Landreform MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI

yang digunakan untuk melacak paralelitas karya-karya Sugiarti dengan karya-karya sastrawan Lekra lainnya. Selain itu, digunakan pula pidato-pidato politik D.N. Aidit dan Sukarno untuk memperdalam pembahasan. Setelah melakukan pembacaan terhadap karya-karya sastrawan Lekra, ditemukan tiga hal besar yang mendominasi dan memiliki hubungan paralel dengan karya-karya Sugiarti Siswadi. Ketiganya adalah landreform, perempuan dan anak, serta partai dan cita-cita sosialis.

A. Landreform

Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. UUPA Pasal 2 Ayat 1. Landreform merupakan upaya yang bertujuan untuk merombak dan mengubah sistem agraria dengan maksud untuk meningkatkan pendapatan pertanian dan dengan demikian akan turut mendorong pembangunan desa. Upaya ini telah dilakukan berabad-abad lalu di Romawi. Ella H Tuma via Georinto menulis, bahwa sekira tahun 133 Sebelum Masehi, kakak beradik Tiberius Gracchus dan Gaius Gracchus, mengusulkan kepada Senat Romawi untuk membuat undang-undang yang membatasi kepemilikan tanah pertanian yang luas. Namun naas nasib keduanya. Mereka berhadapan dengan maut karena gagasan itu mendapat tentangan dari para tuan tanah. Meski demikian, gagasan mereka merupakan tonggak penting yang menjadi peristiwa besar untuk mendatangkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat miskin. 1 Gagasan kakak beradik inilah yang kemudian disebut oleh Lenin sebagai landreform. Melalui Lenin, gagasan ini kemudian meluas ke berbagai negara di belahan dunia dengan berbagai kepentingan. Baik politik, sosial, ekonomi, maupun pertahanan dan keamanan. 2 Tujuan hanya satu, mengangkat kaum miskin dari keterpurukan ekonomi. Sebaran pemikiran Lenin itu sampai juga di Indonesia. Sebagai negara agraria, Indonesia menjadi wilayah subur untuk mengembangkan gagasan landreform. Perwujudan dari gagasan tersebut kemudian tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria UUPA dan Undang-undang Perjanjian Bagi Hasil UUPBH pada tahun 1960. Undang-undang ini memicu lahirnya gerakan-gerakan merebut tanah dari tuan tanah di berbagai daerah yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia PKI. Dalam pelaksanaannya, landreform disebut sebagai Aksi Sepihak. Aksi ini merupakan respon dari lambatnya pemerintah dalam menjalankan undang-undang tersebut. Menurut Erfan Faryadi, pembaruan sistem agraria merupakan kata kunci pada dekade 1950-1960-an di berbagai negara. Semua badan internasional dan semua perdebatan di sekitar pembangunan, membahas dan memperdebatkan soal ini; dan hampir semua negara mau tidak mau mencoba menyelenggarakan program tersebut, 1 Georitno, Landreform Sebuah Gagasan Besar Manusia, Majalah Bumi Bhakti Adhiguna, Nomor 2 Tahun 1 Juni 1991, Jakarta, hlm. 7. 2 A.P. Parlindungan, Landreform di Indonesia suatu Perbandingan. Mandar Maju; Bandung. 1987. Hlm 58. baik itu pada tingkat kebijakan, operasionalisasi, ataupun hanya sebagai retorika. Salah satu dorongan dijalankannya pembaruan agraria pada saat itu terutama karena adanya persaingan dan pertentangan di antara kubu negara-negara Blok Barat dan Blok Timur. Dengan demikian perdebatan di seputar pembaruan agraria ini sebenarnya diwarnai juga oleh aspek ideologis. 3 Pelaksanaan dari program di atas tentu berbeda di setiap negara. Seluruhnya tergantung pada sistem ekonomi politik dan rezim yang berkuasa pada saat itu. Perbedaan rezim membawa ragam model dan pola pelaksanaan maupun capaian program tersebut. Efek dari program ini baru bisa dilihat ketika dunia memasuki masa developmentalisme masa pembangunan sekitaran tahun 1960-1970. Pada tahun- tahun ini mulai nampak tentang ide dasar pemburuan agraria dengan menjalankan lendreform atau redistribusi tanah secara menyeluruh. Sebagai sebuah partai politik, PKI sadar betul bahwa isu-isu tentang tanah menjadi isu paling diminati oleh rakyat. Bagaimana tidak, rakyat dijanjikan dengan sepetak tanah garapan yang akan mensejahterakan hidupnya. Maka landreform atau redistribusi tanah menjadi agenda besar politik pada masa itu. Namun, yang pantut disayangkan adalah pelaksanaannya tersebut penuh dengan emosi. Tak jarang terjadi bentrokan dan mengakibatkan korban jiwa. Di pihak yang lain, ada yang mengambil 3 Lihat dalam makalah Erfan Faryadi Sekjen Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria BP- KPA yang berjudul ―Konsep dan Arti Pentingnya Land Reform dalam Agenda Reformasi‖. Hlm 4. Makalah ini disampaikan untuk diskusi buku Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959- 1965 karangan Prof. Dr. Soegijanto Padmo, pada tanggal 12 September 2000, di Auditorium Fakultas Sastra UGM, Bulaksumur, Yogyakarta. Diskusi ini diselenggarakan oleh Yayasan Pengembangan Budaya, Media Presindo, BKMS Fakultas Sastra UGM, dan Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria BP-KPA. keuntungan dengan memanfaatkan isu bentrokan tersebut dan memobilisasinya menjadi isu tentang kelas, agama dan ras di berbagai desa di Indonesia. Dua sebab yang bisa dicatat ketika terjadinya aksi sepihak ini adalah inflasi yang luar biasa tinggi dan kondisi kemiskinan yang terus meningkat. 4 Jika melihat lebih jauh lagi, tuntutan terhadap pelaksanaan UUPA merupakan upaya untuk membatalkan peraturan tentang tanah dari perundang-undangan kolonial, seperti Undang-undang Agraria 1870, Dekrit Agraria 1870, dan berbagai deklarasi mengenai tanah, air dan sumber daya alam. Undang-undang ini dihentikan praktiknya pada tahun 1945, pascaproklamasi kemerdekaan. Hampir seluruh pendiri bangsa menyadari, bahwa UU Agraria 1870 tidak bisa dipergunakan untuk bangsa yang membebaskan diri dari penjajahan. 5 UUPA merupakan perombakan total dari sistem agraria warisan penjajahan Belanda. Hak milik perorangan atas tanah bagi mereka yang berkewarganegaraan Indonesia diakui, akan tetapi persaingan bebas dalam hal penjualan dan pengalihan tanah tidak diizinkan. Atas dasar prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial, undang-undang ini menggariskan bahwa penggunaan dan penjualan tanah perlu memperoleh persetujuan masyarakat seperti yang diwakili oleh administrasi kota atau desa. 6 UUPA juga mencakup prinsip dasar berikut. 4 Lihat penelitian Sean Reardon berjudul Peristiwa 6566 Pembunuhan Massal PKI, 2002. Hlm iii. Ia mengungkapkan ketegangan di tingkat lokal sebelum terjadinya pembantaian 1965. 5 Lihat dalam Kronik Agraria Indonesia, Sejarah UUPA, Konflik, Penguasaan dan Pemilikan, BPN dan sertifikasi serta Pemikiran Agraria. Diterbitkan oleh TIM dari STPN, Sains Sejogyo Institute dan Institute Sejarah Sosial Indonesia. 2011. Hlm 10. 6 Lihat makalah Erfan Faryadi, hal 3. 1. Tanah pertanian adalah untuk petani penggarap. 2. Hak utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi adalah khusus untuk warga negara Indonesia. 3. Pemilikan guntai absentee tidak dibenarkan, kecuali bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas negara dan dalam hal pengecualian lain. 4. Petani-petani yang ekonominya lemah harus dilindungi terhadap mereka yang kedudukannya lebih kuat. 7 Dalam praktiknya, UUPA kemudian lebih dikenal dengan gerakan landreform, dimulai dengan anggapan bahwa negara tidak harus bertindak sebagai pemilik tanah mana pun, tetapi negara harus mempunyai wewenang untuk mengendalikan dan penggunaan yang efektif dari semua tanah, air, dan angkasa dalam wilayah negara. 8 Atas dasar anggapan di atas, rakyat dengan inisiatif sendiri ataupun dilindungi payung hukum melakukan gerakan pembagian tanah atau landreform pascaproklamasi kemerdekaan. Misalnya pada tahun 1947, masyarakat Ngandagan atas inisiatif Kepala Desa Soemotirto melakukan pembagian tanah dengan memperkuat sistem pembagian tradisional. Begitu pula yang terjadi pada masyarakat Vorstenlanden, Yogyakarta dan Surakarta pada tahun 1948. Atas dukungan Undang-undang Darurat No. 13 tahun 1948, rakyat petani merebut tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kira-kira 40 perusahaan gula milik Belanda. 9 7 Selo Soemardjan, Land Reform di Indonesia, dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, disunting oleh Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Jakarta: Yayasan Obor, 1984, halaman 106-107. 8 Kronik Agraria Indonesia, hlm 14. 9 Ibid. Hlm 10. Pada konteks ini, tak hanya undang-undang yang dijadikan dasar gerakan landreform. Kata-kata Paduka Jang Mulia Soekarno juga menjadi mantra dalam usaha rakyat merebut tanah yang menjadi hak mereka dengan kata kunci revolusi. Misalnya sebagai berikut. ―Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan puhun tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian mutlak dari Revolusi Indonesia. Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal asing terhadap Rakyat Indonesia.‖ 10 Atau bisa dikutip dari pidato Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1965, ―Kita memiliki sumber daya alam yang kaya, bangsa kita rajin, tetapi sebegitu jauh, hasil kerja mereka dilahap oleh tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tukang catut, setan desa, dan lain- lain…. Saya sudah sangat bersabar, saya telah memperlihatkan kesabaran seorang ayah. Namun kesabaran saya ada batasnya —apalagi kesabaran rakyat Saya telah memberikan kesempatan yang cukup untuk melaksanakan landreform —bahkan saya telah menunda batas waktunya —dan, jika perlu, saya mau memperpanjangnya setahun lagi.‖ Kalimat-kalimat Sukarno yang lancar diucapkan itu juga lancar digunakan rakyat untuk menggebuk para tuan tanah yang bandel terhadap UUPA. Pihak-pihak yang menentangnya dengan mudah dituduh sebagai antirevolusi, kaum imperialis, dan lain sebagainya. Tuduhan inilah yang membuat orang-orang takut karena akibatnya akan berakhir dengan ancaman kehilangan nyawa. Peristiwa-peristiwa di berbagai daerah yang berkaitan dengan gerakan landreform telah diuraikan pada bab sebelumnya, melalui liputan media massa milik PKI, Harian Rakjat. Tak hanya itu, seniman dan sastrawan sebagai roda penggerak 10 Buku merah Lahirnya Panca Sila, hlm 143-145. revolusi memperlihatkan perannya dengan menampilkan peristiwa tersebut dalam karya mereka. Demikian pula dengan Sugiarti Siswadi. Merespon landreform, Sugiarti menampilkan dua peristiwa penting yang terjadi di Jawa Tengah, Klaten dan Boyolali. Masing-masing dalam cerpen berjudul Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman. Cerpen yang dimuat di Harian Rakjat itu merepresentasikan peristiwa yang terjadi antara tahun 1964 hingga 1965. Keduanya telah menjadi isu besar pada masa itu. Hal ini terlihat dari maraknya pemberitaan di media massa, terutama Harian Rakjat, dan karya sastrawan Lekra yang mengangkat isu tersebut sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sastrawan yang menggarap isu tersebut, yaitu Sugiarti Siswadi dan Amarzan Ismail Hamid. Masing- masing dengan sudut pandang yang berbeda. Dalam kedua cerpen di atas, Sugiarti memang tak banyak menyebut kata kunci landreform, tetapi bisa dibaca bahwa peristiwa yang terjadi di dalamnya merupakan akibat dari gerakan landreform atau aksi sepihak. Dalam Pengadilan Tani misalnya, kata landreform hanya muncul sekali saja. Itu pun dengan maksud menyebut ―Panitia Landreform ‖. Penyebutan tersebut sebagai penguat bahwa Sanusi sebagai tokoh antagonis telah melanggar UUPA. Sepanjang pembacaan peneliti, penggunaan diksi oleh Sugiarti cenderung menghindari diksi-diksi yang biasa digunakan oleh kebanyakan intelektual pada masa itu, seperti Sukarno dan D.N. Aidit lihat pada Bab III. Misalnya untuk menyebut ―penghisapan dari modal-asing‖, ―tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, tukang catut, setan desa, ‖ dan lain sebagainya, Sugiarti cukup menyebut satu kata yang dianggap mampu mewakili keseluruhannya serta akrab di telinga rakyat, yaitu ―maling‖. Kata ―maling‖ disebut sebanyak 19 kali dalam cerpen Pengadilan Tani. Dengan pilihan yang demikian, ada upaya mendekatkan karyanya dengan rakyat. Bahkan, untuk menyebut UUPA dan UUPBH, Sugiarti menggunakan istilah ―perintah Bung Karno‖. Sebab dalam konteks ini, Bung Karno dengan keras menyuarakan adanya gerakan landreform sebagai salah satu pilar revolusi. ―Dua tahun telah lampau, Pak, sudah empat kali panen, dan sudah empat kali dia mengisap keringat saya. Dari maro, hamba hanya dapat mertelu. Tetapi, karena manusia tidak selamanya takut, tidak selamanya berjiwa pengecut, maka panen yang akhir ini, saya kerjakan apa yang harus saya kerjakan. Sanusi yang tidak menjalankan perintah Bung Karno harus dilawan dengan hukuman yang ditentukan oleh Pak Presiden.... ‖ ―Perintah Bung Karno‖ memang menjadi lebih praktis ketimbang harus menjelaskan pelanggaran yang dilakukan oleh Sanusi dengan rentetan kalimat yang lebih panjang. Dengan kalimat tersebut, seolah-olah orang sudah mafhum sesuai dengan konteksnya. Bisa jadi, ―Perintah Bung Karno‖ juga dijadikan dalih dalam penghakiman masal untuk perkara lainnya. Bentuk penghakiman yang paling sederhana namun memberikan kesan yang sangat negatif adalah dengan menyebut orang-orang seperti Sanusi sebagai ―Belanda‖. Belanda seolah menjadi bahan makian untuk menyebut seseorang yang keras kepala. Dalam bahasa Jawa, dikenal istilah ―londo‖ untuk menyebut orang Belanda dan sekaligus juga berfungsi sebagai ungkapan makian. ―Begini Pak,‖ jawab Kromosentono berani. ―Sudah dua tahun yang lalu hamba berunding. Setiap mau menggarap sawahnya, hamba berunding, supaya Sanusi rakus itu suka menjalankan aturan pemerintah, ialah maro. Tetapi dia kepala batu Pak, seperti Belanda Pak, seperti Tengku Pak. Apakah kita selamanya mesti berunding dengan maling? Apakah bapak-bapak mesti berunding dulu dengan maling? He, maling maukah kau kubawa ke bui? Apakah dulu kita berunding sama Belanda: ―He Belanda, diam-diamlah saya tembak biar kena kepalamu? Tidak Pak. Berunding sudah lama, sudah dua tahun, dia tetap membandel, karenanya sekarang saya berunding dengan tindakan. Masih untung Pak, saya tetap sabar, co ba tidak.‖ Kutipan di atas menunjukkan bahwa tuan tanah yang dimaksud tidak hanya keras kepala seperti Belanda, yang main rampas terhadap kehidupan rakyat pribumi, tetapi juga menyamakan mereka dengan maling. Setelah tanah dirampas, keringat pun dihisap, pembagian hasil panen tak berimbang. Cerpen lainnya dengan tema yang sama adalah Upacara Pemakaman. Dalam cerpen ini, kata kunci yang ditemukan adalah petani sebagai pahlawan. Tanah sebagai sumber pokok kehidupan kaum tani telah merenggut tiga nyawa petani. Selain itu, ketika masih hidup, ketiga petani tersebut juga ikut mengangkat senjata dalam konfrontasi dengan pemberontak D.I. Sebab itulah, ketiganya dianggap sebagai pahlawan. Dengan cerpen Pengadilan Tani, cerpen kedua ini cara ungkapnya tak jauh berbeda, baik cara menampilkan konflik maupun pemilihan diksinya. Hanya peristiwa yang berbeda membuat kedua cerpen ini memiliki napas yang berlainan. Jika Pengadilan Tani adalah hasil kerja BTI, Upacara Pemakaman lebih cenderung mengangkat hasil mobilisasi ―partai merah‖ dengan mendeskripsikan kain berwarna merah yang dibawa oleh para demonstran. Kedua cerpen Sugiarti yang telah dibahas di atas, memiliki hubungan paralelitas dengan karya sastrawan Lekra lainnya. Selain yang telah disebut sebelumnya, yaitu Amarzan Ismail Hamid cerpen Boyolali 11 , L.S. Retno cerpen Paman 12 dan Lelaki Itu Datang Lagi 13 , T.B. Darwin Effendie cerpen Ketika Padi Mulai Menguning 14 , Sesongko cerpen Tetap Bertahan 15 , serta Marapisingga cerpen Pak Guru 16 . Hadirnya cerpen-cerpen di atas memiliki hubungan paralel dengan dua cerpen Sugiarti yang telah dibahas sebelumnya, Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman. Tema landreform menjadi kunci paralelitasnya. Yang paling dekat dengan cerpen Upacara Pemakaman adalah cerpen Boyolali. Keduanya sama-sama berbicara tentang peristiwa demonstrasi yang terjadi di Boyolali, Jawa Tengah akibat dari meninggalnya tiga sosok petani. Tak hanya peristiwanya saja, bahkan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerpennya pun memiliki kesamaan. Misalnya Parto. Dalam Upacara Pemakaman dituliskan, ―Bohong. Uak Parto… bukan… tidak pernah maling…‖ Sementara dalam Boyolali dituliskan ‖Bagi kami, Nak, Jumeri, Sono, dan Parto tidak pernah mati. Setiap butir nasi yang kami makan dituai dari cucuran keringat dan darah mereka‖ Diksi pada kalimat terakhir ini juga memiliki kemiripan dengan kalimat, ―bahwa sekepal nasi itu bukan hanya keringat kaum tani tapi juga darahnya, darahnya sendiri.‖ 11 Laporan dari Bawah, Sehimpunan Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950-1965. Hlm. 50 – 51. 12 Ibid. Hlm 146 – 154. 13 Ibid. Hlm 155 – 161. 14 Ibid. Hlm 494 – 496. 15 Ibid. Hlm 380 – 387. 16 Ibid. Hlm 220 – 222. Boyolali yang ditulis Amarzan Ismail Hamid, diketahui bahwa nama lengkap dari tiga petani yang ditembak mati itu, ialah Djumari, Partodikromo dan Sonowirejo. 17 Selain itu, Amarzan juga menulis dalam bentuk reportase. 18 Dalam tulisannya yang berjudul Laporan dari Bojolali tersebut, diketahuilah bahwa konflik terjadi antara petani dengan tuan tanah yang bernama Wirjodiredjo. Tuan tanah itu berhasil menguasai tanah 26 patok tanah di Ketaon. 3,75 hektar dari 2 patok tanahnya dikerjakan oleh 13 orang kaum tani dengan sistem bagi hasil. Tanah selebihnya disewakan kepada pabrik gula ―Tjolomadu‖. Sistem bagi hasil yang terjadi adalah 1:2. 1 untuk petani dan 2 untuk tuan tanah. Hal ini merupakan pelanggaran UUPBH, yang mengatur pembagian hasil sekurang-kurangnya 1:1. Dalam reportasenya, Amarzan kemudian menjelaskan bagaimana tuan tanah itu bisa menguasai tanah yang sekian banyaknya. Pembacaan yang lebih detail, kedua cerpen ini tidak begitu menganggap penting alur cerita karena pokokya ada pada perlawanan petani. Keduanya menunjukkan sikap yang jelas dan sama-sama menampilkan; 1 penembakan terhadap kaum tani, 2 ketidakpatuhan tuan tanah pada UUPA dan UUPBH, 3 revolusi dengan landreform, 4 kesetiakawanan para petani, dan 5 protes pada sikap tuan tanah yang melakukan pengisapan dan penindasan. Tema serupa namun dengan peristiwa yang berbeda tampak dalam cerpen Paman karya L.S. Retno. Adalah Umi dan saudaranya sebagai narator yang memakai 17 Lihat Harian Rakjat, Minggu, 13 Desember 1964. 18 Harian Rakjat, Kamis, 7 Djanuari 1965. sudut pandang ―aku‖, berjuang membela kaum tani, melawan tuan tanah yang merupakan pamannya, yang juga adalah ayah Umi sendiri. Ayah Umi menguasai tanah di desanya dengan luas melampaui batas. Cerpen ini memberi pengertian bahwa perjuangan pelaksanaan UUPA dan UUPBH tak pandang bulu. Hubungan bapak- anak-keponakan tak boleh jadi halangan. Kepentingan rakyat adalah nomor satu. Begitulah jalannya revolusi. Cerpen tersebut tak berhenti pada titik ini, L.S. Retno melanjutkan perjuangan Umi dalam Lelaki itu Datang Lagi. Berbeda dengan cerpen sebelumnya, cerpen ini dibubuhi dengan kisah cinta yang terjadi antara Bungaintan dan Biran di tanah perkebunan. Keduanya menjalin kisah kasih, akan tetapi bukan kisah romantis yang disuguhkan, melainkan perjuangan membela kaum tani. Dengan sudut pandang berbeda, T.B. Darwin Effendi hadir melalui cerpen Ketika Padi Menguning. Tema yang diangkat tetap sama, yaitu landreform. Namun peristiwa yang dihadirkan tak seperti cerpen-cerpen sebelumnya. Ia mengangkat sudut pandang golongan tuan tanah dan tengkulak. Tentu saja, dalam cerpen ini dimunculkan pikiran licik dua golongan tersebut. Namun pada akhirnya, rakyat tampil sebagai pemenang. Tak luput pula, kritik terhadap kaum agamawan, yaitu haji. Dalam masyarakat Indonesia, pelaksanaan ibadah haji menunjukkan kelas sosial. Dengan berhaji, berarti seseorang merupakan orang yang kaya. Kekayaan itu sebagian berupa penguasaan tanah yang berlebihan. Atas penguasaan tersebut, rakyat melawan. Peristiwa ini dihadirkan oleh Sesongko dengan cerpen Tetap Bertahan. Cerpen ini juga menjadi kritik terhadap kiai-kiai di Jawa yang memiliki pondok pesantren. Pondok pesantren cenderung membutuhkan tanah luas karena untuk menampung para santri yang jumlahnya juga tak sedikit. Hal ini yang kelak dimanfaatkan sebagai isu agama dalam pembantaian PKI. Kaum komunis dibantai karena dianggap mengancam keberlangsungan pesantren dan kekayaan pribadi seorang kiai karena tuntutan pelaksanaan landreform. Seperti halnya cerpen lainnya, akhir dari alur cerita memihak pada rakyat.

B. Perempuan dan Anak