Sumbangan pendidikan Agama Katolik di sekolah negeri terhadap keterlibatan hidup menggereja siswa di SMP Negeri 4 Purworejo, Jawa Tengah.

(1)

viii

Judul skripsi SUMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH NEGERI TERHADAP KETERLIBATAN HIDUP MENGGEREJA SISWA DI SMP NEGERI 4 PURWOREJO, JAWA TENGAH dipilih berdasarkan pada fakta bahwa keterlibatan hidup menggereja khususnya di kalangan remaja dewasa ini sangatlah minim. Kenyataan menunjukkan bahwa sedikit sekali remaja yang aktif dalam kegiatan di Gereja. Kebanyakan remaja hanya menyukai kegiatan yang banyak berkumpul dengan sesama, seperti pertemuan PIR, rekoleksi dan ziarah. Setiap ada rekoleksi ataupun ziarah banyak remaja yang antusias mengikutinya, namun setelah kegiatan berakhir mereka tidak pernah mengikuti kegiatan lagi. Di Purworejo sekolah negeri menjadi sekolah favorit yang diminati para siswa. Remaja Katolik pun lebih memilih di sekolah negeri dibandingkan dengan yayasan Katolik. Pembelajaran PAK di sekolah negeri kurang mendapat perhatian dari pihak sekolah. Kebanyakan guru yang mengajar pun bukan guru yang bergelut pada bidangnya, melainkan hanya guru yang beragama Katolik. Bertitik tolak pada kenyataan tersebut, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu remaja agar mempunyai semangat dalam keterlibatan hidup menggereja.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana sumbangan yang diberikan oleh PAK di sekolah negeri dalam meningkatkan keterlibatan menggereja siswa. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu kuesioner kepada siswa Katolik di SMP Negeri 4 Purworejo telah dilaksanakan. Di samping itu studi pustaka juga diperlukan untuk memperoleh pemikiran-pemikiran dari para ahli, sehingga diperoleh gagasan-gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan PAK bagi para siswa.

Hasil akhir menunjukkan bahwa PAK di SMP Negeri 4 Purworejo belum sepenuhnya mampu memberikan sumbangan pada keterlibatan menggereja siswa, karena keterlibatan menggereja siswa masih sebatas pada keterlibatan untuk berkumpul bersama teman tanpa adanya penghayatan akan keterlibatan menggereja itu sendiri. Bahkan masih ada siswa yang belum terlibat aktif dalam hidup menggereja. Menyadari akan kondisi tersebut, maka perlu disusun sebuah upaya untuk lebih meningkatkan kesadaran dan pemahaman siswa akan hidup menggereja. Oleh karena itu penulis menawarkan program rekoleksi untuk membantu siswa supaya lebih semangat dalam hidup menggereja.


(2)

ix

Title of thesis DONATIONS OF CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION IN STATE SCHOOLS OF CHURCH LIFE OF STUDENTS’ INVOLVEMENT AT JUNIOR HIGH SCHOOL 4 PURWOREJO, CENTRAL JAVA selected based on the fact that the involvement of church life particularly among young adults were minimal. The fact is that very few teenagers who are active in church life. Most of the teens just like activities that many gather with others, such as PIR meeting, recollection and pilgrimage. Every no recollection or pilgrimage many teenagers are enthusiastic to follow, but after the activity ends they never take part again. In Purworejo state schools become popular schools of interest for students. Catholic teenager was preferred in state schools compared with the Catholic foundation. Catholic Religious Education learning in state schools received less attention than the school. Most teachers were not teachers who are struggling on Catholic religion, but only Catholic teacher. Focused on fact, this paper is intended to help teens have a passion to be active in church life.

A key issue in this thesis is how the donations given by the Catholic Religious Education in state schools in improving students’ engagement of church life. To examine this issue needed accurate data. Therefore questionnaires to Catholic students at Junior High School 4 Purworejo been implemented. In addition, the literature is also required to obtain ideas from the experts, in order to obtain ideas that can be used as a donation of the Catholic Religious Education for students.

The final results showed that the the Catholic Religious Education in at Junior High School 4 Purworejo not been fully able to contribute to the involvement of students of the church, because the church involvement was limited to the involvement of students to gather with friends without any involvement appreciation church life itself. Even still there are students who have not been actively involved in the church life. Aware of these conditions, it is necessary to develop an effort to further increase awareness and understanding of the students about church life. Therefore, the authors offer recollections program to help students better appreciate the spirit and life of the church.


(3)

NEGERITERHADAPKETERLIBATAN HIDUP MENGGEREJASISWA DI SMP NEGERI 4 PURWOREJO, JAWA TENGAH

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Fransisca Rohmawati NIM: 091124042

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

(5)

(6)

iv

Dengan penuh syukur kepada Allah Bapa di Surga, kupersembahkan skripsi ini kepada kedua orangtuaku, Bapak Yohanes Arif Supriyanto dan Ibu Yustina Rumani,

adikku Stevanus Panji Roh Kusuma Jati dan Fransiskus Xaverius Pandu Arrjunningtyas,

sahabat tercinta Aji Prabowo, siswa SMP Negeri 4 Purworejo.


(7)

v

“Jikalau kamu tinggal dalam aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.”

(Yoh 15: 7)

“Oleh karena penindasan terhadap orang-orang yang lemah, oleh karena keluhan orang-orang miskin, sekarang juga Aku bangkit, firman Tuhan; Aku memberi

keselamatan kepada orang yang menghauskannya.” (Mzm 12: 6)


(8)

(9)

(10)

viii

Judul skripsi SUMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH NEGERI TERHADAP KETERLIBATAN HIDUP MENGGEREJA SISWA DI SMP NEGERI 4 PURWOREJO, JAWA TENGAH dipilih berdasarkan pada fakta bahwa keterlibatan hidup menggereja khususnya di kalangan remaja dewasa ini sangatlah minim. Kenyataan menunjukkan bahwa sedikit sekali remaja yang aktif dalam kegiatan di Gereja. Kebanyakan remaja hanya menyukai kegiatan yang banyak berkumpul dengan sesama, seperti pertemuan PIR, rekoleksi dan ziarah. Setiap ada rekoleksi ataupun ziarah banyak remaja yang antusias mengikutinya, namun setelah kegiatan berakhir mereka tidak pernah mengikuti kegiatan lagi. Di Purworejo sekolah negeri menjadi sekolah favorit yang diminati para siswa. Remaja Katolik pun lebih memilih di sekolah negeri dibandingkan dengan yayasan Katolik. Pembelajaran PAK di sekolah negeri kurang mendapat perhatian dari pihak sekolah. Kebanyakan guru yang mengajar pun bukan guru yang bergelut pada bidangnya, melainkan hanya guru yang beragama Katolik. Bertitik tolak pada kenyataan tersebut, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu remaja agar mempunyai semangat dalam keterlibatan hidup menggereja.

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana sumbangan yang diberikan oleh PAK di sekolah negeri dalam meningkatkan keterlibatan menggereja siswa. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu kuesioner kepada siswa Katolik di SMP Negeri 4 Purworejo telah dilaksanakan. Di samping itu studi pustaka juga diperlukan untuk memperoleh pemikiran-pemikiran dari para ahli, sehingga diperoleh gagasan-gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan PAK bagi para siswa.

Hasil akhir menunjukkan bahwa PAK di SMP Negeri 4 Purworejo belum sepenuhnya mampu memberikan sumbangan pada keterlibatan menggereja siswa, karena keterlibatan menggereja siswa masih sebatas pada keterlibatan untuk berkumpul bersama teman tanpa adanya penghayatan akan keterlibatan menggereja itu sendiri. Bahkan masih ada siswa yang belum terlibat aktif dalam hidup menggereja. Menyadari akan kondisi tersebut, maka perlu disusun sebuah upaya untuk lebih meningkatkan kesadaran dan pemahaman siswa akan hidup menggereja. Oleh karena itu penulis menawarkan program rekoleksi untuk membantu siswa supaya lebih semangat dalam hidup menggereja.


(11)

ix

Title of thesis DONATIONS OF CATHOLIC RELIGIOUS EDUCATION IN STATE SCHOOLS OF CHURCH LIFE OF STUDENTS’ INVOLVEMENT AT JUNIOR HIGH SCHOOL 4 PURWOREJO, CENTRAL JAVA selected based on the fact that the involvement of church life particularly among young adults were minimal. The fact is that very few teenagers who are active in church life. Most of the teens just like activities that many gather with others, such as PIR meeting, recollection and pilgrimage. Every no recollection or pilgrimage many teenagers are enthusiastic to follow, but after the activity ends they never take part again. In Purworejo state schools become popular schools of interest for students. Catholic teenager was preferred in state schools compared with the Catholic foundation. Catholic Religious Education learning in state schools received less attention than the school. Most teachers were not teachers who are struggling on Catholic religion, but only Catholic teacher. Focused on fact, this paper is intended to help teens have a passion to be active in church life.

A key issue in this thesis is how the donations given by the Catholic Religious Education in state schools in improving students’ engagement of church life. To examine this issue needed accurate data. Therefore questionnaires to Catholic students at Junior High School 4 Purworejo been implemented. In addition, the literature is also required to obtain ideas from the experts, in order to obtain ideas that can be used as a donation of the Catholic Religious Education for students.

The final results showed that the the Catholic Religious Education in at Junior High School 4 Purworejo not been fully able to contribute to the involvement of students of the church, because the church involvement was limited to the involvement of students to gather with friends without any involvement appreciation church life itself. Even still there are students who have not been actively involved in the church life. Aware of these conditions, it is necessary to develop an effort to further increase awareness and understanding of the students about church life. Therefore, the authors offer recollections program to help students better appreciate the spirit and life of the church.


(12)

x

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul SUMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH NEGERI TERHADAP KETERLIBATAN HIDUP MENGGEREJA SISWA DI SMP NEGERI 4 PURWOREJO, JAWA TENGAH. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran, dukungan, kesabaran saran dan kritik untuk mendampingi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A., selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji II yang selalu membimbing dan memotivasi penulis sejak penulis mengenyam studi.

3. P. Banyu Dewa HS., S.Ag., M.Si., selaku dosen penguji III yang bersedia mendampingi penulis dalam penulisan skripsiserta memberikan pengarahan dengan bijaksana dan penuh kesabaran.

4. Muh Syaifudin, M.Pd., selaku kepala sekolah SMP Negeri 4 Purworejo yang telah memberikan tempat dan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan penelitian, serta dukungan yang diberikan bagi penulis.


(13)

xi

telah memberikan banyak informasi dan membantu penulis dalam melakasanakan penelitian.

6. Para guru dan Staf karyawan SMP Negeri 4 Purworejo yang telah memberikan motivasi dan membantu penulis dalam mengadakan penelitian.

7. Siswa Katolik SMP Negeri 4 Purworejo yang memberi dukungan kepada penulis dengan bersedia mengisi kuesioner yang penulis sebarkan.

8. Kedua orangtuaku Bapak Yohanes Arif Supriyanto dan Ibu Yustina Rumani yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat dan pendampingan selama penulisan skripsi.

9. Kedua adikku Stevanus Panji Roh Kusuma Jati dan Fransiskus Xaverius Pandu Arrjunningtyas yang selalu memberikan semangat selama penulisan skripsi.

10. Sahabat tercinta Aji Prabowo yang selalu setia memberikan semangat, dukungan, masukan dan selalu menemani penulis selama penulisan skripsi.

11. Saudara-saudaraku Agustina Murjilah, Cornelius Ade Putra, Widi Sugyanto, Arif Wibowo, Agung Prasetya yang selalu memberikan semangat dan bantuan selama penulisan skripsi.

12. Teman-teman angkatan 2009; Hana Puspita Canti, Theresia Bekti Lestari, Antonius Guruh Ady Siaga, Atik Wulandari, Agustinus Rudi Winarto yang telah memberikan dukungan untuk penyelesaian skripsi ini.

13. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(14)

(15)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan Penulisan ... 6

D.Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. POKOK-POKOK PAK DAN HIDUP MENGGEREJA ... 10

A.Pendidikan Agama Katolik di Sekolah ... 11

1. Hakekat Pendidikan Agama Katolik di Sekolah ... 11

2. Tujuan Pendidikan Agama Katolik di Sekolah ... 12

a. Demi Terwujudnya Kerajaan Allah ... 13

b. Iman yang Selalu Berkembang ... 14

1) Iman sebagai Keyakinan (faith as believing) ... 15


(16)

xiv

c. Kebebasan Peserta Didik ... 17

3. Konteks Pendidikan Agama Katolik ... 19

a. Proses Sosialisasi Menjadi Manusia ... 19

b. Proses Sosialisasi Menjadi Orang Kristiani dengan Tokoh-tokoh ... 20

1) Bushnell ... 20

2) Coe ... 21

3) Nelson ... 21

4) Westerhoff ... 22

5) Marthaler ... 22

c. Pendekatan Dialektis terhadap Proses Sosialisasi ... 23

4. Model Pendidikan Agama Katolik ... 24

a. Model yang Berpusat Pada Hidup Peserta ... 24

b. Model Praksis ... 26

5. Mitra-mitra Dalam Pendidikan Agama Katolik ... 27

B. Hidup Menggereja ... 27

1. Arti dan Makna Gereja ... 27

a. Asal Usul dan Arti Katanya ... 27

b. Pengertian Gereja dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja ... 28

1) Gereja sebagai Persekutuan Umat Allah ... 28

2) Gereja Tubuh Kristus ... 29

3) Gereja Bait Roh Kudus ... 30

4) Gereja Misteri dan Sakramen ... 30

5) Gereja sebagai Persekutuan ... 31

2. Model-model Gereja ... 32

a. Gereja Institusional Hierarkis Piramidal ... 33

b. Gereja sebagai Persekutuan Umat ... 33

3. Pengertian Hidup Menggereja ... 34

4. Empat Kegiatan Inti Gereja ... 35


(17)

xv

c. Persekutuan (koinonia) demi kesaksian(Martyria) ... 38

d. Pelayanan (Diakonia) ... 39

5. Sasaran Hidup Menggereja ... 40

C. Sumbangan PAK Unuk Perkembangan Hidup Menggereja ... 41

BAB III. SUMBANGAN DAN GAMBARAN PAK DI SMP NEGERI 4 PURWOREJO TERHADAP HIDUP MENGGEREJA SISWA A. Gambaran Umum Situasi Sekolah SMP Negeri 4 Purworejo ... 43

1. Sejarah Singkat Berdirinya SMP Negeri 4 Purworejo ... 43

2. Situasi Fisik SMP Negeri 4 Purworejo ... 45

3. Situasi Akademis SMP Negeri 4 Purworejo ... 47

a. Visi dan Misi ... 47

b. Struktur Organisasi ... 48

c. Peraturan Tata Tertib SMP Negeri 4 Purworejo ... 48

1) Kehadiran di Sekolah ... 49

2) Penampilan di Sekolah ... 49

3) Kegiatan Belajar Mengajar... 50

B. Keadaan Siswa Katolik di Sekolah ... 50

1. Jumlah Siswa... 50

2. Agama ... 51

3. Gambaran Hubungan Komunikasi Siswa Katolik ... 51

C. Penelitian Tentang Sumbangan PAK di Sekolah Negeri Terhadap Keterlibatan Hidup Menggereja Siswa di SMP Negeri 4 Purworejo... 52

1. Latar Belakang Penelitian ... 52

2. Tujuan Penelitian... 52

3. Jenis Penelitian ... 52

4. Instrumen Pengumpulan Data ... 53

5. Responden ... 53

6. Tempat dan Waktu Penelitian ... 53

7. Devinisi Operasional Variabel ... 53


(18)

xvi

Terhadap Keterlibatan Hidup Mnggereja Siswa di SMP Negeri 4

Purworejo ... 55

1. Laporan Umum ... 55

2. Laporan dan Pembahasan Penelitian Menurut Variabel ... 55

a. Gambaran Pelaksanaan Pendidikan Agama Katolik di SMP Negeri 4 Purworejo ... 55

b. Sejauh Mana PAK Mampu Mendorong Keterlibatan Menggereja Siswa ... 62

c. Sumbangan PAK dalam Hidup Menggereja di SMP Negeri 4 Purworejo ... 67

3. Catatan terhadap Keterbatasan Penelitian ... 71

a. Hanya Menggunakan Kuesioner ... 71

b. Kecurigaan Pada Jawaban Responden ... 72

4. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 73

BAB IV. REKOLEKSI SEBAGAI USULAN MEMBANGKITKAN SEMANGAT HIDUP MENGGEREJA ... 75

A. Rekoleksi Dalam Rangka Meningkatkan Semangat Menggereja ... 76

B. Program Rekoleksi Sebagai Usaha Meningkatkan Semangat Hidup Menggereja Siswa di SMP Negeri 4 Purworejo ... 76

1. Pengertian Program Rekoleksi ... 76

2. LatarBelakang ProgramRekoleksi untukMeningkatkan SemangatHidupMengereja ... 77

3. Tema dan Tujuan Rekoleksi ... 78

C. Gambaran Pelaksanaan Program ... 79

D. Matriks Program ... 81

E. Contoh Satuan Persiapan Rekoleksi ... 87

1. Identitas Kegiatan ... 87

2. Pengembangan Langkah-langkah ... 88

a. Salam Pembuka ... 88

b. Doa ... 88

c. Lagu... 88

d. Pengantar Rekoleksi ... 89


(19)

xvii

2) Materi ... 90

a) Ciri-ciri Peranan Roh Allah ... 90

(1) Roh Allah terlibat dalam Penciptaan ... 90

(2) Pendalaman Kitab Suci ... 91

b) Ice Breaking ... 95

c) Ciri-ciri Peranan Roh dalam Gereja ... 95

(1) Ciri-ciri Roh Kudus dalam Gereja ... 95

(2) Pendalaman Kitab Suci ... 96

f. Sesi II Keterlibatan Remaja dalam Hidup Menggereja... 100

1) Pengantar ... 100

2) Materi ... 100

a) Liturgi ... 100

b) Pewartaan ... 102

c) Persekutuan ... 102

d) Pelayanan ... 103

g. Sesi III Dinamika Kelompok ... 104

1) Pengantar ... 104

2) Permainan ... 104

h. Penutup ... 108

1) Pengantar ... 108

2) Doa Penutup ... 109

3) Lagu Penutup ... 109

BAB V KESIMPULAN dan SARAN... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 113

LAMPIRAN ... 115

Lampiran 1:SuratIjinPenelitian ... (1)

Lampiran 2: Surat Keterangan TelahMelaksanakanPenelitian ... (2)


(20)

xviii

Lampiran 5: ContohJawabanKuesioner Responden Perempuan ...(13) Lampiran 6: Daftar Nama Responden ...(18) Lampiran 7: Visi dan Misi SMP Negeri 4 Purworejo ...(19) Lampiran 8: Wawancara Penulis dengan Ibu Murni Mengenai


(21)

xix A. SINGKATAN KITAB SUCI

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal 8.

B. SINGKATAN DOKUMEN GEREJA

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, tanggal 21 November 1964.

SC :Sacrosanctum Consilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang liturgi, tanggal 4 Desember 1963.

C. SINGKATAN LAIN

AC : Air Conditioner

Art : Artikel

Ay : Ayat

KAS : Keuskupan Agung Semarang KOMKAT : Komisi Kateketik

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia LCD :Liquid Crystal Display

PAK : Pendidikan Agama Katolik PIR : Pendampingan Iman Remaja


(22)

xx

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SM : Sebelum Masehi

SMP : Sekolah Menengah Pertama

TU : Tata Usaha

TV : Televisi

UKS : Unit Kesehatan Sekolah VCD :Video Compact Disc


(23)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Banyak orang yang berkesan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini masih memprihatinkan, terutama di kalangan remaja. Pada kenyataannya ada berbagai kesan yang menyatakan banyak sekali remaja yang menindas teman-temannya seperti merampok dan menodong untuk keperluan tertentu atau hanya untuk kesenangan belaka. Bahkan yang sedang hangat saat ini adanya prostitusi anak di bawah umur yang dilakukan oleh siswa kelas VII SMP. Remaja tega menjual teman-temannya sendiri kepada orang-orang yang membutuhkan jasanya. Fakta tersebut memperlihatkan menurunnya moral dikalangan kaum remaja. Oleh karena itu pendidikan sangat berperan dalam menanamkan moral pada siswa khususnya remaja.

Masa remaja adalah masa yang penuh kegembiraan dimana mereka sedang dalam proses menemukan jati diri. Mereka sedang belajar untuk mengembangkan diri dan memilih nilai-nilai yang bermakna dan berguna bagi hidup mereka (Dewan Karya Pastoral KAS, 2008: 4). Zakiah Daradjat (1975: 25) juga memaparkan bahwa masa remaja adalah suatu tingkat umur, dimana anak-anak tidak lagi anak, akan tetapi belum dapat dipandang dewasa. Jadi remaja adalah umur yang menjembatani antara umur anak-anak dan umur dewasa.

Pada masa remaja inilah banyak terjadi berbagai perubahan yang tidak mudah bagi seorang anak untuk menghadapinya tanpa bantuan dan pengertian dari orangtua serta orang dewasa pada umumnya. Pada umur ini terjadi perubahan


(24)

yang cepat pada jasmani, emosi, sosial, iman dan kecerdasan. Safiyudin (1977: 32) memaparkan beberapa penyebab terjadi kenakalan remaja, seperti penonjolan diri/menunjukkan keberanian, solidaritas pada kawan, mengikuti ajakan teman, keinginan sensasi serta keinginan memenuhi kebutuhan seks.

Penyebab terjadinya kenakalan remaja semata bukanlah karena kesalahan mereka, tetapi terdorong karena pencarian jati diri yang sedang mereka alami. Dalam masa peralihan itulah mereka sangat membutuhkan orang yang lebih dewasa untuk mendampingi mereka. Peran serta orangtua merupakan hal mendasar yang dapat mendampingi remaja dalam masa pencapaian jati diri mereka. Saat anak berada dalam tahap remaja, orangtua harus pintar mendekatkan diri pada putra-putrinya.

Selain keluarga, pembinaan remaja juga terjadi di lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal, karena masyarakat adalah lingkungan yang sarat dengan peristiwa, baik peristiwa yang positif maupun negatif. Disini remaja perlu dibimbing untuk dapat memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik bagi pertumbuhan serta perkembangan dirinya.

Bagi remaja Katolik, pembinaan remaja juga terjadi di dalam gereja, karena gereja adalah tempat yang memadai bagi remaja untuk membina iman mereka demi terwujudnya Kerajaan Allah. Bersama remaja dan anggota gereja lainnya, seorang remaja memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan mendewasakan imannya. Para anggota Gereja yang dewasa mempunyai tanggung jawab yang besar untuk membantu para remaja memperoleh pendidikan iman dan


(25)

mewujudkannya dalam kehidupan bersama (Sinode GKJ dan GKI Jateng, 1995: 22).

Di dalam gereja remaja dapat mengembangkan iman mereka dengan mengikuti aneka macam kegiatan pembinaan iman dengan membaca buku-buku rohani, berdoa dan ikut serta dalam ibadat bersama umat lingkungan, wilayah maupun paroki dengan belajar menyesuaikan diri dengan tuntunan hidup Yesus dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan umat. Dengan terlibat dalam kehidupan umat, anak dan remaja sejak dini dipupuk semangatnya untuk ikut bertanggung jawab dalam hidup umat. Pembinaan yang seperti ini nantinya diharapkan dapat menumbuhkan keyakinan bahwa hidup adalah anugerah, panggilan dan perutusan (Dewan Karya Pastoral KAS, 2008: 4).

Pembinaan remaja di gereja Santa Perawan Maria Purworejo dilakukan dengan adanya PIR atau Pendampingan Iman Remaja. Akan tetapi jumlah anggota PIR yang ada sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan remaja katolik di paroki. Remaja hanya semangat untuk datang ke gereja tiga sampai empat bulan pertama mereka menjadi anggota, setelah itu jumlahnya mulai berkurang dan menjadi semakin minim. Walaupun jumlah anggota PIR minim, namun mereka masih sering mengadakan pertemuan di gereja dan ikut terlibat dalam kegiatan seperti misdinar. Anehnya jumlah PIR yang sedikit ini dapat menjadi banyak jika gereja mengadakan rekoleksi bersama di luar gereja ataupun ziarah. Dari hal itu sangat nampak bahwa remaja masih senang dengan hal-hal yang menyenangkan. Mereka akan datang jika ada acara yang mereka pikir itu asyik dan menyenangkan serta dapat digunakan sebagai ajang untuk mencari teman bahkan teman dekat.


(26)

Dari wawancara dengan beberapa remaja di gereja Santa Perawan Maria Purworejo, mereka mengatakan alasan mereka ikut PIR adalah untuk berkumpul bersama dengan teman-teman satu iman. Mereka menginginkan kegiatan PIR yang asyik yang sesuai dengan usia mereka. Jika tidak ada kegiatan besar seperti rekoleksi dan ziarah mereka hanya datang ke gereja untuk latihan misdinar dan sekedar berbagi cerita dengan teman-teman yang lain.

Kurangnya kesadaran remaja dalam menghayati keterlibatannya dalam hidup menggereja membuat pendidikan PAK di sekolah sangat dibutuhkan untuk menyadarkan serta membangkitkan kesadaran dan niat akan hidup menggereja. Groome (2010: 49) menegaskan bahwa tujuan dari PAK itu sendiri adalah untuk menuntun orang-orang ke luar menuju ke Kerajaan Allah. Menuju pada Kerajaan Allah disini diwujudkan melalui peran serta di dalam Gereja dan di tengah umat, dimana setiap orang merupakan anggota Gereja dan bertugas dalam pengembangan Gereja.

Dalam PAK juga terdapat tiga unsur pokok pendidikan iman yang mendukung tujuan dari PAK sendiri. Tiga unsur pokok pendidikan iman itu sendiri adalah, pengalaman hidup peserta, visi dan kisah hidup Kristiani dan komunikasi kehidupan konkret peserta dengan visi dan tradisi Kristiani. Jika ketiga pokok pendidikan iman tersebut dapat berjalan dengan baik, maka tujuan dari PAK itu sendiri dapat terwujud di tengah-tengah kehidupan peserta didik.

Banyaknya sekolah negeri di Purworejo membuat PAK perlu memperhatikan peserta didik dengan baik. PAK di sekolah negeri perlu berusaha untuk mewujudkan Kerajaan Allah di tengah peserta yang merupakan tujuan dari PAK sendiri. Salah satu contoh perlunya perhatian khusus PAK di sekolah negeri


(27)

dalam usia remaja adalah PAK di SMP Negeri 4 Purworejo. Keadaan remaja secara umum di SMP Negeri 4 Purworejo sejauh yang saya amati cukup baik, karena siswa jarang yang terlibat dalam kenakalan remaja ataupun kenakalan dalam geng. Kalaupun ada geng itu hanya sebatas teman dekat di sekolah yang mempunyai kesenangan atau hoby yang sama maupun kecocokan dalam bergaul. SMP Negeri 4 Purworejo merupakan salah satu SMP negeri favorit, sehingga peserta didik lebih menekankan pengetahuan mereka tanpa memikirkan hal yang negatif.

Remaja katolik di SMP Negeri 4 Purworejo juga dapat bergaul dan membaur baik dengan teman yang lain. Namun kesadaran hidup menggereja di tengah-tengah siswa terlihat masih sangat kurang, karena mereka belum dapat memahami dan mendalami peran dan tugas mereka di dalam gereja. Keterlibatan hidup menggereja mereka masih kering dan sekedar ikut-ikut saja.

Sedangkan hidup menggereja sendiri adalah hidup menampakkan iman kepada Yesus Kristus. Jadi setiap kegiatan menampakan iman adalah hidup menggereja. Jika seseorang menampakkan imannya dalam masyarakat, berarti ia juga menggereja di dalam masyarakat (Suhardiyanto, 2005: 3).

Dengan demikian hidup menggereja siswa tidak hanya dibatasi melalui kegiatan di dalam gereja saja, melainkan dapat dilakukan ditengah masyarakat dimana ia tinggal. Wujud penampakkan iman di tengah masyarakat dapat dilakukan misalnya dengan membantu teman yang sedang terkena musibah sebagai wujud kasih yang diajarkan di dalam gereja. Menjadi remaja yang baik dan bebas dari kasus kenakalan remaja juga telah menampakkan iman ditengah masyarakat.


(28)

Dalam hidup menggereja ada lima tugas yang dilakukan yaitu liturgia, kerygma, koinonia, diakonia dan martyria. Di tengah kehidupan kaum remaja tugas yang baru dijalani hanyalah koinonia atau persekutuan persaudaraan sebagai anak-anak Bapa. Hal ini sangat terlihat dengan masih banyaknya remaja yang terlibat hidup menggereja masih sebatas mencari teman saja.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis memberi judul skripsi ini: SUMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH NEGERI TERHADAP KETERLIBATAN HIDUP MENGGEREJA SISWA DI SMP NEGERI 4 PURWOREJO, JAWA TENGAH. Lewat skripsi ini penulis berharap mampu ikut meningkatkan keterlibatan hidup menggereja siswa melalui PAK di SMP Negeri 4 Purworejo.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja pokok-pokok PAK dan hidup menggereja?

2. Sejauh mana PAK di SMP Negeri 4 Purworejo mendorong keterlibatan hidup menggereja siswa di Gereja?

3. Bagaimana cara meningkatkan semangat hidup menggereja siswa di SMP Negeri 4 Purworejo?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Menjabarkan pokok-pokok Pendidikan Agama Katolik dan keterlibatan hidup menggereja.

2. Memaparkan sejauh mana PAK di SMP Negeri 4 Purworejo mendorong keterlibatan hidup menggereja siswa.


(29)

3. Menguraikan cara meningkatkan keterlibatan hidup menggereja siswa di SMP Negeri 4 Purworejo.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Bagi guru PAK dan pihak sekolah

Guru PAK semakin mantap dalam pengajaran dan menyadari bahwa PAK sungguh penting bagi siswa. Pihak sekolah juga lebih memperhatikan pengajaran PAK bagi para siswanya yang beragama katolik.

2. Bagi para siswa katolik di SMPN4 Purworejo

Para siswa semakin menyadari pentingnya PAK di sekolah dalam keterlibatan hidup menggereja.

3. Bagi penulis

a) Memberikan pengalaman penelitian secara ilmiah sebagai peneliti pemula. b) Membantu dalam mengetahui seberapa besar sumbangan PAK di Sekolah

dalam membangun keterlibatan menggereja siswa.

E. METODE PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu menjelaskan dan memahami data-data yang didapatkan melalui penelitian lapangan. Deskriptif akan digunakan pada bab II dan IV untuk menjelaskan PAK dan hidup Menggereja. Sedangkan analitis akan penulis gunakan pada bab III untuk memahami data yang didapat dari responden


(30)

mengenai PAK di sekolah dengan keterlibatan menggereja. Dimana penulis akan menguraikan, memaparkan dan memahami keterlibatan hidup menggereja siswa katolik di SMP Negeri 4 Purworejo melalui sumbangan PAK di sekolah. Data yang diperlukan diperoleh dengan mengedarkan kuisioner dan wawancara pada siswa katolik di SMP Negeri 4 Purworejo untuk menjadi responden sebagai gambaran hidup menggereja dengan PAK di SMP Negeri 4 Purworejo.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Judul skripsi yang dipilih adalah SUMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH NEGERI TERHADAP KETERLIBATAN HIDUP MENGGEREJA SISWA DI SMP NEGERI 4 PURWOREJO, JAWA TENGAH, maka penulis membagi tulisan ke dalam empat bab:

Bab I mengemukakan latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II menampilkan kajian pustaka yang meliputi pengertian pendidikan pada umumnya, tujuan pendidikan pada umumnya, pengertian Pendidikan Agama Katolik di sekolah, tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah, peranan Pendidikan Agama Katolik di sekolah, pengertian keterlibatan dan pengertian keterlibatan hidup menggereja, sasaran hidup menggereja.

Bab III memaparkan ssgambaran umum situasi sekolah SMP Negeri 4 Purworejo yakni mengenai sejarah singkat berdirinya SMP Negeri 4 Purworejo, situasi fisik SMP Negeri 4 Purworejo, situasi akademis SMP Negeri 4 Purworejo, visi, misi, struktur organisasi, peraturan tata tertib di sekolah, penampilan di sekolah, kegiatan belajar mengajar. Selain itu akan diuraikan pula mengenai


(31)

keadaaan siswa di sekolah, penelitian tentang sumbangan PAK di sekolah negeri yang meliputi latar belakang penelitian, tujuan penelitian, jenis penelitian, instrumen penelitian, responden penelitian dan variabel penelitian. Definisi operasional mengenai PAK dan keterlibatan hidup menggereja juga akan dijelaskan dalam bab ini.

Bab IV menjelaskan mengenai program rekoleksi dalam rangka meningkatkan semangat hidup menggereja, program rekoleksi sebagai usaha meningkatkan semangat hidup menggereja, latar belakang rekoleksi, tujuan rekoleksi, tema dan sesi rekoleksi. Dimana tema besar rekoleksi adalah “Dugem Bersama Yesus dengan Teman-teman Untuk Meningkatkan Hidup Menggereja”. Tema utama akan dibagi lagi menjadi tiga sub tema, yaitu beriman bersama Yesus, meneladani Yesus dalam tanggung jawabku dan aku semakin mantap bersama Yesus.

Bab V berisi penutup yang mencakup kesimpulan dari penulisan skripsi dan saran bagi pihak sekolah, guru dan siswa.


(32)

BAB II

POKOK-POKOK PAK DAN HIDUP MENGGEREJA

Keterlibatan hidup menggereja para siswa SMP sangatlah penting melihat situasi mereka yang masih labil dan dalam pencarian jati diri. Melalui kegiatan menggereja siswa dapat mengembangkan imannya dan menjalankan tugas sebagai anggota Gereja.

Keterlibatan siswa dalam hidup menggereja tentu perlu dukungan dari luar, seperti sekolah. Sekolah adalah tempat di mana siswa menuntut ilmu dan mendapatkan pengetahuan baru yang mengembangkan hidupnya. Dalam hal keterlibatan hidup menggereja, Pendidikan Agama Katolik di sekolah memiliki peran yang penting. Melalui PAK siswa dapat menuju pada Kerajaan Allah dan mengembangkan imannya seperti yang ada pada tujuan PAK itu sendiri. PAK diharapkan dapat mewujudkan tujuannya tersebut. Tetapi terdapat banyak kesan pelaksanaan PAK terutama di sekolah negeri masih kurang maksimal. Masih banyak sekolah negeri yang menggunakan guru PAK yang tidak profesional. Biasanya guru PAK hanya diambil dari guru mata pelajaran tertentu yang beragama Katolik saja dan sama sekali tidak berlatar belakang pendidikan guru agama Katolik.

Pada bab ini akan diuraikan bagaimana hakekat dan tujuan PAK di sekolah yakni demi terwujudnya Kerajaan Allah. Selain hakekat dan tujuan PAK di sekolah juga akan diuraikan konteks PAK, model PAK, mitra-mitra PAK, arti dan makna Gereja, model-model Gereja, pengertian hidup menggereja, empat kegiatan inti Gereja, sasaran hidup menggereja dan sumbangan PAK untuk perkembangan hidup Menggereja.


(33)

A. PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK DI SEKOLAH 1. Hakekat Pendididkan Agama Katolik di Sekolah

Pada hakikatnya Pendidikan Agama Katolik merupakan pendidikan yang bervisi spiritual. Bervisi spiritual artinya pendidikan agama Katolik memberikan inspirasi hidup kepada para siswa. Selain itu, Pendidikan Agama Katolik juga diharapkan secara konsisten terus berusaha untuk memperkembangkan kedalaman hidup siswa, memperkembangkan jati diri atau inti hidup mereka. Pendidikan agama Katolik juga berusaha membantu siswa memperkembangkan jiwa dan interioritas hidup mereka. Jiwa merupakan tempat di mana Allah bersemayam dan karena itu membuat manusia merasa rindu kepadaNya dan peduli pada hidup sesamanya (Heryatno Wono Wulung, 2008: 14).

Mangunwijaya sebagaimana dikutip oleh Heryatno Wono Wulung menyatakan hakekat Pendidikan Agama Katolik sebagai komunikasi iman. Sebagai komunikasi iman iman Pendidikan Agama Katolik perlu menekankan sifatnya yang praktis. Bersifat praktis berarti Pendidikan Agama Katolik lebih menekankan tindakan dari pada konsep atau teori. Oleh sebab itu Pendidikan Agama Katolik lebih menekankan proses perkembangan, pendewasaan iman, serta peneguhan pengharapan dan perwujudan kasih terhadap sesama (Heryatno Wono Wulung, 2008: 15-16).

Mary Boys yang dikutip oleh Heryatnodalam bukunyamendefinisikan

Pendidikan Agama Katolik sebagai “the making accesible of the traditions of the

religious community and the making manifest of the interinsic connection between traditions and transformation”. Pendidikan Agama Katolik berperan membuka jalan selebar-lebarnya agar setiap siswa memiliki akses untuk sampai kepada harta kekayaan iman komunitas (tradisi). Tradisi yang sungguh dihayati menurut


(34)

kebutuhan hidup beriman siswa yang hidup pada suatu zaman tertentu secara intrinsik dapat memberdayakan mereka dalam memperkembangkan hidup dan imannya (Heryatno Wono Wulung, 2008: 19).

Dari pernyataan Mary Boys tersebut dipahami bahwa Pendidikan Agama Katolik memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan imannya melalui kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari baik dalam lingkungan sekolah, masyarakat maupun Gereja sendiri. Pendidikan Agama Katolik di sekolah juga diberikan seiring dengan perkembangan zaman dan situasi siswa, sehingga siswa dapat memperkembangkan imannya melalui ajaran-ajaran iman Katolik dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Dalam hal ini Pendidikan Agama Katolik di sekolah tidak dapat disamakan dengan mata pelajaran yang lain, karena Pendidikan Agama Katolik tidak semata-mata hanya menekankan segi intelektual peserta didik saja, melainkan lebih mengarahkan peserta didik akan kesadaran sebagai umat beriman. Pendidikan Agama Katolik di sekolah berdasarkan pengalaman hidup peserta didik. Dalam jenjang SMP, Pendidikan Agama Katolik memberikan pengajaran dan bimbingan bahwa mereka adalah anggota Gereja yang nantinya ikut berperan dalam mengembangkan Gereja. Dengan kesadaran yang demikian, maka siswa diharapkan mulai terlibat aktif dalam hidup menggereja, sebagai perwujudan bahwa mereka adalah anggota Gereja.

2. Tujuan Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

Pendidikan Agam Katolik (PAK) pada dasarnya bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun hidup yang semakin beriman.


(35)

Membangun hidup beriman berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan dan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan, kelestarian lingkungan hidup yang dirindukan oleh setiap orang dari berbagai agama dan kepercayaan (Komkat KWI, 2007: 7).

Groome (2010: 49) mengatakan bahwa pada hakekatnya tujuan PAK ada tiga, yaitu, demi terwujudnya Kerajaan Allah, iman yang selalu berkembang, dan kebebasan peserta didik.

a. Demi Terwujudnya Kerajaan Allah

Tujuan orang memeluk agama adalah untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. Agama Katolik juga menawarkan kebahagian di dunia dan di surga. Terciptanya kebahagian di dunia dan di surga ini dalam bahasa Katolik di istilahkan terciptanya Kerajaan Allah yaitu jika Allah sudah meraja maka di situ akan tercipta suatu kebahagian. Thomas Groome (2010: 9) menyebutkan bahwa tujuan Pendidikan Agama Katolik adalah untuk menyelamatkan jiwa. Jika Allah sudah meraja maka tentu kita akan selamat dan bahagia karena kita adalah Anak-anak-Nya.

Oleh sebab itu Pendidikan Agama Katolik harusnya mampu menggerakkan siswa untuk ikut mengambil bagian demi terciptanya Kerajaan Allah. Artinya Pendidikan Agama Katolik harus mampu membuat siswa merasa bahagia dan berbagi kebahagian dengan orang-orang di sekitar lewat sikap dan tindakan sehari-hari yang sesuai dengan ajaran Katolik. Dengan demikian Kerajaan Allah


(36)

di surga akan hadir secara nyata lewat sikap dan tindakan yang memberi kebahagian bagi orang di sekitar.

Terwujudnya Kerajaan Allah menjadi tujuan utama dalam PAK, karena Kepercayaan kita kepada Allah memimpin kita untuk menyadari dan mengingat bahwa Kerajaan Allah adalah pemberian. Dalam arti yang definitif Kerajaan Allah telah datang dalam Yesus Kristus. Keselamatan telah dimenangkan bagi kita. Karena Kerajaan Allah telah hadir dan kedatangannya yang terakhir dijanjikan dapat dipercaya, kita dapat menjalani masa kini dengan suka cita, damai dan bahagia.

b. Iman yang Selalu Berkembang

Iman Katolik sebagai realitas yang hidup memiliki tiga dimensi yang esensial, yaitu keyakinan, hubungan yang penuh kepercayaan dan kehidupan agape yang hidup. Maksud dari agape di sini adalah iman tumbuh karena ada rasa keyakinan, kepastian dan kepercayaan yang penuh. Tidak berhenti di situ, iman yang tumbuh karena keyakinan dan kepercayaan akan Yesus Kristus harus dihayati secara penuh dan dilaksanakan secara penuh juga dalam hidup sehari-hari. Iman adalah sebuah realitas yang hidup, maka tiga dimensi tersebut diekspresikan ke dalam tiga kegiatan, yaitu iman sebagai keyakinan (faith as believing), iman sebagai kegiatan mempercayakan (faith as trusting) dan iman sebagai kegiatan melakukan (faith as doing). Ketiga dimensi dan kegiatan ini harus ada dalam pendidikan agama (Groome, 2010: 81).


(37)

1) Iman sebagai Keyakinan (faith as believing)

David Tracy menyatakan belief adalah simbol yang menjelaskan pernyataan kognitif, moral, atau historis tertentu yang terkandung dalam sikap iman tertentu. Bahwa Kekatolikan membuat pernyataan-pernyataan kognitif, moral dan historis dan mengusulkan mereka kepada orang-orang sebagai sebuah cara membuat makna dalam kehidupan mereka adalah sesuatu yang tidak diragukan. Oleh karena itu kegiatan iman Katolik mewajibkan sebagian keyakinan yang teguh pada kebenaran-kebenaran yang diusulkan sebagai kepercayaan-kepercayaan iman Katolik yang esensial (Groome, 2010: 82).

Iman Kristiani ini memilik aspek kognitif, di mana iman bukanlah suatu ilusi, bukan merupakan tindakan yang semena-mena, tidak masuk akal, fanatik dan eksklusif yang keterlaluan. Aspek kognitif di sini adalah kemampuan intelektual siswa dalam berfikir, mengetahui dan memecahkan masalah. Beriman dengan meyakini di sini tidak semata-mata hanya sebatas percaya saja, melainkan dapat dipertanggungjawabkan lewat alasan-alasan yang rasional. Saat kita yakin akan sesuatu, kita memiliki alasan yang jelas mengapa kita yakin akan hal tersebut. Melalui PAK siswa di sekolah dapat yakin pada iman yang mereka dalami dengan alasan tertentu, misalnya siswa yakin akan Yesus Kristus sebagai penyelamat, karena kebangkitan Yesus yang mengalahkan maut.

2) Iman sebagai Kegiatan Mempercayakan (faith as trusting)

Dimensi iman Katolik yang bersifat afektif ini mengambil bentuk hubungan pribadi yang penuh kepercayaan dengan Allah yang menyelamatkan di dalam Yesusu Kristus. Kegiatan mempercayakan iman diekspresikan dalam kesetiaan, kasih dan kelekatan. Karena Allah adalah setia, kita dapat menyerahkan diri kita dengan penuh kepercayaan (Groome, 2010: 87).


(38)

Kita mengekspresikan perasaan-perasaan ini dalam doa, baik secara pribadi maupun komunal. Dalam arti ini doa adalah dimensi dialogis dari hubungan kita dengan Allah di dalam Kristus dan tanpa dialog tidak ada hubungan yang dapat bertahan. Karena simbol-simbol liturgis mengekspresikan dan merayakan hubungan kita yang penuh kepercayaan dengan Allah, simbol-simbol liturgis juga menjadi sumber-sumber untuk meningkatkan kepercayaan, khususnya ketika dirayakan dalam komunitas yang saling mendukung. Akan tetapi kegiatan mempercayakan harus juga diekspresikan dan diwujudkan dalam cara kita menjalani eksistensi kita dari hari ke hari sebagai para peziarah dalam waktu.

3) Iman sebagai Kegiatan Melakukan (faith as doing)

Iman Kristen sebagai respons terhadap Kerajaan Allah dalam Kristus harus mencakup tindakan melakukan kehendak Allah. Respons Kristiani tidak hanya demi kepentingannya sendiri, tetapi juga demi sesama dan dunia, agar kehendak Allah dapat dilakukan di dunia. Bahkan dalam ekspresi-ekspresi yang paling keras dari tradisi kontemplatif, iman Kristen tidak pernah menarik diri dari dunia hanya untuk kesucian pribadinya sendiri, bahkan kehidupan doa kontemplatif dilakukan demi kemajuan Kerajaan Allah di dalam dunia (Groome, 2010: 91).

Mewujudkan iman siswa melalui PAK di sekolah dapat dilakukan dengan meneladani sikap dan tindakan Yesus dalam perbuatan sehari-hari di dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat luas. Di sekolah misalnya, siswa dapat mewujudkan iman yang dipercayainya dengan membantu teman yang sedang mangalami kesulitan. Membantu teman yang sedang mengalami musibah dan berkekurangan mewujudkan ajaran cinta kasih yang diajarkan Yesus.


(39)

Singkatnya iman yang hidup adalah tujuan terdekat pendidikan agama. Iman Kristiani yang diwujudkan dalam kehidupan manusia memerlukan sekurang-kurangnya tiga kegiatan, yaitu meyakini, mempercayakan dan melakukan. Melalui Kristus kita diundang Allah menuju ke arah iman yang dewasa. Para pendidik agama harus berusaha menuntun peserta didik ke luar ke arah tujuan itu.

c. Kebebasan Peserta Didik

Sikap bebas berarti kita tidak dikekang oleh satu barang atau hal dalam hidup kita, tetapi lebih bebas untuk memilih manapun yang sesuai dengan tujuan hidup kita.

Dengan mempertimbangkan bahwa kebebasan manusia adalah bagian integral dari tujuan kita, kita memiliki tugas menyediakan tradisi sedemikian rupa sehingga orang-orang dapat memakainya secara kritis dalam kehidupan mereka sebagai sumber kebebasan. Dengan kata lain kegiatan pendidikan kita harus dirancang untuk membantu mengembangkan tingkat kesadaran kritis orang Kristen menjadi lebih tinggi agar orang-orang kita dapat merespons tuntutan-tuntutan Kerajaan dalam konteks personal milik mereka sendiri, sosial, dan politik (Groome, 2010: 147).

Kebebasan manusia disini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan Pendidikan Agama Katolik yaitu demi terwujudnya Kerajaan Allah. Kebebasan peserta didik tidak sebebas-bebasnya melakukan apa yang mereka kehendaki. Kebebasan disini memiliki arti tidak ada paksaaan dalam melakukan tindakan, akan tetapi masih tetap ada batasan-batasannya. Misalnya, untuk pergi ke gereja setiap peserta didik memiliki kebebasan untuk pergi dan tidak. Tidak ada paksaan bagi peserta didik untuk ke gereja, namun sebagai umat Katolik tentunya mereka sadar bahwa pergi ke gereja merupakan kegiatan yang semestinya dilakukan tanpa ada unsur keterpaksaan. Kebebasan dalam peserta


(40)

didik tidak bersifat individual dan negatif, melainkan kebebasan yang menggunakan hati, jiwa dan suara hati.

Kegiatan Pendidikan Agama Katolik di sekolah membawa peserta didik untuk menemukan kebebasan yang mengarah pada Yesus Kristus. Pendidikan Agama Katolik di sekolah membantu kesadaran siswa untuk menyadari hadirnya Kerajaan Allah di tengah-tengah kehidupan mereka dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan Agama Katolik di sekolah diharapkan mampu mendorong dan membantu siswa untuk menuju pada kebebasan, yaitu kepada Allah, kepada diri sendiri dan sesama demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah. Melalui materi-materi dalam PAK siswa diharapkan menjadi sadar bahwa mereka merupakan ciptaan Allah yang serupa dengan Allah. Dengan demikian mereka sadar akan tugas mereka sebagai ciptaan. Siswa telah menyadari Kerajaan Allah hadir dan dapat terwujud di tengah-tengah mereka yang kemudian mendewasakan iman mereka. Menyadari hal itu maka siswa dapat mewujudkan rasa syukur kepada Allah melalui kehendak bebas, seperti terlibat dalam kegiatan menggereja. Kebebasan yang bersumber pada Yesus Kristus bukan berarti kebebasan yang absolut. Kebebasan yang bersumber pada Yesus justru kebebasan yang terbatas. Artinya adalah kita juga harus melihat kebebasan manusia yang lain sehingga tidak terjadi pelanggaran kebebasan dalam hidup berkomunitas. Semakin kita menyadari kebebasan yang bersumber pada Yesus Kristus maka kita juga akan menyadari arti kebebasan. Yesus sendiri dengan kehendak bebasnya memilih melakukan kehendak Allah yaitu mewartakan Kerajaan Allah. Kebebasan yang seperti itulah yang hendak kita capai yaitu kebebasan untuk melakukan Kehendak Allah demi terciptanya perdamaian dan kegembiran.


(41)

3. Konteks Pendidikan Agama Katolik

Di dalam Konteks Pendidikan Agama Katolik ada empat lembaga baik yang secara langsung dan tidak langsung terlibat di dalam penyelenggaraan pendidikan. Keempat lembaga tersebut yaitu keluarga, Gereja, masyarakat dan sekolah. Masing-masing lembaga memiliki kekhasan dan sumbangan yang tidak tergantikan. Keempatnya juga saling berhubungan dan saling mempengaruhi (Heryatno Wono Wulung, 2003: 49).

Groome (2010: 160) menyebutkan dan mengutarakan tiga konteks Pendidikan Agama Katolik di sekolah, yaitu proses sosial menjadi manusia, proses sosial menjadi Kristen dan pendekatan dialektis terhadap proses sosialisasi.

a. Proses Sosialisasi Menjadi Manusia

Sosialisasi adalah proses yang berlangsung lama sepanjang kehidupan karena kondisi kehidupan manusia selalu dijalani dalam solidaritas dengan manusia yang lain. Ada tiga gerakan dalam proses sosialisasi, yaitu eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi.

Eksternalisasi adalah kebutuhan semua manusia untuk bergerak keluar guna menjalin relasi dan membentuk kelompok. Di dalam hidup bersama, manusia membutuhkan orang lain. Manusia secara bersama saling membuat kesepakatan bersama agar hidup bersama dapat berjalan lancar. Dalam kebersamaan itu manusia saling memberi makna dan saling memperkembangkan. Dalam kebersamaan itu manusia melahirkan dan mengembangkan kebudayaannya.

Obyektifikasi merupakan proses di mana manusia secara bersama-sama menjaga dan memelihara tatanan dan kesepakatan hidup yang sudah ada. Tatanan


(42)

dan pandangan hidup, sistem nilai dan pola tingkah laku yang diharapkan harus diwujudkan dan dipenuhi agar hidup bersama dapat berkembang.

Sedangkan internalisasi merupakan proses di mana kita menjadikan sistem nilai dan pandangan hidup sebagai milik kita sendiri, sebagai bagian hidup atau sebagai landasan hidup kita sendiri yang membantu kita untuk sampai kepada identitas kita sendiri. Kita sungguh menjadi bagian masyarakat dan masyarakat menjadi bagian hidup kita.

b. Proses Sosialisasi Menjadi Kristiani dengan Tokoh-tokoh

Sejajar dengan sosialisasi menuju pribadi yang matang, untuk menjadi orang beriman yang mantab dan dewasa kita perlu berinteraksi dan bersosialisasi dengan hidup sesama jemaat lainnya. Melalui interaksi tersebut iman kita dibentuk dan diperkembangkan.

Di bawah ini akan disampaikan secara singkat beberapa tokoh yang menekankan pentingnya proses sosialisasi di dalam pendidikan jemaat beriman menuju iman yang mendalam dan dewasa.

1) Bushnell

Dia perancang Filsafat asuhan Kristen. Hal ini dilatarbelakangi dengan adanya paham revivalisme yang berkembang saat itu. Paham revivalisme ini menekankan pertobatan secara menyeluruh dalam waktu singkat karena manusia pada waktu itu sudah dianggap rusak total. Bushnell berpendapat bahwa pertobatan menyeluruh terjadi secara pelan-pelan yang dimulai dari keluarga (Groome, 2010: 171).


(43)

Orangtua memiliki tanggungjawab utama bagi perkembangan iman anak. Hal ini digambarkan oleh Bushnell melalui hubungan kesatuan organik seperti pohon menyatu dengan rantingnya. Begitu juga dengan keluarga, orangtua menyatu dengan anaknya. Jika iman yang dihidupi orangtua kuat, maka iman itu juga akan diajarkan dan ditiru oleh anaknya.

2) Coe

Jika Bushnell menekankan asuhan keluarga khususnya peran orangtua sebagai pendidik, Coe berpendapat bahwa penekanan tidak hanya pada orangtua tetapi seluruh jaringan interaksi sosial merupakan pendidik utama. Interaksi sosial merupakan inti Pendidikan Agama Kristiani yang tidak hanya sebagai proses tetapi juga sebagai isi. Coe mendorong para pendidik agama kristen untuk memperhatikan realitas sosial anak. Jika realitas sosial diterima dengan serius, maka kwalitas kehidupan tidak hanya sebatas keluarga saja tetapi juga pembaharuan dan rekonstruksi seluruh etos sosial (Groome, 2010: 173).

3) Nelson

Sebagaimana Bushnell meminta perhatian pada keluarga dan Coe pada etos sosial yang lebih luas, Nelson menekankan kekuatan yang membentuk dari seluruh komunitas Kristen. Baginya segala sesuatu yang dilakukan Gereja, seluruh caranya berada di dunia dan caranya berada bersama-sama, bersifat mendidik. Kita mendidik melalui keberadaan diri kita sebagai komunitas iman, dan kualitas kehidupan bersama kita adalah kurikulum utama kita (Groome, 2010: 175).

Nelson berpendapat bahwa peranan dan pentingnya sosialisasi untuk menjadi kristen. Pandangan ini diambil dari sisi antropologis yang menekankan transmisi kebudayaan untuk menganalisis transmisi iman. Kebudayaan


(44)

dikomunikasikan melalui proses sosialisasi yang membentuk sistem perseptif yang berhubungan dengan pandangan hidup, membentuk kesadaran yang sesuai dengan sistem nilai dan menciptakan identifikasi ini sebagai hasil dari hubungan-hubungan pribadi dalam kelompok sosial. Seluruh kegiatan yang ada dalam Gereja bersifat mendidik dan digunakan sebagai bahan pengajaran bagi peserta didik. Pendidikan Agama Kristiani sebagai komunitas iman mengajak peserta didik untuk terlibat di dalam sosialisasi menggereja.

4) Westerhoff III

Westerhoff merekomendasikan pendekatan sosialisasi/enkulturasi dalam Pendidikan Agama Katolik. Ia memahami bahwa pendidikan sebagai sebuah aspek sosialisasi yang mencangkup seluruh usaha yang dilakukan dengan sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan atau menimbulkan pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, tingkah laku dan kepekaan. Ia juga mengusulkan bahwa pendidikan iman tidak terpaku pada pendidikan di sekolah saja tetapi dalam komunitas juga bisa dilakukan pendidikan iman yaitu melalui katekese (Groome, 2010: 176).

5) Marthaler

Marthaler adalah pendukung pendekatan sosialisasi dalam pendidikan agama yang terkenal dari Katolik Roma, khususnya ketika pendekatan itu dipahami dalam tradisi Bushnell, Coe, Nelson dan Westerhoff. Marthaler menyatakan bahwa setiap perkembangan manusia adalah hasil dari sosialisasi (Groome, 2010: 178).


(45)

Setiap manusia merupakan makhluk hidup yang bersosialisasi dengan sesamanya. Begitu juga dalam proses menjadi pribadi orang beriman yang matang setiap individu perlu adanya relasi dengan sesama umat lainnya untuk menambah pengetahuan dalam imannya. Sosialisasi diperlukan untuk pertumbuhan iman sebagai pribadi. Komunitas iman diperlukan untuk menjadi anggota komunitas iman.

c. Pendekatan Dialektis terhadap Proses Sosialisasi

Pendidikan Agama Katolik tidak hanya merupakan proses sosialisasi, tetapi juga edukasi yang kritis yang memberdayakan dan yang bernilai emansipatif. PAK perlu berusaha supaya dapat meningkatkan hubungan yang bersifat dialektis antara jemaat dengan relitas sosialnya dan antar warga dengan jemaatnya. Dialektika mendorong Gereja untuk bersikap kritis pada dirinya sendiri dan pada tatanan hidup masyarakatnya. Dialektika juga memberdayakan Gereja untuk senantiasa memperkembangkan dirinya.

Singkatnya Pendidikan Agama Katolik membutuhkan konteks komunitas iman Katolik dan komunitas yang demikian membutuhkan kegiatan pendidikan yang kritis dan lebih daripada agen sosialisasi yang lain. Pendidikan Agama Katolik tidak hanya sebatas memberikan informasi kepada peserta didik, melainkan mendidik dan membentuk peserta didik yang memiliki sikap sosial. PAK mengupayakan hubungan yang bersifat dialogal transformatif pada peserta didiknya, sehingga peserta didik dapat mengalami perubahanyang mampu memperkembangkan dirinya menjadi individu yang semakin baik dan terus berkembang.


(46)

4. Model Pendidikan Agama Katolik

Dalam pembelajaran di sekolah, Pendidikan Agama Katolik menggunakan beberapa model untuk mengembangkan iman siswa. Model pembelajaran yang digunakan diharapkan sesuai dengan tujuan Pendidikan Agama Katolik untuk pengembangan iman siswa. Model merupakan salah satu pendekatan tertentu yang memiliki suatu kerangka tertentu untuk suatu proses kegiatan penyelenggaraan pendidikan dalam iman dengan langkah-langkah yang kurang lebih tetap. Heryatno Wono Wulung (2003: 62) mengemukakan ada empat model pendidikan iman, yaitu model transmisi/transfer, model yang berpusatkan pada hidup peserta, model praksis dan model pendidikan iman yang bersifat estetis. Disini penulis hanya menguraikan dua model Pendidikan Agama Katolik, yaitu model yang berpusat pada hidup peserta dan mdel prakis, karena kedua model tersebut sangat relevan dengan PAK pada zaman ini.

a. Model yang Berpusat Pada Hidup Peserta

Model pendidikan yang berpusatkan pada hidup peserta ini merupakan reaksi yang ekstrem terhadap model pendidikan yang bersifat dogmatis. Sifat yang ditekankan bukan kognitif melainkan kualitatif dan subyektif. Model ini melihat secara negatif model yang pendidikan yang bersifat obyektif dan cenderung kuantitatif. Dalam proses pendidikan yang ditekankan bukan menambah informasi, juga bukan menyampaikan materi sebanyak-banyaknya tetapi secara kualitatif berusaha memanusiakan manusia dan memperkembangkan kepribadiannya. Model ini dilatar belakangi oleh pemikiran beberapa ahli yang


(47)

menyatakan bahwa agama adalah jalan hidup yeng perlu dilaksanakan daripada serangkaian pernyataan yang hanya dipelajari dan diketahui (Heryatno Wono Wulung, 2003: 65).

Para pemikir dari model ini antara lain Ronald Goldman yang menekankan pentingnya proses pendidikan iman bertolak dari kebutuhan para siswa yang menjadi arah dasarnya. Menurut pandangannya kebutuhan hidup siswa harus menjadi pusat proses penyelenggaraan pendidikan keagamaan. Oleh karena itu, diharapkan supaya suasana menjadi lebih kondusif dan prosesnya sungguh-sungguh dapat memperkembangkan seluruh kehidupan peserta.

Selain Ronald Goldman ada juga Michael Grimitt yang menekankan segi afeksi. Michael Grimitt mengatakan bahwa inti agama dapat dijumpai di dalam hati dan hidup seseorang bukan pada pendalaman dogma dan sahadat iman yang sudah baku. Michael Grimitt menekankan pentingnya menyadari pengalaman yang bersifat substansial yang dapat menjadi sumber inspirasi bagi peserta didik supaya dapat sampai pada inti agama. Pengalaman mendasar itu antara lain seperti kematian, cinta, ketakutan, dan lain-lain.

Pemikiran Ronald Goldman tersebut mengajarkan bahwa inti dari PAK bukanlah semata berdasar pada hal teoritis saja, melainkan dari apa yang telah dialami dan dilakukan oleh peserta didik. Melalui pengalaman, siswa dapat belajar dari apa ynag pernah dialaminya. Dengan demikian siswa akan berfikir dengan lebih kreatif. Model pembelajaran ini juga sangat cocok digunakan untuk pencapaian keterlibatan siswa dalam hidup menggereja, karena pengembangan iman terjadi tidak hanya melalui ajaran saja melainkan perlu langsung diwujudkan dalam sebuah tindakan yang nyata.


(48)

b. Model Praksis

Istilah praksis pada model ini ialah sintesis antara teori yang ditekankan pada model transfer dengan pengalaman hidup yang digarisbawahi oleh metode yang berpusatkan pada hidup peserta. Pendidikan tidak akan bernilai kalau hanya menjejali peserta dengan sebongkah informasi atau memenuhi pikiran mereka dengan sikap-sikap kedewasaan iman yang stereotipe. Pendidikan harus memperluas wawasan konseptual mereka, meningkatkan kesadaran diri mereka dan sekaligus memberdayakan mereka untuk ikut memperjuangkan terwujudnya kehidupan bersama yang sejahtera, adil dan manusiawi. Perkembangan secara kualitatif hidup pribadi dan bersama itulah yang menjadi arah pendidikan (Heryatno Wono Wulung, 2003: 69).

Hubungan yang diharapkan pendidik dan peserta didik bukan guru dan murid seperti seorang penceramah dan pendengar, melainkan sebagai mitra yang bersama-sama mencari, meneliti dan menemukan. Sekolah menjadi komunitas yang bersama-sama belajar memperbaharui dan mengembangkan.

Pendidikan Agama Katolik di sekolah hendaknya tidak hanya menjadikan siswa sebagai pendengar setia saja yang hanya mendengarkan ceramah serta penjelasan dari guru, melainkan ikut serta bersama-sama mencari dan belajar menghadapi persoalan yang ada. Dalam model ini guru diharapkan bersikap kreatif dalam memproses pembelajaran. Misalnya dalam mencari dan mendalami makna kesengsaraan Yesus guru tidak langsung memberikan penjelasan tentang kesengsaraan, melainkan mengajak siswa mengerti tentang makna kesengsaraan melalui pengalaman yang pernah mereka alami.


(49)

5. Mitra-mitra dalam Pendidikan Agama Katolik

Mitra-mitra dalam Pendidikan gama Katolik adalah peserta didik dan para pendidik sebagai pelayan Pendidikan Agama Katolik. Groome (2010: 385) mengatakan peserta didik kita adalah subjek-subjek, bukan objek-objek. Semua peserta didik memiliki hak yang sama dalam pendidikan. Mereka bukan objek yang diperlakukan dan dibentuk seperti yang kita kehendaki, melainkan subjek-subjek yang dengannya kita mengadakan hubungan timbal balik dalam kesetaraan.

Peserta didik bukanlah objek dalam pembelajaran yang hanya mendengarkan apa yang kita katakan, melainkan subjek yang sama seperti kita yaitu manusia yang diciptakan Allah sesuai dengan gambar dan citra-Nya. Setiap peserta didik memiliki hak yang sama dalam pendidikan. Jadi sebagai para pendidik kita tidak boleh memandang sebelah mata dalam mengadakan hubungan timbal balik dan kesetaraan pada siswanya. Guru dan siswa bersama-sama mencari melalui pengalaman-pengalaman hidup yang telah dialami.

B. HIDUP MENGGEREJA 1. Arti dan Makna Gereja a. Asal Usul dan Arti Katanya

Kata Gereja berasal dari kata igreja dibawa ke Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata tersebut adalah berasal dari bahasa Portugis untuk kata Latin ecclesia, yang ternyata berasal dari bahasa Yunani ekklesia. Gereja atau ekklesia bukan sembarang kumpulan, melainkan kelompok orang yang sangat khusus. Gereja adalah umat yang dipanggil Tuhan (KWI, 1996: 332).


(50)

Arti Gereja di sini bukanlah hanya sebuah bangunan dan tempat kita untuk berdoa kepada Yesus saja, melainkan Gereja berarti umat yang dipanggil oleh Tuhan. Umat yang bersatu dan berkumpul dalam persekutuan itulah yang disebut Gereja. Gereja adalah aku, kamu dan kita semua. Oleh karena itu kita semua harus tetap menjaga keutuhan dan perkembangan Gereja itu sendiri.

b. Pengertian Gereja dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja

Gereja bukan hanya sekedar definisi belaka. Pada zaman para rasul, jemaat perdana memahami diri dan merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka. Mereka menjadi jemaat atau Gereja karena iman mereka akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan kebangkitan-Nya. Gereja adalah jemaat Allah yang dikuduskan dalam Kristus Yesus. Ada empat nama yang dipakai untuk Gereja dalam Perjanjian Baru, yaitu Umat Allah, Tubuh Kristus dan bait Roh Kudus (KWI, 1996: 333).

1) Gereja sebagai Persekutuan Umat Allah

Oleh Konsili Vatikan II (LG, art. 9) sebutan “Umat Allah” amat dipentingkan khususnya untuk menekankan bahwa Gereja bukanlah pertama-tama suatu organisasi manusiawi melainkan perwujudan karya Allah yang konkret (KWI, 1996: 333).

Gereja muncul dan tumbuh dari sejarah keselamatan, yang sudah dimulai dengan panggilan Abraham. Konsili Vatikan II menekankan bahwa Gereja mengalami dirinya sungguh erat hubungannya dengan umat manusia serta sejarahnya. Konsili Vatikan II melihat Gereja dalam rangka sejarah keselamatan,


(51)

tetapi tidak berarti bahwa Gereja hanyalah lanjutan bangsa Israel saja. Kedatangan Kristus memberikan arti yang baru kepada umat Allah.

Gereja sungguh merupakan satu Umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Purba, yang imannya kita anut sampai saat ini. Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam seolah-olah hanya merupakan tambahan, pendengar dan pelaksana (Komkat KWI, 2007: 11).

Gereja sebagai Umat Allah diartikan bahwa Gereja adalah semua umat Allah yang ada di dunia ini. Umat Allah yang berkumpul dalam persekutuan adalah sebuah Gereja yang didalamnya terdapat biarawan-biarawati dan kaum awam yang memiliki tugas dan peran yang sama.

2) Gereja Tubuh Kristus

Sebutan yang lebih khas Kristiani adalah Tubuh Kristus. Paulus menjelaskan maksud kiasan itu. Dalam Efesus 4:16 dikatakan bahwa Kristus adalah Kepala. Daripada-Nyalah seluruh tubuh yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.

Dalam arti sesungguhnya proses pembentukan Tubuh baru dimulai dengan peninggian Yesus, yaitu dengan wafat dan kebangkitan-Nya. Tetapi itu tidak berarti bahwa sabda dan karya Yesus sebelumnya tidak ada sangkut-pautnya dengan pembentukan Gereja. Memang tidak dapat ditentukan tanggal Yesus mendirikan Gereja, tidak ada Hari Proklamasi Gereja. Gereja berakar dalam seluruh sejarah keselamatan Tuhan, dan terbentuk secara bertahap. Dalam proses pembentukan itu wafat dan kebangkitan Kristus beserta pengutusan Roh Kudus merupakan peristiwa-peristiwa yang paling menentukan. Sebelumnya sudah ada kejadian yang amat berarti, misalnya panggilan kedua belas rasul dan


(52)

pengangkatan Petrus menjadi pemimpin mereka. Peristiwa terakhir itu dalam Injil Matius dihubungkan secara khusus dengan pembentukan Gereja: “Engkaulah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku” (Mat 16:18). Namun banyak orang berpendapat bahwa sabda Yesus ini pun tidak berasal dari situasi sebelum kebangkitan-Nya.

3) Gereja Bait Roh Kudus

Gambaran Gereja yang paling penting barangkali Gereja sebagai Bait Roh Kudus. Di dalam Gereja orang diajak mengambil bagian dalam kehidupan Allah Tri Tunggal sendiri. Gereja itu Bait Allah bukan secara statis melainkan dengan berpartisipasi dalam dinamika kehidupan Allah sendiri.

Gereja itu Bait Allah yang hidup dan berkembang. Gereja dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan yang rapi tersusun menjadi Bait Allah yang kudus di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh (Ef 2:20-22). Jelas sekali bahwa semua gambaran tidak cukup untuk merumuskan jati diri Gereja dengan tepat. Oleh karena itu Gereja tidak hanya memakai gambaran yang diambil dari Kitab Suci. Usaha memahami makna Gereja yang terdalam dijalankan terus. Khususnya oleh Konsili Vatikan II Gereja dimengerti dengan gambaran yang lain, yakni sebagai misteri, sakramen, dan communion.

4) Gereja Misteri dan Sakramen

Gereja itu misteri dan sakramen sekaligus. Adapun serikat yang dilengkapi dengan jabatan hierarkis dan Tubuh mistik Kristus, kelompok yang tampak dan


(53)

persekutuan rohani. Kata misteri berasal dari bahasa Yunani mysterion yang sebetulnya sulit untuk diterjemahkan, sebab dalam Perjanjian Lama disebut Septuaginta. Sebetulnya kata Yunani mysterion sama dengan kata Latin sacramentum. Dalam Kitab Suci kedua-duanya dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang disingkapkan kepada manusia. Sebetulnya kedua kata itu sama artinya, hanya lain bahasanya. Tetapi dalam perkembangan teologi kata misteri dipakai terutama untuk menunjuk pada segi Ilahi rencana dan karya Allah. Gereja disebut misteri karena hidup Ilahinya yang masih tersembunyi dan hanya dimengerti dalam iman.

Sakramen itu sendiri merupakan tanda dan sarana persatuan mesra umat manusia dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia (Banawiratma, 1986: 26). Tanda dan sarana persatuan dengan Allah lahir melalui sengsara Yesus yang menderita dan wafat di kayu salib. Dengan sengsara dan wafat Yesus di kayu salib manusia dihapuskan dosa-dosanya, menjadi pribadi baru dan dipersatukan dengan Allah.

Segala hal yang baik, yang oleh umat Allah dapat diberikan kepada keluarga manusia selama ziarahnya di bumi ini, berasal dari kenyataan bahwa Gereja adalah sakramen keselamatan yang universal, karena memperlihatkan dan sekaligus mewujudkan misteri cinta kasih Alah kepada manusia (LG, art. 48).

5) Gereja sebagai Persekutuan

Kata Comumunion merupakan terjemahan latin dari kata Yunani koinonia, yang artinya hubungan atau persekutuan dengan Allah melalui Yesus Kristus dalam sakramen-sakramen. Dari pihak lain, paham communio juga mendasari


(54)

komunikasi di antara para anggota Gereja sendiri. Oleh karena itu kesatuan communio ini berarti keanekaragaman para anggotanya dan keanekaragaman dalam cara berkomunikasi sebab Roh Kudus yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu. Dalam arti yang sesungguhnya communio atau persekutuan Gereja adalah hasil karya Roh di dalam umat beriman (LG, art. 4).

Gereja janganlah dilihat dalam dirinya sendiri saja. Dengan paham communio Gereja juga dilihat dalam hubungannya dengan orang Kristen yang lain, bahkan dengan seluruh umat manusia. Gereja tidak tertutup dalam dirinya sendiri. Memang Gereja mempunyai banyak sifat yang khusus dan tampil sebagai agama Kristen atau bahkan sebagai agama Katolik. Namun kalau Gereja memahami diri dalam kerangka seluruh sejarah keselamatan, juga sebagai agama harus memperhatikan hubungan dengan kelompok keagamaan yang lain. Sebagai agama Gereja mewujudkan diri secara historis dalam rangka sosio-kebudayaan tertentu, dan ada bahaya bahwa Gereja terikat oleh unsur-unsur kebudayaan itu. Oleh karena itu amat penting, dengan communio dan komunikasi dipertahankan keterbukaan Gereja terhadap hal-hal yang baru, juga terhadap pemahaman diri yang baru.

2. Model-Model Gereja

Komisi Kateketik KWI (2007: 17) mengatakan ada dua model Gereja dewasa ini, yaitu gereja institusional hierarkis piramidal dan Gereja sebagai persekutuan umat.


(55)

a. Gereja Institusional Hierarkis Piramidal

Model Gereja hierarkis piramidal sangat menonjol dalam organisasi lahiriah yang berstruktur piramidal tertata rapi, kepemimpinan tertahbis atau hierarki hampir identik dengan Gereja itu sendiri, hukum dan peraturan digunakan untuk menata dan menjaga kelangsungan suatu institusi, sikap yang agak triumfalistik dan tertutup (Komisi Kateketik KWI, 2007: 17).

Model Gereja hierarkis ini melibatkan pejabat Gereja saja, umat tidak dapat terlibat secara langsung dalam Gereja. Segala sesuatu tentang Gereja masih dikuasai oleh pejabat Gereja. Gereja juga bersikap tertutup terhadap umatnya dalam menjalankan tugas-tugas Gereja. Kepemimpinan dari model Gereja yang Hierarkis ini juga terstruktur rapi dari pimpinan tertinggi Gereja Katolik, yaitu Bapa Paus.

b. Gereja sebagai Persekutuan Umat

Model Gereja sebagai persekutuan umat sangat menonjol dalam hidup persaudaraan karena iman dan harapan yang sama, keikutsertaan semua umat dalam hidup menggereja, hukum dan peraturan dijalankan berdasarkan hati nurani dan tanggung jawab pribadi, sikap miskin, sederhana dan terbuka (Komisi Kateketik KWI, 2007: 17).

Dalam model Gereja ini umat dapat terlibat langsung dalam kegiatan Gereja dan mengambil tugas dalam perkembangan serta kemajuan Gereja. Tidak seperti model Gereja yang Hierarkis dimana umat tidak bisa mengambil bagian dalam tugas Gereja, model Gereja ini membuat umat semakin berkembang dan merasa bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai pengembang Gereja. Gereja sebagai


(56)

persekutuan umat ini berkembang sampai sekarang. Di sini bukan hanya pejabat saja yang terlibat dalam hidup Gereja, melainkan seluruh umat. Dengan model Gereja persekutuan umat, mulai banyak terbentuk persekutuan-persekutuan dan kelompok yang semakin mempererat umat dan mampu mengembangkan Gereja. Begitu juga dengan siswa yang dapat terlibat dalam hidup menggereja, sebagai tanggung jawabnya untuk mengembangkan Gereja.

3. Pengertian Hidup Menggereja

Hidup menggereja adalah hidup menampakkan iman kepada Yesus Kristus. Jadi setiap kegiatan menampakkan iman adalah hidup menggereja (Suhardiyanto, 2005: 3). Jika seorang remaja menampakkan imannya di lingkungan masyarakat dengan membantu orang lain yang kekurangan, maka ia menampakkan imannya di dalam masyarakat. Begitu juga saat siswa dapat menghargai dan berteman dengan siapapun tanpa membedakan agama di lingkungan sekolah ia telah menampakkan iman di lingkungan sekolah. Suhardiyanto (2005: 3) juga mengemukakan pengertian hidup menggereja dalam arti yang lebih luas, yaitu perwujudan iman dalam hidup sehari-hari baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Kedua pengertian tersebut terjadi karena adanya perkembangan pemahaman. Perkembangan pemahaman para teolog dan para ahli Kitab Suci yang kurang lebih menjadi jangkauan di dalam pendidikan hidup menggereja.

Hidup menggereja dapat diwujudkan oleh siapa pun, kapan pun dan dimana pun pada sekelompok orang yang menampakkan imannya kepada Kristus. Hidup menggereja juga dapat ditunjukkan melalui kegiatan dengan orientasi baru dalam situasi dan kesadaran menanggapi situasi pada saat ini. Hidup menggereja akan


(1)

Lampiran 6: Daftar Nama Responden 1. Verena Devi Andini

2. Lusiana P 3. Feronica Dian 4. Pauline Lidya Laura 5. Stevanus Panji

6. Natasya Leony Agus Putri 7. Antonius Heru Darmawan 8. Patricius Luky

9. Yohana Natalia Andaresta 10.Maria Chrisma Shintya 11.Yohanes Wahyu Edi 12.Marcelinus Beni

13.Margareta Dewanti Findasari 14.Meidyana D


(2)

Lampiran 7: Visi dan Misi SMP Negeri 4 Purworejo

SMP Negeri 4 Purworejo yang terletak di JI. Jenderal Urip Sumoharjo No. 62 Purworejo, merupakan sekolah berstandar nasional berdasarkan SK Mendikbud No. 960/C.3/kp/2005 Sekolah kami memiliki VlSI “CANTIK” (Cerdas, sANtun, Taqwa, Inovatif dan Kompetitif) dengan indikator Vlsi sebagal berikut:

1. Terwujudnya pendidikan yang menghasilkan lulusan yang kompetitif.

2. Terwujudnya pendidikan yang bermutu baik akademik maupun non akademik. 3. Terwujudnya pendidikan yang adil dan merata.

4. Terwujudnya pendidikan yang transparan, akuntabel, partisipatif dan efektif Untuk mewujudkan visi tersebut, maka sekolah memiliki misi sebagai berikut: 1. Mewujudkan pendidikan yang menghasilkan lulusan cerdas, terampil, beriman, bertaqwa, santun dan memiliki keunggulan yang kompetitif.

2. Mewujudkan pendidikan yang bermutu, efisien, disiplin dan relevan. 3. Mewujudkan pendidikan yang adil dan merata.

4. Mewujudkan sistim pendidikan yang transparan, akuntabel, partisipatif, dan efektif.


(3)

Lampiran 8: Wawancara Penulis dengan Ibu Murni Mengenai SMP Negeri 4Purworejo

1. Kapan SMP Negeri 4 Purworejo pertama kali didirikan?

Dari arsip sekolah menunjukkan bahwa SMP Negeri 4 Purworejo didirikan pada tanggal 1 Agustus 1958 dengan SK NO: 187/SK.B.III / 25 Mei 1960 dengan nama SLTP Negeri 3 Purworejo. Pada tanggal 19 Desember 2001 SLTP Negeri 3 Purworejo berganti nama menjadi SMP Negeri 3 Purworejo dengan SK NO: 061 / 6/ 09. Setelah berjalan tiga tahun dengan nama SMP N 3 Purworejo, pada tanggal 7 Februari 2004 di ubah dari SMP N 3 menjadi SMP N 4 Purworejo dengan SK NO: 422/ 568/ 2003. Perubahan nama dari SMP N 3 menjadi SMP N 4 berdasarkan urutan didirikannya sekolah.

2. Bagaimana sejarah mengenai berdirinya SMP Negeri 4 Purworejo?

Mengenai sejarah pembangunannya sendiri, SMP Negeri 4 Purworejo memiliki sejarah yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum.

3. Bagaimana gambaran tata ruang dan vasilitas di SMP Negeri 4Purworejo? Gedung SMP Negeri 4 Purworejo membentang dari utara ke selatan yang terletak di jalan Urip Sumoharjo No.62 Purworejo. Letaknya yang sangat strategis membuatbuat SMPN 4 menjadi salah satu SMP yang banyak diminati oleh siswa baru.

Gedung yang ada merupakan bangunan yang berlantai satu dan berlantai dua. Jika digambarkan menggunakan denah, tata gedung di SMPN 4 Purworejo terlihat sedikit rumit, karena tata letaknya yang berbelak-belok. Setelah memasuki gerbang utama terdapat ruang penjaga sekolah di sebelah kanan dan parkiran bagi guru, karyawan dan para tamu di sebelah kiri. Setelah itu akan ada ruang TU dan kepala sekolah di sebelah kanan serta ruang guru di sebelah kiri. Di ruang TU terdapat benyak piala yang merupakan hasil dari prestasi para siswa SMPN 4 Purworejo. Ruang TU juga digunakan siswa untuk mengurus pembayaran dan administrasi sekolah. Ruang guru yang ada terlihat sedikit sumpek, karena banyaknya guru dengan meja dan tumpukan buku yang ada, meskipun demikian suasanya masih terlihat nyaman jika siswa masuk kesana. Ada dua puluh satu ruang kelas untuk kelas VII, VIII dan IX.

SMPN 4 Purworejo mempunyai dua ruang laboraturium, yaitu laboraturium IPA dan bahasa. Ruang komputer terlihat sangat rapi dan nyaman dengan jumlah komputer yang sangat memadai bagi siswa. Ruangan yang ber AC juga membuat siswa bertambah semangat dan nyaman pada saat pelajaran komputer. Perpustakan sekolah menyediakan buku-buku pelajaran serta buku-buku penunjang lainnya yang dapat dipinjam oleh siswa. Terdapat tatanan meja dan kursi yang rapi di dalam perpustakan untuk belajar siswa. Di antara ruang kelas VII terdapat ruang untuk menyimpan alat-alat drum band. Di antara ruang kelas VIII terdapat ruang seni musik untuk pelajaran seni musik. Terdapat tiga kantin yang luas untuk istirahat siswa pada saat jam istirahat. Ada juga ruang UKS yang digunakan untuk ekstra PMR dan siswa yang sakit di sekolah. Toilet, ruang ganti


(4)

VCD yang digunakan sebagai media belajar siswa. Ada satu kipas angin yang terdapat di setiap ruang kelas.

4. Bagaimana prestasi dari SMP Negeri 4 Purworejo sendiri?

Masa kejayaan SMP N 4 dimulai sejak tahun 2005 pada saat dipimpin oleh Dra. Susini. Mulai saat itu prestasi sekolah mulai meningkat. Tidak hanya dalam hal prestasi, melainkan dalam hal pembangunan fisik sekolah serta sarana dan prasarana sekolah. SMP N 4 Purworejo juga sering dijadikan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan dan seminar tingkat daerah, bahkan pernah menjadi penyelenggara untuk penyuluhan perakitan komputer bagi para guru se kabupaten Purworejo. Dari tahun 2010 hingga sekarang SMP N 4 Purworejo menjadi sekolah favorit kedua di Purworejo yang di kepalai oleh bapak Muh. Syaifudin, M.Pd.

5. Siapa saja yang membantu bapak kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya?

Dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala sekolah bapak Muh. Syaifudin dibantu oleh tiga orang wakil kepala sekolah, yaitu bapak Sutrisno, S.Pd, bapak Drs. Pawitno dan ibu Emi Nurhidayati.

6. Berapa jumlah guru dan karyawan keseluruhan di SMP Negeri 4 Purworejo?

Seluruh tenaga pendidik dan karyawan yang ada di SMP N 4 Purworejo berjumlah 43 orang. 34 orang tenaga pendidik, 4 orang karyawan tata usaha, 2 orang penjaga keamanan dan 3 orang petugas kebersihan sekolah. Selama ini organisasi yang ada di SMP N 4 Purworejo berjalan dengan cukup baik. Hal ini ditandai dengan belum adanya permasalahan yang serius tentang pengorganisasian yang berada di bawah struktur sekolah SMP N 4 Purworejo. Relasi antara guru, karyawan dan peserta didik terjalin baik dengan adanya kerja sama yang baik antara satu dengan yang lain.

7. Berapa jumlah keseluruhan siswa di SMP Negeri 4 Purworejo?

Jumlah siswa keseluruhan di SMP Negeri 4 Purworejo pada tahun pelajaran 2014/2015 berjumlah 714 orang. Kelas VII berjumlah 238, kelas VIII berjumlah 238 dan kelas IX berjumlah 238, dimana masing-masing kelas berjumlah 34 siswa. Awalnya jumlah siswa setiap kelasnya berjumlah 40 siswa, namun sejak tahun 2011 jumlah siswa setiap kelasnya dikurangi menjadi 34 siswa untuk efektifitas belajar. Dari 714 siswa, siswa yang beragama Katolik berjumlah 15 orang dan Kristen 12 orang.

8. Bagaimana komunikasi siswa Katolik di SMP Negeri 4 Purworejo?

PAK di SMP N 4 Purworejo diberikan setiap hari Jumat setelah jam pulang sekolah. Biasanya PAK dilakukan di salah satu ruang kelas dan pengajarannya dicampur antara kelas VII, VIII dan IX. PAK disini diberikan oleh bapak Fran Jumino, yaitu seorang Katekis Voluntir di Gereja Santa Perawan Maria Purworejo. PAK di sekolah tidak diajarkan pada saat jam efektif, karena kesibukan dari


(5)

pendidik yang juga bekerja sebagai asisten Romo di pengobatan Romo Lukman Purworejo. Pelajaran PAK hanya diberikan kurang lebih enam puluh menit setiap Minggunya. Selama pelajaran PAK relasi antara siswa di kelas terjalin cukup baik. Setiap satu tahun sekali siswa Katolik di SMP N 4 bersama-sama merayakan Natal bersama dengan siswa Katolik dari SMP-SMP lainnya di Purworejo.

9. Bagaimana mengenai peraturan dan tata tertib di SMP Negeri 4 Purworejo?

a) Kehadiran di sekolah

 Para siswa hadir di sekolah lima belas menit sebelum jam belajar dimulai

 Jika terlambat siswa wajib melapor guru piket ataupun petugas untuk memperoleh ijin mengikuti pelajaran

 Jika berhalangan hadir, siswa perlu mengirim surat permohonan ijin tidak masuk sekolah dengan sepengetahuan oranrtua atau wali dan jika sakit lebih dari tiga hari harus mengirim surat keterangan dokter

 Jika siswa meninggalkan sekolah untuk sementara, perlu meminta ijin kepada guru piket.

b) Penampilan di Sekolah

 Para siswa wajib berpakaian seragam dengan bersih dan rapi. Hari Senin dan Selasa kelas IX menggunakan baju putih lengan pendek dan bawahan celana atau rok pendek, sedangkan kelas VII dan VIII menggunakan baju putih lengan pendek dan bawahan celana atau rok panjang. Hari Rabu dan Kamis kelas VII dan VIII menggunakan seragam identitas biru dan bawahan panjang, sedangkan kelas IX menggunakan seragam identitas merah putih kotak-kotak dan bawahan pendek. Hari jumat dan sabtu kelas VII dan VIII menggunakan seragam pramuka dan celana panjang baik siswa maupun siswi, sedangkan kelas IX menggunakan seragam pramuka dan bawahan celana atau rok pendek.

Baju seragam dilengkapi dengan badge Osis, identitas sekolah, kelas dan nama..

Siswa wajib menggunakan badge atau pin bendera merah putih di atas saku.

 Siswa diwajibkan menggunakan ikat pinggang dan kaus kaki yang berlogo atau bertuliskan SMP N 4 Purworejo.

 Rambut harus rapi dan bagi putra tidak boleh gondrong.  Siswa tidak perlu menggunakan perhiasan yang berlebihan. c) Kegiatan Belajar Mengejar

 Setiap hari kegiatan belajar mengajar dimulai pukul 07.00 dan jika ada pelajaran tambahan di pagi hari untuk kelas IX, maka kegiatan belajar mengajar dimulai pukul 07.15 untuk kelas VII dan VIII.


(6)

 Jam efektif belajar setiap harinya dimulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.30, kecuali hari Jumat dimulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 11.00.

 Saat pelajaran olah raga siswa menggunakan seragam olah raga atau kaos yang ditentukan.

 Setiap siswa berhak menggunakan fasilitas media yang disediakan, namun tidak diperbolehkan untuk penggunaan di luar jam pelajaran.