Dampak Perceraian pada Anak

12

2. Dampak Perceraian pada Anak

a. Secara hukum Secara legal formal, perceraian menuntut adanya keputusan tindak lanjut dari kedua belah pihak, yaitu menyangkut penentuan hak asuh anak dan pembagian harta. Harta setelah perceraian yang didapat selama perkawinan merupakan harta bersama. Hal ini seperti yang tertuang dalam pasal 35 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Di samping itu, hak asuh anak terhadap anak di bawah 12 tahun seringkali diberikan kepada ibu seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf a. Meskipun demikian, bagi anak di atas 12 tahun, anak diberikan kebebasan memilih dengan siapa anak tersebut akan tinggal, apakah dengan ibu atau ayahnya. Hal ini dikarenakan ayah atau ibu mempunyai kewajiban yang sama dalam merawat dan mendidik anak, seperti yang tertuang dalam Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut KHI, dampak perceraian secara hukum menuntut seorang ayah untuk bertanggung jawab atas kebutuhan dan biaya pemeliharaan anak. Jika tidak demikian maka pengadilan akan menuntut ibu untuk ikut bertanggung jawab atas kebutuhan anak. Seorang ayah akan menafkai anaknya hingga dewasa dan dapat mengurus diri sekitar usia 21 tahun. Dalam jangka waktu tertentu, seorang istri juga dapat meminta nafkah kepada suaminya pasca perceraian. 13 b. Secara psikologis Rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih merusak anak dan hubungan keluarga ketimbang rumah tangga yang pecah karena kematian. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak daripada periode penyesuaian yang menyertai kematian orang tua. Hozman dan Froiland dalam Hurlock, 1989 telah menemukan bahwa kebanyakan anak melalui tahap dalam penyesuaian ini: penolakan terhadap perceraian, kemarahan yang ditujukan pada mereka yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar menawar dalam usaha mempersatukan orang tua, depresi dan akhirnya penerimaan perceraian Hurlock, 1989. Perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius sebab mereka cenderung membuat anak menjadi berbeda dalam mata kelompok sebaya. Jika anak ditanya di mana orang tuanya atau mengapa mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti orang tua yang tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa malu. Di samping itu, mereka mungkin merasa bersalah jika mereka menikmati waktu bersama orang tua yang tidak ada Hurlock, 1989. Perlakuan orang tua kepada anak pasca perceraian biasanya berubah. Hal ini dapat menyebabkan permasalahan pada anak-anak di usia akhir ataupun dewasa kelak. Jika anak-anak mengetahui arti 14 dari perilaku orang tua yang semula menerima anak dan akhirnya menolak dan tidak mencintainya, maka hal ini akan menyebabkan anak menjadi cemas, merasa tidak aman akan sesuatu hal yang mengancam dirinya, dan merasa ditolak Hurlock, 1989. Menurut Save 1990, setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda. Kelompok anak prasekolah pada saat kasus ini terjadi memiliki kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila menghadapi masalah dalam hidupnya. Umumnya anak usia kecil itu sering tidak betah, tidak menerima cara hidup baru. Anak tidak akrab dengan orangtuanya. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, selalu ingin mencari ketenangan. Periode penyesuaian anak yang terburuk yaitu satu tahun setelah perceraian. Anak memperlihatkan karakter yang negatif seperti kebingungan dan ketidakpatuhan. Meskipun demikian, setelah dua tahun perceraian efek tersebut berkurang terutama pada anak perempuan. Di sisi lain, setelah enam tahun, anak laki-laki kembali memperlihatkan ketidakpatuhan, relasi buruk dengan teman sebaya, dan rendahnya harga diri Hatherington dalam Bukatko, 2008. Penyesuaian anak terhadap perceraian sebagian bergantung pada usia atau kematangan anak, gender, temperamen, dan penyesuaian psikososial sebelum perceraian. Anak-anak yang lebih 15 muda cenderung lebih cemas mengenai perceraian, memiliki persepsi yang kurang realistis mengenai penyebabnya, dan menyalahkan diri mereka sendiri. Meskipun demikian, mereka dapat beradaptasi lebih cepat daripada anak yang lebih tua, yang memiliki pemahaman lebih baik mengenai apa yang sedang terjadi. Anak-anak usia sekolah bisa saja takut akan penelantaran dan penolakan. Anak laki-laki umumnya merasa lebih sulit beradaptasi dibandingkan anak perempuan Bray, Hetherington, Stanley-Hagan, et al. dalam Papalia, 2009. Kebanyakan anak dengan orang tua bercerai menyesuaikan diri dengan cukup baik, tetapi perceraian meningkatkan risiko masalah pada masa remaja atau dewasa, seperti perilaku antisosial. Kelly Emery dalam Papalia, 2009. Dengan demikian, banyak dampak negatif yang terjadi pada anak-anak akibat perceraian orang tua. Anak-anak merasa berbeda dengan teman sebaya, kesulitan penyesuaian hidup dengan orangtua tunggal, dan adanya kecemasan yang mengikutinya. Kecemasan ini adalah kecemasan anak akan penolakan, ketidaknyamanan, dan kehilangan kasih sayang.

D. CAT Children’s Apperception Test