Geologi dan Iklim Pengelolaan zona pemanfaatan ekosistem mangrove melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya kepiting bakau (scylla serrata) di Taman Nasional Kutai provinsi Kalimantan Timur

Pandan, Sungai Palakan, Sungai Menamang Kanan, Sungai Menamang Kiri, Sungai Tawan, Sungai Melawan dan Sungai Santan.

4.4 Sejarah Perambahan dan Pemukiman di TNK

Vayda dan Sahur dalam TNK 2005 mengelompokkan pemukim di TNK berdasarkan 3 wilayah, yaitu 1 Teluk Pandan, disebutkan bahwa pemukim dari Bugis yang berasal dari Bone, Sulawesi Selatan, datang pertama kali pada pertengahan tahun 1960 untuk menghindari kesulitan ekonomi akibat pemberontakan Kahar Muzakar, 2 SelimpusKandolo, dihuni pertama kali tahun 1974 dan berkembang tahun 1977 oleh Suku Bugis dan 3 Sangkima, yang dihuni pertama kali tahun 1924 oleh Suku Bugis. Saat itu, Sangkima merupakan hunian peladang berpindah bagi penduduk asli. Keduanya berasimilasi dan semakin banyak pemukim yang berasal dari Selawesi Selatan pada tahun 1954 dan 1960 karena pemberontakan Kahar Muzakar. Ketiga kampung di TNK tersebut berkembang dan diakui keberadaannya oleh Gubernur Propinsi Kalimantan Timur dengan menetapkannya sebagai desa definitif Teluk Pandan, Sangkima dan Sangatta Selatan melalui Keputusan No. 06 Tahun 1997 tanggal 30 April 1997. Dalam perkembangannya, Desa Sangatta Selatan dipecah menjadi dua desa, yaitu Desa Sangatta Selatan dan Singa Geweh dengan adanya Keputusan Gubernur Kalimantan Timur No. 410.44K.4521999 TNK 2005.

4.5 Permasalahan Pengelolaan TNK

4.5.1 Perambahan Hutan Taman Nasional Kutai awalnya memiliki 80 dari spesies burung dan sebagian dari seluruh mamalia yang ada di Kalimantan termasuk 11 dari 13 spesies primata Borneo TNK 2005. Namun Taman Nasional Kutai kini banyak mengalami permasalahan. Hal ini disebabkan adanya pembangunan industri, kegiatan pertambangan, eksploitasi hutan di sekitar dan di dalam TNK serta pembangunan jalan trans Kalimantan khususnya ruas jalan Bontang-Sangatta sepanjang 56 km yang melintasi Taman Nasional Kutai. Dampaknya saat ini menyebabkan gangguan yang meluas terhadap keberadaan TNK. Menurut pengamatan di lapangan dan data dari BTNK Balai Taman Nasional Kutai menunjukkan grafik luas perambahan hutan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan kebutuhan lahan yang cukup tinggi dan ada indikasi spekulan-spekulan tanah yang memanfaatkan ketidakpastian hukum di Taman Nasional Kutai Pemkab Kutim 2005. Data perambahan hutan selama tiga tahun disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-Sangatta 1999- 2001. Lokasi Luas Areal Perambahan ha Okt 1999 Nov 1999 Peb 2000 Mar 2000 Mei 2000 Mei 2001 Des 2001 PinangMasabang 3 322 3 322 4 307 4 307 4 307 - - Sangkima 1 693 1 693 1 693 2 477 2 477 - - Teluk Pandan 1 433 2 336 2 336 2 336 2 336 - - Kandolo Teluk Kaba - 2 999 3 883 5 083 5 088 - - Temputuk, dsk 1 543 1 543 1 543 2 475 2 485 - - Di dalam enclave 1 23 712 23 712 Di luar areal enclave 2 - 255.75 Jumlah 7 991 11 893 13 762 16 678 16 693 23 712 23 968 Sumber: peta perambahan BTNK 2000 Pemkab Kutim 2001 1 : Laporan Tim Enclave, Pemkab Kutim 2001 2 : Kegiatan Penyuluhan Tata Batas Enclave, BTNK 2001 Pada Desember 2001 luas lahan yang diduduki masyarakat di luar kawasan enclave sepanjang jalan Bontang - Sangatta adalah 255.75 ha, sedangkan jumlah kepala keluarga kk yang mendiaminya adalah 151 rata-rata luas penguasaan lahan 1.69 hakk. Berdasarkan observasi lapangan, diketahui sebagian besar masyarakat mendiami daerah tersebut baru sekitar tahun 1999- 2000. Lokasi perambahan hutan oleh masyarakat disajikan pada Gambar 25 . Perambahan hutan cenderung terjadi di sepanjang jalan Bontang – Sangatta, yang membelah kawasan TNK, menuju ke arah pesisir pantai. Perambahan ke arah pesisir terjadi karena memang pada awalnya pemukiman penduduk adalah di kawasan pesisir pantai TNK, sehingga menyambung dari arah jalan ke pesisir dan sebaliknya.