GENJRING BONYOK DAN TARDUG

GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT: KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN, DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN TESIS

Oleh ADE HERDIJAT

NIM : 107037002

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

GENJRING BONYOK DAN TARDUG DI SUBANG JAWA BARAT: KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN, DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh ADE HERDIJAT

NIM : 107037002

PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2012

Judul Tesis

: GENJRING BONYOK DAN TARDUG

DI SUBANG JAWA BARAT: KAJIAN KONTINUITAS, PERUBAHAN DAN STRUKTUR PERTUNJUKAN

Nama : Ade Herdijat Nomor Pokok : 107037002 Program studi : Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. Dr. Budi Agustono, S.U. NIP . 1 96 5 12211 9910 31 001 NI P. 1 96 0 08051 9870 31 001 __________________________

______________________________ Ketua,

Anggota,

Program Studi Magister ( S2 ) Fakultas Ilmu Budaya Penciptaan Dan Pengkajian Seni Dekan, Ketua,

Drs. Irwansyah, M.A. Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 196212211997031001 NIP. 195110131976031001

Tanggal Lulus :

Telah diuji pada : Tanggal

PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS

Ketua : Drs. Irwansyah, M.A.

Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. (..............................................)

Anggota I : Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. (..............................................)

Anggota II : Dr. Budi Agustono, S.U. (.............................................)

Anggota III : Dra. Rithaony, M.A.

T ela h di uji pa da

T a ngga l.... ..... .. ... .... .. ... ..

AB STRACT

This research aim to analyze of genjring bonyok and tardug continuities, changes, and performing structure, in Sundanese ethnis cultural in West Java. To analyze of these two art genres

I use continuities and changes theory. In the other hand, to analyze the performing art structure I use semiotic and weighted scale theories. Then, I use qualitative research in this study, based on field work method.

The tardug (genjring bonyok) art, exist in 2000-s. Before this art developing in the Subang society, they have some arts, which parts of continuities and changes of them. This arts genre are: genjring sholawat, rudat, adem ayem , and genjring bonyok.

When viewed from the aspects of development that include forms of presentation, art materials, tools, community support, and future growth, arts that seems to have a relationship historically. Art genjring gederan known since 1960, have similarities in terms of the use of instruments and techniques of the art rudat wasps. Both types of art does not have pitched instrument that plays the melody. Then after entering instrument tarompet, around 1969 as a carrier melodic songs, this art is known as genjring bruised. Not long after kawih elements come around 1987. In line with the wishes of the market, the next development, the songs in the arts genjring bruised dominated by songs dangdut style. But still limited to traditional dangdutan songs, which can be accompanied by musical instruments that exist as well as the technical ability kawih vocal interpreter. With the increasing demand of modern dangdut songs were applying diatonic scales, to accompany the songs needed musical instruments and singers in diatonic scales that can chant. Then in 2000 the guitar's entry into the art tardug. The structure of the show is to do with the opening stages, content, and closing. The structure of the melody based on the pentatonic Sundanese system and then developing into diatonic.

Key words: continuity, change, genjring bonyok, tardug, dangdut.

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kontinuitas, perubahan, dan struktur pertunjukan genjring bonyok dan tardug, yang terdapat di dalam kebudayaan etnik Sunda di Subang Jawa Barat.

Untuk mengkaji kontinuitas dan perubahan seni ini, penulis menggunakan teori kontinuitas dan perubahan. Di sisi lain, untuk mengkaji struktur pertunjukan (yang di dalmnya mencakup struktur musik) digunakan teori semiotik dan bobot tangga nada (weighted scale). Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pendekatan kualitatif dengan fokus pada penelitian lapangan.

Kesenian tardug (genjring dangdut), muncul sekitar tahun 2000-an. Selain kesenian ini, masyarakat Subang sebelumnya telah mengenal beberapa kesenian yang merupakan bahagian dari kontinuitas dan perubahan dengan kesenian tardug seperti genjring sholawat, rudat, adem ayem, dan genjring bonyok. Apabila dilihat dari aspek perkembangannya yang meliputi-bentuk penyajian, materi seni, alat, masyarakat pendukung, dan masa pertumbuhannya, kesenian-kesenian itu nampaknya memiliki hubungan secara historis. Kesenian genjring gederan yang sudah dikenal sejak tahun 1960, memiliki persamaan dalam hal penggunaan alat musik serta teknik tabuhan dengan kesenian rudat. Kedua jenis kesenian ini tidak memiliki alat musik bernada yang memainkan melodi lagu. Kemudian setelah masuk alat musik tarompet, sekitar tahun 1969 sebagai pembawa melodi lagu, kesenian ini dikenal dengan nama genjring bonyok. Tidak lama kemudian masuklah unsur kawih sekitar tahun 1987. Sejalan dengan keinginan pasar, pada perkembangan selanjutnya, lagu-lagu dalam kesenian genjring bonyok didominasi oleh lagu-lagu yang bergaya dangdut. Namun masih terbatas pada lagu-lagu dangdutan tradisional, yang bisa diiringi oleh alat- alat musik yang ada serta kemampuan teknik vokal juru kawihnya. Dengan meningkatnya permintaan lagu dangdut modern yang bersistem tangga nada diatonis, maka untuk mengiringi lagu-lagunya diperlukan alat musik yang bertangga nada diatonis dan penyanyi yang mampu melantunkannya. Maka pada tahun 2000-an masuk instrumen gitar ke dalam kesenian tardug. Struktur pertunjukan dilakukan dengan melalui tahapan pembukaan, isi, dan penutup. Struktur melodinya berdasar kepada sistem pentatonik Sunda dan kemudian berkembang ke diatonik.

Kata-kata kunci: kontinuitas, perubahan, genjring bonyok, tardug, dangdut.

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan baik. Shalawat dan

salam penulis haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah membimbing kita ke jalan yang di Ridhoi Allah SWT.

Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah memfasilitasi dan memberi sarana pembelajaran sehingga penulis dapat menuntut ilmu di kampus Universitas Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman.

2. Bapak Drs. Irwansyah, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs.Torang Naiborhu, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs.Muhammad Takari., M.Hum., Ph.D., selaku pembimbing Ketua yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan hingga selesainya tesis ini serta membekali penulis dengan berbagai ilmu pengetahuan.

5. Bapak Dr. Budi Agustono. S.U., selaku pembimbing anggota yang telah memberikan koreksi dan kontribusinya terhadap hasil penelitian ini.

6. Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai administrasi Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah membantu dan mendukung kelancaran administrasi.

7. Seluruh Dosen yang telah menyumbangkan pengetahuannya saat perkuliahan di Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya universitas Sumatera Utara.

8. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa Program Studi Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara angkatan ke 2 tahun 2010 yang telah memberi dorongan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini.

9. Bapak Sutarja, Bapak Edih AS, Bapak Ogut, Bapak Asep Nur Budi, Bapak Odo Wikanda Warman, Bapak Ida Hidayat, Bapak Nandang Kusnandar selaku informan dan narasumber yang telah banyak memberi informasi tentang sejarah dan perkembangan tardug di Kabupaten Subang.

10. Ayahanda Bapak Odo Wikanda Warman, Ibunda E. Fatmawati, abangda Asep Ida Hidayat S.Sn., serta adinda Iyar Rosliyah S.Psi., yang telah memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis.

11. Istri Siti Wahyuni S.Sn., dan anak-anak tercinta Laras Nauna Izzati Daminiyart serta Dinda Kania Artadinata yang telah memberikan doa dan motivasinya mulai dari awal sampai terselesaikannya tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kelemahan dan kekurangan, untuk itu

penulis mengharapkan saran dan kritiknya guna perbaikan selanjutnya.

Semoga karya tulis ini dapat berguna bagi yang lainnya. Amin.

Medan,

2012

Penulis

DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS DIRI

1. N a m a

: Ade Herdijat

2. Tempat / Tanggal Lahir

: Subang, 2 September 1970

3. Jenis Kelamin

6. Nomor Telepon

7. A l a m a t : Jln Dermawan No 7 Teladan Barat Medan

8. P e k e r j a a n : Dosen Luar Biasa Jurusan Etnomusikologi

Fakultas Imu Budaya

Universitas Sumatera Utara

PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar Negeri Salep Subang

Lulus Tahun 1983

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Subang

Lulus Tahun 1986

3. Sekolah Menegah Atas Negeri 2 Subang

Lulus Tahun 1989

4. Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung Jurusan Karawitan

Lulus Tahun 1991

5. Sarjana Seni Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Lulus Tahun 1997

6. Pasca Sarjana dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Lulus 2012

PENGALAMAN KERJA

 Tahun 1993 – sekarang  Dosen Luar Biasa Musik Sunda Jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

 Tahun 1997 s/d 1998  Aerowisata Catering Service

 Tahun 1998 s/d 2002  Yayasan Amanah Bangsa Rumah Singgah Amanah Putra

 Tahun 2002 s/d 2005  CV Serasi, Bandara Polonia Medan.

 Tahun 2005 s/d 2007  Departemen Sosial Republik Indonesia  Tsunami aceh – Banda Aceh  Bekerja sama dengan Save The Children dan Unicef  Proyek Children Centre dan pendataan anak korban DOM dan Tsunami

 Tahun 2007 s/d saat ini  Perguruan Al Fakhri Yabsu – Sumut  Allianz insurance

 Tahun 2011 s/d saat ini  Yayasan Khairul Imam – mengajar bidang studi Seni Budaya & Keterampilan

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.

Medan,

Ade Herdijat NIM 107037002

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pesta Kesenian Rakyat kabupaten Subang ............................................116 Tabel 2.2 Jenis Penggunaan Tanah Desa Cidadap .................................................125 Tabel 2.3 Mata Pencaharian Pokok Masyarakat Desa Cidadap ............................130 Tabel 3.1 Perbedaan Struktur Pertunjukan Genjring .............................................152 Tabel 3.2 Perbandingan jenis kesenian ..................................................................183 Tabel 3.3 Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden ...............185 Tabel 3.4 Penyebaran Grup Kesenian Tardug di Kecamatan Pagaden ...............197 Tabel 4.5 Daftar Beberapa Judul Lagu Genjring Bonyok ....................................242 Tabel 4.6 Perbandingan Struktur Lagu Genjring Bonyok Dalam Dudukan dan

Arak-arakan ............................................................................................245

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Kontinuitas dan Perubahan Genjring Bonyok ke Tardug dalam Budaya Sunda .............................................................................223

Bagan 4.1 Struktur Organisasi Genjring Bonyok Sinar Pusaka ............................229

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai kelompok etnik, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Di negara ini terdapat berbagai suku seperti Aceh, Alas, Gayo, Melayu, Mandailing, Batak Toba, Simalungun, Minangkabau, Ambon, Papua, Jawa, Sunda, dan lain-lainnya. Setiap kebudayaan etnik ini biasanya memiliki bahasa dan keseniannya sendiri.

Kesenian etnik yang ada di Indonesia biasanya mengalami perubahan dan kontinuitas sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial budaya yang terjadi di dalam kebudayaan etnik bersangkutan. Misalnya dalam kebudayaan Batak terdapat tradisi musik tiup, yang merupakan perubahan dan kontinuitas dari tradisi musik tradisional gondang dan mengalami akulturasi dengan musik brass Eropa. Begitu juga dengan genre musik campur sari dalam kebudayaan Jawa, yang meneruskan tradisi musik gamelan yang dipadu dengan musik dangdut, populer, dan Eropa. Dalam kebudayaan Sunda dikenal genre seni pertunjukan tardug (gitar bedug) yang merupakan hasil dari perubahan dan kontinuitas dari genjring bonyok. Perubahannya disebabkan oleh faktor fungsi seni pertunjukan yang berkembang di dalam masyarakat Sunda. Seni ini berkembang di daerah Subang dan sekitarnya. Genre ini menjadi fokus kajian penulis di dalam tesis ini.

Seni pertunjukan genjring bonyok dan tardug, sangat menarik untuk dikaji berdasarkan perspektif sejarah. Secara umum, sejarah kesenian di Indonesia

memiliki periodisasi atau pembabakan yang hampir sama. Masyarakat di Nusantara ini menapaki masa animisme dan dinamisme sampai abad pertama Masehi. Kemudian mereka menjalani pengaruh kebudayaan Hindu dan Buddha dari abad pertama sampai ke-13. Selanjutnya sejak abad ke-13 datanglah pengaruh Islam. Kemudian sejak awal dekade abad ke-16 datanglah pengaruh budaya Barat melalui Portugis, Belanda, dan Inggris. Kemudian di abad ke-20 pertengahan masuklah masa kemerdekaan (lihat bandingannya dengan Holt, 1987). Dalam konteks ini genjring bonyok dan tardug sangat kuat mengekspresikan peradaban Islam dalam kebudayaan Sunda. Hal ini tercermin dari penggunaan teks yang temanya adalah agama Islam, penggunaan genjring itu sendiri yaitu gendang rebana yang khas peradaban musik Islam, serta konteks fungsionalnya untuk upacara yang berkaitan dengan agama Islam, seperti khitanan, perkawinan, menyambut hari besar Islam, dan kemudian berkembang sebagai hiburan.

Secara wilayah budaya, suku Sunda sebahagian besar bermukim di Jawa Barat. Pada masa kini, Jawa Barat adalah salah satu provinsi yang memiliki beraneka-ragam jenis kesenian. Jenis-jenis kesenian tersebut awalnya tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan masyarakat yang terdiri dari tripartit strata sosial,

yang disebut sebagai menak, somah, dan buruh. 1 Ketiga strata sosial pada

1 Golongan elit bangsawan atau menak adalah golongan yang terdiri dari orang-orang pribumi (orang Sunda) yang bekerja pada pemerintahan Belanda. Biasanya mereka adalah warga

masyarakat yang mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. Somah adalah rakyat biasa yang tidak bekerja untuk Belanda. Sedangkan buruh atau budak adalah warga masyarakat yang bekerja untuk pemerintah Belanda, dengan spesifikasi kerjanya pada pekerjaan kasar atau buruh kasar (lihat Edi S. Ekadjati, dalam bukunya yang bertajuk Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya, yang diterbitkan di

Bandung oleh Girimukti Pasaka, tahun 1984). Sementara di dalam kebudayaan Jawa dikenal juga tripartit strata sosial yang disebut dengan: (a) santri atau kaum alim- ulama yang menguasai dan menghayati ajaran-ajaran Islam secara kaffah, (b) priyayi, yaitu orang Jawa yang merupakan golongan bangsawan atau para kaum ekonomi tingkat atas, dan (c) abangan, yaitu kelas bawahan yang tidak begitu kuat dalam menjalankan ajaran agama.

masyarakat Sunda inilah yang pada akhirnya memberikan sumbangan kesenian yang beraneka ragam di Provinsi Jawa Barat, karena setiap strata sosial tersebut mengembangkan jenis keseniannya masing-masing. Walaupun pada saat ini ketiga strata sosial tersebut tidak sepenuhnya lagi dipergunakan dalam kehidupan masyarakat Sunda, tetapi pengaruhnya masih dapat dilihat dalam berbagai genre kesenian yang ada di Jawa Barat, termasuk genjring bonyok yang kemudian berkembang menjadi tardug.

Kondisi kesenian di Jawa Barat pada saat ini semakin pesat berkembang seiring dengan kebutuhan dan kreativitas masyarakat terhadap kesenian. Jika dilihat secara kuantitatif, kondisi kesenian yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat secara kuatitatif adalah jenis kesenian yang pada awalnya berkembang dari kalangan rakyat biasa. Sementara itu pada kesenian yang berasal dari kalangan somah perkembangan tersebut lebih bersifat kualitatif. Hal ini antara lain disebabkan adanya kelompok masyarakat, yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisi kesenian yang berasal dari golongan tersebut.

Secara etimologi nama genjring bonyok berasal dari dua kata, yaitu genjring dan bonyok. Genjring berarti sebuah alat musik frame drum (rebana), baik yang memakai asesoris kecrek (lempengan logam) maupun tidak, alat musik ini merupakan salah satu instrumen pendukung yang menjadi ciri khas kesenian genjring bonyok.

Adapun istilah bonyok dalam bahasa Sunda tidak memiliki arti harfiah, namun menurut informan (Sutarja), kata bonyok berasal dari nama sebuah dusun, yaitu Dusun Bonyok yang berdampingan dengan Desa Cidadap, di Subang, Jawa

Barat. Asal-usul digunakan nama genjring bonyok muncul kira-kira pada tahun 1969, tepatnya setelah Sutarja mengajarkan kesenian genjring di dusun tersebut. Walaupun begitu jika ditelusuri lebih dalam, istilah yang dekat dengan bonyok dalam bahasa Sunda ronyok artinya adalah berkumpul. Menurutnya pula nama ini berkonotasi bahwa Jika kesenian genjring ini dimainkan, maka banyak orang berkumpul untuk menyaksikannya.

Meskipun pada mulanya kedua nama ini (genjring ronyok dan genjring bonyok ) digunakan untuk menamakan satu bentuk kesenian genjring, namun dalam

perkembangannya kesenian ini lebih populer dengan nama genjring bonyok. Seni pertunjukan ini berlanjut terus hingga sekarang. Bagi masyarakat Sunda di Kabupaten Subang, memaknai genre seni genjring bonyok sebagai suatu bentuk kesenian musik genjring yang dipergunakan dalam konteks khitanan, perkawinan, atau hari-hari nasional dengan tujuan untuk meramaikan dan menghibur.

Sebagai suatu bentuk kesenian, genjring bonyok dapat digolongkan sebagai seni pertunjukkan yang berakar dari rakyat, dan memiliki arti suatu pengalaman bersama dalam pertunjukkan musik karena penonton dan pemain langsung berinteraksi, yang berlaku dalam waktu dan secara teknis mengikuti pola-pola yang berulang. Namun dalam segi-segi tertentu mengalami perubahan (Sedyawati, 1981:60).

Pertunjukan genjring bonyok biasanya dilaksanakan dengan melibatkan ekspresi penonton yang mereka hibur. Dalam arti penonton melibatkan diri dalam pertunjukan dengan langsung meminta agar dimasukan lagu-lagu yang mereka inginkan dan juga melakukan tarian secara bersama-sama. Tidak jarang pula Pertunjukan genjring bonyok biasanya dilaksanakan dengan melibatkan ekspresi penonton yang mereka hibur. Dalam arti penonton melibatkan diri dalam pertunjukan dengan langsung meminta agar dimasukan lagu-lagu yang mereka inginkan dan juga melakukan tarian secara bersama-sama. Tidak jarang pula

Unsur-unsur musik, seperti komposisi lagu biasanya juga dimainkan dalam bentuk kesenian lain seperti Kliningan, Ketuk Tilu, Sisingaan, Gembyung, dan lain-lain. Dengan demikian tema-tema lagu yang disajikan berangkat dari tema-tema yang telah dikenal luas oleh masyarakat Sunda.

Keberadaan unsur-unsur musik ini akan dijelaskan dengan pendekatan musik rakyat (folk music), dimana secara alamiah genjring bonyok adalah kesenian yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sunda, oleh karenanya kondisi masyarakat sangatlah besar artinya bagi perkembangan dan kelanjutan kesenian ini. Fenomena ini pula yang menjadikan genjring bonyok setiap waktu yang diinginkan masyarakat dapat mengalami perubahan baik dari segi konteks penyajian, alat-alat musik maupun materi lagu-lagunya.

Jika dilihat dari proses perkembangannya, genjring bonyok merupakan kesenian yang mengadopsi instrumen musik genjring dan bedug, yang telah dipergunakan dalam kesenian genjring yang ada sebelumnya, seperti genre genjring sholawat, genjring rudat

, dan adem ayem. 2 Ketiga jenis kesenian ini telah

2 Yang dimaksud (1) genjring sholawat atau genjring umbul-umbul, adalah jenis kesenian genjring yang digunakan untuk mengiringi arak-arakan pengantin atau anak yang akan disunat.

Dalam penyajian musiknya, kesenian ini menggunakan instrumen musik genjring dan bedug dengan lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam (pupujian). Istilah umbul-umbul dipergunakan karena selain menggunakan ensambel musik, arak-arakan tersebut juga diiringi dengan penggunaan umbul-

umbul . (2) Rudat adalah jenis kesenian genjring yang dipagelarkan untuk mempertontonkan atraksi pencak silat, dengan iringan instrumen musik genjring dan bedug, serta lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam {pupujian). (3) Adem Ayem adalah jenis kesenian yang mempagelarkan adegan- adegan akrobatik, dengan iringan genjring dan bedug, serta lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam {pupujian).

lama dikenal masyarakat sebagai kesenian yang umumnya menggunakan instrumen musik genjring dan bedug. Dan pada umumnya pula ketiga kesenian ini sama-sama menyajikan materi-materi lagu pupujian (lagu-lagu yang bernafaskan agama Islam).

Diawali dari proses pengadopsian instrumen genjring dan bedug, kesenian genjring bonyok pun berkembang ditandai dengan penambahan sejumlah instrumen musik lainnya. Seiring dengan itu kesenian ini pun tidak saja mengalami perkembangan dalam penggunaan instrumen musiknya, tetapi juga dalam segi teknik permainan, komposisi lagu, konteks penggunaan, dan teknik penyajiannnya.

Karakteristik kesenian genjring bonyok nampak pada penambahan instrumennya, yang terdiri dari: empat buah genjring (frame drum), sebuah bedug (conical single head drum), sebuah tarompet (double reed aerophone), sebuah kecrek (stemped-idiophone), dan dua buah goong (suspended gong). Penyajian dari seluruh ensambel ini hanya memainkan

jenis musik instrumental, dan ini sangat jelas berbeda dari jenis kesenian genjring yang telah ada sebelumnya.

Dalam segi teknik permainan instrumen musik, genjring bonyok mempunyai teknik dan gaya permainan yang berbeda dari jenis kesenian genjring yang lain. Ciri khas ini terutama menonjol pada permainan bedug dan salah satu genjring nya yang berfungsi mengisi pola-pola ritmis yang bervariasi.

Adapun dari segi komposisi musik, genjring bonyok menyajikan musik instrumental yang komposisinya diadopsi dari lagu-lagu rakyat tradisional Sunda, Adapun dari segi komposisi musik, genjring bonyok menyajikan musik instrumental yang komposisinya diadopsi dari lagu-lagu rakyat tradisional Sunda,

genjring bonyok dengan kesenian genjring yang lain. Karena kesenian genjring yang lain hanya memainkan lagu-lagu yang bertemakan ajaran Islam.

Dari segi konteks penggunaan dalam masyarakat, genjring bonyok juga mengalami perkembangan yang berbeda dengan konteks penggunaan jenis kesenian genjring yang telah disebutkan di atas. Genjring sholawat misalnya, hanya khusus digunakan pada upacara khitanan, perkawinan, dan khataman Al- Qur’an. Sedangkan genjring rudat dan adem ayem khusus digunakan dalam hiburan massa yang bersifat tontonan, dan tidak berkaitan dengan konteks suatu upacara keagamaan seperti fungsi genjring sholawat.

Adapun genjring bonyok tidak saja dipergunakan dalam konteks yang berkaitan dengan suatu upacara, melainkan juga dalam konteks hiburan massa yang bersifat tontonan. Oleh sebab itu di dalam masyarakat genjring bonyok tidak saja

dipergunakan pada acara nyunatan (khitanan) dan ngawinkeun (pernikahan), dan ruwatan (upacara selamatan bumi), tetapi juga sebagai hiburan dalam acara hari-hari nasional dan perayaan desa.

Fenomena perkembangan kesenian tradisi rakyat yang pesat ini dapat dilihat di daerah Kabupaten Subang, Jawa Barat. Subang sangat kaya dengan keanekaragaman jenis kesenian. Berdasarkan data pada peta kesenian Kabupaten Subang, daerah ini tercatat memiliki lebih-kurang 54 jenis kesenian. Di antara 54

3 Ketuk Tilu adalah jenia tari yang diiringi tiga buah Ketuk, Rebab, Kendang, Saron, dan Gong. Kliningan adalah penyajian sekaran (vokal grup) yang diiringi Gamelan. Adapun

Pencak Silat merupakan seni bela diri yang diiringi dengan genjring dan tarompet (pupujian).

jenis kesenian tersebut beberapa kesenian yang mengalami perkembangan pesat, diantaranya adalah genjring bonyok.

Secara umum kesenian ini dikenal luas sebagai kesenian genjring yang berasal dari wilayah Kabupaten Subang. Pada umumnya bagi masyarakat Subang, genjring bonyok adalah suatu bentuk kesenian musik genjring yang sering dipergunakan sebagai hiburan dalam acara khitanan, perkawinan, ruwatan (selamatan), atau pada hari-hari nasional.

Pertunjukan genjring bonyok adalah satu genre musik Islam dalam kebudayaan Sunda yang biasanya digunakan dan menyatu dengan budaya Sunda yang didasari oleh peradaban Islam. Kesenian ini lazim digunakan dalam berbagai kegiatan yang bercorak kebudayaan Islam, seperti untuk upacara maulid Nabi Muhammad, upacara perkawinan, khitanan, tahun baru Islam, dan lainnya. Dalam perkembangannya musik ini kemudian mendapat sentuhan budaya populer dan melahirkan genre yang disebut tardug (kependekkan dari gitar dan bedug) sejak tahun 2006 hingga sekarang ini, 2012. Sebagai pusat persebaran kesenian ini adalah di kawasan Subang Jawa Barat.

Kemudian dalam perkembangan berikutnya genre musik ini berkembang pula menjadi tardug (akronim dari gitar dan bedug). Genre ini menggunakan vokal dan yang utama adalah gitar, dan tetap menggunakan instrumen gitar bas, kendang, genjring, bedug, terompet, kercek, dan goong.

Perkembangan genjring bonyok ke tardug ini terjadi karena perubahan keperluan estetis masyarakat Sunda di Subang. Perubahan yang terjadi adalah memperluas peralatan musik juga memperluas cakupan lagu-lagu dan mengadopsi berbagai genre seni lainnya. Bahkan di tahun 2012 ini, tardug ini lazim pula Perkembangan genjring bonyok ke tardug ini terjadi karena perubahan keperluan estetis masyarakat Sunda di Subang. Perubahan yang terjadi adalah memperluas peralatan musik juga memperluas cakupan lagu-lagu dan mengadopsi berbagai genre seni lainnya. Bahkan di tahun 2012 ini, tardug ini lazim pula

Genre tardug jaipongan juga melibatkan pemusik dan penari dalam jumlah yang relatif besar yaitu sekitar 30 orang yang honorariumnya tergantung dari si pengundang dan hasil saweran penonton. Honorarium mereka sekali manggung menurut keterangan para informan rata-rata per orang adalah Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) lain dengan sawerannya. Jadi sekali pertunjukan mereka rata-rata dibayar sekitar Rp 3.000.000 juta dalam satu grup dan lain dengan hasil pemberian para penonton.

Perubahan yang terjadi dari genjring bonyok ke tardug adalah dari segi fungsional. Kalau genjring bonyok awalnya lebih mengutamakan fungsi religius yaitu keagamaan Islam, maka pada tardug ini yang terjadi adalah “desakralisasi” genjring bonyok ke arah yang lebih profan dan lebih berfungsi hiburan dibanding fungsi awalnya yang lebih menekankan religi. Inilah yang menarik dari proses perubahan yang terjadi.

Selain perubahan, maka aspek yang tidak bisa dipungkiri adalah kesinambungan atau kontinuitas dari genjring bonyok ke tardug. Di antara yang terus berlanjut adalah lagu-lagu yang ada di genjring bonyok terus dilakukan di tardug. Selain itu gaya penyajian dengan melibatkan penyanyi, pemusik, dan penari. Alat-alat musik tetap digunakan namun diperluas lagi dengan tambahan- tambahan alat-alat musik lain.

Adapun struktur pertunjukan mengalami kontinuitas dan perubahan juga. Dalam tradisi genjring bonyok, struktur pertunjukan biasanya dimulai dengan instrumentalia yang disebut Gederan. Selanjutnya dipertunjukkan lagu yang disebut Kembang Gadung , sebagai lagu pembuka yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar pertunjukan mendapat ridha-Nya. Kemudian pada pertunjukan berikutnya adalah pertunjukan ketuk tilu yang dinyanyikan oleh penyanyi (sindhen) dan juga penonton, yang juga melibatkan aspek tarian. Kemudian lagu-lagu permintaan dari penonton. Biasanya adalah lagu tradisional Sunda. Setelah para seniman, tuan rumah, dan penonton merasa cukup maka pertunjukan diberhentikan. Demikian pola pertunjukan genjring bonyok dari tahun 1969 sampai sekarang. Namun fungsi genjring bonyok ini sejak 2006 digantikan oleh tardug.

Sama dengan pertunjukan genjring bonyok, pola pertunjukan tardug juga dimulai dari permaian pembukaan dengan pertunjukan Gederan yang disajikan secara instrumentalia. Kemudian pertunjukan lagu Kembang Gadung yang melibatkan pemusik dan penyanyi saja, belum melibatkan tarian, yang dipersembahkan untuk Tuhan Yang Maha Kuasa, agar pertunjukan ini direstui dan diridhai-Nya. Selepas itu adalh pertunjukan lagu-lagu dan tarian secara bebas sesuai dengan permintaan penonton, bisa lagu tradisi Sunda, lagu dangdut, lagu populer Sunda, lagu populer Indonesia, atau lagu etnik di luar Sunda seperti Jawa, Minangkabau, Karo, dan lainnya. Barulah setelah mereka semuanya merasa puas, pertunjukan pun ditutup.

Yang menarik dari proses perubahan dan kontinuitas genre-genre seni tersebut adalah aspek mengikuti selera pasar (masyarakat) dan perkembangan zaman atau globalisasi. Masyarakat Sunda khususnya di Subang menyadari Yang menarik dari proses perubahan dan kontinuitas genre-genre seni tersebut adalah aspek mengikuti selera pasar (masyarakat) dan perkembangan zaman atau globalisasi. Masyarakat Sunda khususnya di Subang menyadari

pertama Masehi; pada masa ini diperkirakan telah muncul tangga-tangga nada pelog dan salendro, ritual ditujukan untuk menghormati roh-roh nenek moyang dan roh-roh penghuni di berbagai tempat di alam ini;

(b) Masa Hindu dan Buddha dari abad pertama sampai ketiga belas; masa ini meneruskan apa yang terjadi pada masa animisme dan dinamisme namun kemudian diselaraskan dengan ajaran Hindu yang mengenal Tuhan dalam bentuk Trimurti, yaitu Wisnu, Brahma, dan Syiwa. Pengaruh Buddha juga wujud dalam ajaran sinkretik Tantraisme. Pada masa ini wujud tarian-tarian yang bersifat dan berfungsi untuk pemujaan di rumah-rumah ibadah.

(c) Masa Islam dari abad ketiga belas. Pada masa inilah dimulainya seni-seni Islam seperti sholawatan, adem ayam, rudat, dan lainnya. Ciri utama seni Islam ini adalah pada penggunaan alat musik rebana (dalam bahasa Sunda genjring). Begitu juga dengan alat musik bedug. Fungsi utama seni Islam adalah untuk dakwah dan komunikasi ajaran Islam, juga untuk memperkuat nilai-nilai keislaman di tengah-tengah masyarakat Sunda.

(d) Kemudian sejak abad ketujuh belas masuklah pengaruh Eropa melalui penjajah Belanda dan Inggris. Di masa ini masyarakat Sunda sudah mulai mengenal musik diatonis, gaya pakaian Eropa, dan lainnya, seperti yang dapat dilihat pengaruhnya pada seni sisingaan.

(e) Berikutnya adalaha masa Indonesia merdeka yaitu sejak tahun 1945 sampai sekarang. Masa ini terus terjadi kontinuitas adem ayem, rudatan, genjring bonyok, sholawatan , kemudian terus berkembang menjadi tardug, tardug dangdut, dan lain-lainnya. Istilah-istilah ini muncul sesuai dengan selera masyarakat Sunda yang menapaki budayanta dari waktu ke waktu.

Semua proses perubahan dan kontinuitas (kesinambungan) seni-seni pertunjukan yang terdapat di Indonesia ini tidak terlepas dari proses globalisasi, yang menekankan kepada ekonomi dan mekanisme pasar. Era globalisasi adalah era persaingan secara internasional. Di masa ini diperlukan juga jati diri selain proses akulturasi dalam seni.

Era globalisasi, dengan penyebaran ideologi kapitalisme yang sedemikian masif, telah menyebabkan terjadinya komodifikasi atas berbagai hal dalam kehidupan manusia. Sebuah proses ketika setiap obyek, tanda-tanda, diubah menjadi komoditas. Dalam kondisi demikian, benda-benda dalam masyarakat tidak lagi dibeli untuk mendapatkan nilai guna, tetapi lebih sebagai tanda komoditas. Di sini tidak ada benda yang punya nilai esensial. Nilai guna itu sendiri ditentukan melalui proses pertukaran, yang menyebabkan makna kultural sesuatu lebih berpengaruh daripada nilai kerja dan utilitasnya (Barker, 2005:145-146).

Dalam dunia seni pertunjukan, termasuk pertunjukan seni tradisi, bentuk- bentuk komodifikasi secara nyata dapat ditemukan. Seni pertunjukan telah menjadi Dalam dunia seni pertunjukan, termasuk pertunjukan seni tradisi, bentuk- bentuk komodifikasi secara nyata dapat ditemukan. Seni pertunjukan telah menjadi

Saat ini, hampir tidak ada satu pun kesenian tradisi yang mampu melepaskan diri dari kepentingan komoditas dan ekonomi, termasuk upacara- upacara ritual yang berkembang menjadi obyek pariwisata, menjadi sebuah pseudo- ritual (Endang Caturwati, 2004:57). Kesenian tradisional tumbuh dan berkembang pada masyarakat pendukungnya. Akan tetapi pada perkembangannya saat ini, sebagian besar masyarakat kurang peduli lagi terhadap kelangsungan hidupnya, sehingga kesenian tradisional sebahagian besar mendekati ambang kepunahannya, kecuali yang fungsional dalam masyarakatnya..

Sungguh tidak mudah untuk menjadi kesenian tradisi yang murni, ketika ideologi kapitalisme telah memasuki desa-desa yang terpencil sekalipun. Ia harus berhadapan, berlomba bahkan berjuang sedemikian keras melawan industri budaya, yang secara dominan direpresentasikan oleh budaya populer. Sebagaimana diungkap oleh Fiske, “… dalam masyarakat kapitalis tidak ada apa yang disebut sebagai budaya rakyat yang otentik, yang bisa dipakai untuk menakar

“ketidakotentikan” budaya massa, sehingga meratapi hilangnya otentisitas adalah nostalgia romantik yang tak ada gunanya” (Barker, 2005:87).

Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaaan di mana ia tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan etnik ini, adat atau kesepakatan bersama yang turun temurun mengenai perilaku, mempunyai pengaruh yang amat besar untuk menentukan bangkitnya seni pertunjukan. Peristiwa keadatan merupakan landasan eksistensi yang utama bagi pergelaran-pergelaran atau pelaksanaan-pelaksanaan seni pertunjukan. Seni pertunjukan terutama yang berupa tari-tarian dengan iringan bunyi-bunyian sering merupakan pengembangan dari kekuatan-kekuatan magis yang diharapkan hadir, tetapi juga tidak jarang merupakan semata-mata tanda syukur pada terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu (Sedyawati, 1981:52-53).

Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat, dan menjadi salah satu bagian yang penting dari kebudayaan. Kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan dengan demikian juga kesenian, mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi (Umar Kayam, 1981:38-39)

Lebih lanjut Edi Sedyawati, mengemukakan tentang arti pengembangan sebagai berikut ini.

Adapun yang dimaksud dengan pengembangan sebenarnya mempunyai dua arti yaitu pertama, pengembangan dalam arti pengolahan dan kedua pengembangan dalam arti penyebarluasan: (a) Pengembangan dalam arti pengolahan itu berdasarkan unsur-unsur tradisi yang diberi nafas baru sesuai dengan tingkat perkembangan masa, tanpa mengurangi atau menghilangkan nilai-nilai tradisi. (b) Pengembangan dalam arti penyebarluasan untuk dapat dinikmati Adapun yang dimaksud dengan pengembangan sebenarnya mempunyai dua arti yaitu pertama, pengembangan dalam arti pengolahan dan kedua pengembangan dalam arti penyebarluasan: (a) Pengembangan dalam arti pengolahan itu berdasarkan unsur-unsur tradisi yang diberi nafas baru sesuai dengan tingkat perkembangan masa, tanpa mengurangi atau menghilangkan nilai-nilai tradisi. (b) Pengembangan dalam arti penyebarluasan untuk dapat dinikmati

Apa yang disebut “seni rakyat”, “lagu rakyat”, atau “tarian rakyat” yang tidak pernah lagi dikenal penciptanya itu pada mulanya dimulai dari seorang pencipta anggota masyarakat. Begitu musik atau tarian diciptakan, masyarakat segera “mengklaim” sebagai miliknya. Termasuk bentuk-bentuk ritual yang telah disakralkan oleh masyarakat, sebagai adat istiadat milik setempat.

Terkait dengan penciptaan karya seni, Saini (2001:49) menyatakan bahwa karya seni adalah hasil pendekatan seniman terhadap realitas. Ia adalah hasil persinggungan bahkan pergulatan kesadaran seniman berupa pemikiran, perasaan dan khayalan seniman dengan realitas yang menjadi sasaran obsesinya. Terciptanya sebuah karya seni tidak begitu saja terbentuk, melainkan membutuhkan pemikiran- pemikiran, perasaan, dan imajinasi yang tinggi dan diproses menjadi sebuah karya.

Mengenai defenisi dan konsep tentang seni tradisional, Rohidi (2000:209) mengungkapkan sebagai berikut.

Kesenian tradisional adalah kesenian yang bersifat lokal. Kesenian lokal adalah jenis kesenian yang hidup dominan dikalangan suku bangsa tertentu. Kesenian jenis ini sering kali menjadi bagian dari kehidupan secara menyeluruh (dalam upacara-upacara ritual kehidupan). Di antara sesama warga masyarakat yang terisolasi (atau mengisolasikan diri). Kesenian mereka sering kali juga disebut kesenian “primitif”. Kesenian lokal yang juga hidup pada masyarakat tertentu yang telah mengalami kontak dengan masyarakat dan kebudayaan lainnya (asing/tetangga), juga karena kemampuan masyarakat yang bersangkutan, mereka bisa menyerap nilai-nilai kebudayaan lain. Melalui perjalanan sejarah yang panjang dan nilai-nilai perpaduan itu terwujud dalam corak ekspresi kesenian yang khas, telah dialihwariskan dari generasi satu kegenerasi berikutnya, sehingga menjadi bagian dari kehidupan berkeseniannya. Kesenian lokal semacam ini secara umum dikenal sebagai kesenian tradisional.

Seperti apa yang dikemukakan dari kutipan di atas, bahwa kesenian tradisional merupakan hasil buah cipta kebudayaan masyarakat sebagai ungkapan kehidupan sosial di suatu daerah tertentu yang membutuhkan waktu cukup lama baik dalam penciptaannya sampai penyebarannya hingga mengalami pewarisan secara turun-temurun dari generasi ke generasi di bawahnya, sehingga kesenian tersebut dapat dikatakan kesenian primitif. Demikian pula halnya dengan seni genjring bonyok

dan tardug yang berkembang di dalam masyarakat tradisional Jawa Barat. Kesenian ini termasuk ke dalam seni tradisi seperti yang digambarkan oleh Rohidi di atas.

Subang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang kaya dengan seni pertunjukan, antara lain tayub, doger kontrak, sisingaan, ajeng, gembyung, belentuk ngapung, bajidor, beluk, toleat, genjring bonyok , dan topeng jati merupakan contoh dari sekian banyak karya seni tradisional yang diciptakan dan telah mengalami proses pewarisan secara turun temurun dalam suatu periode tertentu oleh para leluhur di Kabupaten Subang.

Keberadaan tardug yang merupakan kontinuitas dari genjring bonyok, sangatlah relevan dikaji dari disiplin etnomusikologi. Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu etnologi (antropologi) dan musikologi. Penggabungan ini sendiri telah menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan etnomusikologi. Jika kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain, katakanlah arkeologi, maka akan terjadi sesuatu perkembangan yang menarik. Dalam konteks etnomusikologi, bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang Keberadaan tardug yang merupakan kontinuitas dari genjring bonyok, sangatlah relevan dikaji dari disiplin etnomusikologi. Etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu, merupakan fusi atau gabungan dari dua induk ilmu yaitu etnologi (antropologi) dan musikologi. Penggabungan ini sendiri telah menimbulkan dampak yang kompleks dalam perkembangan etnomusikologi. Jika kemudian ia berfusi lagi dengan ilmu lain, katakanlah arkeologi, maka akan terjadi sesuatu perkembangan yang menarik. Dalam konteks etnomusikologi, bidang musikologi selalu dipergunakan dalam mendeskripsikan struktur musik yang mempunyai hukum-hukum internalnya sendiri--sedangkan etnologi memandang

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which

emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense

reaction

against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to

characterizeGerman and

American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).

Dari kutipan paragraf di atas, menurut Merriam para pakar etnomusikologi membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembahagian ilmu, untuk itu selalu dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan etnologi. Kemudian menimbulkan kemungkinan- kemungkinan masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik, dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua disiplin tersebut.

Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya--seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas.

Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Nettl yaitu terdapat kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode, pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik. Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk dari dua disiplin dasar yaitu etnologi dan musikologi, walau terdapat variasi penekanan bidang

Berbagai definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Dalam edisi berbahasa Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku yang bertajuk Etnomusikologi, 1995, yang disunting oleh Rahayu Supanggah, terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta. Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari beberapa pakar, menurut kronologi

sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai Elizabeth Hesler tahun 1976. 4 Dari 42 (empat puluh dua) definisi tentang etnomusikologi dapat diketahui

bahwa etnomusikologi adalah fusi dari dua disiplin utama yaitu musikologi dan atropologi, pendekatannya cenderung multi disiplin dan interdisiplin. Etnomusikologi masuk ke dalam bidang ilmu humaniora dan sosial sekali gus, merupakan kajian musik dalam kebudayaan, dan tujuan akhirnya mengkaji manusia

4 R. Supanggah (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat