Kenduung Pengelolaan Perikanan Tangkap S. serrata

karena itu, kebijakan penutupan musim harus dilakukan untuk membuka peluang pada sumberdaya kepiting bakau yang masih tersisa untuk memperbaiki populasinya. Indikator yang dapat dipakai untuk menunjukkan waktu penutupan atau pembukaan kegiatan penangkapan kepiting bakau adalah status siklus hidup dari sumberdaya kepiting bakau itu sendiri. Jika berdasarkan bukti-bukti ilmiah diketahui waktu kepiting bakau kawin, memijah, atau mengasuh anaknya, waktu itu harus dipertimbangkan sebagai musim penangkapan kepiting bakau ditutup. Pada lokasi Muara Sangatta rekruitmen kepiting S. serrata terjadi pada bulan Oktober, Januari, Desember dan Maret, dengan frekuensi induk matang gonade TKG IV tertinggi pada bulan Februari-Maret dan bulan Juli-Agustus. Oleh karena itu kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulan Februari-Maret- April dan Juli-Agustus perlu dilakukan untuk mencegah tertangkapnya induk betina yang matang gonade dan kepiting juvenil. Pada lokasi Muara Sangkima diduga rekruitmen kepiting S. serrata jantan terjadi pada bulan Februari dan April, sedangkan S. serrata betina terjadi pada bulan bulan Januari dan April. Puncak tertangkapnya induk betina matang gonade pada bulan Februari. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan penutupan musim penangkapan pada bulanFebruari-April. Untuk menganalisis apakah penutupan musim penangkapan dapat berpengaruh pada pendapatan nelayan, maka dilakukan tabulasi data RPUE j Gambar 40 menunjukkan bahwa secara umum alokasi upaya penangkapan RPUEj akan meningkat seiring dengan meningkatnya hasil tangkapan dan meningkatnya kelimpahan induk S. serrata matang gonade TKG IV. Bila pada bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan kepiting bakau, hal ini dapat berarti akan terjadi penurunan pendapatan nelayan kepiting bakau dan pasokan kepiting bakau ke pasar menjadi berkurang atau berhenti sama sekali. Namun kemungkinan ini dapat diantisipasi melalui produksi S. serrata dari hasil budidaya sylvofishery, yang akan dibahas pada bagian berikutnya. , puncak rekruitmen, dan hasil tangkapan catch seperti terlihat pada Gambar 40. Gambar 40 Dinamika RPUE j , kelimpahan TKG IV S. serrata, dan hasil tangkapan S. serrata pada Tahun 2009. Kebijakan penutupan musim penangkapan kepiting bakau dapat di- implementasikan secara baik dengan cara pengendalian dan pengawasan di basis- basis pemukiman nelayan untuk mencegah mereka melakukan kegiatan penangkapan kepiting bakau. Meski demikian, pengawasan langsung di lapangan atau di daerah penangkapan kepiting bakau masih perlu dilakukan untuk menjamin bahwa penutupan musim ini berlangsung secara efektif. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan di pasar karena seringkali adanya permintaan konsumen menjadi pendorong bagi nelayan untuk melanggar peraturan. 3 Pembatasan alat tangkap kepiting bakau Kebijakan atau pendekatan pembatasanselektivitas alat tangkap dalam manajemen sumberdaya kepiting bakau adalah metode pemilihan alat penangkapan kepiting bakau yang bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif dari stok kepiting bakau. Kebijakan ini mempunyai tujuan memberi kesempatan pada kepiting bakau yang produktif untuk bereproduksi dalam rangka mempertahankan keberlanjutan populasi S. serrata di alam. Dengan kata lain, penangkapan kepiting bakau dilakukan secara selektif hanya pada kepiting bakau yang tidak masuk dalam kategori ini. Dengan cara demikian, penangkapan kepiting bakau dapat dilakukan secara kontinyu karena kepiting bakau yang tidak ditangkap memiliki kesempatan untuk bereproduksi dan menghasilkan kepiting bakau muda yang akan berkembang dan memiliki kemampuan bereproduksi. Penangkapan kepiting bakau secara selektif berarti menjaga kontinyuitas kegiatan penangkapan kepiting bakau sehingga keberlanjutan sumberdaya kepiting bakau terjamin. Alat tangkap rakkang, yang cenderung menangkap kepiting yang berukuran kecil, direkomendasikan untuk digunakan pada lokasi zona depan hutan mangrove TNK. Alasan yang mendasarinya adalah karena pada lokasi ini cenderung lebih banyak terdapat kepiting muda yang berukuran kecil, sehingga dapat dijadikan sebagai benih pada budidaya sylvofishery. Pengaturan yang perlu dilakukan adalah pada ukuran diameter bukaan mulut rakkang. Diameter mulut rakkang diatur agar berukuran kurang dari 100 mm, sehingga hanya kepiting yang berukuran benih saja yang akan tertangkap, sedangkan kepiting yang berukuran besar terutama induk betina tidak dapat masuk ke dalam rakkang. Kepiting berukuran kecil ini bila ditangkap terus menerus akan menyebabkan habisnya stok induk di alam, karena kematian alami dari induk yang tidak tertangkap. Oleh karena itu, restoking induk dari sebagian hasil panen budidaya sylvofishery merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, sebagai kompensasi atas sumberdaya yang telah diambil dari alam. Alat tangkap rengge, yang cenderung menangkap hasil sampingan berupa induk S. serrata matang gonade yang sedang beruaya ke laut untuk memijah, sebaiknya tidak digunakan, terutama pada bulan-bulan dimana terjadi puncak frekuensi induk betina matang gonade. Alat tangkap pengait dapat digunakan pada zona penangkapan kepiting bakau di tengah hutan mangrove. Alat pengait cukup selektif menangkap kepiting yang berukuran besar. Selain itu penangkapan di zona tengah hutan mangrove juga berpotensi lebih besar memperoleh kepiting jantan. Penangkapan kepiting jantan akan membantu terbentuknya keseimbangan rasio kepiting jantan : betina dalam hutan mangrove. Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu, kebijakan ini dilakukan untuk melindungi sumberdaya kepiting bakau dan penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang dilarang. 4 Pengaturan jenis kelamin tangkapan kepiting bakau Ratio jantan betina pada zona tengah hutan dan depan hutan mangrove yang didominasi oleh kepiting jantan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran keseimbangan jumlah individu jantan dan individu betina Gambar 41 . Gambar 41 Rasio jantan betina pada tiga zona hutan mangrove. Jumlah individu jantan yang mendominasi dari sudut pandang reproduksi tidak menguntungkan, karena kepiting betina hanya memerlukan satu kali proses kopulasi untuk tiga kali lebih periode bertelur. Kepiting bakau betina memiliki spermatecha yang dapat menyimpan sperma dari kepiting jantan hingga beberapa bulan Phelan Grubert 2007. Dengan sifatnya ini, maka jumlah jantan yang lebih banyak dari betina menjadi tidak efektif. Untuk itu disarankan penangkapan kepiting bakau lebih diutamakan menangkap kepiting dengan jenis kelamin jantan. Penangkapan dengan alat tangkap pengait dapat mendukung saran ini karena penangkapan di lubang cenderung memperoleh kepiting jantan. 5 pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau Pemberlakuan kuota penangkapan kepiting bakau dapat dialokasikan menurut alat tangkap, kelompok nelayan, atau daerah penangkapan kepiting bakau. Namun pada pengelolaan perikanan tangkap S. serrata di TNK, kuota penangkapan dapat diterapkan sesuai daerah penangkapannya. Laju eksploitasi kepiting jantan dan betina di Muara Sangatta, keduanya sudah melebihi ambang batas maksimum, sehingga tidak boleh dilakukan penambahan upaya untuk penangkapan S. serrata, baik berupa penambahan unit alat tangkap, frekuensi 1 0,47 tengah hutan 1 0,85 depan hutan 1 2,5 perairan jantan betina penangkapan, maupun dari jumlah nelayannya. Kuota tangkapan yang dapat diberikan adalah berkisar antara 6 563 - 10 261 tontahun. Kuota penangkapan ini diperoleh dari angka pendekatan dari hasil analisis laju eksploitasi, yaitu perkiraan potensi S. serrata sebesar 18 488.80 kgth dikalikan dengan laju eksploitasi maksimal yang diperbolehkan yaitu terendah 0.355 sampai 0.555. Namun hasil simulasi sistem dinamik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kuota tangkapan setelah ada perbaikan dalam pemanfaatan mangrove, sehingga konversi mangrove yang semakin menurun akan menambah potensi stok S. serrata. 6 Restoking kepiting bakau Pengendalian yang dilakukan untuk menjaga kelangsungan hidup dari kepiting bakau dengan tetap menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat adalah dengan menggunakan metode restoking yaitu perbaikan kondisi kelimpahan kepiting bakau di suatu daerah dengan mengambil jenis kepiting bakau dari daerah lain untuk ditebarkan di daerah yang mengalami degradasi kepiting bakau. Restoking dapat juga dilakukan dengan mengembalikan ke alam sebagian dari hasil panen budidaya sylvofishery yang dilakukan oleh masyarakat. Pengembalian hasil panen, terutama jenis kepiting betina diharapkan dapat menjaga ketersediaan stok induk betina di alam. Penerapan metode ini dapat dilakukan pada saat penutupan daerah penangkapan kepiting bakau. Beberapa hal yang harus diketahui untuk menggunakan metode ini adalah pertama, kesesuaian parameter lingkungan dimana kepiting bakau dapat bertahan hidup diantaranya parameter fisika, kimia dan biologi. Kedua, harus diketahui bioekologi dari kepiting bakau sendiri. Kelemahan dari metode ini adalah akan terjadi homogenitas spesies karena kebanyakan kepiting bakau yang ditebarkan harus beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga peluang hidupnya akan kecil. Lokasi Muara Sangatta yang melimpah kepiting berukuran kecil menjadi sumber benih bagi budidaya sylvofishery, dan juga merupakan sumber restoking induk dari hasil budidaya pembesaran sylvofishery untuk ditebar di lokasi lain Teluk Perancis yang sesuai sebagai zona perlindungan bagi kepiting bakau. Restoking induk betina di lokasi Teluk Perancis perlu dilakukan untuk menyeimbangkan ratio jantan betina karena cukup besar rationya yaitu 1:0.47 dan menjadikan kawasan ini sebagai bank benih S. serrata. Induk betina S. serrata yang akan digunakan untuk restoking adalah kepiting yang berasal dari hasil panen sylvofishery. Hasil analisis sistem dinamik menunjukan 1 dari hasil panen yang dikembalikan ke alam akan memperbaiki stok kepiting bakau dan meningkatkan produksi sebanyak ± 6 ton pada tahun berikutnya.

5.3.4 Pengembangan Budidaya Sylvofishery S. serrata

Salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya kepiting bakau untuk mengurangi upaya penangkapan adalah dengan melakukan kegiatan budidaya. Tujuannya, meningkatkan nilai ekonomi kepiting bakau yang ditangkap serta meningkatkan kinerja ekonomi masyarakat dan mengurangi upaya penangkapan kepiting bakau yang berlebihan di ekosistem mangrove. Pada dasarnya, secara ekologis kegiatan budidaya bertujuan untuk tetap menjaga keberadaan siklus hidup dari kepiting bakau, karena kegiatan budidaya yang dilakukan adalah mulai dari proses perkawinan, pemijahan, pemeliharaan dimana benih awalnya diambil dari alam sampai pada ukuran kepiting mencapai ukuran dewasa yang dapat dipanen tanpa mengganggu kehidupan alami dari kepiting bakau. Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan menunjukkan bahwa konstanta pertumbuhan K kepiting S. serrata pada budidaya pembesaran sylvofishery mencapai nilai 4.2 sedangkan konstanta pertumbuhan kepiting yang hidup di alam berkisar antara 0.45-1.5. Adanya perlakuan budidaya seperti pemberian pakan dan pengendalian terhadap kualitas perairan diduga merupakan faktor-faktor yang mendorong tingginya konstanta pertumbuhan pada S. serrata. Konstanta pertumbuhan yang lebih baik pada budidaya sylvofishery merupakan alasan yang mendasar untuk merekomendasikan kegiatan budidaya sylvofishery di habitat mangrove TNK. Secara sosial-ekonomi dengan kegiatan budidaya dapat merubah pola hidup dari masyarakat yang awalnya sebagai penangkap beralih fungsi sebagai pemelihara kepiting bakau, dan dari kegiatan budidaya dapat mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat. Namun pada kondisi teknologi budidaya kepiting bakau yang ada saat ini, dimana hatchery pembenihan kepiting bakau belum banyak dilakukan. Hanya pada beberapa balai budidaya besar seperti di Maros Sulsel dan di Gondol Bali saja yang sudah berhasil melakukan pembenihan. Hasil penelitian Juwana 2004 larva kepiting bakau yang dipijahkan di P. Pari maupun di laboratorium tidak dapat berkembang ke zoea III karena adanya kontaminasi jamur dan bakteri patogen. Ketersediaan benih kepiting S. serrata dari hatchery belum mencukupi kebutuhan budidaya, maka benih dari hasil tangkapan alam merupakan satu- satunya pilihan. Walaupun budidaya kepiting bakau di Muara Sangatta dilakukan dengan benih dari tangkapan alam, namun bukan berarti upaya ini tidak memberikan nilai positif bagi lingkungan. Karena selama ini, nelayan langsung menjual begitu saja kepiting hasil tangkapannya, sehingga terkadang nilai ekonomi yang diperoleh rendah sekali karena kepiting yang ditangkap berukuran kecil. Nelayan perlu mengambil kepiting kecil lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Dengan adanya budidaya ini, nilai jual kepiting bakau dapat ditingkatkan sehingga dengan jumlah tangkapan lebih sedikit dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih besar. Nilai ekonomi ini dapat meningkatkan lebih tinggi lagi, apabila teknologi budidaya dapat ditingkatkan untuk jenis komoditas yang lebih tinggi nilai ekonominya seperti kepiting bertelur atau kepiting soka kepiting lunak. Secara ekologis, kawasan ini dapat mendukung bagi budidaya sylvofishery kepiting bakau sebanyak 490 unit karamba mangrove, yang berukuran 10 x 20 m, dengan tingkat kepadatan benih 300-500 ekorunit atau sebesar 1.5-2.5 ekorm 2 Bila di kawasan ini digunakan untuk lokasi budidaya sylvofishery kepiting bakau sesuai daya dukung yang ada, maka diperlukan kurang lebih 244 862 ekor benih S. serratamusim tanam, sedangkan ketersediaan benih di lokasi tersebut adalah 31 363 ekor benih. Kekurangan benih S. serrata harus diambil dari kawasan mangrove daerah lain yang merupakan kawasan pemanfaatan umum. . Angka tersebut di atas diperoleh berdasarkan perhitungan sebagai berikut: produksi kepiting bakau empat spesies tahun 2008 = 12.1 ton data statistik Dinas KP Kutim 2009 bila diasumsikan S. serrata = 80 dari total Cholik Hanafi 1991, maka eksploitasi tahun 2008 = 7.26 ton. Berdasarkan hasil analisis