Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965

Sebagai pengarang perempuan dan menduduki posisi sebagai anggota Pimpinan Pusat Lekra, keberadaan Sugiarti tidak bisa diremehkan. Ia turut memberikan pemikiran-pemikirannya baik dalam bentuk karya maupun pidato politik. Bab ini juga akan melihat posisi Sugiarti bersama dengan pengarang perempuan lainnya. Hal ini untuk mengetahui peran Sugiarti sehingga ia layak diangkat dalam penelitian ini.

A. Lekra dalam Polemik Kebudayaan 1950 – 1965

Kisaran tahun 1950 hingga 1965 merupakan tahun terjadinya peperangan besar dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Peperangan itu akan menentukan nasib sastrawan dan seniman akan kecenderungannya pada kelompok tertentu. Revolusioner atau kontrarevolusioner. Diganyang atau mengganyang. Keadaan demikian tak bisa dilepaskan begitu saja dari pengaruh percaturan politik pada masa itu. Politik menjadikan sastra dan seni sebagai alat propaganda dan untuk menarik simpatisan massa terhadap partai, sementara sebaliknya, sastra dan seni mendapatkan nafas atas uluran tangan sebuah partai. Maka merupakan keniscayaan jika keduanya menjadi partner yang ideal. Di sisi lain, kelompok tertentu dengan ideologi berbeda terus mengupayakan proses kreatifnya agar dapat bernapas dan mampu merebut pengaruh massa. Terjadilah polemik sastra. Dua kelompok beseberangan tersebut adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra dan Manifes Kebudayaan Manikebu. Dari peperangan kebudayaan itu lahirlah beberapa istilah sebagai jargon atas perjuangan me reka, ―Politik sebagai Panglima‖, ―Seni untuk Rakyat‖, ―Realisme Sosial‖, ―Seni untuk Seni‖, ―Humanisme Universal‖. Keseluruhan dari jargon tersebut dijelaskan pada masing-masing sikap yang dirangkum dalam Mukadimah Lekra dan dan Manifes Kebudayaan. Mukadimah Lekra pertama kali dikeluarkan pada 17 Agustus 1950 dan sekaligus dinobatkan sebagai hari lahirannya. Dalam Mukadimah tersebut, terlihat jelas bahwa Lekra condong ke arah kiri dengan makmum terhadap ideologi yang diusung oleh Marxis serta Lenin dan menjadikan rakyat sebagai tujuan dalam berkarya. Tak heran, karena pendiri dan penyusun naskah awal Mukadimah tersebut adalah pentolan Partai Komunis Indonesia PKI, yakni D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Darta dan Njoto. Empat pendiri Lekra ini memperbolehkan siapa saja, baik seniman, sastrawan, pekerja kebudayaan, buruh dan tani untuk terlibat di dalamnya dan menjalankan misi bersama. Pemikiran dasar Lekra adalah memerdekaan rakyat dengan mengupayakan penuh hak-hak rakyat seperti pendidikan, berekspresi dan hidup yang layak. Lekra khawatir merosotnya kesadaran rakyat atas gerakan revolusi yang dianggap belum rampung. Bagi Lekra, revolusi yang memperjuangankan rakyat adalah sebuah keharusan. Jika revolusi menemui jalannya yang melenceng, korban yang paling sengsara adalah rakyat. Dengan demikian, beban revolusi bukan saja ada di pundak pemimpin revolusi, melainkan seluruh massa rakyat pekerja, sastrawan dan seniman serta pekerja kebudayaan. Sebagai lembaga kebudayaan, Lekra menggunakan mengusahakan segala jalur untuk menggerakkan roda revolusi. Begitu pula bidang sastra dan seni. Bukan sembarang sastra dan seni, melainkan yang mampu mendekat dan berdekatan dengan rakyat. Sebab itulah, ditulis jelas dalam Mukadimah, Tugas daripada Rakjat Indonesia untuk membuka segala kemungkinan supaja bisa mengetjap kesenian, ilmu dan industri tidak dimonopoli oleh segolongan kejtil lapisan atasdan dipergunakan untuk kepentingan dan kenikmatan golongan ketjil itu. Rakjat Indonesia harus berdjuang untuk menguasai dan memiliki kesenian, ilmu dan industri. Sembilan tahun kemudian, sikap ini dimatangkan pada revisi Mukadimah dalam Konggres Lekra di Solo tahun 1959. Bahwa rakjat adalah satu2nja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanya bisa dilakukan oleh Rakjat… Lekra berpendapat bahwa setjara tegas berpihak pada rakjat, adalah satu2nja jalan bagi seniman2, sardjana2, maupun pekerdja kebudajaan lainnya, untuk mencapai hasil2 jang tahan udji dan tahan waktu. Atas dasar di atas, Lekra membagi tugasnya dalam beberapa lembaga kreatif, yaitu 1 Lembaga Senirupa Indonesia Lesrupa, 2 Lembaga Film Indonesia LFI, 3 Lembaga Sastra Indonesia Lestra, 4 Lembaga Senidrama Indonesia LSDI, 5 Lembaga Musik Indonesia LMI, dan 6 Lembaga Senitari Indonesia. Keselurahan hasil kerja sastrawan dan seniman serta pekerja budaya lainnya didedikasikan sepenuhnya untuk rakyat. Sebab itulah, Lekra kemudian menelurkan konsep 1-5-1. Konsep ini merupakan simbol dari sikap berkesenian yang dikembangkan oleh Lekra yang mer upakan ―jangkar tengah‖ sekaligus rujukan visi bagi seluruh pekerjaan kreatif yang ditempuh. Konsep ini kemudian disebut sebagai asas kombinasi, yaitu 1 Politik adalah panglima; 5.1 Meluas dan Meninggi, 5.2 Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, 5.3 Tradisi baik dan kekinian revolusioner, 5.4 Kreativitas individual dan kearifan massa, 5.5 Realisme sosial dan romantik revolusioner; 1 Turun ke bawah. Yuliantri dan Dahlan, 2008: 25. Asas kombinasi di atas merupakan upaya untuk mengembangkan tradisi riset dalam tubuh Lekra. D.N. Aidit dalam pidato di Solo mengatakan bahwa ―hanja dengan mengembangkan semangat riset dengan metode ‗tiga sama‘ sama kerdja, sama makan dan sama tinggal dengan kaum tani, terutama buruh tani dan tani miskin akan mendjamin suksesnja pembinaan sastra dan seni jang bersifat nasional, demokratis dan ilmiah… Djuga hanja dengan riset dan melakukan integrasi secara langsung di tengah2 massa akan mendjamin karja jang mendalam realistik, revolusioner, artistik, berkepribadian dan universil.‖ 2 Dalam pidato itu, D.N. Aidit juga menjabarkan tentang konsep kerja Lekra tersebut. 3 Politik adalah Panglima, merupakan integrasi antara kerja politik dan kecakapan artistik. Dalam hal ini, upaya untuk memperjuangan rakyat melalui politik tidak mengesampingkan mutu artistik dari sebuah karya sastra dan seni. Dengan demikian, ada dua garis besar yang harus ditempuh kreator. Pertama, garis vertikal. Garis ini menuntut sastrawan dan seniman untuk mengetahui dan meguasai politik partai. Kedua, garis horizontal. Garis ini mengupayakan agar sastra dan seni menjadi ―sendjata jang ampuh di tangan rakjat‖. 4 Letak pentingnya Politik adalah Panglima adalah untuk memberikan perlawanan terhadap musuh-musuh yang kontrarevolusiner. Aidit menegaskan, ―Kita tidak akan mengerti apa arti hakekat Manikebuisme dilapangan sastra dan 2 Lihat hal 53 dalam buku D.N. Aidit Tentang Sastra dan Seni. Diterbitkan di Jakarta oleh Jajasan Pembaruan tahun 1964. Buku ini terbitkan sebagai pegangan; tiga bahan pokok dalam pergerakan sastra dan seni Lekra, yaitu Dengan sastra dan seni jang berkepribadian nasional mengabdi pada buruh, tani dan pradjurit dan Kibarkan tinggi-tinggi pandji pertempuran dIbidang sastra dan seni revolusioner Serta Hayo, bersama-sama Bung Karno kita binsa kebudayaan jang berkepribadian nasional 3 Penjelasan mengenai konsep kerja 1-5-1 diterangkan dalam Resolusi KSSR I setelah diadakan pengkajian dan diskusi terhadap pidato D.N. Aidit sebagai referet. Lihat Harian Rakjat, 4 September 1964. 4 Ibid. seni tanpa mengerti kebangkrutan politik kaum sosialis kanan dan Masjumi serta kaum kontra-revolusioner lainnja. Kita akan menghadapi kesulitan mendjebol kebudajaan imperialis AS tanpa mengetahui hakekat politik gangster dan badjaklaut imperialisme AS dan politik klas buruh terhadap kepala imperialis jang paling djahat itu. Membongkar kebudajaan feodal jang menjebarkan kemaksiatan, ketahajulan, dll hanja mungkin berhasil djika kita mengenal hakekat hubungan agrarian didesa dan tahu politik PKI untuk membebaskan kaun tani.‖ 5 Selanjutnya, Aidit mendefinisikan Politik adalah Panglima dalam kerja kreatif Lekra ―…berarti mendjadikan untuk memimpin pemikiran kreatif dan pembajangan kreatif mengenai masalah2 seperti perdjuangan untuk kemerdekaan penuh dengan melikwidasi imperialisme, perdjuangan kaum tani untuk pelaksanaan UUPA dan UUPBH setjara konsekwen untuk menudju perubahan agrarian jang radikal, garis politik partai untuk mengkonsolidasikan front persatuan nasional dan lain2nja.‖ 6 Meluas dan Meninggi. Prinsip ini menuntun kepekaan sastrawan dan seniman Lekra terhadap massa dan artistik. Meluas berarti karya-karya yang dilahirkan mampu menjangkau massa, bahkan yang tak mengenyam pendidikan sekalipun. Hal ini mengharuskan bahwa hasil kreasi yang dilakukan sastrawan dan seniman dilakukan secara sadar untuk mendorong dan memobilsasi massa dalam bentuk yang tepat. Meninggi memiliki titik tumpu pada mutu karya secara artistik serta cara publikasi karya yang tepat. Keduanya harus berjalan bersamaan. 5 Ibid. Hal 53 – 54. 6 Ibid. Hal 54. Aidit menegaskan bah wa ―Meluas dan meninggi adalah dua hal jang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena kedua2nja diperlukan oleh praktek revolusioner… Kedua2nja diabdikan kepada perdjuangan revolusioner, kepada massa rakjat pekerdja. Oleh karena itu, kita harus tetap berpegang teguh pada pendirian atas dasar massa untuk massa, serta meninggi djuga atas dasar massa dan untuk massa.‖ 7 Secara lebih jauh, Aidit menggambarkan bagaimana luasnya wilayah Indonesia dan terdiri dari beragam budaya. Seluruhnya harus dalam jangkauan sastrawan dan seniman revolusioner. Ia kemudian menyarankan, ―meluas‖ dengan mendirikan sanggar-sanggar seni serbaguna di berbagai daerah. Bahkan, jika perlu ―satu desa satu sanggar‖. Tinggi Mutu Ideologi, Tinggi Mutu Artistik. Lekra berpandangan bahwa tidak ada seni yang berdiri secara independen. Bahkan tak hanya seni. Semuanya serba berpihak. Keberpihakan Lekra adalah kepada rakyat. Ideologi kerakyatan itulah yang menjadi tolak ukur aktivitas kebudayaan Lekra untuk melihat seberapa besar dan seberapa tinggi mutu ideologi dalam berkarya. Mutu ideologi diperoleh dari kesadaran politik yang tinggi, sementara mutu artistik adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya. 8 Bagi Aidit, ―Karja2 jang mutu ideologi dan mutu artistiknja tinggi hanja akan disambut baik oleh massa djika karja2 itu didukung oleh ideologi dan moral jang tinggi dari pentjipta- pentjiptanja.‖ 9 7 Ibid. Hal 55. 8 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 28. 9 Ibid. Hal 57. Tradisi dan Kekinian Revolusioner menuntut sastrawan dan seniman untuk jauh lebih mengerti tentang tradisi rakyat yang sebenarnya dan tradisi feodal atau tradisi yang terpengaruh feodal. Mengetahui tradisi ini akan lebih mudah memudahkan untuk melihat persoalan kelas di masyarakat. Mula-mula, pemetaan ini harus dilakukan oleh pekerja budaya untuk kemudian dapat memadukan antara ―warisan dan pembaruan‖. Pembaruan tidak asal saja dilakukan. Aidit menyarankan untuk berhati- hati, sebab pecinta tradisi bukanlah kelompok yang mudah diusik. ―… Sekali lagi harus selalu diingat: djangan gegabah memperbarui sesuatu jang lama jang disenangi massa. Sikap gegabah adalah bukan sikap sungguh2 jang harus mendjadi sikap seorang revolusioner dalam melakukan pembaruan. Memperbarui bukan asal memperbarui, tetapi justru harus dengan meneruskan tradisi dan bukan mengahantjurkannja.‖ 10 Kreativitas Individual dan Kearifan Massa. Lekra selalu mendorong warganya agar terus memproduksi karya-karya bermutu sebagai upaya meningkatan kreativitas. Selain itu, sebagai manusia yang berdampingan dalam kehidupan sosial sastrawan dan seniman revolusioner harus menjunjung tinggi kearifan massa. Sebab bagi Aidit, ―Sepandjang sejarah Rakjat adalah pentjipta agung, oleh karena itu mengabaikan kearifan massa hakekatnja sama artinja dengan mengingkari rakjat.‖ 11 Prinsip ini menekankan adanya kerja sama antara 10 Ibid. Hal 58. 11 Ibid. Hal 58 pekerja budaya dengan massa rakyat pekerja, ―bekerdja kolektif dan menghargai pendapat kolektif‖. 12 Realisme Sosial dan Romantik Revolusioner. Realisme sosial adalah realism yang didasarkan pada tujuan sosialisme. Watak realisme sosial adalah militansi ciri tak kenal kompromi dengan lawan. Bukan saja pada kapitalisme, melainkan juga bagaimana mempertahankan dan mengembangkan antikapitalisme internasional. 13 Realisme sosial menjawab tuntutan zaman, bahwa apa yang sudah tidak lagi sesuai dengan masa kini perlu dirombak atau diperbarui dan bahkan menghadirkan sesuatu yang baru. Ia bergerak terus-menerus dan memperlihatkan kontradiksi-kontradiksi yang bekerja dalam masyarakat. Sebenarnya, Aidit tidak begitu sepakat dengan prinsip ini. Dalam pidatonya di Solo, ia menganggap akan lebih tepat jika diganti dengan realisme revolusioner dan romantik revolusioner. Menurutnya, realisme rovelusioner berarti ―berprinsip realis dan revolusioner terhadap kenjataan. Setjara fundamentalis sikap revolusioner berarti selalu berfihak kepada jang baru dan sedang tumbuh untuk kehidupan lebih madj u, lebih baik dan lebih indah…‖ 14 Sementara dalam romantisme revolusioner, Aidit menggambarkan sebagai ―suatu angan2 revolusioner jang berdiri tegak diatas dasar kenjataan2 tentang kontradiksi2 dalam kehidupan. Kita harus menggambarkan kehidupan tidak secara naturalis seperti potret, melainkan kegairahan revolusioner, kaja dan penuh tjita2…‖ 15 12 Ibid. 13 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 30. 14 Ibid. Hal 59 – 60. 15 Ibid. Hal 60. Turun ke bawah atau biasa disingkat turba menjadi metode paling ampuh dalam melaksakan azas ―Politik adalah Panglima‖ dan 5 pedoman penciptaan. Metode turba sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang tepat dari kehidupan rakyat secara langsung. Metode ini dijabarkan dalam ―tiga sama‖, yaitu bekerja bersama, makan bersama dan tidur bersama. ―Tiga sama‖ adalah uasaha untuk menjaga solidaritas dan kolektivitas antara pekerja budaya dan rakyat dalam sebuah kerja bersama. 16 Dengan demikian, sastrawan dan seniman Lekra tak semata berkarya dengan imajinasi. Mereka melakukan riset mendalam, menghimpun data-data, turun langsung ke masyarakat, kemudian menafsir ulang dengan kemampuan imajinasi dan keindahan sastrawinya. Keseragaman dalam pilihan tema dan isu yang diusung menunjukkan bahwa mereka memiliki ideologi yang diperjuangkan bersama, cita-cita bersama yang dikerjakan, dengan sastra dan seni sebagai pisau. Dalam melaksanakan prinsip 1-5-1 di atas, sastrawan dan seniman Lekra tidak turun ke bawah dengan tangan kosong. Mereka harus membekali diri dengan senjata. D.N. Aidit, menjelaskan bawah, ―Turba seperti sudah saja katakan dimuka harus dengan sendjata Marxisme-Leninisme, sebab tanpa itu sama halnja dengan meraba-raba dalam gelap dan seperti seorang buta mentjari djarum di padang rumput, pati tidak akan mendapat apa jang dit jari.‖ 17 Dengan bekal senjata tersebut, seniman dan sastrawan yang turba diharapkan mampu menyerap dan melihat kontradiksi-kontradiksi sehingga dapat melihat persoalan rakyat dengan sudut pandang yang tepat. Dengan demikian, 16 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 32. 17 Ibid. Aidit, hal 60 karya-karya yang dihasilkan akan benar-benar mampu mengangkat persoalan rakyat ke permukaan dan memiliki tinggi mutu. Maka dengan gencarnya, Aidit selalu meneriakkan bahwa penting Marxisme-Leninisme. Ia kemudian memunculkan jargon ―tahu marxis dan kenal keadaan‖. Ia berpendapat bahwa, ―Filsafat, ekonomi politik dan Sosialisme Marxis-Lenin mengadjarkan kita untuk bertitiktolak dari kenyataan objektif dan melihat segala sesuatu dalam perkembangannya, menunjukkan kepada kita tentang sumber 2 dari eksploitasi atas manusia oleh manusia dan tentang perdjuangan klas sebagai lokomotif perkembangan masyarakat.‖ 18 Arief Budiman 19 dalam Samboja 20 mengatakan bahwa sejak didengungkannya ―politik adalah panglima‖ oleh Lekra, pengertian sastra yang baik dan indah, mengalami reduksi. Dalam pandangan sastrawan Lekra, sastra yang indah adalah karya sastra yang mengangkat tema-tema yang bisa dipahami oleh rakyat, karya yang bisa dimengerti petani dan buruh, serta memberi atau membangkitkan semangat mereka. Sejak kelahirannya, Lekra tumbuh dengan subur, bahkan mendominasi. Sebagai organisasi besar berhaluan kiri, Lekra banyak tak disukai. Lekra pun dianggap lawan oleh Manifes Kebudayaan Manikebu. Namun, perseteruan dua kubu tersebut justru menjadikan iklim sastra Indonesia semakin panas. Dengan suasana yang cenderung panas itu, bahasa polemis sangat lazim digunakan oleh kedua kubu, misalnya melalui ―ganyang‖, ―kontrarevolusioner‖, dan lain 18 Ibid. 19 Arif Budiman. 2006. Kebebasan, Negara dan Pembangunan. Jakarta: Alvabet dan Freedom Institute. 20 Asep Samboja. 2010. Historiografi Sastra Indonesia 1960an. Jakarta: Bukupop. Hal 32. sebagainya. Perdebatan di antara dua kelompok ini terasa sebagai debat politik dalam kebudayaan, di mana telah terjadi saling tuding. Keduanya berupaya untuk saling serang ganyang. Serangan terhadap Manikebu ditampilkan Harian Rakjat dalam upaya mendukung Lekra, ―… HR berdiri didepan dalam mengganjang musuh 2 nasional dilapangan kebudajaan, dalam mengganjang musang 2 berbulu ajam jang bersembunji misalnya dalam klik Manifes Kebudajaan. Dengan demikian ia menerangi djalan2 perjuangan pekerdja kebudajaan Rakyat Lekra.‖ 21 Upaya Lekra dalam mendesak Manikebu juga terus digalakkan. Hal ini terlihat dalam Seminar Pengadjaran Sastra yang dilangsungkan pada 5 – 8 September 1964. Seminar dengan tema ―Menegakkan Manipoli dibidang pengadjaran sastra ‖ sudah langsung mengancam pihak yang besebrangan dengan ideologi manipol, yaitu Manikebu. Lebih jelas lagi, seminar tersebut menghasilkan sebuah dokumen penting untuk melihat bagaimana Lestra menyusun dan melihat raut dunia pengajaran sastra. Dokumen itu berkepala: ―Tegakkan Manipol dibidang Pengadjaran Sastra, madju terus mengganj ang Manikebu‖. Keberadaan Manikebu mula-mula tak begitu merisaukan kelompok Lekra. Namun ternyata pendukung Manikebu berkembang semakin besar. Hal ini ditandai dengan Manikebu menyelenggarakan Konperensi Karyawan Pengarang se-Indonesia KKPI di Aula Lembaga Administrasi Negara pada tanggal 1 - 7 Maret 1964 sebagai upaya untuk menggalang dukungan. Hasilnya, Angkatan 21 Harian Rakjat, 31 Januari 1964. Darat menjadi pendukung nomor wahid. 22 Konferensi itu kemudian melahirkan Persatuan Karyawan Pengarang se-Indonesia PKPI. Penjelasan Manifes. Pada saat bersamaan Pimpinan Pusat Lekra mengadakan sidang di sekretariatnya. Hal ini dianggap Manikebu sebagai upaya membayang-bayangi konferensi yang diadakannya dan dilakukan secara sistematis untuk penjegalan yang bersifat politis terhadap mereka. 23 Dengan posisi Lekra yang cukup kuat, Manikebu menolak adanya subordinasi kebudayaan, menentang konsep realisme sosial dan politik sebagai panglima. Bagi Manikebu, konsep tersebut membuat manusia harus mengabdi kepada politik dan hanya akan menghasilkan karya-karya yang bermuatan propaganda semata. Asas hukum yang dipegang kuat oleh Lestra adalah seruan Presiden Sukarno dalam amanat TAVIP untuk terus mengganyang Manikebu karena kontrarevolusi. Manikebu dikubur oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964 sebagai puncak perdebatan budaya kedua kelompok tersebut. 24 Menurut Presiden Sukarno, Manikebu dilarang karena sudah ada Manifesto Politik yang juga harus ditaati sebagai haluan politik kebudayaan negara. Oleh karena itu, keberadaan Manikebu dianggap sengaja dibentuk untuk menandingi Manifesto Politik atau 22 Alexander Supartono. 2000. Lekra Vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950 – 1965. Skripsi STF Driyakarya, Jakarta. Dokumen ini diperoleh penulis dalam versi ebook atas nama Edi Cahyono. Hal 33. 23 Lihat dalam Hasil Penjelidikan Team Reseach Manifes Kebudajaan. 24 Lekra Tak Membakar Buku. Hal 37 dan 128 - 129. leboh dikenal dengan Manipol. Selain itu, Manikebu dianggap melemahkan revolusi karena menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi. 25 Penguburan Manikebu menjadi satu kemenangan bagi Lekra. Aidit mengatakan bahwa, ―… Pelarangan terhadap Manikebu adalah salah satu bukti tentang kemenangan garis ‗seni untuk Rakjat‘ sebagai kekuatan front kebudajaan revolusioner.‖ 26 Akan tetapi, kemenangan itu hanya sementara saja. Keith Foulcher 27 memandang Manikebu dalam posisi yang benar-benar politis, yaitu sebagai upaya pamer kekuasaan oleh Angkatan Darat AD yang anti-PKI dan gerakan kiri lainnya. Dukungan AD diselimuti dengan kain tebal sehingga tak nampak dari berbagai sisi. Tapi toh tetap tercium juga baunya. Foulcher menunjukkan hal ini dengan menyebut konseptor utama Manikebu, yaitu Wiratmo Soekito, orang yang secara sukarela bekerja pada badan intelijen militer. Dalam perseteruan ini, Manikebu menurukan tim research guna mempelajari serangan-serangan musuh yang mereka sebut sebagai kaum reaksi dan Manifes-phobi. 28 Dalam laporan itu, Manikebu memaparkan berbagai tudingan yang dilakukan oleh Lekra terhadap mereka yang sudah dianalisa sedemikian rupa. Sejak kelahirannya, Manikebu sudah mengemban misi permusuhan. Mereka menempatkan diri dalam lingkaran manusia suci atau bahkan malaikat, yang harus memusnahkan iblis dalam jiwa manusia kotor dari kelompok yang 25 Lihat dalam Duduk Soalnya manifes Kebudayaan. Tulisan H.B. Jassin 26 April 1966. Tidak Dipublikasikan. Dapat dijumpai di Pusat Dokumentasi HB Jassin. 26 Aidit, 1964. Hal 62. 27 Dalam bukunya Social Commitment in Literature and the Art: the Indonesian “Institute of People Culture” 1950 – 1960. Terbit tahun 1986 di Victoria, Monash University Press. Lihat juga dalam Alexander Supartono. Hal. 16. 28 Lihat Hasil Penjelidikan Team Research Manifes Kebudajaan: Manife-phobi, motif dan targetnya kekurang-matangan dalam Ideologi. Disusun di Jakarta, siang hari, 15 April 1964. beseberangan. Oleh sebab itu, dalam Pendjelasan Manifes Kebudajaan, mereka sudah menyerang terlebih dahulu. Dalam penjelasan pertama mengenai Pantjasila sebagai Falsafah Kebudajaan, Manikebu sudah merumuskan Pancasila alat untuk menyerang lawannya. Terutama sekali serangan pada Lekra yang berafiliasi kepada PKI, dalam bahasa Manikebu disebut ―propaganda‖, dalam artian kebudayaan sebagai alat propaganda. Hal ini dianggap sebagai ―pemerkosaan‖. Demikian umpamanja dibidang pentjiptaan karja2 kesenian dimana orang lebih mementingkan aspek propagandanja daripada aspek keseniannja, adalah tjontoh dari pelaksanaan sembojan The End justifes the Means — apabila orang mengemukakan apa jang bukan kesusasteraan sebagai kesusasteraan, apa jang bukan kesenian sebagai kesenian, apa jang bukan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan dsb. Perkosaan seperti itu bukanlah tjara insanijah, melainkan cara alamiah … Adapun bahaja bagi kebudajaan jang paling mengantjam datangnja dari wilajahnya sendiri, tetapi jang terang ialah bahwa sumber pokok dari bahaya tersebut terletak dalam ketjenderungan2 fetisj 29 sebagai kesenderungan non- kreatif… Kesenian kreatif berlawanan dengan kesenian fetisj. 30 Pada penjelasan kedua mengenai Manifes Kebudayaan dijabarkan tentang keyakinan Manikebu terhadap humanisme universal yang mererka dan anut. Manikebu meyakini bahwa ―kebudajaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional tetapi djuga menghajati nilai2 universal, bukan semata-mata temporal tetapi djuga mengajati nilai2 eternal. ‖ 31 Selanjutnya, dengan tegas Manikebu mengibarkan bendera permusuhan. Siapakah musuh mereka? Inilah penjelasannya: 29 Tentang fetisj akan dibahas pada sikap politik Manikebu dalam Pendjelasan Manifes Kebudajaan. 30 Pendjelasan Manifes Kebudajaan. 1963. Hal 1 – 2. 31 Ibid. Hal 2. Musuh kami bukanlah manusia, karena kami adalah anak manusia. Musuh kami adalah unsur2 jang membelenggu manusia, akan karenanya kami ingin membebaskan manusia dari rantai2 belenggu. Dalam perlawanan kami, terhadap musuh2 kami itu kami berpegang teguh pada pendirian dan pengertian bahwa sedjahat-djahatnja manusia namun ia tetap memantjarkan sinar-tjahaja Ilahi, sehingga konsekwensi kami ialah bahwa kami harus menjelamatkan sinar-tjahaja Ilahi tersebut. 32 Dari kutipan di atas, secara politis dapat dilihat bahwa Manikebu dilahirkan bukan untuk menciptakan kebudayaan, tetapi sengaja untuk melawan ideologi kebudayaan yang sudah ada, yaitu Lekra. Dengan kemudian, bisa sangat dimaklumi jika Foulcher menempatkan Manikebu dalam wilayah yang sangat politis. Dengan penyataan di atas, maka karya-karya yang dihasilkan pun tercerabut dari ideologi kerakyatan. Mengarang sebatas imajinasi dan menempatkan sastra sebagai suatu karya yang agung. Ketika karya menjadi agung, maka penciptanya pun lebih agung, merasa sebagai malaikat suci yang turun ke dunia dengan misi menyelamatkan jiwa manusia. Sikap ini mendapat tanggapan keras dari D.N. Aidit 33 , bahwa Manikebu bukan hanya kelompok yang tidak melawan kebudayaan imperialis, tetapi merasa bangga jika berhasil menjiplak atau meniru kebudayaan tersebut. Hal ini dianggap Aidit sebagai kemerosotan moral dan ideologi. Menanggapi kesucian diri kelompok Manikebu, Aidit mengatakan: Dengan bantuan sastrawan2 dan seniman2 sewaannja didalamnegeri, antara lain mereka jang berkerumun disekitar Manikebu, Amerika Serikat menjebarkan ideologi reaksioner dibidang sastra dan seni, dengan etiket jang berganti2 dan bendera jang berubah-ubah, tetapi isinja tetap jang itu2 djuga. Mereka sebarkan teori humanisme universal, jang mengadjarkan 32 Ibid. Hal 3 33 1964. Hal 16 - 17. ―tjinta pada sesama‖. Mereka mengadjarkan kemanusiaan jang abstrak, sekalipun maksud mereka kongkrit. Menurut kaum Manikebuis se-djelek2 manusia, misalnja Tengku Abdulrahman dan Lyndon Johnson masih bersinat ―tjahaya Ilahi‖ dalam dirinja, masih ada segi2 baiknja. Oleh karena itu, orang2 sematjam itu jangan dimusuhi, malahan harus diselamatkan. Demikianlah tjara mereka mengebiri Manipol agar Rakjat tidak mengenal dan tidak melawan musuh2nja. Kutipan di atas Aidit menunjukkan bagaimana Amerika menggerogoti kebudayaan Indonesia dengan menumpang Manikebu yang mengkhianati Manipol. Dalam pandangan komunis, manusia tidak dapat disamaratakan. Di dalam masyatakat ada sistem kelas yang tak bisa dihindari. Selanjutnya, sikap politik dan estetik Manikebu ditampakkan jelas dalam penjelasan ketiga, politisi dan estetisi. Yang cukup mengherankan dalam penjelasan ini adalah sikap politik dan estetik yang dimunculkan dengan terlebih dahulu membongkar realisme sosial dari sisi yang berbeda dari pemaknaan Lekra. Artinya, Manikebu tidak memiliki tumpuan dalam sikapnya. Manikebu melihat sisi cidera dalam tubuh realisme sosial lalu mengambil sisi yang beseberangan. Manikebu menjelaskan bahwa realisme sosial merupakan kelanjutan dari konsep Josef Stalin, lalu mempertentangkannya dengan konsep realisme sosial ala Maxim Gorki. ―… Dalam tahun 30-an dengan perkembangannja petisjisme modern dengan Stalin sebagai suatu fetisj, barang pujaan jang seakan mengandung kekuatan gaib, maka kebudajaan Rusia terantjamamat mengerikan. Dengan Stalin maka metode kritik seni adalah deduktif, artinja konsepsinja telah ditetapkan lebih dahulu untuk menertibkan kehidupan kesenian dan kebudajaan. … Disitu sebenarnya Gorki telah menggariskan politik sastra jang berbeda dengan realisme sosial ala Stalin, karena pada hakikatnja Gorki telah menempuh politik sastra universal. Sesungguhnja politik sastranja itu bersumber dalam kebudajaan tidak sebagai suatu sektor politik, melainkan sebagai induknja kehidupan politik jang searah dengan garis manifes ini. Pada pendapat Manikebu terhadap Stalin, mereka dengan tegas menolak konsep realisme sosial. Lalu dari konsep Gorki, Manikebu terlihat menyamarkan maknanya sehingga apa dikonsepsikan oleh Gorki senafas dengan gerakan kebudayaan mereka. Dari mempertentangkan Stalin dan Gorki, Manikebu mengambil kesimpulan bahwa … faham politik di atas estetik jang merumuskan bahwa politik adalah primer dan estetik adalah sekunder, dilihat dari sudut kebudajaan dan kesenian adalah suatu utopia. Dengan melaksanakan seperti dalam kutipan di atas, Manikebu berpendapat hanya akan menghasilkan tipu daya dan kekecewaan belaka serta tidak memberikan tempat bagi pembentukan suatu estetika. Dari penjelasan maka terlihat bagaimana Manikebu sebenarnya memiliki misi politik dalam percaturan budaya pada masa itu. Alih-alih mereka menghindari ―politik adalah primer‖, tapi justru mereka telah masuk dalam lingkup politik sejak kelahirannya. Maka adalah sangat wajar, jika kemudian mereka menerjunkan tim untuk meneliti sejauh mana perkembangan Lekra dan serangan-serangan yang dilancarkan pada mereka. Hasilnya, delapan bulan setelah kelahirannya, mereka telah dapat mendeteksi serangan Lekra. 34 Laporan dari team research Manikebu memiliki lima komponen. ―1 materi autentik dari serangan-serangan jang dilakukan oleh Manifes- phobi sampai berapa jauh mereka berhasil membuktikan bahwa manifes menentang manipol; 2 materi autentik dari manifes jang membantah ―bukti2‖dan ―argumentasi-argumentasi‖ Manifes-phobi; 3 sampai berapa jauhkah Manifes-phobi djustru bertentangan dengan prinsip2 manipol 34 Lihat Hasil Penjelidikan Team Research Manifes Kebudajaan: Manife-phobi, motif dan targetnya kekurang-matangan dalam Ideologi sebagai pemantjaran Pantjasila; 4 apakah jang sebenarnya merupakan motif dan target Manifes-phobi; 5 apakah sebabnja manifes dapat survive dan apakah jang harus dikerdjakan oleh Slagorde Manifes. ‖ Isi laporan tersebut tak lebih merupakan upaya menyerang kembali Lekra. Juga sebagai upaya untuk mengemis simpati dengan menunjukkan bagaimana serangan membabi buta menghantam Manikebu. Selain itu, riset ini dapat dilihat sebagai ketidakmampuan Manikebu dalam menyikapi serangan Lekra melalui media massa. Meski begitu, Manikebu mengaku bahwa seluruh aksi kebudayaannya ditujukan untuk menggiring masyarakat ke arah sosialisme Indonesia. Tujuan yang sama dengan Lekra, yaitu menuju garis sosialisme Indonesia. Maka kepertjajaan yang kami kumandangkan ialah bahwa manusia adalah machluk jang baik, dan karena itulah maka kami bertjita-tjita membangun suatu masjarakat jang kuat cenderung kearah masjarakat manusia jang baik itu, sesuai dengan garis2 sosialisme Indonesia. Tujuan yang sama dengan jalur yang berbeda mengakibatkan konflik di antara dua kubu kebudayaan ini. Akan tetapi, tujuan dalam kutipan di atas seolah hanya pernyataan retoris saja. Bagaimana karya sastrawan Manikebu dapat menuju ke arah sosialisme Indonesia jika karya-karya itu tak berideologi kerakyatan? Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konflik di antara dua kubu ini adalah konfilk politik dalam kebudayaan. Maka wajar jika perseteruan keduanya berakhir tak jelas dan mati bersamaan dengan gentingnya konflik politik di Indonesia. Berpuluh tahun kemudian setelah kematiannya, arwah Manikebu bergentayangan dengan mengembalikan tudingan-tudingan melalui buku Prahara Budaya yang dieditori oleh Taufiq Ismail dan DS Moeljanto. 35 Alexander Supartono, 36 lebih menganggap peran dua penyusun tersebut sebagai editor, bukan kolektor dari dokumen kliping koran, majalah dan makalah kebudayaan pada tahun 1960an. 37 Artinya, alih-alih ingin mengabarkan polemik kebudayaan pada saat itu, kedua orang yang menganggap dirinya sebagai editor itu justru membangkitkan sentimen para pembaca. Setelah peristiwa 65, karya sastra yang ditulis oleh sastrawan Lekra mengalami nasib yang sama, dilarang beredar, dilarang terbit, dilarang dibaca oleh siapapun. Kehancuran Lekra bersamaan dengan hancurnya PKI. Ia distigma sebagai PKI. Lebih sadisnya, tidak hanya karya yang menjadi sasaran, melainkan juga sastrawannya. 38 Lekra terkena karma atas ideologi yang diusungnya sendiri. Peristiwa itu menyisakan trauma mendalam, bahkan untuk menyebut dirinya sebagai anggota kelompok. Banyak sastrawan Lekra yang tak berani bersuara, salah satunya adalah Sugiarti Siswadi. Ia memilih diam, hingga namanya menghilang.

B. Lekra dan Perjuangan Kelas