4. Priode 1970-Sekarang
Pada periode ini teknologi canggih media visual mulai merambah ke Indonesia seperti Vidio Tape dan pada tahun 1980 menjadi persaingan dengan
dunia film nasional maupun bioskop nasional. Persaingan ini merambah dengan adanya pembajakan film dalam bentuk kaset, sehingga masyarakat
juga memiliki video dan hal ini menjadi penurunan terhadap pembioskopan. Dan mengatasi persaingan ini, para pengusaha film bergabung dalam
persatuan perusahaan film Indonesia PPFI. Persaingan ini semakin ketat dengan hadirnya teknologi HDTV High devinition television. Terus
berkembang dengan mulai hadirnya Televisi swasta seperti ; RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan TV yang berkembang sampai saat ini.
40
C. Film Sebagai Media Transmisi Nilai
Kemajuan sains dan teknologi pada saat ini diakui begitu cepat, salah satu kemajuan yang pesat adalah sebagai implikasi dari modernisasi yang ditompang
oleh perangkat utamanya ilmu pengetahuan dan teknologi. Film merupakan hasil dari teknologi yang berkembang saat ini.
Film merupakan
media komunikasi
massa yang dihasilkan sebagai karya teknik manusia. Film dipakai sebagai alat komunikasi massa, populernya sebagai
alat untuk bercerita. Apa yang diceritakan itu suatu khayalan atau kisah, pada intinya film sebagai media bercerita, yaitu suatu media baru sebagai hasil karya
elektro-teknik dan karya optik.
40
Ibid, h. 8.13 - 8.21.
Film sebagai media transmisi nilai. Menurut Kamus Ilmiah Populer transmisi artinya ; Pemindahan atau Pengiriman pesan.
41
Jadi film sebagai media pengiriman pesan lewat cerita bergambar. Film bisa dimanfaatkan secara positif
guna memenuhi kebutuhan ril manusia. Salah satu pemanfaatnya adalah film sebagai media informasi yang di dalamnya terdapat pesan nilai-nilai yang dapat
diambil oleh masyarakat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Film secara teoritis merupakan alat komunikasi yang paling dinamis, apa
yang terpandang oleh mata dan terdengar oleh telinga, masih lebih cepat dan mudah masuk akal dari pada apa yang hanya dibaca. Film sebagai media massa,
dapat dimainkan peran dirinya sebagai saluran menarik untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu dari dan untuk manusia, termasuk pesan-pesan keagamaan
atau pesan moral.
42
Menurut Jakob Sumardjo 2003, film sebagai sebuah nilai dan dapat memenuhi kebutuhan bersifat spiritual, yaitu keindahan dan
trasendental. Selanjutnya film juga sebagai media komunikasi yang berfungsi sebagai media tablig, yaitu media yang untuk mengajak kebenaran. Tentunya
sebagai media tablig, film mempunyai kelebihan dengan media lainnya dan menjadi media yang efektif, dimana pesan-pesannya dapat disampaikan kepada
penonton dengan halus dan menyentuh relung hati tanpa digurui.
43
Film disebut media yang ampuh sekali jika di tangan orang yang mempergunakan secara
efektif untuk suatu maksud, terutama sekali terhadap khalayak yang memang lebih banyak berbicara dengan hati dari pada akal.
44
41
Pius A Partanto dan M dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arloka, 1994, h. 756.
42
Kusnawan,, Komunikasi dan Penyiaran Islam, h. 95.
43
Ibid, h. 94.
44
Ibid, h. 47.
Dengan demikian film bisa menjadikan alternatif sebagai media yang dapat menyampaikan nilai-nilai sesuai dengan kehidupan masyarakat, selain
sebagai media hiburan, film juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah-ceramah penerangan dan pendidikan kini banyak digunakan film sebagai
alat pembatu untuk memberikan penjelasan.
45
Dengan film, kita dapat memperoleh informasi dan gambaran tentang realitas tertentu, realitas yang sudah
terseleksi. Dan pada giliranya akan membentuk sikap dan prilaku khalayak yang menyaksikan.
Menurut Burhan Bungin dalam bukunya Sosiologi Komunikasi, menyatakan bahwa fungsi utama komunikasi massa adalah salah satunya sebagai
Sosial Learning adalah media massa bertugas memberikan pendidikan sosial atau pencerahan-pencerahan kepada seluruh masyarakat, fungsi komunikasi ini
dilakukan untuk menutupi kelemahan fungsi paedagogi yang dilakukan secara tatap muka.
46
Hal ini selaras juga dengan teori belajar sosial sosial learning yang dikeluarkan oleh Badura menurutnya “kita belajar bukan saja dari pengalaman
langsung, tetapi dari peniruan dan peneladanaan modeling”. Dalam teori ini ada empat tahap proses belajar sosial : proses perhatian,
proses pengingatan, proses reproduksi motories, dan proses motivational.
47
Misalnya ketika menonton film, orang akan melihat tindakkan tokoh atau adegan pemain, melalui pengamatan penonton film diberi rangsangan. Dan tahap
berikutnya hasil pengamatan disimpan dalam pikiran penonton dan akan kembali lagi ketika seseorang melakukan tindakan sama seperti apa yang pernah mereka
45
Effendy, Ilmu Teori, h. 211.
46
Burhan Bungin, Sosisologi Komunikasi – Teori Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi Masyarakat Jakarta : Prenada Media Group, 2006, cet 1, h. 80.
47
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi Bandung : Remaja Rosda Karya , 2005, h. 240.
amati. Setelah itu sampailah pada, proses reproduksi motoris, yakni menghadirkan kembali prilaku dan tindakan dalam kehidupan sesuai dengan apa yang pernah
diamatinya, namun proses motivasi juga mempengaruhi kondisi personal manusia.
48
Dengan mengunakan metode belajar sosial ini, penyampaian pesan moral atau dakwah yang dilakukan oleh film akan lebih efektif. Karena film
mempunyai kelebihan bermain pada sisi emosional, ia mempunyai pengaruh yang lebih tajam untuk memainkan emosi pemirsa. Berbeda dengan buku yang
memerlukan daya pikir aktif dan penonton bersifat pasif. Hal ini tentuya dikarenakan sajian film adalah sajian yang siap dinikmati. Dan efek yang terbesar
film menurut Soelarko 1978 adalah peniruan. Namun film sebagai alat komunikasi massa dewasa ini telah dipakai untuk
berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film sebagai media ansich sebagai media tok dan menerapkan “seni untuk seni” film adalah sebagai media untuk
menyatakan suatu pikiran, perasaan, isi hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tidak memperdulikan norma, nilai-nilai selain dari pada ukuran-ukuran
mereka sendiri sebagai seniman. Kebanyakan film yang dibuat tidak lain pada hakikatnya bersumber materialisme.
49
Dipergolakan film sebagai media dagangan sebenarnya pemerintah telah menentukan aturan-aturan dalam film hal ini sesuai
dengan ketetapan MPRS No. IIMPRS 1960, Lampiran angkat 1 : Bidang Mental Keagamaan Kerohanian Penelitian sub.16 menyatakan : film bukan semata-mata
barang dagangan, melainkan alat pendidikan dan penerangan.
50
48
Asep S. Muhtadi, dkk, Dakwah Kontemporer, h. 97.
49
Umar Islmail, Umar Ismail Mengupas Film, Dikumpulkan J.E. Siahaan Jakarta : Sinar Harapan, 1983 Cet Ke-1 h. 98-99.
50
N. Riantiarno, dkk, Teguh Karya dan Teater Populer, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993, h. 36, dikutip dari Perfilman Indonesia 1976, Terbitan Direktorat Jendral RTF Deppen R.I.
Jika kita bertekad untuk menjadikan film sebagai media dakwah atau media penyampai nilai-nilai atau juga media perjuangan, maka yang menjadi
perhatian utama harus mencari dan menyelidiki secara sadar rahasia selera penonton umumnya dan bagaimana cara memberikan kepuasan kepada khalayak,
maka kita tidak boleh pasif dan sinis saja, karena dengan demikian film itu tidak akan menjadi senjata ampuh di tangan kita. Bagi sisnes-sineas muslim Indonesia,
yang seharusnya diutamakan adalah patriot bangsa, menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah islamiyah.
D. Penerapan Discourse Analysis Terhadap Film