Karakteristik Habitat Mangrove Bioekologi S. serrata dan Daya Dukung Habitat Mangrove TNK

5.1.2 Karakteristik Habitat Mangrove

Karakteristik habitat mangrove dianalisis dengan analisis statistik multivariabel, yaitu dengan menggunakan Analisis Komponen Utama PCAPrincipal Component Analysis. Hasil analisis matriks korelasi menunjukkan bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter tergambarkan pada dua sumbu utama F1 dan F2, dengan kualitas informasi masing-masing 43 dan 25, sehingga ragam karakteristik habitat mangrove menurut stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan sudah dapat dijelaskan melalui dua sumbu utama sebesar 68 dari ragam total. Parameter lainnya yang berada pada sumbu F3 dan seterusnya tidak dibahas disini, karena dianggap kecil pengaruhnya. Parameter yang berkontribusi pada sumbu utama F1 adalah DO, salinitas, tekstur substrat, BOD, dan kelimpahan S. serrata. Parameter yang berkontribusi pada sumbu utama F2 adalah kerapatan vegetasi, pH, kelimpahan makrozoobenthos, COD, dan temperatur. a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan dengan kelimpahan S. serrata pada sumbu F1 dan F2. b Diagram representasi distribusi substasiun penelitian berdasarkan paramater biofisik kimia lingkungan pada sumbu F1 dan F2. Gambar 32 Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli 2009. pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -2 -1 1 2 -- ax is 2 2 5 - - -- axis 1 43 -- Correlations circle on axes 1 and 2 68 A-1 A-2 A-3 B-1 B-2 B-3 C-1 C-2 C-3 pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL -3 -2 -1 1 2 3 -4 -2 2 4 6 -- axe 2 25 -- -- axe 1 43 -- Biplot on axes 1 and 2 68 Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 32 a untuk data pengamatan bulan Juli kondisi musim kemarau memperlihatkan adanya korelasi positif antara parameter kelimpahan S. serrata dengan BOD dan tekstur substrat yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sedangkan parameter DO, dan salinitas berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan S. serrata sangat dipengaruhi oleh tekstur substrat dan BOD. Peningkatan fraksi debusilt lumpur pada tekstur substrat akan meningkatkan kelimpahan S. serrata. Tekstur substrat dan kerapatan vegetasi mempunyai hubungan yang positif, semakin tinggi kerapatan vegetasi makin tinggi lumpur substratnya. Peningkatan salinitas akan berpengaruh negatif terhadap kelimpahan S. serrata , sedangkan BOD akan menurun bila DO meningkat. Kerapatan vegetasi membentuk sumbu F2 positif, dan mempunyai hubungan positif terhadap kelimpahan S. serrata. pH air yang terletak pada sumbu F2 positif, mempunyai hubungan yang negatif dengan temperatur dan COD, setiap peningkatan COD dan temperatur akan menurunkan pH dan menurunkan kelimpahan S. serrata. Dekatnya hubungan antara kerapatan vegetasi, tekstur substrat dan kelimpahan kepiting bakau menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan habitat bagi kepiting bakau. Hal ini telah dinyatakan sebelumnya oleh Moosa et al. 1985, yang menyatakan bahwa jenis kepiting bakau berdistribusi luas sesuai dengan sebaran geografi hutan mangrove di Indopasifik Barat, sehingga daerah perikanan kepiting bakau yang produktif diperkirakan selalu berada di sekitar hutan mangrove. Sedangkan McNae dalam Sihainenia 2008, menyatakan bahwa sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan hutan mangrove. Sistem perakaran vegetasi mangrove yang padat dan kusut, merupakan tempat yang aman bagi kepiting bakau untuk berlindung terutama ketika berada dalam keadaan bertubuh lunak setelah proses ganti kulit. Snedaker dan Getter 1985, menyatakan bahwa habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak sedimen, sehingga membentuk fraksi substrat dasar yang halus. Menurut Nybakken 1992, gerakan air yang lambat pada daerah hutan mangrove ditingkatkan oleh mangrove itu sendiri. Akar penyangga yang khas, memanjang ke bawah dari batang dan dahan mangrove, sangar banyak, padat, dan kusut, sehingga mengurangi gerakan air. Kondisi ini menyebabkan partikel substrat dasar yang halus akan mengendap di sekelilingi akar mangrove, membentuk kumpulan lapisan sedimen lunak dan sangat sulit dialirkan ke luar. Kepiting bakau memiliki tingkah laku menggali lobang dan membenamkan diri dalam lumpur untuk berlindung, terutama pada saat moulting. Nybakken 1992, menyatakan bahwa lobang-lobang itu juga berguna untuk komunikasi antar vegetasi mangrove mangal, yaitu dengan cara melewatkan oksigen agar masuk ke dalam substrat yang lebih dalam, sehingga dapat memperbaiki kondisi anoksik, mengingat substrat dasar hutan mangrove dicirikan oleh kadar oksigen yang rendah. Selain itu kanopi pohon mangrove menciptakan naungan yang sangat baik, sehingga dapat menjadi peredam sinar matahari untuk mencegah peningkatan suhu perairan. Dengan demikian hutan mangrove menjadi daerah perlindungan yang ideal bagi kepiting bakau. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi juga menjadikan hutan mangrove sebagai daerah asuhan dan mencari makan bagi kepiting bakau pada tingkat megalopa dan kepiting muda juvenil, yang setelah melewati stadia zoea akan kembali memasuki hutan mangrove. Setelah menetas, megalopa dan kepiting muda akan terbawa arus ke pantai atau muara sungai untuk mencari makan dan berlindung. Kerapatan vegetasi mangrove yang tinggi, juga menjadi sumber makanan alami bagi berbagai organisme yang berasosiasi di dalamnya termasuk kepiting bakau. Hutching Saenger 1987, menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya pneumatophore. Kelimpahan S. serrata dipengaruhi juga oleh salinitas perairan. Kasry 1996 meneliti bahwa salinitas yang sesuai untuk pemeliharaan larva kepiting bakau pada tingkat zoea berkisar antara 29-33 ‰, sedangkan pada fase megalopa perkembangan terbaik ada pada salinitas yang lebih rendah yaitu pada kisaran 21- 27 ‰. Penelitian Ong 1964 menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata S. serrata fase pasca larva pada salinitas 21-26 ‰ jauh lebih cepat dibanding pada salinitas 25-26 ‰ atau pada salinitas 30-31 ‰. Mardjono et al. 1992 menyatakan bahwa salinitas akan mempengaruhi keseimbangan cairan, koefisien penyerapan, tekanan osmosis, dan viskositas. Perubahan salinitas akan mempengaruhi sifat fungsional dan struktur organisme. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan salinitas, kepiting akan mengubah konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses osmosis dan difusi. Kisaran total salinitas yang dapat ditoleransi organisme kepiting bakau lebih besar pada perairan payau, asin atau sangat asin dibandingkan pada perairan tawar. Oleh karena itu, pada tahap akhir fase larva kepiting bakau harus mencari perairan muara sungai atau perairan hutan bakau yang salinitasnya lebih rendah untuk berlindung dan mencari makan Kasry 1996. Pengaruh salinitas terhadap kelimpahan S. serrata dapat diamati dengan jelas pada saat terjadi hujan di daratan. Runoff yang tinggi menyebabkan terjadinya salinitas 0 ppm di muara sungai, pada kondisi seperti ini biasanya nelayan sulit mendapatkan kepiting dengan menggunakan rakkang. Demikian juga yang terjadi pada saat konda, dimana air tidak pasang dan tidak surut, dimana lantai mangrove akan sedikit tertutup air selama 3-4 hari, pada kondisi ini kepiting sulit ditemukan. Diagram representasi stasiun penelitian, dalam kaitannya dengan parameter biofisik kimia lingkungan pada perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 32 b, memperlihatkan adanya 3 kelompok substasiun. Kelompok substasiun B1 dan B3 B1: zona perairan Teluk Perancis, B3: zona tengah hutan Teluk Perancis dicirikan oleh parameter kelimpahan makrozoobenthos, dan salinitas air yang tinggi. Sedangkan kelompok substasiun A1 zona perairan Muara Sangatta, A2 zona depan hutan mangrove Muara Sangatta, A3 zona tengah hutan mangrove Muara Sangatta, dan C3 zona tengah hutan mangrove Muara Sangkima dicirikan dengan adanya kerapatan vegetasi, tekstur substrat, BOD, dan kelimpahan S. serrata yang tinggi. Dan kelompok C1, C2, dan B2, dicirikan oleh parameter lain yang tidak terangkum disini.

5.1.3 Biologi Scylla serrata