135
BAB V ANALISA DATA
Setelah data yang diperoleh dari lapangan dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa setiap data
yang dapat disajikan serta menganalisa setiap permasalahan yang ada, guna menjawab setiap rumusan masalah yang telah dipaparkan serta menyimpulkan
kebenaran dari hipotesa penelitian ini, yaitu keberadaan hubungan antara variabel budaya organisasi X dengan variabel produktivitas kerja pegawai Y.
5.1. Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai- nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman
tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu organisasi akan
dikatakan baik jika memiliki budaya organisasi yang baik pula untuk mendukungnya.
Berdasarkan hasil rekapitulasi jawaban responden, diketahui bahwa budaya organisasi pada Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Nias berada pada kategori sedang, hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi tersebut telah diterapkan dengan cukup baik oleh pegawai Dinas
Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias. Adapun nilai-nilai dasar budaya organisasi tersebut meliputi: inisiatif individu, toleransi terhadap
tindakan beresiko, pengarahan, integrasi, dukungan manajemen atasan, kontrol, identitas, toleransi terhadap konflik serta pola komunikasi.
136
Inisiatif individu dimaksudkan sejauh mana responden diberi kesempatan untuk berinisiatif sendiri dalam bekerja, bagaimana pendapat responden tentang
inisiatif individu, tingkat kemandirian responden dalam menyelesaikan pekerjaan, serta kebebasan yang didapat dalam mengemukakan saran dan kritik. Jika dilihat
dari segi inisiatif individu yang terjadi pada Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Nias tergolong cukup baik. Hal ini terlihat dari jawaban
mayoritas responden yang menyatakan bebas berinisiatif sendiri dalam instansi ini sebanyak 18 orang atau 40,00. Meskipun demikian, masih ada pegawai yang
jarang bahkan tidak pernah berinisiatif sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan langsung dilapangan, hal ini disebabkan beberapa pegawai masih
berpatokan pada prosedur baku sehingga selalu menunggu keputusan dari atasan jika terjadi perubahan yang mendadak. Hal ini memiliki hubungan dengan
jawaban responden yang menyatakan kadang-kadang dapat mengemukakan kritk dan saran secara bebas dalam menuntaskan suatu masalah pekerjaan yaitu
sebanyak 14 orang atau 31,11. Namun, dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari inisiatif indivu setiap pegawai berada pada kategori baik jika dilihat
dari sudut pandang budaya masyarakat setempat yang masih ada dalam perilaku sehari-hari. Yaitu kebiasaan untuk tidak menunda pekerjaan yang telah diberikan.
Hal tersebut tercermin dari jawaban responden sebanyak 23 orang atau 51,11 yang sering menerapkan pepatah “Alawa luo ofeto duo’ aleu dawuo, aiso nidano
mbanio” dalam pekerjaan sehari-hari. Dari segi toleransi terhadap tindakan beresiko dimaksudkan sejauh mana
tingkat toleransi yang diberikan organisasi kepada pegawainya untuk berani mengambil resiko dalam bekerja demi kepentingan organisasi. Untuk mengukur
137
toleransi terhadap tindakan beresiko disini peneliti menggunakan dua pertanyaan yaitu diberinya toleransi oleh atasan kepada bawahannya jika melakukan
kesalahan dan kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan yang beresiko demi kepentingan instansi. Dari data hasil penelitian yang diperoleh peneliti dari
lapangan tepatnya data dari jawaban responden mayoritas pegawai menjawab bahwa tingkat toleransi terhadap tindakan beresiko ini “tinggi” yaitu sebanyak 25
orang atau 55,56 ditambah dengan jawaban 8 orang atau 17,78 yang menyatakan “sangat tinggi” sehingga bila dijumlahkan maka yang menyatakan
atasan memberikan toleransi terhadap tindakan yang mengandung kesalahan adalah 33 orang atau 73,33. Sedangkan untuk kesempatan mengerjakan
pekerjaan yang beresiko demi kepentingan instansi mayoritas responden menjawab “sering” sebanyak 16 orang atau 35,56. Akan tetapi urutan kedua
terbanyak adalah 14 orang atau 31,11 yang menjawab “kadang-kadang” dan 11 orang atau 24,44 yang menjawab “jarang”. Jika diakumulasikan hasilnya adalah
25 orang atau 55,56. Artinya lebih dari setengah pegawai yang bekerja pada Dinas ini hanya mau bekerja sesuai dengan alur yang telah ditetapkan, tanpa mau
mengambil resiko untuk hasil pekerjaan yang lebih baik. Pengarahan dimaksudkan sejau mana kemampuan organisasi untuk
merumuskan standar kerja organisasi agar dapat dipahami dan dimengerti oleh pegawai. Sebab jika standar kerja telah jelas dan pegawai dapat mengerti dan
memahaminya dengan baik maka dapat menghemat waktu yang dibutuhkan sebab pegawai langsung mengerti apa yang harus dilakukan dikarenakan semua sudah
ditentukan dengan jelas dalam tupoksi. Disini peneliti megukur pengarahan dengan membuat dua pertanyaan yaitu tentang memahami tugas pokok dan fungsi
138
yang telah dirumuskan oleh instansi terkait serta kemampuan pegawai dalam melaksanakan standar kerja organisasi yang telah ditetapkan. Dalam hal
perumusan tugas pokok dan fungsi pegawai, mayoritas responden yaitu sebanyak 22 orang atau 48,89 menjawab memahami, dan sebanyak 16 orang atau 35,56
menjawab sangat memahami. Jika kedua opsi jawaban tersebut diakumulasikan maka sebanyak 38 orang atau 84,44 pegawai memiliki tingkat pemahaman yang
baik terhadap tupoksi. Artinya, pedoman kerja yang telah dibuat oleh instansi telah dirancang dengan baik sehingga dapat dimengerti oleh pegawai. Hal ini
dapat mendukung lancarnya setiap pekerjaan, serta terciptanya tren positif budaya organisasi yang kuat. Untuk pertanyaan mengenai kemampuan melaksanakan
standar kerja organisasi, mayoritas responden yaitu sebanyak 20 orang atau 44,44 menjawab cukup mampu. Hal ini memiliki hubungan yang jelas dengan
tingkat pemahaman. Jika tupoksi dapat dipahami dengan baik, maka peluang untuk menuntaskan suatu pekerjaan akan besar.
Dari segi integrasi, peneliti melihat sejauh mana organisasi mampu mengkoordinasi seluruh unit-unit kerja yang ada menjadi suatu kesatuan dan
berlaku adil kepada setiap unit-unit kerja yang ada. Disini peneliti mengukur integrasi dengan tiga pertanyaan yaitu sejauh mana hubungan antar unit dalam
melaksanakan pekerjaan pada instansi terkait, sejauh mana pegawai mampu menerapkan budaya masyarakat setempat tentang kerjasama dan integrasi yang
baik dalam peribahasa nias: “aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului waoso, alisi tafadaya-daya, hulu tafaewolo-wolo”, serta penerapan prinsip “tolo-tolo”
dalam hal kerjasama antar sesama pegawai. Dilihat dari jawaban yang diberikan responden untuk pertanyaan hubungan antar unit, mayoritas responden atau
139
sebanyak 22 orang atau 48,89 menjawab cukup baik. Hubungan yang cukup baik memang dapat menjalankan roda organisasi dengan baik. Akan tetapi, perlu
dilakukan evaluasi unit kerja manakah yang masih belum bekerja tim secara maksimal. Berdasarkan hasil observasi, hubungan yang cukup baik ini disebabkan
karena hubungan pegawai secara personal saja. Jika dilihat dari hubungan pekerjaan, setiap unit memiliki sedikit kesempatan untuk melakukan kerja tim
terhadap suatu program kerja. Jika melihat jawaban responden terhadap pertanyaan tentang peribahasa nias: “aoha noro nilului wahea, aoha noro nilului
waoso, alisi tafadaya-daya, hulu tafaewolo-wolo”, mayoritas responden sebanyak 26 orang atau 57,78 menyatakan sering menerapkan makna peribahasa tersebut
dalam lingkup pekerjaannya. Peribahasa tersebut mencerminkan bahwa suatu pekerjaan yang sulit sekalipun jika dikerjakan secara bersama akan menjadi
sangat mudah. Dari pertanyaan tentang menerapkan prinsip “tolo-tolo”, mayoritas responden sebanyak 25 orang atau 55,56 menjawab “sering”. Kedua pertanyaan
yang mengarah kepada budaya organisasi masyarakat sekitar tersebut ternyata masih memberikan dampak bagi kepribadian setiap pegawai yang secara
keseluruhan merupakan suku setempat. Integrasi yang telah dididik secara turun temurun telah mengakar dalam diri setiap pegawai. Integrasi yang baik akan
melancarkan suatu proses pekerjaan. Dari segi dukungan manajemen peneliti melihat sejauh mana dukungan
dan bantuan dari atasan dalam bekerja kepada pegawai, sejauh mana dukungan dan bantuan tersebut dapat memberikan dampak positif kepada kinerja pegawai.
Untuk mengukur dukungan manajemen dalam artian diatas, peneliti membuat tiga pertanyaan, yaitu tentang pengaruh peranan pimpinan dalam mengkoordinasikan
140
seluruh unit kerja, dukungan dan motivasi yang diberikan atasan, serta pertanyaan tentang memberikan perhatian terhadap saran dan kritik yang diutarakan pegawai.
Mayoritas responden yaitu sebanyak 16 orang atau 35,56 menyatakan bahwa pimpinan memiliki pengaruh yang cukup banyak dalam mengkoordinasikan
seluruh unit kerja yang ada. Sedangkan untuk pertanyaan dukungan atau motivasi yang diberikan atasan dalam proses pekerjaan, mayoritas responden sebanyak 24
orang atau 53,33 menjawab “sering”. Pertanyaan mengenai memberikan perhatian terhadap saran dan kritik yang diutarakan pegawai kepada instansi
terkait, mayoritas responden sebanyak 21 orang atau 46,67 menjawab “sering”. Dari ketiga pertanyaan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa atasan dalam
Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Organisasi ini terbukti dapat memberikan dorongan kepada bawahannya untuk dapat meningkatkan prestasi
kerjanya. Dari segi kontrol, peneliti melihat sejauh mana peraturan-peraturan yang
dimiliki organisasi dapat mengendalikan perilaku pegawai. Untuk mengukur kontrol yang ada pada instansi ini peneliti memberikan tiga pertanyaan.
Pertanyaan pertama didasari dengan budaya masyarakat setempat, yaitu tentang impelementasi pepatah Nias “kauko ba hili lewuo ba ndraso, faolo goi ndraugo ba
ufaolo goi ndrao, fa’a’ozu ita fao-fao”, pertanyaan kedua tentang kejelasan rumusan aturan baku dan tertulis yang digunakan untuk mengawasi dan
mengendalikan perilaku pegawai, serta pertanyaan tentang peranan “fondrako” atau aturan-aturan dalam adat setempat yang mempengaruhi budaya organisasi
instansi terkait. Mayoritas responden sebanyak 22 orang atau 48,89 menjawab sering untuk implementasi pepatah Nias yang tersebut diatas, sedangkan untuk
141
jawaban responden terhadap peranan “fondrako”, mayoritas responden sebanyak 20 orang atau 44,44 menjawab berpengaruh. Artinya, mayoritas pegawai pada
Dinas terkait masih membiasakan diri dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang telah melekat sebagai identitas mereka dalam berperilaku. Budaya masyarakat
setempat cukup memberikan dampak bagi karakteristik pegawai dalam bekerja. Jika budaya kontrol yang positif dari masyarakat setempat dapat diaplikasikan
kedalam budaya organisasi instansi terkait maka sinkronisasi antara keduanya dapat meningkatkan produktivitas pegawai. Untuk pertanyaan tentang kejelasan
rumusan baku dan tertulis yang telah ditetapkan oleh instansi, mayoritas responden sebanyak 18 orang atau 40,00 menjawab sudah ditetapkan dan jelas.
Jika peraturan internal sebuah organisasi telah ditetapkan dengan baik dan dengan jelas dipahami oleh anggotanya, maka proses pencapaian tujuan organisasi dapat
tercapai dengan baik. Dari segi identitas, peneliti melihat sejauh mana pegawai menyadari
dirinya sebagai bagian dari organisasi dan rela bekerja dengan sungguh-sunggu demi kepentingan organisasi. Disini peneliti mengukur identitas dengan tiga
pertanyaan, yaitu tentang agresifitas bekerja pegawai, kesadaran akan peranan sebagai bagian dari organisasi serta pertanyaan tentang mendahulukan pekerjaan
instansi dibandingkan kepentingan lainnya. Mayoritas responden sebanyak 21 orang atau 46,67 menjawab bahwa pegawai dalam instansi tersebut cukup
agresif dalam melakukan pekerjaan. Agresifitas menandakan adanya budaya semangat individu dalam bekerja. Mayoritas responden sebanyak 22 orang atau
48,89 menyatakan bahwa mereka sangat menyadari peranannya sebagai bagian dari organisasi terkait. Dengan timbulnya kesadaran tersebut dapat menimbulkan
142
loyalitas dan tanggungjawab dalam diri pegawai untuk bertindak dengan baik dan ikhlas. Dan hal tersebut dapat mendorong peningkatan produktivitas pegawai.
Mayoritas responden sebanyak 17 orang atau 37,78 menyatakan selalu mendahulukan pekerjaan kantor dibanding kepentingan lainnya. Artinya, pegawai
selalu berintegritas untuk melaksanakan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi masih ada pegawai yang menyatakan kadang-kadang sebanyak 11
orang atau 24,44. Kurangnya kesadaran pegawai dalam mengutamakan pekerjaan kantor akan menghambat proses pekerjaan. Apalagi jika tren negatif ini
berdampak kepada pegawai lainnya. Toleransi terhadap konflik adalah bagaimana kemampuan organisasi
dalam menyikapi konflik yang terjadi dalam organisasi serta dalam mendorong pegawai untuk berani mengemukakan pendapat yang berbeda. Untuk mengukur
toleransi terhadap konflik, peneliti menggunakan tiga pertanyaan yaitu frekuensi konflik yang terjadi dalam instansi, pertanyaan mengenai menyelesaikan masalah
internal serta prinsip “sokhi mate moroi aila” dalam budaya organisasi masyarakat setempat. Mayoritas responden sebanyak 22 orang atau 48,89 menyatakan
bahwa konflik kadang-kadang terjadi dalam instansi tersebut. Bahkak 3 orang atau 6,67 menyatakan bahwa konflik sering terjadi. Konflik dapat
mempengaruhi produktivitas pegawai dalam bekerja. Hubungan yang kurang harmonis menyebabkan komunikasi tidak dapat berjalan dengan harmonis
sehingga penyampaian informasi menjadi terkendala. Kesatuan dengan informasi yang tidak lancar dapat menyebabkan kegagalan dalam mencapai tujuan
organisasi. Meskipun demikian, mayoritas responden sebanyak 20 orang atau 44,44 menjawab bahwa konflik yang terjadi sering diselesaikan secara bersama-
143
sama. Sedangkan untuk pertanyaan tentang prinsip “sokhi mate moroi aila” mayoritas responden sebanyak 14 orang atau 31,11 menyatakan bahwa prinsip
tersebut pernah terjadi dan merupakan sesuatu yang berbahaya. Angka yang sama ditunjukkan oleh jawaban responden yang menyatakan ragu-ragu akan hal ini.
Artinya, budaya masyarakat setempat yang menganut prinsip ini tidak memberikan toleransi terhadap konflik. Karena prinsip ini berarti menghadapi
masalah tidak dilakukan dengan kepala dingin tetapi bisa melalui kontak fisik. Jelas bagi pegawai instansi ini hal tersebut merupakan sesuatu yang berbahaya.
Jika konflik diselesaikan dengan kontak fisik, tentu berakibat pada urusan tindak pidana. Pegawai yang mengalami kasus pidana tentu diberikan sanksi atas
perbuatannya misalnya dengan larangan bekerja dalam jangka waktu tertentu atau malah dipecat oleh instansi. Tentu ini akan sangat merugikan, bukan hanya bagi
pegawai yang terlibat melainkan secara keseluruhan instansi. Dalam pola komunikasi, penulis melihat sejauh mana komunikasi dua arah
antara atasan dan pegawai maupun antar pegawai dibatasi dalam konteks formal apakah organisasi terbuka dengan pegawainya dengan jalan selalu
mensosialisasikan setiap kebijakan yang diambil. Disini peneliti membuat tiga pertanyaan untuk mengukur pola komunikasi ini, yaitu tentang saling
mengingatkan perihal peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, pendapat yang berbeda dengan atasan, serta sosialisasi peraturan maupun kebijakan baru terkait
kepentingan instansi. Dari hasil penelitian yang didapatkan di lapangan melalui jawaban yang
diberikan responden menyatakan bahwa pola komunikasi di instansi ini kurang baik. Mayoritas responden menyatakan bahwa mereka kurang komunikatif dalam
144
hal mengingatkan peraturan instansi, bahkan hanya kadang-kadang diberikan sosialisasi oleh atasan perihal adanya kebijakan atau peraturan baru terkait
kepentingan instansi. Hal ini jelas mampu menyebabkan miskomunikasi antar pegawai. Kurangnya komunikasi yang baik dapat menyebabkan ketidaknyamanan
individu dalam bekerja. Atasan yang kurang terbuka dengan bawahannya akan sulit mendapatkan kepercayaan dari bawahannya, demikian pula sebaliknya.
5.2. Produktivitas Kerja Pegawai