Rukun dan Syarat Murabahah

3. Yang melakukan akad adalah dua orang yang berbeda atau tidak sama 13 . Sedangkan mengenai syarat barang yang diperjual belikan mabi’ dengan syarat harga barang tsaman para ulama membedakannya 14 . Menurut mereka, syarat harga barang adalah harga pasar yang berlaku ditengah masyarakat secara aktual. Adapun syarat-syarat barang menurut para ulama fiqih adalah sebagai berikut: 1. Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya 2. Uang dapat diserahkan pada waktu akad atau dibayarkan kemudian 3. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan, maka barang yang dijadikan nilai tukar adalah bukan barang yang diharamkan syara’ seperti babi dan kh amr, karena kedua jenis ini tidak ternilai dalam syara’. Sedangkan syarat-syarat barang yang diperjual belikan yaitu: 1. Barang itu ada atau tidak ada di tempat akad tetapi penjual menyatakan kesanggupannya untuk menyediakan barang tersebut 13 Siti Arfah, “Strategi Pemasaran Produk Pembiayaan Murabahah dan Pengaruhnya Terhadap Pendistribusian dana BMT El Syifa Ciganjur, Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 25 14 Dedi Hapidin, “Aplikasi Murabahah di BMT al Fath Dalam Perspektif Hukum Islam” Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004, h. 21 2. Barang tersebut dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia 3. Milik seseorang penjual, bukan barang curian 4. Boleh diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi itu berlangsung Adapun ketentuan umum mengenai murabahah adalah sebagai berikut: 1. Jaminan Pada dasarnya jaminan bukanlah suatu rukun atau syarat yang mutlak untuk dipenuhi dalam ba’i al murabahah, namun jaminan dalam murabahah dibolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. Jaminan dimaksudkan agar si pemesan tidak main-main dengan pesanan. 2. Hutang dalam Murabahah KPP Pada dasarnya, penyelesaian utang si pemesan nasabah dalam transaksi murabahah KPP ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan si pemesan kepada pihak ketiga atas barang pesanan tersebut, apakah si pemesan menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban menyelesaikan utangnya kepada si pembeli dalam hal ini BMT Jika pemesan menjual barang tersebut sebelum masa angsurannya berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya. Seandainya, penjualan asset tersebut merugi seperti jika nasabah pedagang juga, pemesan tetap harus menyelesaikan pinjamannya sesuai kesepaatan awal. Hal ini karena transaksi penjualan kepada pihak ketiga yang dilakukan nasabah merupakan akad yang benar-benar terpisah dari akad al murabahah pertama dengan BMT. 3. Penundaan Pembayaran Oleh Debitor Yang Mampu Seorang nasabah yang mempunyai kemampuan ekonomis dilarang menunda penyelesaian hutangnya dalam ba’i al murabahah ini. Bila seorang pemesan nasabah menunda penyelesaian hutang tersebut, pembali pihak BMT dapat mengambil tindakan, yakni mengambil prosedur hukum untuk mendapatkan kembali hutang tersebut dan mengurangi kerugian financial yang terjadi akibat penundaan. Rasulullah SAW mengingatkan penghutang yang mampu tetapi lalai dalam membayarnya dalam sebuah hadits yang berbunyi: ض ر ر ر با ع ج رع ا ع لا ب ا ع كل م ر خا فس ب ها ع ث ح ل ق ملس و ل ها س ها س ر ا ع ها : ملظ غلا لطم 15 . ك ر لا ا و ر ا ا حلا , ل ا حلا ف عج ر ل و لا حل ب . Artinya: “Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: Penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah zalim”. HR. Bukhari Dewan Syari’ah Nasional DSN juga menetapkan aturan sanksi atas nasabah yang mampu akan tetapi menunda-nunda pembayaran, 15 Ahmad Sunarno, Tarjamah Shahih Bukhari. Penerjemah Bisri Mustafa, dkk Semarang: CV As- Syifa’, 1991, h. sebagaimana fatwa DSN No. 17DSN-MUIIX2000 tertanggal 17 September 2000 yaitu: a. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja. b. Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi. c. Nasabah mampu menunda-nunda pembayaran atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi. d. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yakni bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya. e. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. f. Dana yang berasal dari denda diperuntukan sebagai dana sosial 16 . 4. Bangkrut Jika pemesan yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya karena bena-benar tidak mampu secara ekonomi dan bukan karena lalai sementara ia mampu, kreditor harus menunda 16 ------ Fatwa Dewan Syari’ah Nasional, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2000, h. 22 tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali. Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman dalam Surah al-Baqarah:280 yang berbunyi:                 . Artinya: “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan dan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Q.S Al-Baqarah:280

3. Jenis-Jenis Murabahah

Pada pelaksanaan pembiayaan murabahah pada bank atau lembaga keuangan syari’ah, terdapat dua jenis pembiayaan murabahah yaitu: a. Pembiayaan murabahah produktif Pembiayaan murabahan pada jenis ini bertujuan dalam rangka memperlancar kegiatan produksi ini mencangkup antara lain pembiayaan untuk pembelian bahan baku dan pembelian alat-alat produksi. b. Pembiayaan murabahah konsumtif Pembiayaan murabahah konsumtif adalah pembiayaan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan debitor dalam rangka membeli barang atau kebutuhan konsumtif, seperti pembiayaan untuk pembelian rumah, kendaraan atau kebutuhan rumah tangga 17 . Intinya, pembiayaan murabahah kosumtif ini diberikan untuk memenuhi kebutuhan pokok nasabahnya atau memenuhi kebutuhan sehari-hari.

4. Manfaat dan Resiko Murabahah

Ba’i al murabahah memberi banyak manfaat bagi lembaga keuangan syar’ah, salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem b a’i al murabahah juga sangat sederhana, sehingga memudahkan penanganan administrasinya di lembaga syari’ah tersebut 18 . Selain memberi manfaat, b a’i al murabahah ini juga memiliki bernagai resiko yang harus diantisipasi, diantaranya 19 : 1. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran 2. Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank atau lembaga keuangan tersebut membeli untuk nasabah, dan bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut 3. Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab, seperti: barang rusak dalam 17 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 109-110 Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, h. 151 18 Muha ad Syafi’i Antonio, Ba k Sya i’ah Suatu Pe ge ala U u , h. 151 19 Muha ad Syafi’i A to io, Ba k Sya i’ah Suatu Pe ge ala U u , h. 151- 152 perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya, atau spesifikasinya barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Dalam hal ini bank atau lembaga keuangan tersebut telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya maka barang tersebut menjadi milik bank. Dengan demikian bank mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain. 4. Dijual, karena ba’i al murabahah bersifat jual beli dengan hutang, maka ketika kontrak ditandatangani barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap asset miliknya, termasuk untuk menjualnya.

5. Pendapat Ulama Mengenai Murabahah

Jual beli dengan sistem murabahah merupakan jual beli yang berprinsip pada kejujuran transparansi dan kepercayaan amanah. Agar kejujuran dan kepercayaan dalam murabahah dapat direalisasikan, maka penjual harus menjelaskan beberapa hal sebagai berikut: a. Biaya-biaya yang bisa dianggap sebagai modal, dijadikan sebagai dasar laba, dan biaya yang tidak bisa dianggap sebagai modal tidak bisa djadikan sebagai dasar laba. Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang ini. Menurut ulama mazhab Maliki Al-Malikiah, keadaan ini dibagi menjadi tiga bagian: Pertama, bagian yang bisa dianggap sebagai pokok harga dan mempunyai bagian laba; Kedua, bagian yang bisa dijadikan sebagai pokok modal tetap tidak mempunyai bagian laba; Ketiga, bagian