BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkebunan besar karet baru dimulai di Sumatera pada tahun 1902 dan di Jawa pada tahun 1906. Sejak saat itulah perkebunan karet mengalami perluasan yang
cepat. Dewasa ini, luas areal tanaman karetmencapai 3,04 juta hektar, di mana 83,4 2,54 juta hektar adalah karet rakyat. Oleh karena itu, selain sebagai
sumber devisa, karet rakyat juga memiliki arti sosial yang sangat penting karena mendukunglebih dari 10 juta jiwa keluarga petani yang mengusahakan komoditas
ini Setyamidjaja, 1993.
Karet alam merupakan salah satu komoditi pertanian yang penting baik untuk lingkup internasional dan terutama di Indonesia. Namun, penggunaan lateks
masih terbatas. Hal ini disebabkan karena karet alam tidak tahan terhadap zat kimiaZuhra, 2006.Namun kekurangan ini dapat diatasi dalam teknologi
karet.Pada awal pengolahannya karet alam biasanya mengalami proses komponding. Karet alam dicampur dengan bahan-bahan kimia aditif seperti bahan
pemvulkanisasi, akselerator, bahan penggiat, antioksidan, dan bahan pengisi.Penambahan bahan-bahan ini bertujuan untuk meningkatkan sitaf-sifat
tertentu pada karet Surya, 2006.
Kelapa Sawit Elaeis Guineensis termasuk produk yang banyak diminati oleh investor karena nilai ekonominya cukup tinggi. Para investor menanam
modalnya untuk membangun perkebunan dan pabrik pengolahan kelapa sawit. Pada tahun 1990-an luas perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 1,6 juta ha
yang tersebar di berbagai sentra produksi seperti, Sumatera Utara yangmerupakan sentra produksi terbesar mencapai 2.951.537 tonha pada tahun 2009 Yan, 2012.
Laju perkembangan industri kelapa sawit yang semakin pesat membutuhkan perhatian yang besar terutama dampaknya terhadap kelestarian
lingkungan sekitarnya Widhiastuti, 2001. Selama pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit, 1 ton TBS akan menghasilkan minyak sawit sebesar 0,21
ton dan inti sawit 0,05 ton, sisanya merupakan limbah padat seperti TKKS, sabut, dan cangkang biji Darnoko, 1992.
TKKS merupakan limbah terbesar yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit. Jumlah TKKS mencapai 30-35 dari berat TBS setiap pemanenan. Namun
hingga saat ini, pemanfaatan TKKS belum dilakukan secara optimal Hambali, 2008. Komponen terbesar dalam limbah padat TKKS adalah selulosa 40,
hemiselulosa 24, lignin 21. Ketiga komponen tersebut dapat dikonversikan menjadi berbagai bahan kimia, material, dan produk bernilai Herawan, 2013.
Selulosa C
6
H
10
O
5 n
adalah polisakarida yang merupakan pembentuk sel- sel kayu hampir 50. Kertas saring dan kapas hampir merupakan selulosa yang
murni.Berat molekul selulosa kira-kira 300.000 Sastrohamidjojo, 2009.
Nanokristal selulosa adalah suatu material yang dapat diperbarui dalam banyak aplikasi berbeda, seperti dalam bidang kimia, makanan, farmasi, dan lain-
lain. Karena memiliki dimensi skala nanometer dan sifat intrinsik fisikokimia maka nanokristal selulosa dapat digunakan sebagai agen penguat yang
memberikan sifat yang baik untuk nanokomposit Peng, 2011.
Nanokomposit merupakan bidang baru di Indonesia bahkan di dunia sekalipun, apalagi nanokomposit yang seluruhnya terbuat dari bahan
terbaharukan. Dikatakan nanokomposit karena salah satu komponen yang digunakan memiliki ukuran berkisar 1-100 nm. Pemanfaatan teknologi
bionanokomposit dengan menggunakan bahan baku dari sumber hayati seperti selulosa dan biopolimer menjadi bidang baru yang sangat prospektif untuk
dikembangkan di Indonesia.Penggunaan bionanokomposit untuk keperluan industri otomotif, elektronik,dan rumah tangga diharapkan mampu menjadi solusi
ketergantungan terhadap minyak bumi sebagai bahan baku pengganti produk plastik yang ketersediaannya terus menurun dengan harga yang relatif meningkat.
Produk bionanokomposit mempunyai sifat yang biodegradable sehingga dalam penggunaannya dapat mengurangi beban pencemaran lingkungan akibat limbah
plastik konvensional yang sulit terdegradasi secara biologis dan dapat menggunakan bahan yang terbarukan seperti nata decoco, limbah biomassa yang
mengandung lignoselulosa yang sangat melimpah di Indonesia Subiyanto, 2010.
Aulia 2013 telah mengisolasi nanokristal selulosa dari tandan kosong kelapa sawit dengan diameter 79 nm dengan menggunakan TEM.Dari analisa
degradasi termal menggunakan TGA menunjukkan bahwa nanokristal selulosa terdegradasi pada suhu 160
o
C. Silverio et, al. 2012 telah mengekstraksi nanokristal selulosa dari tongkol jagung. Karakterisasi nanokristal selulosa
meliputi kristalitas 83,7, morfologi 44,2 nm ± 1,08 nm, dan stabilitas termal 185
o
C memberikan hasil bahwa nanokristal selulosa mempunyai potensi yang sangat baik untuk digunakan sebagai penguat nanokomposit.
Dari uraian diatas, penulis bermaksud mengisolasi nanokristal selulosa yang berasal dari TKKS, dimana nanokristal selulosa tersebut dijadikan bahan
pengisi pada pembuatan karet nanokompositdengan metode pencelupan yang akan diuji ketahanan dan morfologi melalui uji tarik,SEM, dan swelling indeks.
1.2 Permasalahan