Aidit dan Sugiarti sama-sama menekankan bahwa antara kader dan partai harus saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan partai dan tuntutan kadernya
yang dirumuskan dalam misi partai. Tanpa kerja sama keduanya, tujuan besar revolusi tidak akan pernah tercapai.
D. Perjuangan Prajurit: Kerja Revolusi
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam masa revolusi, tani, buruh dan prajurit menjadi bagian kesatuan dalam menjalankan roda revolusi.
Kata revolusi mengasosiasikan tentang perkara yang sengit dan penuh konflik. Begitu pula yang digambarkan Sugiarti Siswadi dalam cerpen-cerpennya yang
merepresentasikan perjuangan revolusi. Beberapa cerpen itu hanya ditemukan dalam kumpulan cerpennya, Sorga Dibumi. Hal ini mengingat bahwa sebelum
dilaksanakan KSSR, prajurit tidak menjadi perhatian, bahkan dianggap tidak prorakyat. Namun jika melihat dari sisi lain, para prajurit adalah juga kaum tani,
buruh dan massa pekerja lainnya yang menenteng senapan. Mereka sama-sama massa pekerja meski dengan alat dan pekerjaan yang berbeda. Alasan mengenai
kenapa sebelumnya prajurit tidak menjadi bagian dari kerja sastra dan seni, diterangkan oleh D.N. Aidit bahwa,
―…mengingat adanya dua aspek dalam kekuasaan politik atau kekuasaan RI sekarang ini, yaitu aspek antirakyat dan aspek prorakyat. Padahal justru
karena alasan ini, sastra dan seni revolusioner harus juga ditujukan kepada prajurit. Kalau tidak, sastra dan seni kita tidak mengembangkan aspek
prorakyat. Dijadikannya prajurit sebagai objek kerja sastra dan seni revolusioner sebetulnya justru membantu usaha mendorong dan
memperkuat aspek prorakyat dalam kekuasaan politik sekarang untuk
mengalahkan dan mengusir aspek antirakyat‖
Di bagian yang lain, hal tak kalah penting sebagai penopang jalannya revolusi adalah kader partai. Merekalah yang kelak akan meneruskan perjuangan
yang telah dimulai. Aidit dalam referetnya pada sidang KSSR menekankan pentingnya kader revolusioner.
―…bahwa praktis sasaran pengabdian sekarang adalah kepada kader-kader revolusioner. Kader-kader adalah pencerminan massa, karena mereka
adalah inti, tulang punggung dan juru bicara perasaan dan fikiran massa yang mereka pimpin, mengenal perasaan dan fikiran kader pada hakikatnya
mengenal perasaan dan fikiran massa sampai batas-batas tertentu atau sepenuhnya sudah terkristalisasi. Oleh karena itu, sastrawan dan seniman
revolusioner harus berusaha lebih sungguh-sungguh untuk bergaul lebih mesra dengan kader-kader revolusioner dari pusat sampai basis, hingga
lebih mengenal sasaran pengabdian kerjanya.‖
58
Ada tiga cerpen dari Sugiarti yang memiliki paralelitas dengan pernyataan D.N. Aidit di atas, bahwa prajurit juga merupakan unsur penting dalam sebeuah
revolusi. Revolusi membutuhkan alat atau senjata, dan bahkan pemegang senjata itu sendiri, yaitu prajurit. Jika rakyat dan prajurit dimobilisasi dalam satu tujuan,
bukan hal mustahil tujuan revolusi akan tercapai. Cerpen-cerpen yang merepresentasikan perjuangan prajurit tersebut adalah Parak Siang, Orang-orang
Sebatang Kara dan Soekaesih. Cerpen Parak Siang menceritakan tentang kesadaran seorang feodal, anak
seorang bupati, bernama Aris. Sebagai anak pamongpraja, ia memiliki kekuasaan tak terbatas di daerahnya. Tak ada yang berani melawannya. Tak ayal jika
kemudian ia banyak terlibat dengan berbagai kegiatan kriminal, seperti judi. Memiliki berbagai fasilitas dan sangat dimanjakan orangtuanya, Aris dengan
58
Aidit, 1964, Hal. 51.
seenaknya menggauli wanita-wanita yang ia sukai, setelah ditinggal begitu saja. Selirnya ada di mana-mana meski ia belum menikah.
Hingga suatu saat, Aris bertemu dengan Rini, anak gadis seorang pegawai rendahan. Bagi orangtua pada masa itu, jika putri dilamar oleh orang kaya dan
terpandang tentu menjadi kebanggan tertentu. Namun hal ini sempat ditolak oleh kakaknya Rini, si Perempuan. Perempuan itu sadar dan tahu betul bagaimana
kelakuan Aris. Namun orangtua yang sudah terlanjur diliputi kebanggan karena anaknya dilamar seorang bangsawan, membantah seluruh tuduhan anak
perempuannya yang sudah besar itu. Baginya, seorang lelaki akan dapat dikontrol jika ia sudah menikah. Namun nyatanya yang terjadi di luar dugaan orangtuanya.
Seperti gadis lainnya, Rini diperlakukan tak adil dan semena-mena. Sebagai suami, Aris masih saja menggoda perempuan lain. Selirnya bertambah
banyak. Hingga datang masa revolusi, orangtua Aris bangkrut dan ia menjadi sebatangkara. Belum lagi ia ditimpa musibah kena penyakit rajasinga. Penyakit itu
menular pada istri dan anaknya. Bayinya yang cacat yang sanggup hidup seminggu, sementara Rini yang kandungannya diserang kuman-kuman masih
sanggup menderita berbulan-bulan meski akhirnya kalah juga. Ia mati dengan merana.
Suatu hari, datanglah Aris kepada kakak iparnya dalam keadaan tak berdaya. Perempuan itu nyaris tak mau menerimanya. Tapi bagaimana pun, lelaki
itu pernah jadi suami adiknya. Aris dipersilakan masuk. Ketegangan sempat terjadi, tapi Aris tak sesombong dulu lagi. Ia banyak menunduk. Tak lama
berselang, Aris mengungkapkan maksudnya. Bahwa ia sekarang telah sadar dan
berada di pihak revolusioner. Ia berterima kasih kepada perang, kepada revolusi yang telah mengubahnya menjadi manusia yang berbeda. Dalam jalannya revolusi,
Aris mendapat jatah untuk memasang ranjau, mungkin yang paling berbahaya. Kedatangannya adalah untuk meminta restu kepada kakak iparnya. Jika parak
siang ia tak juga kelihatan, berarti ia telah pergi untuk selama-lamanya. Dengan perubahan Aris, Perempuan itu menjadi sedih dan memaafkan
segala khilafnya di masa lalu. Ia merestui perjalanan revolusi adik iparnya. Setelahnya, Aris pamit. Keesokan harinya, di pagu hari, terdengar ledakan yang
dahsyat. Si Perempuan menanti-nanti daik iparnya tapi tak juga terlihat batang hidungnya.
Dengan adanya cerpen Parak Siang ini, tema yang diangkat pengarang Sugiarti Siswadi menjadi beragam, sesuai dengan nafas perjuangan Lekra dan
PKI. Perlawanan revolusi Indonesia menghadapi dua musuh, musuh pertama dari luar yang berupa imperialis, dan kedua adalah kaum feodal.
Cerpen ini memiliki hubungan pararelitas dengan yang dikatakan oleh D.N. Aidit,
59
bahwa ―kebudayaan ‗cara hidup Amerika Serikat‘ American way of life berjalin dengan kemaksiatan feodal dalam wujud 5 M Maling, Melacur,
Mainjudi, Madat, dan Minum mabuk-mabukan. Oleh karena itu, melawan agresi kebudayaan imperialis AS harus disatukan dengan kemaksiatan kaum feodal,
kaum komprador, dan kaum kapitalis birokrat.‖ Tokoh Aris pada cerpen di atas kiranya mewakili apa yang dikatakan oleh
Aidit sebagai ―kaum feodal, kaum komprador, dan kaum kapitalis birokrat‖. Ia
59
Aidit, 1964. Hal 38
adalah seorang birokrat sebagai anak seorang bupati, yang menjalankan budaya feodal, dan menjadi komprador bagi imperialisme untuk menindas bangsanya
sendiri. Selain sifat dasar Aris itu, sebagai seorang birokrat ia juga melakukan 5M. Sepertinya pada umumnya ditemukan dalam cerpen Sugiarti, bahwa
setelah memandang miring terhadap persoalan yang ingin disampaikan, ia mempertemukan tokohnya dengan suatu pencerahan yang membuat si tokoh
berubah sedemikian rupa. Begitu pula yang terjadi pada Aris dalam cerpen di atas. Setelah mengalami berbagai musibah dalam hidupnya, Aris kemudian bertaubat
dan memilih jalur dengan bergabung bersama pasukan revolusioner. Sementara tokoh yang mulanya menentang Aris, yaitu kakak iparnya menjadi berubah
pendirian pula, bahwa Aris yang dulu telah berubah dan mau ―merangkul‖nya sebagai adik ipar.
Pada masa revolusi, tak hanya Aris dan tokoh-tokoh lainnya dalam cerpen Parak Siang saja yang menderita. Jauh di perbatasan, Orang-orang Sebatang Kara
menggantungkan nasib pada prajurit. Prajurit menjadi tumpuhan terakhir sebelum akhir menempuh hidupnya masing-masing. Prajurit-prajurit itulah yang berjaga-
jaga di perbatasan untuk menghalau serangan dan melindungi rakyat. Lihatlah dalam cerpen Orang-orang Sebatang Kara. Cerpen ini
menggambarkan kondisi Indonesia ketika Perang Dunia II. Orang-orang meninggalkan hartanya mencari tempat berlindung yang lebih aman. Di suatu
tempat, banyak orang berbondong-bondong antri masuk ke wilayah tersebut. Tak sedikit dari mereka yang terpisah dengan sanak keluarganya. Wajar jika wajah
mereka terlihat sayu dan kusam.
Berjagalah tentara pribumi di beberapa titik, mendata dan mengamankan mereka ke pengungsian yang layak. Para tentara itu meski masih muda, tapi
mereka ―orang belum pernah mendengar bahwa anak-anak kecil itu pernah menjadi pengecut‖. Mereka ada di barisan depan melawan penjajah, dan barisan
depan menyelamatkan penduduk sipil. Mereka juga kehilangan keluarganya, tapi gerak revolusi tak boleh berhenti. Terus mengabdi pada negara.
Di antara para pengungsi itu ada seorang perempuan muda. Ia membawa anak kecil. Semalam, ketika ia tidur dengan menekuk tubuhnya, dirasanya kakinya
diraba oleh anak kecil itu. Lalu ia memeluknya. Anak kecil yang malang, entah ke mana orangtuanya. Dan si antara antrian, anak kecil itu kembali padanya. Orang-
orang tahu, kemarin, perempuan itu menangis habis-habisan memeluk anaknya yang mati.
Dua tahun kemudian, perempuan itu kembali ke kota asalnya karena Belanda telah pergi. Ia dan anak kecil itu hidup berdua, merekalah sebatang kara.
Cerpen di atas masuk dalam antologi cerpen Sorga Dibumi, menempati urutan paling bawah. Melalui cerita tersebut, bisa dilihat paralelitasnya dengan
kadaan darurat perang pada tahun 1957. 14 Mei 1957, PresidenPanglima Tertinggi Sukarno mengeluarkan Perintah
Harian yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan darurat perang Staat van Beleg. Tiga hari kemudian 14 Mei 1957, D.N. Aidit menulis
artikel pendek menanggapi perintah tersebut. Artikel tersebut dimaksudkan untuk memberikan pegangan kepada rakyat dalam mengahadapi pelaksanaan berlakunya
keadaan darurat perang di seluruh wilayah Indonesia. ia memperingatkan bahwa
ada kemungkinan penyalahgunaan keadaan darurat perang tersebut oleh kaum reaksiner, birokrat, koruptor, penggelap dan elemen-elemen fasis untuk
kepentingan dirinya yang dapat merugikan rakyat.
60
Ditandaskan pula bahwa usaha-usaha jahat tersebut hanya dapat digagalkan jika ada kontrol aktif dari rakyat. Selanjutnya, Aidit menyerukan
pentingnya kerjasama antara rakyat pekerja dan angkatan perang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
―Mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas maka saya menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama kepada rakyat pekerja supaya
dengan sekuat tenaga mengusahakan adanya kerjasama dan saling bantu antara rakyat dan Angkatan Perang serta aparat negara pada umumnya
untuk mencapai tujuan-tujuan yang positif dari pengumuman keadaan
darurat perang oleh PresidenPanglima Tertinggi Sukarno…‖
61
―Hidup kerjasama dan saling bantu antara rakyat dengan perwira-perwira, bitara-bintara dan para bawahan Angkatan Perang dalam melaksanakan
Perintah Harian Panglima Tertinggi, dalam mengutuhkan kembali Republik Indonesia dan dalam mematahkan semua kegiatan subversif
asing‖
62
Kondisi darurat perang sangat terasa dalam cerpen Orang-orang Sebatang Kara di atas. Hal ini dilukiskan dengan oleh Sugiarti dengan orang-orang
berbondong-bondong menyerbu tempat yang lebih aman dan meninggalkan segala harta bendanya, bahkan di antara mereka kehilangan sanka familinya, termasuk
tokoh perempuan yang menjadi sentral dalam cerita tersebut. Tampak jelas pula, bagaimana kerja sama yang antara rakyat dengan
prajurit. Di satu sisi, rakyat rela menjadi prajurit tanpa keahlian yang memadai,
60
Aidit, 1960, hal 150 – 157.
61
Aidit, 1960, hal 153.
62
Ibid.
bahkan di usia remaja, di sisi lain prajurit membantu rakyat pengungsi dan memberikan mereka kebutuhan sehari-hari.
Dalam tulisan yang lain, Aidit juga mengharuskan adanya persatuan rakyat dan
prajurit —yang disebut persatian dwitunggal—dalam melaksanakan
perjuanga n revolusi. ―Persatuan dwitunggal, yaitu rakyat dan tentara, dalam
bentuk-betuk badan-badan kerja sama pemuda-militer, buruh-militer, tani-militer, wanita-
militer, dll.‖
63
Meski prajurit menjadi sosok pahlawan dalam cerpen Orang-orang Sebatang Kara, namun Sugiarti memperlihatkan perhatiannya pada sosok
perempuan yang disebutnya sebagai ―sebatang kara‖. Tokoh perempuanlah yang
lebih mendepatkan tempat dalam cerpennya tersebut. Sikap ini pula yang ditunjukkan Sugiarti dalam cerpen Soekaesih.
Cerpen Soekaesih berkisah tentang seorang perempuan yang hatinya terbakar karena melihat penyiksaan sadis terhadap Haji Hasan yang dianggap
memberontak di Cimereme, Periangan Timur. Bersama keluarganya, darah Haji Hasan membanjiri tanah.
Pasal yang sebenarnya ialah Haji Hasan tak mau menyerahkan hasil panennya kepada perampok Belanda. Untuk memberikan perlajaran kepada
rakyat, Belanda membunuh mereka. Barang kali itu berhasil, tapi di sisi lain, seorang wanita justru bergejolak dan mulai mengobarkan api perlawanan. Ia
memang tak seperti umumnya penduduk.
63
Aidit, 1960, hal 409.
Perempuan yang baru saja minta cerai pada suaminya itu, masuk ke dalam sebuah organisasi. Mula-mula ia jadi anggota Sarekat Fatimah, tapi kemudian
keluar karena hanya membicarakan soal akhirat dan surga. Ditunggu-tunggu rapat yang memperjuangkan rakyat, tapi tak pernah diselenggarakan. Dengan tekat yang
bulat, ia berangkat ke Jakarta. Berkat bantuan temannya, seorang buruh kereta api, ia menjadi anggota Sarekat Rakyat Merah. Sarekat ini menjawab segala
kegelisahannya tentang mengabdi kepada rakyat. Ia puas. Lalu berkat ketekunannya dalam berorganisasi, ia berhasil masuk dalam lingkaran PKI. Ia
makin bangga memanggul bendera merah palu arit. Tahun demi tahun perlawanan semakin menghebat, malam menjelang
tahun 1926 bersejarah, pimpinan PKI memerintahkan pemberontakan di seluruh Indonesia. ―Pemberontakan tak bisa disuruh dan tak bisa ditahan. Jika sudah
dimulai, Partai harus berada di barisan terdepan, memimpin perlawanan.‖ Malam menjelang 12 November, ribuan rakyat akan menyerbu penjara
Glodok. Tapi naas, rencana itu rupanya tercium oleh reserse Belanda. Pagi-pagi buta, di seluruh Jakarta diadakan penangkapan umum. Banyak anggota partai
tertangkap. Sukaesih berhasil lolos, namun tak lama kemudian ia ditangkap. Namun ia tetap santai. Sebelum ditangkap, ia sempat minta ijin untuk mandi.
Penangkapan Sukaesih tak gratis, pemerintah Belanda menghadiahkan ƒ500 bagi yang berhasil menangkapnya.
Soekaesih sebulan mendekam di Hopbiro, dipindahkan ke Glodok setengah tahun, lalu ke Digul. Di Digul ia semakin matang, menggagas kembali
pembebasan Indonesia dari tangan penjajah. Perjuangannya membuahkan berhasil.
Ketika Natal tahun 1925, PKI mengadakan pertemuan singkat di Prambanan, Yogyakarta. Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam SI
Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang mahapenting, bahwa perlu adanya pemberontakan, kaum tani harus dipersenjatai dan serdadu ditarik ke
dalam pemberontakan ini. Hasil dari pertemuan ini disebut Keputusan Rambanan. Pemberontakan ini mulanya diagendakan pada 12 Juni 1926, namun karena
berbagai sebab baru meletus lima bulan setelahnya, yaitu 12 November 1926. Ada berbagai sebab yang menjadikan pemberontakan ini gagal; 1 tidak ada
kesepakatan bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu; 2 banyaknya resersir detektifmata-mata Belanda atau pengkhianat; 3 sebelum
pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan Tubagus Hilman sudah
ditangkap Belanda.
64
Peristiwa ini selalu diperingati. Misalnya pada hari Kamis, 12 November 1964, PKI memperingati sebagai upaya mengenang pahlawan mereka. Pada
malam peringatan tersebut, Sekretaris I Comite PKI, Njoto, mengajak kaum komunis untuk ―mengobarkan semangat yang gegap gempita dari perjuangan 26
November‖. Selain itu, ia juga kaum komunis untuk belajar dengan rendah hati atas peristiwa tersebut.
65
Pada tahun-tahun sebelumnya, misalanya pada tahun 1954, sebuah tulisan tentang pemberontakan 12 November menggambarkan bagaimana sebuah bangsa
melahirkan dan dihidupi oleh para pahlawan. Pahlawan menjadi contoh, menjadi
64
Lihat Pengantar Asep Samboja dalam buku Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora 26. Bandung: Ultimus.
65
Lihat Harian Rakjat, 13 November 1964.
penarik, menjadi pegangan terutama di saat-saat sebuah mengalami kehidupan yang sulit. Dalam tulisan tersebut juga dijelaskan bahwa menurut Julius Fucik,
kaum komunis sangat mencintai hidup, mencitai kemerdekaan, menjadi kerja mencipta, mencintai perdamaian dan rakyat. Dalam rangka memenuhi hal tersebut,
―berarti mengerahkan semakin banyak tenaga-tenaga dari rakyat dan dari seluruh umat manusia‖, karena komunis membuat segala yang bisa diperbuat agar umat
manusia berjalan maju menuju hari kemudian yang berbahagia.‖
66
Bentuk peringatan lain yang dilakukan adalah penerbitan buku dengan tema dan latar belakang persuitiwa tersebut. Para penulis Lekra kemudian
membuat sebuah antologi berjudul Api 26, yang berisi cerpen dan puisi, salah satunya adalah karya Sugiarti Siswadi yang telah dideskripsikan di atas.
Tokoh yang diabadikan oleh Sugiarti Siswadi ini, bukanlah tokoh karangan. Nama Sukaesih sudah sangat akrab di kalangan kaum revolusioner.
Saskia E. Wieringa
67
menuliskan bahwa perjuangan yang dilakukan oleh Soekaesih dan kawan-kawan, merupakan gerakan yang dilakukan oleh wanita
PKI. Sudah seharusnya mereka tidak diam di rumah dan menunggu di siksa. Wanita PKI juga harus turun dalam perjuangan, jika tidak mereka akan tersingkir
oleh lelaki dan kaum kapitalis. Perempuan Sarekat Rakyat SR, sayap ―merah‖ dari Sarekat Islam SI
meliputi ribuan anggota termasuk dua tokoh SR, Raden Soekaesih dan Munapsiah.
68
Sekalipun sumber-sumber tentang seksi perempuan PKI sangat langka, dapat diperkirakan banyak di antara mereka kemudian
bergabung ke dalam PKI. Dalam konggres PKI pada tahun 1924, satu hari penuh digunakan untuk mendiskusikan masalah gerakan perempuan, peran
66
Harian Rakjat, Djumat, 19 November 195
67
Lihat buku Pernghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI ditulis oleh Saskia E. Wieringa. Galang Press, Yogyakarta, 2010.
68
Lihat juga Harian Rakjat, 18 Mei 1960.
perempuan dalam perjuangan melawan kapitalisme dan kolonialisme. Dalam konggres, Raden Soekaesih dan Munapisah dilaporkan menyatakan
kepada hadirin, perempuan jika tidak berjuang bagi hak-hak mereka, itu berarti ―mereka akan disingkirkan oleh kaum laki-laki dan kaum kapitalis,‖
dan lalu, kaum perempuan akhirnya menjadi ―matahari dalam rumah
tangganya‖ tetapi pada saat ini menjadi alat di tangan kaum kapitalis. Kaum perempuan telah berjuang secara mandiri pada zaman Majapahit.
Kini terdapat perempuan pelacur, itu bukan kesalahan perempuan tapi
kesalahan kapitalis… mereka menyerukan… atas nama perempuan berjuang melawan kapitalisme dan imperialisme.
…. Jumlah perempuan serta kegiatan mereka dalam pemberontakan 1927-
1927, tidaklah jelas. Kaum perempuan di Ciamis dilaporkan sebagai
―sangat militan dan gigih‖.
69
Soekaesih dan Munapsiah dipenjara dan dibuang ke kamp konsentrasi Digul. Raden Soekaesih yang tersohor
dengan visi yang mengilhami kaum perempuan Indonesia, dijatuhi hukuman berat, dituduh melanggar pasal 156 Hukum Pidana yang bersifat
karet dikatakan ―dalam sifat kelas atas pendudukan pribumi merasa terhi
na dengan masalah kawin paksa‖ Munster Philippo-Raden Soekaesih, tanpa tahun: 6
70
Menyikapi peran penting perempuan dalam revolusi Indonesia, Harian Rakjat banyak memberikan ruang untuk kaum perempuan, dengan diberikan
kolom khusus untuk perempuan, yaitu Ruang Perempuan. Dalam sebuah berita dikabarkan pula, bahwa ―Revolusi Tanpa Perempuan adalah Pintjang‖. Hal ini
disampaikan oleh Menteri Pangau Laksamana Madya Udara Omar Dhani dalam acara penutupan pelatihan sukarelawati Pesatuan Istri AURI PIA, di Lubang
Buaya Halim Perdana Kusumah. Selain itu, ia juga berpesan untuk meningkatkan
69
Lihat juga Harian Rakjat, 11 November 1959
70
Soekaesih keturunan priyayi, putri asisten wedana, ketika masih sangat muda dikawinkan dengan laki-laki jauh lebih tua. Ia tak dapat menerimanya, cerai dengan suaminya maupun dengan
keluarganya sendiri. Kemudian ia kawin dengan seorang Belanda, setelah dibebaskan dari Digul ia pindah ke negeri Belanda. Memoarnya diterbitkan oleh D van Munster sebagai protes terhadap
―polisi negara‖ Belanda yang dibentuk di Indonesia. memoarnya membenarkan bahwa politik raga merupakan wacana pokok bagi perempuan yang bergabung dengan organisasi sosialis ketika itu.
Lihat Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI ditulis oleh Saskia E. Wieringa. Galang Press, Yogyakarta, 2010.
kewaspadaan ―terhadap subversif dan bentuk-bentuk lain yang bersifat destruktif dalam revolusi kita‖
71
71
Lihat Harian Rakjat, Sabtu, 26 September 1964.
129
BAB IV MELACAK PARALELITAS KARYA SUGIARTI SISWADI