Lekra dan Perjuangan Kelas

Budaya yang dieditori oleh Taufiq Ismail dan DS Moeljanto. 35 Alexander Supartono, 36 lebih menganggap peran dua penyusun tersebut sebagai editor, bukan kolektor dari dokumen kliping koran, majalah dan makalah kebudayaan pada tahun 1960an. 37 Artinya, alih-alih ingin mengabarkan polemik kebudayaan pada saat itu, kedua orang yang menganggap dirinya sebagai editor itu justru membangkitkan sentimen para pembaca. Setelah peristiwa 65, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Lekra mengalami nasib yang sama, dilarang beredar, dilarang terbit, dilarang dibaca oleh siapapun. Kehancuran Lekra bersamaan dengan hancurnya PKI. Ia distigma sebagai PKI. Lebih sadisnya, tidak hanya karya yang menjadi sasaran, melainkan juga sastrawannya. 38 Lekra terkena karma atas ideologi yang diusungnya sendiri. Peristiwa itu menyisakan trauma mendalam, bahkan untuk menyebut dirinya sebagai anggota kelompok. Banyak sastrawan Lekra yang tak berani bersuara, salah satunya adalah Sugiarti Siswadi. Ia memilih diam, hingga namanya menghilang.

B. Lekra dan Perjuangan Kelas

Kata ―Rakyat‖ disebut dalam kalimat awal di Mukadimah Lekra. Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan Lekra adalah pada rakyat. Rakyat yang dimaksud adalah massa rakyat pekerja, masyarakat kelas bawah; tani, buruh, dan ditambahkan satu lagi oleh D.N. Aidit, yaitu prajurit. 35 Taufiq Ismail dan DS Mulyanto [ed]. 1995. Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif LekraPKI dkk. Jakarta: Mizan dan HU Republika. 36 Alexander Supartono. Hal 35. 37 Data-data dalam buku tersebut sebagian juga diambil dari laporan tim riset Manikebu. 38 Asep Samboja. 2010. Hal 33. Tiga tulisan Aidit dalam KSSR, seluruhnya mengacu kerja sastrawan dan seniman untuk mengabdi kepada massa rakyat pekerja. Masing-masing judul pidato itu adalah ―Dengan Sastra dan Seni Jang Berkepribadian Nasional Mengabdi Pada Buruh, Tani dan Pradjurit, Menjelesaikan Revolusi Nasional- Demokratis dalam Menuju ke Sosialis me‖, ―Pengintegrasian Sastrawan dan Seniman dengan Massa Rakjat Pekerdja Merupakan Sjarat Mutlak dalam Melaksanakan Garis Politik jang Tepat dengan Penuangan dalam Bentuk Artistik jang Tingggi‖, dan ―Kibarkan Tinggi-Tinggi Pandji Pertempuran Dibidang Sastra dan Seni Revolusioner‖. Dalam ketiga tulisan tersebut —dua sebagai teks pidato dan satunya sebagai lampiran jawaban atas pertanyaan peserta pada KSSR —Aidit menarik benang merah antara kerja yang harus dilakukan oleh sastrawan dan seniman dengan prinsip PKI. Tiga prinsip PKI yang dikemukakan oleh Soekarno adalah 1 berdaulat dibidang politik, 2 berdiri diatas kaki sendiri dibidang ekonomi, dan 3 berkperibadian dibidang kebudajaan. 39 Pokok dari pembicaraan Aidit di atas adalah: 1. KSSR mempunyai arti politik yang besar bagi PKI; 2. Kepribadian adalah tanda kekreatifan; 3. Mendorong upaya sastrawan dan seniman untuk menciptakan karya- karya yang bersemangat revolusioner; 4. Mendorong mutu pribadi sastrawan dan seniman agar lebih baik daripada mutu kerjanya ; 5. Mendorong sastrawan dan seniman untuk terus melakukan turba. Turba bukan pekerjaan musiman; 6. Menegaskan kembali bahwa massa rakyat pekerja sebagai sumber inspirasi dan sumber kreasi yang sesungguhnya; 7. Terus memperkuat persatuan sastrawan dan seniman dengan partai, klas buruh, rakyat pekerja dan nasion; 8. Pentingnya Marxisme-Leninisme dalam kerja sastra dan seniman; 39 Aidit, 1964. Hal 16. 9. Memerangi kelompok yang kontrarevolusioner; 10. Merampung tugas-tugas Revolusi 1945 sampai ke akar-akarnya dalam perjuangan menuju sosialisme. Pokok pemikiran Aidit di atas sebagai pematangan atas kerja sastrawan dan seniman Lekra pasca-KSSR. Selanjutnya, kecondongan karya-karya yang dihasilkan Lekra dapat ditarik benang merah dengan pedoma Lekra nomor lima, yaitu realisme sosial. Yaitu realisme yang dasarkan pada tujuan sosialisme dengan bersandar pada Manipol. Pokok pandangan realisme sosial merupakan terusan dari filsafat materialisme yang diramu dari pandangan sosialisme ilmiah materialisme, dialektik, historis. Dengan realisme sosial ini, kemampuan melihat kontradiksi dalam menghadapi kompleksitas masalah masyarakat membawa sastrawan dan seniman Lekra tak dikepung kebingungan. Kontradiksi yang dimaksud adalah kontradiksi struktural fundamental dalam kehidupan sosial antara kelas penghisap dan kelas terhisap, kelas penindas dan kelas tertindas, serta golongan-golongan yang terlibat di dalamnya. Realisme sosial mempertegas pemihakannya atas kelas paling dirugikan dalam struktur dialektik masyarakat. 40 Syarat utama yang diperlukan oleh realisme sosial ialah tak hanya kepercayaan bahwa rakyat yang nyata bisa memenangkan sistem sosialisme, melainkan juga mampu menggali dan memberi analisa rasional bagaimana sistem dapat ini keluar sebagai pemenang di lapangan politik. 41 Bicara realisme sosial, kita musti membayangkan kerja Maxim Gorki. Dalam percaturan kesusastraan Rusia, ia kerap diposisikan sebagai jembatan 40 Pramoedya Ananta Toer dalam makalah Realisme Sosial dan Sastra Indonesia: sebuah tinjauan sosial. Disampaikan dalam seminar Fakultas Sastra UI, 26 Januari 1963. Hal 31. Makalah ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Lentera Dipantara pada tahun 2004. 41 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 31. realisme yang berhenti pada kritik atas realitas-realitas yang lahir dari tangan seorang pekerja. Ia tak hanya menggambarkan protes, kesedihan, sedu dan sedan, tapi juga melukiskan ketegaran juang menghabisi yang lama dan membangun yang baru. 42 Dari pandangan realisme sosial di atas, karya-karya Lekra menemukan bentuknya yang berintegrasi dengan massa rakyat pekerja. Hal ini terlihat dalam beragam tema yang digarap. Di antaranya adalah 1 perang rakyat Indonesia melawan pemerintah kolonial, 2 perlawanan terhadap feodalisme, 3 penderitaan rakyat jelata kemiskinan, 4 perjuangan buruh, tani, nelayan, 5 antiimperialisme, antikolonialisme, anti-Amerika, 6 sengketa landreform UUPA dan UUPBH, 7 prajurit yang prorakyat, 8 revolusi Indonesia, 9 propaganda partai, dan 10 wacana agama dan mistik. Setelah rangkaian tulisan Aidit di atas, KSSR yang diselenggarakan pada 27 Agustus sampai dengan 2 Agustus 1964 menghasilkan suatu resolusi. Baiklah dikutip kesepakatan peserta KSSR yang dimuat dalam Harian Rakyat 4 September 1964 dan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Jajasan Pembaruan pada Desember 1964, Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner KSSR jang diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 1964 sampai dengan 2 September 1964 di Djakarta, setelah mempeladjari dan mendiskusikan referat Kawan Ketua D.N. Aidit jang berjudul ―Dengan Sastra Dan Seni jang Berkepribadian Nasional Mengabdi Buruh, Tani dan Pradjurit ‖ dan setelah mendengarkan pandangan-pandangan para peserta; memutuskan menjetudjui sepenunja referet tersebut. Konfernas menginstruksikan kepada setiap sastrawan dan seniman Komunis serta mengadjak kepada sastrawan dan seniman revolusioner lainnja untuk mendjadikannja sebagai pegangan dan pedoman 42 Ibid. hal 121. dalam membina dan mengembangkan sastra dan seni jang berkepribadian buruh, tani dan pradjurit. Pokok dari pidato D.N Aidit selaku ketua partai, menekankan adanya pengabdian yang tinggi oleh sastrawan dan seniman kepada massa rakyat pekerja, dalam hal ini adalah buruh, tani, dan prajurit tanpa mengesampingkan profesi lainnya. Secara panjang lebar ia menjelaskan bagaimana pengabdian itu harus terus dipupuk. Jika diperhatikan dengan seksama, dalam teks pidatonya tersebut, Aidit menuliskan Rakyat dengan ―R‖ besar. Ini menegaskan bahwa pengintegrasian antara sastrawan dan seniman dengan rakyat sangat diperhitungkan. Dikatakan demikian karena ―rakjat pekerdja sebagai pentjipta sedjarah, disamping arti manusia sebagai produk sedjarah‖. 43 Untuk ituk azas ―Seni untuk Rakyat‖ dengan gigih terus dikibarkan guna meruntuhkan panji-panji reaksioner. Aidit mengharapakn adanya karya-karya yang dapat menggugah hati rakyat dan dapat dengan mudah dipahami oleh rakyat. Dengan demikian sastrawan dan seniman akan memiliki ―pendirian dan sikap jang tepat‖. Pendirian yang maksud adalah ―pendirian proletariat‖. Penekanan Aidit selanjutnya adalah pada sastra dan seni yang berkepribadian. Menurutnya, sastra dan seni yang berkepribadian adalah yang lahir dan mengakar ke dalam bumi Indonesia. Ia menuliskan, Jang kita maksudkan dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional adalah sastra dan seni yang lahir dari tradisi patriotisme revolusioner Rakyat Indonesia sendiri, jang mencerminkan tradisi dan adat-istiadat bangsa sendiri, bertema nasional dan melukiskan aspirasi-aspirasi nasional Rakyat Indonesia jang revolusioner. 44 43 Ibid, hal 49 44 DN. Aidit. 1964. Tentang Sastra dan Seni. Jakarta: Jajasan Pembaruan. Hal 21. Dalam posisi ini, Aidit dengan gencar mengatakan di setiap sambutannya pada KSSR tersebut, bahwa hal-hal yang berasal dari Barat khususnya imperialis Amerika Serikat adalah musuh. Tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, melainkan juga bidang ilmu, film, musik dan lektur. Maka sastra dan seni harus tampil dengan kepribadian nasional kuat. Sebab, ―sastra dan seni yang kepribadiannya kuat tidak hanya tahan dan mempunyai kekebalan terhadap pengaruh merusak dari kebudayaan imperialis, tetapi lebih dari itu juga mempunyai kemampuan untuk secara aktif melawan dan mengalahkan kebudayaan imperialis.‖ 45 ―Oleh karena itu, sastra dan seni berkepribadian jang kita kehendaki adalah berwatak anti-imperialisme dan anti- penghisapan.‖ 46 Satu hal lagi yang juga musti diakrabi oleh sastrawan dan seniman adalah massa prajurit. Menurut Aidit, meskipun prajurit juga termasuk massa rakyat pekerja, tetapi ia memiliki peran yang berbeda. Mereka yang dalam aksi revolusi yang bertindak di garis depan dan memegang bedil. Maka sebagai, dihitung warga negara Indonesia, tidak tepat jika melakukan diskriminasi terhadap prajurit. Prajurit itu sebagaimana Angkatan Bersenjata Republik Indonesia mempunyai ciri: 1 anti-fasis, demokratis, anti-imperialis, dan bercita-cita sosialisme; 2 alat untuk mengabdi perjuangan besar Nefo kontra Oldefo; dan 3 alat membela keutuhan wilayah dan kesatuan nasion Indonesia. Dengan ciri-ciri ini, Aidit berpendapat bahwa prajurit merupakan salah satu sasaran penting bagi kerja-kerja sastra dan seni revolusioner. 47 45 Ibid. 46 Ibid, hal 27. 47 Ibid, hal 30 – 31.

C. Lekra dan Literatur Anak