1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perceraian merupakan hal yang sebenarnya tidak diinginkan dalam kehidupan rumah tangga, karena kehidupan perkawinan harus diakhiri dengan
suami istri yang berpisah. Melewati krisis akibat perceraian tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena berdampak pada berbagai konsekuensi.
Secara hukum perceraian itu sendiri menuntut adanya keputusan tindak lanjut dari kedua belah pihak, yaitu menyangkut penentuan hak asuh anak dan
pembagian harta. Harta setelah perceraian yang didapat selama perkawinan merupakan harta bersama, seperti yang tertuang dalam pasal 35 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain mengenai pembagian harta setelah perceraian juga terdapat pembagian hak asuh anak. Hak asuh anak
terhadap anak di bawah 12 tahun seringkali diberikan kepada ibu seperti yang tertuang dalam Hukum Kompilasi Islam pasal 105 huruf a. Bagi anak di atas
12 tahun, anak diberikan kebebasan memilih dengan siapa anak tersebut akan tinggal, apakah dengan ibu atau ayahnya. Hal ini dikarenakan ayah atau ibu
mempunyai kewajiban yang sama dalam merawat dan mendidik anak, seperti yang tertuang dalam Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perceraian adalah putusnya hubungan sebagai suami istri atau talak KBBI Pusat Bahasa, 2008. Ketika suami istri bercerai, maka tugas dan
peran sebagai suami dan istri juga berakhir, demikian juga peran sebagai orangtua.
2
Oktaria 2011 berpendapat dalam blognya dengan melihat kasus- kasus yang terjadi di masyarakat bahwa orang tua yang akan bercerai sudah
menyiapkan mental untuk hidup berpisah satu sama lain dan pengambilan keputusan juga hanya terjadi pada orangtua tanpa melibatkan anak. Berbeda
dengan anak. Anak yang semula tidak mengetahui permasalahan orang tuanya tiba-tiba harus menghadapi situasi orang tua berpisah. Anak harus
beradaptasi dengan kondisi orang tua yang semula bertengkar dan kemudian bercerai. Situasi ini dapat menjadi stressor tersendiri bagi anak. Anak yang
berhasil beradaptasi tidak akan mengalami masalah dan tidak mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Tetapi jika tidak, kondisi psikologis anak
akan terganggu. Ketika orang tuanya bertengkar anak menjadi merasa takut, bingung, dan sedih. Selain itu, perceraian juga akan menimbulkan kecemasan,
karena anak akan merasa dirinya ditolak, tidak berharga, dan tidak dicintai. Tidak jarang anak merasa menjadi memiliki perasaan bahwa dirinya berbeda
dengan anak-anak lain yang orang tuanya tidak bercerai. Anak juga akan merasa cemas akan hidup yang tidak bermakna, karena hidupnya yang semula
nyaman dengan kedua orang tua kini tidak lagi. Cemas jika masa depannya yang tanpa sosok ayah atau ibu menjadi berantakan.
Dibandingkan dampak yang lain, masalah kecemasan pada anak mendapatkan perhatian lebih dan merupakan masalah psikologis yang
memiliki prevalensi cukup besar. Menurut Freud dalam Semiun, 2006, kecemasan adalah suatu keadaan perasaan yang tidak menyenangkan dan
disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya
3
yang akan datang. Freud mengemukakan tiga jenis kecemasan, yaitu kecemasan neurotik, kecemasan moral, dan kecemasan realistik.
Kecemasan pada anak bisa memburuk seiring waktu Kendall dalam Suroso, 2011 dan menimbulkan akibat-akibat yang serius pada orang
dewasa, seperti gangguan kecemasan berkelanjutan, depresi mayor, keinginan bunuh diri, dan perawatan inap karena gangguan psikiatrik
Achenbach, Alloy, Kelly, et.al dalam Suroso, 2011. Kecemasan itu sendiri mempunyai dampak bagi perkembangan anak atau bagi masa depan anak.
Menurut Wyman dalam Jasinski, 2003, anak-anak yang mengalami kecemasan akan memiliki lebih sedikit teman dekat dan tidak terlibat dalam
kegiatan seperti teman-temannya. Kecemasan juga dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berkonsentrasi di sekolah atau hadir di sekolah
keterlibatan dalam sekolah dan kompetensi kognitif anak berkurang. Selain itu juga dapat menyebabkan masalah perilaku Jasinski, 2003.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perceraian menimbulkan kecemasan bagi anak. Jasinski 2003, menyebutkan bahwa perceraian pada
dasarnya diasosiasikan dengan kecemasan anak-anak. Dalam penelitiannya Jasinski melakukan perbandingan tingkat kecemasan antara anak dari
keluarga bercerai dan anak dengan orangtua utuh. Tingkat kecemasan anak- anak korban perceraian lebih tinggi daripada anak dengan orangtua utuh.
Demikian juga dengan artikel yang ditulis oleh Rodriquez dan Arnold 1998, yang menyebutkan bahwa efek dari perceraian orangtua salah satunya adalah
kecemasan. Meskipun demikian, dalam penelitian tersebut tidak menjelaskan
4
lebih lanjut mengenai jenis-jenis kecemasan yang muncul dan hanya sekedar kecemasan sebagai dampak dari perceraian orangtua.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecemasan apa saja yang dialami oleh anak-anak dari keluarga bercerai. Maka dari itu, peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif analisis interpretatif. Analisis interpretatif ini bertujuan mengungkapkan secara detail bagaimana subjek mengalami
dunia personal dan sosialnya. Tujuan utama analisis interpretatif yaitu memperoleh makna dari berbagai pengalaman, peristiwa, dan status subjek.
Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman personal subjek serta menekankan pada persepsi atau pendapat subjek tentang objek atau peristiwa
Smith, 2009. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil CAT Children
Apperception Test. CAT merupakan tes proyektif bercerita story telling, dengan stimulus terdiri dari sepuluh gambar situasi ambigu. Anak diminta
untuk bercerita sesuai gambar yang disajikan. Melalui gambar yang disajikan dalam CAT ini, anak dapat memproyeksikan kebutuhan atau dorongan-
dorongan, dinamika hubungan interpersonal, konflik, dan kecemasan akan sesuatu Bellak, 1997. CAT dapat menggali data yang tidak dapat diperoleh
melalui metode
lain wawancara
dan observasi,
karena dapat
mengekspresikan ide-ide yang terlalu mengancam bagi anak untuk dibicarakan secara langsung Wenar Kerig, 2000.
5
B. Rumusan Masalah