Budaya Organisasi Masyarakat Nias

20

1.5.2 Budaya Organisasi Masyarakat Nias

Pulau Nias merupakan salah satu pulau yang penduduknya memiliki proses pembentukan budaya yang sangat panjang. Berbagai bentuk kebudayaan dengan unsur-unsurnya merupakan hasil dari proses masa prasejarah yang memberikan pengaruh bagi kebudayaan Nias. Dengan panjangnya periode hegemoni manusia di wilayah Pulau Nias, maka berbagai nilai sosial juga tentu terlah berlangsung sejak adanya manusia pada masa prasejarah hingga masa sekarang. Nilai-nilai yang disepakati dan masih sesuai dengan kondisi sekarang tersebut merupakan kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut menjadi suatu landasan bagi masyarakat Nias dalam beraktifitas. Salah satu contohnya adalah upaya adaptasi terhadap lingkungan melalui berbagai cara hidup dan pemanfaatan bahan baku di lingkungannya. Karakter masyarakat yang adaptif itu sangat jelas terekam dalam budaya dimasa selanjutnya yaitu dalam bentuk tradisi perubahan nilai-nilai yang tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan semata tetapi juga aspek sosial yaitu perubahan sosial. 7 a. Inisiatif yang tinggi Untuk mendukung penelitian ini, peneliti turut menyajikan beberapa data karakteristik masyarakat Nias dalam berorganisasi, serta cakupan budaya yang mampu mempengaruhi sikap dan perilaku individu dalam melakukan suatu pekerjaan. Beberapa diantaranya adalah: Berbagai tradisi megalitik yang ditandai dengan berbagai patung dari batu yang diletakkan di depan rumah maupun didalam adalah simbol status sosial penghuninya. Status sosial juga ditunjukkan dari besar- 7 Hammerle, P. Johannes, 2004. Asal usul masyarakat Nias: Suatu interpretasi. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, hal. 21 21 kecilnya rumah adat, tinggi rendahnya bangunan megalitik, pola hias, pahatan, perhiasan dan alat musik yang dimiliki. Semua hal tersebut dapat dimiliki melalui pesta adat. Pesta yang memerlukan sejumlah biaya seperti emas dan beberapa ekor babi sesuai takaran adat. Pengorbanan tersebut dapat mengancam perekonomian dari keluarga yang mengadakan pesta. Namun, demi penghargaan dan harga diri di mata masyarakat, semua itu rela untuk dilakukan. Dari kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Nias memiliki inisiatif yang sangat tinggi dalam meraih suatu pencapaian meskipun hal itu diperoleh untuk keuntungan pribadi. Inisiatif juga sudah diajarkan sejak dulu oleh leluhur Nias, termasuk dalam iniatif melakukan pekerjaan yang dilakukan tanpa menunda-nunda. Pepatah Nias yang mengatakan hal tersebut adalah “Alawa luo afeto duo’ aleu dawuo, aiso nidano mbanio”. Yang artinya adalah jangan menunda-nunda penyelesaian pekerjaan. Semakin ditunda-tunda semakin tidak akan selesai. b. Harga diri dan kemauan mengambil tindakan yang beresiko Berbicara mengenai harga diri, kebudayaan yang berkembang di Nias adalah “Sokhi mate moroi aila” yang artinya lebih baik mati daripada menanggung malu. Suatu kejadian yang berbentuk penindasan atau merendahkan harga diri akan dibalas setimpal dengan cara apapun. Tradisi ini dilaksanakan turun temurun dimana pada masa dahulu, seorang pria sangat dihargai jika ia mampu memenggal kepala musuhnya. Termasuk dalam hal meminang seorang gadis. Sang pria 22 akan dihormati dan diterima dalam keluarga mertuanya jika berhasil membawakan kepala orang lain yang dianggap musuh atau dikenal dengan istilah mangai hogo. Kenyataan ini dapat diindikasikan sebagai budaya nias dalam mengambil tindakan yang sangat beresiko demi tujuan yang ingin dicapai. c. Kemampuan beradaptasi dalam kelompok dan membina kerjasama Kemampuan adaptasi masyarakat Nias dalam suatu organisasi telah ada sejak dahulu. Ada beberapa kali perubahan adaptasi yang disesuaikan dengan musim. Pada masa mesolitik, terdapat strategi pemenuhan bahan makanan dari jenis makanan moluska, hingga mampu memperoleh bahan makanan seperti suidae babi, boaidae ular, vanaridae, biawak, chanidae ikan dan sebagainya. Hal tersebut mengalami adaptasi dari manusia yang tinggal di gua hingga keluar untuk melaut dan berburu. Beberapa strategi lainnya seperti pemenuhan peralatan hidup hingga kemampuan bercocok tanam merupakan hal yang dilakukan bersama-sama dalam lingkup organisasi berkelompok 8 d. Kreatifitas . Hal itu menandai bahwa rasa tolong menolong antar masyarakat telah terbina sejak dahulu. Sama seperti yang terdapat di dalam pantun Nias: “Aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso. Alisi tafadaya-daya, hulu tafaewolo-wolo” yang artinya suatu pekerjaan akan ringan jika dikerjakan bersama-sama. 8 Ketut Wiradnyana, Kearifan Lokal Masyarakat Nias dalam Arkeologi, Medan, 2010, hal. 74 23 Kreatifitas masyarakat Nias tercermin dari budaya megalitikum yang dimiliknya. Arca, eksofagus, dan benda-benda peninggalan zaman dulu adalah bukti bahwa masyarakat Nias memiliki seni dalam memahat. Rumah adat yang hanya mengandalkan batu dan kayu-kayu besar tanpa penggunaan paku, mampu tahan dari gempa dan dirancang untuk menghindari banjir dan binatang buas. Hal ini menunjukkan identitas masyarakat Nias yang mampu menciptakan suatu sistem kebudayaan yang memperhatikan keselamatan dan kenyamanan dalam hidup. Selain itu, kreatifitas masyarakat Nias mampu ditunjukkan melalui Hoho atau syair yang berisikan tentang ngenu-ngenu atau ungkapan hati, ungkapan kekaguman dan sebagainya. Tarian adat yang membutuhkan kerja sama tim seperti tari moyo yang beranggotakan seorang yang berperan sebagai ratu dan dayang-dayangnya, tari perang yang beranggotakan sejumlah besar kelompok pria, dan masih banyak lagi. e. Watak yang agresif Jika saat ini masih ditemukan watak yang agresif ditengah masyarakat Nias, hal ini dipengaruhi oleh karena sejak dahulu mereka selalu hidup dalam suasana perang. Siasat perang dan ketangkasan menjadi warisan turun temurun. Sudah lebih 1.000 tahun yang lalu orang berhasil mengayau, baru bisa kawin. 9 9 P. Johanes M. Hammerle, Pendidikan Karakter Berperspektif Budaya Lokal. Yayasan Pusaka Nias 24 f. Budaya mengharapkan imbalan Budaya ini adalah budaya yang sangat kental terlihat dari pelaksanaan Owasa atau pesta adat yang besar, dimana tercipta sistem berapa banyak hi’e bawi atau daging babi yang pernah kuberikan padamu saat kamu berpesta adat sesuai dengan adat maka sebanyak itulah yang harus dikembalikan saat saya berpesta. Kebudayaan tersebut sering ditemukan dalam pesta pernikahan. Secara umum, adat istiadat ini dikenal dalam istilah Nias sebagai tolo-tolo. Dimana kebudayaan ini merupakan kewajiban antara kerabat atau keluarga. g. Kontrol perilaku Bahwasanya Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Kontrol perilaku masyarakat Nias dapat dilihat melalui Hukum adat Nias yang secara umum disebut fondrakö. Fondrako adalah suatu aturan yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Kontrol biasanya dilakukan oleh si’ulu atau salawa kaum bangsawan yang diberi nasehat oleh kaum si’ila cendekiawan dan ere pemuka agama atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh ono mbanua sato rakyat biasa dan sawuyu budak. Hal ini menandakan bahwa terdapat tradisi hukum yang kuat yang melandasi kehidupan masyarakat dalam menjalankah kehidupannya secara pribadi maupun saat bergaul dalam kelompok. Selain itu, terdapat juga pepatah dalam Bahasa Nias yaitu : “Kauko ba hili lewuo ba ndraso, faolo goi ndraugo ba ufaolo goi ndra’o, fa’a’ozu ita fao-fao”. Artinya adalah 25 harus saling menghormati antara sesama. Saling menghargai sehingga dapat hidup rukun dalam kebersamaan. Ibaratkan dua jenis bambu, yang satu tumbuh di bukit dan yang satu tumbuh di dataran. Akan tetapi mereka saling menunduk satu sama lain sebagai tanda saling menghormati dan menghargai. Semua budaya tersebut menunjukkan bahwa pada zaman dahulu, masyarakat Nias telah mengenal sistem organisasi serta menciptakan sendiri budaya yang khas. Sehingga mempengaruhi karakteristik masyarakat Nias secara umum. Keadaan tersebut dipertegas melalui penelitian Eduard Fries seorang misionaris dari Jerman yang menganalisis budaya kehidupan masyarakat Nias yang berwatak keras, berinisiatif kuat namun tidak begitu memperhatikan keadaannya di masa depan. Pernyataan tersebut dilandasi dari pengamatan Eduard terhadap pesta adat owasa yang menghabiskan materil seseorang dalam sekejap tanpa tahu impact yang dirasakan setelah pesta selesai. Terdapat kondisi mengutang ke pihak lain, bahkan menjual harta kekayaannya hanya demi sebuah gelar dan penghargaan. Namun, secara keseluruhan, karakteristik masyarakat Nias dalam berorganisasi yang telah peneliti sajikan dalam kerangka teori ini dapat digunakan sebagai tambahan teori dalam mengetahui pengaruh dari budaya organisasi terhadap produktifitas manusia. 1.5.3 Produktivitas Kerja Pegawai 1.5.3.1 Pengertian Produktivitas Kerja