Uji Toksisitas Ekstrak Tinta Cumi-Cumi (Photololigo Duvaucelii) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (Bslt)
UJI TOKSISITAS EKSTRAK TINTA CUMI-CUMI
(Photololigo duvaucelii) DENGAN METODE
BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)
SKRIPSI
OLEH:
WENDRA KURNIANSYAH NIM 101501042
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
UJI TOKSISITAS EKSTRAK TINTA CUMI-CUMI
(Photololigo duvaucelii) DENGAN METODE
BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH:
WENDRA KURNIANSYAH NIM 101501042
PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PENGESAHAN SKRIPSI
UJI TOKSISITAS EKSTRAK TINTA CUMI-CUMI
(Photololigo duvaucelii) DENGAN METODE
BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)
OLEH:
WENDRA KURNIANSYAH NIM 101501042
Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Pada Tanggal: 3 Februari 2015
Pembimbing I, Panitia Penguji,
Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt. Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195304031983032001 NIP 195709091985112001
Pembimbing II, Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt. NIP 195304031983032001
Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Dra. Herawati Ginting, M.Si., Apt. NIP 195107231982032001 NIP 195112231980032002
Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt.
NIP 195006121980032001
Medan, April 2015 Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Wakil Dekan I,
Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001
(4)
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Uji Toksisitas Ekstrak Tinta Cumi-cumi (Photololigo duvaucelii) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)”.
Pada kesempatan ini dengan kerendahan hati dan hormat, penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah yang telah memberikan bimbingan dan penyediaan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dra. Sudarmi, M.Si., Apt., selaku dosen wali/penasehat akademik yang telah membimbing penulis selama masa studi. Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., yang telah membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., Ibu Dra. Herawati Ginting, M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Erly Sitompul, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Ayahanda Syafriadi Sudrajat, S.E., Ibunda Zufridawati, B.Sc., Kakak Andre Kurniawan, S.Farm., Adik Novemina Angelita, dan segenap keluarga besar penulis yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan, para sahabat di Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Farmasi USU, serta semua pihak yang telah ikut membantu penulis
(5)
v
selama menjadi mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua khususnya dalam perkembangan ilmu kefarmasian.
Medan, April 2015 Penulis,
Wendra Kurniansyah NIM 101501042
(6)
vi
UJI TOKSISITAS EKSTRAK TINTA CUMI-CUMI (Photololigo duvaucelii)
DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)
ABSTRAK
Selama ini masyarakat menganggap tinta cumi-cumi tidak bermanfaat sehingga jika mengolah cumi-cumi, tintanya dibuang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jin’ichi Sasaki dan sejawatnya dari Universitas Hirosaki di Jepang bagian utara, tinta cumi dapat mengaktifkan sel darah putih untuk melawan kanker. Senyawa yang diduga memiliki aktifitas anti kanker harus diujikan terlebih dahulu pada hewan percobaan sebelum dikembangkan lebih lanjut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui toksisitas dan membandingkan aktifitas biologi dari komponen zat yang terkandung dalam tinta cumi-cumi menurut kepolarannya. Peneliti melakukan ekstraksi berkesinambungan terhadap tinta cumi-cumi dengan menggunakan pelarut n-heksan, etilasetat, dan etanol kemudian masing-masing fraksi tersebut diuji toksisitasnya terhadap larva Artemia salina Leach untuk mendapatkan LC50.
Penelitian ini meliputi ekstraksi berkesinambungan tinta cumi-cumi, uji kualitatif senyawa steroid/triterpenoid, dan uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Uji toksisitas dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan dua kali orientasi untuk menentukan seri konsentrasi uji. Uji orientasi pertama dilakukan dengan konsentrasi 10, 100, dan 1000 µg/ml, selanjutnya pada orientasi kedua konsentrasi diturunkan pada 0,1; 1; dan 5 µg/ml. Uji toksisitas utama fraksi n-heksan dilakukan pada konsentrasi 10, 18, 32, 58, dan 104 µg/ml, fraksi etilasetat pada konsentrasi 2; 2,8; 3,9; 5,5; dan 7,7 µg/ml, fraksi etanol pada konsentrasi 0,1; 0,17; 0,31; 0,55; dan 0,98 µg/ml. Data persentase kematian larva Artemia salina Leach dianalisa dengan program statistik SPSS 17.00 dengan analisa probit untuk menentukan LC50.
Hasil ekstaksi berkesinambungan tinta cumi-cumi memperlihatkan perbedaan berat dan warna ekstrak. Hasil uji kualitatif dari ekstrak tinta cumi-cumi menunjukkan hasil positif terhadap senyawa steroid/triterpenoid. Hasil analisa probit menunjukkan nilai LC50 ekstrak n-heksan, etilasetat, dan etanol
berturut-turut adalah 50,176; 4,123; dan 0,498 µg/ml.
Kata kunci: Photololigo duvaucelii, tinta cumi, toksisitas, Brine Shrimp Lethality
(7)
vii
TOXICITY TEST OF SQUID (Photololigo duvaucelii) INK
EXTRACTwith
BRINE SHRIMP LETHALITY TEST
(BSLT) METHOD
ABSTRACT
During this people considers that squid ink is not useful so that if processing squid, the ink was removed.Based on research conducted by Sasaki and colleagues Jin'ichi of Hirosaki University in northern Japan, squid ink can activates white blood cells to fight cancer.The compound is thought to have anti-cancer activity should be tested first in animals before being developed further.The purpose of this study are determining and comparing the toxicity of the components of biological aktifity bags substances contained in squid ink according to polarity.Researchers conducted a continuous extraction of squid ink using the solvent n-hexane, ethyl acetate, and ethanol and then each fraction was tested toxicity to larvae ofArtemia salinaLeach to obtain the LC50.
This research includes continuous extraction of squid ink, qualitative test steroid/triterpenoids compounds, and toxicity to larvae of Artemia salina Leach.Toxicity testing is done by first doing twice orientation to determine the concentration of the test series.The first orientation test carried out at a concentration of 10, 100, and 1000 mg / ml, at the second orientation, concentrations were derived at 0.1; 1;and 5 ug/ml.The main toxicity of n-hexane fraction performed at concentrations of 10, 18, 32, 58, and 104 ug/ml, the fraction of ethyl acetate at a concentration of 2;2.8;3.9;5.5;and 7.7 ug/ml, the fraction of ethanol at a concentration of 0.1;0.17;0.31;0.55;and 0.98 ug/ml. Larval mortality percentage data Artemia salina Leach was analyzed with the statistical program SPSS 17:00 by probit analysis to determine the LC50.
The result of continuous extraction squid ink shows the difference in weight and color of the extract.Qualitative test results from all three squid ink extract shows positive results against steroid/triterpenoids compounds.Results of probit analysis show LC50 values of n-hexane extract, ethyl acetate, and ethanol
respectively are 50.176; 4,123;and 0.498 µg/ml.
Keywords: Photololigo duvaucelii, squid ink, toxicity, Brine Shrimp Lethality
(8)
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Hipotesis ... 3
1.4 Tujuan Penelitian ... 4
1.5 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Cumi-cumi ... 5
2.1.1 Aneka jenis cumi-cumi ... 5
2.1.2 Anatomi cumi-cumi ... 6
2.1.3 Tinta cumi-cumi ... 7
2.1.4 Cumi-cumi sebagai komoditas komersial ... 8
(9)
ix
2.2.1 Morfologi ... 10
2.2.2 Lingkungan hidup artemia ... 12
2.2.3 Cara penetasan telur ... 13
2.2.4 Penggunaan artemia pada metode BSLT ... 14
2.3 Toksisitas ... 16
2.4 Metode BSLT ... 17
2.5 Kanker ... 18
2.6 Penyarian ... 20
2.7 Triterpenoid dan steroid ... 21
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
3.1 Jenis Rancangan Penelitian ... 23
3.2 Variabel Penelitian ... 23
3.3 Alat ... 23
3.4 Bahan ... 24
3.5 Prosedur Penelitian ... 24
3.5.1 Penyiapan sampel ... 24
3.5.2 Identifikasi hewan ... 24
3.5.3 Preparasi sampel tinta cumi-cumi ... 25
3.5.4 Ekstraksi berkesinambungan tinta cumi-cumi ... 25
3.5.5 Uji kualitatif senyawa steroid/triterpenoid ... 26
3.5.6 Uji toksisitas BSLT ... 26
3.5.6.1 Pembuatan air laut buatan ... 26
3.5.6.2 Penetasan telur Artemia salina Leach ... 27
(10)
x
3.5.6.4 Pembuatan larutan uji sampel ekstrak n-heksan ... 28
3.5.6.5 Pembuatan larutan A dan B ekstrak etilasetat ... 28
3.5.6.6 Pembuatan larutan uji sampel ekstrak etilasetat ... 28
3.5.6.7 Pembuatan larutan A dan B ekstrak etanol ... 29
3.5.6.8 Pembuatan larutan uji sampel ekstrak etanol ... 29
3.5.6.9 Pelaksanaan uji BSLT ... 30
3.5.7 Analisis Data ... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
4.1 Identifikasi Hewan Cumi-cumi ... 32
4.2 Ekstraksi Berkesinambungan Tinta Cumi-cumi ... 32
4.3 Uji Kualitatif Senyawa Steroid/Triterpenoid ... 32
4.4 Uji Toksisitas dengan Metode BSLT ... 33
4.5 Analisa Normalitas, Korelasi, Regresi Linear dan Probit ... 37
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 44
4.1 Kesimpulan ... 44
4.2 Saran ... 44
DAFTAR PUSTAKA ... 45
(11)
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan .. 27
3.2. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak n-heksan ... 28
3.3. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etilasetat ... 29
3.4. Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etanol ... 30
4.1. Hasil ekastraksi berkesinambungan tinta cumi-cumi ... 32
4.2. Hasil uji kualitatif senyawa steroid/triterpenoid ... 33
4.3. Persentase kematian larva Artemia salina Leach dengan uji pemberian ekstrak tinta cumi-cumi pada uji orientasi ... 33
4.4. Persentase kematian larva Artemia salina Leach dengan uji pemberian ekstrak etilasetat dan etanol tinta cumi-cumi pada orientasi kedua ... 34
4.5. Persentase kematian larva Artemia salina Leach dengan uji pemberian ekstrak n-heksan tinta cumi-cumi ... 35
4.6. Persentase kematian larva Artemia salina Leach dengan uji pemberian ekstrak etilasetat tinta cumi-cumi ... 35
4.7. Persentase kematian larva Artemia salina Leach dengan uji pemberian ekstrak etanol tinta cumi-cumi ... 35
(12)
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Cumi-cumi ... 7
2.2. Tahapan penetasan Artemia ... 10
2.3. Morfologi nauplius Artemia salina ... 11
2.4. Morfologi Artemia salina dewasa ... 12
4.1. Kurva hubungan antara nilai probit versus log konsentrasi ekstrak n-heksan tinta cumi-cumi ... 38
4.2. Kurva hubungan antara nilai probit versus log konsentrasi ekstrak etilasetat tinta cumi-cumi ... 39
4.3. Kurva hubungan antara nilai probit versus log konsentrasi ekstrak etanol tinta cumi-cumi ... 41
(13)
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman 1. Hasil identifikasi hewan cumi-cumi ... 47 2. Bagan prosedur preparasi dan ekatraksi tinta ... 48 3. Bagan prosedur pembuatan larutan uji untuk orientasi ... 50 4. Bagan prosedur penetasan telur artemia salina leach dan tata cara pelaksanaan
uji BSLT ... 51 5. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak n-heksan
yang akan digunakan dalam pengujian ... 52 6. Jumlah kematian larva Artemia salina Leach pada pemberian
ekstrak n-heksan tinta cumi-cumi ... 53 7. Perhitungan data statistik ekstrak n-heksan tinta cumi-cumi
terhadap larva Artemia salina Leach ... 58 8. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak etilasetat
yang akan digunakan dalam pengujian ... 64 9. Jumlah kematian larva Artemia salina Leach pada pemberian
ekstrak etilasetat tinta cumi-cumi ... 69 10. Perhitungan data statistik ekstrak etilasetat tinta cumi-cumi
terhadap larva Artemia salina Leach ... 71 11. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak etanol
yang akan digunakan dalam pengujian ... 76 12. Jumlah kematian larva Artemia salina Leach pada pemberian
ekstrak etanol tinta cumi-cumi ... 81 13. Perhitungan data statistik ekstrak etanol tinta cumi-cumi
terhadap larva Artemia salina Leach ... 83 14. Gambar dokumentasi ... 88
(14)
vi
UJI TOKSISITAS EKSTRAK TINTA CUMI-CUMI (Photololigo duvaucelii)
DENGAN METODE BRINE SHRIMP LETHALITY TEST (BSLT)
ABSTRAK
Selama ini masyarakat menganggap tinta cumi-cumi tidak bermanfaat sehingga jika mengolah cumi-cumi, tintanya dibuang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jin’ichi Sasaki dan sejawatnya dari Universitas Hirosaki di Jepang bagian utara, tinta cumi dapat mengaktifkan sel darah putih untuk melawan kanker. Senyawa yang diduga memiliki aktifitas anti kanker harus diujikan terlebih dahulu pada hewan percobaan sebelum dikembangkan lebih lanjut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui toksisitas dan membandingkan aktifitas biologi dari komponen zat yang terkandung dalam tinta cumi-cumi menurut kepolarannya. Peneliti melakukan ekstraksi berkesinambungan terhadap tinta cumi-cumi dengan menggunakan pelarut n-heksan, etilasetat, dan etanol kemudian masing-masing fraksi tersebut diuji toksisitasnya terhadap larva Artemia salina Leach untuk mendapatkan LC50.
Penelitian ini meliputi ekstraksi berkesinambungan tinta cumi-cumi, uji kualitatif senyawa steroid/triterpenoid, dan uji toksisitas terhadap larva Artemia salina Leach. Uji toksisitas dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan dua kali orientasi untuk menentukan seri konsentrasi uji. Uji orientasi pertama dilakukan dengan konsentrasi 10, 100, dan 1000 µg/ml, selanjutnya pada orientasi kedua konsentrasi diturunkan pada 0,1; 1; dan 5 µg/ml. Uji toksisitas utama fraksi n-heksan dilakukan pada konsentrasi 10, 18, 32, 58, dan 104 µg/ml, fraksi etilasetat pada konsentrasi 2; 2,8; 3,9; 5,5; dan 7,7 µg/ml, fraksi etanol pada konsentrasi 0,1; 0,17; 0,31; 0,55; dan 0,98 µg/ml. Data persentase kematian larva Artemia salina Leach dianalisa dengan program statistik SPSS 17.00 dengan analisa probit untuk menentukan LC50.
Hasil ekstaksi berkesinambungan tinta cumi-cumi memperlihatkan perbedaan berat dan warna ekstrak. Hasil uji kualitatif dari ekstrak tinta cumi-cumi menunjukkan hasil positif terhadap senyawa steroid/triterpenoid. Hasil analisa probit menunjukkan nilai LC50 ekstrak n-heksan, etilasetat, dan etanol
berturut-turut adalah 50,176; 4,123; dan 0,498 µg/ml.
Kata kunci: Photololigo duvaucelii, tinta cumi, toksisitas, Brine Shrimp Lethality
(15)
vii
TOXICITY TEST OF SQUID (Photololigo duvaucelii) INK
EXTRACTwith
BRINE SHRIMP LETHALITY TEST
(BSLT) METHOD
ABSTRACT
During this people considers that squid ink is not useful so that if processing squid, the ink was removed.Based on research conducted by Sasaki and colleagues Jin'ichi of Hirosaki University in northern Japan, squid ink can activates white blood cells to fight cancer.The compound is thought to have anti-cancer activity should be tested first in animals before being developed further.The purpose of this study are determining and comparing the toxicity of the components of biological aktifity bags substances contained in squid ink according to polarity.Researchers conducted a continuous extraction of squid ink using the solvent n-hexane, ethyl acetate, and ethanol and then each fraction was tested toxicity to larvae ofArtemia salinaLeach to obtain the LC50.
This research includes continuous extraction of squid ink, qualitative test steroid/triterpenoids compounds, and toxicity to larvae of Artemia salina Leach.Toxicity testing is done by first doing twice orientation to determine the concentration of the test series.The first orientation test carried out at a concentration of 10, 100, and 1000 mg / ml, at the second orientation, concentrations were derived at 0.1; 1;and 5 ug/ml.The main toxicity of n-hexane fraction performed at concentrations of 10, 18, 32, 58, and 104 ug/ml, the fraction of ethyl acetate at a concentration of 2;2.8;3.9;5.5;and 7.7 ug/ml, the fraction of ethanol at a concentration of 0.1;0.17;0.31;0.55;and 0.98 ug/ml. Larval mortality percentage data Artemia salina Leach was analyzed with the statistical program SPSS 17:00 by probit analysis to determine the LC50.
The result of continuous extraction squid ink shows the difference in weight and color of the extract.Qualitative test results from all three squid ink extract shows positive results against steroid/triterpenoids compounds.Results of probit analysis show LC50 values of n-hexane extract, ethyl acetate, and ethanol
respectively are 50.176; 4,123;and 0.498 µg/ml.
Keywords: Photololigo duvaucelii, squid ink, toxicity, Brine Shrimp Lethality
(16)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia adalah negara maritim dengan potensi sumber daya perairan laut yang cukup melimpah, diantaranya cumi-cumi, udang, lobster, ikan, rumput laut, kepiting, mutiara, kerang, dan gurita (Anonim, 2013). Organisme laut merupakan sumber alam yang potensial sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Zat metabolit yang dihasilkan organisme laut mengandung senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan dalam bidang pengobatan. Penelitian membuktikan bahwa senyawa bioaktif organisme laut memiliki aktifitas sebagai antimikroba, antivirus, antiinflamasi dan anti kanker. Organisme laut menghasilkan senyawa kimia yang digunakan untuk mempertahankan eksitensinya, senyawa tersebut dikenal sebagai metabolit sekunder. Potensi metabolit sekunder merupakan sumber bahan kimia yang dapat di eksplorasi dan dijadikan rujukan untuk pemanfaatan yang berkelanjutan (Pringgenies, dkk., 2013).
Cumi-cumi merupakan produk laut yang cukup melimpah di perairan Indonesia dan sangat diminati masyarakat terutama penggemar seafood dan chinese food. Menurut data statistik kementrian kelautan dan perikanan, hasil ekspor cumi-cumi pada tahun 2011 mencapai 48.803.318 kg, kemudian menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2012 sebesar 58.145.503 kg. Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton per tahun (KKP, 2013). Hasil produksi yang cukup tinggi ini menunjukkan
(17)
2
bahwa cumi-cumi mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi berbagai macam produk makanan maupun obat-obatan.
Cumi-cumi memiliki daging yang bersih, licin dan memiliki aroma yang khas serta mengandung nilai gizi yang cukup baik (Kreuzer, 1986). Selain itu cumi-cumi juga memiliki kandungan mineral seperti fosfor dan kalsium yang berguna untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak. Cumi-cumi juga mengandung berbagai macam vitamin antara lain vitamin B1, B2, B6 , C, A, D, E dan K (Agusandi, dkk., 2013).
Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantung tinta yang terdapat di atas usus besar yang bermuara di dekat anus sebagai benteng pertahanan dan perlawanan yang akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam ketika diserang musuh sehingga membentuk awan berwarna hitam di sekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari predator lain (Agusandi, dkk., 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jin’ichi Sasaki dan rekan sejawatnya dari Universitas Hirosaki di Jepang bagian utara, tinta cumi dapat mengaktifkan sel darah putih untuk melawan kanker. Penelitian dilakukan terhadap 15 ekor tikus yang diinduksi ke dalam tubuhnya penyakit kanker ganas. Tikus-tikus tersebut diberi suntikan tinta cumi dengan dosis 200 mg. Ternyata hanya tiga tikus yang mati, sisanya tetap hidup. Sebagai perbandingan, 15 tikus lainnya yang juga menderita penyakit yang sama tidak diberikan suntikan tinta cumi dan semua mati dalam waktu tiga minggu (Anonim, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan studi terhadap aktifitas biologi komponen zat yang terkandung dalam tinta cumi-cumi. Senyawa yang diduga
(18)
3
memiliki aktifitas anti kanker harus diujikan terlebih dahulu pada hewan percobaan sebelum dikembangkan lebih lanjut. Salah satu cara untuk melakukan studi pendahuluan terhadap senyawa yang diduga berpotensi sebagai antikanker adalah metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach sebagai hewan uji. Metode ini merupakan salah satu metode yang banyak digunakan untuk pencarian senyawa antikanker baru yang berasal dari tanaman. Hasil uji toksisitas dengan metode ini telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitotoksis senyawa anti kanker. Selain itu, metode ini juga mudah dikerjakan, murah, cepat dan cukup akurat (Meyer, dkk., 1982).
Peneliti melakukan ekstraksi berkesinambungan terhadap tinta cumi-cumi dengan menggunakan pelarut n-heksan, etilasetat, dan etanol kemudian masing-masing fraksi tersebut diuji toksisitasnya terhadap larva Artemia salina Leach untuk membandingkan aktifitas biologi dari komponen zat aktif yang terkandung dalam tinta cumi-cumi menurut kepolarannya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah ekstrak tinta cumi-cumi (Photololigo duvaucelii) toksik terhadap larva Artemia salina Leach?
b. Berapakah nilai LC50 ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, dan ekstrak
etanol tinta cumi-cumi terhadap larva Artemia salina Leach?
1.3 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. Ekstrak tinta cumi-cumi bersifat toksik terhadap larva Artemia salina Leach.
(19)
4
b. Nilai LC50 ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, dan ekstrak etanol tinta
cumi-cumi terhadap larva Artemia salina Leach berada pada rentang toksik, yaitu kurang dari 1000 mg/ml.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai LC50 ekstrak tinta
cumi-cumi dan mengetahui ekstrak yang paling toksik di antara ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, dan ekstrak etanol tinta cumi-cumi terhadap larva Artemia salina Leach.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang toksisitas ekstrak tinta cumi-cumi dan kemungkinan pengembangannya untuk pengobatan alternatif penyakit kanker.
(20)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cumi-cumi
Cumi-cumi adalah kelompok hewan yang hidup di laut, termasuk salah satu hewan dalam golongan bertulang belakang). Nam kepala, hal ini karena kakinya yang terpisah menjadi sejumlah tangan yang melingkari kepala. Semua jenis cephalopoda termasuk cumi-cumi dipisahkan dengan memiliki kepala yang berbeda. diameter 1 mm. Cumi-cumi banyak digunakan sebagai makanan (Anonim, 2010).
Salah satu jenis cumi-cumi laut dalam, “Heteroteuthis”, adalah yang memiliki kemampuan memancarkan cahaya. Organ yang mengeluarkan cahaya itu terletak pada ujung suatu juluran panjang yang mnonjol di depan. Hal ini dikarenakan peristiwa luminasi yang terjadi pada cumi-cumi jenis Heteroteuthis menyemprotkan sejumlah besar cairan bercahaya apabila dirinya merasa terganggu, proses ini sama seperti pada halnya cumi-cumi biasa yang menyemprotkan tinta (Anonim, 2010).
2.1.1 Aneka jenis cumi-cumi
Cumi-cumi pada umumnya biasa berukuran sekitar 5,1 cm, namun ada
jenis cumi-cumi
lebih dari 15m. Cumi-cumi raksasa ini sering ditemukan terdampar di sepanjang pantai Newfoundland. Cumi-cumi yang biasa dikonsumsi oleh manusia adalah
(21)
6
jenisdan tersebar di perairan
timurAda yang hidup di dekat dengan permukaan air, ada pula yang hidup di tempat yang dalam sekali atau
Ada pula jenis cumi-cumi terbang, Ommastrephes bartrami, yang dapat dibandingkan dengan ikan terbang. Hewan ini sering melompat keluar dari air, terutama dalam cuaca buruk, dan terkadang terdampar di atas dek kapal nelayan. Cumi-cumi jenis kecil tidak mengganggu manusia, namun jenis yang besar dapat menjadi ancaman yang berbahaya untuk manusia ketika menyelam. Total jenis cumi-cumi yang tersebar di seluruh bagian dunia, terdapat sekitar 300 spesies cumi-cumi yang berbeda (Anonim, 2010).
2.1.2 Anatomi cumi-cumi
Semua cumi-cumi memiliki tubuh yang berbentuk pipa, kepala yang berkembang sempurna, dan 10 tangan yang panjang yang bermangkuk penghisap. Tangan-tangan ini berguna untuk menjerat mangsanya kemudian disobek menggunakan rahangnya yang kuat, mirip dengan paruh binatang. Cumi-cumi menghisap air melalui rongga pusat tubuhnya, keluar melalui suatu pembuluh yang lentur yang disebut dengan sifon yang terletak tepat di belakang tangan. Oleh karena pancaran air yang mendorong cumi-cumi berenang mundur (Anonim, 2010).
Sirip cumi-cumi merupakan 2 perluasan mantel seperti cuping yang digunakan sebagai kemudi pergerakannya. Matanya tidak memiliki kelopak mata, namun tampak seperti mata manusia. Cumi-cumi mempunyai tiga jantung dan berdarah biru. Dua dari jantung mereka berlokasi dekat dengan masing-masing
(22)
7
insangnya dan karena hal itu mereka dapat memompa oksigen ke bagian tubuh yang beristirahat dengan mudah. Cumi-cumi memiliki pokok sistem pernapasan senyawa tembaga, berbeda dengan manusia dimana manusia mempunyai pokok sistem pernapasan senyawa besi, yang berakibat jika terlalu tertutup pada permukaan di mana terdapat air panas, cumi-cumi dapat mati dengan mudah karena lemas. Banyak cumi-cumi yang dapat mengubah warna tubuhnya dari coklat menjadi ungu, merah, atau kuning sebagai ancaman pemangsanya (Anonim, 2010).
Gambar 2.1.2 Cumi-cumi (Anonim, 2010)
2.1.3 Tinta cumi-cumi
Karakteristik yang dimiliki cumi-cumi adalah adanya kantung tinta yang terdapat di atas usus besar yang bermuara di dekat anus sebagai benteng pertahanan dan perlawanan yang akan berkontraksi dan mengeluarkan cairan berwarna hitam ketika diserang musuh sehingga membentuk awan berwarna hitam di sekelilingnya yang memungkinkan cumi-cumi terhindar dari predator lain (Agusandi, dkk., 2013).
Selama ini banyak masyarakat yang menganggap tinta cumi-cumi tidak bermanfaat sehingga jika mengolah cumi-cumi, kantong tintanya dibuang. Padahal tinta memiliki banyak manfaat dan khasiat. Tinta cumi-cumi sudah banyak dikenal dalam dunia kuliner manca negara. Tinta cumi-cumi ini
(23)
8
mengandung butir-butir melanin atau pigmen hitam. Melanin alami adalah melanoprotein yang mengandung 10 - 15% protein, sehingga menjadi salah satu sumber protein yang baik karena sama baiknya dengan kandungan protein pada dagingnya (Agusandi, dkk., 2013). Di Jepang, tinta cumi-cumi dipakai sebagai bahan peningkat cita rasa, selain itu tinta cumi-cumi juga memiliki khasiat untuk kesehatan (Sasaki, dkk., 1997).
Tinta cumi-cumi mempunyai nilai gizi yang cukup baik terutama kandungan protein dan asam amino. Tinta cumi-cumi mengandung protein sebesar 10,88% yang terdiri atas asam amino esensial dan non esensial. Melanoprotein tinta cumi-cumi mengandung asam amino esensial yang dominan berupa lisin, leusin, arginin dan fenilalanin (Agusandi, dkk., 2013).
Tinta cumi-cumi ini mengandung butir-butir melanin atau pigmen hitam. Melanin alami adalah melanoprotein yang mengandung 10 - 15% protein, sehingga menjadi salah satu sumber protein yang baik karena sama baiknya dengan kandungan protein pada dagingnya. Di Jepang, tinta cumi-cumi dipakai sebagai bahan peningkat cita rasa, selain itu tinta cumi-cumi juga memiliki khasiat untuk kesehatan (Sasaki, dkk., 1997).
2.1.4 Cumi-cumi sebagai komoditas komersial
Cumi-cumi merupakan produk laut yang cukup melimpah di perairan Indonesia dan sangat diminati masyarakat terutama penggemar seafood dan chinese food. Menurut data statistik kementrian kelautan dan perikanan, hasil ekspor cumi-cumi pada tahun 2011 mencapai 48.803.318 kg, kemudian menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada tahun 2012 sebesar
(24)
9
58.145.503kg. Produksi cumi-cumi di Indonesia diperkirakan mencapai 28,25 ribu ton per tahun (KKP, 2013).
Cumi-cumi memiliki daging yang bersih, licin dan memiliki aroma yang khas serta mengandung nilai gizi yang cukup baik (Kreuzer, 1986). Selain itu cumi-cumi juga memiliki kandungan mineral seperti fosfor dan kalsium yang berguna untuk pertumbuhan tulang bagi anak-anak. Cumi-cumi juga mengandung berbagai macam vitamin antara lain vitamin B1, B2, B6 , C, A, D, E dan K (Agusandi, dkk., 2013).
2.2 Udang Laut Artemia salina Leach
Artemia salina Leach adalah udang yang termasuk dalam family Artemidae, merupakan udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton, yang menghuni perairan-perairan yang berkadar garam tinggi. Artemia dapat digunakan di laboratorium bioassay untuk menentukan toksisitas dengan perhitungan konsentrasi yang menimbulkan 50% anggota populasi hewan uji mati (LC50), yang telah dilaporkan untuk racun dan ekstrak tanaman
(Mudjiman, 1989).
Artemia salina merupakan bangsa udang-udangan yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Anthropoda Kelas : Crustacea Subkelas : Branchiopoda Ordo : Anostraca Familia : Artemidae Genus : Artemia
(25)
10 Spesies : Artemia salina
Genus Artemia memiliki beberapa spesies yang telah dikenal antara lain Artemia salina Leach, Artemia parthenogenetica, Artemia franciscana Kellog, Artemia urmiana Gunther, Artemia persimilis Prosdicimi dan Piccinelli, Artemia monica Verril, dan Artemia odessensisr (Isnansetyo, 1995).
2.2.1 Morfologi
Istilah untuk telur artemia adalah siste/kista, yaitu telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, ia sangat tahan menghadapi keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).
Gambar 2.2 Tahapan penetasan Artemia salina (Isnansetyo, 1995)
Siste/kista Artemia yang direndam dalam air laut bersuhu 25oC akan menetas dalam waktu 24-36 jam lalu dari dalam cangkangnya keluar larva yang juga dikenal dengan istilah nauplius, selanjutnya larva akan mengalami perubahan
(26)
11
bentuk atau metamorphosis. Setiap kali larva mengalami perubahan bentuk merupakan satu tingkatan. Larva tingkat I dinamakan instar I, tingkat II dinamakan instar II, tingkat III dinamakan instar III, demikian seterusnya sampai instar XV hingga berubah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989).
Larva yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan, oleh karena itu mereka masih belum perlu makan. Anggota badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (antenule atau antena I) dan sepasang sungut besar (antenna atau antena II). Sungut besar memiliki sepasang mandibulata (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian ventral (perut) terdapat labrum (Mudjiman, 1989).
Gambar 2.3 Morfologi naupius Artemia salina (Isnansetyo, 1995)
Larva akan berubah menjadi instar II sekitar 24 jam setelah menetas. Larva tingkat instar II sudah mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur, oleh karena itu mereka mulai mencari makanan karena cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerakkan antena II-nya, selain itu untuk mengumpulkan makanan, antenna II tersebut juga berguna untuk bergerak (Mudjiman, 1989).
Larva tingkatan selanutnya mulai memiliki sepasang mata majemuk, selain itu berangsur-angsur tumbuh tunas-tunas kakinya. Larva pada fase instar
(27)
12
XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah masa larva, dan berubah menjadi artemia dewasa (Mudjiman, 1989). Artemia salina dewasa bentuknya telah sempurna dan menyerupai udang kecil dengan ukuran panjang sekitar 1 cm, dengan kaki yang sudah lengkap sebanyak 11 pasang yang secara khusus torakopoda.
Gambar 2.4 Morfologi Artemia salina dewasa (Isnansetyo, 1995)
Baik pada yang jantan maupun pada yang betina, antenna I-nya (antenula) tetap saja sebagai sungut, yang fungsinya sebagai alat peraba. Artemia jantan memiliki antenna II berubah menjadi alat penjepit yang membesar dan berotot yang kegunaannya untuk berpegangan pada betina waktu menjelang perkawinan, sedangkan pada betina, antenna II-nya mengalami penyusutan yang akhirnya berubah menjadi alat peraba. Sepasang alat kelamin luarnya terdapat di belakang kaki torakopod yang jantan (penis), sedangkan pada yang betina terdapat sepasang indung telur (ovarium) yang terletak di sebelah kanan dan kiri saluran pencernaan (Mudjiman, 1989).
(28)
13
2.2.2 Lingkugan hidup artemia
Artemia salina Leach tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6oC atau lebih dari 35oC, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat hidup mereka. Pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara 25oC-30oC (Mudjiman, 1989).
Perkembangan Artemia salina yang membutuhkan kadar garam yang tinggi sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya tidak dapat hidup lagi, sehingga artemia akan dapat aman tanpa gangguan. Pertumbuhan telur membutuhkan air yang kadar garamnya lebih rendah dari pada suatu batas tertentu. Batas ini berlainan untuk tiap jenis artemia (Mudjiman, 1989).
Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia dalam air ternyata juga sangat tinggi. Artemia masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 apabila kandungan ion natrium dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut adalah 28, (Mudjiman, 1989).
Artemia salina Leach dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat yang kadar oksigennya rendah maupun yang mengalami kejenuhan oksigen (Mudjiman, 1989). Artemia salina juga termasuk hewan euroksibion yaitu hewan yang mempunyai kisaran toleransi yang lebar akan kandungan oksigen. Artemia salina masih bisa bertahan pada kandungan oksigen 1 mg/L, namun pada kandungan oksigen terlarut yang tinggi sampai mencapai kejenuhan 150 persen, jenis udang-udangan ini juga masih dapat bertahan hidup. Kandungan oksigen yang baik untuk pertumbuhan Artemia adalah di atas 3 mg/L (Isnansetyo, 1995).
(29)
14
namun berpengaruh terhadap penetasan telur. Efisiensi penetasan akan menurun Apabila pH untuk penetasan kurang dari 8 (Mudjiman, 1989).
2.2.3 Cara penetasan telur
Telur Artemia salina Leach dapat ditetaskan dalam air laut biasa (kadar garam 30 per-mil). Air berkadar garam 5 permil yang dibuat dengan cara pengenceran air laut biasa dengan air tawar diperlukan untuk mencapai hasil penetasan yang baik. Natrium hidrokarbonat sebanyak 2g/l perlu ditambahkan agar pH air laut yang diencerkan tidak turun namun tetap antara 8-9, selain itu
dapat juga digunakan air laut buatan yang berkadar garam 5 permil (Mudjiman, 1989).
Pemecahan cangkang telur dibantu oleh kegiatan enzim, yaitu enzim penetasan. Enzim ini bekerja pada pH > 8 (antara 8-9). Suhu air selama penetasan hendaknya tetap, yaitu berkisar antara 25oC-30oC. Kadar oksigennya harus lebih dari 2mg/l sehingga air perlu diaerasi (diberi udara/oksigen). Sumber udara yang digunakan berupa penghembus udara (blower) atau aerator, yaitu pompa udara untuk aquarium (Mudjiman, 1989).
Naupilus Artemia yang baru menetas berwarna orange, berbentuk bulat lonjong dengan panjang sekitar 400 mikron, lebar 170 mikron, dan berat 0,002 mg. Ukuran-ukuran tersebut bervariasi tergantung strainnya (Isnansetyo, 1995).
2.2.4 Penggunaan Artemia salina pada metode BSLT
Artemia salina Leach secara luas telah digunakan untuk pengujian aktivitas farmakologi ekstrak suatu tanaman. Artemia salina juga merupakan hewan uji yang digunakan untuk praskrining aktivitas kanker di National Cancer Institude (NCI), Amerika Serikat. Uji BSLT dengan hewan uji artemia dapat
(30)
15
digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antikanker karena uji ini mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antikanker maupun fisiologis aktif tertentu (Panjaitan, 2011).
Penggunaan Artemia salina ini memang tidak spesifik untuk anti kanker maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap beberapa bahan, baik berupa ekstrak tanaman, ata aksinya sebagai antikanker secara lebih cepat dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan sitotoksik yang umum, misalnya dengan biakan sel kanker. Melihat adanya potensi sebagai anti kanker tersebut, maka penelitian lanjutan dapat dilanjutkan, yaitu dengan mengisolasi senyawa berkhasiat yang terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring aktivitasnya dengan uji larva udang atau metode yang lebih spesifik sebagai anti kanker (Meyer, dkk., 1982).
Artemia salina digunakan sebagai hewan uji karena memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA polymerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia dan organism yang memiliki ouabine-sensitive Na+ dan K+ dependent ATPase, sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada system tersebut dapat terdeteksi (Solis, 1993).
DNA-dependent RNA polymerase merupakan DNA yang mengarahkan proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA polymerase. Enzim ini membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah dan mengkaitkannya dengan bersama-sama nukleotida RNA pada saat nukleotida-nukleotida ini membentuk pasangan basa di sepanjang cetakan DNA. Eukariotik mempunyai 3
(31)
16
macam RNA polymerase, yaitu mRNA (messenger RNA) yang merupakan pembawa kode genetik dari DNA ke ribosom, tRNA (transfer RNA) yang berfungsi untuk menterjemahkan kodon dan mengikat asam amino yang akan disusun menjadi protein dan mengangkutnya ke ribosom, serta rRNA (ribosomal RNA) yang bersamaan dengan protein membentuk ribosom. Jika RNA polymerase tersebut dihambat, maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen utama semua sel. Protein berfungsi sebagai unsure struktural, hormon, immunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi otot, dan lainnya. Metabolisme sel dapat terganggu jika protein tidak terbentuk sehingga pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel (Nuswantari, 1998).
Artemia salina juga memiliki ouabine-sensitive Na+dan K+dependent ATPase yang merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3Na+ dari sel dan mengambil 2K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na+K+ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh ouabine. Adanya ouabine menyebabkan keseimbangan ion Na+dan K+tetap terjaga (homeostatis), selain itu sekarang ini ouabine juga digunakan untuk terapi jantung. Na+K+ATPase di dalam jantung, secara tak langsung mempengaruhi transport Ca2+ karena Na ekstrasel akan ditukar dengan Ca2+ intrasel. Na+K+ATPase yang dihambat menyebabkan Ca2+ intrasel lebih sedikit dikeluarkan dan Ca2+ intrasel meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995). Suatu senyawa yang bekerja mengganggu kerja salah satu enzim ini pada Artemia salina dan menyebabkan
(32)
17
kematian, maka senyawa tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia (Solis, dkk., 1993).
2.3 Toksisitas
Toksisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk menimbulkan kerusakan (Katzung, 2004). Uji toksisitas akut merupakan uji dengan pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat atau uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu dan pengamatan dilakukan selama 24 jam. Maksud dari toksisitas akut yaitu untuk menentukan suatu gejala dan tingkat kematian hewan uji akibat pemberian senyawa tersebut. Pengamatan aktivitas biologi uji toksisitas akut berupa pengamatan gejala klinik, kematian hewan uji atau pengamatan organ (Loomis, 1978).
Uji toksisitas akut dilakukan untuk mempersempit kisaran dosis dan terakhir dilakukan uji toksisitas akut untuk mendapatkan persentase kematian. Data yang diperoleh dari uji toksisitas akut dapat berupa data kuantitatif yang dinyatakan dengan LD50 (median letal dose) atau LC50 (median letal
concentration). Harga LD50 dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai
dengan lamanya pengamatan. Bila lama pengamatan tidak ditunjukkan, maka dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Loomis, 1978).
Parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian. Keuntungan penggunaan artemia sebagai hewan uji adalah kesederhanaan dalam pelaksanaan, waktu yang
(33)
18
relative singkat dan konsentrasi kecil sudah dapat menimbulkan aktivitas biologi (Meyer, 1982).
2.4 Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode pengujian awal aktivitas antikanker suatu senyawa dengan menggunakan hewan uji Artemia salina Leach selama 24 jam. Uji toksisitas akut dengan hewan uji artemia ini dapat digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarahkan pada uji sitotoksik karena ada kaitannya antara uji toksisitas akut dengan uji sitotoksik jika harga LC50 dari uji toksisitas akut lebih kecil dari 1000µg/ml. Parameter yang
digunakan untuk meunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian (Meyer, dkk., 1982).
Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga LC50. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Dari persentase data kematian
larva artemia dikonversikan ke nilai probit untuk menghitung harga LC50.
Senyawa dapat dikatakan toksik apabila harga LC50<1000µg/ml. Pengujian
antikanker menggunakan biakan sel kanker dapat dilanjutkan apabila pengujian dengan larva artemia menghasilkan harga LC50<1000µg/ml. Cara ini menghemat
waktu dan biaya penelitian (Meyer, dkk., 1982).
2.5 Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit sel dengan cirri gangguan atau kegagalan mekanis pengaturan multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler (Ganiswara, 1995). Neoplasma (tumor) merupakan kumpulan sel abnormal yang terbentuk oleh sel-sel yang tumbuh terus menerus,
(34)
19
tidak terbatas, tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya serta tidak berguna bagi tubuh (Sudiono, dkk., 2003). Apapun penyebabnya, pada dasarnya kanker merupakan penyakit sel yang dicirikan dengan perubahan mekanisme control yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Sel-sel yang mengalami transformasi neoplastis umunya mengekspresi antigen-antigen permukaan sel yang tampak seperti tipe janin (fetal) normal, memiliki tanda-tanda nyata lainnya seperti tidak terjadi maturitas, dan mungkin memperlihatkan abnormalitas-abnormalitas kromosom baik kualitas maupun kuantitasnya termasuk berbagai translokasi dan penampilan sekuens-sekuens gen teramplifikasi (Katzung, 2004). Sel-sel kanker akan terus membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan dan tidak lagi menuruti hukum-hukum pembiakan. Sel-sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitarnya (invasi) dan dapat menyebar ke seluruh jaringan (metastasis), selain itu sel kanker juga kehilangan fungsinya dan bersifat destruktif/merusak sel lainnya (Schunack, 1990).
Tahap-tahap pembentukan sel kanker adalah:
1. Inisiasi, yaitu tahap pembentukan metabolit reaktif yang mampu berkaitan secara kovalen dengan DNA sehingga menyebabkan terjadinya mutasi pada DNA.
2. Promosi, yaitu ekspresi mutasi yang dapat menyebabkan perubahan fungsi seluler (ekspresi gen dan fungsi reseptor) serta pertumbuhan neoplasma (sel yang pertumbuhannya tidak normal)
3. Progresif, yaitu manifestasi pertumbuhan dan perkembangan tumor menjadi ganas (kanker) dengan invasi dan metastasis.
(35)
20
1. Fase Gap (G1) atau fase pascamitosis merupakan fase awal di mana terjadi
sintesis asam ribonukleat dan protein.
2. Fase sintesis (S) di mana terjadi replikasi identik dari DNA sehingga dihasilkan dua set komplit DNA.
3. Fase Gap (G2) atau fase pramitosis merupakan fase persiapan untuk
memasuki fase mitosis.
4. Fase Mitosis (M) merupakan fase di mana material inti diturunkan identik kepada sel anak, yang ditandai dengan pembagian kromosom dan dihasilkan dua sel anakan.
Sel dapat memasuki fase G0 dan dapat juga masuk kembali ke fase G1.
Terhentinya siklus di fase G1 memungkinkan terjadinya perbaikan kerusakan,
sebelum sel memasuki fase S , saat DNA yang rusak akan direplikasi. (Junqueira, 2007). Hormon pertumbuhan, cyclins dan Cdk (cyclin dependent kinase) merupakan sinyal transduksi yang dapat memacu sel untuk memasuki daur sel kembali, sedangkan protein penekan tumor (misalnya p53), dan Cdk inhibitor akan memicu sel untuk memasuki fase istirahat (G0). Sel kanker tidak memiliki
p53 atau jumlah p53 kurang, sehingga sel kanker tidak dapat memasuki fase G0
dan sel tersebut akan memasuk siklus sel dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga sel akan terus membelah (Schunack, 1990).
Karsinogenik dapat merangsang pembentukan sel kanker. Beberapa karsinogen yang diduga dapat menaikkan resiko terjadinya kanker antara lain senyawa kimia (zat karsinogen), faktor fisika (radiasi bom atom dan radioterapi agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha, 2003).
(36)
21
2.6 Penyarian
Pemilihan penyari dalam penyarian merupakan hal yang harus dipertimbangkan. Cairan penyari untuk ekstrak sebaiknya sesuai dengan zat aktif yang berkhasiat, dalam arti dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa lainnya dalam bahan sehingga ekstrak mengandung sebagian besar senyawa aktif berkhasiat yang diinginkan (Ditjen POM, 1985).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisisa nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Ditjen POM, 1985).
2.7 Triterpenoid dan steroid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, yang umumnya sukar dicirikan karena tidak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat-H2SO4 pekat)
yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987).
Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya system cincin siklopentena perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai senyawa satwa (sebagai hormone klamin, asam empedu, dan lain-lain), tetapi
(37)
22
pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan di jaringan tumbuhan. Memang tiga senyawa yang biasa disebut ‘fitosterol’ mungkin terdapat pada setiap tumbuhan tinggi: sitosterol (dahulu dikenal sebagai β -sitosterol), stigmasterol, dan kampesterol. Sterol umum ini terdapat dalam bentuk bebas dan sebagai glukosida sederhana. Sterol tumbuhan yang kurang umum ialah α-spinasterol, yaitu isomer stigmasterol yang terdapat dalam bayam Amarantus alfalfa, Medicago sativa, dan akar Polygala senega. Sterol tertentu hanya terdapat dalam tumbuhan rendah, misalnya ergosterol yang terdapat dalam khamir dan sejumlah fungus. Sterol lain terutama terdapat dalam tumbuhan rendah, tetapi kadang-kadang terdapat juga pada tumbuhan tinggi, misalnya fukosterol, yaitu steroid utama pada alga coklat dan juga terdeteksi pada kelapa (Harborne, 1987).
Senyawa steroid tertentu seperti Kortikosteroid adrenal (khususnya analog glukokortikoid) berguna untuk mengobati leukemia akut, limfoma, myeloma, dan kanker hematologis lainnya serta kanker payudara stadium lanjut dan sebagai terapi pendukung untuk mengobati hiperkalsemi akibat berbagai jenis kanker. Steroid ini menyebabkan disolusi limfosit, regresi limfonodus, dan menghambat pertumbuhan jaringan mesenkim tertentu (Katzung, 2004).
Triterpenoid mempunyai aktifitas biologis terhadap virus epstein-barr virus (EBV) dimana menyerang manusia dan virus ini sangat mematikan yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan bisa menyebabkan komplikasi penyakit lain (Singh, 1999). Sebagai tambahan, triterpenoid secara alami dan biologis mempunyai aktifitas farmakologis seperti antitumor/antikanker maupun antiperadangan (Gauthier, 2010).
(38)
23
Triterpenoid bersifat imonogenik sehingga memicu terjadinya proses pembentukan antibodi. Antibodi yang terbentuk dapat menempel di permukaan sel tertentu, hal ini terjadi karena ada beberapa sel yang pada membrannya memiliki reseptor dari antibodi antara lain sel killer yang akan mengikat triterpenoid di permukaan sel yang memiliki gen cacat. Adanya ikatan sel killer tersebut akan melepaskan suatu enzim yang disebut sebagai sitotoksin. Sitotoksin yang dilepas oleh sel killer tersebut mengandung perforin dan granzyme yang memperforasi membran sel yang memiliki gen cacat, kemudian granzym dimasukkan dalam sel tersebut. Granzyme yang berada dalam sitosolik dari gen yang memiliki gen cacat gen tersebut akan mengaktivasi DNA-se. DNA-se inilah yang merusak DNA yang berada di dalam inti, sehingga sel mengalami kematian (apoptosis) (Sudiana, 2008).
(39)
24
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian sederhana (post test only control group design) yang meliputi pengumpulan bahan, identifikasi sampel, pembuatan ekstrak, dan uji toksisitas. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara pada bulan Maret 2014. Bagan kerja penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2, 3, dan 4, halaman 47-50.
3.2Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas : Konsentrasi dari ekstrak tinta cumi-cumi. b. Variabel terikat : Persentase kematian larva Artemia salina
Leach c. Variabel terkontrol :
1. Faktor hewan uji yaitu larva Artemia Salina Leachberumur 48 jam
2. Faktor lingkungan percobaan, yaitu sinar lampu 5 watt, suhu penetasan, yaitu 25o - 30o C, pH air laut buatan, yaitu 8-9, dan kadar garam 5 permil.
3.3 Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat gelas laboratorium (Pyrex), Mat pipet ketelitian 0,1 ml dan 0,02 ml (Pyrex), termometer, oven listrik (Stork), hair dryer (Maspion), neraca analitik (Vibra
(40)
25
AJ), neraca kasar (Saherand), penangas air (Yenaco), flakon, aquarium khusus BSLT, lampu penerang 5 watt (Hannochs), dan seperangkat alat destilasi.
3.4Bahan
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tinta dari cumi-cumi jenis Photololigo duvaucelii di mana hewan cumi-cumi berasal dari pusat Pasar Tradisional Sambu Kota Medan. Bahan yang digunakan untuk penyarian yaitu berupa pereaksi n-heksan, etilasetat, dan etanol 96% berkualitas teknis yang telah dimurnikan dengan cara destilasi. Bahan yang digunakan untuk uji BSLT antara lain telur Artemia salina Leach (Brine Shrimp Egg, Ocean Star International Inc), air laut buatan berkadar garam 5 per mil, ekstrak n-Heksan, ekstrak etilasetat, dan ekstrak etanol tinta cumi-cumi (Photololigo duvaucelii), dan suspensi ragi Saccharomyces cerevisae. Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berupa aquades dan garam air laut yang mengandung natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1 Penyiapan sampel
Penyiapan sampel dlakukan secara purposif (sengaja) yaitu tanpa membandingkan dengan hewan yang sama dari daerah lain yaitu cumi-cumi jenis Photololigo duvaucelii yang diperoleh dari salah satu kios perikanan di pusat pasar Sambu Kota Medan, provinsi Sumatera Utara.
3.5.2 Identifikasi hewan
(41)
26
Indonesia Pusat Penelitian Oseanografi di Jakarta. Hasil identifikasi hewan dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 46.
3.5.3 Preparasi sampel tinta cumi-cumi
Cumi-cumi segar sebanyak 6 kg diambil kantung tintanya dengan pinset anatomi lalu dibedah untuk mengeluarkan tintanya. Tinta ditampung dalam wadah beaker glass dan disimpan dalam lemari pendingin sebelum digunakan.
3.5.4 Ekstraksi berkesinambungan tinta cumi-cumi 3.5.4.1 Pembuatan ekstrak n-heksan
Tinta Cumi-cumi diukur volumenya dengan gelas ukur kemudian dimasukkan dalam wadah beaker glass dan diekstraksi dengan pelarut n-heksan dengan perbandingan 1:3. Tinta diaduk perlahan-lahan bersama pelarut menggunakan batang pengaduk dan disimpan selama 7 hari di dalam lemari pendingin. Masing-masing ekstrak disaring dengan kertas saring Whatmann No.1 dan dipekatkan pada suhu 40oC di atas penangas air. Ekstrak dikumpulkan dan ditimbang beratnya (Girija, 2012).
3.5.4.2 Pembuatan ekstrak etilasetat
Sisa tinta dari ekstraksi pertama dibebaskan dari n-heksan dengan cara dikeringanginkan dengan hair dryer kemudian diukur kembali volumenya dengan gelas ukur, dimasukkan ke dalam beaker glass dan diekstraksi dengan pelarut etilasetat dengan perbandingan 1:3. Tinta diaduk perlahan-lahan bersama pelarut menggunakan batang pengaduk dan disimpan dalam lemari pendingin selama 7 hari. Ekstrak disaring dengan kertas saring Whatmann No.1, dipekatkan pada suhu 40o di atas penangas air, dikumpulkan dan ditimbang beratnya (Girija, 2012).
(42)
27
3.5.4.3 Pembuatan ekstrak etanol
Sisa tinta dari ekstraksi kedua dibebaskan dari etilasetat dengan cara dikeringanginkan dengan hair dryer kemudian diukur kembali volumenya dengan gelas ukur, dimasukkan ke dalam beaker glass dan diekstraksi dengan pelarut etanol dengan perbandingan 1:3. Tinta diaduk perlahan-lahan bersama pelarut menggunakan batang pengaduk dan disimpan dalam lemari pendingin selama 7 hari. Ekstrak disaring dengan kertas saring Whatmann No.1 dan dipekatkan pada suhu 40oC di atas penangas air. Ekstrak dikumpulkan dan ditimbang beratnya (Girija, 2012).
3.5.5 Uji kualitatif senyawa steroid/triterpenoid
Tinta cumi-cumi ditambah setetes asam asetat anhidrida dengan setetes asam sulfat pekat. Terbentuknya warna biru, hijau, atau merah menandakan adanya steroid/ triterpenoid. Ekstrak tinta cumi-cumi diambil cupikannya masing-masing sebanyak tiga tetes untuk diujikan dengan pereaksi lieberman burchard.
3.5.6 Uji toksisitas Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
3.5.6.1 Pembuatan air laut buatan
Air laut buatan berkadar garam 5 per mil dan pH antara 7,3 - 8,4 merupakan media hidup yang sesuai untuk larva Artemia salina Leach. Bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berkadar garam 5 per mil yaitu 10 gram garam air laut yang terdiri dari 5 g natrium klorida, 1,3 g magnesium sulfat, 1 g magnesium klorida, 0,3 g kalsium klorida, 0,2 g kalium klorida, dan 2 g natrium bikarbonat dicampur dalam 1 liter aquadest. Bahan untuk pembuatan air laut buatan dapat diracik secara manual atau langsung menggunakan garam air
(43)
28
laut yang telah jadi ada tersedia dipasaran. Bahan-bahan tersebut ditimbang lalu dilarutkan dalam sebagian aquadest pada labu takar 1 liter kemudian ditambahkan aquadest sampai volume tepat 1 liter. (Mudjiman, 1989).
Tabel 3.1 Bahan untuk pembuatan air laut buatan
No Bahan Jumlah (g)
1. NaCl 5,0
2. MgSO4 1,3
3. MgCl2 1,0
4. CaCl2 0,3
5. KCl 0,2
6. NaHCO3 2,0
7. Aquadest Sampai 1 liter
3.5.6.2 Penetasan telur Artemia salina Leach
Tempat penetasan telur artemia berupa aquarium dengan kaca gelap yang terbagi menjadi dua bagian dengan suatu sekat berlubang pada bagian bawahnya. Salah satu bagian adalah area yang terang, sedangkan bagian lain adalah area yang gelap tempat telur artemia ditaburkan. Suhu penetasan berkisar antara 25oC-30oC, pH antara 7,3 - 8,4. Air laut buatan dengan kadar garam 5 per mil diaerasi selama 1 jam. Air laut buatan dimasukan dalam aquarium khusus BSLT. Siste artemia ditaburkan di area gelap secara merata dan diberi penerangan., Siste akan menetas setelah 24 jam menjadi nauplius yang aktif bergerak menuju ke tempat terang. Larva yang akan digunakan adalah larva yang telah berumur 48 jam.
Siste artemia yang telah menetas harus ditambahkan lagi air laut buatan yang telah diaerasi selama 1 jam agar larva artemia yang baru menetas tidak kekurangan oksigen.
(44)
29
Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml dibuat dengan menimbang 100,0 mg ekstrak n-heksan tinta cumi-cumi kemudian dilarutkan dalam n-heksan sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi 1 mg/ml dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan dalam n-heksan sampai 10,0 ml.
3.5.6.4 Pembuatan larutan uji sampel ekstrak n-heksan tinta cumi-cumi
Larutan B diencerkan hingga konsentrasi 100 µg/ml kemudian dibuat seri konsentrasi 10, 18, 32, 58, dan 105 µg/ml. Adapun cara untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak n-heksan yang akan digunakan dalam pengujian dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 51.
Tabel 3.2 Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak n-heksan
Konsentrasi larutan (C1) (µg/ml)
Volume larutan stok yang diambil ( V1) (ml)
Volume air laut buatan yang ditambahkan (V2) (ml)
Konsentrasi larutan sampel yang diujikan (C2) (µg/ml)
100 0,5
0,9 1,6
5 10
5 18
5 32
1000 0,3
0,5
5 58
5 105
3.5.6.5 Pembuatan larutan A dan B ekstrak etilasetat tinta cumi-cumi
Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml dibuat dengan menimbang 100,0 mg ekstrak etilasetat tinta cumi-cumi kemudian dilarutkan dalam etilasetat sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi 1 mg/ml dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan dalam etilasetat sampai 10,0 ml.
(45)
30
Larutan B, diencerkan hingga konsentrasi 100 µg/ml kemudian dibuat seri konsentrasi ekstrak 2; 2,8 ; 3,9 ; 5,5 ; dan 7,7 µg/ml. Adapun cara untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak etilasetat yang akan digunakan dalam pengujian dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 63.
Tabel 3.3 Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etilasetat
Konsentrasi larutan Stok
( C1) (µg/ml )
Volume larutan stok yang diambil
( V1) (ml)
Volume air laut buatan yang ditambahkan (V2)
(ml)
Konsentrasi larutan sampel yang diujikan
(C2) (µg/ml)
100
0,1 5 2
0,14 5 2,8
0,19 5 3,95
0,28 5 5,5
0,39 5 7,7
3.5.6.7 Pembuatan larutan A dan B ekstrak etanol tinta cumi-cumi
Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml dibuat dengan menimbang 100,0 mg ekstrak etanol Tinta Cumi-cumi kemudian dilarutkan dalam etanol sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi 1 mg/ml dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan dalam etanol sampai 10,0 ml.
3.5.6.8 Pembuatan larutan uji sampel ekstrak etanol
Larutan B diencerkan hingga konsentrasi 1 dan 10 µg/ml kemudian dibuat seri konsentrasi 0,1 ; 0,17 ; 0,31 ; 0,55 ; dan 0,98 µg/ml. konsentrasi tersebut diperoleh dengan terlebih dahulu membuat serikonsentrasi 0,1; 1 dan 5 µg/ml kemudian dipilih seri konsentrasi terkecil dan terbesar yang menyebabkan kematian larva. Seri konsentrasi tersebut dihitung dengan faktor pengali sehingga
(46)
31
diperoleh seri konsentrasi pengujian terhadap larva. Adapun cara untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak etanol yang akan digunakan dalam pengujian dapat dilihat pada Lampiran 11, halaman 75.
Tabel 3.4 Seri konsentrasi larutan sampel ekstrak etanol
Konsentrasi larutan Stok ( C1)
(µg/ml )
Volume larutan stok yang diambil (V1)
(ml)
Volume air laut buatan yang ditambahkan (V2) (ml)
Konsentrasi larutan sampel yang diujikan (C2)
(µg/ml)
1
0,5 5 0,1
0,88 5 0,17
0.15 5 0,31
10 0,27 5 0,55
0,49 5 0,98
3.5.6.9 Pelaksanaan uji BSLT
Sepuluh ekor larva Artemia salina Leach yang telah berumur 48 jam diambil, dimasukkan dalam flakon yang berisi sampel dengan konsentrasi tertentu yang sebelumnya telah dikeringkan, kemudian ditambahkan air laut buatan sebanyak 3 ml. lalu di tambah 1 tetes suspensi ragi (3 mg ragi dalam 5 ml ALB) sebagai makanan dan air laut buatan sampai 5 ml. Setiap pengujian selalu disertai dengan kontrol, yaitu pelarut dengan jumlah yang sama dengan jumlah ekstrak ditambahkan stiap flakon, kemudian setiap konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi. Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati dihitung untuk mengetahui nilai probit dan dianalisis untuk mengetahui harga LC50 (Meyer, dkk., 1982).
(47)
32
3.5.7 Analisis data
Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit untuk menghitung LC50 Persentase kematian
ditentukan dengan rumus Abbot :
% Kematian = x 100%
Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS 17.00. Cara perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 7, 10, 13 halaman 58, 71, dan 83.
(48)
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Identifikasi Hewan Cumi-cumi
Hasil identifikasi hewan cumi-cumi yang dilakukan di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ancol, Jakarta, menunjukkan bahwa spesies sampel hewan adalah cumi-cumi jenis Photololigo
duvaucelii
Myopsida, suku Loliginidae, marga terlampir pada Lampiran 1, halaman 46.
4.2 Ekstraksi Berkesinambungan Tinta Cumi-cumi
Sampel hewan cumi-cumi sebanyak enam kilogram menghasilkan 46 ml tinta dengan berat ekstrak kasar sebagai berikut:
Tabel 4.1 Hasil ekstraksi berkesinambungan tinta cumi-cumi
Fraksi Warna larutan ekstrak Berat ekstrak kasar (mg)
Ekstrak n-heksan Hitam kebiruan 495
Ekstrak etil asetat Kuning Jingga 540 Ekstrak etanol Hijau kekuningan 948,5
4.3 Uji Kualitatif Senyawa Steroid/Triterpenoid
Uji yang banyak digunakan dalam mengidentifikasi steroid/triterpenoid adalah reaksi Liebermann-Burchard (anhidrida asetat-asam sulfat pekat) yang kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987).
Hasil uji kualitatif senyawa steroid/triterpenoid dari ekstrak tinta cumi-cumi menunjukkan hasil positif pada ekstrak n-heksan dan etilasetat, namun menunjukkan hasil yang negatif pada ekstrak etanol. Hal ini diduga kerena pada
(49)
34
ekstrak etanol, steroid/triterpenoid masih terikat dalam wujud glikosida.
Tabel 4.2 Hasil uji kualitatif steroid/triterpenoid
Fraksi Hasil/warna
Ekstrak n heksan (+) ( Biru kehijauan ) Ekstrak etil asetat (+) (Merah kehijauan)
Ekstrak etanol (-) (tidak berubah)
4.4 Uji Toksisitas Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
4.4.1 Uji toksisitas pendahuluan
Uji toksisitas pendahuluan bertujuan untuk menentukan batas atas dan batas bawah sebelum melakukan perhitungan uji toksisitas utama sebagai berikut:
Tabel 4.3 Persentase kematian larva Artemia salina Leach akibat pemberian
ekstrak tinta cumi-cumi pada uji orientasi
Konsentrasi(µg/ml) % Kematian larva artemia Ekstrak
n- heksan
Ekstrak etilasetat Ekstrak etanol
10 40 71 75
100 68 79,5 91,3
1000 91 100 100
Uji toksisitas dilakukan dengan konsentrasi awal sebesar 10, 100, dan 1000 µg/ml sebagai orientasi. Pada ekstrak n-heksan diperoleh persentase kematian berturut-turut 40, 68, dan 91%. Dipilih nilai 100 µg/ml sebagai LD (konsentrasi terbesar) dan 10 µg/ml sebagai SD (konsentrasi terkecil). Nilai LD dan SD dimasukkan dalam rumus F untuk menentukan faktor pengali dan seri konsentrai uji sehingga diperoleh nilai faktor pengali F sebesar 1,8 dan seri konsentrasi uji ekstrak n-hkesan adalah 10, 18, 32,4; 58,3; dan 104,9 µg/ml.
(50)
35
terlalu tinggi di atas 80% sehingga konsentrasi diturunkan menjadi 0,1; 1; dan 5 sebagai uji orientasi kedua. Diperoleh persentase kematian pada uji orientasi kedua berturut-turut 37,5; 52,08; dan 60,41%. Dipilih nilai 1 µg/ml sebagai LD (konsentrasi terbesar) dan 0,1 µg/ml sebagai SD (konsentrasi terkecil). Nilai LD dan SD dimasukkan dalam rumus F untuk menentukan faktor pengali dan seri konsentrai uji sehingga diperoleh nilai faktor pengali F sebesar 1,77 dan seri konsentrasi uji eksrtak etanol adalah 0,1; 0,177; 0,314; 0,557; dan 0,986 µg/ml.
Hasil uji orientasi pada ekstrak etilasetat juga menunjukkan angka kematian yang terlalu tinggi di atas 80% sehingga konsentrasi diturunkan menjadi 0,1; 1; dan 5 µg/ml sebagai uji orientasi kedua.
Tabel 4.4 Persentase kematian larva Artemia salina akibat pemberian ekstrak
etilasetat dan etanol tinta cumi-cumi pada uji Orientasi Kedua Konsentrasi
( µg/ml )
% Kematian larva artemia
Ekstrak etilasetat Ekstrak etanol
0,1 2,77 37,5
1 28 52,08
5 39,66 60,41
Hasil uji orientasi kedua ternyata menunjukkan angka kematian yang terlalu rendah dibawah 20%, sehingga rentang konsentrasi diubah menjadi 2, 4, dan 8 µg/ml sebagai uji orientasi ketiga. Diperoleh persentase kematian pada uji orientasi ketiga berturut-turut 34,78; 46,66; dan 57,77%. Dipilih nilai 8 µg/ml sebagai LD (konsentrasi terbesar) dan 2 µg/ml sebagai SD (konsentrasi terkecil). Nilai LD dan SD dimasukkan dalam rumus F untuk menentukan faktor pengali dan seri konsentrai uji sehingga diperoleh nilai faktor pengali F sebesar 1,4 dan seri konsentrasi uji ekstrak etilasetat adalah 2; 2,8; 3,95; 5,5; dan 7,76 µg/ml. Konsentrasi tersebut digunakan untuk uji toksisitas utama dan menentukan LC50.
(51)
36
4.4.2 Uji toksisitas utama
Dilakukan uji toksisitas utama dengan seri konsentrasi berikut:
Tabel 4.5 Persentase kematian larva Artemia salina Leach akibat pemberian
ekstrak n-heksan tinta cumi-cumi
Konsentrasi ( µg/ml ) % Kematian larva artemia
10 31,11
18 33,33
32 37,77
58 40,90
104 72,72
Tabel 4.6 Persentase kematian larva Artemia salina Leach akibat pemberian
ekstrak etilasetat tinta cumi-cumi
Konsentrasi ( µg/ml ) % Kematian larva artemia
2 39,13
2,8 43,47
3,9 48,88
5,5 55,55
7,7 59,09
Tabel 4.7 Persentase kematian larva Artemia salina Leach akibat pemberian
ekstrak etanol tinta cumi-cumi
Konsentrasi ( µg/ml ) % Kematian larva artemia
0,1 37,5
0,17 41,66
0,31 46,93
0,55 52
(52)
37
Hasil penelitian menunjukkan terjadi perbedaan toksisitas antara ekstrak n-heksan, ekstrak etilasetat, dan ekstrak etanol dari tinta cumi-cumi. Hasil penelitian membuktikan bahwa ketiga ekstrak tinta cumi-cumi mempunyai potensi toksisitas. Hal tersebut berkaitan dengan senyawa yang terdapat dalam tinta cumi-cumi yaitu steroid/triterpenoid, di mana pada kadar tertentu memiliki potensi toksisitas serta dapat menyebabkan kematian larva artemia (Pringgenies, dkk., 2013)
Uji toksisitas akut dengan hewan uji artemia ini dapat digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarahkan pada uji sitotoksik karena ada kaitannya antara uji toksisitas akut dengan uji sitotoksik jika harga LC50 dari uji
toksisitas akut lebih kecil dari 1000µg/ml. Parameter yang digunakan untuk meunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada Artemia salina adalah kematian (Meyer, 1982). Artemia salina digunakan karena memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA polymerase artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia dan organism yang memiliki ouabine-sensitive Na+ dan K+ dependent ATPase, sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada system tersebut dapat terdeteksi (Solis, 1993). DNA-dependent RNA polymerase merupakan DNA yang mengarahkan proses transkripsi RNA yang bergantung pada RNA polymerase. Enzim ini membuka pilinan kedua untai DNA sehingga terpisah dan mengkaitkannya dengan bersama-sama nukleotida RNA pada saat nukleotida-nukleotida ini mmbentuk pasangan basa di sepanjang cetakan DNA. Jika RNA polymerase tersebut dihambat, maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat (Nuswantari, 1998).
(53)
38
Data yang diperoleh (tabel 4.5, 4.6, dan 4.7) kemudian dianalisis dengan analisis probit menggunakan Program SPSS statistik 17.00 untuk mendapatkan nilai Lc50. Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga
LC50. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Dari persentase data kematian
larva artemia dikonversikan ke nilai probit untuk menghitung harga LC50.
Senyawa dapat dikataka toksik apabila harga LC50 < 1000µg/ml. Pengujian
antikanker dengan menggunakan biakan sel kanker dapat dilanjutkan apabila pengujian dengan larva artemia menghasilkan harga LC50 < 1000µg/ml.
(Meyer, dkk., 1982).
Pada penelitian ini digunakan analisis probit agar didapatkan kurva yang terbentuk garis lurus sehingga penentuan nilai LC50 lebih tepat. Jika hanya
memplotkan persentase kematian larva (nilai y) dengan logaritma konsentrasi (nilai x) maka akan didapatkan kurva berbentuk sigmoid sehingga dalam penentuan nilai LC50 dapat menjadi kurang tepat. Dalam analisis probit
didapatkan kurva yang berbentuk garis lurus karena konsentrasi sampel ditansformasikan menjadi logaritma konsentrasi sebagai variable tetap (nilai x) dan persentase kematian larva ditransformasikan menjadi nilai probit sebagai variabel terikat (nilai y).
4.5 Analisa Normalitas, Korelasi, Regresi Linear Dan Probit LC50
4.5.1 Ekstrak n-heksan
Hasil uji statistik normalitas untuk ekstrak n-heksan menunjukkan angka signifikasi 0,200 > 0,05 yang berarti data terdistribusi normal. Hasil analisa probit diperoleh suatu tabel yang mencantumkan nilai LC50 yang dihasilkan, yaitu
(54)
39
sebesar 50,176 µg/ml. Hasil uji stratistik korelasi untuk ekstrak n-heksan terhadap larva Artemia salina menunjukkan angka signifikansi (2-tailed) sebesar 0,01, lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada korelasi signifikan antara konsentrasi ekstrak dan persentase kematian larva dengan kurva hubungan antara nilai probit dengan log konsentrasi ekstrak n heksan tinta cumi-cumi sebagai berikut:
Log Konsentrasi
Gambar 4.1 Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak
n-heksan tinta cumi-cumi
Hasil uji statistik regresi untuk ekstrak n-heksan menunjukkan nilai Rsq 0,921 dan nilai R 0,969. Rsq merupakan koefisien determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana, yaitu merupakan persentase sumbangan X terhadap variasi (naikatau turunnya) Y. Hal ini berarti bahwa persentae sumbangan X yaitu konsentrasi ekstrak n-heksan tinta cum-cumi terhadap variasi nilai Y yaitu respon (jumlah kematian larva) sebesar 92,1%. Nilai
(55)
40
R merupakan koefisisen korelasi dalam hubungan dua vaiabel yang mengukur kuatnya hubungan antar variable tersebut. Diperoleh juga persaman garis linier yaitu Y= 24,149 + 0,428 X .
Selain itu diperoleh juga nilai signifikansi model persamaan regresi sebesar 0,010 < 0,05 yang berarti bahwa data dapat digunakan sebagai prediksi.
4.5.2 Ekstrak etil asetat
Hasil uji statistik normalitas untuk ekstrak etilasetat menunjukkan angka signifikasi 0,200 > 0,05 yang berarti data terdistribusi normal. Hasil analisa probit diperoleh suatu tabel yang mencantumkan nilai LC50 yang dihasilkan, yaitu
sebesar 4, 123 µg/ml dengan kurva hubungan antara nilai probit dengan log konsentrasi ekstrak etil asetat tinta cumi-cumi sebagai berikut:
Log Konsentrasi
Gambar 4.2 Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak
etilasetat tinta cumi-cumi
Hasil uji stratistik korelasi untuk ekstrak etilasetat terhadap larva Artemia Y=3,538x+33,728
(56)
41
salina menunjukkan angka signifikansi (2-tailed) 0,005, lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada korelasi signifikan antara konsentrasi ekstrak dan persentase kematian larva. Hasil uji statistik regresi untuk ekstrak etilasetat menunjukkan nilai Rsq 0,949 dan nilai R 0,974. Rsq merupakan koefisien determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana, yaitu merupakan persentase sumbangan X terhadap variasi (naikatau turunnya) Y. Hal ini berarti bahwa persentae sumbangan X yaitu konsentrasi ekstrak etilasetat tinta cum-cumi terhadap variasi nilai Y yaitu respon (jumlah kematian larva) sebesar 94,9%. Nilai R merupakan koefisisen korelasi dalam hubungan dua vaiabel yang mengukur kuatnya hubungan antar variable tersebut. Selain itu diperoleh juga nilai Signifikansi model persamaan regresi sebesar 0,005 < 0,05 yang berarti bahwa data dapat digunakan sebagai prediksi. Diperoleh juga persaman garis linier yaitu Y= 33,728 + 3,538 X.
4.5.3 Ekstrak etanol
Hasil uji statistik normalitas untuk ekstrak etanol menunjukkan angka signifikasi 0,200 > 0,05 yang berarti data terdistribusi normal. Hasil uji stratistik korelasi untuk ekstrak etanol terhadap larva Artemia salina menunjukkan angka signifikansi (2-tailed) sebesar 0,032, lebih kecil dari 0,05 yang berarti ada korelasi signifikan antara konsentrasi ekstrak dan persentase kematian larva. Hasil uji statistik regresi untuk ekstrak etanol menunjukkan nilai Rsq 0,828 dan nilai R 0,910. Rsq merupakan koefisien determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana, yaitu merupakan persentase sumbangan X terhadap variasi (naik atau turunnya) Y. Hal ini berarti bahwa persentae sumbangan X yaitu konsentrasi ekstrak etanol tinta cum-cumi terhadap variasi nilai Y yaitu respon
(57)
42
(jumlah kematian larva) sebesar 82,8%. Nilai R merupakan koefisisen korelasi dalam hubungan dua vaiabel yang mengukur kuatnya hubungan antar variable tersebut. Selain itu diperoleh juga nilai Signifikansi model persamaan regresi sebesar 0,032 < 0,05 yang berarti bahwa data dapat digunakan sebagai prediksi. Diperoleh juga persaman garis linier yaitu Y= 38,968 + 17,653 X
Hasil analisa probit diperoleh suatu tabel yang mencantumkan nilai LC50
yang dihasilkan, yaitu sebesar 0,498 µg/ml dengan kurva hubungan antara nilai probit dengan log konsentrasi ekstrak etil asetat tinta cumi-cumi sebagai berikut:
Log Konsentrasi
Gambar 4.3 Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak
etanol tinta cumi-cumi
Hasil perhitungan tatistik beserta data keluarannya (data output) dapat dilihat pada lampiran 7, 10, dan 13 halaman 57, 70, dan 82. Grafik hubungan antara persentase kematian artemia dengan probit menunjukkan bahwa semakin
(58)
43
besar nilai konsentrasi tinta cumi-cumi, mortalitas pada artemia juga akan semakin besar. Hal ini sesuai dengan Harborne (1987), yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasinya maka sifat toksiknya akan semakin tinggi.
Hasil penelitian kadar LC50 ekstrak n-heksan, etilasetat dan etanol tinta
cumi-cumi terhadap larva Artemia salina dengan menggunakan analisa probit berturut-turut sebesar 50,176 µg/ml; 4,123 µg/ml; dan 0,498 µg/ml. Menurut Meyer, suatu zat memiliki potensi sitotoksik terhadap sel kanker 9KB (sel karsinoma nasofaring) dan 9PS (sel leukemia in vitro ) apabila memiliki aktifitas signifikan pada konsentrasi LC50 < 30 µg/ml terhadap larva Artemia salina Leach.
Toksisitas merupakan indikator yang sangat berguna dalam kaitannya dengan aktifitas biologi. Toksisitas memberikan arahan yang penting terhadap adanya senyawa aktif yaitu triterpenoid secara farmakologi dan senyawa antitumor /antikanker. Serangkaian zat aktif fisiologi dari binatang laut, khususnya dari invertebrata (binatang yang tak memiliki sistem pertahanan tubuh secara fisik), yang telah diuji meliputi: antimikroba, antiviral, antitumor, antihipertensi, stimulan pertumbuhan, zat neurotoksik, dan lain-lain (Pringgenies, dkk., 2013).
Triterpenoid mempunyai aktifitas biologis terhadap virus epstein-barr virus (EBV) dimana menyerang manusia dan virus ini sangat mematikan yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan bisa menyebabkan komplikasi penyakit lain misalnya penyakit lupus, antiAIDS, antiinflamasi, antimikroba, antitumor dan antikanker (Singh, 1999). Menurut Park, triterpenoid mempunyai aktifitas biologis terhadap kanker. Sebagai tambahan, triterpenoid secara alami dan biologis mempunyai aktifitas farmakologis seperti antitumor/antikanker maupun
(59)
44 antiperadangan (Gauthier, 2010).
Terjadinya apoptosis yaitu kematian sel melalui mekanisme genetik (kerusakan fragmentasi kromosom dan DNA) melalui proses sitotoksik ini di picu karena adanya sel yang memiliki gen cacat. Timbulnya kecacatan gen ini, maka sel tersebut akan mengekspresikan senyawa triterpenoid. Triterpenoid ini dapat bersifat imonogenik, sehingga memicu terjadinya proses pembentukan antibodi. Antibodi yang terbentuk dapat menempel di permukaan sel tertentu, hal ini terjadi karena ada beberapa sel yang pada membrannya memiliki reseptor dari antibodi antara lain sel killer. Selanjutnya, antibodi yang berada di permukaan sel killer akan mengikat triterpenoid yang di permukaan sel yang memiliki gen cacat. Adanya ikatan sel killer tersebut akan melepaskan suatu enzim yang disebut sebagai sitotoksin. Sitotoksin yang dilepas oleh sel killer tersebut mengandung perforin dan granzyme. Perforin dapat memperforasi membran sel yang memiliki gen cacat, kemudian granzym dimasukkan dalam sel tersebut. Granzyme yang berada dalam sitosolik dari gen yang memiliki gen cacat gen tersebut akan mengaktivasi DNA-se. DNA-se inilah yang merusak DNA yang berada di dalam inti, sehingga sel mengalami kematian (apoptosis) (Sudiana, 2008).
Artemia salina juga memiliki ouabine-sensitive Na+dan K+dependent ATPase yang merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3Na+ dari sel dan mengambil 2K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na+K+ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh ouabine. Adanya ouabine menyebabkan keseimbangan ion Na+dan K+tetap terjaga (homeostatis). Na+K+ATPase di dalam jantung, secara tak langsung mempengaruhi transport
(60)
45
Ca2+ karena Na ekstrasel akan ditukar dengan Ca2+ intrasel. Na+K+ATPase yang dihambat menyebabkan Ca2+ intrasel lebih sedikit dikeluarkan dan Ca2+ intrasel meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995). Suatu senyawa yang bekerja mengganggu kerja salah satu enzim ini pada Artemia salina dan menyebabkan kematian, maka senyawa tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia (Solis, dkk., 1993).
(1)
84 Lampiran 12. (Lanjutan)
5. Konsentrasi 7,7 µg/ml= x 100% = 54,00%
C. Persentase Kematian Larva Artemia salina Leach
Konsentrasi (µg/ml)
% kematian larva artemia
0,1 37,50
0,177 41,66
0,314 46,93
0,557 52,00
(2)
85 Uji normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic Df Sig.
mort .190 5 .200* .948 5 .726
conc .223 5 .200* .902 5 .421
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Uji korelasi
Correlations
mort Conc Mort Pearson Correlation 1 .910*
Sig. (2-tailed) .032
N 5 5
Conc Pearson Correlation .910* 1 Sig. (2-tailed) .032
N 5 5
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Uji regresi
Variables Entered/Removedb
Model
Variables Entered
Variables
Removed Method
1 conca . Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: mort
(3)
86 Lampiran 13. (Lanjutan)
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 .910a .828 .770 3.31323
a. Predictors: (Constant), conc
ANOVAb
Model
Sum of
Squares Df Mean Square F Sig. 1 Regression 158.144 1 158.144 14.406 .032a
Residual 32.933 3 10.978
Total 191.077 4
a. Predictors: (Constant), conc b. Dependent Variable: mort
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) 38.968 2.459 15.846 .001
Conc 17.653 4.651 .910 3.796 .032
a. Dependent Variable: mort Analisa probit
Data Information
N of Cases
Valid 5
Rejected Missing 0
LOG Transform Cannot be Done
0
Number of Responses > Number of Subjects
(4)
87 Convergence Information
Number of Iterations
Optimal Solution Found
PROBIT 7 Yes
Parameter Estimates
Parameter Estimate
Std.
Error Z Sig.
95% Confidence Interval Lower Bound
Upper Bound PROBITa Conc .441 .160 2.747 .006 .126 .755
Intercept .133 .099 1.350 .177 .035 .232 a. PROBIT model: PROBIT(p) = Intercept + BX (Covariates X are transformed using the base 10.000 logarithm.)
Chi-Square Tests
Chi-Square dfa Sig. PROBIT Pearson Goodness-of-Fit
Test
.137 3 .987b
conc
Number of Subjects
Observed Responses
Expected
Responses Residual Probability
1 -1.000 100 38 37.935 -.435 .379
2 -.770 100 42 41.853 -.193 .419
3 -.509 100 47 46.386 .544 .464
4 -.260 100 52 50.757 1.243 .508
(5)
88 Lampiran 13. (Lanjutan)
Confidence Limits
Probabily
95% Confidence Limits for conc
95% Confidence Limits for log(conc)a
Estimate Lower Bound
Upper
Bound Estimate
Lower Bound
Upper Bound PROBIT .010 .000 .000 .000 -5.583 -18.245 -3.460
.020 .000 .000 .001 -4.965 -16.085 -3.098 .030 .000 .000 .001 -4.572 -14.715 -2.868 .040 .000 .000 .002 -4.277 -13.685 -2.695 .050 .000 .000 .003 -4.036 -12.847 -2.554 .060 .000 .000 .004 -3.832 -12.134 -2.434 .070 .000 .000 .005 -3.653 -11.508 -2.328 .080 .000 .000 .006 -3.492 -10.949 -2.234 .090 .000 .000 .007 -3.346 -10.440 -2.148 .100 .001 .000 .009 -3.212 -9.971 -2.069 .150 .002 .000 .018 -2.655 -8.032 -1.740 .200 .006 .000 .033 -2.213 -6.494 -1.476 .250 .015 .000 .057 -1.834 -5.176 -1.248 .300 .032 .000 .092 -1.493 -3.998 -1.038 .350 .066 .001 .147 -1.177 -2.915 -.834 .400 .132 .012 .243 -.878 -1.913 -.615 .450 .258 .089 .506 -.588 -1.051 -.296 .500 .498 .278 2.354 -.303 -.556 .372 .550 .961 .494 19.232 -.017 -.306 1.284 .600 1.872 .782 184.581 .272 -.107 2.266 .650 3.732 1.210 1982.849 .572 .083 3.297 .700 7.721 1.888 24583.882 .888 .276 4.391 .750 16.920 3.027 375113.880 1.228 .481 5.574 .800 40.530 5.092 7840551.04 1.608 .707 6.894 .850 112.201 9.302 2.722E8 2.050 .969 8.435 .900 404.030 19.785 2.369E10 2.606 1.296 10.375
(6)
89 Probabily
95% Confidence Limits for conc
95% Confidence Limits for log(conc)a
Estimate Lower
Bound Upper Bound Estimate
Lower Bound
Upper Bound .910 550.561 23.732 6.971E10 2.741 1.375 10.843 .920 770.554 28.915 2.251E11 2.887 1.461 11.352 .930 1115.157 35.924 8.173E11 3.047 1.555 11.912 .940 1685.100 45.773 3.450E12 3.227 1.661 12.538 .950 2698.400 60.332 1.783E13 3.431 1.781 13.251 .960 4691.860 83.442 1.229E14 3.671 1.921 14.089 .970 9261.641 124.288 1.318E15 3.967 2.094 15.120 .980 22871.511 211.026 3.090E16 4.359 2.324 16.490 .990 95080.610 485.809 4.463E18 4.978 2.686 18.650 a. Logarithm base = 10.