11
A. PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH
1. Hakekat Pendididkan Agama Katolik di Sekolah
Pada hakikatnya Pendidikan Agama Katolik merupakan pendidikan yang bervisi spiritual. Bervisi spiritual artinya pendidikan agama Katolik memberikan
inspirasi hidup kepada para siswa. Selain itu, Pendidikan Agama Katolik juga diharapkan secara konsisten terus berusaha untuk memperkembangkan kedalaman
hidup siswa, memperkembangkan jati diri atau inti hidup mereka. Pendidikan agama Katolik juga berusaha membantu siswa memperkembangkan jiwa dan
interioritas hidup mereka. Jiwa merupakan tempat di mana Allah bersemayam dan karena itu membuat manusia merasa rindu kepadaNya dan peduli pada hidup
sesamanya Heryatno Wono Wulung, 2008: 14. Mangunwijaya sebagaimana dikutip oleh Heryatno Wono Wulung
menyatakan hakekat Pendidikan Agama Katolik sebagai komunikasi iman. Sebagai komunikasi iman iman Pendidikan Agama Katolik perlu menekankan
sifatnya yang praktis. Bersifat praktis berarti Pendidikan Agama Katolik lebih menekankan tindakan dari pada konsep atau teori. Oleh sebab itu Pendidikan
Agama Katolik lebih menekankan proses perkembangan, pendewasaan iman, serta peneguhan pengharapan dan perwujudan kasih terhadap sesama Heryatno
Wono Wulung, 2008: 15-16. Mary Boys yang dikutip oleh Heryatnodalam bukunyamendefinisikan
Pendidikan Agama Katolik sebagai “the making accesible of the traditions of the religious community and the making manifest of the interinsic connection between
traditions and transformation ”. Pendidikan Agama Katolik berperan membuka
jalan selebar-lebarnya agar setiap siswa memiliki akses untuk sampai kepada harta kekayaan iman komunitas tradisi. Tradisi yang sungguh dihayati menurut
12
kebutuhan hidup beriman siswa yang hidup pada suatu zaman tertentu secara intrinsik dapat memberdayakan mereka dalam memperkembangkan hidup dan
imannya Heryatno Wono Wulung, 2008: 19. Dari pernyataan Mary Boys tersebut dipahami bahwa Pendidikan Agama
Katolik memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan imannya melalui kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari baik dalam lingkungan sekolah,
masyarakat maupun Gereja sendiri. Pendidikan Agama Katolik di sekolah juga diberikan seiring dengan perkembangan zaman dan situasi siswa, sehingga siswa
dapat memperkembangkan imannya melalui ajaran-ajaran iman Katolik dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam hal ini Pendidikan Agama Katolik di sekolah tidak dapat disamakan dengan mata pelajaran yang lain, karena Pendidikan Agama Katolik tidak semata-
mata hanya menekankan segi intelektual peserta didik saja, melainkan lebih mengarahkan peserta didik akan kesadaran sebagai umat beriman. Pendidikan
Agama Katolik di sekolah berdasarkan pengalaman hidup peserta didik. Dalam jenjang SMP, Pendidikan Agama Katolik memberikan pengajaran dan bimbingan
bahwa mereka adalah anggota Gereja yang nantinya ikut berperan dalam mengembangkan Gereja. Dengan kesadaran yang demikian, maka siswa
diharapkan mulai terlibat aktif dalam hidup menggereja, sebagai perwujudan bahwa mereka adalah anggota Gereja.
2. Tujuan Pendidikan Agama Katolik di Sekolah
Pendidikan Agam Katolik PAK pada dasarnya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun hidup yang semakin beriman.
13
Membangun hidup beriman berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah
merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan dan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan,
kelestarian lingkungan hidup yang dirindukan oleh setiap orang dari berbagai agama dan kepercayaan Komkat KWI, 2007: 7.
Groome 2010: 49 mengatakan bahwa pada hakekatnya tujuan PAK ada tiga, yaitu, demi terwujudnya Kerajaan Allah, iman yang selalu berkembang, dan
kebebasan peserta didik.
a. Demi Terwujudnya Kerajaan Allah
Tujuan orang memeluk agama adalah untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Agama Katolik juga menawarkan kebahagian di dunia dan di surga.
Terciptanya kebahagian di dunia dan di surga ini dalam bahasa Katolik di istilahkan terciptanya Kerajaan Allah yaitu jika Allah sudah meraja maka di situ
akan tercipta suatu kebahagian. Thomas Groome 2010: 9 menyebutkan bahwa tujuan Pendidikan Agama Katolik adalah untuk menyelamatkan jiwa. Jika Allah
sudah meraja maka tentu kita akan selamat dan bahagia karena kita adalah Anak- anak-Nya.
Oleh sebab itu Pendidikan Agama Katolik harusnya mampu menggerakkan siswa untuk ikut mengambil bagian demi terciptanya Kerajaan Allah. Artinya
Pendidikan Agama Katolik harus mampu membuat siswa merasa bahagia dan berbagi kebahagian dengan orang-orang di sekitar lewat sikap dan tindakan
sehari-hari yang sesuai dengan ajaran Katolik. Dengan demikian Kerajaan Allah
14
di surga akan hadir secara nyata lewat sikap dan tindakan yang memberi kebahagian bagi orang di sekitar.
Terwujudnya Kerajaan Allah menjadi tujuan utama dalam PAK, karena Kepercayaan kita kepada Allah memimpin kita untuk menyadari dan mengingat
bahwa Kerajaan Allah adalah pemberian. Dalam arti yang definitif Kerajaan Allah telah datang dalam Yesus Kristus. Keselamatan telah dimenangkan bagi kita.
Karena Kerajaan Allah telah hadir dan kedatangannya yang terakhir dijanjikan dapat dipercaya, kita dapat menjalani masa kini dengan suka cita, damai dan
bahagia.
b. Iman yang Selalu Berkembang
Iman Katolik sebagai realitas yang hidup memiliki tiga dimensi yang esensial, yaitu keyakinan, hubungan yang penuh kepercayaan dan kehidupan
agape yang hidup. Maksud dari agape di sini adalah iman tumbuh karena ada rasa keyakinan, kepastian dan kepercayaan yang penuh. Tidak berhenti di situ, iman
yang tumbuh karena keyakinan dan kepercayaan akan Yesus Kristus harus dihayati secara penuh dan dilaksanakan secara penuh juga dalam hidup sehari-hari.
Iman adalah sebuah realitas yang hidup, maka tiga dimensi tersebut diekspresikan ke dalam tiga kegiatan, yaitu iman sebagai keyakinan faith as believing, iman
sebagai kegiatan mempercayakan faith as trusting dan iman sebagai kegiatan melakukan faith as doing. Ketiga dimensi dan kegiatan ini harus ada dalam
pendidikan agama Groome, 2010: 81.
15
1 Iman sebagai Keyakinan faith as believing
David Tracy menyatakan belief adalah simbol yang menjelaskan pernyataan kognitif, moral, atau historis tertentu yang terkandung dalam sikap iman
tertentu. Bahwa Kekatolikan membuat pernyataan-pernyataan kognitif, moral dan historis dan mengusulkan mereka kepada orang-orang sebagai
sebuah cara membuat makna dalam kehidupan mereka adalah sesuatu yang tidak diragukan. Oleh karena itu kegiatan iman Katolik mewajibkan
sebagian keyakinan yang teguh pada kebenaran-kebenaran yang diusulkan sebagai kepercayaan-kepercayaan iman Katolik yang esensial Groome,
2010: 82. Iman Kristiani ini memilik aspek kognitif, di mana iman bukanlah suatu
ilusi, bukan merupakan tindakan yang semena-mena, tidak masuk akal, fanatik dan eksklusif yang keterlaluan. Aspek kognitif di sini adalah kemampuan
intelektual siswa dalam berfikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Beriman dengan meyakini di sini tidak semata-mata hanya sebatas percaya saja, melainkan
dapat dipertanggungjawabkan lewat alasan-alasan yang rasional. Saat kita yakin akan sesuatu, kita memiliki alasan yang jelas mengapa kita yakin akan hal
tersebut. Melalui PAK siswa di sekolah dapat yakin pada iman yang mereka dalami dengan alasan tertentu, misalnya siswa yakin akan Yesus Kristus sebagai
penyelamat, karena kebangkitan Yesus yang mengalahkan maut.
2 Iman sebagai Kegiatan Mempercayakan faith as trusting
Dimensi iman Katolik yang bersifat afektif ini mengambil bentuk hubungan pribadi yang penuh kepercayaan dengan Allah yang menyelamatkan di dalam
Yesusu Kristus. Kegiatan mempercayakan iman diekspresikan dalam kesetiaan, kasih dan kelekatan. Karena Allah adalah setia, kita dapat menyerahkan diri kita
dengan penuh kepercayaan Groome, 2010: 87.
16
Kita mengekspresikan perasaan-perasaan ini dalam doa, baik secara pribadi maupun komunal. Dalam arti ini doa adalah dimensi dialogis dari hubungan kita
dengan Allah di dalam Kristus dan tanpa dialog tidak ada hubungan yang dapat bertahan. Karena simbol-simbol liturgis mengekspresikan dan merayakan
hubungan kita yang penuh kepercayaan dengan Allah, simbol-simbol liturgis juga menjadi sumber-sumber untuk meningkatkan kepercayaan, khususnya ketika
dirayakan dalam komunitas yang saling mendukung. Akan tetapi kegiatan mempercayakan harus juga diekspresikan dan diwujudkan dalam cara kita
menjalani eksistensi kita dari hari ke hari sebagai para peziarah dalam waktu.
3 Iman sebagai Kegiatan Melakukan faith as doing
Iman Kristen sebagai respons terhadap Kerajaan Allah dalam Kristus harus mencakup tindakan melakukan kehendak Allah. Respons Kristiani tidak hanya
demi kepentingannya sendiri, tetapi juga demi sesama dan dunia, agar kehendak Allah dapat dilakukan di dunia. Bahkan dalam ekspresi-ekspresi yang paling keras
dari tradisi kontemplatif, iman Kristen tidak pernah menarik diri dari dunia hanya untuk kesucian pribadinya sendiri, bahkan kehidupan doa kontemplatif dilakukan
demi kemajuan Kerajaan Allah di dalam dunia Groome, 2010: 91. Mewujudkan iman siswa melalui PAK di sekolah dapat dilakukan dengan
meneladani sikap dan tindakan Yesus dalam perbuatan sehari-hari di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat luas. Di sekolah misalnya, siswa dapat
mewujudkan iman yang dipercayainya dengan membantu teman yang sedang mangalami kesulitan. Membantu teman yang sedang mengalami musibah dan
berkekurangan mewujudkan ajaran cinta kasih yang diajarkan Yesus.
17
Singkatnya iman yang hidup adalah tujuan terdekat pendidikan agama. Iman Kristiani yang diwujudkan dalam kehidupan manusia memerlukan sekurang-
kurangnya tiga kegiatan, yaitu meyakini, mempercayakan dan melakukan. Melalui Kristus kita diundang Allah menuju ke arah iman yang dewasa. Para
pendidik agama harus berusaha menuntun peserta didik ke luar ke arah tujuan itu.
c. Kebebasan Peserta Didik
Sikap bebas berarti kita tidak dikekang oleh satu barang atau hal dalam hidup kita, tetapi lebih bebas untuk memilih manapun yang sesuai dengan tujuan
hidup kita. Dengan mempertimbangkan bahwa kebebasan manusia adalah bagian
integral dari tujuan kita, kita memiliki tugas menyediakan tradisi sedemikian rupa sehingga orang-orang dapat memakainya secara kritis
dalam kehidupan mereka sebagai sumber kebebasan. Dengan kata lain kegiatan pendidikan kita harus dirancang untuk membantu mengembangkan
tingkat kesadaran kritis orang Kristen menjadi lebih tinggi agar orang-orang kita dapat merespons tuntutan-tuntutan Kerajaan dalam konteks personal
milik mereka sendiri, sosial, dan politik Groome, 2010: 147.
Kebebasan manusia disini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan Pendidikan Agama Katolik yaitu demi terwujudnya Kerajaan Allah.
Kebebasan peserta didik tidak sebebas-bebasnya melakukan apa yang mereka kehendaki. Kebebasan disini memiliki arti tidak ada paksaaan dalam melakukan
tindakan, akan tetapi masih tetap ada batasan-batasannya. Misalnya, untuk pergi ke gereja setiap peserta didik memiliki kebebasan untuk pergi dan tidak. Tidak
ada paksaan bagi peserta didik untuk ke gereja, namun sebagai umat Katolik tentunya mereka sadar bahwa pergi ke gereja merupakan kegiatan yang
semestinya dilakukan tanpa ada unsur keterpaksaan. Kebebasan dalam peserta
18
didik tidak bersifat individual dan negatif, melainkan kebebasan yang menggunakan hati, jiwa dan suara hati.
Kegiatan Pendidikan Agama Katolik di sekolah membawa peserta didik untuk menemukan kebebasan yang mengarah pada Yesus Kristus. Pendidikan
Agama Katolik di sekolah membantu kesadaran siswa untuk menyadari hadirnya Kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan mereka dalam keluarga, sekolah dan
masyarakat. Pendidikan Agama Katolik di sekolah diharapkan mampu mendorong dan membantu siswa untuk menuju pada kebebasan, yaitu kepada Allah, kepada
diri sendiri dan sesama demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. Melalui materi-materi dalam PAK siswa diharapkan menjadi sadar bahwa mereka
merupakan ciptaan Allah yang serupa dengan Allah. Dengan demikian mereka sadar akan tugas mereka sebagai ciptaan. Siswa telah menyadari Kerajaan Allah
hadir dan dapat terwujud di tengah-tengah mereka yang kemudian mendewasakan iman mereka. Menyadari hal itu maka siswa dapat mewujudkan rasa syukur
kepada Allah melalui kehendak bebas, seperti terlibat dalam kegiatan menggereja. Kebebasan yang bersumber pada Yesus Kristus bukan berarti kebebasan
yang absolut. Kebebasan yang bersumber pada Yesus justru kebebasan yang terbatas. Artinya adalah kita juga harus melihat kebebasan manusia yang lain
sehingga tidak terjadi pelanggaran kebebasan dalam hidup berkomunitas. Semakin kita menyadari kebebasan yang bersumber pada Yesus Kristus maka kita
juga akan menyadari arti kebebasan. Yesus sendiri dengan kehendak bebasnya memilih melakukan kehendak Allah yaitu mewartakan Kerajaan Allah.
Kebebasan yang seperti itulah yang hendak kita capai yaitu kebebasan untuk melakukan Kehendak Allah demi terciptanya perdamaian dan kegembiran.
19
3. Konteks Pendidikan Agama Katolik
Di dalam Konteks Pendidikan Agama Katolik ada empat lembaga baik yang secara langsung dan tidak langsung terlibat di dalam penyelenggaraan pendidikan.
Keempat lembaga tersebut yaitu keluarga, Gereja, masyarakat dan sekolah. Masing-masing lembaga memiliki kekhasan dan sumbangan yang tidak
tergantikan. Keempatnya juga saling berhubungan dan saling mempengaruhi Heryatno Wono Wulung, 2003: 49.
Groome 2010: 160 menyebutkan dan mengutarakan tiga konteks Pendidikan Agama Katolik di sekolah, yaitu proses sosial menjadi manusia,
proses sosial menjadi Kristen dan pendekatan dialektis terhadap proses sosialisasi.
a. Proses Sosialisasi Menjadi Manusia
Sosialisasi adalah proses yang berlangsung lama sepanjang kehidupan karena kondisi kehidupan manusia selalu dijalani dalam solidaritas dengan
manusia yang lain. Ada tiga gerakan dalam proses sosialisasi, yaitu eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi.
Eksternalisasi adalah kebutuhan semua manusia untuk bergerak keluar guna menjalin relasi dan membentuk kelompok. Di dalam hidup bersama, manusia
membutuhkan orang lain. Manusia secara bersama saling membuat kesepakatan bersama agar hidup bersama dapat berjalan lancar. Dalam kebersamaan itu
manusia saling memberi makna dan saling memperkembangkan. Dalam kebersamaan itu manusia melahirkan dan mengembangkan kebudayaannya.
Obyektifikasi merupakan proses di mana manusia secara bersama-sama menjaga dan memelihara tatanan dan kesepakatan hidup yang sudah ada. Tatanan
20
dan pandangan hidup, sistem nilai dan pola tingkah laku yang diharapkan harus diwujudkan dan dipenuhi agar hidup bersama dapat berkembang.
Sedangkan internalisasi merupakan proses di mana kita menjadikan sistem nilai dan pandangan hidup sebagai milik kita sendiri, sebagai bagian hidup atau
sebagai landasan hidup kita sendiri yang membantu kita untuk sampai kepada identitas kita sendiri. Kita sungguh menjadi bagian masyarakat dan masyarakat
menjadi bagian hidup kita.
b. Proses Sosialisasi Menjadi Kristiani dengan Tokoh-tokoh
Sejajar dengan sosialisasi menuju pribadi yang matang, untuk menjadi orang beriman yang mantab dan dewasa kita perlu berinteraksi dan bersosialisasi
dengan hidup sesama jemaat lainnya. Melalui interaksi tersebut iman kita dibentuk dan diperkembangkan.
Di bawah ini akan disampaikan secara singkat beberapa tokoh yang menekankan pentingnya proses sosialisasi di dalam pendidikan jemaat beriman
menuju iman yang mendalam dan dewasa.
1 Bushnell
Dia perancang Filsafat asuhan Kristen. Hal ini dilatarbelakangi dengan adanya paham revivalisme yang berkembang saat itu. Paham revivalisme ini
menekankan pertobatan secara menyeluruh dalam waktu singkat karena manusia pada waktu itu sudah dianggap rusak total. Bushnell berpendapat bahwa
pertobatan menyeluruh terjadi secara pelan-pelan yang dimulai dari keluarga Groome, 2010: 171.
21
Orangtua memiliki tanggungjawab utama bagi perkembangan iman anak. Hal ini digambarkan oleh Bushnell melalui hubungan kesatuan organik seperti
pohon menyatu dengan rantingnya. Begitu juga dengan keluarga, orangtua menyatu dengan anaknya. Jika iman yang dihidupi orangtua kuat, maka iman itu
juga akan diajarkan dan ditiru oleh anaknya.
2 Coe
Jika Bushnell menekankan asuhan keluarga khususnya peran orangtua sebagai pendidik, Coe berpendapat bahwa penekanan tidak hanya pada orangtua
tetapi seluruh jaringan interaksi sosial merupakan pendidik utama. Interaksi sosial merupakan inti Pendidikan Agama Kristiani yang tidak hanya sebagai proses
tetapi juga sebagai isi. Coe mendorong para pendidik agama kristen untuk memperhatikan realitas sosial anak. Jika realitas sosial diterima dengan serius,
maka kwalitas kehidupan tidak hanya sebatas keluarga saja tetapi juga pembaharuan dan rekonstruksi seluruh etos sosial Groome, 2010: 173.
3 Nelson
Sebagaimana Bushnell meminta perhatian pada keluarga dan Coe pada etos sosial yang lebih luas, Nelson menekankan kekuatan yang membentuk dari
seluruh komunitas Kristen. Baginya segala sesuatu yang dilakukan Gereja, seluruh caranya berada di dunia dan caranya berada bersama-sama, bersifat
mendidik. Kita mendidik melalui keberadaan diri kita sebagai komunitas iman, dan kualitas kehidupan bersama kita adalah kurikulum utama kita
Groome, 2010: 175. Nelson berpendapat bahwa peranan dan pentingnya sosialisasi untuk
menjadi kristen. Pandangan ini diambil dari sisi antropologis yang menekankan transmisi kebudayaan untuk menganalisis transmisi iman. Kebudayaan
22
dikomunikasikan melalui proses sosialisasi yang membentuk sistem perseptif yang berhubungan dengan pandangan hidup, membentuk kesadaran yang sesuai
dengan sistem nilai dan menciptakan identifikasi ini sebagai hasil dari hubungan- hubungan pribadi dalam kelompok sosial. Seluruh kegiatan yang ada dalam
Gereja bersifat mendidik dan digunakan sebagai bahan pengajaran bagi peserta didik. Pendidikan Agama Kristiani sebagai komunitas iman mengajak peserta
didik untuk terlibat di dalam sosialisasi menggereja.
4 Westerhoff III
Westerhoff merekomendasikan pendekatan sosialisasienkulturasi dalam Pendidikan Agama Katolik. Ia memahami bahwa pendidikan sebagai sebuah
aspek sosialisasi yang mencangkup seluruh usaha yang dilakukan dengan sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan atau menimbulkan
pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, tingkah laku dan kepekaan. Ia juga mengusulkan bahwa pendidikan iman tidak terpaku pada pendidikan di sekolah
saja tetapi dalam komunitas juga bisa dilakukan pendidikan iman yaitu melalui katekese Groome, 2010: 176.
5 Marthaler
Marthaler adalah pendukung pendekatan sosialisasi dalam pendidikan agama yang terkenal dari Katolik Roma, khususnya ketika pendekatan itu
dipahami dalam tradisi Bushnell, Coe, Nelson dan Westerhoff. Marthaler menyatakan bahwa setiap perkembangan manusia adalah hasil dari sosialisasi
Groome, 2010: 178.
23
Setiap manusia merupakan makhluk hidup yang bersosialisasi dengan sesamanya. Begitu juga dalam proses menjadi pribadi orang beriman yang matang
setiap individu perlu adanya relasi dengan sesama umat lainnya untuk menambah pengetahuan dalam imannya. Sosialisasi diperlukan untuk pertumbuhan iman
sebagai pribadi. Komunitas iman diperlukan untuk menjadi anggota komunitas iman.
c. Pendekatan Dialektis terhadap Proses Sosialisasi
Pendidikan Agama Katolik tidak hanya merupakan proses sosialisasi, tetapi juga edukasi yang kritis yang memberdayakan dan yang bernilai emansipatif.
PAK perlu berusaha supaya dapat meningkatkan hubungan yang bersifat dialektis antara jemaat dengan relitas sosialnya dan antar warga dengan jemaatnya.
Dialektika mendorong Gereja untuk bersikap kritis pada dirinya sendiri dan pada tatanan hidup masyarakatnya. Dialektika juga memberdayakan Gereja untuk
senantiasa memperkembangkan dirinya. Singkatnya Pendidikan Agama Katolik membutuhkan konteks komunitas
iman Katolik dan komunitas yang demikian membutuhkan kegiatan pendidikan yang kritis dan lebih daripada agen sosialisasi yang lain. Pendidikan Agama
Katolik tidak hanya sebatas memberikan informasi kepada peserta didik, melainkan mendidik dan membentuk peserta didik yang memiliki sikap sosial.
PAK mengupayakan hubungan yang bersifat dialogal transformatif pada peserta didiknya, sehingga peserta didik dapat mengalami perubahanyang mampu
memperkembangkan dirinya menjadi individu yang semakin baik dan terus berkembang.
24
4. Model Pendidikan Agama Katolik
Dalam pembelajaran di sekolah, Pendidikan Agama Katolik menggunakan beberapa model untuk mengembangkan iman siswa. Model pembelajaran yang
digunakan diharapkan sesuai dengan tujuan Pendidikan Agama Katolik untuk pengembangan iman siswa. Model merupakan salah satu pendekatan tertentu yang
memiliki suatu kerangka tertentu untuk suatu proses kegiatan penyelenggaraan pendidikan dalam iman dengan langkah-langkah yang kurang lebih tetap.
Heryatno Wono Wulung 2003: 62 mengemukakan ada empat model pendidikan iman, yaitu model transmisitransfer, model yang berpusatkan pada hidup peserta,
model praksis dan model pendidikan iman yang bersifat estetis. Disini penulis hanya menguraikan dua model Pendidikan Agama Katolik, yaitu model yang
berpusat pada hidup peserta dan mdel prakis, karena kedua model tersebut sangat relevan dengan PAK pada zaman ini.
a. Model yang Berpusat Pada Hidup Peserta
Model pendidikan yang berpusatkan pada hidup peserta ini merupakan reaksi yang ekstrem terhadap model pendidikan yang bersifat dogmatis. Sifat
yang ditekankan bukan kognitif melainkan kualitatif dan subyektif. Model ini melihat secara negatif model yang pendidikan yang bersifat obyektif dan
cenderung kuantitatif. Dalam proses pendidikan yang ditekankan bukan menambah informasi, juga bukan menyampaikan materi sebanyak-banyaknya
tetapi secara kualitatif berusaha memanusiakan manusia dan memperkembangkan kepribadiannya. Model ini dilatar belakangi oleh pemikiran beberapa ahli yang
25
menyatakan bahwa agama adalah jalan hidup yeng perlu dilaksanakan daripada serangkaian pernyataan yang hanya dipelajari dan diketahui Heryatno Wono
Wulung, 2003: 65. Para pemikir dari model ini antara lain Ronald Goldman yang menekankan
pentingnya proses pendidikan iman bertolak dari kebutuhan para siswa yang menjadi arah dasarnya. Menurut pandangannya kebutuhan hidup siswa harus
menjadi pusat proses penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Oleh karena itu, diharapkan supaya suasana menjadi lebih kondusif dan prosesnya sungguh-
sungguh dapat memperkembangkan seluruh kehidupan peserta. Selain Ronald Goldman ada juga Michael Grimitt yang menekankan segi
afeksi. Michael Grimitt mengatakan bahwa inti agama dapat dijumpai di dalam hati dan hidup seseorang bukan pada pendalaman dogma dan sahadat iman yang
sudah baku. Michael Grimitt menekankan pentingnya menyadari pengalaman yang bersifat substansial yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi peserta didik
supaya dapat sampai pada inti agama. Pengalaman mendasar itu antara lain seperti kematian, cinta, ketakutan, dan lain-lain.
Pemikiran Ronald Goldman tersebut mengajarkan bahwa inti dari PAK bukanlah semata berdasar pada hal teoritis saja, melainkan dari apa yang telah
dialami dan dilakukan oleh peserta didik. Melalui pengalaman, siswa dapat belajar dari apa ynag pernah dialaminya. Dengan demikian siswa akan berfikir dengan
lebih kreatif. Model pembelajaran ini juga sangat cocok digunakan untuk pencapaian keterlibatan siswa dalam hidup menggereja, karena pengembangan
iman terjadi tidak hanya melalui ajaran saja melainkan perlu langsung diwujudkan dalam sebuah tindakan yang nyata.
26
b. Model Praksis
Istilah praksis pada model ini ialah sintesis antara teori yang ditekankan pada model transfer dengan pengalaman hidup yang digarisbawahi oleh metode
yang berpusatkan pada hidup peserta. Pendidikan tidak akan bernilai kalau hanya menjejali peserta dengan sebongkah informasi atau memenuhi pikiran mereka
dengan sikap-sikap kedewasaan iman yang stereotipe. Pendidikan harus memperluas wawasan konseptual mereka, meningkatkan kesadaran diri mereka
dan sekaligus memberdayakan mereka untuk ikut memperjuangkan terwujudnya kehidupan bersama yang sejahtera, adil dan manusiawi. Perkembangan secara
kualitatif hidup pribadi dan bersama itulah yang menjadi arah pendidikan Heryatno Wono Wulung, 2003: 69.
Hubungan yang diharapkan pendidik dan peserta didik bukan guru dan murid seperti seorang penceramah dan pendengar, melainkan sebagai mitra yang
bersama-sama mencari, meneliti dan menemukan. Sekolah menjadi komunitas yang bersama-sama belajar memperbaharui dan mengembangkan.
Pendidikan Agama Katolik di sekolah hendaknya tidak hanya menjadikan siswa sebagai pendengar setia saja yang hanya mendengarkan ceramah serta
penjelasan dari guru, melainkan ikut serta bersama-sama mencari dan belajar menghadapi persoalan yang ada. Dalam model ini guru diharapkan bersikap
kreatif dalam memproses pembelajaran. Misalnya dalam mencari dan mendalami makna kesengsaraan Yesus guru tidak langsung memberikan penjelasan tentang
kesengsaraan, melainkan mengajak siswa mengerti tentang makna kesengsaraan melalui pengalaman yang pernah mereka alami.
27
5. Mitra-mitra dalam Pendidikan Agama Katolik
Mitra-mitra dalam Pendidikan gama Katolik adalah peserta didik dan para pendidik sebagai pelayan Pendidikan Agama Katolik. Groome 2010: 385
mengatakan peserta didik kita adalah subjek-subjek, bukan objek-objek. Semua peserta didik memiliki hak yang sama dalam pendidikan. Mereka bukan objek
yang diperlakukan dan dibentuk seperti yang kita kehendaki, melainkan subjek- subjek yang dengannya kita mengadakan hubungan timbal balik dalam kesetaraan.
Peserta didik bukanlah objek dalam pembelajaran yang hanya mendengarkan apa yang kita katakan, melainkan subjek yang sama seperti kita
yaitu manusia yang diciptakan Allah sesuai dengan gambar dan citra-Nya. Setiap peserta didik memiliki hak yang sama dalam pendidikan. Jadi sebagai para
pendidik kita tidak boleh memandang sebelah mata dalam mengadakan hubungan timbal balik dan kesetaraan pada siswanya. Guru dan siswa bersama-sama
mencari melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialami.
B. HIDUP MENGGEREJA