (2003, 260-261), terdapat kira-kira 12 sinonim untuk kata hitam, dalam beberapa kepercayaan warna-warna seperti warna hitam dan abu-abu memiliki asosiasi yang kuat dengan bahasa, hitam tidak dapat dipisahkan dari


(31)

hal-hal yang bersifat buruk dan negatif, misal: daftar hitam, dunia hitam, dan kambing hitam.

Sedangkan terdapat sinonim untuk kata putih, dan semua bersifat positif. Warna putih kebalikan dari warna hitam, putih mewakili sesuatu yang menyenangkan dan mencerminkan segala sesuatu yang bersifat kebaikan, seperti: murni, bersih, suci. Jadi kata hitam umumnya berkonotasi negatif dan warna putih berkonotasi positif (Sobur, 2001:25).

Warna mampu memberikan pemaknaan tentang sesuatu hal, misalnya warna merah, berarti bisa api atau darah, dibeberapa kata merah darah lebih tua dibandingkan dengan kata merah itu sendiri, namun di beberapa bahasa kata merah digunakan pada saat bersamaan menjadi merah darah. Karena unsur-unsur tersebut, merah dapat diartikan sebagai hasrat yang kuat dalam hubungannya dengan ikatan, kebenaran dan kejayaan, namun tak jarang pula warna merah diartikan sebagai suatu kebencian dan dendam tergantung dari situasi.

Kuning bisa diartikan sebagai sebuah optimis, filosofi dalam budaya barat. Sedangkan warna ungu menandakan nuansa spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekasaran dan keangkuhan. Warna orange yang berarti energi, keseimbangan, kehangatan, menekankan pada suatu produk yang tidak mahal, menurut budaya barat (Mulyana, 2003:376).

Warna menurut Hoed dan Benny Hoedoro 1992. Dalam bukunya “periklanan” memiliki beberapa makna dalam menunjang kegiatan periklanan karena perpaduan dan kombinasi warna yang menarik akan mempunyai nilai ketertarikan tersendiri dibenak khalayak, diantaranya:


(32)

1. Merah

Merah merupakan warna power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresif, bahaya, kekuatan, kemauan, eksentrik, aktif, bersaing, warna ini memberikan pengaruh berkemauan keras dan penuh semangat. Sering juga diapresiasikan untuk menunjuk emosi atau debaran jantung.

2. Orange

Orange merupakan warna energi, keseimbangan, kehangatan, antusiasme, perluasan, pencapaian bisnis, karir, kesuksesan, keadilan, penjualan, persahabatan, kesehatan pikiran dan pengetauan, daya tahan, kegembiraan, gerak cepat, sesuatu yang tumbuh, tekanan sosial, modal kecil, murah, ketertarikan dan independent.

3. Kuning

Warna kuning ini bersifat menonjol, semangat untuk maju dan toleransi tinggi. Pengaruh warna ini antara lain riang, dermawan, dan sukses. Kuning adalah warna yang berkesan optimis, dan termasuk pada golongan warna yang mudah menarik perhatian. Warna ini dapat digunakan untuk menaikkan metabolisme. 4. Merah Muda

Merah muda berarti memiliki asosiasi yang kuat dengan citra, keberanian dan kesenangan. Ikatan antara merah dan kehidupan memiliki peranan yang penting dalam kebudayaan di bumi.

5. Hijau

Hijau melambangkan alami, sehat, keberuntungan, pembaharuan, warna bumi, penyembuhan fisik, kesuksesan materi, kelimpahan, kesuburan, keajaiban,


(33)

tanaman dan pohon, pertumbuhan, pencapaian personal, kebangkitan, jiwa muda, stabilitas, daya tahan, kesegaran, lingkungan, keamanan, rujukan, cinta, keseimbangan, ketenangan, harapan, ketergantungan, dan persahabatan. Warna hijau melambangkan elastisitas keinginan. Cenderung pasif, bertahan, mandiri, posesif, susah menerima pemikiran orang lain. Pengaruh dari warna ini adalah teguh dan kokoh, mempertahankan miliknya, keras kepala, dan berpendirian tetap.

6. Biru

Biru melambangkan kepercayaan, konservatif, keamanan, teknologi, kebersihan, keteraturan, komunikasi, peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi, spiritual, kelembutan, dinamis, air , laut, kreativitas, cinta, kedamaian, kepercayaan, loyalitas, kepandaian, panutan, kekuatan dari dalam, kesedihan, kestabilan, kepercayaan diri, kesadaran, pesan, ide, berbagi, idealisme, empati, dingin, konservatisme, persahabatan dan harmoni serta kasih sayang, kalem, ketenangan, menenangkan namun juga dapat berarti dingin dan depresi. Sebagai dari akibat efek menenangkan, warna biru dapat membuat orang lebih konsentrasi.

7. Abu-abu

Abu-abu melambangkan intelek, masa depan, kesederhanaan, kesedihan, keamanan, reabilitas, kepandaian, tenang, serius, kesederhanaan, kedewasaan, konservatif, praktis, kesedihan, bosan, professional, kualitas, diam dan tenang.


(34)

8. Putih

Putih melambangkan positif, ketepatan, ketidak bersalahan, steril, kematian, kedamaian, pencapaian ketinggian diri, spiritualitas, kedewasaan, keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kebersihan, kesempurnaan, cahaya, persatuan, lugu, murni, ringan, netral dan fleksibel.

9. Hitam

Hitam melambangkan power, seksualitas, kecanggihan, kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, keanggunan, perlindungan, pengusiran, sesuatu yang negatif, mengikat, formalitas, kekayaan, kejahatan, perasaan yang dalam, kemarahan, harga diri dan ketangguhan.

10.Ungu/Jingga

Ungu/jingga melambangkan spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekasaran, keangkuhan, pengaruh, pandangan ketiga, pengetahuan yang tersembunyi, aspirasi yang tinggi, upacara, kebijakan, pencerahan, arogan, intuisi, mimpi, ketidaksadaran, telepati, empati, imajinasi, kepercayaan yang dalam, harga diri, independensi, kontemplasi, dan meditasi, ambisi, kemewahan, kekayaan, feminim, artistik, kuno dan romantik.

11.Cokelat

Warna cokelat adalah warna yang kesannya paling dekat dengan bumi sehingga membuat kita merasa dekat. Cokelat bisa menjadi sumber energi yang konstan, serta membuat kita merasa kuat. Warna ini mewakili rasa aman, komitmen dan rasa kepercayaan. Cokelat juga membarikan rasa nyaman dan hangat.


(35)

2.1.11 Pendekatan Semiotika

Kata “Semiotika” yang berarti tanda. Semiotika sendiri berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. Semiotika adalah cabang sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda. Tanda terdapat dimana-mana “kata” adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda, tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non-verbal sehingga bersifat komunikatif. Hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan. Semiotika merupakan cabang ilmu yang semula berkembang dalam bahasa. Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan masuk pada semua segi kehidupan manusia. Derida (dalam Kurniawan, 2008:34) memiliki pendapat bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini sepenting bahasa, “there is nothing outside language”. Bahasa dalam hal ini dibaca sebagai “teks” atau “tanda”. Dalam konteks ini tanda memegang peranan penting dalam kehidupan umat manusia sehingga: “manusia yang tak mampu mengenal tanda, tak akan bertahan hidup” (Widagdo dalam Kurniawan, 2008). Charles Sanders Pierce merupakan ahli filsafat dan ahli terkemuka dalam semiotika modern Amerika menegaskan bahwa, manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda dan manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dapat dimanfaatkan dalam seni rupa berupa tanda visual yang bersifat non-verbal, terdiri dari unsur dasar berupa seperti garis, warna, bentuk, tekstur, komposisi dan


(36)

sebagainya. Tanda-tanda yang bersifat verbal adalah objek yang dilukiskan seperti objek manusia, binatang, alam, imajinasi atau hal-hal abstrak lainnya. Apapun alasannya (senirupawan, designer) untuk berkarya, karyanya adalah sesuatu yang kasat mata. Karena itu secara umum bahasa digunakan untuk merangkul segala yang kasat mata dan merupakan media antar perupa (seniman) dengan pemerhati atau penonton. Seniman dan designer membatasi bahasa rupa dalam segitiga,estetis-simbolis-bercerita (story telling). Bahasa merupakan imaji dan tata ungkapan. Imaji mencakup makna yang luas, baik imaji yang kasat mata maupun imaji yang ada khayalnya.

Menurut John Fiske, pada intinya semua model yang membahas mengenai makna dalam studi semiotik memiliki bentuk yang sama, yaitu membahas tiga elemen, antara lain:

1. Sign atau tanda itu sendiri

Pada wilayah ini akan dipelajari tentang macam-macam tanda. Cara seseorang dalam memproduksi tanda, macam-macam makna yang terkandung didalamnya dan juga bagaimana mereka saling berhubungan dengan orang-orang yang menggunakannya. Dalam hal ini tanda dipahami sebagai konstruksi makna dan hanya bisa dimaknai oleh orang-orang yang telah menciptakannya.

2. Codesi atau kode

Sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam tanda yang terorganisasikan dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat atau budaya untuk


(37)

mengeksploitasi media komunikasi yang sesuai dengan transmisi pesan mereka.

3. Budaya

Lingkungan dimana tanda dan kode itu berada. Kode dan lambang tersebut segala sesuatunya tidak dapat lepas dari latar belakang budaya dimana tanda dan lambang itu digunakan.

Dalam semiotik model yang digunakan dapat berasal dari berbagai ahli, seperti Saussure, Pierce dan sebagainya. Pada penelitian ini yang akan digunakan adalah model semiotik milik Pierce, karena adanya kelebihan yang dimiliki yaitu tidak mengkhususkan analisisnya pada studi linguistik.

Tampilan iklan yang muncul di berbagai media tersebut terdapat berbagai macam tanda yang dibuat oleh pengiklan dalam usahanya untuk memberikan pesan atau informasi bagi khalayak berupa karikatur. Berbagai macam tanda itulah yang hendak dikaji dalam sebuah tampilan iklan melalui pendekatan semiotika.

2.1.12 Semiotika Charles S. Pierce

Semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga sebagai metode analisis (Sobur, 2004:83). Bagi Pierce tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Kita misalnya dapat menjadikan teori segitiga makna (triangle meaning) menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek


(38)

adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi, oleh Pierce disebut ground, object dan interpretant (Sobur, 2004:41). Sementara itu interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Makna adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi (Barthes dalam Kurniawan, 2008:37).

Charles S. Pierce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi tiga kategori yaitu: ikon, indeks, dan simbol adalah tanda yang hubungan antara penanda dan penandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya, potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjuk adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung ,mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda dapat pula mengacu pada denotatum melalui konvesi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol tanda yang menunjuk hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi atau perjanjian masyarakat (Sobur, 2004: 42). Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya ditampilkan dalam gambar berikut ini: (Fieske dalam Sobur, 2001:85)


(39)

Sign

Interpretant Object

Gb. 2.1 Hubungan Tanda, Objek dan Interpretant Pierce

Charles S. Pierce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi tiga kategori, yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Ketiga kategori tersebut digambarkan dalam sebuah model segitiga sebagai berikut:

Icon

Index Symbol Gb. 2.2 Model Kategori Tanda Oleh Pierce

2.2 Kerangka Berfikir

Setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai sesuatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan adanya pengalaman (Field Of Experience) dan pengetahuan (Field Of Preference) yang berbeda-beda pada individu tersebut. Begitu juga peneliti dalam hal memaknai tanda dan lambang yang ada dalam objek, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan peneliti.


(40)

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pemahaman terhadap tanda dan lambang dalam hal ini adalah karikatur “Artalyta Suryani” dalam majalah Tempo Edisi Januari 2010. Tanda–tanda yang terdapat dalam setiap penggambaran karikatur secara keseluruhan tersebut dikaji berdasarkan teori yang sesuai dengan peristiwa yang melatarbelakangi pembuatan karikatur dalam cover Tempo, yang dijabarkan secara terperinci dalam pemilihan gambar dan warna.

Berdasarkan landasan tersebut diatas, maka peneliti menggunakan metode semiotik dari Charles S. Pierce, yaitu teori tentang segitiga makna (triangle meaning), yang terdiri dari tanda, objek dan interpretant. Tanda merujuk pada sesuatu yang dirujuk, sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh sebuah tanda. Pierce membagi tanda dalam tiga kategori, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Dengan metode tersebut, maka dapat diperoleh suatu hasil interpretasi mengenai pemaknaan karikatur “Artalyta Suryani” dalam cover Tempo edisi Januari 2010.

Analisis Semiotik Charles Sander Pierce Sign

Segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut.

Object

Gambar karikatur “Artalyta Suryani” pada cover Tempo edisi Januari 2010.

Interpretant

Peneliti dalam memaknai Gambar karikatur “Artalyta Suryani” pada cover Tempo edisi Januari 2010.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotik. Alasan peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif terdapat beberapa faktor pertimbangan, yaitu pertama metode deskriptif kualitatif akan lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ini kenyataannya ganda, kedua metode deskriptif kualitatif menyajikan secara langsung hubungan antara peneliti dengan objek peneliti, ketiga metode deskriptif kualitatif lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moelong, 220:33).

Selain itu pada dasarnya semiotik bersifat kualitatif-interpretatif, yaitu suatu metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajian, serta bagaimana menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda akan teks tersebut. Oleh karena itu peneliti harus memperhatikan beberapa hal dalam penelitian ini, pertama adalah konteks atau situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang diteliti. Disini peneliti diharapkan dapat memahami makna dari teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya dikemas secara aktual dan diorganisasikan secara bersama, ketiga adalah pembentukan secara bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.


(42)

Dalam penelitian ini menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15). Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang ditampilkan sepanjang gambar dalam cover karikatur. Pendekatan semiotik termasuk dalam metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti berusaha untuk mengetahui pemaknaan dari karikatur “Artalyta Suryani” pada Cover Majalah Tempo Edisi Januari 2010.

3.2 Korpus

Korpus merupakan sample terbatas pada penelitian kualitatif yang bersifat homogen. Tetapi sebagai analisa, korpus bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam, sehingga memungkinkan memahami berbagai aspek dari sebuah teks pesan. Korpus bertujuan khusus digunakan untuk analisa semiotik dan analisa wacana. Pada penelitian kualitatif memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif.

Makna yang digali adalah makna eksplisit dan makna yang berdasarkan apa yang tampak (denotatif), serta makna yang mendalam yangt berkaitan dengan pemahaman-pemahaman ideology dan cultural (konotatif)

Korpus pada penelitian kualitatif ini adalah gambar karikatur “Artalyta ‘Ayin’ Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010.


(43)

3.3 Unit Analisis

Unit analisis data pada penelitian ini adalah keseluruhan tanda yang ada didalam karikatur pada majalah Tempo edisi Januari 2010 yang berupa karikatur “Artalyta Suryani”, yang berupa gambar, benda dan warna yang terdapat pada cover Tempo tersebut menggambarkan seorang Artalyta Suryani atau yang biasa dijuluki sebagai ratu lobi diikuti dengan adanya beberapa benda berupa pedang patah, timbangan, sebuah palu, sandal, tangga, baju, pilar, palu, hanger dan beberapa lembar uang kertas dalam pecahan dollar yang sebagian berterbangan, yang seolah-olah menjadi pelengkap di dalam karikatur, serta warna background yang sangat dominan. Dimana kemudian ini diinterpretasikan dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).

3.3.1 Ikon (icon)

Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. (Sobur, 2001:41). Dengan kata lain tanda memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Apabila pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010 ditunjukkan:

1. Seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri, berjalan menuruni tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar.


(44)

3.3.2 Indeks (index)

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat (Sobur, 2004:42). Pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010, ditunjukkan dengan:

1. Timbangan seimbang 2. Memegang pedang patah 3. Anak tangga ketiga 4. Sandal lepas 5. Uang terbang 6. Baju berkibar

7. Kain putih terjuntai di pedang

8. Langit berwarna orange yang berawan 9. Rambut yang di rol

10.Wajah yang tersenyum 11.Bayangan.

3.3.3 Simbol (symbol)

Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara petanda dengan penandanya, bersifat arbiter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian masyarakat) (Sobur, 2004:42). Pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010 ditunjukkan dengan:

1. Palu 2. Uang


(45)

3. Pedang 4. Sandal 5. Pilar 6. Hanger 7. Baju 8. Tangga 9. Timbangan 10.Rambut

Penempatan sebuah tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol tergantung dari kebutuhan dan sudut pandang khalayak (point of interest) yang memaknainya. Sehingga penempatan tanda-tanda dalam cover majalah tersebut, di atas, yang mana sebagai ikon, mana sebagai indeks dan mana sebagai simbol tersebut hanya sebagai subyektifitas peneliti, bukan menjadi sesuatu yang mutlak, karena hal ini kembali lagi kepada sudut pandang khalayak yang memaknai karikatur pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010 sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam peneltian ini dilakukan pengamatan secara langsung karikatur “Artalyta Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010. Pengumpulan data dalam penelitian ini, melalui penggunaan bahan dokumenter seperti majalah, studi keperpustakaan, bahan-bahan yang dapat dijadikan referensi serta penggunaan internet. Selanjutnya data-data akan dianalisis berdasarkan landasan teori semiotik Pierce dan data dari penelitian ini kemudian akan


(46)

digunakan untuk mengetahui penafsiran makna karikatur “Artalyta Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010.

3.5Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan gambar. Hal ini disebabkan adanya penerapan metode kualitatif, selain itu semua yang dikumpulkan kemungkinan menjadi jawaban terhadap objek yang diteliti. Analisis data dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan model semiotik dari Charles Sanders Pierce, yaitu sistem tanda (sign) dalam karikatur yang dijadikan korpus (sample) dalam penelitian, dikategorikan kedalam tanda dengan acuannya yang dibuat oleh Charles Sanders Pierce terbagi kedalam tiga kategori yaitu ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol).

Dengan studi semiotik penelitian dapat memaknai gambar dan pesan yang terdapat dalam karikatur “Artalyta ‘Ayin’ Suryani” serta membentuk berbagai pemaknaan terhadap karikatur ini. Cover majalah Tempo edisi Januari 2010 ini akan diinterpretasikan dengan cara mengidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam setiap penggambaran karikatur, untuk mengetahui maknanya.

Untuk mengetahui hubungan antara tanda, penggunaan tanda dan realitas eksternal dapat dilakukan dengan menggunakan model semiotik dari Pierce. Sistem tanda (gambar, warna, perilaku non verbal dan atribut pendukung) yang digunakan sebagai indikator pengamatan dalam penelitian kualitatif dengan


(47)

menggunakan metode deskriptif karikatur “Artalyta Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010.

Terkait dalam penelitian ini, untuk mengetahui isi pesan dalam karikatur surat pembaca, peneliti mengamati signs atau system tanda yang tampak dalam cover, kemudian memaknai dan menginterpretasikannya dengan menggunakan metode semiotik Pierce, yang terdiri dari:

1. Obyek

Adalah gambar atau karikatur itu sendiri. Obyek dalam penelitian ini adalah karikatur “Artalyta Suryani” pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010.

2. Sign

Adalah segala sesuatu yang ada dalam gambar karikatur tersebut. Sign dalam penelitian ini adalah seorang perempuan, Artalya Suryani yang sedang memegang pedang patah dan sebuah timbangan yang dimasing-masing timbangan tersebut terdapat sebuah palu dan di sisi lain terdapat beberapa lembar uang kertas yang sebagian berterbangan, hanger, baju, palu, sandal, pilar dan tangga.

3. Interpretant

Adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretant dalam penelitian ini adalah hasil interpretasi peneliti.

Berdasarkan obyeknya Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), symbol (simbol). Ketiga kategori tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


(48)

1. Ikon (icon)

Adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan. Ikon dalam karikatur pada cover majalah Tempo edisi Januari 2010 tersebut adalah seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri, berjalan menuruni tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar.

2. Indeks (index)

Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Indeks dalam karikatur cover majalah Tempo, timbangan seimbang, memegang pedang patah, anak tangga ketiga, sandal lepas, uang terbang, baju berkibar dan kain putih terjuntai dipedang, langit berwarna orange yang berawan, rambut yang di rol, wajah yang tersenyum dan bayangan.

3. Simbol (symbol)

Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol dalam karikatur yang dimuat pada cover majalah Tempo ini adalah palu, uang, pedang, sandal, pilar, hanger, baju, tangga, timbangan, dan rambut.


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian dan Penyajian Data

4.1.1 Pemaknaan Terhadap Karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” Karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” yang menjadi objek penelitian ini dimuat pada rubrik opini majalah Tempo edisi Januari 2010. Gambar yang mengangkat masalah permaianan hukum. Dimana dalam gambar ini menggambarkan seorang mafia hukum Artalyta ‘Ayin’ Suryani, adalah dengan menggunakan tanda dan atribut-atribut lain sebagai pendukung kejelasan karikatur tersebut.

Karikatur yang diberi judul “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” tersebut adalah sebagai suatu reaksi atau refleksi terhadap fenomena yang sedang berkembang dan menonjol ditengah masyarakat pada awal Januari 2010 kemarin, yaitu tentang ketidak adilan aparat hukum, dengan menampilkan citra atau image dari seorang Artalyta ‘Ayin’ Suryani. Karikatur ini merupakan salah satu bentuk pesan dalam bentuk non verbal yang memang diciptakan dengan kesengajaan agar pembaca dapat dengan aktif memahami pesan yang terkandung didalamnya. Karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” diciptakan sebagai sebuah wahana untuk memberikan informasi kepada masyarakat seputar kabar tentang masih adanya mafia hukum di tanah air, yang membuktikan bahwa uang masih bisa dengan leluasa berbicara di lembaga pertahanan hukum.


(50)

4.1.2 Majalah Tempo

Tempo edisi pertama diterbitkan pertama kali pada Maret 1971, Tempo keluaran yang pertama ini mengambil pendekatan yang belum pernah dikenal selama masa-masa sulit dalam kebebasan jurnalistik. Publikasi Tempo sebenarnya sama sekali tidak berhubungan atau berafiliasi dengan dunia politik, perhatian yang utama justru tertuju pada misi panjangnya untuk membangunkan kesadaran yang telah lama diracuni dengan media yang tunduk pada rezim yang represif. Ketegasannya untuk mempertahankan kebebasan jurnalistik telah membuat Tempo sebagai legenda dan menjadi ikon didalam industri pers di Indonesia selain juga menjadi salah satu media tertua di Asia Tenggara. Tempo pernah dibredel pada tahun 1982 dan tahun 1984, Tempo tidak pernah berhenti untuk terus bersuara dengan lantang dan telah menjadi salah satu kendaraan atau sarana kebebasan pers yang sedang dinikmati Indonesia saat ini.

Tempo adalah standart kesempurnaan jurnalistik yang oleh penerbitan lainnya sekalu dijadikan perbandingan dan dijadikan acuan. Komitmennya adalah menyeimbangkan pandangan dan melaporkan kebenaran tetap sebagai yang benar sebagaimana, seperti tahun 1971, Nama “TEMPO” dengan definisinya yang tanpa disadari ternyata sesuai atau cocok telah menetapkan sebuah standart dan langkah yang oleh penerbitan lain akan selalu dijadikan perbandingan. Tempo hari ini adalah sebuah tongkat ukuran yang ditiru oleh semuanya tetapi tetap tidak akan tertandingi. Sebagai Majalah berita tertua di Indonesia. Tempo kembali terbit pada Oktober 1998 membuktikan kebebasan dan juga kekuasaan dalam bersuara.


(51)

Pada tahun belakangan ini Tempo tanpa disadari menjadi legenda, namun perlu dicatat ini merupakan realita. Bersama-sama dengan tenaga yang penuh pengalaman dan tenaga muda penuh harapan. Tempo tanpa risau menghadapi masalah tersebut untuk mempertahankan loyalitas dari pembaca setianya dan merebut hati dari pembaca-pembaca terbarunya terutama adalah lapisan urban kelas menengah. Mereka itulah yang secara ekonomis mampu serta terdidik dengan baik dan tetap diharapkan menjaga posisi Negara selalu dalam keadaan yang dinamis. Tempo kembali bersikulasi tepatnya 6 Okteber 1998, dimana pada saat itu keadaan pasar telah berubah secara signifikan sejak tahun 1994, oleh sebab itu Tempo menjelajah setiap kesempatan dengan semangat perubahan dan pembaharuan.

Kehadiran kembali Tempo disambut dengan antusias oleh Indonesia, sehingga sejak dari edisi pertamanya Tempo akhirnya dapat memperoleh kembali posisinya yang semula sebagai pemimpin dari majalah berita mingguan meskipun pada kenyataannya sekarang setidaknya terdapat enam pesaing yang sebelumnya tidak terdapat dipasar sebelum pembredelan Tempo 21 Juni 1994. Hingga saat ini Majalah Tempo berhasil menguasai hampir 60% dari pasar. Kebutuhan untuk menciptakan produk-produk baru sesuai dengan misinya yang utama yaitu telah menjadi sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Peluncuran Tempo edisi berbahasa Inggris pada pada tanggal 12 September 2000 didesain untuk meningkatkan penetrasi (penembusan) ke pasar global. (www.tempointeractive.com)


(52)

Adapun spesifikasi yang terdapat pada majalah Tempo adalah sebagai berikut: Isi Halaman PRELUDE: Album Etalase Inovasi Kartun 12 14 16 18 POLITIK: Momen Nasional 20 34 SAINS: Lingkungan Digital 45 52 SENI: Seni Rupa Sinema 55 60 INTERMEZO:

Intermezo 63

GAYA HIDUP: Kesehatan Gaya Hidup Sport 75 78 82


(53)

EKBIS (Ekonomi Bisnis):

Momen 116

INTERNASIONAL: Internasional

Momen

117 122 OPINI:

Bahasa Kolom Kolom Catatan Pinggir

62 42 124 130 TOKOH:

Tokoh dan Pokok 128

HUKUM:

Hukum 97

(Majalah Tempo Edisi Januari 2010)

4.2 Penyajian Data

Dari hasil pengamatan peneliti yang dilakukan pada majalah Tempo mengenai pemaknaan karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” maka akan disajikan data-data yang didapat dari gambar dan warna yang dimuat pada rubrik opini majalah Tempo edisi Januari 2010 yaitu gambar karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI”. Data-data yang dianalisis terdiri dari sekumpulan tanda-tanda spesifik yang akan dipilah-pilah yang disesuaikan dengan materi yang


(54)

tersedia. Tanda tersebut berupa, tanda (gambar, warna, perilaku non verbal dan atribut pendukung) yang digunakan sebagai indikator pengamatan dalam penelitian. Pengkategorian tanda pada karikatur ini berdasarkan landasan teori Semiotika Charles Sanders Pierce, dimana untuk mengetahui makna yang terkandung dalam karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” pada rubrik opini majalah Tempo edisi Januari 2010.

Pierce membagi tanda menjadi tiga kategori, yaitu: ikon, indeks, dan simbol. Untuk mengungkap makna serta pesan yang disampaikan dalam penggambaran karikatur tersebut, sistem tanda dibagi berdasarkan pembagian fungsi tanda Pierce.

Dalam pendekatan Semiotik Pierce terdapat tiga komponen, yaitu: Tanda (sign), Objek (object), Interpretan (interpretant).

Sebagai interpretan, peneliti menganalisa gambar karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” pada rubrik opini majalah Tempo yang dijadikan korpus (sample terbatas) dengan menggunakan hubungan antara tanda dengan acuan tanda dalam model Semiotik Pierce yang membagi tanda atas tiga kategori, yaitu: ikon, indeks, dan simbol, sehingga akan diperoleh interpretasi dari karikatur melalui kategori tanda tersebut.

Ikon, dalam tampilan karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” adalah seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri, berjalan menuruni tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar.


(55)

Indeks, dalam tampilan karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” adalah timbangan seimbang, memegang pedang patah, anak tangga ketiga, sandal lepas, uang terbang, baju berkibar, kain putih terjuntai dipedang, langit berwarna orange yang berawan, rambut yang dirol, wajah yang tersenyum dan bayangan.

Simbol, dalam tampilan karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” adalah palu, uang, pedang, sandal, pilar, hanger, baju, tangga, timbangan, dan rambut. Karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” yang terdapat pada rubrik opini majalah Tempo jika digambarkan dalam model Semiotik Pierce adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1

Gambar karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” dalam kategori tanda Pierce Ikon

Seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri,

berjalan menuruni tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar.

Indeks 1. Timbangan seimbang 2. Memegang pedang patah 3. Anak tangga ketiga 4. Sandal lepas 5. Uang terbang 6. Baju berkibar 7. Kain putih terjuntai

dipedang

8. Langit berwarna orange yang berawan

9. Rambut yang dirol 10.Wajah yang tersenyum 11.Bayangan Simbol 1. Palu 2. Uang 3. Pedang 4. Sandal 5. Pilar 6. Hanger 7. Baju 8. Tangga 9. Timbangan 10.Rambut


(56)

Gambar tersebut merupakan gambar gambar interpretasi yang dilakukan terhadap karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” pada rubrik opini majalah Tempo tersebut. Karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” merupakan suatu bentuk sistem yang merujuk pada sesuatu diluar tanda itu sendiri yang ada di dalam karikatur tersebut. Karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” digunakan oleh peneliti untuk menginterpretasikan sistem tanda dalam penelitian ini.

4.3 Analisis Pemaknaan Karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI“

Menurut Pierce, sebuah tanda itu adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau keputusan. Dalam pendekatan Semiotik model Charles Sanders Pierce, diperlukan adanya model analisis, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant). Menurut Pierce salah satu bentuk tanda adalah kata, karena tanda itu sendiri adalah pencitraan indrawi yang menampilkan pengertian dari objek yang dimaksudkan, sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seorang peneliti tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.

Dalam menganalisis hubungan antara tanda dan acuannya berdasarkan Semiotik Pierce, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Maka peneliti akan berusaha menginterpretasikan atau menganalisa segala bentuk pemaknaan yang terdapat dalam karikatur “ARTALYTA ’AYIN’ SURYANI” berdasarkan model Semiotik Pierce tersebut di atas.


(57)

4.3.1 Ikon

Penggunaan karikatur seorang wanita dalam cover majalah Tempo tersebut adalah untuk menarik perhatian konsumen agar konsumen tertarik untuk membeli majalah tersebut.

Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Ikon dalam korpus ini adalah gambar seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri, berjalan melewati tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar. Gambar tersebut disebut sebagai ikon karena gambar-gambar tersebut merupakan tanda yang serupa dengan benda atau realitas yang ditandai atau merupakan representasi korpus yang diteliti.

Wanita yang sedang membawa pedang dan timbangan dalam gambar tersebut adalah Artalyta Suryani. Dapat dikatakan Artalyta Suryani karena wajah yang digambarkan mirip dengan sosok Artalyta Suryani, yaitu berperawakan sedang khas ibu-ibu dan menggunakan make up, merupakan ciri khas darinya. Selain itu, dalam Majalah Tempo edisi Januari 2010, gambar ini terletak pada bagian Opini dan sama persis dengan gambar wajah pada cover depan Majalah Tempo edisi Januari 2010. Mengapa digunakan gambar karikatur Artalyta? karena pada bulan Januari 2010, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum pada Minggu, 10 Januari 2010 menggelar inspeksi mendadak (sidak) di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Dan Artalyta terbukti melanggar aturan yang berlaku dengan menggunakan fasilitas yang seharusnya tidak boleh digunakan di dalam rutan Pondok Bambu oleh seseorang dengan status tahanan.


(58)

Baju yang dikenakan oleh wanita tersebut merupakan tanda yang menguatkan bahwa wanita yang membawa pedang dan timbangan itu adalah gambaran seorang wanita yang sedang mempermainkan hukum. Mengapa? Karena baju tersebut adalah baju khas yang digunakan oleh seorang Dewi Keadilan di Romawi atau yang bisa juga disebut sebagai Justitia. Justitia adalah personifikasi dari dorongan moral yang bernaung di bawah sistem hukum. Sejak era Renaissance, Justitia telah kerapkali digambarkan sebagai wanita yang membawa sebuah pedang dan timbangan, serta mengenakan tutup mata.

Pedang dalam karikatur ini seperti ingin mengisyaratkan bahwa pemiliknya memiliki kekuatan seperti senjata yang ia bawa. Di beberapa kebudayaan jika dibandingkan senjata lainnya, pedang biasanya memiliki prestise lebih atau paling tinggi. Penggunaan pedang ditangan sebelah kanan pada gambar dapat diartikan bahwa ia memiliki kekuatan dalam menghadapi rintangan selain itu tangan kanan lebih memiliki tenaga lebih kuat untuk mengayun pedang yang terbuat dari logam berat, karena tangan kanan lebih sering digunakan oleh orang mayoritas orang untuk beraktifitas.

Timbangan ditangan sebelah kiri pada gambar menandakan bahwa tangan kiri memiliki kamampuan untuk menopang beban yang lebih ringan karena jarang digunakan untuk beraktifitas atau hanya sebagai penyeimbang / membantu meringankan aktifitas tangan sebelah kanan. Posisi timbangan sedikit lebih tinggi daripada bahu. Personifikasi dari timbangan adalah keadilan. Dan keadilan memang harus diangkat derajatnya setinggi mungkin di atas segala-galanya.


(59)

Gambaran Justitia yang paling umum adalah timbangan yang menggantung dari tangan kiri hal ini sesuai dengan karikatur tersebut. Dimana ia mengukur pembelaan dan perlawanan dalam sebuah kasus. Dan kerapkali, ia digambarkan membawa pedang bermata dua yang menyimbolkan kekuatan pertimbangan dan keadilan. Kemudian, ia juga digambarkan mengenakan tutup mata. Ini dimaksudkan untuk mengindikasikan bahwa keadilan harus diberikan secara objektif tanpa pandang bulu, blind justice & blind equality.

Representasi permainan hukum dalam ikon gambar Artalyta ini terlihat dari Artalyta yang sedang membawa pedang dan timbangan, dengan mengenakan baju tersebut dapat digambarkan sebagai wanita yang ingin membuktikan diri bahwa ia mampu mempermainkan hukum hal ini semakin dikuatkan oleh patahnya pedang yang ia bawa, dimana pedang bermata dua dapat disimpulkan sebagai kekuatan pertimbangan. Dan isi dari masing-masing sisi timbangan yang berupa palu dan beberapa lembar uang kertas dalam pecahan dollar.

Wanita ini digambarkan sedang mengenakan beberapa rol yang menghiasi kepala yang juga merupakan ikon dari karikatur, hal ini mencerminkan bahwa wanita tersebut memang sangat memperhatikan penampilan sekecil apapun itu. Hal ini sangat jomplang dengan kondisi wanita tersebut yang sedang berada didalam penjara. Fungsi rol rambut sendiri adalah alat untuk merubah gaya rambut dalam waktu sementara, agar rambut tersebut terlihat lebih rapi.

Dalam gambar tersebut Artalyta mengenakan alas kaki dalam gambar tersebut adalah sandal. Fungsi sandal adalah untuk untuk melindungi bagian telapak kaki agar telapak kaki tidak menjadi kasar. Jika telapak kaki kasar akan menyebabkan


(1)

untuk mematahkan apapun yang dihempas olehnya. Selain itu dalam mengayunkan pedang tersebut dibutuhkan tenaga lebih untuk menopang beban, dalam hal ini digunakan tangan sebelah kanan karena lebih sering digunakan untuk beraktivitas.

Timbangan yang digunakan dalam gambar tersebut adalah timbangan jenis mekanik, timbangan jenis mekanik adalah timbangan yang sering digunakan oleh para pedagang dalam menimbang barang dalam satuan hitung yang akan ditransaksikan. Akan tetapi pada kenyataannya banyak pedagang yang curang dengan mengakali timbangan agar mendapatkan keuntungan yang berlipat. dalam hal ini seharusnya konsumen mendapat perlindungan hukum. Dan pemerintah harus melakukan tindakan tegas dengan menyeragamkan atau menera timbangan milik para pedagang. Langkah nyata tersebut telah dibuktikan oleh penera metrology Dinas Perindutrian dan perdagangan (Perindag) provinsi Kepri, yang pada tanggal 5-8 Mei 2010 telah melakukan tera timbangan di kecamatan Karimun. Hal ini dimaksudkan untuk menyeragamkan takaran timbangan milik pedagang. uji tera ini wajib diikuti oleh seluruh pedagang atau pemilik timbangan yang ada di Karimun, hal ini sesuai dengan acuan UU Metrologi Legal no. 2 tahun 1981 pasal 32 ayat 1 yang isinya, “Barang siapa yang mengunakan alat-alat ukur, takar, timbang atau pelaralatan yang dapat mempengaruhi panjang, isi, dan berat maka belum diberi stempel oleh pegawai yang berhhak maka bisa dikenai penjara selama-lamanya 1 tahun denda setinggi-tingginya Rp1 juta”. Adanya kegiatan ini, bertujuan untuk tertib alat ukur disegala bidang. Sehingga nantinya tidak ada lagi


(2)

konsumen yang dirugikan saat berbelanja menggunakan timbangan milik pedagang (www.batampost.com).

Artalyta adalah seorang pengusaha Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam kasus penyuapan jaksa, kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Artalyta dinyatakan bersalah oleh pengadilan tindak pidana korupsi dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan ketua tim jaksa penyelidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS. Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan pejabat-pejabat dari kantor kejaksaan agung, dan menyebabkan atau dipecatnya pejabat-pejabat Negara. Kasus ini juga melibatkan penyadapan yang dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan hasil penyadapan tersebut diputar di stasiun-stasiun televisi nasional Indonesia.

Setelah pemberitaan Artalyta tentang kasus penyuapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan perlahan-lahan mulai hilang. Masyarakat kembali dikejutkan oleh pemberitaan Artalyta, pada minggu, 10 Januari 2010. Pemberitaan heboh tersebut adalah tentang istana di dalam penjara. Terungkapnya kasus ini adalah saat satuan tugas pemberantasan mafia hukum menggelar inspeksi mendadak (sidak) pada malam hari di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Satgas Tugas Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan keputusan presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 Desember 2009, untuk memberantas praktik mafia hukum di tubuh lembaga penegak hukum. Satgas ini akan bekerja selama dua tahun dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.


(3)

Satgas tersebut dipimpin oleh ketua unit kerja presiden untuk pengawasan dan pengendalian pembangunan, Kuntoro Mangkusubroto. Dalam memberantas mafia hukum Kuntoro dibantu empat anggota yakni Darmono (Kejaksaan Agung), Herman Effendi (Kepolisian), Yunus Husein (Ketua PPATK) dan Mas Achmad Santosa (profesional). Denny sendiri didaulat menjadi sekretaris tim ini. Pembentukan tim berantas mafia hukum ini bermula ketika dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah terjerat kasus dugaan penerimaan suap. Istilah makelar kasus di lembaga hukum kian mengemuka lantaran Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman skenario kriminalisasi pimpinan KPK. Pemberantasan mafia hukum ini di sertakan sebagai program prioritas 100 hari pertama di kabinet Indonesia Bersatu II.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil interpretasi dan penjelasan peneliti dalam pemaknaan karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” pada rubrik opini majalah Tempo edisi Januari 2010, maka terlihat sistem tanda yang terdiri dari ikon, indeks, dan simbol yang merupakan korpus dalam penelitian ini.

Menurut sudut pandang peneliti yang menjadi ikon dalam karikatur “ARTALYTA ‘AYIN’ SURYANI” pada rubrik opini majalah Tempo edisi Januari 2010 ini ditujukan dengan gambar seorang wanita yang mengenakan baju, rol rambut, dan sandal yang sedang memegang pedang ditangan kanan dan memegang timbangan ditangan kiri, berjalan melewati tangga, yang dibelakangnya terdapat dua buah pilar.

Yang menjadi indeks dalam penelitian ini adalah timbangan tidak imbang, memegang pedang patah, menuruni tangga, sandal lepas, uang terbang, baju berkibar, kain putih terjuntai dipedang, langit berwarna orange yang berawan, rambut yang rol, dan wajah yang tersenyum. Sesuai dengan pengertian indeks itu sendiri, bahwa tanda yang hadir akibat adanya hubungan dengan ciri acuannya yang bersifat kausal atau tanda yang secara alamiah mempresentasikan objek lainnya yang muncul berdasarka sebab akibat.

Sedangkan untuk simbol adalah palu, uang, pedang, sandal, pilar, hanger, baju, tangga, timbangan, dan rambut. Dikarenakan simbol pada dasarnya


(5)

merupakan tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya atau sesuatu tanda yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan sekelompok orang yang disepakati bersama, bersifat arbiter atau semena.

Jadi pada karikatur “Artalyta Suryani” ini menunjukkan akan adanya seorang wanita yang yang tersenyum yang merupakan tanda-tanda non verbal yang ingin ia perlihatkan bahwa ia berhasil menunjukkan diri dengan mampu mematahkan pertahanan hukum lewat caranya menego harga keadilan ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya gambar pedang patah dan timbangan dimana disisi kanan dan kiri timbangan masing-masing terdapat palu dan uang kertas dalam bentuk dollar yang sebagian berterbangan. Dengan latar belakang berupa dua buah pilar besar, hal ini semakin menguatkan bahwa ia berada dalam sebuah badan peradilan.

Dari beberapa uraian kesimpulan seperti yang dijelaskan diatas tersebut, murni hanya sebatas subjektifitas dan pemahaman peneliti, perbedaaan sudut pandang dan pendapat adalah sah menurut Metode Deskriptif Kualitatif. Seperti metode yang peneliti gunakan dalam penelitian Pemaknaan Karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover Majalah Tempo edisi Januari 2010.

5.2 Saran

Gambar karikatur seringkali menjadi perhatian karena terdapat unsur kelucuan dalam tampilannya. Selain menjadi cerminan tentang apa dan siapa majalah yang menerbitkan karikatur tersebut, karikatur juga dapat menjadi jalan untuk fungsi control sosial pers. Keberadaan karikatur dirasa penting untuk


(6)

menjadi nyawa majalah tersebut, oleh karena itu karikatur harus tetap dilestarikan dan dikembangkan, untuk menjalankan fungsi control media.

Artalyta Suryani yang telah direpresentasikan oleh cover majalah Tempo tersebut diharapkan dapat menjadi momok untuk narapidana lain yang ingin melanggar peraturan yang berlaku. Selain itu diharapkan mampu membangun citra kinerja aparat yang terkait.


Dokumen yang terkait

PEMAKNAAN KARIKATUR COVER MAJALAH TEMPO “KESETRUM TENDER PROYEK LISTRIK” ( Studi Semiotik Pemaknaan Cover Majalah Tempo Edisi 16-22 Januari 2012 ).

1 1 92

PEMAKNAAN KARIKATUR COVER MAJALAH TEMPO “KESETRUM TENDER PROYEK LISTRIK”( Studi Semiotik Pemaknaan Cover Majalah Tempo Edisi 16-22 Januari 2012 ).

0 3 91

PEMAKNAAN KARIKATUR MAJALAH TEMPO (Studi Semiotik Terhadap Pemaknaan Karikatur pada cover majalah Tempo edisi 11-17 Juli 2011).

2 2 80

PEMAKNAAN KARIKATUR COVER MAJALAH TEMPO YANG BERJUDUL “BAHASYIM SALABIM” ( Studi Semiotik Pemaknaan Cover Majalah Tempo Edisi 31 Januari – 6 Februari 2011 ).

0 1 95

Pemaknaan Cover Majalah TEMPO (Studi Semiotik Pemaknaan Redenominasi Pada Cover Majalah TEMPO Edisi 9 – 15 Agustus 2010).

2 4 79

PEMAKNAAN KARIKATUR COVER MAJALAH TEMPO YANG BERJUDUL “BAHASYIM SALABIM” ( Studi Semiotik Pemaknaan Cover Majalah Tempo Edisi 31 Januari – 6 Februari 2011 )

0 0 16

PEMAKNAAN KARIKATUR MAJALAH TEMPO (Studi Semiotik Terhadap Pemaknaan Karikatur pada cover majalah Tempo edisi 11-17 Juli 2011).

0 2 23

KATA PENGANTAR - Pemaknaan karikatur “Artalyta Suryani” Pada Cover Majalah Tempo (Studi semiotik Terhadap Cover Majalah Tempo Edisi Januari 2010). SKRIPSI

0 0 17

PEMAKNAAN KARIKATUR COVER MAJALAH TEMPO “KESETRUM TENDER PROYEK LISTRIK”( Studi Semiotik Pemaknaan Cover Majalah Tempo Edisi 16-22 Januari 2012 )

0 0 23

PEMAKNAAN KARIKATUR COVER MAJALAH TEMPO “KESETRUM TENDER PROYEK LISTRIK” ( Studi Semiotik Pemaknaan Cover Majalah Tempo Edisi 16-22 Januari 2012 )

0 0 24