Santri tanpa kiai kajian psikoanalitik atas judul judul buku Swa Bantu Islami di Indonesia
TESIS
SANTRI TANPA KIAI:
Kajian Psikoanalitik atas Judul-judul Buku Swa-bantu
Islami di Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister
Humaniora (M. Hum) Pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Oleh:
Ridwan Muzir
NIM: 086322012
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
TESIS
SANTRI TANPA KIAI:
Kaiian
Psikoanalitik
atas
Judul-judul
Buku
Swa-bantu
lslami di lndonesia
Oleh: Ridwan
iiuzir
t{liil:
0863322412ffi
*sd
(3)
TESIS
SANTRI TANPA KIAI:
Kajian Psikoanalitik
atas
Judul-judul
Buku
Swa-bantu
lslami di lndonesia
Oleh:
Ridwan Muzir
NIM:08633220{2
PengujiTesis
Ketua
Sekretaris/
Moderator
Anggota
(4)
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama NIM Program lnstitusi
:
Ridwan Muzir:0863322012
: Program Pascasarjana llmu Religidan Budaya : Universitas Sanata Dharma
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Judul
Pembimbing
: Santri Tanpa
Kiai:
KaiianPsikoanalitik
atasJudul-
iudul
Buku Swa-bantu lslami di lndonesia
: 1. Dr. St. Sunardi
2. Dr. Katrin Bandel
Tanggal
diuji
: 23 Agustus 2013 adalah benar-benar hasil karya saya.Di
dalamTesis ini tidak
terdapat keseluruhanatau
sebagian tulisanatau
gagasanorang lain yang saya ambildengan cilra menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian
kalimat
atau
simbolyang saya aku
seolah-olah sebagai karyasaya
sendiri tanpa memberikan pengakuan pada penulls aslinya.Apa
bila kemudian terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin ataumeniru
tulisan orang lain
seolah-olahhasil
pemikiransaya
sendiri,saya
bersedia menerima sanksi sesuaidengan peraturan yang berlaku di Program PascasarJana llmuReligidan Budaya Universitas Sanata Dhanna Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora (M. Hum) yang telah saya peroleh.
(5)
PERNYATAAN
PERSETUJ
UAN
PUBLIKASI KARYA
ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Dharma
Nama
: Ridwan MuzirNomorMahasiswa
:086322412Demi
pengembanganilmu
pengetahuan,saya
memberikankepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang beriudul:SAIITR'
TANPA KTAI:KaJian Psikoanalltik atas Judul-Judul Buku Swa-bantu lslami
di lndon*la
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dhanna
hak
untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalambentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di
lnternet atau media
lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu memintaijin
darisaya
maupun memberikan royalti kepada saya selamatetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis.Demikian pemyataan iniyang saya buat dengan sebenamya. Dibuat diYogyakarta
(6)
Buat yang tercinta:
Alm. Muzir
(7)
motto
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah mencipta
(8)
KATA PENGANTAR
Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT karena diberi limpahan nikmat
ketabahan (endurance) dalam menyelesaikan tesis yang jadi salah satu syarat
dinyatakan lulus dari program studi Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Pascasarjana
Universitas Sanata Dharma ini.
Tema dasar dan masalah umum tesis ini sudah menggelayuti pikiran penulis
jauh sebelum duduk di bangku perkuliahan IRB. Salah satu pemicunya adalah
pekerjaan penulis sebagai editor di sebuah penerbitan di Yogyakarta. Dalam bekerja
penulis mengalami sendiri bagaimana proses sebuah buku lahir dari dapur penerbitan,
sebuah proses yang tak punya perbedaan mendasar dari proses yang berlangsung di
pabrik tempe atau sepeda motor. Selain itu, penulis merasakan ada hal yang perlu
didalami lebih jauh ketika menyaksikan pameran buku Islam, memasuki toko buku,
atau melihat katalog online dari sebuah toko buku. Tema-tema pengembangan diri
begitu dominan di situ sehingga memunculkan pertanyaan apakah ada yang salah,
yang kurang, yang rusak dalam diri manusia muslim di Indonesia (termasuk penulis
sendiri) sehingga perlu dikembangkan?
Perkuliahan di IRB mengenalkan penulis dengan teori psikoanalisa, terutama
teori Jacques Lacan. Sedari awal penulis sudah merasa teori ini dapat dipakai untuk
menjawab kegelisahan tadi dengan cara yang beda dari cara-cara yang telah
disampaikan teori-teori lain, terutama yang berhaluan Marxis. Sebab dalam teori ini
yang diutak-atik adalah pertanyaan mengapa orang menginginkan sesuatu, mengapa
orang bisa tergiur dengan sesuatu, bukan mengapa orang perlu membuat atau
melakukan sesuatu.
Belajar psikoanalisis Lacanian sangat menantang penulis, sehingga proses
menjawab kegelisahan pribadi tadi jadi sangat lambat. Akibatnya, proses penulisan
(9)
hanya tesis yang penulis kerjakan, namun setiap saat perhatian selalu tertuju pada apa
saja yang berbau Lacan. Harus penulis akui bahwa perhatian itu dikendalikan oleh
keinginan egoistik untuk menjawab kegelisahan tentang dunia perbukuan Islam tidak
dengan teori lain. Pokoknya harus dengan Lacan!
Keinginan tak rasional dan tidak punya perhitungan itu akhirnya mengantarkan
penulis pada buku Graph of Desire karya Alfredo Eidelstein yang dibedah
bersama-sama di Akademia Erupsi Yogyakarta. Buku itulah yang membuat penulis dapat sedikit
peta untuk menuliskan Bab IV, untuk tetap menjawab kegelisahan awal dengan Lacan.
Tesis ini mungkin dapat disebut sebagai simptom penulis, sesuatu yang harus
dibaca dan ditafsirkan oleh orang lain untuk menemukan subjek wicara di baliknya,
bukan subjek pernyataan. Sebab subjek pernyataan mampu menjelaskan secara logis
dan rasional lewat pernyataan penuh makna kepada orang lain, dan orang lain pun
dapat menangkap makna itu. Subjek pernyataan itu adalah penulis yang sedang
menulis dan membubuhkan tanda tangan di kata pengantar ini.
Orang-orang berikut akan penulis hadiahi doa dan ucapan terima kasih, karena
merekalah yang akan membaca tesis ini sebagai simptom.
Devi Adriyanti, istri penulis, atas kasih sayang dan ketabahannya. Ibu dan
adik-adik atas dukungan dan nasihat mereka. Keluarga besar Surau Tuo Institute yang tak
dapat disebutkan satu persatu, terutama yang telah bersedia jadi pembaca dan
pembahas draf tesis ini. Teman-teman di Akademia Erupsi. Hasan Basri, Wahyudin
dan Zuhdi Sang. Serta teman dan pihak-pihak lain yang tak dapat disebutkan satu per
satu.
Doa dan ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada Romo
G. Budi Subanar yang telah memberikan pesan tentang ketabahan (endurance) saat
penulis tes masuk IRB. Terima kasih juga disampaikan kepada dosen dan guru-guru di
IRB yang tak dapat penulis sebutkan satu per satu di sini atas ilmu dan pengalaman
(10)
Kepada Pembimbing II tesis ini, Mbak Katrin Bandel, yang telah mengajarkan
bagaimana apresiasi terhadap pendapat orang lain dapat disampaikan dengan sangat
indah.
Terakhir, terima kasih sebesar-besarnya kepada Pembimbing I, Bapak St.
Sunardi. Penulis tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata enigma yang
dimiliknya sehingga apa yang dia katakan, terutama buku, selalu menarik perhatian
penulis. Kepadanya penulis sampaikan harapan untuk selalu sabar memberikan
bimbingan lanjutan supaya penulis dapat mengalami lack yang ada pada dirinya, diri
St. Sunardi.
Semoga Allah memberkati kita semua.
Yogyakarta, Agustus 2013
(11)
ABSTRAK
Muzir, Ridwan. 2013. Santri tanpa Kiai: Kajian Psikoanalitik atas Judul-judul Buku Swa-bantu Islami di Indonesia. Tesis. Yogyakarta: Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas buku-buku populer Islam bergenre swa-bantu ( self-help) yang mendominasi industri perbukuan Indonesia tahun 2000-an. Penelitian tentang produk kultural ini menyoroti judul-judul buku swa-bantu Islami karena dalam industri buku, judul adalah hal utama yang diperhatikan produsen dalam menarik calon pembeli. Masalah utama yang dihadapi penelitian ini adalah subjektivitas pembaca muslim yang dituju buku tersebut lewat judul-judulnya. Apa yang ada dibalik judul-judul ini sehingga pembaca begitu tertarik.
Masalah ini dipilih karena gairah industri buku swa-bantu Islami mengisyaratkan tingginya permintaan pasar. Di balik permintaan pasar itu ada calon pembaca yang akan mengonsumsi/membacanya. Masalah subjektivitas penting karena dengan mengetahui sosok pembaca yang mengonsumsi buku-buku tersebut dapat diperoleh gambaran dinamika kebudayaan masyarakat muslim Indonesia saat ini. Kebudayaan dinamis sebab subjek yang menghidupinya tidak berpuas diri dengan apa yang tersedia.
Dalam menjawab masalah utama penelitian ini dipakai teori subjektivitas Lacan. Bagi Lacan subjektivitas seseorang terbentuk dari dialektika antara kebutuhannya dengan apa yang diinginkan orang lain (Liyan). Dialektika terjadi lewat perantaraan bahasa dan selalu menghasilkan residu sebab apa yang diinginkan Liyan dan ditawarkannya pada seseorang tidak akan berhasil memuaskan kebutuhan seseorang itu. Masih ada keinginan yang tersisa di dalamnya. Itulah hasrat.
Orang lain (Liyan) tidak bisa memberikan kepuasan sebab mereka juga menginginkan sesuatu yang tak bisa terpenuhi oleh apa yang terbahasakan. Jika seseorang memilih/memiliki sesuatu sebagai objek yang dia anggap memuaskan Liyan, dia menjadi subjek perversif dan objek itu menjadi fetis baginya.
Penelitian ini menemukan bahwa judul-judul buku swa-bantu Islami diposisikan pembaca sebagai fetis untuk menutupi kekurangan Liyan yang tak dapat memenuhi hasrat pembaca maupun hasratnya sendiri akan kemusliman sejati (being moslem). Dengan fetis itu, pembaca merasa jadi muslim sejati. Kekuatan judul buku swa-bantu Islami sebagai fetis terletak pada fungsinya sebagai cermin imajiner. Di dalam cermin ini terpantul bayangan kediriannya yang kemudian dia identifikasi sebagai identitasnya. Identifikasi ini berlangsung melalui pengetahuan yang salah sangka (connaissance), karena menganggap identitas yang disampaikan buku swa-bantu itu memiliki makna yang mapan. Padahal yang ditawarkan adalah konstruksi wacana yang bergerak dinamis karena adanya hasrat subjek yang menghidupi wacana tersebut.
Kata kunci: subjektivitas, subjek, Liyan Simbolis, hasrat, identifikasi imajiner,
(12)
ABSTRACT
Muzir, Ridwan. 2013. Santri tanpa Kiai: A Psychoanalitical Study on the Titles of Islamic Self-help Book in Indonesia. MA. Thesis. Yogyakarta: Religious and Cultural Studies, Sanata Dharma University.
This study discusses Islamic self-help genre that dominated Indonesian books industry in the 2000s. This study on the cultural product highlights Islamic self-help book titles, because the titles are the main thing considered by book industry in attracting prospective consumers. The main problem in this study is about muslim subjectivity addressed by the books through their titles. Why these titles is so fascinating to the readers.
This problem is chosen because the passion of the Islamic self-help book industry signaled high market demand. Behind this market demand, there are prospective readers that will consume/read it. Subjectivity is important because by knowing the figure of readers who consume the books, we can obtain a description of the cultural dynamics of Indonesian Muslim today.
This study used Lacan's theory of subjectivity to answer its main questions. For Lacan, subjectivity is constructed through the dialectic between one’s need and demand of the Other. The dialectic occurs through the medium of language and always produces a kind of residue, because what is demanded and offered by the Other to someone will not satisfy all of his/her need. There is some need that is left. That is desire.
Others can not give a full satisfaction because they also want something that can not be fulfilled by what can be expressed through language. If someone chose/have something as an object which he recognize can satisfy Other’s demand, he become pervert subject and the will become his fetish.
This study found that the titles of Islamic self-help book were taken by the muslim reader as fetish to fulfill the Other’s lack in satisfying reader’s desire to become a true moslem. With the fetish, readers (mis)recognize themselves have become a true Muslim. The power of self-help book titles as fetish Islami lies in its function as an imaginary mirror. This mirror reflected some self-image which he/she later identified as his/her identity. This identification takes place through the imaginary knowledge (connaissance) in Lacanian sense, because they consider the identity which is reflected in the titles has an established meaning. Whereas, identity is constructed in a discourse which is always moving because of subject’s desire that animate it.
Keywords: subjectivity, subject, Symbolic Other, desire, imaginary
identification, connaissance.
(13)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
PERSEMBAHAN ... vi
MOTTO ... vii
KATA PENGANTAR... viii
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR... xviii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 18
C. Tujuan dan Manfaat... 18
D. Tinjauan Pustaka ... 19
E. Kerangka Teoretis 1. Teori Subjektivitas Lacanian dan Konsep-konsep Terkait ... 30
2. Teori Pengetahuan Lacanian ... 34
F. Metode 1. Data ... 36
2. Teknik Analisis... 38
G. Sistematika Pembahasan ... 39
BAB II DINAMIKA EKONOMI-KULTURAL PENERBITAN BUKU-BUKU ISLAM POPULER DI INDONESIA... 41
A. Sekilas Sejarah Percetakan dan Penerbitan Buku-buku Islam di Indonesia ... 41
(14)
1. Buku Murah dan Sederhana untuk Kecerdasan Masyarakat
(Era Balai Pustaka sampai akhir 1970-an) ... 42
2. Buku sebagai Komoditas Intelektual yang Menguntungkan (Era 1980-an sampai menjelang 2000-an) ... 48
3. Buku sebagai Produk Pelengkap Gaya Hidup (Era Pasca 2000-an)... 53
B. Buku sebagai Benda Kultural dalam Dinamika Sosial-Ekonomi... 56
1. Buku sebagai Benda Kultural... 57
2. Buku sebagai Benda Ekonomis ... 62
C. Lika-liku Pengadaan Naskah ... 66
D. Kendali Pasar atas Tema-tema dan Rekayasa Judul Buku ... 69
E. Sampul Buku sebagai Media Promosi bagi Dirinya Sendiri... 78
BAB III KATEGORISASI JUDUL-JUDUL BUKU SWA-BANTU ISLAMI... 90
A. Ragam Umum Tema Buku Islam Populer ... 90
1. Tema Generik ... 91
2. Tema Non-Generik ... 93
B. Kategorisasi Judul-judul Buku Swa-bantu Islami... 95
1. Dasar Kategorisasi ... 95
2. Kategori Judul-judul Buku Swa-Bantu Islami Berdasarkan Tema ... 97
a. Tema Kesehatan dan Kebugaran fisik... 99
b. Tema Kesejahteraan Psikis ... 104
i. Judul-judul dengan Tema Kerumahtanggaan... 105
ii. Judul-judul dengan Tema Parenting ...113
iii. Tema Aktivitas Ekonomi ... 116
iv. Judul-judul dengan Tema Penggemblengengan Daya Tahan Psikis ... 122
C. Kategori Judul-judul Buku Swa-Bantu Islami Berdasarkan Teknik Persuasi... 127
1. Menarik Karena Berbeda... 128
2. Menarik Karena Menggiurkan... 132
BAB IV “BACALAH, WALAU BUKAN DENGAN NAMA TUHANMU!”: FETISISME PENANDA DAN DOMINASI PENGETAHUAN IMAJINER DALAM JUDUL-JUDUL BUKU SWA-BANTU ISLAMI... 142
(15)
1. “Islami” sebagai penanda utama dan poin de capiton... 144
2. “Islami” sebagai Ideal yang Diminta oleh Liyan Simbolis (Pembaca sebagai Subjek Permintaan)... 152
3. Permintaan agar “Islami” sebagai Langkah Awal untuk “Menjadi Islami” (Pembaca sebagai Subjek Hasrat) ... 159
4. Fantasi yang Mestinya Dilahirkan Buku Swa-bantu Islami: Strategi Menghadapi Objet petit a...167
5. Judul-judul Buku Swa-bantu Islami sebagai Fetis (Pembaca sebagai Subjek Perversif)... 175
B. Janji Pengetahuan dalam Buku Swa-bantu Islami: Judul sebagai Cermin Imajiner ... 182
1. Pengetahuan Imajiner bagi Pembaca yang Dianggap Rasional (Pembaca sebagai Ego Modern) ... 185
2. Eksploitasi Hasrat Metonimik Pembaca oleh Industri Perbukuan (Pembaca sebagai Subjek Ketidaksadaran)... 192
3. Sihir Judul: Pengetahuan Imajiner dengan Kemasan Pengetahuan Simbolis ... 195
BAB V PENUTUP... 201
A. Kesimpulan-kesimpulan... 201
1. Kesimpulan umum ... 201
2. Temuan khusus ... 202
B. Harapan ... 205
(16)
DAFTAR TABEL
Tabel I.1: Judul-judul dengan Tema Ritual Ibadah Umum ... 91
Tabel I.2: Judul dengan Tema Kisah-kisah Hikmah ... 92
Tabel I.3: Judul dengan Tema Teks Suci dan/atau Terjemahannya ... 92
Tabel I.4: Judul dengan Tema tentang Disiplin Tertentu... 94
Tabel I.5: Judul dengan Tema Generik Terkait Masalah Spesifik ... 94
Tabel I.6: Judul dengan Tema Generik yang Menyasar Pembaca Spesifik ... 95
Tabel I.7: Judul-judul tentang Kesehatan ... 99
Tabel I.8: Judul-judul tentang Pencegahan/Pengobatan Penyakit... 100
Tabel I.9: Judul-judul tentang Jilbab... 102
Tabel I.10: Judul-judul tentang Seksualitas dan Kehiduapn Pasutri ... 103
Tabel I.11: Judul-judul tentang Keluarga Sakinah... 106
Tabel I.12: Judul-judul tentang Kebahagiaan Keluarga... 106
Tabel I.13: Judul-judul tentang Keluarga sebagai Proyek Seseorang... 107
Tabel I.14: Judul-judul tentang Peran Suami/Istri dalam Keluarga ... 108
Tabel I.15: Judul-judul tentang Masalah yang Perlu Diwaspadai dalam Kehidupan Keluarga ... 109
Tabel I.16: Judul-judul tentang Poligami ... 109
Tabel I.17: Judul-judul tentang Pernikahan ... 111
Tabel I.18: Judul-Judul Tentang Figur Nabi sebagai Orang Tua... 114
Tabel I.19: Judul-judul tentang Nama-nama Bayi Islami ... 115
Tabel I.20: Judul-judul tentang Kesejahteraan Ekonomi ... 116
Tabel I.21: Judul-judul tentang Sukses dan Bahagia yang Dikonkretisasi ... 117
Tabel I.22: Judul-judul tentang Hutang dan Kemiskinan ... 118
Tabel I.23: Judul-judul tentang Penggemblengangan Daya Tahan Psikis (recovering)... 123
Tabel I.24: Judul-judul tentang Penyembuhan “Penyakit” Kejiwaan ... 124
Tabel I.25: Judul-judul tentang Keadaan Hidup yang Ideal... 125
Tabel I.26: Judul-judul tentang Pribadi Muslim Ideal... 125
Tabel I.27: Judul-judul dengan Teknik Retorika Bombastis dan Sensasional ... 129
Tabel I.28: Judul-judul dengan Teknik Retorika Kontradiktif/kontroversial ... 129
Tabel I.29: Judul-judul dengan Teknik Retorika Interogatif (tanya) dan Ekslamatif (seruan) ... 130
Tabel I.30: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Ketersingkapan... 133
(17)
Tabel I.32: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Kelebihan... 135
Tabel I.33: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Keinstanan... 137
Tabel I.34: Judul-judul dengan Teknik Retorika Logika “Jika-Maka” ... 137
Tabel I.35: Judul-judul dengan Teknik Retorika yang Menempatkan Ibadah sebagai Sarana Menuju Tujuan ... 139
Tabel I.36: Judul-judul dengan Teknik Retorika Pertukaran dan Investasi ... 140
Tabel II.1: Keanekaragaman Judul Akibat Sifat Metonimik Hasrat ... 162
Tabel II.2: Judul-judul dengan kata “kaya” dan “rezeki” ... 178
Tabel II.3: Judul-judul tentang Hutang dan Kemiskinan ... 178
Tabel II.4: Judul-judul dengan Teknik Retorika Logika “Jika-Maka” ... 180
Tabel II.5: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Ketersingkapan... 180
Tabel II.6: Judul-judul dengan Teknik Retorika Janji Keinstanan... 180
Tabel II.7: Judul-judul dengan Bilangan Tertentu... 181
Table II.8: Contoh Konkretisasi Pembaca dalam Judul Buku Swa-bantu Islami... 188
(18)
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1: Contoh sampul Buku Swa-bantu Islami dari tahun 1980-an
dan 2000-an ... 80
Gambar I.2: Contoh Sampul yang Memanfaatkan Citra Fotografis yang Realis ... 81
Gambar I.3: Contoh Sampul Buku yang Memanfaatkan Citra Fotografis yang Didistorsi ... 81
Gambar I.4: Sampul Buku dengan Citra-citra yang Tidak “Nyambung” ... 82
Gambar I.5: Sampul Buku dengan Image-image yang Naif ... 83
Gambar I.6: Sampul Buku dengan Ornamen-Ornamen Arabesque ... 84
Gambar I.7: Sampul Buku dengan Ornamen sebagai Pelengkap ... 85
Gambar I.8: Sampul Buku dengan Image Kartun Makhluk Hidup Ornamen sebagai Pelengkap ... 86
Gambar I.9: Sampul Buku yang hanya Menonjolkan Kata-kata Judul ... 87
Gambar II.1: Fungsi Retroaktif Penanda Utama dalam Sampul Buku ... 148
Gambar II.2: Wujud Fantasi Keberhasilan dalam Sebuah Buku Swa-bantu Islami... 171
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia perbukuan Indonesia dalam lebih kurang satu dasawarsa terakhir
diwarnai maraknya buku-buku Islam populer.1 Buku-buku ini biasanya berisi tuntunan ibadah praktis, tuntunan psikologis, tuntunan kehidupan rumah tangga,
tuntunan karir dan kewirausahaan, tuntunan pendidikan anak, novel-novel populer
untuk dewasa dan remaja, sampai kisah-kisah religius yang dikemas dalam bentuk
kartun. Suasana semarak ini paling jelas terlihat dalam pameran-pameran buku,
terutama yang bertajuk pameran buku Islam (Islamic Book Fair) yang diadakan di
beberapa kota besar di Indonesia, bahkan ada yang dua sampai tiga kali dalam
setahun. Seorang pengelola pameran buku Islam di Jakarta tahun 2010
mengatakan “Ada ribuan judul buku baru, di samping puluhan ribu judul buku yang
sudah terbit sebelumnya. Buku-buku tersebut mencakup berbagai bidang, dari
ibadah, Alquran, Hadis, fiqih, anak, keluarga, pemikiran, referensi, hingga how to
dan buku-buku fiksi.”2
1 Meski dalam masyarakat Muslim buku (Arab: kitab) bukan barang baru, namun yang dimaksud
dengan buku-buku Islami (Islamic books) di sini adalah dalam pengertian seperti yang dikemukakan Armando Salvatore dan Dale F. Eicklemann: “a style of writing that appeals to new audiences. These are inexpensive, attractively printed mass market texts that address such practical questions as how to live as a Muslim in the modern world and the perils of neglecting Islamic obligations. Some offer advice to young women on how to live as a Muslim in modern urban society, and some take the form of popular
catechisms. These books articulate basic questions bearing directly on the lives of average citizens.” Dale F. Eicklemann dan Armando Salvatore, "Muslim Publics”, dalam Armando Salvatore and Dale F.
Eicklemann (eds.), Public Islam and the Common Good, Leiden: Brill, 2004, hlm. 14-15.
2 Penuturan Iwan Setiawan sebagai Ketua Panitia
Jakarta Islamic Book Fair 2010 yang berlangsung tanggal 5-10 Maret 2010 ini dimuat dalam Harian Republika, 05 Maret 2010. Diakses dan diunduh dari Blog Indonesia Buku tanggal 05 April 2010.
(20)
Fenomena ini belum mencolok sampai awal tahun 2000-an, karena yang
jadi tren saat itu adalah buku-buku teoretis, terutama yang berasal dari wacana
ilmu sosial kritis dan Marxis. Bahkan dalam konteks ilmu keislaman pun, buku-buku
yang muncul juga tidak kalah kritisnya terhadap pemikiran Islam ortodoks.
Memasuki tahun 2000-an terjadi perubahan yang cukup drastis. Tren buku kritis
dan kiri perlahan-lahan digeser oleh buku-buku religius populer dengan berbagai
subgenrenya. Salah satu sub-genre buku-buku Islam populer yang jadi trend
adalah buku swa-bantu Islami. Di sini istilah buku-buku swa-bantu dipakai sebagai
terjemahan istilah bahasa Inggris self-help literature.3 Sedangkan istilah kata sifat
“Islami” sendiri ingin menunjukkan bahwa buku tersebut secara eksplisit memuat
teks-teks kanonik dari khazanah ajaran agama Islam, entah itu al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad, tafsir, teks-teks karya para ulama, kisah-kisah hikmah, ajaran
moral atau akhlak yang sudah populer dalam masyarakat Islam dan lain
sebagainya.
Literatur swa-bantu adalah subgenre tulisan non-fiksi yang umumnya
memuat panduan dan tuntunan bagi pembaca dalam membantu dirinya sendiri
untuk menjawab pertanyaan dan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Istilah
buku-buku swa-bantu memayungi beberapa istilah populer lain yang juga sedikit
banyak mengacu pada pengertian umum ini, di antaranya: self-improvement books
(buku-buku pengembangan-diri), advice books (buku-buku tuntunan), how to books
(buku-buku kiat dan tips), motivational books (buku-buku motivasi), dan
inspirational books (buku-buku inspiratif). Secara tersirat perbedaan istilah ini
3
Meski pun belum terlalu lazim dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari, di sini istilah “swa-bantu” dipakai mengikuti penerjemah dan editor buku The Last Self-Help Book: Sebuah Renungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir, karya Walker Percy. Buku ini adalah terjemahan dari Lost in The Cosmos: The Last Self-Help Book , terbitan Picador, New York, 1983. Lihat Walker Percy The Last Self-Help Book: Sebuah Renungan Filsafat dan Semiotika Diri dengan Gaya Humor Satir, terjemahan Lucky Ginanjar Adipurna, Yogyakarta & Bandung: Jalasutra, 2006. Lihat juga artikel “Buku Dibutuhkan tapi Diabaikan” dalam Koran Jakarta edisi Senin, 18 Mei 2009, dimuat lagi di blog
(21)
disebabkan oleh perbedaan kegunaan yang diandaikan akan diperoleh oleh
pembaca. Semua istilah itu bermuara pada pengertian tentang fungsi sebuah buku,
atau lebih tepatnya, pada mode of reading pembaca dari sudut fungsional. Jika
dilihat dari sudut ini, maka nyaris semua teks/buku bisa memenuhi “fungsi
membantu.” Karena setiap pembaca berkeinginan untuk dibantu dalam menjawab
pertanyaan yang ada pada dirinya, atau mendapat petunjuk mengatasi masalah
yang dia hadapi dalam kehidupannya. Orang ingin mendapatkan pengetahuan
dengan membaca buku.
Untuk membedakannya dari buku atau bahan bacaan lain pada umumnya,
perspektif fungsional ini harus ditambah dengan perspektif lain, yaitu dari
karakteristiknya. Steven Starker, seorang sosiolog Amerika, mengatakan ada dua
prinsip yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah sebuah buku memiliki
karakteristik buku swa-bantu atau tidak, yaitu: pembaca yang ingin dituju (intended
audience) dan kegunaan yang dijanjikan (presumed utility).4 Berbeda dari buku-buku akademis yang berasal dari riset atas suatu topik yang terfokus, buku-buku-buku-buku
swa-bantu dialamatkan kepada pembaca awam. Buku semacam itu
mengomunikasikan suatu pembahasan untuk pembaca luas dengan cara yang
menarik, gampang dicerna dan sederhana sehingga tidak memerlukan latar
belakang pengetahuan dan keilmuan yang khusus. Sementara kegunaan yang
dijanjikan bersifat langsung dan praktis dengan menawarkan instruksi-instruksi
yang relatif jelas tentang suatu hal.
Ciri penting lainnya adalah buku-buku swa-bantu ditujukan kepada
pembaca individual yang memerlukan bantuan panduan untuk menolong dirinya
sendiri dalam mengatasi berbagai persoalan, mulai dari persoalan praktis dan
teknis tentang bagaimana memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam
4
Steven Starker, Oracle at the Supermarket: The American Preoccupation with Self-Help Books, New Brunswick, N.J.: Transaction, 1989, hlm. 9.
(22)
tanaman-tanaman obat atau bagaimana menata ruangan di rumah; persoalan
kesehatan dan kebugaran tentang bagaimana mengatasi insomnia atau
mengurangi berat badan; persoalan kejiwaan tentang bagaimana mengatasi stres;
sampai tentang persoalan pandangan hidup yang lebih filosofis tentang bagaimana
memahami kesuksesan dan kegagalan.5
Starker menyimpulkan tiga ciri eksplisit buku-buku swa-bantu yang lahir dari
dua prinsip tadi. Pertama, “anekdotal versus informasional.” Ada buku-buku yang
lebih banyak berisi kisah-kisah yang disampaikan dalam rangka menopang
argumen, dan ada pula buku yang lebih banyak berisi informasi-informasi tentang
fakta yang sudah diterima luas untuk mendukung perspektif atau panduan yang
ditawarkan. Kedua, “Preskriptif versus deskriptif.” Ada buku-buku yang memang
secara eksplisit menyatakan “harus begini, harus begitu” dan ada pula yang hanya
melukiskan suatu keadaan, sehingga pembaca diberi keleluasaan untuk membuat
kesimpulan. Dan ketiga, “tertutup versus terbuka.” Ada buku-buku yang
mengetengahkan pandangan yang tertutup dan sempurna dalam dirinya sendiri
sehingga menutup kemungkinan untuk berinteraksi dengan perspektif lain, dan ada
pula yang sifatnya terbuka tentang usulan tawaran-tawaran yang diberikan.6
Ciri-ciri yang disebutkan di atas terlihat pada konteks kemunculan dan
perkembangan genre ini. Setidaknya ada tiga konteks yang memungkinkan
lahirnya genre ini, yaitu: pertama, perkembangan teknologi dan industri cetak.
Selain didorong oleh kepentingan menyebarkan informasi dan pengetahuan,
perkembangan teknologi dan industri cetak juga didorong kepentingan ekonomi,
5 Judul-judul yang mengilustrasikan hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Yusuf Mansur, Kun
Fayakun: Mudahnya Mewujudkan Keinginan dan Mengatasi Persoalan Hidup, Jakarta: Zikrul, 2010; Yusep Nurjatmi, Aplikasi Desain-Desain Unik Ruang Belajar Anak, Yogyakarta: Harmoni, 2011; Wahyu Gunawan Wibiso, Tanaman Obat Keluarga Berkasiat, Yogyakarta, VIVO PUBLISHER, 2011; Sara C. Mednick, Misteri Tidur Siang (Tidur Sejenak, Rasakan Manfaatnya), Yogyakarta: LIRIS, 2011; Imam Musbikin, La Takhof wa la Tayasu: Jangan Menyerah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2011
6
Steven Starker, Oracle at the Supermarket: The American Preoccupation with Self-Help Books, New Brunswick, N.J.: Transaction, 1989, hlm. 10-12.
(23)
sebab selain mengandung nilai budaya, pada saat yang sama barang cetakan juga
mengandung nilai ekonomis sebagai komoditas.
Kedua, perubahan budaya akibat perubahan cara-mengetahui (mode of
knowing) dan cara transmisi pengetahuan yang semula bertumpu pada kelisanan
kepada keberaksaraan. Faktor ini sebenarnya setali tiga uang dengan faktor
pertama, karena tersebarnya bahan bacaan secara massif tidak akan mungkin
terjadi jika tidak ada massa yang mampu membaca, sebaliknya massa pembaca ini
tercipta juga diakibatkan oleh makin banyaknya materi bacaan yang tersebar.
Ketiga, posisi manusia yang jadi “tuan rasional” bagi dirinya sendiri dalam
kehidupan zaman modern.7 Manusia menjadi “tuan rasional” bagi dirinya sendiri dalam menentukan bagaimana dia akan menjalani hidup. Jika di zaman tradisional,
tradisi memainkan peran kunci dalam penentuan ini, di zaman modern manusia
telah “tercerahkan” untuk mengandalkan rasio dalam membuat
keputusan-keputusannya. Namun optimisme ini bukannya tidak bermasalah, karena ilmu
pengetahuan dalam praktik kehidupan sehari-hari justru menciptakan dua masalah
yang tak kurang peliknya dibanding ketergantungan pada tradisi: kecemasan akibat
risiko-risiko yang diprediksi ilmu pengetahuan dan spesialisasi pengetahuan yang
membuat spesialis di satu bidang menjadi awam di bidang lain. Untuk yang
pertama soalnya adalah bagaimana mengelola kehidupan agar tak sampai pada
risiko yang diprediksi, sedangkan untuk yang kedua adalah bagaimana mengatasi
masalah yang bukan spesialisasi kita.
Pertanyaan tentang bagaimana setiap manusia bisa secara sendiri
mengamalkan ilmu pengetahuan dalam pengertian zaman modern tadi menjadi
latar belakang kemunculan literatur swa-bantu, bagaimana manusia bisa mengatasi
7 Ketiga konteks ini ditemukan berdasarkan pembacaan atas beberapa literatur terkait, yang
terpenting di antaranya adalah Benedict Anderson, Imagined Community: Reflections on the Origin of the Nationalism, Rev. Ed., London: Verso, 1990, Walter J. Ong, Orality and Literacy, New York: Routledge, 2002 dan Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity: Self and Society in the Late Modern Age, Stanford, CA.: Stanford University Press, 1991.
(24)
sendiri persoalan dan pertanyaan yang dia hadapi dalam hidupnya. Ketika
berhadapan dengan berbagai pilihan, dia harus segera menentukan pilihan tanpa
berpanjang-panjang membandingkan mana pilihan yang paling tepat. Maka tidak
salah jika istilah self-help (swa-bantu) diambil dari judul buku Samuel Smiles yang
jadi titik awal popularitas genre ini dalam kebudayaan Barat modern. Smiles
mengatakan tujuan buku yang dia tulis,
[…] to stimulate youths to apply themselves diligently to right pursuits, –sparing neither labor, pains, nor self-denial in prosecuting them,– and to rely upon their own efforts in life, rather than depend upon the help or patronage of others, [and] it will also be found, from the examples given of literary and scientific men, artists, inventors, educators, philanthropists, missionaries, and martyrs, that the duty of helping one’s self in the highest sense involves the helping of one’s neighbors.” 8
Dalam perkembangannya, terutama di Amerika,9 genre tulisan sebagaimana yang dirintis oleh Samuel Smiles ini menjelma jadi salah satu
segmen industri perbukuan terbesar. McGee mengatakan buku-buku swa-bantu
adalah bagian dari segmen industri perbukuan yang bertajuk literatur
panduan-panduan (advice literature). Industri ini adalah bagian dari industri yang lebih besar
di Amerika di paruh kedua abad kedua puluh, yakni industri pengembangan-diri
(self-improvement) yang mencakup perbukuan, seminar-seminar pengembangan
diri, produk-produk audio-video, kursus-kursus kepribadian yang bernilai dua
setengah miliar dollar per tahun dan hampir sepertiga orang Amerika pernah
8
Samuel Smiles, Self-Help, London: Hazel, Watson and Viney, I.D., 1908, hlm. Vi.
9
Akar buku-buku swa-bantu di Amerika dapat ditemukan dalam tradisi Protestan yang salah satu nilainya adalah individu diyakini punya andil dalam menentukan kualitas hidup mereka. Buku-buku seperti The Practice of Piety (1611) karangan Pendeta Bayly dan Guide to Heaven (1673) karangan Samuel Hardy adalah contoh buku-buku pengembangan diri berbasis nilai-nilai puritan ini. Memasuki abad kedelapan belas, buku-buku swa-bantu di Amerika menjadi makin sekuler. Tokoh yang paling berpengaruh di sini adalah Benjamin Franklin (1706-1790) seorang pengarang, ilmuwan, pengusaha, diplomat dan negarawan. Setidaknya ada dua tulisannya yang paling terkenal dalam kaitannya dengan genre swa-bantu, yakni The Way to Wealth (1757) yang menjelaskan prinsip-prinsip hidup yang harus ditempuh seseorang agar sukses dalam kehidupan duniawi dan buku Poor Richard’s Almanac (1732-1757) yang berisi nasihat-nasihat praktis dan how to. Lihat Steven Starker, Oracle at the Supermarket: The American Preoccupation with Self-Help Books, New Brunswick, N.J.: Transaction, 1989, hlm. 13-15. Sementara pembahasan tentang popularitas genre ini dalam masyarakat Amerika dapat dibaca dalam Susan K. Dolby, Self-help books: Why Americans Keep Reading Them, Illinois: University of Illinois Press, 2005.
(25)
membeli sebuah buku swa-bantu selama hidup mereka.10 Bahkan ada beberapa buku yang popularitasnya mendunia sehingga menjadi semacam “kitab suci” baru
seperti
Emotional
Intelligence:
Why
It
Can
Matter
More
than
IQ
karya Daniel Goleman
;
You
Can
Heal
Your
Life
karya Louise Hay
;
The
Power
of
Positive
Thinking
karya Norman Vincent Peale
;
Learned
Optimism
karya Martin Seligman
;
How
to
Win
Friends
and
Influence
People
karya Dale Carnegie
;
The
Seven
Spiritual
Laws
of
Success
karya Deepak Chopra
;
The
7
Habits
of
Highly
Effective
People
karya Stephen Covey
;
Awaken
the
Giant
Within
Secrets
of
Happiness
Doing
what
you
love
doing
what
works
karya Anthony Robbins
;
Men
Are
from
Mars
Women
Are
from
Venus
karya John Gray
;
Life
Strategies:
Doing
What
Works
Doing
What
Matters
karya Philip C. McGraw
;
Rich
Dad
Poor
Dad
karya Robert T. Kyosaki.11
Pengertian self-help juga mengalami perubahan. Kalau di zaman Samuel
Smiles yang hidup di akhir abad ke-19 kesuksesan hidup yang ingin diwujudkan
oleh seseorang secara swadaya dilihat dari hal-hal eksternal dan dapat diukur
seperti kekayaan, status atau kekuasaan, maka di paruh kedua abad ke-20
ukurannya menjadi kesejahteraan emosional, pengalaman kebahagiaan secara
subjektif dan pencarian kenikmatan hidup.12
10
Micki McGee, Self-Help Inc.: Makeover Culture in American Life, New York: Oxford University Press, 2005, hlm. 11 (Dalam bentuk PDF).
11 Hampir seluruh buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan para
pengarangnya juga sangat terkenal di Indonesia. Contoh-contoh ini dikutip dari Tom Butler-Bowdon, 50 Self-Help Classics: 50 Inspirational Books to Transform Your Life Your Life from Timeless Sages to Contemporary Guru, London: Nicholas Brealey Publishing, 2003, hlm. 4-5.
12
Dalam konteks lain, yakni konteks bantuan-bantuan internasional, lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan terutama di bidang kesehatan, istilah self-help justru bukan mengacu pada praktik-praktik pengembangan-diri secara individual, melainkan usaha dan gerakan bersama dalam rangka memperbaiki keadaan-keadaan dalam kehidupan bersama. Pengertian self-help sebagai usaha tolong-menolong
(26)
Di Indonesia sendiri perkembangan yang sama juga terjadi. Hal ini tentu
dimungkinkan karena perkembangan teknologi modern dan proses globalisasi
lewat media di mana apa-apa yang dibicarakan dan diberitakan di belahan dunia
lain dengan cepat dapat pula dibaca dan dibicarakan di sini. Walaupun keterangan
pasti tentang bagaimana sejarah kemunculan dan perkembangan buku-buku
swa-bantu di Indonesia belum diperoleh, namun dapat dipastikan bahwa genre buku ini
juga muncul dan berkembang seiring dengan kemunculan dan perkembangan
dunia penerbitan dan perbukuan di Indonesia, setidaknya sejak awal abad
keduapuluh. Karena genre ini lahir dari kebudayaan masyarakat Barat modern,
maka hampir bisa dipastikan bahwa pada awalnya buku-buku swa-bantu yang
berkembang di Indonesia adalah terjemahan dari bahasa asing. Di awal abad
ke-20 banyak yang berasal terjemahan atau saduran dari buku-buku berbahasa
Belanda, karena waktu itu bahasa Belanda mendominasi wacana intelektual
Indonesia sementara setelah Indonesia merdeka didominasi oleh
terjemahan-terjemahan dari bahasa Inggris. Hal ini setidaknya dibuktikan sebuah buku berjudul
Ilmu
Bergaul
karangan M. Yunan Nasution, seorang jurnalis dan pemikir Muslim Indonesia pertengahan abad dua puluh. Buku ini awalnya adalah tulisan
bersambung Yunan Nasution di mingguan Pedoman Masyarakat tahun 1940 yang
kemudian dibukukan. Di bagian pengantar penulis secara eksplisit mengakui
bahwa yang dijadikannya acuan utama adalah buku berbahasa Belanda
Zo
Maakt
U
Vrienden
en
Goede
Relaties
yang tak lain adalah terjemahan Belanda untuk buku
(mutual aid)seperti ini setidaknya berlangsung sampai era 1970-an di Amerika, namun tiga puluhan tahun kemudian pengertian ini berubah seratus delapan puluh derajat, di mana usaha bersama dalam
memperbaiki diri komunitas berubah menjadi usaha setiap individu memperbaiki diri masing-masing. Lihat Micki Mcgee, Ibid., hlm. 18-19.
(27)
How
To
Win
Friends
and
Influence
People
karangan Dale Carnegie yang terbit pertama kali tahun 1926.13
Menarik untuk diperhatikan bahwa dalam dunia perbukuan Indonesia tahun
2000-an, buku-buku swa-bantu sebagaimana dicirikan di atas mengadopsi wacana
Islami –terutama yang berasal dari teks-teks normatif-kanonik seperti al-Quran dan
Hadits Nabi, tafsir dan kitab-kitab fiqh (yurisprudensi Islam)– untuk memberi dasar
dan legitimasi bagi panduan-panduan yang ditawarkannya. Sebagai ilustrasi, buku
La
Tahzan:
Jangan
Bersedih,
misalnya,
adalah buku terjemahan dari bahasa Arab berjudul
Laa
Tahzan
karangan Dr. ‘Aid Al-Qarni. Penerjemah menjelaskan tujuan penerjemahan dan penerbitan buku ini dalam Bahasa Indonesia untuk
mengimbangi “buku-buku self-help, buku-buku petunjuk cara hidup,” yang hanya
memberi nuansa “bagaimana kita mencapai kesuksesan dunia, atau lebih tepatnya
kesuksesan materiil,” sedangkan “buku ini sangat padat dengan nuansa rabbani
tanpa mengesampingkan sisi-sisi duniawi.”14
Pengadopsian ini tidak bisa dijelaskan dengan sekadar mengatakan bahwa
produsen buku berhasil memperhatikan dan memanfaatkan ceruk pasar yang ada
dengan teknik diferensiasi dan diversifikasi produk. Memang sebelum tren
subgenre ini muncul, literatur swa-bantu yang tidak mengadopsi wacana agama
telah lebih dahulu jadi tren dan meraup pangsa pasar yang sangat besar, terutama
dalam bentuk terjemahan dari bahasa Inggris. Terjemahan buku-buku karangan
Stephen Covey, Daniel Carnegie, Deepak Chopra, Daniel Coleman, Robert T.
13 Sayangnya data tentang tahun terbitan pertama buku ini dalam bahasa Belanda tidak berhasil
ditemukan. Lihat M. Yunan Nasution, Ilmu Bergaul, Medan: Pustaka Madju, tt., hlm. 3 (“Tutur Sepatah”) dan situs Wikipedia edisi Belanda di bawah entri “Dale Carnegie”.
14 Samson Rahman, “Pengantar Penerjemah”, dalam Aid Al-Qarni,
La Tahzan: Jangan Bersedih, Jakarta: Qisthi Press, hlm. ix. Begitu populernya buku ini sampai-sampai dia dimunculkan dalam film Naga Bonar Jadi 2 dan dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat yang tayang bulan Ramadhan beberapa tahun lalu di stasiun TV SCTV. Film dan sinetron ini sama-sama disutradarai oleh Dedi Mizwar, seorang tokoh perfilman Indonesia yang belakangan identik dengan karya-karya bernuansa Islami.
(28)
Kyosaki sangat populer di kalangan pembaca Indonesia.15 Mengatakan tren buku swa-bantu Islami ini hanya sekadar mengikuti kesuksesan komersial
buku-buku swa-bantu yang tidak membawa embel-embel ajaran Islam adalah penjelasan
sederhana dan “permukaan” atas dinamika perubahan kultural dan sosial-politik
masyarakat Muslim Indonesia. Di antara masalah yang tidak akan terjelaskan
dengan logika dagang “ada permintaan, ada barang” itu adalah kebutuhan apa
sesungguhnya yang coba dipuaskan oleh buku-buku swa-bantu Islami itu, karena
kalau hanya nasihat atau tuntunan normatif berdasarkan ajaran-ajaran Islam,
bukankah tradisi masyarakat Muslim Indonesia sudah mengenal nasihat dan
tuntunan tersebut, meskipun melalui media lain? Dinyatakan dengan cara lain,
pertanyaannya adalah apa yang membedakan buku-buku swa-bantu Islami itu
dengan teks-teks normatif lain, baik dari segi bentuk dan cara penyampaian,
maupun dari isi substansi persoalan yang dibahas. Ataukah tuntunan atau bantuan
yang diberikannya memang sangat berbeda dari yang diberikan oleh teks-teks
normatif tradisional?
Tak dapat diragukan bahwa perkembangan teknologi telah mempengaruhi
penyebaran teks-teks keagamaan di tengah umat Muslim Indonesia. Kemajuan di
bidang teknologi komunikasi memungkinkan orang berkirim teks dalam bentuk data
digital dari jarak jauh dalam waktu yang sangat cepat. Sebagai ilustrasi bagaimana
kecanggihan teknologi berimbas pada penyebaran tersebut dapat dilihat dari
bagaimana seorang penulis atau penerjemah tidak perlu mengirimkan naskah
karangan atau terjemahannya dalam bentuk berkas-cetak kepada penerbit, cukup
dengan berkas-elektronik lewat email dan bisa langsung ditelaah oleh editor di
layar komputer tanpa harus membalik-balik kertas. Begitu pula dalam proses
15 Layak pula diperhatikan bahwa buku-buku ini hampir seluruhnya tetap mempertahankan judul
dalam bahasa Inggris ketika sudah terbit dalam edisi Bahasa Indonesia. Barangkali penerbit melakukan hal ini karena judul dalam bahasa Inggris itu sudah menjadi ikon yang mengacu pada suatu gagasan ideal yang telah memukau banyak orang. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dikhawatirkan tuahnya akan hilang.
(29)
cetak sebuah buku, kemajuan teknologi komputer telah memangkas waktu yang
diperlukan untuk penyuntingan (editing) dan tata letak (layout) secara revolusioner
dibanding cara-cara manual. Bayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan
seorang penyunting ketika harus menemukan kekeliruan penulisan kata depan
“dimana” dalam naskah setebal 300 halaman kwarto spasi ganda dan
membetulkannya menjadi “di mana” secara manual? Sedangkan kemajuan yang
paling berpengaruh dalam persebaran ini adalah kemajuan di bidang sistem
transportasi dan jasa ekspedisi yang menjadi jantung dari usaha yang dijalankan
perusahaan-perusahaan distributor buku.
Masyarakat Muslim memang sudah mengenal teks-teks keagamaan yang
lazim disebut kitab, yakni buku berbahasa Arab yang berisi pesan-pesan
normatif-teologis agama Islam. Mulai dari yang berisi pembahasan sederhana tentang tata
cara ibadah sehari-hari seperti berwudhu, mandi wajib, shalat, puasa, dan
sebagainya sebagaimana dalam kitab
Fathul
Qarib
yang jadi bacaan wajib santri tahun pertama di pondok-pondok pesantren sampai pembahasan yang mendalam
tentang tauhid (keesaan Allah) dan tashawuf (sufisme) seperti kitab Ihya ‘Ulum
al-Din karangan al-Ghazali. Terlepas dari fakta bahwa kemajuan-kemajuan tadi juga
memperluas persebaran kitab-kitab ini, namun kenyataan yang tak dapat dipungkiri
adalah bahwa teks ini hanya bisa dibaca oleh kalangan yang mendapat pendidikan
bahasa Arab dan disiplin-disiplin ilmu agama tradisional di pondok pesantren dan
sekolah-sekolah agama.
Kehidupan modern telah membawa perubahan pada sarana dan cara
komunikasi keagamaan beserta kode dan isi pesan yang dikomunikasikan.
Perubahan sarana dan mode komunikasi diakibatkan oleh pengadopsian teknologi
canggih dan sistem kapitalisme, sementara perubahan kode dan isi pesan
(30)
tentang kehidupan yang mereka jalani karena meluas dan meningkatnya taraf
pendidikan modern masyarakat Muslim Indonesia. Pendidikan modern memberi
akses bagi orang Muslim ke dalam berbagai informasi dan pengetahuan modern.
Alam pikiran modern yang terinternalisasi lewat pendidikan ini kemudian
melahirkan masalah-masalah yang dikonseptualisasi, dirumuskan dan didefinisikan
secara modern, begitu pula kondisi-kondisi yang memungkinkan pemecahannya.
Secara sosiologis, gejala perubahan sistem makna dan cara pemahaman ini lebih
kentara jika dilihat di lingkungan Muslim perkotaan (urban), karena orang Muslim
yang mengenyam pendidikan yang relatif tinggi akan memperoleh atau berusaha
memperoleh pekerjaan “kerah putih” yang lebih banyak tersedia di kota.
Maka maraknya buku-buku swa-bantu Islami tadi dapat diletakkan dalam
kerangka perkembangan ini. Di satu sisi, kemajuan teknologi telah memudahkan
proses produksi teks, mulai dari tahap pencarian tema dan bahan yang akan ditulis
sampai distribusi dan promosinya sehingga yang muncul kemudian adalah apa
yang dikatakan Francis Robinson sebagai “terkikisnya otoritas ulama sebagai
penafsir Islam.”16 Revolusi percetakan mengakibatkan berubahnya cara penyebaran pengetahuan umat Muslim yang semula bertumpu pada transmisi lisan
menjadi transmisi aksara. Robinson mengatakan bahwa “yang jadi inti transmisi
pengetahuan Islam adalah transmisi orang ke orang. Cara paling tepat untuk
sampai pada kebenaran adalah dengan mendengar langsung pengarang. Itulah
sebabnya mengapa ulama-ulama Muslim berkelana ke berbagai penjuru negeri
untuk mendengar dan belajar langsung dari ulama yang dianggap terpercaya.”17 Cara menuntut ilmu seperti ini juga dilakoni oleh ulama-ulama “tradisional”
Indonesia yang mau belajar ke kiai-kiai terkenal di berbagai tempat.
16
Francis Robinson, “Technology and Religious Change: Islam and the Impact of Print”, dalam Modern Asia Studies, 27, 1 (1993), hlm. 244.
17 Francis Robins,
(31)
Pergeseran titik tumpu transmisi pengetahuan ke arah keberaksaraan
dimungkinkan oleh perkembangan teknologi cetak dan sistem pendidikan modern
sehingga akhirnya “pengetahuan tidak lagi merupakan milik segelintir elit, namun
terbuka untuk dipahami bagi siapa saja yang bisa membaca, menghafal dan
mendengar.”18 Dari sisi pengetahuan keagamaan, pergeseran ini di satu pihak memungkinkan terjadi demokratisasi pengetahuan agama di mana setiap orang
relatif bisa mengaksesnya, dan di pihak lain mentransformasi otoritas keagamaan
para ulama sebagai pemegang otoritas pengetahuan keagamaan. Ulama mau tak
mau harus menyesuaikan cara mereka dalam membangun, menegaskan,
menunjukkan dan mempertahankannya.19
Di samping faktor pendidikan dan budaya modern tadi, sebagai produk
kultural yang telah jadi komoditas, maraknya buku-buku swa-bantu itu juga
dikarenakan meningkatnya permintaan pasar akibat perubahan situasi politik di
Indonesia di Era Reformasi yang memberikan kebebasan kepada masyarakat
Muslim mengekspresikan segala macam paham dan ideologi keagamaannya.
Dalam periode yang disebut Abdul Munip –seorang peneliti buku-buku terjemahan
dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia– sebagai “periode kebebasan” ini “negara
telah melonggarkan tekanan ideologisnya dan membuka kran demokrasi. Dengan
ideologinya masing-masing, penerbit-penerbit yang didirikan di periode ini justru
berhadap-hadapan sesama mereka sendiri dalam kontestasi ideologi dan merebut
pembaca setia, sebab negara yang sebelumnya jadi lawan ternyata telah beralih
lakon menjadi penyelenggara pertandingan dan menyerahkan otoritas wasit yang
18 Francis Robins, Ibid., hlm. 241.
19 Pendapat ini dinyatakan oleh Muhammad Qasim Zaman sebagai kritik terhadap pendapat
Robinson yang menyimpulkan bahwa perkembangan cetak menggerogoti otoritas keulamaan. “New religious intellectuals” are not indebted to the ‘ulama for their own understanding of Islam, nor do they acknowledge the ‘ulama’s superior claim to that understanding. But while all of this is true in practically all Muslim societies, what is often overlooked is that the way in which the ‘ulama themselves articulate their discourses is not monolithic. The critical question, then, is not whether their authority has increased or decreased, but how that authority is constructed, argued, put on display, and constantly defended.
(32)
akan mengatur permainan kepada mekanisme pasar (pasar perbukuan).”20 Sementara dari sisi ekonomi, “buku-buku reliji atau spiritual Islam memang masih
menunjukkan kedigdayaannya meskipun sebuah tema kadang dikeroyok puluhan
penerbit. Sebut saja tema shalat dhuha (shalat sunnah yang dilaksanakan di waktu
pagi menjelang siang) ataupun sedekah yang dengan berbagai judul dan
pengemasan ditawarkan oleh penerbit. Namun, anehnya semuanya kadang bisa
laku normal (3.000 eksemplar).”21
Meningkatnya permintaan buku-buku populer Islam dilatarbelakangi oleh
keinginan masyarakat Muslim Indonesia untuk memenuhi kebutuhan akan
wacana-wacana keislaman yang sebelumnya tidak tersedia. Kebutuhan itu bisa berbentuk
kebutuhan akan wacana yang membahas masalah-masalah kehidupan yang
memang belum tersedia dalam buku-buku atau kitab-kitab lama, bisa juga
berbentuk kebutuhan akan wacana yang disampaikan lewat bahasa Indonesia
yang lebih gampang diakses, meski masalah yang dibicarakan di dalamnya sudah
dibahas dalam kitab-kitab.
Di antara wacana yang beredar melalui tersebarnya buku bergenre
swa-bantu Islami adalah wacana kemusliman modern, karena pengertian dan ciri-ciri
buku swa-bantu bertumpu pada “kedirian” pembaca sebagai seorang individu yang
hidup di alam modern (sebagaimana yang dicerminkan kata self dalam istilah
self-help books).
Hal ini perlu digarisbawahi karena kehidupan modern mengharuskan
seseorang menjadikan dirinya sebagai “proyek.” Pertanyaan “Bagaimana aku akan
menjalani hidup ini” harus dijawab dan diputuskan hari ke hari di tengah berbagai
20
Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang
Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 203.
21
Bambang Trim, "Bahaya Bisnis Penerbitan, " dalam blog Indonesia Buku, diakses dan diunduh 05 04 2010.
(33)
pilihan dan kemungkinan yang tersedia. Penyebab keadaan ini adalah ciri
kehidupan modern yang bertumpu pada keraguan radikal di mana pengetahuan
apa pun selalu mengambil bentuk hipotetis yang terbuka untuk direvisi dan
dirombak. Prinsip ini berakibat pada lahirnya sistem-sistem pengetahuan yang
terspesialisasi dan saling mengkritisi satu terhadap yang lain: dari sini lahirlah
pilihan-pilihan. Sehari-hari seorang Muslim dihadapkan pada berbagai pilihan,
mulai dari jenis makanan yang akan dikonsumsi agar sehat sampai ke jenis orang
kurang mampu yang seperti apa zakat atau sedekah akan diberikan, misalnya.
Selain itu kehidupan modern adalah kehidupan penuh risiko, karena
kemampuan prediktif ilmu pengetahuan rasional tidak hanya memetakan risiko,
akan tetapi juga menciptakan risiko-risiko baru yang di zaman sebelumnya belum
dikenal. Maka di antara tugas terpenting ilmu pengetahuan adalah antisipasi
terhadap kemungkinan-kemungkinan risiko yang ada. Misalnya, di zaman Nabi
dulu mungkin orang tidak akan perlu berpikir panjang tentang bentuk investasi apa
yang aman dan halal terkait dengan sistem moneter internasional.
Buku-buku swa-bantu dapat diletakkan dalam konteks ini, artinya buku-buku
itu mencoba menyuguhkan hikmah masa lalu yang bisa dipetik jadi pelajaran,
situasi dan kondisi faktual sekarang yang bisa dikelola sebagai peluang, dan
perkiraan masa depan yang bisa dicita-citakan oleh seorang individu. Tiga inti
orientasi waktu inilah yang dapat dia jadikan sebagai “bantuan”, “motivasi” dan
“inspirasi” tentang “bagaimana” (how to) membuat sebuah “diri” yang dia inginkan.
Tidak heran jika dalam bahasa populer genre buku swa-bantu juga disebut
“buku-buku kiat sukses” dalam hidup, sebab “diri” yang ingin dibantu pembikinannya oleh
buku-buku tersebut adalah diri yang “sukses” dalam pengertian seluas dan
seumum-umumnya istilah ini.
Pertanyaan yang kemudian muncul terkait dengan maraknya buku-buku
(34)
“pembuatannya” oleh buku-buku tersebut. Pertanyaan ini patut diperhatikan karena
masyarakat Muslim Indonesia modern, dihadapkan pada berbagai pilihan panduan
dan pandangan hidup. Masyarakat Muslim Indonesia, serta umat Muslim pada
umumnya, diwarisi identitas normatif keislaman yang jelas dari masa lalu.
Seseorang Muslim yang ditanya “Apa bukti Anda seorang Muslim?” akan
menjawab “Aku beriman pada keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad,
melaksanakan shalat, berpuasa, membayarkan zakat dan melaksanakan haji jika
mampu. Namun ketika ditanya “Sebagai seorang Muslim, bagaimana Anda
menjalani hidup sehari-hari, mengatasi kesulitan hidup saat ini dan merancang
kehidupan masa depan yang lebih baik?” belum tentu dia akan memberikan
jawaban sejelas dan setegas tadi. Dengan kata lain, dia merasa perlu
mempertimbangkan dan memilih sekian banyak alternatif tentang bagaimana
mengatasi kendala dan menggagas cita-citanya, di mana ajaran dan resep dari
tradisi Islam hanyalah salah satu dari sekian banyak alternatif tersebut.
Topik ini layak diperhatikan karena selama ini masalah bagaimana dan
seperti apa umat Islam Indonesia menghadapi perkembangan zaman modern
hampir selalu dibicarakan dari sudut pandang sosial-politik atau sejarah politik
Indonesia modern. Padahal peristiwa “menjadi orang Islam” (being Moslem) itu bisa
saja berlangsung dalam kehidupan keseharian dan terkait dengan hal-ihwal yang
kadang kala tidak terkait langsung dengan soal gerakan pembaharuan Islam
versus tradisionalisme, HAM dalam al-Quran, khilafah-isme, pendidikan pesantren
dan terorisme, dan sebagainya, melainkan soal bagaimana memilih nama bayi:
apakah akan diawali Ahmad atau tidak; apakah seorang balita akan dimasukkan ke
PAUD (pendidikan anak usia dini) milik sebuah yayasan sekolah Islam terpadu
atau TK milik yayasan Bhayangkara; atau apakah diet untuk berat badan bisa
(35)
Diungkapkan secara konkret, di sini kegelisahan yang jadi pemicu
dibicarakannya fenomena maraknya buku-buku swa-bantu Islam adalah seperti
apa gambaran buku-buku yang ditawarkan industri perbukuan Islam untuk
dibaca/dikonsumsi oleh kaum Muslimin Indonesia. Apa yang dijual di dalamnya
sehingga industri perbukuan menjadi alternatif bisnis dan lapangan pekerjaan? Apa
yang ditawarkan dan dikemas di dalamnya sehingga rak toko buku, stand pameran,
dan katalog cetak dan online dipenuhi oleh judul-judul buku dari genre ini? Orang
Muslim seperti apa dan yang bagaimana yang ada dalam judul-judul itu?
Berdasarkan latar belakang di atas, tesis ini akan mengkaji subjektivitas
kemusliman yang terwacanakan lewat produksi buku-buku swa-bantu Islami.
Pembahasan akan difokuskan pada dua hal: proses produksi wacana subjektivitas
kemusliman di arena perbukuan Islami-populer dan subjektivitas kemusliman yang
diwacanakan secara tekstual lewat “bantuan”, “kiat”, atau “panduan” yang
dicantumkan secara eksplisit maupun implisit dalam judul-judul buku tersebut.
Penelitian ini akan fokus pada judul-judul buku swa-bantu Islami karena
judul-judul inilah yang pertama kali dilihat dan dibaca pembaca sebelum
“memutuskan” membeli atau tidak. Judul-judul adalah ujung tombak yang dipakai
penerbit untuk menarik perhatian calon pembaca/pembeli.
Di sini perlu dinyatakan terus terang bahwa kajian ini tidak akan menyentuh
terlalu jauh perihal resepsi pembaca, meski secara teoretis setiap pembicaraan
tentang produksi mau tak mau harus mengikutsertakan pembicaraan tentang
konsumsi. Alasan tidak dilakukannya cara ini sederhana, namun mendasar, yakni
keterbatasan sumber daya dalam melakukan penelitian. Di sini hanya bisa
disampaikan harapan agar masalah resepsi pembaca atau konsumsi wacana
kemusliman yang terdapat dalam buku-buku swa-bantu Islami dapat dilakukan di
(36)
B. Rumusan Masalah
Untuk menjaga fokus kajian sebagaimana disampaikan di atas, penelitian
ini berpatokan pada rincian pertanyaan berikut:
1. Bagaimana proses pengadaan, penyeleksian dan pengolahan buku-buku
swa-bantu Islami dalam dunia penerbitan buku di Indonesia pasca-reformasi?
2. Pembaca Muslim yang bagaimana yang disasar oleh judul-judul buku
swa-bantu Islami?
3. Subjektivitas kemusliman seperti apa yang ditawarkan oleh buku-buku
swa-bantu Islami melalui judul-judulnya?
4. Apa jenis pengetahuan dominan yang disodorkan judul-judul tersebut dan apa
fungsinya bagi pembacanya.
C. Tujuan dan Manfaat
Sesuai dengan pokok-pokok persoalan yang dirumuskan di atas, penelitian
ini bertujuan untuk mendapatkan dan mengetahui gambaran umum proses
produksi buku-buku swa-bantu Islami dalam konteks industri perbukuan tanah air.
Di sini ada dua proses penting yang ingin diketahui: proses yang terkait dengan
pasar dan yang terkait dengan pernaskahan dan keredaksian.
Selanjutnya penelitian ini hendak mengetahui kategori dan ciri-ciri pembaca
Muslim seperti apa yang dituju secara eksplisit maupun implisit oleh judul
buku-buku swa-bantu Islami dan subjektivitas kemusliman yang ditawarkan di dalamnya.
Akhirnya, penelitian ini akan dikerucutkan pada sebuah tujuan yang lebih
mendasar, yaitu mengetahui wacana dominan apa yang mewarnai buku-buku
swa-bantu Islami yang marak, dan oleh karena itu laku keras, dalam hampir satu
setengah dasawarsa terakhir di Indonesia.
Adapun manfaat yang diharapkan dapat dipetik penulis maupun orang lain
(37)
Indonesia seperti apa dan yang bagaimana yang sedang ramai dibicarakan, yang
marak diwacanakan, secara tekstual. Dari sini penulis dan pembaca lebih kurang
akan mengetahui subjektivitas kemusliman yang sedang dikonstruksi melalui
wacana populer –untuk tidak mengatakan wacana non-ilmiah dan non-akademis.
Pengetahuan tentang subjektivitas tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai
salah satu pertimbangan untuk membicarakan (menulis) tentang salah satu
segmen umat Islam Indonesia ini. Sedangkan bagi umat Islam Indonesia itu sendiri,
dia dapat dipakai sebagai salah satu dasar sikap ketika diri mereka dibicarakan
(ditulis).
Terlepas dari itu semua, manfaat terbesar yang dicita-citakan penulis dalam
penelitian ini adalah diperolehnya pembacaan dan pengetahuan yang lebih segar
tentang bagaimana umat Islam Indonesia khususnya, dan umat beragama pada
umumnya, menyikapi dan mengolah tata kehidupan yang telah berubah menjadi
sebuah pasar maha besar, di mana hampir semua “yang ada” bisa jadi barang
dagangan.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian-penelitian yang telah ada terkait dengan topik yang dibahas di
sini dapat dipilah menjadi tiga kategori: penelitian yang mengaitkan dunia
perbukuan Islam Indonesia dengan situasi sosial politik Indonesia secara umum,
penelitian yang menitikberatkan pada dinamika dunia perbukuan Islam itu sendiri
sebagai salah satu bentuk industri media, dan penelitian yang mencoba mengkaji
kaitan literatur swa-bantu dengan masyarakat Indonesia.
Meski diakui bahwa kategori yang paling relevan dengan penelitian ini
adalah kategori terakhir, namun dua kategori pertama tetap ditelusuri secukupnya
karena dua alasan. Pertama, untuk mendapatkan latar belakang yang lebih luas
(38)
Indonesia yang tak pelak lagi memang dikepung oleh berbagai media, termasuk
media cetak. Kedua, penelitian atau tulisan kategori ketiga jumlahnya tidak banyak
dan masih berbentuk artikel-artikel lepas yang dipublikasi di media massa.
Di antara penelitian yang membahas hubungan dunia penerbitan Islam dan
situasi sosial politik Indonesia adalah tulisan C. W. Watson berjudul “Islamic Books
and Their Publishers: Notes on The Contemporary Indonesian Scene,”22 Robert W. Hefner berjudul Robert Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological
Rivalries among Indonesians Muslims,”23 dan tulisan Dale F. Eickelman dan Jon Anderson dengan judul “Print Islam and the Prospect for Civic Pluralism: New
Religious Writings and their Audiences,”1997).24 Watson berusaha menggambarkan ide-ide Islami dan topik-topik bahasan yang beredar di tengah
masyarakat Muslim Indonesia kontemporer yang kerap kali luput dari amatan
penelitian-penelitian yang cuma fokus pada elit politik kelompok Islam di pusat.
Watson juga berusaha melukiskan geliat generasi baru Islam Indonesia dalam
memperjuangkan identitasnya di ranah sosial-politik. Adapun Heffner mencoba
mengaitkan media cetak Islam dan pertarungan ideologis yang berlangsung di
dalam masyarakat Islam Indonesia. Golongan Islam konservatif cenderung
mengidentifikasi diri dengan media Islam tertentu sementara golongan yang lebih
moderat dengan media Islam lain. Sedangkan Eickelman dan Anderson melihat
dunia cetak secara umum di Indonesia tidak bisa dilepaskan oleh paham pluralisme
yang dimungkinkan oleh ideologi Pancasila. Buku-buku Islam yang terbit di masa
Orde Baru cenderung mengusung gagasan pluralisme yang dalam pengalaman
22
C. W. Watson, “Islamic Books and Their Publishers: Notes on The Contemporary Indonesian Scene,” dalam Journal of Islamic Studies 16:2 (2005) hlm. 177 dan 210;.
23 Robert Hefner, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesians Muslims,
Indonesia, 87, 1997
24
Eickmann, Dale dan Jon. W. Anderson, “Print Islam and the Prospect for Civic Pluralism: New Religious Writings and their Audiences,” Journal of Islamic Studies, 8: 1 (1997)
(39)
negara-negara Islam lain, terutama yang di Timur Tengah, agak sulit digulirkan. Hal
yang belum didalami lebih jauh oleh ketiga penulis ini, terutama oleh Watson yang
melakukan penelitian saat buku-buku Islam populer sudah sangat marak, adalah
hubungan konsumsi buku-buku ini dengan ekspresi ideologi serta pola
keberagamaan generasi baru Islam Indonesia yang tidak bisa lagi dilihat
berdasarkan kategori-kategori tradisional (Muhammadiyah atau NU, menerima
asas tunggal Pancasila atau tidak, dan lain sebagainya).
Terdapat satu penelitian yang dapat dikatakan menjembatani kategori
pertama dan kedua, yaitu disertasi Dr. Abdul Munip yang kemudian dibukukan
menjadi Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang
Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004.25 Dalam
penelitiannya, Munip memfokuskan diri pada seluk beluk penerbitan terjemahan
buku-buku (kitab) berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia serta latar belakang
historis yang memungkinkan proses tersebut. Dalam kesimpulannya Munip
menyatakan bahwa meledaknya buku-buku Islam populer di Indonesia, termasuk
yang terjemahan dari buku berbahasa Arab, dimungkinkan oleh faktor peningkatan
taraf pendidikan masyarakat Muslim Indonesia yang bermula pada era 1980-an
serta faktor pengebirian ideologi Islam oleh kekuasaan Orde Baru. Pengebirian ini
mendesak umat Muslim untuk mencari kanal-kanal penyaluran aspirasi
ideologisnya ke tempat lain selain jalur politik formal, salah satunya adalah pada
media buku.26
25 Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang
Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008
26 “Indikatornya antara lain meningkatnya penerbitan buku-buku agama, ceramah-ceramah,
seminar ilmiah, aktivitas keagamaan di kampus-kampus, padatnya jamaah masjid, semaraknya pengajian di kantor-kantor pemerintah maupun swasta, hingga meriahnya fashion show busana Muslimah di hotel-hotel berbintang. [...] Bagian Perpustakaan dan Dokumentasi Majalah Tempo dalam surveynya (1987) menyimpulkan bahwa kecenderungan bacaan 1980-an adalah cermin meningkatnya kajian keagamaan. Dari sebanyak 7.241 judul buku yang dihimpunnya sejak tahun 1980, buku-buku yang bertema agama jumlahnya 19.949. Dari jumlah terakhir itu, sebanyak 1374 (70,5%) adalah buku bertemakan Islam, baik
(40)
Sementara penelitian yang secara khusus mencermati maraknya
buku-buku Islam populer di Indonesia dalam konteks geliat industri perbuku-bukuan tanah air
di antaranya adalah di antaranya adalah dari Haidar Bagir berjudul “Kebangkitan
Industri Kreatif Muslim ”27 dan “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”28 dan Novriantoni berjudul “Membaca Peta Industri Perbukuan Islam,”29 dan Phillip J. Vermonte berjudul “Penerbitan Islam di Indonesia: Menuju Sebuah Print
Culture?”.30
Haidar Bagir, yang juga merupakan pendiri dan direktur Penerbit Mizan,
secara eksplisit memandang positif perkembangan industri perbukuan Islam
Indonesia, terutama dari perspektif ekonomi. Dia menyatakan
“Dilihat dari sudut pandang apa pun, penulis kolom ini berpendapat bahwa ini adalah perkembangan yang positif. Ia mendukung demokratisasi informasi dengan memperkaya tawaran informasi yang dilempar ke pasar bebas informasi.
Ia juga dapat memperkuat ketahanan ekonomi bangsa. Ya, kekuatan ekonomi
yang dapat dilahirkan oleh industri kreatif Islam ini --kalau tidak sekarang, di masa depan-- dapat terbukti merupakan salah satu pilar penting penyangga ekonomi kita. Hal ini sekaligus menunjukkan keuletan dan etos ekonomi dan bisnis kaum santri di Indonesia.” 31 (Cetak miring dari penulis)
Sedangkan kelompok sosial yang dianggap Bagir berada di balik geliat
perbukuan Islam ini adalah “kelompok kelas menengah Muslim” yang berasal dari
“kelompok yang dulunya tradisional dan berasal dari kelompok psikososial yang
‘bawah’ di satu sisi, dan kelompok ‘born again Muslim’ di sisi lain.”
dari penulis Muslim Indonesia maupun terjemahan atau saduran dari penulis asing.” Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004, Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, hlm. 184-186.
27
Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011)
28 Haidar Bagir, “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”, diakses dan diunduh dari situs
Mizan.com tanggal 16 November 2009, pernah dimuat dalam Tempo, edisi 19-26 Mei 2008
29
Novriantoni, “Membaca Peta Industri Perbukuan Islam”, dalam situs Jaringan Islam Liberal, edisi 19 Maret 2007, diakses dan diunduh 13 Mei 2009.
30 Phillip J. Vermonte, “Penerbitan Islam di Indonesia: Menuju Sebuah Print Culture?” dalam Rizal
Sukma dan Clara Joewono (ed.), Gerakan & Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, Jakarta: CSIS, 2007
31
Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011), hlm. 127.
(41)
Dalam artikelnya ini, Bagir memang sudah menyinggung apa yang jadi topik
utama penelitian ini dengan mengatakan bahwa kelompok kelas menengah Muslim
ini memiliki “kebutuhan baru untuk menunjukkan identitas keislaman yang lebih
kental.”32 Hanya saja apa yang melatari kebutuhan itu serta gambaran yang lebih konkret tentang identitas keislaman yang dimaksud belum sempat dia sampaikan.
Hal ini bisa dimaklumi mengingat ruang dan konteks tulisannya sebagai artikel di
sebuah majalah umum. Dia hanya menyinggung dalam sebuah kalimat pendek apa
bisa dijadikan kata kunci untuk meneruskan pembicaraan tentang identitas
keislaman yang dia maksud: “Bahkan bisa dikatakan, ia harus memenuhi berbagai
syarat yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup Muslim
modern.”33
Ada pun tulisan Novriantoni, seorang penulis yang aktif di komunitas
Jaringan Islam Liberal Jakarta, dan Phillip J. Vermonte, seorang sosiolog dan
peneliti ADB dari Filipna, memakai cara pandang yang lebih dikotomis dan
terang-terangan dibanding Haidar Bagir ketika melihat kelompok pembaca yang
mengonsumsi buku-buku Islam populer. Mereka membedakan segmen pembaca
menjadi golongan elit-terpelajar dan golongan awam, di mana buku-buku swabantu
Islami dimasukkan ke dalam kategori buku populer Islam dan diandaikan paling
banyak dikonsumsi oleh golongan awam. Secara khusus tulisan Vermonte
memang berniat menjawab pertanyaan sosiologis apakah maraknya buku-buku
32 Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September
2011), hlm. 127.
33
Haidar Bagir, “Kebangkitan Industri Kreatif Muslim,” dalam Gatra edisi khusus (7 September 2011), hlm. 127. Di bagian akhir tulisannya yang kedua, Haidar menyatakan demikian: “Inilah suatu perkembangan yang membesarkan hati, kalau saja pemikiran dan praktik Islam yang diwakilinya dapat tetap memelihara sifat modern, rasional, dan terbuka dari agama ini. […] Semangat zaman tampaknya akan berpihak pada kecenderungan seperti ini. Dengan demikian, ada harapan besar bahwa Islam dan buku-buku Islam di negeri ini akan berperan positif dalam menjamin kelanjutan kebangkitan dan tegaknya nation Indonesia yang multikulturalistik, maju, dan damai, tanpa kehilangan identitas religiusnya.” Lihat Haidar Bagir, “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”, diakses dan diunduh dari situs Mizan.com tanggal 16 November 2009, pernah dimuat dalam Tempo, edisi 19-26 Mei 2008. (Cetak miring dari penulis).
(42)
Islam populer itu menandai kemunculan budaya cetak (print culture) di tengah
masyarakat Indonesia di mana peran ulama merosot karena umat berusaha
mencari pengetahuan keagamaan secara mandiri? Sayangnya pertanyaan ini tidak
dijawab Vermonte dengan memuaskan, karena yang justru ditonjolkan dalam
tulisannya adalah kategorisasi buku-buku keislaman secara umum dan segmen
pembaca masing-masing –hal yang lebih-kurang juga dilakukan Novriantoni.
Nampaknya Vermonte mengandaikan adanya hubungan ketergantungan langsung
antara ulama dan umat, jika umat tidak lagi sering berinteraksi dengan ulama,
dengan sendirinya peran ulama dianggap merosot. Sedangkan Novriantoni
menakar terlalu rendah apa yang dia sebut segmen pembaca awam hanya karena
mereka tidak membaca buku-buku Islam yang “berat-berat.”
Selanjutnya buku berjudul Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja
karangan Adhe34 memaparkan informasi dan data-data tentang apa yang terjadi di “dapur” penerbitan buku. Meski penelitian yang melahirkan buku ini menyoroti
penerbit-penerbit di Yogyakarta dan tidak membedakan antara penerbit yang cuma
menerbitkan buku bertema Islam dan yang tidak, namun dia dapat memberikan
gambaran yang lumayan utuh tentang nasib sebuah buku semenjak masih berupa
“gagasan” yang ada di kepala penulis sampai terpampang di ruang pajang atau rak
toko buku.
Hal terpenting yang bisa diambil dari penelitian Adhe ini adalah dia
menyodorkan sebuah kenyataan tak terbantahkan bahwa apa pun jenis dan
bentuknya, apa pun dalih dan motif yang diklaim mendasari produksinya, buku
adalah barang dagangan.35 Yang perlu diselidiki lebih jauh lagi adalah apa yang
34
Adhe. Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja. Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit Jogja), 2007.
35 “Penerbitan adalah salah satu jenis pekerjaan ang juga tidak luput dari dipakainya
hukum-hukum dagang. Yang agak membedakannya dengan jenis aktivitas bisnis lainnya hanyalah sifat dari produk penerbitan yang sekaligus bermuatan wacana serta pengetahuan sehingga terkesan lebih bernilai
(1)
d. Pengetahuan yang ditawarkan buku swa-bantu Islami.
- Buku swa-bantu Islami lewat judul-judulnya menawarkan pengetahuan imajiner (connaissance) yang akan diidentifikasi oleh subjek pembaca. Subjek pembaca rasional diandaikan judul-judul tersebut akan mengidentifikasi dirinya dengan sosok keMusliman yang ditawarkannya. - Proses identifikasi ini akan berlangsung dengan cara objektivikasi.
Pembaca akan berusaha menguasai citra keMusliman yang ditawarkan, dan dengan pertimbangan rasional akan mengikuti cara atau kiat yang ditawarkan buku-buku tersebut untuk menguasainya.
B. Harapan
Secara pribadi, penelitian ini didasarkan pada rasa penasaran apa yang membuat genre swa-bantu Islam booming pada dasawarsa 2000-an. Secara akademis, penelitian ini ingin belajar menerapkan psikoanalisa Lacanian pada penelitian fenomena budaya kontemporer.
Terkait soal budaya masyarakat Muslim Indonesia kontemporer, masih banyak hal lain yang perlu didalami lewat penelitian lain di kesempatan selanjutnya, baik dari aspek teoretis maupun metodologis. Di antaranya, memilih teori dan konsep psikoanalisis Lacanian yang relevan secara sosiologis untuk masyarakat Indonesia, terutama untuk kajian-kajian religi dan budaya. Sementara secara metodologis, harus banyak dilakukan penelitian yang akhirnya bisa menemukan perumusan masalah keagamaan yang khas psikoanalisis.
Secara konkret dapat diusulkan wilayah yang dapat dieksplorasi dalam penelitian-penelitian yang akan datang. Di antaranya adalah wilayah bahasa dan sastra. Di sini dapat dielaborasi masalah bagaimana bentuk-bentuk bahasa puitik/metaforis bisa dipakai untuk menyemburkan makna-makna keislaman yang
(2)
baru dan segar dari lapangan religi dan budaya di nusantara, terutama kebudayaan Islam.
Tujuan yang ingin dicapai lewat harapan ini adalah mencari cara lain dalam menjawab persoalan yang selama ini hanya disebut dengan isu komodifikasi agama atau Islami politik.
Secara politis, dengan psikoanalisa diharapkan riset-riset akademis dapat mengkritisi kekuasaan baik ekonomi maupun politik dengan cara yang tidak heroik-narsistik, tapi dengan ironi (menertawakan dan mempermalukan nafsu sendiri).
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Adhe. Declare! Dari Balik Dapur Penerbit-penerbit Jogja. Yogyakarta: KPJ (Komunitas Penerbit Jogja). 2007.
Agustian, Ari Ginanjar. ESQ: Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Penerbit Arga cet. XXVIII 2006 (cet. I, 2001)
Al-Qarni , Aidh. La Tahzan: Jangan Bersedih!. diterjemahkan oleh Samson Rahman, Jakarta: Qisthi Press, cet. XVIII, 2005.
Askehhave, Inger. “If language is a game–these are the rules: a search into the rhetoric of the spiritual self-help book If Life is a Game–These are Rules, dalam
Discourse and Society, vol. 15 (1), 2004.
Bagir, Haidar. “Jagat Buku Islam dan Kebangkitan Nasional”, diakses dan diunduh dari situs Mizan.com tanggal 16 November 2009, pernah dimuat dalam Tempo,
edisi 19-26 Mei 2008
Bartholomew, Richard. “Publishing, Celebrity, and the Globalisation of Conservative Protestanism, dalam Journal of Contemporary Religion, Vol. 21, No. 1, 2006. Baudrillard, Jean, For A Critique of the Political Economy of the Sign, St. Louis, MO.:
Tellos Press, 1981.
Baudrillard, Jean, Seduction, Montreal: New World Perspectives, 1990. (dalam format PDF)
Baudrillard, Jean, The Consumer Society, London: Sage Publications, 1998. (dalam format PDF)
Bourdieu, Pierre. The Field of Cultural Production, London: Blackwell Publisher. 1993 Bracher, Mark. Lacan, Discourse, and Social Change: Psychoanalytic Cultural
Criticism, terj. Gunawan Admiranto, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Campbell, Kirsten. Jacques Lacan and the Feminist Epistemology, London: Taylor and Francis Routledge, 2004
Chaitin, Gilbert.Rhetoric and Culture in Lacan, Cambridge: Cambridge University Press, 1996
(4)
Unconscious Structured like a Language,Other Press....
Eickmann, Dale dan Jon. W. Anderson, “Print Islam and the Prospect for Civic Pluralism: New Religious Writings and their Audiences,” Journal of Islamic Studies, 8: 1 (1997)
Eidelsztein, Alfredo. The Graph of Desire Using the Work of Jacques Lacan, London: Karnac, 2009.
Faruk, “Buku-buku Islam dalam Konteks Ekstasi Komunikasi,” dalam Zuli Qodir et.al
(eds) Anotasi 200 Buku Islam Karya Muslim Indonesia, Yogyakarta: Dianinterfidei, 1998
Fink, Bruce. A Clinical Introduction To Lacanian Psychoanalysis (theory and Technique), London, England: Harvard University Press, 1997.
Fink, Bruce. The Lacanian subject: between language and jouissance, New Jersey: Princeton University Press, 1995.
Hasleden, Rebeca. “Love Yourself: The Relationship of the Self with itself in popular self-help texts,” dalam Journal of Sociology, Vol. 39 (4), 2009.
Hefner, Robert, “Print Islam: Mass Media and Ideological Rivalries among Indonesians Muslims, Indonesia, 87, 1997.
Kaminer, Wendy. Saving Therapy: Exploring The Religious Self-Help Literature, dalam
Theology Today, Vol. XLVIII, No, 3, Okt. 1991.
Kesel, Marc De. Eros and Ethics : reading Jacques Lacan’s Seminar VII, translated by Sigi Jottkandt, State University of New York: Sunny Press, 2009.
Kimman, Eduard J. J. M., Indonesian Publishing: Economic Organizations in a
Langganan Society, West German: Holandia Baarn, 1981.
Kleden, Ignas. “Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Tentang Kebudayaan”, dalam
Buku dalam Indonesia Baru, (ed.) Alfons Taryadi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, hlm. 7.
Lacan, Jacques. “The Ethics of Psychoanalysis 1959-1960,” Jacques-Alain Miller (ed.), THE SEMINAR OF JACQUES LACAN, translated with notes by Dennis Porter, New York, London: Norton & Company, 1997.
Lacan, Jacques. ĒCRITS (The First Complete Edition in English), Transleted by Bruce Fink in collaboration with Hēloȉse Fink and Russell Grigg, New York. London: W.W. Norton & Company, 2005.
Lacan, Jacques. Ēcrits A Selection, translated from the French by Alan Sheridan, London:TAVISTOCK Publication, 1997.
Larson, Jorgen & Crhister Sanne, “Self-help Books on Avoiding Time Shortage,” dalam
(5)
McGee, Micki. Self-Help Inc.: Makeover Culture in American Life, New York: Oxford University Press, 2005 (Dalam bentuk PDF).
Novriantoni, “Membaca Peta Industri Perbukuan Islam”, dalam situs Jaringan Islam Liberal, edisi 19 Maret 2007, diakses dan diunduh 13 Mei 2009.
Pfaller, Robert, “Where is Your Hamster?: The Concept of Ideology in Slavoj Zizek’s Cultural Theory,” dalam Geoff Boucher, et.al., Traversing the Fantasy: Critical Responses to Slavoj Zizek, London: Ashagate, 2005
Phillip, Brigid, “Analysing the Politics of Self-help books on Depression, dalam Journal of Sociology, vol. 45 (2), 2009.
Possamai, Adam. “Alternative Spiritualities and the Cultural Logic of Late Capitalism,” dalam Culture and Religion Vol. 4, no 1, 2000.
Sudati, Wiwik, “Menakar Kontribusi Buku-buku Spritual Populer, dalam Koran Tempo,
25 Februari 2007.
Sunardi, St. Hand out mata kuliah psikoanalisa di Program Studi Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, 2011-2012.
Thomas, Pradip. “Selling God/Saving Souls”: Religious Commodities, Spritual Markets and the Media,” dalam Global Media and Communication, Vol. 5 (1), 2009. Turner, Bryan S., “Religius Speech: The Ineffable Nature of Religious Communication
in the Information Age,” dalam Theory, Culture & Society, Vol. 25 (7-8), 2008. Vermonte, Phillip J. “Penerbitan Islam di Indonesia: Menuju Sebuah Print Culture?”
dalam Rizal Sukma dan Clara Joewono (ed.), Gerakan & Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, Jakarta: CSIS, 2007.
Watson, C. W., “Islamic Books and Their Publishers: Notes on The Contemporary Indonesian Scene,” dalam Journal of Islamic Studies 16:2, 2005.
Žižek, Slavoj (ed). Cogito and the Unconscious, Durham and London: Duke University Press, 1998.
Žĭžek, Slavoj (ed.). JACQUES LACAN Critical Evaluations in Cultural Theory,Volume IV Culture, London and New York: Routledge Taylor & Francis Group, 2002. Žĭžek, Slavoj. The Plague of Fantasies, London: Verso, 2008.
Situs Internet
(6)
Blog iboekoe Gramedia.com
Social Agency Baru.com Tempo online
Toko walisongo.com
Narasumber Wawancara
Ade Makruf (praktisi penerbitan dan penulis buku Daclare! Dari Balik Dapur Penerbitan Yogyakarta)
Anwar Basit (ex-editor penerbit Insan Madani dan pemilik percetakan RGB Yogyakarta)
Ashad Kusuma Djaya (pimpinan Penerbit Kreasi Wacana) Bambang Trim (pengamat industri perbukuan nasional) Hairus Salim (tokoh penerbit LKiS Yogyakarta)
Indra (pimpinan pelaksana dan editor kelompok penerbit AK Grup) Okdinata (karyawan Toko Buku Diskon Togamas Yogyakarta)