Menurut pengamatan di lapangan dan data dari BTNK Balai Taman Nasional Kutai menunjukkan grafik luas perambahan hutan semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan kebutuhan lahan yang cukup tinggi dan ada indikasi spekulan-spekulan tanah yang memanfaatkan ketidakpastian hukum
di Taman Nasional Kutai Pemkab Kutim 2005. Data perambahan hutan selama
tiga tahun disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas perambahan hutan di TNK sepanjang jalan Bontang-Sangatta 1999- 2001.
Lokasi Luas Areal Perambahan ha
Okt 1999
Nov 1999
Peb 2000
Mar 2000
Mei 2000
Mei 2001
Des 2001
PinangMasabang 3 322
3 322 4 307
4 307 4 307
- -
Sangkima 1 693
1 693 1 693
2 477 2 477
- -
Teluk Pandan 1 433
2 336 2 336
2 336 2 336
- -
Kandolo Teluk Kaba -
2 999 3 883
5 083 5 088
- -
Temputuk, dsk 1 543
1 543 1 543
2 475 2 485
- - Di dalam enclave
1
23 712 23 712
Di luar areal enclave
2
- 255.75
Jumlah 7 991 11 893
13 762 16 678
16 693 23 712
23 968
Sumber: peta perambahan BTNK 2000 Pemkab Kutim 2001
1
: Laporan Tim Enclave, Pemkab Kutim 2001
2
: Kegiatan Penyuluhan Tata Batas Enclave, BTNK 2001
Pada Desember 2001 luas lahan yang diduduki masyarakat di luar kawasan enclave sepanjang jalan Bontang - Sangatta adalah 255.75 ha, sedangkan
jumlah kepala keluarga kk yang mendiaminya adalah 151 rata-rata luas penguasaan lahan 1.69 hakk. Berdasarkan observasi lapangan, diketahui
sebagian besar masyarakat mendiami daerah tersebut baru sekitar tahun 1999- 2000.
Lokasi perambahan hutan oleh masyarakat disajikan pada Gambar 25 . Perambahan hutan cenderung terjadi di sepanjang jalan Bontang – Sangatta, yang
membelah kawasan TNK, menuju ke arah pesisir pantai. Perambahan ke arah pesisir terjadi karena memang pada awalnya pemukiman penduduk adalah di
kawasan pesisir pantai TNK, sehingga menyambung dari arah jalan ke pesisir dan sebaliknya.
Gambar 25 Peta perambahan hutan di Taman Nasional Kutai TNK 2005. Data perambahan hutan mangrove di kawasan TNK dari Balai TNK tidak
diperoleh, namun berdasarkan hasil observasi peneliti diketahui bahwa perambahan hutan mangrove terjadi karena pembukaan lahan untuk pemukiman
dibentuk 4 desa definitif di pesisir kawasan TNK, untuk tambak, pemanfaatan kayu mangrove untuk bangunan dan pembuatan alat tangkap ikan bubu,
serobelat, bagan, pemanfaatan nipah untuk atap. Dokumentasi perambahan hutan mangrove dapat dilihat pada lampiran 29.
4.5.2 Illegal Logging
Salah satu masalah terbesar yang menyebabkan rusaknya TNK adalah illegal logging. Data pencurian kayu pada tahun 2005 TNK 2005 disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8 Hasil pengamanan hutan di TNK tahun 2005.
No. TempatLokasi Kejadian Barang Bukti
Instansi yang Menangani
Penyelesaian Tahap
Penyelesaian Keterangan
1 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, Teluk Kaba II,
SKW I 1 unit chainsaw PPNS
BTNK Bontang
Temuan Operasi Fungsional
2 Km. 9 Ex Jalan PT Kayu Mas, SKW I
Kayu ulin = 4.005 Kayu Meranti = 0.868
PPNS BTNK Bontang
Temuan Operasi Fungsional
3 Km. 9 Ex. Jalan PT Kayu Mas,
SKW I 1 unit chainsaw PPNS
BTNK Bontang
Temuan Operasi Fungsional
4 Km. 33 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I
Kayu ulin + 2.44 m
3
1 unit chainsaw PPNS Temuan Operasi
Fungsional 5 Senara, SKW II
2 unit chainsaw Meranti 20x20x4=12
batang Ulin 10x10x4 = 10
batang Polres Kutim Jaksa Penuntut
Umum Operasi
Fungsional 6 Km.9 Pertamina, SKW II
3 unit chainsaw Polres Kutim
Jaksa Penuntut
Umum Operasi
Fungsional 7 Km. 12 Jl. Sangatta –
Bontang, SKW II 1 unit chainsaw
1 buah parang Kayu ulin 10x10x2 =
20 batang PPNS TNK
Jaksa Penuntut Umum
Perambahan 8 Km.9 Jl. Bontang – Sangatta,
SKW I Pick-up KT 8341 CB
Kayu 2x14x2 = 230 batang = 1.2 m
3
PPNS TNK Jaksa Penuntut
Umum Operasi
Fungsional Tanpa SKSHH
9 Km. 10 Jl. Bontang – Sangatta, SKW I
Truk KT 8754 R muatan blambangan + 6
m
3
Truk KT 8594 AK muatan blambangan + 5
m
3
PPNS TNK Jaksa Penuntut
Umum Operasi
Fungsional Tanpa SKSHH
Operasi 10 Km.5 Jl. Bontang-Sangatta,
SKW II Pick-up Zebra KT 8012
BU Ulin flooring ukuran
2x10x200 = 250 batang = 1 m
3
PPNS TNK Jaksa Penuntut
Umum Operasi
Fungsional Tanpa SKSHH
Operasi 11 Teluk Kaba II, SKW I
Kayu ulin = 0.3 m
3
PPNS Temuan Operasi
Fungsional 12 Km. 37 Tanah Datar, SKW I Kayu ulin = 0.78 m
3
PPNS Temuan Operasi
Fungsional 13 Km. 9 Jl. Bontang –
Sangatta, SKW I 2 unit chain saw BB.
Kayu 6x12x2 =12 batang
Kayu temuan 10x10x4 = 14 batang = 0.56 m
3
Polres Kutim Polres Kutim
Operasi Fungsional
14 Km. 37 Tanah Datar, SKW I
Kayu ukuran 10x10x4 =16 batang
=0.6 m
3
Kayu 10x5x4=10
batang = 0.2m
3
PPNS Temuan Operasi Fungsional
Sumber: TNK 2005
Setelah pengawasan terhadap mafia pencurian kayu di hutan diperketat, yang berimbas pada tingginya harga kayu hutan seperti ulin dan bengkirai, maka
saat ini kayu bakau menjadi alternatif pilihan sebagai kayu bangunan.
4.6 Proses Enclave di TNK
Permasalahan yang kompleks dalam mengelola TNK, terutama berkaitan dengan adanya penduduk di dalam kawasan TNK, mendorong inisiatif pemerintah
daerah untuk mengadakan kegiatan lokakarya Taman Nasional Kutai pada tanggal 31 Oktober 2000. Lokakarya tersebut diikuti hampir semua stakeholder yang
terkait dengan pengelolaan Taman Nasional Kutai. Kegiatan enclave sendiri merupakan salah satu rekomendasi dari kegiatan lokakarya tersebut.
Lokakarya merekomendasikan bahwa salah satu cara untuk menyelamatkan TNK adalah melalui enclave dan relokasi penduduk melalui
beberapa tahap kegiatan, yaitu: - Perlu segera ditetapkan tapal batas 4 desa didalam TNK sesuai dengan konsep
enclave , sementara penduduk yang ada di luar batas enclave desa harus masuk
ke dalam wilayah desa yang ditetapkan Desa Teluk Pandan, Desa Sangkima, Desa Sangatta Selatan dan Desa Singa Geweh
- Bagi penduduk yang tidak mau bergabung masuk kedalam batas enclave desa diupayakan untuk masuk program transmigrasi lokal relokasi yang letaknya
antara sepanjang jalan Sangkulirang Maloy hingga Muara Wahau. Kegiatan enclave ini ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Kerja dari Direktorat
Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam No. 830DJ-VLH2000 tanggal 20 November 2000 kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk melaksanakan
Tata Batas Enclave 4 desa definitif di Taman Nasional Kutai. Tata Batas Taman Nasional Kutai adalah salah satu proses yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur sebelum dilakukan enclave. Persoalan Tata Batas menjadi penting ketika konsep enclave disetujui sebagai
salah satu cara untuk penyelesaian berbagai permasalahan di Taman Nasional Kutai. Tahapan proses Tata Batas Taman Nasional Kutai dapat dijelaskan sebagai
berikut : 1. Penunjukan Kawasan Hutan :
Menurut surat keputusan terakhir adalah sesuai SK Menhut No.
79Kpts-II2001 sebagai TNK seluas 198 269 ha. 2. Penataan Batas
Tata Batas Suaka Margasatwa Kutai tahun 1979 sepanjang 274 Km
temu gelang oleh Direktorat Bina Program Kehutanan.
Berita Acara Tata Batas oleh Panitia Tata Batas Kabupaten Dati II Kutai tanggal 2 Agustus 1979, disahkan Mentan tanggal 1 Oktober
1980.
Tata batas alam 55.7 Km tahun 2003 yg telah ditandatangani di Panitia Tata Batas Kabupaten Kutai Timur.
Rekonstruksi batas buatan 83.7 Km tahun 2005.
Informasi tentang rencana dan realisasi tata batas yang telah dilakukan di areal rencana enclave dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Rencana dan realisasi tata batas di areal rencana enclave
No Desa
Rencana Jarak datar m
Realisasi Jarak datar m
Luas ha
Keterangan
1 Sangatta
Selatan 15 500
20 259.39 5 200
Sudah sampai pemancangan
pal definitif Baru sampai
pemancangan patok
sementara 2 Singa Geweh
39 980 36 734.83
3 600 3 Sangkima
23 530 30 516.80
6 215 4 Teluk Pandan
42 250 58 400.87
8 697 JUMLAH
121 260 145 908.89
23 712
Sumber : Laporan Pelaksanaan Tata Batas Enclave, Pelaksanaan Relokasi Penduduk, dan Program
Rehabilitasi dan Pemagaran Taman Nasional Kutai, Pemkab Kutai Timur 2009
Tabel 9 diatas menunjukkan bahwa dari 23 712 ha kawasan enclave yang akan ditata batas, baru 15 015 ha atau sepanjang 87 511.02 m yang sudah di tata
batas definitif. Sisanya seluas 8 697 ha atau sepanjang 58 500.87 m di desa Teluk Pandan belum dilaksanakan tata batas definitif.
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 129KptsDJ-VI1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam,
Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru, dan Hutan Lindung, menyebutkan bahwa pengukuhan status kawasan dimulai dari proses penunjukan kawasan,
penataan batas, pengukuran, pemetaan sampai pada proses penetapan status kawasan.
Persoalan tata batas yang belum definitif ini juga menjadi persoalan penting mengapa hingga saat ini proses tata batas belum selesai. Keterlambatan
proses tata batas ini bisa berakibat munculnya spekulan-spekulan tanah. Hasil
survei Yayasan BIKAL dalam Pemkab Kutai Timur 2005, menunjukkan bahwa para spekulan tanah di TNK 50.5 berasal dari Bontang dan 35.5 berasal dari
Sangatta. Tercatat pada Desember 2001 seluas 255.75 ha diluar kawasan enclave telah dikuasai oleh para spekulan dan kemungkinan luasan tersebut akan semakin
bertambah bila proses enclave belum selesai. Pada tanggal 29 – 31 Mei 2006 di Sangatta dilaksanakan ”Diskusi
Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai”. Kegiatan diskusi tersebut diikuti beberapa stakeholder penting yaitu Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan
Kehutanan Regional III, Direktorat Jenderal PHKA, Badan Planologi Departemen Kehutanan, Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan Kalimantan Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Yayasan Bina Kelola Lingkungan, Dinas Kehutanan Kutai Timur, Bappeda Kutai
Timur, Dinas Lingkungan Hidup Kutai Timur dan Fasda Kalimantan. Diskusi Lanjutan Tata Batas di Taman Nasional Kutai menghasilkan
beberapa keputusan yaitu disepakatinya 3 tiga alternatif rekomendasi penyelesaian permasalahan Taman Nasional Kutai, meliputi:
9 Alternatif 1: menyelenggarakan pengelolaan kolaboratif dalam area seluas
23 712 ha. Bentuk dan kerjasama pengelolaan akan dirumuskan kemudian dengan mengacu pada SK DIRJEN PHKA terkait.
9 Alternatif 2: menyelesaikan tata batas TNK yang prosesnya belum
ditetapkan oleh Menhut. Ini dilakukan dengan memperbaharui gabungan hasil pengukuran tata batas pemukiman masyarakat di bagian barat dengan
hasil tata batas luar. 9
Alternatif 3 : penyelesaian masalah penggunaaan areal TNK akan dilakukan dengan berdasarkan pasal 19 UU 41 1999 pada scheme
perubahan fungsi. Tiga Alternatif tersebut nanti akan dikaji oleh Tim Pengkajian yang dibentuk oleh
Departemen Kehutanan dan di SK-kan oleh Menteri Kehutanan. Tim tersebut dibentuk untuk mengkaji 3 tiga alternatif yang dimungkinkan paling tepat untuk
pengelolaan Taman Nasional Kutai. Berselang 1 satu minggu dari kegiatan diskusi pada tanggal 29-31 Mei
2006 tersebut, tepatnya pada tanggal 8 Juni 2006 melalui Surat No:
S.360Menhut-IV2006 Menteri Kehutanan Mengeluarkan surat ”Penyelesaian Penataan Batas 4 Desa Dalam Kawasan TNK”. Berikut kutipan isi surat tersebut
pada butir 4 : ”Untuk membatasi kerusakan yang lebih luas maka tata batas desa Teluk Pandan dapat dilanjutkan dengan syarat tidak mengakses hal-hal yang
tidak dapat dibuktikan keabsahannya dan dilakukan dengan metoda minimalis ”.
Berdasarkan surat tersebut Pemkab Kutai Timur melalui Dinas Lingkungan Hidup telah mempersiapkan kegiatan penyelesaian Tata Batas TNK.
Pada tanggal 13 Juli 2006, Dinas Lingkungan Hidup mengadakan rapat awal penyelesaian penataan batas yang di hadiri oleh Tim Tata Batas Enclave Desa
Teluk Pandan. Tim Tata Batas ini melibatkan semua stakehoder yang terkait dengan tata batas di desa Teluk Pandan yaitu Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten
Kutai Timur, Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Timur, Dinas Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, Bappeda Kabupaten Kutai Timur, Bagian Hukum Setkab
Kutai Timur, Balai Taman Nasional Kutai, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kaltim, Kepala Desa Teluk Pandan, Kepala Desa Martadinata, Kepala Desa
Kandolo, Yayasan Bikal. Rapat tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menyusun rencana kegiatan penataan batas desa Teluk Pandan.
Menindaklanjuti keluarnya Surat Menteri Kehutanan tersebut maka dilaksanakan beberapa kali pertemuan dengan Tim Tata Batas yang melibatkan
Pihak BPKH dan BTNK. 1. Pertemuan Tanggal 30 Nopember 2006
o Pertemuan membahas hal-hal yang perlu segera dilaksanakan terkait
dengan Surat Menteri Kehutanan. o
Membahas rencana pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan. 2. Pertemuan Tanggal 14 Desember 2006
o Persiapan Teknis Pelaksanaan Tata Batas Kecamatan Teluk Pandan.
o Persiapan alat dan bahan yang diperlukan untuk pelaksanaan Tata Batas
Kecamatan Teluk Pandan. 3. Pelaksanaan Tata Batas Pengaman Enclave Desa Teluk Pandan, Desa
Martadinata dan Desa Kondolo pada tanggal 8 – 23 Januari 2007
4.7 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat dalam Lokasi TNK
Pada masa yang lalu pengelolaan kawasan konservasi sering merugikan masyarakat karena terjadi pembatasan akses mereka terhadap sumberdaya.
Masyarakat lokal yang bergantung pada sumberdaya dalam kawasan konservasi yang umumnya paling terpengaruh oleh kondisi ini. Dalam jangka panjang
kawasan konservasi akan lestari hanya bila didukung oleh masyarakat lokal. Idealnya kawasan konservasi seharusnya menjadi aset yang sangat berharga yang
menghormati hak-hak, mengentaskan kemiskinan, dan memberikan solusi dalam konflik manusia-alam human-wildlife conflict agar kawasan konservasi dapat
bertahan sesuai fungsinya. Penolakan masyarakat lokal atas beberapa Taman Nasional di Indonesia,
baik yang lama maupun yang baru ditetapkan, sesungguhnya hal yang wajar terjadi karena masyarakat juga memiliki konsep, pemikiran dan kepentingan
tersendiri dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Mereka juga berhak atas sumberdaya alam yang ada dalam Taman Nasional karena dari situlah kehidupan
mereka terbentuk. Maka adalah hak mereka juga untuk duduk setara dengan pihak lain dan menyampaikan konsepnya secara langsung dalam setiap proses
pengambilan keputusan. CII 2006 menyatakan potensi konflik yang melibatkan masyarakat lokal
dalam pengelolaan taman nasional tak sekedar dipicu oleh prosesnya yang bersifat top-down,
namun juga oleh dua hal penting lainnya, yaitu persoalan aksesibilitas dan manfaat bagi masyarakat.
Aksesibilitas terhadap sumberdaya alam merupakan faktor yang harus dipertimbangkan lewat perspektif sosio-kultural mengingat pengelolaan Taman
Nasional dimanifestasikan dalam sistem permintakatan zonasi dengan berbagai pengaturannya. Persoalan lantas muncul manakala aturan tersebut berimplikasi
pada penyempitan, bahkan penghapusan akses penduduk terhadap sumberdaya alam yang dijadikan zonasi tertentu, terutama pada zona inti no-take zone.
Faktor manfaat kehadiran taman nasional juga perlu dikaji lebih dalam. Masyarakat lokal cenderung mengharapkan manfaat yang bersifat langsung dari
apapun kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan. Manfaat itu sendiri tidak melulu bersifat ekonomi dan materil, tapi yang lebih mendasar
a m
k
2 d
d p
k u
y d
J adalah hak m
mereka; ser kelangsunga
Pema kawasan tam
pengelolaan
4.7.1 J
Mata 26. bidang
dalam lokas dengan usah
pertanian ta konversi hut
usaha pentin
G 4.7.2
J TNK
yang tidak t di sekitar k
Jumlah pend
100 200
300 400
500 600
700 800
900
masyarakat d rta hak terh
an hidup mer ahaman atas
man nasiona n Taman Nas
Jenis Matap
apencaharian usaha jasa p
i TNK, berik ha perdagang
anaman pang tan menjadi
ng bagi pend
Gambar 26 Ju
Sumber: M
Jumlah Pen
K berada di terkendali m
kawasan kar duduk desa d
dalam penge hadap keter
reka. s kondisi so
al akan mem sional Kutai.
pencaharian
n masyaraka paling bany
kutnya adala gan. Tinggin
gan dan per i lahan perta
duduk.
umlah pendu
Monografi Kec
duduk
tengah-teng menyebabkan
rena keingin di dalam TN
elolaan ruan rsediaan sum
osial budaya mbantu kebe
.
n
at di dalam yak dilakuka
ah usaha per nya jumlah p
rkebunan da anian. Bidan
uduk sesuai
camatan Sangat
gah daerah i n masyarakat
nan untuk NK tersaji dal
ng dan sumb mber daya
a masyaraka rhasilan dal
lokasi TNK an oleh pend
rtanian tanam penduduk ya
apat menjad ng perikanan
jenis mata p
tta Selatan Tah
industri. Per t bermukim
memperoleh lam Gambar
berdaya alam alam
yang at yang ting
am menyusu
K tersaji dala duduk yang
man pangan ang berusaha
di indikator n tidak menj
pencaharian.
hun 2008
rkembangan baik di dala
h lapangan r 27.
Sangatt Singa
Ge Sangkim
Sangkim
m di sekitar menjamin
ggal dalam un rencana
am Gambar tinggal di
dan diikuti a di bidang
banyaknya jadi bidang
n perkotaan am maupun
pekerjaan.
a Selatan
eweh ma
ma Lama