Lima tahun setelah terbit, buku Sorga Dibumi karya Sugiarti Siswadi, tepatnya 30 November 1965, menjadi buku terlarang oleh Pembantu Menteri P.D.
dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. Inf. Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Buku ini kembali dilarang oleh Tim Pelaksana Pengawasan Larangan Ajaran
Komunisme Marxisme-Leninisme DKI Jaya pada Maret 1967. Dari data tersebut, penulis menganggap pentingnya peranan pengarang
wanita Lekra ini. Namanya disejajarkan dengan penulis papan atas Lekra dan masuk dalam kepengurusan pusat Lekra, terpilih pada Kongres Nasional I Lekra,
pada tanggal 24-29 Januari 1959 di Solo.
11
Dari berbagai pembacaan literatur, penulis tak menemukan ulasan panjang mengenai pengarang perempuan ini beserta karya-karyanya. Seluruhnya seakan
bungkam, bahkan teman seperjuangannya. Hanya sesekali namanya disebut sebagai pengarang perempuan. Penelitian ini berupaya membongkar kubur
Sugiarti Siswadi melalui karya-karyanya.
B. Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan dijawab pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana representasi perjuangan kelas dalam karya-karya Sugiarti
Siswadi?
11
Lihat Lekra tak Membakar Buku susunan oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri. Merakesumba, Yogyakarta, 2008.
2. Bagaimana hubungan paralelitas karya-karya Sugiarti Siswadi dengan
teks-teks berideologi serupa mengenai sejumlah isu yang berkembang pada masanya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk menggali karya-karya pengarang sastra Indonesia modern yang tenggelam, khususnya Sugiarti Siswadi. Pada tahun
1950-1965 karya-karyanya sering memenuhi media massa. Setelah peristiwa kemanusiaan 1965, namanya tak pernah lagi ke permukaan.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoretis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu sastra, khususnya sejarah sastra dan kritik sastra. Bagi sejarah sastra hasil
penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan untuk mengungkap perkembangan ideologi dalam kesusteraan Indonesia modern, khususnya sastra
Indonesia masa penjajahan. Bagi kritik sastra, penelitian ini diharapkan memberikan model analisis dan penelitian terhadap karya sastra dengan sudut
pandang yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu New Historicism. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
bagi peningkatan apresiasi sastra, terutama apresiasi terhadap sejarah sastra Indonesia dalam khasanah sastra Indonesia modern. Penelitian ini tidak hanya
mengkaji teks sastra saja, melainkan juga kondisi sosial historis yang melingkupinya. Dengan demikian, penelitian juga bermanfaat bagi ilmu sejarah
untuk melihat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika masa pergolakan politik 1950-1965.
E. Tinjauan Pustaka
Sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru, banyak bermunculan penelitian yang mengungkap sisi yang gelap dan digelapkan oleh pemerintahan
tersebut. Terutama sekali dalam bidang sastra, kita mengenal sebuah lembaga bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra yang ideologinya sealiran dengan
PKI menjadi tumbal atas kekuasaan sebuah orde. Hal ini tentu saja menggemberikan, karena dapat kembali membuka lubang sastra Indonesia modern
yang tertutup selama 30 tahun lebih. Berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis, hingga
kini, belum ada peneliti yang secara intens dan mendalam membahas karya-karya pengarang perempuan yang juga pimpinan pusat Lekra bernama Sugiarti Siswadi
secara utuh. Sesekali penelitian dilakukan karena hanya nama dan karya Sugiarti Siswadi disebut dalam sebuah buku. Misalnya, dalam buku trilogi Lekra tak
Membakar Buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri diterbitkan Merakesumba, Yogyakarta, 2008.
Dari buku yang sama, Asep Samboja terinspirasi menulis esai lepas berjudul Cerpen-cerpen Sastrawan Lekra.
12
Meski diberi judul demikian, namun Samboja cenderung mengalisa cerpen-cerpen Sugiarti Siswadi. Pilihan Samboja
adalah karena Sugiarti Siswadi merupakan penyumbang cerpen terbanyak dalam
12
Lihat Asep Samboja Menulis; Tentang Sastra Indonesia dan Pengarang-pengarang Lekra. Bandung: Ultimus. Terbit tahun 2011. Hal. 230
– 232.
buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri tersebut.
Samboja berpendapat bahwa seluruh cerpen Sugiarti Siswadi semuanya menggunakan sudut pandang orang ketiga
―ke-dia-an‖. Pengarang memposisikan dirinya sebagai orang yang serba tahu, sehingga dalam sebuah cerpen, ia tahu
semua karakter tokohnya. Akibatnya dalam beberapa cerpen ucapan dan pemikiran tokoh-tokohnya hampir sama, bahkan nyaris seragam.
Pendapat Samboja ini diperkuat dengan argumentasinya yang mengatakan bahawa sebagai pengarang, Sugiarti berperan layaknya dalang atau pendongeng.
Sikap Sugiarti yang demikian dianggap gagal oleh Samboja. Pasalnya, sebagai dalang, Sugiarti tak dapat membedakan karakter suara satu tokoh dengan tokoh
lainnya. Dari sisi penggunaan bahasa, Samboja mengatakan bahwa bahasa yang
digunakan Sugiarti dalam cerpen-cerpennya, jika dikaitkan dengan konteks tahun 1960-an, termasuk bahasa yang halus dan indah. Bahkan cenderung santun. Oleh
karena itu, terkadang dalam cerpennya tidak ada konflik dan tidak ada klimaks. Padahal, daya tarik sebuah cerita itu kalau ada konfliknya, meskipun hanya
konflik batin. Kalau sebuah cerita tidak ada konfliknya, atau sebuah permasalahan yang menarik perhatian, maka cerita itu akan kehilangan gregetnya.
Penelitian lain dilakukan oleh Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum 2012, berjudul Prosa Lekra 1950
–1965 Studi Tentang Karya Sastra, Sastrawan, dan Kedudukannya dalam Sejarah Sastra Indonesia. Dalam penelitian tersebut, Taum
mengungkap bahwa selama kurun waktu 1955 –1965, periode di mana Lekra
hidup, jelas terlihat bahwa lingkungan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial- budaya merupakan sebuah lingkungan yang penuh dengan dinamika dan
pertarungan kepentingan. Membaca karya-karya Lekra yang pada masa itu, Taum berpendapat
bahwa para pengarang masa itu telah berhasil merepresentasikan zaman pertarungan kepentingan itu terjadi. Suasana pada masa itu tetap terasa jika karya-
karya itu dibaca saat ini. Oleh Taum, hal ini kemudian diartikan sebagai sebuah ―keterlibatan‖ antara karya sastra realitas yang melingkupinya pada kisaran 1950-
1965. Keterlibatan itu tak hanya berkubang dalam persoalan-persoalan dalam negeri saja, Komunis Indonesia yang memiliki semangat antikolonialisme dan
imperialisme ikut terlibat dalam perang dingin, dan mereka berdiri di pihak Timur untuk melawan Barat AS dan Inggris.
Laporan penelitian tersebut dibagi dalam lima bab. Pada Bab IV, Taum membahas tentang karya sastra, sastrawan, dan kedudukannya dalam sejarah
sastra Indonesia. Sastrawan yang disebut adalah lima orang sastrawan Lekra, yakni Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail Hamid, Putu Oka Sukanta, Sugiarti
Siswadi, dan Pramoedya Ananta Toer. Dapat disimpulkan bahwa penelitian Taum lebih cenderung ke arah mengungkap ideologi lembaga Lekra dan bagaimana
keterlibatan sastra dan pengarang dalam mendokumentasikan laku sejarah.
F. Kerangka Teori