BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Akuntansi
Beberapa ahli telah mengembangkan definisi-definisi akuntansi, yang antara lain adalah:
1. Rollin C. Niswonger, Carl S. Warren, James M. Reeve, Philip E. Fess dalam bukunya yang berjudul “Accounting” dan diterjemahkan oleh
Alfonsus Sirait, Helda Gunawan, mendefinisikan akuntansi sebagai berikut:
“Secara umum akuntansi didefinisikan sebagai sistem informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai
aktivitas ekonomi dan kondisi perusahaan” Rollin C. Niswonger, Carl S. Warren, James M. Reeve, Philip E. Fess, 1999:6.
Pihak yang berkepentingan stakeholders menggunakan laporan akuntansi sebagai sumber informasi utama untuk pengambilan keputusan
mereka. 2. Charles T. Horngren, Walter T. Harrison, Jr., Michael A. Robinson,
1997:3, mendefinisikan akuntansi dan laporan keuangan sebagai berikut: “Akuntansi adalah suatu sistem yang mengukur aktivitas-aktivitas bisnis,
memproses informasi tersebut ke dalam bentuk laporan–laporan, dan mengkomunikasikannya kepada para pengambil keputusan“ Charles T.
Horngren, Walter T. Harrison, Jr., Michael A. Robinson, 1997:3.
“Laporan keuangan adalah dokumen-dokumen yang melaporkan kegiatan bisnis pribadi atau organisasi ke dalam satuan moneter” Charles T.
Horngren, Walter T. Harrison, Jr., Michael A. Robinson, 1997:3
B. Penilaian Kinerja
1. Definisi Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja performance appraisal merupakan fungsi kunci untuk melaksanakan manajemen sumber daya manusia secara efektif. Namun
dalam banyak kondisi, fungsi penilaian kinerja dipandang sebelah mata oleh para pengambil kebijaksanaan dalam organisasi. Martin 1995 dalam
Fahrudin JS Pareke, 2000, berpendapat bahwa kegiatan penilaian kinerja dalam organisasi menempati posisi undervalued. Masalah umum yang timbul
pada perspektif ini adalah bahwa kegiatan penilaian kinerja menghabiskan begitu banyak waktu, dan sebagian besar orang-orang para karyawan dan
eksekutif dalam organisasi tidak begitu menyukai kegiatan ini, meskipun mereka berkepentingan secara langsung terhadap fungsi tersebut.
Ketika sebuah organisasi baik yang berorientasi laba perusahaan maupun nisbah lembaga mulai berusaha untuk mempertahankan dan
memperbaiki kinerjanya secara keseluruhan, atau memperbaiki kinerja anggota-anggotanya, maka fungsi penilaian kinerja akan memiliki peranan
penting. Setidaknya, ada 3 alasan menurut Ghorpade dan Chen 1995 dalam Fahrudin JS Pareke, 2000 yang membuat fungsi penilaian kinerja begitu
penting kedudukannya dalam organisasi. Pertama, karena fungsi penilaian kinerja merupakan sesuatu yang inherent dan tak terelakkan dalam setiap jenis
organisasi. Dengan kegiatan penilaian kinerja, 1 organisasi mengetahui prestasi para anggotanya, 2 penilaian diperlukan untuk menghitung
kontribusi masing-masing individu terhadap kemajuan organisasi, dan 3
penilaian kinerja formal dapat melindungi organisasi dari tindakan-tindakan negatif para anggota organisasi.
Kedua , fungsi penilaian kinerja merupakan kegiatan yang penuh
dengan konsekuensi-konsekuensi, baik terhadap individu-individu dalam organisasi maupun bagi organisasi itu sendiri. Dari perspektif organisasi
kelemahan-kelemahan sistem dan kesalahan-kesalahan praktik penilaian kinerja akan berakibat terhadap ketidakefektifan pelaksanaan fungsi-fungsi
SDM yang lainnya seperti fungsi kompensasi, fungsi pelatihan dan pengembangan dan sebagainya.
Ketiga , kegiatan penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang
mengharapkan penilai dengan kondisi yang mengharuskannya untuk mendapatkan hasil penilaian yang bersih, akurat dan peringkat yang
berdasarkan pada jasa individual. Pada titik ini, fungsi penilaian kinerja bersama-sama dengan variabel lainnya, menentukan tingkat pencapaian
kinerja organisasi. Alasan keempat, menurut Longenecker dan Gioia 1992 dalam
Fahrudin JS Pareke, 2000, adalah adanya kenyataan bahwa fungsi penilaian kinerja cenderung terpengaruh oleh sistem politik dalam organisasi. Kuatnya
peranan pertimbangan-pertimbangan politis dalam proses penilaian kinerja, dikarenakan pada kenyataannya, 1 para eksekutif mempertimbangkan
dinamika interaksi keseharian mereka dengan para bawahan, 2 hasil proses penilaian formal berbentuk dokumen tertulis yang permanen, dan 3 penilaian
format memiliki pengaruh kuat terhadap karir dan kemajuan bawahannya.
Karena pertimbangan-pertimbangan politis tersebut, para eksekutif sering kali melakukan manipulasi-manipulasi hasil dari proses penilaian
dengan sengaja dan sistematis. Manipulasi-manipulasi hasil dan proses penilaian dapat mengambil bentuk inflating, yaitu melaporkan hasil penilaian
yang lebih tinggi dari hasil yang sesungguhnya, atau deflating, yaitu karyawan dinilai lebih rendah dari kinerjanya yang sesungguhnya.
Adanya kesepakatan umum tentang pentingnya fungsi penilaian kinerja dalam hal meningkatkan motivasi karyawan dan kinerja organisasi
secara keseluruhan, tidak begitu saja membuat fungsi ini bekerja dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh Moss dalam Lamont, et al:1999 dalam Fahrudin
JS Pareke, 2000, kenyataan pahit yang dialami oleh organisasi-organisasi kita adalah bahwa kita telah melaksanakan fungsi penilaian kinerja selama 30
tahun, dan kita masih berusaha keras untuk melaksanakannya dengan benar. Untuk itu diperlukan tujuan yang jelas, sistem yang baik dan manajer yang
efektif, yang kesemuanya saling melengkapi agar fungsi penilaian kinerja dapat bekerja dengan baik.
Penilaian kinerja merupakan alat yang baik untuk meningkatkan kinerja organisasi, namun untuk menjadikan aktivitas ini dapat berfungsi
dengan efektif, bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana. Tulisan ini berusaha memberikan pemahaman mengapa fungsi penilaian kinerja dalam
organisasi tidak bekerja, dan mencoba memberikan alternatif pemecahan agar aktivitas tersebut dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan.
2. Penyebab Ketidak-efektifan Fungsi Penilaian Kinerja
Menurut Anthony, et al 1999 dalam Fahrudin JS Pareke, 2000, penyebab-penyebab
ketidak-efektifan penilaian
kinerja merupakan
permasalahan-permasalahan yang terletak pada sistem penilaian kinerja yang tidak baik, yang terdiri dari 5 masalah utama, seperti yang diperlihatkan
gambar 2.1.
Gambar 2.1. Permasalahan-permasalahan Utama Sistem Penilaian Kinerja
1. sistem penilaian yang didefinisikan dengan buruk 2. sistem komunikasi penilaian yang buruk
3. sistem penilaian yang tidak sesuai 4. pendukung sistem penilaian yang buruk
5. sistem penilaian yang tidak di monitoring Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
Penyebab-penyebab yang lainnya adalah tujuan penilaian sering kali tidak ditentukan secara jelas dan kegiatan penilaian dianggap hanya sebagai
kegiatan ritual tahunan Noe, et al : 2000. Dengan demikian kita dapat mengidentifikasikan 7 hal yang menyebabkan fungsi penilaian kinerja dalam
organisasi tidak efektif, seperti pada gambar 2.2. Tujuan penilaian tidak jelas
. Penyebab ketidak-efektifan fungsi penilaian yang pertama adalah ketidak-jelasan tujuan penilaian. Penilaian
kinerja dapat ditujukan untuk tujuan strategis, administratif atau pengembang, tujuan strategis dimaksudkan untuk memberikan kontribusi terhadap
pencapaian tujuan organisasi. Tujuan administratif adalah untuk kepentingan-
kepentingan administrasi, seperti promosi, kenaikan gaji, dan lain sebagainya. Sedangkan tujuan yang bersifat pengembangan adalah untuk meningkatkan
kinerja karyawan dalam pelaksanaan pekerjaan mereka Noe, et al : 2000.
Gambar 2.2. Penyebab Ketidak-efektifan Fungsi Penilaian Kinerja
fungsi penilaian
kinerja tidak efektif
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber
Pendefinian sistem yang buruk. Pendefinisian sistem yang buruk
berarti sistem dirancang atau dimodifikasi tanpa memperhatikan tujuan dan strategi organisasi. Kenyataan ini menyebabkan penilaian kinerja dalam
organisasi menjadi tidak efektif, di mana organisasi mengabaikan keterkaitan link antara kebijakan penilaian kinerja dengan strategi-strategi dan tujuan-
tujuan organisasi. Noe, et al.2000, mengatakan bahwa sistem penilaian kinerja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem manajemen
kinerja, yang harus mendukung tujuan strategis organisasi. Tujuan penilaian tidak jelas
Penilaian hanya sebagai ritual tahunan Sistem komunikasi penilaian yang buruk
Sistem penilaian tidak dimonitoring Pendefinisian sistem yang buruk
Sistem penilaian tidak didukung Sistem penilaian tidak tepat
Sistem penilaian yang tidak didukung dengan baik. Sistem penilaian yang tidak didukung, berarti tidak adanya keterlibatan dan keterikatan
komitmen top manajemen, individu-individu yang dinilai, maupun personalia pelaksana penilaian dalam kegiatan penilaian kinerja. Tanpa
dukungan dari tiap manajemen, maka rancangan dan praktik-praktik penilaian kinerja tidak memberikan kontribusi terhadap kinerja organisasi, karena
manajemen tidak akan menggunakan hasil penilaian tersebut untuk kebijakan- kebijakan organisasi. Sebaliknya, jika sistem penilaian tidak diterima dan
didukung oleh para karyawan dan personalia pelaksana penilaian, maka mereka tidak akan berusaha keras untuk menjadikan kegiatan penilaian
tersebut berhasil Athony, et al : 1999. Sistem penilaian tidak tepat. Ketidakcocokan sistem penilaian, berarti
praktik penilaian tidak sesuai dengan sistem yang diharapkan, yang menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan praktik dalam proses penilaian.
Menurut Hubartt 1995 dalam Fahrudin JS Pareke, 2000, beberapa kesalahan praktik yang sering terjadi dalam penilaian kinerja adalah kegiatan penilaian
kinerja tidak konsisten dalam menetapkan peringkat, kegagalan dalam penentuan sasaran kinerja dan ketidak-mampuan menangani karyawan yang
berkinerja rendah. Penilaian hanya sebagai ritual tahunan. Penyebab ketidak-efektifan
kegiatan penilaian kinerja yang kelima, adalah kegiatan ini hanya dipandang sebagai sebuah kegiatan ritual tahunan. Para manajer hanya melengkapi
mengisi formulir penilaian dengan cepat dan menggunakannya untuk mendaftar semua informasi negatif yang mereka kumpulkan atas seorang
karyawan selama setahun yang lalu. Para manajer ini tidak menghendaki
adanya konfrontasi dan tidak mengetahui bagaimana cara menyajikan hasil evaluasi negatif yang mereka dapatkan. Beberapa manajer bahkan
menghabiskan sedikit mungkin waktu untuk memberikan umpan-balik pada karyawan Noe, et al : 2000. Padahal kegiatan penilaian merupakan sebuah
proses, bukan hanya sebuah kejadian event tertentu. Agar proses ini menjadi lebih mudah, perlu diingat bahwa penilaian lebih dari sekedar mengisi
formulir Hadden : 1999 dalam Fahrudin JS Pareke, 2000. Sistem komunikasi penilaian yang jelek. Sistem komunikasi penilaian
yang jelek artinya sistem penilaian tidak di komunikasi disosialisasi dengan baik kepada setiap orang yang terlibat dalam proses penilaian. Buruknya
komunikasi sistem penilaian menyebabkan para penilai dan individu-individu yang dinilai memiliki persepsi yang berbeda tentang tujuan dan pentingnya
kegiatan penilaian kinerja yang dilakukan Anthony, et al : 1999. Perbedaan persepsi ini akan mengurangi penerimaan karyawan terhadap proses dan hasil
penilaian, sehingga keterlibatan mereka dalam kegiatan penilaian menjadi rendah.
Sistem penilaian tidak di monitoring. Sedang sistem yang tidak di monitoring
akan menghasilkan permasalahan
yang serius,
yang menyebabkan tidak adanya tindakan-tindakan perbaikan atas kesalahan yang
terjadi selama proses penilaian Anthony, et al. : 2000.
3. Fungsi Penilaian Kinerja yang Mengacu pada Kualitas
Saat ini semakin banyak organisasi yang menyadari bahwa penilaian kinerja yang efektif merupakan satu hal yang paling esensial untuk
melaksanakan strategi-strategi mereka Grote : 2000. Namun, seperti yang dikemukakan oleh Longenecker 1999 dalam Fahrudin JS Pareke, 2000,
untuk menciptakan fungsi penilaian kinerja yang bermanfaat, yang memungkinkan organisasi untuk mengeksekusi strategi-strateginya, bukanlah
merupakan suatu hal yang mudah. Sekali lagi ingin kita pertegas, bahwa ketidak-efektifan proses
penilaian kinerja akan berpengaruh terhadap organisasi dan individu-individu dalam organisasi. Dari sudut pandang individu, penilaian kinerja yang tidak
adil dan tidak akurat akan menumbuhkan perasaan tidak nyaman atau tidak puas, yang pada gilirannya akan menurunkan kinerja karyawan. Di samping
itu mereka akan menemukan secara jelas bahwa masa depan dan karir mereka, sedikit sekali ditentukan oleh kinerja mereka saat ini.
Di pihak organisasi, penilaian kinerja yang tidak efektif akan menjadi batu sandungan bagi kemajuan dan perkembangan organisasi. Penilaian
kinerja yang tidak adil akan menyebabkan organisasi kehilangan aset-aset SDM nya, yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Akhirnya, organisasi
akan kehilangan daya saing dan kompetensi-kompetensinya, terutama kompetensi sumber daya manusianya.
Longenecker 1999 dalam Fahrudin JS Pareke, 2000, mengajukan tiga elemen kritis untuk mengefektifkan fungsi penilaian kinerja dalam organisasi,
yaitu: 1 rancangan sistem yang efektif, 2 praktik manajerial penilaian yang efektif, dan 3 sistem pendukung penilaian yang efektif. Ketiga elemen ini
dijabarkan menjadi 10 kunci penyelenggaraan sistem penilaian yang efektif, seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3. Penilaian Kinerja yang Efektif
Sumber: Data Diolah dari Berbagai Sumber
C. Penerapan Audit Internal
Penerapan adalah tindakan atau perbuatan yang dilakukan apabila telah memenuhi prosedur atau proses yang berdasarkan standar audit dalam
melaksanakan pemeriksaan laporan keuangan suatu perusahaan. Tujuan dari penerapan ini adalah untuk memeriksa atau melihat tingkat kewajaran dalam
Menciptakan Tujuan dengan Jelas Keterlibatan KaryawanManajer
Prosedur Instrumen yang baik mudah digunakan
Pelatihan Personalia Pelaksana Penilaian Perencanaan Penilaian
Pelatihan bimbingan yang terus- menerus
Motivasi Personalia Pelaksana Penilaian Dukungan Top Manajemen
Keterkaitan Penilaian dgn tujuan organisasi
Sistem Peninjauan tindakan Per Praktik
Managerial yang
Efektif
Sistem Pendukung
Penilaian yang
Efektif Fungsi
Penilaian Kinerja
yang efektif
Pelatihan Personalia Pelaksana Penilaian Perencanaan Penilaian
Pelatihan bimbingan yang terus- menerus
Motivasi Personalia Pelaksana Penilaian Dukungan Top Manajemen
Keterkaitan Penilaian dengan tujuan organisasi
Sistem Peninjauan tindakan Perbaikan yang terus menerus
Rancangan Sistem
yang Efektif
Praktik Managerial
yang Efektif
Sistem Pendukung
Penilaian yang
Efektif Fungsi
Penilaian Kinerja
yang efektif
suatu laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor internal. Prosedur berkaitan dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan standar
berkenaan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja tindakan tersebut dan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan prosedur
tersebut. Jadi berlainan dengan prosedur auditing, standar auditing mencakup mutu profesional auditor independen dan pertimbangan yang digunakan dalam
pelaksanaan audit dan penyusunan laporan audit. http:id.wikipedia.orgwikiStandar_Auditing
1. Standar Auditing
Standar auditing berbeda dengan prosedur auditing. Prosedur berkaitan dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan standar
berkenaan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja tindakan tersebut dan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan
prosedur tersebut. Jadi berlainan dengan prosedur auditing, standar auditing mencakup mutu profesional auditor independen dan pertimbangan
yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan audit Abdul Halim, 2008.
Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari sepuluh standar yang dikelompokkan
menjadi tiga kelompok besar, yaitu: a.
Standar umum Standar umum bersifat pribadi dan berkaitan dengan
persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya. Standar umum ini mencakup tiga bagian, yaitu:
1 Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
Dalam melaksanakan audit sampai pada suatu pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang
akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dari pendidikan formal ditambah dengan pengalaman-pengalaman
dalam praktik audit dan menjalani pelatihan teknis yang cukup. Asisten junior yang baru masuk dalam karir auditing harus
memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi yang memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya
yang lebih berpengalaman. Pelatihan yang dimaksudkan di sini, mencakup pula pelatihan
kesadaran untuk secara terus-menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bidang bisnis dan profesinya. Ia harus mempelajari,
memahami, dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia. 2 Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi
dan sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. Standar ini mengharuskan seorang auditor bersikap independen, yang
artinya seorang auditor tidak mudah dipengaruhi, karena pekerjaannya untuk kepentingan umum. Kepercayaan masyarakat umum atas
independensi sikap auditor independen sangat penting bagi
perkembangan profesi akuntan publik. Untuk menjadi independen, seorang auditor harus secara intelektual jujur.
Profesi akuntan publik telah menetapkan dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, agar anggota profesi menjaga dirinya dari kehilangan
persepsi independensi dari masyarakat. Independensi secara intrinsik merupakan masalah mutu pribadi, bukan merupakan suatu aturan yang
dirumuskan untuk dapat diuji secara objektif. BAPEPAM juga dapat menetapkan persyaratan independensi bagi auditor yang melaporkan
tentang informasi keuangan yang akan diserahkan, yang mungkin berbeda dari Ikatan Akuntan Indonesia IAI.
3 Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menekankan tanggung jawab setiap profesional yang bekerja dalam
organisasi auditor. Selain itu juga menyangkut apa yang dikerjakan auditor dan bagaimana kesempurnaan pekerjaannya tersebut. Seorang
auditor harus memiliki “tingkat keterampilan yang umumnya dimiliki” oleh auditor pada umumnya dan harus menggunakan keterampilan
tersebut dengan “kecermatan dan keseksamaan yang wajar”. Untuk itu, auditor dituntut untuk memiliki skeptisme profesional dan keyakinan
yang memadai dalam mengevaluasi bukti audit. b.
Standar Pekerjaan Lapangan Standar pekerjaan lapangan terdiri dari tiga, yaitu:
1 Pekerjaan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus di supervisi dengan semestinya.
Poin ini menjelaskan bahwa, penunjukan auditor independen secara dini akan memberikan banyak manfaat bagi auditor maupun klien.
Penunjukan secara dini memungkinkan auditor merencanakan pekerjaannya sedemikian rupa sehingga pekerjaan tersebut dapat
dilaksanakan dengan cepat dan efisien serta dapat menentukan seberapa jauh pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan sebelum tanggal
neraca. 2 Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk
merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
Untuk semua auditor harus memperoleh pemahaman tentang pengendalian internal yang memadai untuk merencanakan audit
dengan melaksanakan prosedur untuk memahami desain pengendalian yang relevan dengan audit atas laporan keuangan, dan apakah
pengendalian intern tersebut dioperasikan. Setelah memperoleh pemahaman tersebut, auditor menaksir risiko pengendalian untuk
asersi yang terdapat dalam saldo akun, golongan transaksi, dan komponen pengungkapan dalam laporan keuangan. Kemudian, auditor
dapat mencari pengurangan lebih lanjut risiko pengendalian taksiran untuk asersi tertentu.
Auditor menggunakan pengetahuan yang dihasilkan dari pemahaman atas pengendalian intern dan tingkat risiko pengendalian taksiran
dalam menentukan sifat, saat dan luas pengujian substantif untuk asersi laporan keuangan.
3 Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar
memahami untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan. Sebagian besar pekerjaan auditor independen dalam rangka
memberikan pendapat atas laporan keuangan terdiri dari usaha untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti audit. Bukti audit sangat
bervariasi pengaruhnya terhadap kesimpulan yang ditarik oleh auditor independen dalam rangka memberikan pendapat atas laporan keuangan
auditan. Relevansi, objektivitas, ketepatan waktu, dan keberadaan bukti lain yang menguatkan kesimpulan, seluruhnya berpengaruh
terhadap kompetensi bukti. c.
Standar Pelaporan Standar pelaporan terdiri dari empat item, di antaranya:
1 Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Standar pelaporan pertama ini tidak mengharuskan untuk menyatakan tentang fakta statement of fact, namun standar tersebut mengharuskan
auditor untuk menyatakan suatu pendapat mengenai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi tersebut.
Prinsip akuntansi berlaku umum atau “generally accepted accounting principles”
mencakup konvensi, aturan dan prosedur yang diperlukan
untuk membatasi praktik akuntansi yang berlaku umum di wilayah tertentu dan pada waktu tertentu.
2 Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada ketidak konsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan
periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
Standar ini juga disebut dengan standar konsistensi. Standar konsistensi menuntut auditor independen untuk memahami hubungan
antara konsistensi dengan daya banding laporan keuangan. Kurangnya konsistensi penerapan prinsip akuntansi dapat menyebabkan
kurangnya daya banding laporan keuangan. Standar ini bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa jika daya
banding laporan keuangan di antara kedua periode dipengaruhi secara material
oleh perubahan
prinsip akuntansi,
auditor akan
mengungkapkan perubahan tersebut dalam laporannya. Caranya, dengan menambahkan paragraf penjelasan yang disajikan setelah
paragraf pendapat. 3 Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. Penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku
umum di Indonesia mencakup dimuatnya pengungkapan informatif yang memadai atas hal-hal material, di antaranya bentuk, susunan, dan
isi laporan keuangan serta catatan atas laporan keuangan. Auditor harus selalu mempertimbangkan apakah masih terdapat hal-hal tertentu
yang harus diungkapkan sehubungan dengan keadaan dan fakta yang diketahuinya pada saat audit.
Dalam mempertimbangkan cukup atau tidaknya pengungkapan, auditor menggunakan informasi yang diterima dari kliennya atas dasar
kepercayaan bahwa auditor akan merahasiakan informasi tersebut. Tanpa kepercayaan, auditor akan sulit untuk memperoleh informasi
yang diperlukan
untuk menyatakan
pendapat atas
laporan keuangannya.
4 Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa
pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan.
Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat
pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.
Tujuan standar pelaporan ini adalah untuk mencegah salah tafsir tentang tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh akuntan bila
namanya dikaitkan dengan laporan keuangan. Seorang akuntan dikaitkan dengan laporan keuangan jika ia mengizinkan namanya
dalam suatu laporan, dokumen, atau komunikasi tertulis yang berisi laporan tersebut. Bila seorang akuntan menyerahkan kepada kliennya
atau pihak lain suatu laporan keuangan yang disusunnya atau dibantu penyusunannya, maka ia juga dianggap berkaitan dengan laporan
keuangan tersebut, meskipun ia tak mencantumkan namanya dalam laporan tersebut. Abdul Halim, 2008.
D. Ruang Lingkup Auditing
1. Definisi Auditing
“Report of committee on basic auditing concepts of the American Accounting Association
” Accounting Review, Vol 47 memberikan definisi auditing sebagai berikut:
“Suatu proses sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa ekonomi, dengan tujuan
menetapkan derajat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya serta penyampaian hasil-hasilnya kepada
pihak-pihak yang berkepentingan”.
Beberapa ciri penting yang ada dalam definisi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Suatu proses sistematis berupa serangkaian langkah atau prosedur yang logis, terstruktur dan terorganisir. Auditing Standards Board ASB =
Dewan Standar Auditing menerbitkan Generally Accepted Auditing Standards
GAAS = Standar Auditing yang Berlaku Umum sebagai pedoman profesional berkaitan dengan proses audit.
b. Memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif berarti memeriksa dasar asersi serta mengevaluasi hasil pemeriksaan tersebut tanpa memihak
dan berprasangka, baik untuk atau terhadap perorangan entitas yang membuat asersi tersebut.
c. Asersi tentang kegiatan dan peristiwa ekonomi merupakan representasi yang dibuat oleh perorangan atau entitas. Asersi ini merupakan subjek
pokok auditing. d. Derajat kesesuaian menunjuk pada kedekatan di mana asersi dapat
diidentifikasikan dan dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan. Ekspresi kesesuaian ini dapat berbentuk kuantitas, seperti jumlah
kekurangan dana kas kecil, atau dapat juga berbentuk kualitatif, seperti kewajaran keabsahan laporan keuangan.
e. Kriteria yang telah ditetapkan adalah standar-satandar yang digunakan sebagai dasar untuk menilai asersi atau pernyataan. Kriteria dapat berupa
peraturan-peraturan spesifik yang dibuat oleh badan legislatif, anggaran atau ukuran kinerja lainnya yang ditetapkan oleh manajemen, Generally
Accepted Accounting Principles GAAP = Prinsip-prinsip Akuntansi yang
Berlaku Umum yang ditetakan oleh Financial Accounting Standards Board
FASB = Badan Standar Akuntansi Keuangan serta badan-badan pengatur lainnya.
f. Penyampaian hasil diperoleh melalui laporan tertulis yang menunjukkan derajat kesesuaian antara asersi dan kriteria yang telah ditetapkan.
Kepercayaan pemakai informasi keuangan atas asersi yang dibuat oleh pihak yang diaudit.
g. Pihak-pihak yang berkepentingan adalah mereka yang menggunakan mengandalkan temuan-temuan auditor. Dalam lingkungan bisnis,
mereka adalah para pemegang saham, manajemen, kreditor, kantor pemerintah, dan masyarakat luas.
Laporan keuangan terdiri dari asersi manajemen yang merupakan hal penting sebagai pedoman auditor dalam pengumpulan bukti. Auditing
Standards Board ASB telah mengakui lima kategori asersi laporan keuangan
sebagai berikut: a.
Keberadaan atau Keterjadian existence or occurrence Berkaitan dengan apakah aktiva atau kewajiban entitas benar-benar
ada pada tanggal tertentu, dan transaksi yang dicatat benar-benar telah terjadi selama periode tertentu.
b. Kelengkapan completeness
Berkaitan dengan apakah semua transaksi dan akun yang harus disajikan dalam laporan keuangan benar-benar telah dicantumkan.
c. Hak dan Kewajiban rights and obligations
Berkaitan dengan apakah aktiva telah menjadi hak entitas dan hutang memang telah menjadi kewajiban entitas pada suatu tanggal tertentu.
d. Penilaian atau Alokasi valuation or allocation
Berkaitan dengan apakah komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan beban telah dicantumkan dalam laporan keuangan dengan jumlah
semestinya. e.
Penyajian dan Pengungkapan presentation and disclosure Berkaitan dengan apakah komponen tertentu laporan keuangan telah
digolongkan, diuraikan, dan diungkapkan sebagaimana mestinya.
2. Jenis-jenis Audit
Terdapat tiga jenis audit yang umum dilakukan Amir Abadi Jusuf, 2003:4, yaitu:
a. Audit Laporan Keuangan Bertujuan
menentukan apakah
laporan keuangan
secara keseluruhan yang merupakan informasi terukur yang akan diverifikasi
telah disajikan sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu. Umumnya, kriteria yang dimaksud adalah prinsip akuntansi yang berlaku umum. Prinsip
akuntansi yang berlaku umum di Indonesia dimuat dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan PSAK.
Hasil audit laporan keuangan didistribusikan kepada para pengguna seperti para pemegang saham, kreditor, kantor pemerintah dan masyarakat
umum melalui laporan auditor atas laporan keuangan. Selain itu, auditor independen juga menyiapkan laporan kepada dewan direksi tentang
pengendalian intern perusahaan serta temuan-temuan audit lainnya. b. Audit Operasional
Merupakan penelaahan atas bagian manapun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektifitasnya.
Umumnya auditor akan memberikan saran atau rekomendasi kepada pihak manajemen untuk memperbaiki jalannya operasi perusahaan dan untuk
peningkatan kinerja perusahaan. Karena lingkup evaluasi efektivitas operasi begitu luas, maka tidak mungkin untuk menentukan ciri
pelaksanaan audit operasional dengan pasti. Di dalam suatu organisasi,
bisa jadi auditor mengevaluasi apakah manajemen telah menggunakan informasi yang tepat dan mencukupi dalam pengambilan keputusan
pembelian aktiva yang baru, sedang dalam organisasi yang berbeda barangkali ia akan mengevaluasi efisiensi administrasi penjualan. Dalam
audit operasional, tinjauan yang dilakukan tidak terbatas pada masalah- masalah akuntansi, tetapi juga meliputi evaluasi terhadap struktur
organisasi, pemanfaatan komputer, dan bidang-bidang lain sesuai dengan keahlian auditor.
c. Audit Ketaatan Bertujuan mempertimbangkan apakah klien telah mengikuti
prosedur atau aturan yang telah ditetapkan pihak yang memiliki otoritas lebih tinggi. Hasil audit ketaatan biasanya tidak dilaporkan kepada pihak
luar, tetapi kepada pihak tertentu dalam organisasi. Pimpinan organisasi adalah pihak yang paling berkepentingan atas dipatuhinya prosedur dan
aturan yang telah ditetapkan.
3. Jenis-jenis Auditor
Dalam pelaksanaan suatu audit, pada umumnya jenis auditor diklasifikasikan menjadi tiga jenis William C. Boyton, Raymond N. Johnson,
Walter G. Kell, 2001:8, yaitu: a. Auditor Independen Independent Auditor
Terdapat dalam Kantor Akuntan Publik KAP, yang umumnya mengambil peran sebagai seorang auditor eksternal atas perusahaannya
yang menyediakan laporan guna kebutuhan tertentu dari klien untuk menjalankan bisnisnya. Klien auditor independen dapat berasal dari
perusahaan bisnis yang berorientasi laba, organisasi nirlaba, kantor pemerintah atau perorangan.
b. Auditor Internal Internal Auditor Merupakan pegawai dari organisasi yang diaudit. Tugas auditor
internal beragam, sesuai dengan kebutuhan dan permintaan manajemen perusahaan. Auditor internal wajib memberikan informasi yang berguna
bagi manajemen untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan operasional perusahaan.
c. Audit Pemerintah Government Auditor Di Indonesia terdapat beberapa lembaga ataupun badan yang
bertanggung jawab secara fungsional atas pengawasan terhadap kekayaan atau keuangan Negara, di antaranya Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan BPKP dan Inspektorat Jendral Irjen pada departemen pemerintah. Sebagian tugas BPKP tidak jauh berbeda dengan KAP,
sebagian besar informasi keuangan yang dibuat oleh berbagai badan pemerintah telah diaudit oleh BPKP, di samping atas audit laporan
keuangan, pada masa sekarang sering kali dilakukan evaluasi atas efisiensi dan efektifitas operasi berbagai program pemerintah dan BUMN.
D. Ruang Lingkup Audit Internal
1. Definisi Audit Internal
American Accounting Association mendefinisikan internal audit sebagai:
“Proses sistematis untuk secara objektif memperoleh dan mengevaluasi asersi mengenai tindakan dan kejadian-kejadian ekonomis untuk
meyakinkan derajat kesesuaian antara asersi ini dengan kriteria yang ditetapkan dan mengkomunikasikannya ke pengguna yang berkepentingan”.
Definisi tersebut ditujukan untuk menggambarkan proses yang dilakukan di semua jenis audit, tetapi istilah “tindakan dan kejadian ekonomi”
mengarah pada aspek keuangan atau akuntansi. Definisi audit internal berikut ini di ciptakan untuk menggambarkan
lingkup audit internal modern yang luas dan tak terbatas eksternal. “Audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang
dilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi untuk menentukan apakah 1 informasi keuangan dan
operasi telah akurat dan dapat diandalkan; 2 risiko yang dihadapi perusahaan telah diidentifikasi dan di minimalisasi; 3 peraturan eksternal serta kebijakan
dan prosedur internal yang bisa diterima telah diakui; 4 kriteria operasi yang memuaskan telah dipenuhi; 5 sumber daya telah digunakan secara efisien
dan ekonomis; dan 6 tujuan organisasi telah dicapai secara efektif semua dilakukan dengan tujuan untuk dikonsultasikan dengan manajemen dan
membantu anggota organisasi dalam menjalankan tanggung jawab secara efektif”.
Pengertian audit internal di atas tidak hanya mencakup peranan dan tujuan auditor internal, tetapi juga mengakomodasikan kesempatan dan
tanggung jawab. Dalam perkembangan terakhir seseorang yang melakukan peran sebagaimana seorang auditor internal, tidak selalu menggunakan
sebutan internal auditor saja , namun telah meluas menjadi kontrol atau sistem analisis.
2. Fungsi Audit Internal
Pada awalnya, audit internal berfungsi sebagai “adik” dari profesi auditor eksternal, dengan pusat perhatian pada penilaian atas keakuratan
angka-angka keuangan. Namun saat ini audit internal telah memisahkan diri menjadi disiplin ilmu yang berbeda dengan pusat perhatian yang lebih luas.
Karena pergeseran pandangan mengenai fungsi audit internal, maka audit internal yang memiliki aspek kerja yang lebih luas ini sering disebut sebagai
audit internal modern. Audit internal modern menyediakan jasa-jasa yang mencakup pemeriksaan dan penilaian atas kontrol, kinerja, risiko, dan tata
kelola governance perusahaan publik maupun privat. Aspek keuangan hanyalah salah satu aspek saja dalam lingkup pekerjaan audit internal.
3. Teknik-teknik Audit Internal
a. Penentuan risiko Penentuan risiko risk assessment adalah identifikasi dan analisis
risiko-risiko yang relevan untuk mencapai tujuan entitas, yang membentuk suatu dasar untuk menentukan cara pengelolaan risiko. Audit
internal harus memasukkan hasil penentuan risiko ke dalam program audit untuk mengurangi risiko. Risiko audit terdiri atas:
1 Risiko bawaan inherent risk, yaitu kerentanan suatu asersi atas terjadinya salah saji yang material, dengan mengasumsikan bahwa
tidak ada kebijakan atau prosedur struktural kontrol internal terkait yang ditetapkan. Bank menghadapi seperangkat risiko bawaan karena
bergerak dalam pengelolaan uang dan kredit. 2 Risiko kontrol control risk, yaitu risiko bahwa salah saji material
yang bisa terjadi pada suatu asersi tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh struktur, kebijakan, atau prosedur kontrol
internal suatu entitas. 3 Risiko deteksi detection risk, yaitu risiko bahwa auditor tidak dapat
mendeteksi salah saji material yang terdapat pada suatu asersi.
b. Survei pendahuluan Survei pendahuluan yang baik akan menghasilkan program audit yang
tepat, dan program audit yang tepat akan menunjang keberhasilan audit. Dalam survei pendahuluan, auditor internal mengidentifikasi tujuan
operasi, risiko, kondisi-kondisi operasi, dan kontrol yang diterapkan. Auditor internal sebaiknya melakukan survei dalam tujuh langkah dasar,
antara lain: 1 Melakukan studi awal, yang mencakup penelaahan atas kertas kerja
tahun sebelumnya, temuan-temuan audit, bagan organisasi, dan dokumen lain yang membantu untuk lebih memahami subjek audit.
2 Pendokumentasian, yang mengarah pada pertemuan awal antara auditor dengan manajer klien.
3 Bertemu klien, menjelaskan tujuan dan pendekatan audit yang akan dilakukan kepada manajer klien.
4 Mengumpulkan bahan bukti. 5 Mengamati, pengamatan dilakukan terus selama survei pendahuluan.
6 Membuat bagan alir, memberikan gambaran sistem dan merupakan sarana menganalisis operasi yang kompleks-analisis yang tidak selalu
bisa dicapai dengan narasi yang rinci. 7 Melaporkan atas tahap-tahap yang telah dilakukan dalam survei
pendahuluan. c. Program audit
Langkah-langkah audit dirancang untuk mengumpulkan bahan bukti audit, dan untuk memungkinkan auditor internal mengemukakan pendapat
mengenai efisiensi, ekonomis, dan efektifitas aktivitas yang akan diperiksa. Program audit merupakan alat yang menghubungkan survei
pendahuluan dengan pekerjaan lapangan. d. Pekerjaan lapangan
Pekerjaan lapangan field work merupakan proses untuk mendapatkan keyakinan dengan mengumpulkan bukti secara objektif mengenai operasi
entitas, mengevaluasinya, dan melihat apakah operasi tersebut memenuhi standar yang dapat diterima dan mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan, serta menyediakan informasi untuk pengambilan keputusan oleh manajemen. Tujuan pekerjaan lapangan untuk membantu pemberian
keyakinan dengan melaksanakan prosedur-prosedur audit yang ada di program audit, sesuai tujuan audit yang ingin dicapai. Tujuan audit
dirancang untuk menentukan apakah tujuan audit telah tercapai. Tujuan audit dicapai dengan menerapkan prosedur-prosedur audit untuk
menentukan apakah prosedur-prosedur operasi berfungsi sebagaimana mestinya dan mencapai tujuan-tujuan operasi. Tujuan operasi ditetapkan
oleh manajemen. Tujuan operasi adalah hasil-hasil yang ingin dicapai oleh manajer operasi. Tujuan audit ditetapkan oleh auditor.
e. Temuan audit Selama pelaksanaan pekerjaan, auditor internal mengidentifikasi
kondisi-kondisi yang membutuhkan tindakan perbaikan. Penyimpangan- penyimpangan dari norma-norma atau kriteria yang dapat diterima disebut
temuan audit audit findings. Beberapa kelemahan temuan bersifat kecil
dan tidak membutuhkan perhatian manajemen. Semua temuan audit yang dapat dilaporkan haruslah:
1 Cukup signifikan agar layak dilaporkan ke manajemen. 2 Didokumentaiskan dengan fakta, bukan opini, dan dengan bukti yang
memadai, kompeten, dan relevan. 3 Secara objektif dibuat tanpa bias atau prasangka.
4 Relevan dengan masalah-masalah yang ada. 5 Cukup meyakinkan untuk memaksa dilakukannya tindakan untuk
memperbaiki kondisi-kondisi yang mengandung kelemahan. Dalam temuan audit ini auditor memberikan rekomendasi kepada
manajemen. Rekomendasi menggambarkan tindakan yang mungkin dipertimbangkan manajemen untuk memperbaiki kondisi-kondisi yang
salah dan untuk memperkuat kelemahan dalam sistem kontrol. Mengidentifikasikan kondisi yang tidak memuaskan adalah tanggung
jawab audit. Sedangkan memperbaikinya adalah tanggung jawab manajemen. Lebih disukai auditor internal mengusulkan metode tindakan
perbaikan untuk pertimbangan manajemen. Saran yang paling memuaskan untuk menyelesaikan temuan audit
adalah membahasnya dengan manajemen operasional sebelum laporan audit tertulis diterbitkan. Pada saat itu harus dicapai kesepakatan mengenai
fakta-fakta dan beberapa tindakan perbaikan untuk memperbaiki kekurangan.
f. Kertas kerja Kertas kerja working paper berisi catatan informasi yang
diperoleh dan analisis yang dilakukan selama proses audit. Kertas kerja disiapkan sejak auditor memulai pekerjaannya hingga auditor menelaah
tindakan perbaikan dan mangakhiri proyek audit. Kertas kerja berisi dokumentasi atas langkah-langkah berikut ini dalam proses audit:
1 Rencana audit, termasuk program audit. 2 Pemeriksaan dan evaluasi kecukupan dan efektifitas sistem kontrol
internal. 3 Prosedur-prosedur audit yang dilakukan, informasi yang diperoleh, dan
kesimpulan yang dicapai. 4 Penelaahan kertas kerja oleh penyelia.
5 Laporan audit. 6 Tindak lanjut dari tindakan perbaikan.
Auditor internal menyiapkan kertas kerja untuk beberapa tujuan yang berbeda, antara lain:
1 Untuk mendukung laporan audit 2 Untuk menyimpan informasi yang diperoleh melalui tanya jawab,
penelaahan instruksi dan arahan, analisis sistem dan proses, pengamatan kondisi, dan pemeriksaan transaksi
3 Untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan temuan-temuan audit, mengumpulkan bukti yang diperlukan untuk menentukan terjadi
dan luasnya kondisi-kondisi yang mengandung kelemahan 4 Untuk mendukung pembahasan dengan karyawan operasi
5 Untuk menjadi dasar penyelia dalam menelaah kemajuan dan penyelesaian audit
6 Untuk memberi dukungan dan bukti untuk masalah-masalah yang melibatkan kecurangan, tuntutan hukum, dan klaim asuransi
7 Untuk menjadi sarana bagi auditor eksternal dalam mengevaluasi pekerjaan audit internal dan kemudian menggunakannya dalam
penilaian audit eksternal atas sistem kontrol internal organisasi 8 Menjadi latar belakang dan data referensi untuk penelaahan
selanjutnya 9 Untuk membantu memfasilitasi penelaahan. Baik auditor eksternal
atau konsultan perlu mengevaluasi aktivitas audit internal 10 Menjadi bagian dokumentasi
E. Sistem Pengendalian Intern Perusahaan
1. Pengertian Sistem Pengendalian Intern
Suatu sistem merupakan subjek dari kesalahan-kesalahan, kecurangan- kecurangan, dan penyelewengan-penyelewengan umum lainnya, maka untuk
mencegah atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan dan ingin membentuk suatu sistem tersebut dilengkapi dengan suatu pengendalian yang berguna
untuk mencegah atau menjaga hal-hal yang negatif tersebut. Sedangkan pengendalian intern adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan dalam rangka meningkatkan kemungkinan tercapainya berbagai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pengendalian
dirancang dalam rangka untuk menjamin agar organisasi dapat menjalankan
tugasnya dengan baik sesuai dengan standar atau rencana yang ditetapkan Institute of Internal Auditors, 1993. Contoh pelaksanaan kegiatan
pengendalian antara lain meliputi penggunaan anggaran biaya atau anggaran penjualan, penggunaan passwords computer, atau bahkan penggunaan kunci
gembok gudang atau perkantoran. Untuk itu sebelum mengemukakan dan membahas tentang sistem
pengendalian intern, di sini akan dijelaskan beberapa definisi umum mengenai sistem pengendalian intern yang di kemukakan oleh beberapa ahli:
Menurut Widjajanto 2001:18, “Pengendalian intern adalah suatu sistem pengendalian yang meliputi struktur organisasi beserta semua metode dan
ukuran yang diterapkan dalam perusahaan dengan tujuan untuk: 1 mengamankan aktiva perusahaan, 2 mengecek kecermatan dan ketelitian
data akuntansi, 3 meningkatkan efisiensi, dan 4 mendorong agar kebijakan manajemen di patuhi oleh segenap jajaran organisasi”.
Mulyadi 2002:180 menyatakan bahwa: “Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personil lain
yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan yaitu keandalan pelaporan keuangan, kepatuhan terhadap
hukum, dan peraturan yang berlaku, efektifitas dan efisiensi operasi”.
Menurut Guy, Alderman, Winters 2002:2206 pada SAS No 55 mendefinisikan: “Pengendalian intern sebagai suatu proses yang dihasilkan
oleh dewan direksi entitas, manajemen dan personil lainnya, yang dirancang untuk memberikan kepastian yang layak dalam pencapaian tujuan kategori-
kategori berikut: 1 keandalan reliabilitas laporan keuangan, 2 ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, dan 3 efektifitas dan efisiensi
operasi”.
Secara definisi, pengertian sistem pengendalian intern adalah suatu kumpulan pengendalian yang dirancang untuk memberikan jaminan yang
masuk akal bahwa perusahaan mampu memenuhi beberapa sasaran sebagai berikut: 1 meningkatkan reliabilitas dan integritas informasi, 2 memenuhi
kebijakan atau rencana yang ditetapkan serta hukum yang berlaku, 3 mengamankan kekayaan perusahaan, 4 meningkatkan efisiensi penggunaan
sumber daya, dan 5 memenuhi tujuan yang ditetapkan Institute of Internal Auditors, 1993.
Dengan demikian, apabila suatu perusahaan tidak dapat memenuhi kelima tujuan di atas, maka perusahaan tersebut akan menerima risiko, sanksi,
atau akibat yang sangat merugikan. Oleh karena itu, suatu sistem pengendalian intern yang berhasil disusun atau dirancang dengan baik merupakan sistem
pertahanan efektif terhadap kemungkinan terjadinya berbagai risiko yang diperkirakan akan terjadi.
Agar suatu sistem pengendalian intern dapat berjalan dengan efektif , suatu sistem pengendalian intern yang akan diterapkan oleh suatu organisasi
usaha sekurang-kurangnya harus memperhatikan tiga elemen sebagai berikut: 1 lingkungan pengendalian, 2 sistem akuntansi, dan 3 prosedur
pengendalian individual Hermanson dan Hermanson, 1994:29. Lingkungan pengendalian meliputi struktur organisasi perusahaan, filosofi dan gaya
operasi manajemen management’s operating style, praktik kerja yang biasa digunakan
karyawan, dan
metode penetapan
otoritas serta
pertanggungjawaban karyawan. Sementara itu, sistem akuntansi yang dirancang oleh perusahaan dimaksudkan untuk melaksanakan identifikasi,
pencatatan, dan pelaporan secara akurat setiap transaksi yang terjadi didalam perusahaan. Sedangkan prosedur pengendalian meliputi penetapan peraturan
dan kebijakan yang disusun secara rinci, misalnya: otorisasi transaksi, pemisahan tugas, pendokumentasian, pengawasan kekayaan perusahaan secara
fisik, dan penilaian kinerja secara independen.
2. Unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern
Menurut COSO dalam Guy, Alderman, Winters 2002:226, unsur pengendalian intern terdiri dari lima, yaitu:
a. Lingkungan pengendalian control environment Lingkungan pengendalian menentukan kualitas entitas dengan
mempengaruhi kesadaran akan pengendalian dari orang-orang di sekitarnya. Lingkungan pengendalian merefleksikan keseluruhan sikap,
kesadaran, dan tindakan dewan direksi, manajemen, karyawan, serta pihak-pihak lainnya mengenai pentingnya pengendalian tersebut. Hal itu
merupakan pondasi kedisiplinan dan struktur dari semua komponen pengendalian intern lainnya. Lingkungan pengendalian terdiri dari tujuh
faktor: 1 integritas dan nilai-nilai etis, 2 komitmen terhadap kompetensi, 3 partsipasi dewan direksi dan komite audit, 4 gaya
operasi dan filosofi manajemen, 5 struktur organisasi, 6 pendelegasian wewenang dan tanggung jawab, dan 7 kebijakan dan praktik sumber
daya manusia dan aplikasinya. b. Penilaian risiko risk assessment
Penilaian risiko adalah identifikasi, dan manajemen risiko entitas yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan yang disajikan secara
wajar sesuai prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Proses penilaian risiko harus memperhatikan keadaan serta kejadaian internal dan
eksternal yang dapat sangat mempengaruhi kemampuannya dalam
mencatat, memproses, dan melaporkan data keuangan yang konsisten dengan asersi manajemen dalam laporan keuangan.
c. Aktivitas pengendalian control activities Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang
dikembangkan oleh manajemen untuik mengantisipasi risiko yang dapat menghalangi entitas mencapai tujuannya. Aktivitas pengendalian memiliki
berbagai tujuan dan diaplikasikan pada berbagai tingkat organisasional atau fungsional dalam sebuah entitas.
d. Pemrosesan informasi dan komunikasi Komponen ini terdiri dari sistem informasi yang digunakan untuk
menghasilkan informasi keuangan dan bagaimana mengkomunikasikan informasi tersebut. Sistem informasi pelaporan keuangan yang mancakup
sistem akuntansi terdiri dari metode dan catatan yang ditetapkan untuk mengidentifikasi, menyatukan, menganalisis, mengklasifikasi, mencatat,
dan melaporkan transaksi entitas kejadian dan kondisi serta untuk mempertahankan akuntabilitas atas aktiva dan kewajiban yang berkaitan.
Komunikasi melibatkan penyediaan informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi pelaporan keuangan kepada pihak-pihak terkait dari suatu entitas
secara tepat waktu. Komunikasi juga mencakup tujuan yang lebih luas dalam hal memberikan pemahaman yang jelas tentang peranan individu
dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengendalian intern atas pelaporan keuangan. Komunikasi mencakup perluasan pemahaman
personil tentang bagaimana aktivitas mereka dalam sistem informasi
pelaporan keuangan berhubungan dengan pekerjaan lainnya, dan ahli pengecualian pelaporan pada tingkat yang lebih tinggi dalam entitas.
e. Pamantauan monitoring Pemantauan adalah proses penilaian kualitas kinerja pengendalian
internal dari waktu ke waktu. Pemantauan dapat dilakukan melalui aktivitas manajemen terus-menerus atau evaluasi terpisah. Prosedur
pemantauan yang terus-menerus dilakukan terhadap aktivitas rutin yang normal terjadi, dalam sebuah entitas serta mencakup aktivitas manajemen
dan pengawasan yang biasa. Evaluasi terpisah adalah penilaian periodik atas semua atau sebagai pengendalian internal. Evaluasi tersebut dapat
dilakukan oleh personil internal atau oleh pihak luar.
3. Tujuan Sistem Pengendalian Intern
Menurut Abdul Halim, 2008 tujuan sistem pengendalian intern adalah sebagai berikut:
a. Menjaga kekayaan dan catatan perusahaan Harta kekayaan perusahaan merupakan sarana untuk keberhasilan
perusahaan, untuk itu perlu dilindungi dengan pengawasan yang memadai agar tidak sesat atau hilang dari usaha penyalahgunaan dan usaha
pencarian. Hal ini dapat juga terjadi pada harga tidak berwujud seperti tagihan, dokumen-dokumen penting seperti surat kontrak, dan pembukuan
seperti buku besar dan jurnal.
b. Mengecek ketelitian dan keandalan data akuntansi Manajemen hendaknya memiliki informasi-informasi yang tepat
dan dapat dipertanggungjawabkan dalam melaksanakan kegiatannya dalam pengambilan keputusan-keputusan penting.
c. Mendorong efisiensi dan operasional usaha Pengendalian di dalam suatu perusahaan merupakan untuk
mencegah pekerjaan yang tidak perlu. Pemborosan dalam setiap segi usaha, dan menguji setiap penggunaan sumber daya yang tidak efisien,
d. Mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen Setiap pengendalian intern diharapkan dapat memberikan jaminan
yang layak agar peraturan dan prosedur ditaati untuk mencapai tujuan perusahaan.
F. Peneltian Terdahulu
1. Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian Agus 2007, dalam penelitiannya dilakukan pada tahun 2007 dengan
menggabungkan beberapa variabel seperti sistem pengendalian intern dan pengelolaan persediaan. Tujuan dari penelitian inipun menurut Agus adalah
mencari variabel mana yang paling dominan berpengaruh sistem pengendalian intern dan pengelolaan persediaan terhadap audit operasional pada PT
Pertamina persero. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Siti 2007, hanya menjelaskan audit
internalnya, pada penelitian yang sekarang lebih kepada pengukuran
Penilaian Kinerja Audit Internal
Penerapan Audit Internal Standar Audit
kinerjanya. Penelitiannyapun dilakukan pada tahun 2007. Tujuan penelitian ini adalah terdapat pengaruh auditor internal terhadap efektivitas manajemen
risiko perusahaan.
G. Kerangka Pemikiran