PERAN SANGGAR PENGAWAS DAN PENGAWAS SEKOLAH DALAM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH: Suatu Studi Deskriptif Kualitatif pada Pengawas SMP di Lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

(1)

DAFTAR ISI

ABSTRACT……… i

ABSTRAK……….. ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….. vi

DAFTAR TABEL……….. viii

DAFTAR GAMBAR... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ….………. B.Fokus Penelitian ………. C.Unit Analisis ………

1. Sanggar Pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah ..

2. Pengawas Sekolah ……….

3. Penjaminan Mutu Sekolah ……… D.Manfaat Penelitian ………

E. Tujuan Penelitian……….

F. Paradigma Penelitian ………...

1 17 19 20 21 23 24 26 26 BAB II PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN, SUPERVISI PENDIDIKAN DAN PENGAWAS SEKOLAH

A. Penjaminan Mutu di Bidang Pendidikan ... 1. Konsep Mutu di Bidang Pendidikan ……….. 2. Penjaminan Mutu di Sekolah ……….. B.Supervisi Pendidikan ………. C.Pengawas Sekolah dan Sanggar Pengawas Sekolah ……….. D.Telaah Terhadap Penelitian Terdahulu yang Relevan ………

31 31 35 39 58 69 BAB III METODE PENELITIAN

A.Model Penelitian ………. B.Pengumpulan Data Penelitian ………

1. Teknik Penentuan Informan ……… 2. Teknik Pengumpulan Data ……….. C.Teknik Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ….

72 73 73 74 77 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian …..………

1. Aktifitas dan Keberadaan Sanggar Pengawas ... 2. Program Kerja Kepengawasan dan Program Khusus Peningkatan

Kompetensi Pengawas ... 3. Visitasi ke Sekolah dan Teknik Supervisi ...

80 80 87 96


(2)

4. Peran Pengawas dalam Penjaminan Mutu di Sekolah ... B.Pembahasan Hasil Penelitian ………

1. Aktifitas dan Keberadaan Sanggar Pengawas ... 2. Program Kerja Kepengawasan dan Program Khusus Peningkatan

Kompetensi Pengawas ... 3. Visitasi ke Sekolah dan Teknik Supervisi ... 4. Peran Pengawas dalam Penjaminan Mutu di Sekolah ...

107 111 112 118 122 123 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan ……….

B. Rekomendasi………....

131 133

DAFTAR PUSTAKA……….. 136

LAMPIRAN ……….

1.Pedoman Wawancara

2.Matrik Satuan Kajian Penelitian 3.Transkrip Wawancara

4.Hasil Temuan Data dan Analisis Data 5.Lampiran Foto

142


(3)

DAFTAR TABEL

Tabel

1.1. Tingkat penguasaan kompetensi dasar pengawas ……….. 9 2.1. Dimensi Tugas dan Sasaran Pengawas ……….. 68


(4)

DAFTAR GAMBAR Gambar

1.1. Paradigma Penelitian ………..………… 28 2.1. Hakekat Pengawasan ………. 50 4.1. Diskusi antar pengawas di Ruang Pengawas ………. 84 4.2. Penataran yang diikuti pengawas dengan materi quality assurance …. 93


(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia di suatu negara, adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan di negara tersebut. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan standar dalam penyelenggaraan pendidikan. Setiap penyelenggara pendidikan berkewajiban untuk menerapkan dan mencapai standar itu agar memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Upaya meningkatkan mutu pendidikan memerlukan perencanaan dan proses yang panjang. Meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan rancangan tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang perlu ditingkatkan, dan menghasilkan output yang paling unggul di antara sekolah-sekolah yang ada. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan memerlukan komitmen yang tinggi dari semua komponen yang menjadi penggerak sekolah tersebut. Tiap langkah dalam mewujudkan mutu pendidikan yang baik di sekolah memerlukan disiplin, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.

Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan fondasi sekaligus titik awal bagi pembangungn pendidikan nasional. Dikatakan sebagai titik awal karena peraturan perundangan ini disusun dan ditetapkan setelah gerakan reformasi nasional. Gerakan reformasi yang membawa perubahan yang mendasar pada segala sendi kehidupan berbangsa. Hal


(6)

itu juga berpengaruh pada bidang pendidikan terutama pada pengambilan kebijakanan nasional bidang pendidikan. Undang-undang ini membawa semangat dan paradigma baru dalam hal peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan. Produk hukum ini juga sebagai landasan untuk mempercepat tercapainya tujuan pendidikan nasional dengan memberikan amanah kepada pemerintah untuk membuat perangkat penunjang bagi penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang.

Landasan bagi percepatan peningkatan mutu pendidikan adalah seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat (17) yang berbunyi ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan Indonesia”. Hal ini berimplikasi bahwa setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia harus mencapai atau menerapkan standar pelayanan minimal di bidang pendidikan. Akan menjadi lebih baik lagi apabila satuan pendidikan bisa melampaui standar yang telah ditentukan. Kemudian ketentuan hukum ini juga bermakna amanah kepada pemerintah untuk merancang peraturan lanjutan sebagai penjabarannya. Pada pasal 35 ayat (4) UU Sisdiknas dinyatakan bahwa, ”Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah”. Inilah yang disebut amanah yang harus dilaksanakan di masa yang akan daatang.

Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan amanah sekaligus penjabaran dari UU Sisdiknas. Pada ketentuan ini, standar pelayanan minimal yang perlu disusun, dicanangkan, dan dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan, yakni meliputi :


(7)

(1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.

Tujuan dari diberlakukannya standar nasional pendidikan ini adalah seperti yang tertuang pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yaitu : “standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat”. Pasal ini mempunyai makna dan semangat bahwa penerapan standar dalam pendidikan tidak saja untuk meningkatkan kecerdesan intelektual peserta didik tapi juga membangun karakter bangsa. Semuanya ini akan bermuara pada kemajuan di semua sendi kehidupan masyarakat dan menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. Selain itu pasal ini juga bermakna bahwa penerapan standar, dalam hal ini standar pelayanan minimal pada penyelenggaraan pendidikan, merupakan tahap awal dari proses panjang dan komplek bagi suatu usaha penjaminan mutu pendidikan.

Mengingat demikian pentingnya penjaminan mutu pendidikan bagi kelangsungan dan kualitas generasi penerus bangsa, maka diamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan. Kemudian penjaminan mutu pendidikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan (PP No.19 / 2005 pasal 91 ayat (1) dan (2) ). Dengan demikian penjaminan mutu pendidikan dilaksanakan di semua jenjang pendidikan dan dilaksanakan di seluruh wilayah nusantara. Dengan kata lain penjaminan mutu


(8)

pendidikan secara nasional sebenarnya dimulai dari tingkat satuan pendidikan yaitu sekolah.

Dalam konteks manajemen mutu, PP No.19 tahun 2005 ini merupakan bagian dari penerapan manajemen mutu yang diaplikasikan melalui perangkat-perangkat seperti perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu (quality control), jaminan mutu (quality assurance), dan peningkatan mutu (quality improvement). Tanggung jawab manajemen mutu terdapat pada semua tingkatan manajemen dan implementasinya melibatkan semua orang pada semua unit dalam organisasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota/kabupaten dan pada organisasi tingkat satuan pendidikan. Hal ini dipertegas dalam pasal 91 ayat (3) bahwa penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.

Perencanaan mutu (quality planning) dalam konteks sekolah tentunya adalah pemenuhan kebijakan mutu terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan. Dengan demikian, sasaran dari program sekolah adalah pencapaian indikator-indikator kunci pada setiap standar yang ditetapkan. Perencanaan mutu harus disusun oleh segenap unsur-unsur sekolah dengan juga membangun komitmen untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja. Perencanaan mutu harus pula dikemas dan disusun secara sistematis mulai dari apa yang telah dicapai dan apa yang akan dicapai sesuai dengan target yang ditetukan secara rasional. Segala upaya yang dilakukan untuk mencapai mutu yang terbaik harus terencana dan


(9)

semuanya berada dalam kerangka waktu yang jelas. Jadi ada kesesuaian antara apa yang akan dicapai dan kapan hal itu tercapai.

Sementara itu dalam melaksanankan pengendalian mutu (quality control) dalam PP No.19 tahun 2005 dijelaskan bahwa dalam rangka pengendalian mutu akan dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, organisasi tingkat satuan pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP), dan Badan Akreditasi Nasional (BAN).

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 juga menjelaskan tentang penjaminan mutu pendidikan. Proses penjaminan mutu (quality assurance) dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang akan dan telah dicapai dan menentukan prioritas-prioritas peningkatan mutu, memberikan bahan untuk pengambilan keputusan berbasis data, dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan melalui pemenuhan 8 standar pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan.

Penjaminan mutu atau mutu bukanlah suatu tujuan akan tetapi suatu proses yang dinamis yang berlangsung terus menerus. Sebuah proses yang dalam dunia manufaktur atau bisnis, harus menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelumnya. Dalam konsep penjaminan mutu, proses produksi yang baik diletakkan dan dilekatkan pada tanggung jawab pribadi pelaku produksi. Proses produksi tidak begitu memerlukan kendali mutu (QC : quality


(10)

Akan tetapi sebenarnya inspeksi juga mempunyai peranan dalam proses penjaminan mutu (Sallis, 2010:59), namun dalam konteks yang berbeda. Proses yang panjang dan terus-menerus tentu sangat membutuhkan suatu unsur yang berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol. Oleh karena itu maka fungsi pengawasan sangat vital dalam kerangka pemantauan proses yang terjadi.

Dunia pendidikan juga mengenal fungsi pengawasan yaitu yang disebut pengawas sekolah. Pengawas sekolah merupakan pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah (Kepmendikbud RI Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Pebruari 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya). Pengawas sekolah juga berfungsi sebagai mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator, kolaborator, asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, pada ayat 3 dinyatakan “Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: mengawasi, memantau, mengolah dan melaporkan hasil pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan pada Satuan Pendidikan.


(11)

Kenyataannya pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian mutu pendidikan pada level satuan pendidikan sering dikesampingkan peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Bahkan, tidak jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut disalahkan ketika terjadi kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di kalangan sekolah.

Keadaan di lapangan juga memperlihatkan terjadinya penurunan kinerja pengawas satuan pendidikan di Indonesia. Hal ini seperti yang terungkap dari pengalaman penelitian dari Adaski (2010: 48-53) yang menyatakan bahwa saat ini kinerja pengawas menjadi bahan pembicaraan warga sekolah. Berdasarkan pengalaman Adaski sewaktu memimpin sebuah sekolah swasta di Jawa Barat, masih ada tindakan tidak terpuji oknum pengawas dengan cara ”nangok” atau meminta sejumlah uang kepada sekolah swasta yang baru buka. Tindakan seperti jelas sangat disesalkan mengingat seharusnya pengawas bertugas memberikan arahan dan binaan yang baik pada sekolah. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena beberapa faktor, diantaranya :

1. Rekrutmen pengawas hanya didasarkan pada senioritas atau memperpanjang usia pensiun bagi birokrat

2. Masih dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu.

3. Belum adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas 4. Dalam penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana


(12)

Hal ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang kegiatan supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa mengikutsertakan pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan oleh pengawas semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya keterlambatan pengawas merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru. Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu mengetahui dan memahaminya.

Supervisi pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, akreditasi, dan tindak lanjut perbaikan mutu belajar siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan perbaikan mutu. Target puncak supervisi adalah berkembangnya proses perbaikan mutu secara berkelanjutan; meningkatnya kebiasaan melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, dan membiasakan tiap tahap pekerjaan jelas pula mutunya. Dengan demikian meningkat pula kejelasan


(13)

pengaruh pelaksanaan tugas profesi pengawas terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya supervisi menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya yang selalu menjunjung target yang tinggi pada setiap langkah kegiatan.

Kondisi seperti ini menggerakkan pihak, yang berkepentingan terhadap peningkatan mutu pendidikan, untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Sebuah temuan dari survai yang dilakukan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa pengawas masih memiliki kelemahan dalam dimensi kompetensi supervisi manajerial dan supervisi akademik serta penelitian dan pengembangan (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2008: 1). Hal ini seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1

Tingkat Penguasaan Kompetensi Dasar Pengawas Sekolah No. Unsur Kompetensi TK / SD

N=77 SMP N=70 SMA/K N=295 1. 2. 3. 4. 5. 6. Kepribadian Sosial Supervisi Manajerial Supervisi Akademik Evaluasi Pendidikan

Penelitian dan Pengembangan

48,72 43,60 39,68 35,33 42,42 36,05 49,56 46,10 37,42 36,94 43,80 42,00 51,24 44,70 37,18 36,40 42,84 37,80

Kemudian ada banyak pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan baik oleh pusat maupun daerah untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Akan


(14)

tetapi pelatihan dan sosialisasi yang dilaksanakan selama ini dipandang kurang memadai untuk menjangkau keseluruhan pengawas dalam waktu yang relatif singkat. Selama ini, pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan karena waktunya yang singkat maka intensitas dan penguasaan materinya kurang optimal Berdasarkan kenyataan ini maka upaya peningkatan kompetensi pengawas harus dilakukan dengan strategi yang lain yang lebih inovatif. Salah satu strategi yang dapat ditempuh dengan melibatkan lebih banyak pengawas, dalam waktu yang singkat dan pada saat yang bersamaan serta sebaran wilayah yang luas, adalah dengan memanfaatkan forum Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) dan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wahana belajar bersama. Forum dan wahana belajar ini diharapkan akan lebih efisien dan efektif mengingat para pengawas belajar dalam suasana kesejawatan yang akrab namun akademis. Para pengawas diharapkan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman guna bersama-sama meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka di samping pula untuk memperkuat komitmen mereka untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah masing-masing.

Pengawas sekolah pun sekarang telah menempati posisi penting dalam dunia pendidikan dengan predikat sebagai profesi yakni profesi pengawas sekolah. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka menjalankan profesi pengawas adalah pembinaan sekolah secara menyeluruh dan juga pengembangan profesi kepengawasan sendiri.

Peran penting ini akan semakin terlihat apabila disandingkan dengan data kependidikan misalnya data tentang jumlah guru, siswa maupun sekolah terutama


(15)

di Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan Analisis Data Guru 2009 yang berbasis pada Sistem Informasi Manajemen Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (SIM NUPTK) per Juni 2009 didapatkan bahwa Jawa Timur memilik 383.881 guru dari semua jenjang mulai dari TK sampai SMA baik yang PNS maupun Non-PNS. Jumlah ini adalah yang tertinggi diantara seluruh provinsi di Indonesia atau sekitar 14,72% dari total guru di Indonesia yang berjumlah 2.607.311 orang guru. Berdasarkan sumber data yang sama dapat pula diketahui jumlah siswa yang terdapat di Jawa Timur yang berjumlah sekitar 5.866.089 siswa dari semua jenjang mulai dari TK sampai SMA di sekolah negeri dan swasta. Ini berarti yang tertinggi di Indonesia atau sekitar 14,08 % dari total siswa di seluruh Indonesia yang berjumlah 41.673.552 siswa per Juni 2009. Seluruh siswa di Jawa Timur ini teralokasikan pada sekitar 233.496 rombongan belajar atau kelas. Sementara itu, Jawa timur juga memilik sekitar 40.132 sekolah dari semua jenjang, negeri dan swasta. Ini juga tertinggi di Indonesia dengan sekitar 16,67% dari total sekolah di Indonesai yang berjumlah 240.678 unit sekolah. Suatu jumlah yang yang fantastis dan sangat perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan terutama dari pengawas sekolah.

Data di atas adalah sebagai obyek binaan dari pengawas sekolah. Obyek atau sasaran yang harus ditangani, dibina dan ditingkatkan mutunya. Peningkatan mutu masih menjadi isu yang krusial walaupun Jawa Timur memiliki indeks mutu pendidikan sebesar 4,7 yang berarti tertinggi di Indonesia (Dirjen PMPTK: 2009). Sementara itu, di lain pihak, berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh LPMP Jawa Timur dengan aplikasi SIM NUPTK dapat disajikan bahwa Jawa


(16)

Timur memiliki 350 orang pengawas rumpun mata pelajaran dan tersebar secara tidak merata pada 38 kabupaten dan kota. Kemudian untuk pengawas satuan pendidikan, terdapat 2.880 orang pengawas yang bertugas pada semua jenjang pendidikan dan semua bentuk pendidikan, in formal, formal dan non formal. Sungguh suatu perbandingan yang timpang apabila dikaitkan dengan jumlah sekolah yang sekitar 40.132 seperti diatas.

Berdasarkan Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, menyatakan bahwa jenis pengawas terdiri dari :

1. Pengawas Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA) 2. Pengawas Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI).

3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) 4. Pengawas Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) dalam

Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, atau Seni Budaya).

5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, Seni Budaya, Teknik dan Industri, Pertanian dan Kehutanan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata, Kesejahteraan Masyarakat, atau Seni dan Kerajinan).

Pengawas sekolah terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran. Wilayah dari tugas pengawas satuan pendidikan menurut Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 adalah


(17)

melaksanakan supervisi manajerial dan supervisi akademik dengan pendekatan jumlah sekolah yang di bina yang diuraikan sebagai berikut :

1. Pengawas Taman Kanak-Kanak melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah.

2. Pengawas Sekolah Dasar melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,

3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 7 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,

4. Pengawas Sekolah Menengah Atas melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,

5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,

6. Pengawas Sekolah Luar Biasa melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah.

Berkaitan dengan rekrutmen dan kualifikasi standar, untuk pengawas Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal ( TK/RA ) dan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah ( SD/MI ) minimum S1 atau D-4 kependidikan dari perguruan tinggi terakreditasi. Sebelumnya berpredikat sebagai guru dengan sertifikat pendidik dan berpengalaman sedikitnya 8 tahun atau 4 tahun sebagai kepala TK atau SD dan berpangkat minimum penata atau III/c. Sedangkan untuk pengawas SMP, SMA dan SMK minimum berpendidikan magister atau S2 kependidikan dengan berbasis sarjana (S1) dengan rumpun mata pelajaran yang relevan, dari perguruan tinggi yang terakreditasi. Sebelumnya berpredikat sebagai guru yang bersertifikat


(18)

pendidik dan mempunyai pengalaman minimum 8 tahun sebagai guru dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di jenjang tersebut, atau 4 tahun sebagai kepala sekolah pada jenjang tersebut.

Selanjutnya, memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; dan lulus seleksi pengawas satuan pendidikan.

Saat ini seorang pengawas sekolah harus mempunyai 6 (enam) kompetensi dasar sesuai dengan Permendiknas No.12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah yakni :

1. Kompetensi supervisi akademik yaitu kemampuan pengawas sekolah dalam melaksanakan pengawasan akademik yakni menilai dan membina guru dalam rangka mempertinggi kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakannya, agar berdampak pada kualitas hasil belajar siswa. Oleh karena itu sasaran supervisi akademik adalah guru dalam proses pembelajaran, yang terdiri dari materi pokok dalam proses pembelajaran, penyusunan silabus dan RPP, pemilihan strategi/metode/teknik pembelajaran, penggunaan media dan teknologi informasi dalam pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran serta penelitian tindakan kelas.

2. Kompetensi supervisi manajerial yaitu supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi,


(19)

pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia (SDM) kependidikan, dan sumberdaya lainnya.

3. Kompetensi evaluasi pendidikan yakni kemampuan untuk menyusun kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan dalam bidang pengembangan serta menilai kinerja kepala sekolah, guru, dan staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

4. Kompetensi penelitian dan pengembangan yakni kemampuan dalam menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan serta mampu menentukan masalah kepengawasan yang penting untuk diteliti baik untuk tugas kepengawasan maupun untuk pengembangan karirnya sebagai pengawas.

5. Kompetensi kepribadian dan sosial yakni kemampuan dalam pengenalan diri, pengembangan diri, dan memberdayakan diri serta kemampuan dalam menjalin komunikasi yang efektif guna menumbuhkan peran serta dan kerjasama dengan pihak lain.

6. Kompetensi penelitian tindakan sekolah merupakan pengkhususan dan pendalaman lebih lanjut dari kompetensi penelitian dan pengembangan. Salah satu peran yang diharapkan dari seorang pengawas adalah menjadi agen perubahan (agent of change). Untuk melaksanakan peran tersebut, akan lebih efektif apabila mereka menguasai metode action research seperti penelitian tindakan sekolah ini. Dengan kompetensi ini pengawas


(20)

memiliki kemampuan metodologis untuk melakukan penelitian, sekaligus mengupayakan tindakan untuk memperbaiki sekolah binaannya.

Berbekal 6 (enam) kompetensi dasar inilah diharapkan seorang pengawas bisa tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional. Dengan tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional maka tujuan selanjutnya adalah dapat memberikan kontribusi pada peningkatan mutu sekolah. Mutu sekolah dalam hal ini adalah baik mutu proses belajar mengajar, mutu lulusan, kinerja dan kompetensi guru, maupun manajemen pengelolaan kelas dan sekolah yang dilaksanakan oleh guru dan kepala sekolah.

Peningkatan mutu pengawas tidak berhenti dengan penetapan standar kompetensi pengawas saja. Standar mutu pengawas dengan penguasaan kompetensi minimal akan sulit dicapai apabila dilaksanakan secara invidual. Kalaupun terjadi peningkatan mutu pengawas maka yang terjadi adalah perbedaan pencapaian standar kompetensi yang beragam diantara pengawas dan akan memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai standar mutu yang memadai. Oleh karena itu pemerintah membentuk semacam organisasi profesi pengawas yang bersifat non kedinasan. Organisasi ini dibentuk untuk mewadahi pengawas dalam rangka untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian kepengawasan di antara rekan sejawat mereka sendiri. Organisasi itu bernama Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) atau sering disebut dengan sanggar pengawas sekolah. Sanggar ini juga sama dengan sanggar lainnya yang dibentuk untuk guru mata pelajaran tertentu yang dikenal dengan Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru SD


(21)

atau guru kelas. Di dalam organisasi atau wadah ini diharapkan terjadi interaksi antar anggota yang seprofesi dan terjadi dalam suasana kesejawatan yang akrab antar anggota. Interaksi yang terjadi juga berupa saling berbagi informasi, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dan saling memberi solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.

B. Fokus Penelitian

Di dalam penelitian kualitatif masalah penelitian disebut dengan fokus (Moleong, 1989:68) atau dengan istilah yang lengkap adalah fokus penelitian (Idrus, 2009: 48). Fokus penelitian ditetapkan karena begitu banyak fakta yang ingin diketahui dan diungkapkan. Hal ini ditambahkan lagi dengan begitu banyak temuan lapangan yang akan membuat rasa keingintahuan untuk menelusuri lebih jauh. Namun demikian peneliti harus membatasi dirinya dan kajian penelitiannya agar penelitian ini tidak berjalan tanpa arah. Pembatasan area penelitian inilah yang disebut dengan fokus penelitian. Penetapan batas area penelitian ini untuk mencegah terjadinya kebingungan dalam memilih, memilah, mereduksi dan menganalisis data (Satori dan Komariah, 2009: 30).

Rincian mengenai maksud dari penetapan fokus penelitian adalah seperti yang dinyatakan oleh Moleong (1989: 69) bahwa, pertama, fokus penelitian dapat membatasi studi sehingga tidak tidak menyertakan hal-hal yang di luar penelitian. Kedua, penetapan fokus penelitian berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan – mengeluarkan informasi yang baru diperoleh dari lapangan. Dengan panduan dan arahan dari fokus penelitian maka peneliti dapat tahu data mana yang perlu dikumpulkan dan data mana yang, walaupun menarik,


(22)

karena tidak relevan, tidak perlu dimasukkan ke kumpulan data yang akan dianalisis di tahap selanjutnya.

Kemudian, dari penetapan fokus penelitian, akan “dipecah” atau diuraikan lagi menjadi pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian dimaksudkan untuk lebih mengoperasionalkan fokus penelitian (Idrus. 2009: 48). Operasionalisasi fokus penelitian nantinya akan membantu peneliti dalam mempertajam arah penelitiannya. Pertanyaan penelitian ini juga akan membantu peneliti dalam membuat pedoman wawancara guna mengumpulkan data dari lapangan, menentukan aspek data dan informasi yang perlu dikumpulkan, dan membantu melakukan koding pada saat analisis data.

Sebagai ilustrasi untuk memperjelas penetapan fokus penelitian dapat dinyatakan disini bahwa pengawas dengan 6 (enam) kompetensi dasar diharapkan bisa tampil sebagai pengawas sekolah yang berkompeten, profesional dan bermartabat. Dalam rangka lebih meningkatkan standar mutu pengawas maka pemerintah membentuk sebuah wadah sebagai sarana untuk meningkatkan keprofesionalan kompetensi pengawas sekolah. Wadah ini berupa sanggar pengawas yang dikenal juga dengan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Salah satu tujuan dari pembentukan sanggar pengawas adalah untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan mencari pemecahannya kemudian mengaplikasikannya kepada sekolah binaan serta sebagai sarana saling berbagi informasi dan pengalaman dalam pembinaan sekolah (Depdikbud, 1989: 7). Dengan demikian pengawas akan memberikan kontribusi yang besar kepada mutu sekolah.


(23)

Saat ini dengan adanya Standar Nasional Pendidikan dan akreditasi sekolah, ada penjenjangan mutu sekolah berdasarkan pencapaian 8 standar nasional pendidikan. Ada sekolah dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), Sekolah Standar Nasional (SSN), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pada sekolah dengan predikat SSN dan RSBI terdapat pernyataan mutu dan juga program peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan yang tertuang dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS). Berdasarkan hal tersebut diatas maka fokus penelitian ini akan mencoba mengungkapkan bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas serta peran sanggar pengawas sekolah, dalam hal ini Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) terhadap kinerja dan kompetensi pengawas sekolah. Kemudian dari hasil interaksi dan belajar mandiri dengan sesama pengawas akan ditelaah pula bagaimana peran pengawas sekolah tersebut dalam proses penjaminan mutu di sekolah binaannya.

Fokus penelitian diatas apabila diturunkan dan diuraikan dalam pertanyaan penelitian maka seperti di bawah ini :

1. Bagaimana aktifitas dan keberadaan sanggar pengawas sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Lumajang, Jawa Timur?

2. apakah sanggar pengawas tersebut mempunyai program atau kegiatan untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah?

3. Bagaimanakah kinerja pengawas sekolah terutama berkaitan dengan visitasi dan teknik supervisi yang digunakan dalam pembinaan pada sekolah binaanya?


(24)

4. bagaimanakah peran pengawas sekolah dalam proses penjaminan mutu pendidikan di sekolah binaannya?

C. Unit Analisis

Satuan kajian (unit of analysis) ditetapkan dalam penelitian kualitatif, karena berkaitan dengan keputusan penentuan sampel dan strategi sampling serta besarnya sampel yang akan diambil. Kadang kala satuan kajian itu bersifat perorangan dan bisa pula bersifat kelompok. Apabila sudah ditetapkan maka pengumpulan data dipusatkan di “sekitarnya”. Data yang dikumpulkan adalah apa yang terjadi dalam kegiatannya, apa yang mempengaruhinya, bagaimana sikapnya, dan lainnya.

Selanjutnya dari penetapan satuan kajian dikembangkan pula domain dan sub domainnya. Pengembangan ini disesuaikan dengan struktur yang dibangun atas bantuan kajian literatur dan pemahaman awal peneliti terhadap fokus penelitian. Dengan menentukan domain dan sub domain, maka akan memudahkan peneliti dalam menentukan batas-batas yang harus dieksplorasi di lapangan dan penelitian akan lebih terfokus.

Domain dalam unit analisis ini adalah kepengawasan dan mutu sekolah. Selanjutnya dari domain ini dipecah dan dipersempit menjadi sub domain dan komponensial agar lebih terfokus. Sub domain dan komponensial itu antara lain adalah :

1. Sanggar Pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) adalah wadah bagi para pengawas sekolah yang sifatnya non-kedinasan, tetapi menunjang tugas


(25)

kedinasan. Pada khasanah pendidikan di daerah, karena mengacu pada tempat atau wadah bagi orang yang berkeahlian khusus, seperti pengawas, maka biasanya forum ini disebut juga dengan sanggar pengawas. Forum ini merupakan tempat bagi pengawas untuk menyatukan pendapat, menyeragamkan pola kerja, dan menampung segala permasalahan kepengawasan yang perlu dipecahkan bersama. Berdasarkan petunjuk penyelenggaran MKPS (Depdikbud:1998), wadah ini telah mempunyai struktur organisasi dan jaringan, serta tujuan dan fungsi yang jelas, namun sebagai ujung tombak dari orgnisasi ini adalah MKPS yang berada di tingkat kabupaten dan kota.

Dalam struktur organisasi pada dinas pendidikan kabupaten atau kota, posisi sanggar pengawas hampir sama dengan sanggar-sanggar kependidikan lainnya. Sanggar itu antara lain sanggar untuk guru mata pelajaran baik pada sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas, sanggar untuk kepala sekolah dan ada pula sanggar untuk guru kelas bagi sekolah dasar. Sanggar atau forum ini diharapkan bisa menjadi wadah bagi para guru dan kepala sekolah untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Peningkatan kompetensi dan kinerja anggota sanggar bisa dilakukan dengan cara saling berbagi antara anggota yang senior dengan anggota yang junior. Selain itu juga dengan cara berbagi pengalaman dan pengetahuan dalam melaksanakan, misalnya pembelajaran atau penelitian tindakan kelas.

Oleh karena itu aspek-aspek yang akan digali adalah (i) bagaimana struktur sanggar pengawas, (ii) bagaimana mekanisme dan interaksi yang terjadi di dalam sanggar tersebut, dan (iii) bagaimana mekanisme peningkatan


(26)

kompetensi pengawas melalui program yang dirancang melalui sanggar pengawas.

2. Pengawas Sekolah

Komponen yang akan dieksplorasi pada sub domain ini adalah : (i) bagaimana kinerja dan standar kinerja pengawas sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, dan (ii) bagaimana impact kinerja pengawas sekolah tersebut terhadap mutu sekolah binaanya.

Pengawas sekolah dalam hal ini adalah yang berdasarkan pada PP No.16 tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118 tahun 1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN No. 0322/O/1996 dan No.36 tahun 1996, dan Kep.Mendikbud No.020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya, serta Permendiknas No. 19 tahun 2005 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas. Dalam peraturan itu dapat disarikan bahwa pengawas sekolah adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi.

Pengawasan dan pembinaan pendidikan dalam hal ini pada konteks yang seluas-luasnya bukan hanya dalam hal pengajaran dan administrasi kependidikan tapi juga dalam pengembangan profesi. Pengembangan profesi yang dalam hal ini


(27)

berarti pengawas sekolah juga harus mampu menjadi penggerak dan pemicu bagi pengembangan profesi guru. Pengembangan profesi guru dengan jalan memberi asistensi dan fasilitasi bagi guru dalam mengembangkan dan meningkatkan kompetensinya.

Kiprah pengawas dalam hal pembinaan pengajaran dan pengembangan profesi guru secara tidak langsung juga berpengaruh pada pengembangan dan peningkatan profesi pengawas itu sendiri. Pengawas sebagai profesi sebagaimana profesi yang ada lainnya, juga memerlukan perhatian untuk dikembangkan dan ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan PP No.38 tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan pasal 61 ayat (1) yang menyatakan bahwa tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional yang optimal.

3. Penjaminan Mutu Sekolah

Ada banyak pendapat tentang mutu tetapi mutu dalam dunia pendidikan, dan dalam hal ini pada tingkat satuan pendidikan, bertumpu pada dua hal pokok yaitu mutu pembelajaran dan mutu guru (Sallis, 2010: 86, Hadis dan Nurhayati, 2010: 4). Dua komponen inilah yang dalam dunia pendidikan disebut sebagai pelanggan internal pendidikan. Disebut sebagai pelanggan karena pendidikan dipandang sebagai lembaga atau unit usaha yang bergerak pada bidang layanan atau jasa. Dua unsur ini juga menjadi indikator, baik secara bersama-sama ataupun


(28)

secara terpisah, bagi sekolah untuk bisa dikatakan sebagai sekolah yang bermutu atau tidak.

Berkaitan dengan sistem penjaminan mutu di sekolah maka berkaitan pula dengan berbagai sub-sistem yang membentuk sekolah dan proses yang terjadi di sekolah. Sub-sistem di dalam sekolah dalam hal ini adalah seperti yang termaktub dalam 8 standar nasional pendidikan. Standar nasional pendidikan dalam hal ini bisa dikatakan sebagai komponen internal sekolah. Kemudian ada pula komponen yang berada di luar sekolah yang juga memberikan kontribusi sekaligus juga sebagai sasaran dari sekolah yaitu para stakeholder pendidikan. Para pemangku kepentingan bidang pendidikan antara lain para orangtua siswa, dunia industri, pendidikan lanjutan, dan masyarakat sekitarnya. Dalam konteks penjaminan mutu pendidikan yang dilihat dari sebuah institusi sekolah adalah bagaimana sebuah sekolah tersebut melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pencapaian target mutu sehingga dapat memuaskan semua pihak.Semua pihak dalam hal ini adalah semua pelanggan internal dan pelanggan eksternal sekolah.

D. Manfaat Penelitian

Sanggar pengawas sekolah dapat dianggap sebagai organisasi profesi. Sebagai sebuah organisasi profesi, di dalamnya akan terjadi saling tukat menukar pengetahuan dan informasi yang berkaitan dan menunjang profesinya. Prinsip inipun sesuai dengan apa yang disebut community of practice. Konsep ini mengacu pada sebuah perkumpulan bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang spesifik dan kemudian bersepakat untuk saling berbagi pengetahuan dan informasi tentang ketrampilan dan keahlian tersebut agar posisi


(29)

mereka di hadapan publik pengguna jasa keahlian mereka, akan semakin kokoh dan mantap serta dapat mengikuti tuntutan pengguna (Wenger dalam

Organization 2000 7 : 225 - 245). Di dalam dunia pendidikan juga dikenal

dengan istilah Learning Organization yang menurut McGill (dalam Komariah, 2004: 58) bermakna organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan fasilitas belajar bagi semua anggotanya sehingga akan terjadi tranformasi secara terus dengan sendirinya sebagai cara untuk mengembangkan diri dan dalam rangka mengembangkan efektifitas organisasi. Fiol dan Lyles (1985: 803-813) juga menyatakan bahwa organizational learning adalah organisasi yang yang selalu memperbaiki tindakan-tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas. Berdasarkan paparan diatas, beberapa hal yang dapat disumbangkan penelitian ini antara lain adalah :

1. Secara teoritis penelitian ini hendak mengungkapkan apakah aktifitas seperti yang dikemukakan oleh McGill dan Fiol telah terjadi pada sanggar pengawas yang dalam hal ini adalah juga sebuah organisasi profesi. Aktifitas yang dimaksud adalah berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman diantara para anggotanya.

2. Berkaitan dengan kinerja pengawas sekolah, penelitian ini hendak melihat apakah kinerja pengawas sekolah dalam melakukan supervisi seperti apa yang diungkapkan Burton (dalam Purwanto, 2008 : 27) dan Arikunto (2004 :2 ) dapat terjadi di lapangan atau dalam kenyataan di masyarakat pendidikan.


(30)

3. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran menyeluruh kepada pihak berwenang di bidang pendidikan yang terkait, tentang bagaimana peran dan kinerja pengawas sekolah terhadap mutu sekolah binaanya. Selain itu juga akan dipaparkan pula bagaimana peran sanggar pengawas, dalam hal ini Kelompok Kerja Pengawas Sekolah, terhadap peningkatan kompetensi dan kinerja pengawas sekolah. Peningkatan kemampuan dan unjuk kerja pengawas akan berujung pada peningkatan mutu sekolah dan pendidikan di daerah bersangkutan.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peran dan pengaruh sebuah sanggar pengawas dalam hal meningkatkan kompetensi dan kinerja anggotanya melalui media belajar mandiri antar anggota. Di samping itu secara mendasar penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana peran pengawas sekolah baik terhadap kegiatan peningkatan mutu pembelajaran maupun pada proses penjaminan mutu di sekolah.

F. Paradigma Penelitian

Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma. Paradigma, menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong 1989: 33), adalah


(31)

kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.

Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungan) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Kuhn (1962: 67, dalam http://www.scribd.com/doc/37913447/paradigma-penelitian-kualitatif-2) mendefinisikan „paradigma ilmiah‟ sebagai contoh yang diterima tentang praktek ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. Penelitian yang pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama berkomitmen untuk menggunakan aturan dan standar praktek ilmiah yang sama.

Berdasarkan definisi di atas Baker (1992: 23, dalam http://sambasalim.com/metode-penelitian-/paradigma-penelitian.html)

mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan (tertulis atau tidak tertulis) yang melakukan dua hal: (1) membangun atau mendefinisikan batas-batas; dan (2) bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa mencapai tujuan ilmiah.

Dengan memakai landasan seperti diatas maka dalam penelitian ini paradigma penelitian seperti yang tergambar seperti di bawah ini :


(32)

Gambar 1.1 : Paradigma penelitian

Berdasarkan gambar di atas dapat dipaparkan bahwa, sebagai organisasi atau wadah bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang spesifik, di dalam sanggar pengawas seharusnya terdapat aktifitas atau program yang dapat menunjang bahkan meningkatkan kemampuan diri maupun kinerjanya. Peningkatan kemampuan diri sendiri ini bisa berarti secara individual seorang anggota organisasi ini bisa lebih baik, lebih luas wawasannya, dan menjadi pribadi yang lebih terbuka. Di samping itu anggota, peningkatan kemampuan juga bisa berarti peningkatan ketrampilan dalam bidangnya baik meningkat sampai pada tingkatan teknis, taktis maupun pada level strategis. Kegiatan-kegiatan itu dapat berupa kegiatan belajar mandiri, saling berbagi pengetahuan yang baru, saling berbagi pengalaman, dan secara lebih luas terdapat sinkronisasi pola kerja.

P R O S E S Sanggar Pengawas

 Proses belajar mandiri

 Sharing Knowledge

 Berbagi Pengalaman

 Sinkronisasi Pola Kerja

Pengawas yang berkompeten

 Secara Profesional

 Secara Individual

 Kepala Sekolah  Guru

 Perencanaan Mutu  Pelak. Mutu  Pencapaian

 Sekolah bermutu  Guru bermutu  Siswa bermutu 


(33)

Di dalam sanggar pengawas sekolah seharusnya juga terdapat kegiatan atau program seperti yang tersebut di atas. Dengan adanya kegiatan seperti itu, tentunya akan semakin meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Peningkatan kompetensi bisa terjadi baik pada kompetensi secara profesional maupun secara pribadi. Di dalam dunia kepengawasan terdapat 6 (enam) kompetensi dasar pengawas yang harus dikuasai oleh seorang pengawas. Kompetensi kepribadian berkaitan dengan kemampuan pribadi pengawas sekolah dalam membina hubungan yang harmonis dengan sesama maupun dengan subyek binaanya yaitu guru dan kepala sekolah. Selain itu juga berkaitan dengan kecakapan dalam melakukan komunikasi yang efektif serta keterbukaan dalam wawasan. Sementara kompetensi profesional mencakup kompetensi manajerial, akademis, penelitian dan pengembangan, evalauasi, dan penelitian tindakan sekolah.

Pengawas yang berkompeten tentunya akan mempengaruhi kinerjanya dalam kepengawasan dan pembinaan terhadap sekolah binaanya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Desti Irja (2008: 66-72) dalam penelitiannya tentang hubungan antara motivasi kerja dan kinerja pengawas sekolah. Dalam hal ini motivasi kerja adalah salah satu aspek dalam dimensi kompetensi kepribadian yang harus dimiliki seorang pengawas. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa motivasi kerja berhubungan positif dengan kinerja pengawas atau efektivitas kerja pengawas sekolah. Namun demikian faktor motivasi kerja saja tidak cukup untuk meningkatkan kinerja pengawas sekolah, tapi faktor pendidikan, ketrampilan, dan kepemimpinan organisasi perlu juga diperhatikan. Hal ini juga berarti tidak saja kompetensi kepribadian tapi juga kompetensi


(34)

manajerial, akademis, evaluasi, dan penelitian dan pengembangan serta penelitian tindakan sekolah.

Pengawas yang berkompeten dan berkinerja tinggi akan mempengaruhi mutu kepala sekolah dan mutu guru yang dibinanya. Pengawas ini juga akan terlibat dan memfasilitasi proses penjaminan mutu di sekolah binaanya yang terdiri atas kegiatan perencanaan mutu sertga pelaksanaan dan pencapaian target mutu.

Hasil dari semua proses dan keterlibatan aktif dari pengawas sekolah terhadap sekolah binaannya adalah terwujudnya sekolah yang bermutu. Di dalam sekolah yang bermutu terdapatn komponen siswa yang bermutu, proses pembelajaran yang bermutu serta lulusan yang bermutu. Puncaknya adalah naiknya kualitas pendidikan setidaknya di daerah tempat pengawas sekolah melaksanakan tugasnya, yaitu pendidikan di tingkat kabupaten / kota.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Model Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau ucapan, kata-kata, dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar yang meliputi transkrip wawancara, catatan lapangan, foto, rekaman audio, dokumen pribadi, memo dan catatan atau dokumen lainnya yang mendukung penelitian. Dalam usaha memperoleh pemahaman, maka peneliti tidak mereduksi narasi dan data lain menjadi lambang angka dan berusaha menganalisis data yang ada dengan segala kekayaan maknanya sedekat mungkin dengan kenyataan.

Namun demikian bukan berarti bahwa penelitian ini mendeskripsikan keadaan atau fenomena sekedar laporan kejadian tanpa suatu intepretasi ilmiah. Penelitian ini, seperti yang diungkapkan oleh Frankel (1998:379-402), Bogdan and Biklen (1982:27-29), dalam Satori (2009: 27-32) memiliki karakteristik, yang secara ringkas antara lain :

1. Penelitian kualitatif memiliki latar (setting) alamiah (natural) dengan sumber data langsung dari informannya, dan instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri. Pengumpulan data dengan penyebaran angket akan menjurus pada reduksi data pada angka-angka dan statistik. Sementara data tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial dan konteks pada saat pengambilan data. Oleh karena itu, pada penelitian ini, penggalian data


(36)

dilaksanakan pada suasana yang alami, berjalan apa adanya sehingga bisa ditangkap konteks dan bahkan gestures secara langsung dari para sumber informasi. Dan dengan demikian pula maka, peneliti bertindak sebagai alat atau instrumen dalam hal memaknai segala sesuatu yang ditampilkan dan diucapkan oleh informan.

2. Penelitian bersifat deskriptif, yang berarti narasi yang dihasilkan menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu fenomena itu terjadi. 3. Penelitian ini menjadikan fokus penelitian sebagai batas dari pembahasan.

Fokus penelitian kemudian dipecah lagi menjadi unit analisis, kategori, dan sub kategori yang dapat dijadikan patokan peneliti dalam mencari, menggali dan menganalisis data.

4. Desain awal penelitian ini bersifat tentatif dan verifikatif artinya desain bisa berubah sesuai dengan temuan data di lapangan.

5. Penelitian kualitatif ini menggunakan kriteria khusus untuk ukuran keabsahan data.

B. Pengumpulan Data Penelitian 1. Teknik Penentuan Informan

Untuk mendapatkan data, peneliti membutuhkan data dari informan, yang menurut Koentjaraningrat (1991 : 130) adalah orang yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan tentang suatu hal yang dia kuasai atau ketahui sepenuhnya. Oleh karena itu, untuk memilih informan yang baik, peneliti mendasarkan pada kriteria yang dikemukakan Spradley (1997 : 61 – 70) yaitu:


(37)

 Enkultusari penuh

Arti sebenarnya adalah informan adalah orang yang tahu benar tentang budaya setempat. Dalam konteks penelitian ini adalah orang yang mengetahui secara mendalam tentang kepecintaalaman  Keterlibatan langsung

Maksudnya adalah informan dalam penelitian merupakan orang yang tinggal atau berada di lokasi penelitian dan masih menjalankan tradisi atau budaya setempat.

 Waktu yang cukup

Dalam memilih calon informan maka harus pula mempertimbankan bahwa informan memiliki waktu yang cukup untuk wawancara.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif usaha yang dilakukan peneliti adalah untuk mendapatkan gambaran yang holistik tentang suatu fakta atau fenomena. Dalam rangka mendapatkan gambaran yang menyeluruh itu peneliti akan mengumpulkan data dengan proses sbb :

1. Wawancara

Wawancara bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam masyarakat serta pendirian-pendirian mereka. Wawancara adalah kegiatan bertanya pada “obyek penelitan” tentang suatu pokok permasalahan yang sangat dia pahami yang juga menjadi tema dari penelitian. Agar wawancara bisa menghasilkan data yang sesuai dengan tema penelitian dan agar wawancara tidak berlangsung tanpa arah yang jelas, dalam penelitian kualitatif digunakan alat bantu yaitu pedoman wawancara. Di dalam pedoman wawancara berisi daftar pertanyaan yang detail untuk menggali lebih luas dan mendalam tentang suatu hal yang sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam tema penelitian. Namun demikian pedoman wawancara bukanlah sebuah harga mati yang selalu digunakan selama proses penggalian data dilaksanakan. Pedoman ini bersifat elastis dan bisa


(38)

berubah disesuaikan dengan kebutuhan data, karakteristik informan, dan kenyataan di lapangan lainnya yang tidak menentu dan tidak diketahui peneliti sebelumnya.

Teknik bertanya dalam wawancara ini adalah teknik wawancara tak berencana (unstandardized interview) dengan mendasarkan diri pada metode wawancara yang berstruktur (structured interview). Maksudnya adalah wawancara yang diberikan pada informan tidak dilakukan sesuai benar dengan daftar pertanyaan dengan urutan dan susunan kata-kata yang tetap. Daftar pertanyaan itu dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti dengan bahasa sendiri yang tidak kaku, bisa diterima dengan baik oleh informan sedemikian rupa sehingga sang informan tidak merasa kalau sedang diwawancarai.

Sebelum seorang peneliti melakukan wawancara, maka ada beberapa hal mengenai persipan sebelum wawancara yakni :

i) Seleksi orang yang akan diwawancarai

ii) Pendekatan terhadap orang yang akan diwawancarai

iii) Pengembangan suasana lancar dan wajar dalam wawancara.

Dalam hal orang yang akan dipilih untuk diwawancarai, ada dua istilah penting yaitu informan dan responden. Informan adalah orang yang mempunyai pengertian dan pemahamam yang mendalam tentang suatu hal yang juga menjadi pokok penelitian kita. Dari seorang informan kita akan dapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi. Informan secara umum digunakan pada penelitian kualitatif murni dan secara khusus digunakan pada penelitian Antropologis. Cara memilih dan menentukan informan dalam


(39)

suatu penelitian adalah memilih orang yang mempunyai keahlian tentang pokok wawancara. Sedangkan responden secara sederhana adalah orang yang kita tanya tentang respon yang bersangkutan terhadap suatu pertanyaan atau masalah yang kita sodorkan. Dari seorang responden kita akan dapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendirian atau pandangan, biasanya untuk kepentingan komparatif atau bahwa keterangan yang didapat nantinya mempunyi implikasi pada skoring. Cara pemilihan dan penentuan responden ini berdasarkan pada asas keterwakilan atau reperesentatifitas.

2. Observasi dan pengamatan

Observasi atau pengamatan menurut Moleong (1989 : 137-138) mampu mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dsb. Pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk melihat “dunia” sebagaimana yang dilihat oleh subyek penelitian, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subyek, dan menangkap kehidupan budaya setempat dari pandangan dan anutan para subyek pada waktu itu. Dalam pelaksanaan observasi, sudah tentu alat utama peneliti adalah indra visual beserta pedoman observasi yang disesuaikan dengan tema penelitian, dan juga didukung oleh kemampuan intrepretasi peneliti terhadap hasil “tangkapan” di lapangan. Kemudian dalam rangka pembuktian secara otentik dan pertanggungjawaban ilmiah dalam pelaporan hasil penelitian digunakan pula alat bantu dokumentasi seperti kamera dan alat perekam suara.


(40)

3. Telaah Dokumen

Telaah dokumen yang dimaksud adalah penggunaan data berupa tulisan dan catatan resmi, arsip-arsip, statistik, dan tabel yang telah ada dan dikumpulkan oleh pihak lain pada saat penelitan berlangsung. Sumber data ini tersedia dan diperoleh dari dokumentasi baik dari pihak sekolah maupun dinas pendidikan setempat. Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini terutama berkaitan dengan data mutu sekolah dan data tentang tenaga dan aktifitas kepengawasan di lingkungan dinas pendidikan setempat.

C. Teknik Analisis Data dan Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Analisis data adalah upaya untuk mencari benang merah atau kaitan antara masalah penelitian dengan dasar teoritis. Dalam hal ini analisis data dilakukan secara berkelanjutan sepanjang proses penelitian, dimulai semenjak pengumpulan data dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan “lapangan” atau data telah tercukupi.

Analisis data, menurut Paton (dalam Moleong:1989 :112) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar. Hal ini penting mengingat selama proses pengumpulan data, peneliti mengalami “kebanjiran” data yang berupa dokumen, catatan lapangan, hasil wawancara, dan juga rekaman audio. Pengorganisasian dan pengelolaan data ini bertujuan menemukan “tema” dari fokus penelitian ini.

Dalam pelaksanaannya, analisis data, pertama, dimulai dengan menelaah seluruh data yang telah terkumpul. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka langkah selanjutnya, yaitu yang kedua, adalah mengadakan reduksi data. Reduksi


(41)

data mengacau pada kegiatan seperti pemilihan, pemilahan, permfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian data mentah sehingga kemudian data yang disarikan memang sesuai dengan “jalur” yang dibatasi oleh fokus penelitian. Selain itu, data kualitatif direduksi dengan beberapa cara khusus antara lain dengan merangkum dan melakukan parafrase dan menjadikannya bagian dari suatu pola yang lebih besar. Langkah ketiga, adalah melakukan display data atau membuat suatu model bagi penarikan kesimpulan. Langkah

keempat, adalah melakukan verifikasi kesimpulan dari semua kegiatan pengolahan

data kualitatif seperti tersebut diatas (Emzir:2010 , Idrus:2009, Moleong: 1989) Menurut Satori (2009:126) suatu penelitian harus mengandung nilai terpercaya dan peneliti harus dapat mempertanggungjawabkan kebenaran hasil penelitiannya secara ilmiah kepada khalayak. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan beberapa cara dalam mempertanggungjawabkan keabsahan data yakni :

1. Perpanjangan keikutsertaan, yaitu rentang waktu yang cukup ketika terjun ke lapangan atau lokasi penelitian. Waktu yang cukup terutama berguna untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang kemungkinan dapat mengotori data atau bahkan mengaburkan dan membelokkan data dan fakta yang ada di lapangan. Selain itu, rentang waktu yang cukup bertujuan untuk membangun kepercayaan para informan terhadap peneliti dan membangun kepercayaan diri peneliti sendiri.

2. Ketekunan pengamatan, yaitu menemukan segala sesuatu baik itu ciri-ciri, unsur-unsur, kondisi, dan informasi yang relavan dengan fokus penelitian kemudian memfokuskan diri pada hal-hal itu secara lebih detail. Jadi


(42)

dengan demikian, apabila perpanjangan keikutsertaan menyediakan “wilayah” atau “arena” maka ketekunan pengamatan menyediakan “kedalaman” dari wilayah yang dieksplorasi.

3. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan kebasahan data yang secara umum memakai prinsip check and recheck. Ada beberapa macam triangulasi dalam literatur penelitian kualitatif dan yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber atau triangulasi subyek adalah cara meningkatkan kepercayaan data penelitian dengan mencari data dari beragam sumber yang masih terkait satu sama lain atau setidaknya sumber tersebut mempunyai pengetahuan di bidang yang menjadi fokus penelitian. Sedangkan triangulasi teknik adalah pengecekan derajat kepercayaan penemuan data penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data misalnya membandingkan hasil wawancara dengan hasil observasi. Cara lain yang ditempuh misalnya membandingkan hasil wawancara di hadapan orang lain atau di tempat publik dengan wawancara secara individual dan suasana informal ( Satori:2009, Idrus:2009, Moleong: 1989)


(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan lapangan dengan menggunakan wawancara dan observasi serta pembahasan hasil penelitian maka berhasil dirumuskan kesimpulan ini. Rumusan dalam kesimpulan ini juga berpegang pada panduan dari unit analisis dan kajian literatur.

1. Sanggar pengawas atau Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) adalah organisasi profesi non kedinasan yang belum dapat menerapkan wadahnya sebagai tempat untuk meningkatkan ketrampilan, keahlian dan pengetahuan tentang kepengawasan dan penjaminan mutu di sekolah. Sebuah wadah seperti sanggar pengawas sekolah seharusnya bisa menjadi seperti yang dikemukakan Lave dan Wenger (1998: 23) sebagai

community of practice. Sebuah community of practice adalah sekelompok

orang yang bergairah dalam berbagi sesuatu yang mereka ketahui dengan baik, dan mereka yang berinteraksi secara teratur untuk belajar melakukan pekerjaan mereka dengan lebih baik. Kegiatan diskusi dan saling berbagi informasi di dalam sanggar pengawas terjadi secara tidak teratur dan terencana.

2. Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wadah bagi pengawas untuk mengembangkan potensi dan kompetensinya tidak mempunyai program teratur dan terencana dalam mengembangkan organisasi, kompetensi, dan profesinya. Menurut Fiol dan Lyles (1985:


(44)

803-813) dan Dixon (dalam Komariah dan Triatna, 2004: 57-58) menyatakan bahwa dalam sebuah organisasi yang memerlukan keahlian seharusnya terdapat tindakan untuk mengembangkan pengetahuan, kebiasaan belajar, transformasi pengetahuan yang terur-menerus yang bertujuan memuaskan stakeholders. Sementara kegiatan seperti itu tidak terjadi di dalam sanggar pengawas. Pengawas dan sanggar pengawas lebih banyak melakukan kegiatan yang bersifat normatif berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Kegiatan yang untuk kepentingan peningkatan kompetensi tidak terdapat dalam agenda kegiatan pengawas maupun sanggar pengawas.

3. Pengawas sekolah kurang melakukan pelayanan kepada sekolah binaan maupun pada guru. Layanan seperti yang dimaksudkan oleh Sutisna (1983:248), Arikunto (2004: 10), Sahertian (2008: 18) adalah layanan yang teencana dan sistematis pada aspek teknis dan non teknis kepada guru-guru dan petugas sekolah lainnya dalam memperbaiki pengajaran dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya termasuk tujuan pendidikan, bahan-bahan pengajaran, serta metode evaluasi. Pada akhirnya layanan ini berujung, seperti yang dikemukakan Satori (2002: 27), pada keunggulan kompetitif sebuah sekolah yang dapat dilihat dari kualitas pembelajaran yang direfleksikan dalam hasil belajar peserta didik. Layanan yang tidak bisa diberikan secara optimal oleh pengawas sekolah disebabkan perbandingan jumlah pengawas dan sekolah binaan yang tidak seimbang. Selain itu supervisi yang dilakukan pengawas dilakukan secara massal


(45)

misalnya seperti penataran atau semiloka. Kunjungan ke sekolah yang dilakukan lebih banyak digunakan untuk berdiskusi dengan kepala sekolah saja.

4. Pengawas sekolah kurang berperan dalam memandu, membina, dan menfasilitasi proses penjaminan mutu di sekolah dan mutu proses pembelajaran. Padahal menurut Sallis (2010: 182) mutu proses pembelajaran atau guru yang mengembangkan proses pembelajaran adalah dasar bangunan yang penting untuk menyampaikan mutu dalam pendidikan. Charles Hoy (2000, dalam Safaruddin 2002: 47) juga menyampaikan bahwa mutu adalah hal yang esensial sebagai bagian dalam proses pendidikan. Proses pembelajaran adalah tujuan organisasi pendidikan. Perbaikan proses pendidikan adalah level tertinggi dari keunggulan yang akan dicapai. Pengawas kurang berperan karena kurang mempunyai pengetahuan dann ketrampilan di bidang penjaminan mutu pendidikan. Di samping itu program pengembangan sekolah dengan SSN dan RSBI adalah program dari pusat sehingga ada keengganan dari sekolah untuk difasiltasi, dimonitoring dan dievaluasi oleh pengawas dari daerah.

B. Rekomendasi

1. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota sebagai lembaga tertinggi yang mempunyai kewenangan dalam membuat kebijakan dan pengelolaan di bidang pendidikan tingkat daerah harus mempunyai inisiatif dan good will untuk me-revitalisasi dan memberdayakan sanggar pengawas (MKPS)


(46)

guna pengembangan kompetensi dan profesi pengawas sekolah. Revitalisa dan pemberdayaan dengan cara memperkenalkan konsep community of

practice atau lebih menfungsikan sanggar pengawas sebagai organisasi

profesi. Organisasi profesi pengawas sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip organisasi pembelajar.

2. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota beserta jajaran pengawas harus berinisiatif untuk membuat dan mengembangkan program atau kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan dan me-mutakhir-kan ketrampilan dan pengetahuan pengawas sekolah yang di samping berguna untuk meningkatkan kompetensi pengawas juga mengembangkan organizational

learning dan community of practice pada sanggar pengawas.

3. Pengawas sekolah, dengan peran dan kompetensinya, harus mempunyai andil yang lebih intens dalam proses penjaminan mutu pendidikan dengan menambah frekuensi visitasi ke sekolah binaan dan menggunakan lebih banyak variasi teknik supervisi pendidikan terhadap guru, kepala sekolah, maupun sekolah binaan.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi . Jakarta : Rineka Cipta. Barra, Ralph. (1986). Menerapkan Gugus Mutu : Strategi meningkatkan

Produktifitas dan Keuntungan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Bogdan, Robert C and Biklen, Sari Knopp. (1990). Riset Kualitatif untuk

Pendidikan : Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir.

Jakarta: Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas/IUC (Bank Dunia XVII).

Danim, Sudarwan. (2005). Visi Baru Manajemen Sekolah, Dari Unit Birokrasi ke

Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Darjat, Dahman. (2009). Pembedayaan Pengawas Sekolah dalam Penjaminan

Mutu Pendidikan. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak

diterbitkan).

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah,

Jakarta: Depdiknas.

………..(2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 tentang

Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.

………..(2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tentang

Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, Jakarta :

Depdiknas.

………(2005). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas, Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidi dan Tenaga Kependidikan. (2009).

Analisis Data Guru. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Peningkatan

Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Direktorat Pendidikan Menengah Umum. (1998). Petunjuk Penyelenggaraan

Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Jakarta: Ditjen Dikdasmen,

Depdiknas.

Direktorat Tenaga Kependidikan. (2008). Peta Kompetensi Pengawas Sekolah


(48)

Emzir. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa.

Fandy, Tjiptono. dan Diana, Anastasia. (2001). Total Quality Management. Jogyakarta: Penerbit Andi.

Gaspersz, V. (2008). Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hadis, Abdul. (2007). Supervisi Pendidikan Berbasis Manajemen Mutu Terpadu. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak diterbitkan).

Hadis, Abdul. dan Nurhayati. (2010). Supervisi Pendidikan dan Penjaminan Mutu

Pendidikan. Bandung.

Hoy, Charles. (2000). Improving Quality in Education, London: Palmer. Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial . Jakarta : Erlangga. Keputusan Bersama Mendikbud No. 03420/O/1996 dan Kepala BAKN No.38

tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118/1996 tentang

Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya. Jakarta: Dirjen

Dikdasmen.

Keputusan Mendikbud RI No.020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Koenjaraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Komariah, Aan dan Triatna, Cepi. (2004). Visionary Leadership Menuju Sekolah

Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, L.J. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya. Mulyasa, E. (2004). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: Remaja

Rosda Karya.

Mulyono, Nono. (2008). Supervisi Pembelajaran dalam Konteks Otonomi

Daerah. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak diterbitkan).

Ofsted. (2005). Ofsted inspection of teacher aducation. London: Office for Standards in Education.


(49)

Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional

Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2000. Jakarta: Dirjen PMPTK

Purwanto, M. Ngalim. (2008). Administrasi dan Supervisi Pendidikan.. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sahertian, Piet. A. (2008). Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam

Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia . Jakarta: Rineka Cipta.

Sallis, Edward. (2010). Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan . Jogyakarta: IRCiSod.

Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: Alfabeta.

Singarimbun, Masri dan Soffian Effendi (Penyunting). (1982). Metode Penelitian

Survai . Jakarta: LP3ES.

Sudarwan, Danim. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Suryadi, Ace. (2002). Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan. Jakarta:

Balai Pustaka.

Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. (2009). Paradigma Pembangunan

Pendidikan Nasional. Bandung: Widya Aksara Press.

Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional : Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

Tunggal, Amin Widjaja. (1993). Manajemen Mutu Terpadu : Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Umaedi. (1999). Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah : Sebuah

Pendekatan untuk Meningkatkan Mutu. Jakarta: Dir.Dikmenum, Depdiknas.

Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan


(50)

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Journal :

Adaski, Rensta. (2010). “Peranan Pengawas Sekolah dalam Pelaksanan

Supervisi”. Jurnal Tenaga Kependidikan, Edisi 4, No.1 pp 48-53.

Dodgson, Mark. (1993). “Organizational Learning : A Review of Some Literatures”. Organization Studies, Vol.14, No.3, pp 375 – 394.

Fiol, C.M., and A.L. Marjorie. (1985). “Organizational Learning”. Academic of Management Review, vol.10, No.4 (Oct.,1985), pp 803 – 813.

Huber, G.P. ( 1991). “Organizational Learning : The Contributing Processes and The Literatures”. Organization Science, Vol.2. No.1 (February 1991), pp 88 – 115.

Irja, Desti. (2008). “Hubungan Antara Motivasi Kerja dengan Efektifitas Kerja

Pengawas Sekolah di Kota Pekanbaru”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara,

Vol.8, No. 2 (Juli 2008), pp 66 – 72.

Lave, Jane. (1991). “Situating Learning In Community of Practice”. Perspective

on Social Shared Cognition. pp 63-82.

Levitt, Barbara. and March, J.G. (1988). “Organizational Learning”. Annual Review of Sociology. Vol. 14. pp 319 – 340.

McGregor, Jane. (2003). “Collaboration in Communities of Practice”. Rethingking Educational Leadership, pp 113 – 127.

Robinson, V.M.J. (1995). “ Organisational Learning as Organisational Problem

-Solving”. Leading and Managing. Vol. 1, No.1, 1995, pp 63 – 78.

Tsang, E.W.K. (1997). “Organizational Learning and the Learning Organization :

A Dichotomy Between Descriptive and Prescriptive Research”. Human Relations. Vol. 50, No.1, pp 73 – 86.

Wenger, Etienne. (2000). “ Community of Practice and Social Learning System”. Organization, Vol.7. No.2 (2000) pp 225 – 245.

--- , (2002). “ Cultivating Communities of Practice : A Quick Start-Up Guide.


(51)

Internet

http://pengawas20.wordpress.com/2011/04/02/tidak-ada-pendidikan-bermutu-tanpa-pengawas-sekolah-profesional/

http://apsipusatblog.blogspot.com/2008/05/asosiasi-pengawas-sekolah-indonesia.html

http://www.kemdiknas.go.id/tenaga-pendidik/tenagakependidikan/pelatihan/pengawas -sekolah.aspx http://pokjawas.org/indonesia/component/content/article/5-tugas-pokok-pengawas-sekolah.html

http://www.scribd.com/doc/37913447/paradigma-penelitian-kualitatif-2 http://sambasalim.com/metode-penelitian/paradigma-penelitian.html http://akhmadsudrajat.wordpress.com/

http://pmptk.kemdiknas.go.id/


(1)

guna pengembangan kompetensi dan profesi pengawas sekolah. Revitalisa dan pemberdayaan dengan cara memperkenalkan konsep community of practice atau lebih menfungsikan sanggar pengawas sebagai organisasi profesi. Organisasi profesi pengawas sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip organisasi pembelajar.

2. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota beserta jajaran pengawas harus berinisiatif untuk membuat dan mengembangkan program atau kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan dan me-mutakhir-kan ketrampilan dan pengetahuan pengawas sekolah yang di samping berguna untuk meningkatkan kompetensi pengawas juga mengembangkan organizational learning dan community of practice pada sanggar pengawas.

3. Pengawas sekolah, dengan peran dan kompetensinya, harus mempunyai andil yang lebih intens dalam proses penjaminan mutu pendidikan dengan menambah frekuensi visitasi ke sekolah binaan dan menggunakan lebih banyak variasi teknik supervisi pendidikan terhadap guru, kepala sekolah, maupun sekolah binaan.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi . Jakarta : Rineka Cipta. Barra, Ralph. (1986). Menerapkan Gugus Mutu : Strategi meningkatkan

Produktifitas dan Keuntungan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Bogdan, Robert C and Biklen, Sari Knopp. (1990). Riset Kualitatif untuk Pendidikan : Pengantar ke Teori dan Metode. Terjemahan Munandir. Jakarta: Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama Antar Universitas/IUC (Bank Dunia XVII).

Danim, Sudarwan. (2005). Visi Baru Manajemen Sekolah, Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Darjat, Dahman. (2009). Pembedayaan Pengawas Sekolah dalam Penjaminan Mutu Pendidikan. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak diterbitkan).

Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah, Jakarta: Depdiknas.

………..(2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.

………..(2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.

………(2005). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas, Jakarta: Depdiknas. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidi dan Tenaga Kependidikan. (2009).

Analisis Data Guru. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Direktorat Pendidikan Menengah Umum. (1998). Petunjuk Penyelenggaraan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.

Direktorat Tenaga Kependidikan. (2008). Peta Kompetensi Pengawas Sekolah Kabupaten Wonogiri. Jakarta: Ditjen PMPTK, Depdiknas.


(3)

Emzir. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa.

Fandy, Tjiptono. dan Diana, Anastasia. (2001). Total Quality Management. Jogyakarta: Penerbit Andi.

Gaspersz, V. (2008). Total Quality Management. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hadis, Abdul. (2007). Supervisi Pendidikan Berbasis Manajemen Mutu Terpadu. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak diterbitkan).

Hadis, Abdul. dan Nurhayati. (2010). Supervisi Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Bandung.

Hoy, Charles. (2000). Improving Quality in Education, London: Palmer. Idrus, Muhammad. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial . Jakarta : Erlangga. Keputusan Bersama Mendikbud No. 03420/O/1996 dan Kepala BAKN No.38

tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 118/1996 tentang Jabatan Fungsional Pengawas dan Angka Kreditnya. Jakarta: Dirjen Dikdasmen.

Keputusan Mendikbud RI No.020/U/1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.

Koenjaraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Komariah, Aan dan Triatna, Cepi. (2004). Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Moleong, L.J. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya.

Mulyasa, E. (2004). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya.

Mulyono, Nono. (2008). Supervisi Pembelajaran dalam Konteks Otonomi Daerah. Bandung: Disertasi Doktor SPs UPI Bandung (tidak diterbitkan). Ofsted. (2005). Ofsted inspection of teacher aducation. London: Office for


(4)

Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2000. Jakarta: Dirjen PMPTK

Purwanto, M. Ngalim. (2008). Administrasi dan Supervisi Pendidikan.. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sahertian, Piet. A. (2008). Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia . Jakarta: Rineka Cipta. Sallis, Edward. (2010). Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan . Jogyakarta:

IRCiSod.

Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Singarimbun, Masri dan Soffian Effendi (Penyunting). (1982). Metode Penelitian Survai . Jakarta: LP3ES.

Sudarwan, Danim. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Suryadi, Ace. (2002). Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan. Jakarta:

Balai Pustaka.

Suryadi, Ace dan Budimansyah, Dasim. (2009). Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional. Bandung: Widya Aksara Press.

Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional : Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

Tunggal, Amin Widjaja. (1993). Manajemen Mutu Terpadu : Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Umaedi. (1999). Manajemen Pendidikan Mutu Berbasis Sekolah : Sebuah Pendekatan untuk Meningkatkan Mutu. Jakarta: Dir.Dikmenum, Depdiknas. Undang-Undang Republik Indonesia No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan


(5)

Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Journal :

Adaski, Rensta. (2010). “Peranan Pengawas Sekolah dalam Pelaksanan Supervisi”. Jurnal Tenaga Kependidikan, Edisi 4, No.1 pp 48-53.

Dodgson, Mark. (1993). “Organizational Learning : A Review of Some Literatures”. Organization Studies, Vol.14, No.3, pp 375 – 394.

Fiol, C.M., and A.L. Marjorie. (1985). “Organizational Learning”. Academic of Management Review, vol.10, No.4 (Oct.,1985), pp 803 – 813.

Huber, G.P. ( 1991). “Organizational Learning : The Contributing Processes and The Literatures”. Organization Science, Vol.2. No.1 (February 1991), pp 88 – 115.

Irja, Desti. (2008). “Hubungan Antara Motivasi Kerja dengan Efektifitas Kerja Pengawas Sekolah di Kota Pekanbaru”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Vol.8, No. 2 (Juli 2008), pp 66 – 72.

Lave, Jane. (1991). “Situating Learning In Community of Practice”. Perspective on Social Shared Cognition. pp 63-82.

Levitt, Barbara. and March, J.G. (1988). “Organizational Learning”. Annual Review of Sociology. Vol. 14. pp 319 – 340.

McGregor, Jane. (2003). “Collaboration in Communities of Practice”. Rethingking Educational Leadership, pp 113 – 127.

Robinson, V.M.J. (1995). “ Organisational Learning as Organisational Problem -Solving”. Leading and Managing. Vol. 1, No.1, 1995, pp 63 – 78.

Tsang, E.W.K. (1997). “Organizational Learning and the Learning Organization : A Dichotomy Between Descriptive and Prescriptive Research”. Human Relations. Vol. 50, No.1, pp 73 – 86.

Wenger, Etienne. (2000). “ Community of Practice and Social Learning System”. Organization, Vol.7. No.2 (2000) pp 225 – 245.

--- , (2002). “ Cultivating Communities of Practice : A Quick Start-Up Guide.


(6)

Internet

http://pengawas20.wordpress.com/2011/04/02/tidak-ada-pendidikan-bermutu-tanpa-pengawas-sekolah-profesional/

http://apsipusatblog.blogspot.com/2008/05/asosiasi-pengawas-sekolah-indonesia.html

http://www.kemdiknas.go.id/tenaga-pendidik/tenagakependidikan/pelatihan/pengawas -sekolah.aspx http://pokjawas.org/indonesia/component/content/article/5-tugas-pokok-pengawas-sekolah.html

http://www.scribd.com/doc/37913447/paradigma-penelitian-kualitatif-2 http://sambasalim.com/metode-penelitian/paradigma-penelitian.html http://akhmadsudrajat.wordpress.com/

http://pmptk.kemdiknas.go.id/


Dokumen yang terkait

KEMAMPUAN PROFESIONAL PENGAWAS SMA DI LINGKUNGAN KANTOR DINAS PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 1 12

KEMAMPUAN PROFESIONAL PENGAWAS SMA DI LINGKUNGAN KANTOR DINAS PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN KABUPATEN SIMALUNGUN.

0 1 24

KINERJA PENGAWAS SEKOLAH DASAR DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (Studi Kasus di UPT Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen 2005/ 2006).

0 0 10

IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN FUNGSIONALISASI JABATAN PENGAWAS SEKOLAH TERHADAP PENINGKATAN KINERJANYA : Suatu Studi Deskriptif Analitis Terhadap Peningkatan Kinerja Pengawas Sekolah Rumpun Mata Pelajaran pada SMU di lingkungan Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Ba

0 3 65

PERUBAHAN KEBIJAKAN TENTANG JABATAN PENGAWAS SEKOLAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA PENGAWAS TK/SD : Studi Deskriptif Terhadap Pengawas TK/SD di Lingkungan Kantor Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Lebak.

0 0 38

IMPLIKASI FUNGSIONALISASI JABATAN PENGAWAS SEKOLAH TERHADAP POLA PENGEMBANGAN PENGAWAS SEKOLAH TK, SD, SDLB DI PROPINSI JAWA BARAT : Studi Deskriptif Analitis tentang Pengelolaan Pengembangan Pengawas Sekolah TK, SD, SDLB di Lingkungan Kanwil Depdikbud Pr

0 1 83

PENGARUH MOTIVASI DAN KOMPETENSI PENGAWAS TERHADAP KINERJA PENGAWAS SEKOLAH DASAR (Studi Deskriptif Analisis Kuantitatif Tentang Pengaruh Motivasi dan Kompetensi Pengawas Terhadap Kinerja Pengawas Sekolah Dasar di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bekasi).

0 0 7

PEMBERDAYAAN PENGAWAS SEKOLAH DALAM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN.

1 4 170

PERAN PENGAWAS PENDIDIKAN DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SMP DI KABUPATEN BIMA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

0 1 17

Short List Konsultan Pengawas Mutu Pendidikan

0 0 1