Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH

tubuh dengan perut kosong, paginja tahu2 ada jg mati atau jang masih mudjur tjuma buang kotoran berupa darah, ya darah sekal i lagi darah‖ 16 Sugiarti pun mengatakan, ―Mayat-mayat hidup dan kerangka yang menyeringai memenuhi jalanan, dengan berkain goni karung membawa tempurung, mengorek-ngorek parit kecil, membongkar tanah, siapa tahu ada rejeki bersembunyi. ‖ Atau bisa dibayangkan kematian yang setiap hari terjadi dalam Jang Pertama, Kalau orang meninggalkan desa untuk seminggu dua minggu, maka ia akan menemui perubahan. Entah tetangganya kiri, atau yang kanan, kerabat jauh atau kenalan lama, tetapi terang, paling sedikit dua orang meninggal dalam waktu seminggu. ―Pak Kromo telah meninggal. Hari Kamis.‖ ―Mbok Dipo telah meninggal. Hari Jum‘at.‖ ―Sinem telah meninggal. Hari Minggu.‖ ―Yu Siti hampir meninggal. Kaki duanya bengkak.‖ Dalam cerpen Jang Pertama, Sugiarti menampilkan kekhasannya dengan menggunakan tokoh anak sebagai titik balik dari perlawanan romusha. Melalui sakit yang diderita anak, sang ibu yang sakit hati memberondong romusha dengan cercaaan karena tak ada yang membela anaknya saat dianiaya. Dari cercaan itulah, romusha bangkit dan melakukan perlawanan.

B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH

Pokok dalam subbab ini adalah tanah, yang melahirkan pertentangan kelas. Sengketa tanah menjadi masalah utama dalam bahasan cerpen-cerpen yang terpilih dalam subbab ini. Kenapa persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah di daerah 16 Harian Rakjat, 9 Agustus 1960. pedesaan dianggap layak untuk diperhatikan? M.M. Billah dkk 17 mengemukakan beberapa alasan yang dirangkum dari beberapa pendapat. Pertama, telah diketahui secara umum bahwa penduduk Jawa berkembang dengan cepat. Di segi lain areal tanah pertanian nyaris tidak bertambah, ataupun pertambahan itu jauh lebih sedikit daripada pertambahan penduduk. Hal ini menimbulkan banyak akibat, salah satu diantaranya adalah makin kecilnya pemilikan dan proses penyempitan pemilikan itu pun berkelanjutan. Terjadilah kemudian suatu cara yang dipergunakan oleh masyarakat pedesaan untuk bereaksi terhadap gejala, yang oleh Geertz disebut dengan shared poverty Geertz, 1956. Kedua, pengaruh perekonomian uang yang mulai merembes ke daerah pedesaan disusuli oleh berbagai akibat dalam hubungan sosial. Di samping itu, lewat proses jual-beli dan sewa-menyewa tanah terjadilah pula di satu pihak proses pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah di tangan beberapa orang, sedang di pihak lain makin banyak orang yang tidak memiliki dan atau menguasai tanah lagi. Hal ini sudah terjadi sebelum perang. Ranneft, 1923 Ketiga, masalah dan penguasaan tanah di daerah pedesaan ternyata menjadi salah satu sumber ketegangan sosial dan politik di daerah pedesaan, bahkan menurut beberapa penulis masalah ini menjadi akar dari pertentangan-pertentangan sosial-politik di tingkat nasional. Puncak ketegangan di tingkat nasional tersebut lebih terasa saat-saat sekitar diundangkannya UUPA oleh pemerintah. Suhu ketegangan itu terus meningkat dan akhirnya meledak menjadi peristiwa berdarah di dalam sejarah republik ini Lyon, 1970 18 Sebab-sebab di atas menjadikan adanya pengisapan tuan tanah terhadap penggarap tanah dengan sistim yang sama sekali tidak adil. Sebab itulah berita tentang tani nyaris setiap hari muncul dalam lembaran koran Harian Rakjat, bahkan secara khusus diberi rubrik spesial untuk petani dengan nama Ruang Gerakan Tani. Sejak munculnya wacana landreform akhir tahun 1959 dan penetapan UUPA dan UUPBH pada 1960, kaum tani memiliki posisi yang amat 17 M.M. Billah bersama Loehoer Widjajanto dan Aries Kristyanto menulis artikel berjudul Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa Tengah. Lihat dalam buku Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang disunting oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, Gunawan Wiradi. Diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Obor, 1984. 18 Ibid. Hal 250 - 251. terhormat. Tak ayal jika kemudian karya-karya sastrawan Lekra turut mengkapanyekan tuntutan terhadap tanah yang merata, bahwa petani harus memiliki tanah sendiri. Melalui landreform, D.N. Aidit 19 menjelaskan konsepnya mengenai peranan penting kaum tani dalam Revolusi Indonesia. Kaum tani adalah mayoritas dari seluruh penduduk Indonesia dan sebagai tenaga produktif yang paling menentukan dan paling penting dalam usaha mencukupi ketersediaan pangan. Konsep Aidit ini tidak terlepas dari Kongres 1954 yang menyatakan bahwa ―Revolusi Indonesia terutama sekali adalah revolusi agrarian‖. Artinya, PKI telah menciptakan suatu perumusan yang membuka kemungkinan bahwa sampai saat tertentu partai bisa meningkatkan perjuangan dari reformasi petani dasar ke tingkat strategi yang lebih besar. Dalam masa satu dasawarsa perumusan ini menjadi kenyataan, PKI melancarkan ofensif besar-besaran di tingkat desa di bawah semboyan ―tanah untuk penggarap‖. 20 Karena merasa frustasi atas lambannya pelaksanaan UUPA dan UUPBH, PKI dan organisasi-organisasi massanya, terutama Barisan Tani Indonesia BTI memobilisasi kaum tani untuk melakukan apa yang disebut sebagai ―Aksi Sepihak‖. Akan tetapi, PKI dan BTI mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan hanya sekadar merespon apa yang dilakukan tuan tanah dan perusahaan- 19 Pandangan D.N. Aidit tentang revolusi dikemukakan dalam buku Revolusi Indonesia, Latar Belakang Sedjarah dan Hari Depannja kumpulan kuliah D.N. Aidit yang disampaikan pada Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora, September-November 1964, di Jakarta. 20 Rex Mortimer, 1974, hal. 276. Dikutip dari Mematahkan Pewarisan Ingatan karya Budiawan 2004, hal 120. perusahaan perkebunan, yaitu ―memprovokasi‖ dan menghalangi pelaksanaan program redistribusi tanah. 21 Menurut Sean Reardon, 22 Aksi Sepihak biasanya dilaksanakan oleh BTI Barisan Tani Indonesia. Aksi sepihak dilakukan dengan beramai-ramai mendatangi tanah atau sawah dan langsung menggarap tanah tersebut secara paksa, yaitu tanpa izin dan tanpa diketahui pemiliknya. Seringkali, tanah yang menjadi sasaran ini dimiliki oleh tuan tanah yang Muslim dan santri atau AD. Aksi Sepihak merupakan suatu cara untuk memberi tekanan kepada birokrasi yang lambat, karena ada banyak orang di birokrasi yang lebih suka status quo. Dalam analisa Reardon, 23 Aksi Sepihak menjadi faktor yang paling penting di tingkat lokal dan menyebabkan konflik-konflik yang dianggap konflik kelas atau konflik golongan. Aksi Sepihak ini menjadi salah satu strategi PKI yang paling menakutkan dan membuat marah musuh-musuh PKI karena merugikan ―golongan atas‖. Konflik kelas ini tak hanya terjadi secara vertikal, antara tuan tanah dan buruh tani, melainkan juga horizontal antara buruh tani derngan buruh tani. Buruh tani yang besebrangan dengan aksi PKI dan BTI ini sudah terlalu nyaman bekerja pada tuannya sehingga merasa ketakutan jika pemilik berikutnya tak memberinya kesempatan bekerja di tanah yang sama. Tak hanya itu, konflik yang muncul atas sengketa tanah ini juga kerap dianggap sebagai sebagai konflik agama, yaitu konflik di antara santri dan abangan. Misalnya di Kediri, Jawa Timur, terjadi benturan antara Nadhatul Ulama dan PKI. Kedua kelompok ini 21 Ibid. 22 Lihat dalam hasil penelitiannya berjudul Peristiwa 6566 Pembunuhan Massal PKI, Universitas Muhammadiyah Malang kerja sama dengan Australian Consortium for In-country Indonesian Studies. Tahun 2002. Hal 4. 23 Ibid. saling bermusuhan. Konflik ini menjadi runcing pada tahun enam puluhan melalui Aksi Sepihak atau landreform. Serangan balasan oleh tuan tanah Muslim pada tahun 1963-64 menjadi semakin keras dan dipenuhi dengan kebencian. Dalam persoalan ini, lembaga yang berafiliasi PKI tak lepas tangan. Lekra juga menerjunkan anggotanya untuk secara khusus menyaksikan dan menyerap aspirasi kaum tani ke dalam sebuah karya sastra. Dengan metode turba, sastrawan dan seniman Lekra mencermati berbagai persoalan tani di berbagai daerah. Persoalan yang mengemuka umumnya berkisar tentang persengketaan tanah yang merupakan imbas dari disahkannya UUPA dan UUPBH. Dalam sengkata tanah tersebut, terjadi tarik-menarik antara tuantanah feodal dan tani miskin. Dari turba tersebut, lahirlah cerpen-cerpen yang mengangkat tema di atas, seperti cerpen Boyolali karya Amarzan Ismail Hamid, cerpen Paman karya L.S. Retno, cerpen Lelaki itu Datang Lagi karya L.S. Retno, cerpen Ketika Padi Mulai Menguning karya T.B. Darwin Effendie, cerpen Tetap Bertahan karya Sesongko, cerpen Pak Guru karya Marapisingga. Selain tema besar ini, tema perempuan tani juga menarik untuk diperhatikan. Tema ini diwakili oleh cerpen Dua Kemenangan karya Dwijono dan cerpen Bibi Kerti karya Putu Oka. Sementara Sugiarti Siswadi memposisikan cerpennya dalam dua tema tersebut, yaitu pada cerpen Pengadilan Tani dan Upacara Pemakaman. Satu sisi ia sebagai sastrawan revolusioner, di sisi lain ia sebagai perempuan. Keduanya nampak dalam dua cerpen tersebut yang menyoroti sengketa tanah di daerah Klaten dan Ketaon, Boyolali. Di Klaten, pada Juli 1964, banyak terjadi aksi sepihak para petani merebut tanahnya kembali dari tangan tuan tanah. Gerakan ini dipicu oleh UUPA dan UUPBH. Seorang petani mengadu kepada pengadilan bahwa tanah miliknya telah dirampas secara beramai-ramai oleh para petani petani penggarap. Namun yang terjadi di pengadilan justru hal yang terbalik. Peristiwa tersebut digambarkan oleh Sugiarti Siswadi dalam cerpen Pengadilan Tani, dimuat di Harian Ra’jat pada 12 Juli 1965. Cerpen ini berkisah tentang pemilik tanah bernama Sanusi, melaporkan 130 petani yang bekerja padanya telah merampas kekayaannya. Namun sial bagi Sanusi, apa yang dituduhkannya para petani berbalik padanya. 130 petani itu justru membongkar kejahatannya, bagi hasil yang merugikan petani, memalsukan surat tanah, menjadi rentenir dan lain sebagainya. Pada akhir persidangan, hakim membebaskan para petani dan berbalik mendakwa Sanusi. Gerakan kesadaran para petani tersebut dipicu oleh Pemuda Rakyat dan Barisan Tani Indonesia BTI, yang merupakan organisasi di bawah PKI. Bermula dari kedatangan Mas Darmo ke rumah Mbok Karti. Rumah perempuan itu tak ada isinya, tak ada yang bisa dimakan, dan nyaris bunuh diri. Kepada lelaki ketua BTI, Mas Darmo, Mbok Karti memberikan penjelasan bahwa dirinya berhutang pada Sanusi dengan menggadaikan sawahnya. Sanusi memberikan syarat mertelu, dibagi tiga. 2 untuk sanusi, satu untuk penggarap, dan masih ditambah angsuran hutang tiap kali panen. Sudah bertahun-tahun hutang tak lunas, kira-kira 20 tahun. Mas Darmo yang lebih berpendidikan mencoba mengkalkulasikan jumlah pinjaman dan jumlah pembayaran tiap kali panen. Hasilnya, hutang Mbok Karti sudah lunas 12 tahun yang lalu dan justru Sanusi berbalik hutang padanya. Lalu Mas menantang, beranikah Mbok Karti merebut sawahnya kembali? Bersama dengan petani lainnya, Mbok Karti berani mendatangi pengadilan atas tuduhan nyolong padi Sanusi. Seorang pemuda lainnya bernama Sanusi, untuk membedakan dua Sanusi, dipakai Sanusi R.I. untuk penggarap dan Sanusi D.I. untuk tuan tunah. Pembedaan ini tentu memiliki arti tersendiri. Sanusi R.I. dimaksudkan sebagai sanusi yang nasionalis, sementara Sanusi D.I. sebagai tuan tanah yang merujuk pada pemborantakan Darul Islam. Sebagai pemuda terpelajar, Sanusi R.I. menjelaskan dengan gagah, bahwa tanah yang dimiliki Sanusi sudah melebihi kapasitas, yaitu dua puluh lima belas hektar dan sudah seharusnya dilaporkan kepada panitia landerform, tetapi Sanusi tidak melakukannya. Dengan alasan yang sama pula, petani lainnya, Kromosentono menuduh Sanusi tidak menjalankan perintah Bung Karno, dan harus dilawan dengan hukuman yang ditentukan oleh Pak Presiden. Melihat keteran gan dalam cerpen tersebut, ―…Sukro sudah mati, Pak, sepuluh tahun yang lalu, tahun 1954,‖ diduga peristiwa dalam cerpen ini terjadi pada tahun 1964, dan dituliskan tahun 1965. Kejadian dalam cerpen ini merupakan tindakan sepihak para petani dalam merebut haknya. Peristiwa aksi sepihak ini marak terjadi pada tahun 1964. Di halaman depan, Harian Ra’jat melangsir berita pada 1 Juli 1964 dengan judul Aksi Sepihak Kaum Tani Karena Lambatnja Pelaksanaan Landreform, Instruksi Pd. Presiden Tepat, Tempuh Musjawarah. Di kantor berita Antara, menteri Astrawinata menjelaskan di depan para wartawan, bahwa aksi sepihak yang dilakukan oleh kaum tani bisa dimengerti. Ia menjelaskan bahwa aksi tersebut terjadi di beberapa daerah karena lambatnya pelaksanaan landreform. 24 Ia juga menyetujui instruksi Presiden untuk mengadakan musyawarah dalam menyelesaikan masalah ini. Penyebab lain terjadinya aksi sepihak ini karena kaum tani tidak sabar dengan pelaksanaan landreform. Macetnya pelaksanaan landreform disebabkan beberapa panitia landreform sendiri memiliki tanah yang harus dikenakan aturan- aturan dan undang-undang yang berlaku, seperti UUPA dan UUPBH. Dalam berita tersebut, dilampirkan juga instruksi Presiden berjudul ―Setiap Petani Penggarap Harus Memil iki Tanah‖. 25 Presiden Sukarno menjelaskan dalam Amanat Pembangunan yang disampaikan pada 28 Agustus 1959, bahwa beberapa hal tentang industrialisasi Indonesia yang tidak mungkin bergantung pada pasar global. Untuk itu, masyarakat Indonesia perlu hidup mandiri. Salah satu cara yang ditempuh kemudian adalah setiap petani penggarap harus memiliki tanah sendiri. Cerpen Sugiarti Siswadi ini, selain menyampaikan persoalan rakyat, juga mendukung instruksi presiden di atas. Tanah merupakan masalah pokok bagi petani, oleh karena itu negara maupun partai dan organisasi yang memperjuangkan kelas bawah harus memikirkannya dengan serius. Jalan yang ditepuh Presiden Sukarno untuk melepaskan petani dari cengkraman tuan tanah adalah landreform demi kehidupan rakyat yang makmur dan adil. Seluruhnya telah diatur dalam UUPA dan UUPBH. 24 Lihat berita di Harian Ra’jat, Jumat 18 September 1964 - Di NTB Panitia Landreform Kemasukan Tuantanah; Kamis, 3 September 1964, Tuntutan Rakyat Riau: Nasakomkan Panitia Landreform Riau Selain, dua berita ini masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang sama dari berbagai daerah. 25 Lihat lampiran, Presiden Sukarno: Tiap Petani Penggarap Harus Memiliki Tanah Presiden Soekarno menekankan pada rakyat Indonesia akan arti penting landreform ini. Ia mengemukakan bahwa landreform tidak identik dengan tuntutan PKI. 26 Landreform banyak dilakukan di negara-negara yang nonkomunis, seperti Pakistan, Mesir, dan Iran. Presiden Soekarno juga mengemukakan pandangan PBB bahwa keburukan-keburukan tata pertanahan di dunia telah menjadikan kaum tani kecil dan buruh tani mengalami keterpurukan ekonomi. DN. Aidit 27 mengemukakan bahwa landreform yang dilaksanakan secara radikal akan turut membantu petani dalam untuk bebas secara radikal pula dari cengkraman feodal. Aidit menguraikan pendapatnya seperti berikut ini. … berarti membebaskan kaum tani dari rasa takut karena kekuasaan sewenang-wenang dari penguasa-penguasa feodal. Untuk ini kaum tani harus mempunjai miliktanah garapannja sendiri. Dengan demikian mereka bisa bebas dari pologoro, tidak lagi harus bekerdja rodi untuk tuantanah, tidak perlu lagi takut karena belum membajar sewatanah, tidak perlu lagi takut karena belum dapat mengangsur hutangnya jang sudah puluhan tahun tidak pernah lunas. Hanja djika kaum tani telah mendjadi tuan atas tanahnja sendiri maka akan lahir kegembiraan untuk meningkatkan produksi dan ini berarti mereka dengan sukarela melaksanakan sebagian dari azas ―mentjiptakan ekonomi jang beridi diatas kaki sendiri‖. Tindakan yang dikenal sebagai aksi sepihak itu, banyak diperbincangkan dalam Harian Rakjat selama kurun Juli 1964. Ada kemiripan peristiwa dalam cerpen tersebut dengan aksi sepihak di terjadi di Klaten. Meski nama-nama yang disebutkan dalam cerpen tersebut tidak sama dengan yang nama-nama yang disebutkan dalam berita, hal ini kiranya wajar karena cerpen sebagai karya sastra mengandung imaji rekaan dari pengarangnya yang berangkat dan pengamatan di lapangan. Artinya, wilayah estetika juga tidak ditinggalkan di samping mengejar 26 Di Bawah Bendera Revolusi, hal 420. 27 Revolusi Indonesia, Hal 56 fungsi praktis karya sastra. Meski demikian, alur cerita dalam cerpen tersebut mirip dengan berita yang dilansir oleh Harian Rakjat. Demikian pula dengan tahun peristiwa itu terjadi, 1964. Secara runut, Harian Rakjat menyiarkannya dari tanggal 2 juli hingga 14 juli 1964. 28 Pada 12 Juli 1965 cerpen ini dimuat, berarti setahun setelah peristiwa tersebut. Agaknya pemuatan cerpen ini dimaksudkan untuk memperingati peristiwa tersebut. Dugaan kemiripan ini dikuatkan lagi dengan kedekatan kota asal pengarang, Solo, dengan tempat terjadinya peristiwa aksi sepihak, Klaten. Selain itu, pada bulan sebelumnya, tepat pada Kamis, 30 April 1964, Harian Rakjat 29 memuat ulasan panjang mengenai sengketa tanah di Klaten ini. Dalam uraian tersebut dijelaskan bahwa aksi sepihak tersebut sebelumnya telah melalui prosedur yang jelas, yaitu musyawarah. Pihak petani bersama BTI sebelumnya telah melapor kepada kelurahan, kecamatan dan selanjutnya kepada Panitia Landreform, tetapi mengalami kebuntuhan sehingga jalur satu-satunya yang dapat ditempuh adalah aksi sepihak. Dalam berita tersebut, Klaten menjadi pelopor atas terjadinya aksi sepihak di berbagai daerah di Indonesia. Terutama sekali di Kecamatan Wonosari. Tak 28 Selasa, 7 Djuli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten I: Aksi Bebas Gadai di Wedi Manang Mutlak. Berita kedua tidak berhasil penulis dapatkan. Dari keterangan berita, persidangan dilaksanakan mulai 2 juli 1964. Data yang didapatkan mulai dari berita persidangan ketiga. Kamis, 9 Juli 1964 - Berita Dari Ruang Pengadilan Klaten III: Semua Jalan Telah Ditempuh, Tapi Gagal; Jumat, 10 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten IV: Tuantanah Mengaku Menolak Berunding - Bagaimana Tuantanah Melakukan Tindakan Sepihak; Sabtu, 11 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten V: Lurah yang Aktif Lansanakan UUPAUUPBH Diskros; Senin, 13 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten VI: Tanah-Tanah Kembali Kepada PemilikPenggarap; Selasa, 14 Juli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten VII: Jaksa Hartono SH; Aksi Kaum Tani Ditujukan Agar UUPBH Dilaksanakan; Rabu, 15 Djuli 1964 - Berita dari Ruang Pengadilan Klaten VIII; Panitia Landreform Djogonalan Belum Pernah Bersidang. 29 Lihat lampiran, Harian Rakjat, Kamis, 30 April 1964. Kaum Tani Merebut Kembali Tanahnya Secara Sefihak, laporan wartawan Antara dari daerah Klaten disangka sebelumnya bahwa dari gerombolan tani di kota tersebut di pelopori oleh petani wanita, yaitu Karti, nama yang sama digunakan Sugiarti Siswadi dalam cerpen Pengadilan Tani ini. Karti, ibu beranak lima, ditinggal suaminya merantau ke Banjarmasin dan hanya meninggalkan tanah 1 patok 1 Ha. Sementara kondisi tanah tersebut dalam penguasaan tuan tanah yang berinisial D. Mulanya tanah tersebut hanya disewakan selama 5 tahun. Tetapi tuan tanah tak mau mengembalikan ketika masanya telah habis. Alih-alih ingin mengambil tanahnya kembali, Karti justru dilaporkan ke polisi oleh D, dengan tuduhan hendak merampas tanah bersama petani lainnya. Lalu terjadilah Pengadilan Tani. Selain Harian Rakjat, koran Ibu Kota lainnya yang gencar menyuarakan aksi sepihak ini adalah Duta Masjarakat dan Bintang Timur. 30 Dengan demikian, kasus ini sebenarnya telah menjadi kasus nasional. Meski aksi sepihak ini dilaporkan sebagai aksi kriminal, namun DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia menganggapnya sebagai aksi yang demokratis dan tidak melanggar hukum. 31 Mereka menganggap bahwa aksi sepihak yang dilakukan kaum tani itu ―secara konsekwen melaksanakan landreform —bagian mutlak revolusi Indonesia—dan melaksanakan undang-undang negara UUPA dan UUPBH. Dari perlaksanaan UUPA dan UUPBH itu, di Boyolali terjadi peristiwa yang lebih mengerikan. Pada November 1964, pelaksanaan undang-udang tersebut telah memakan korban sebanyak 3 jiwa. Tiga petani ditembak mati karena berjuang mempertahankan haknya. Mereka adalah Djumari, Partodikromo, dan 30 Lihat Harian Rakjat, Sabtu 27 Juni 1964 - Pers Ibukota Terus Membicarakan Aksi Sepihak Kaum Tani. 31 Harian Rakjat, Kamis, 25 Juni 1964 - DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia: Aksi Sepihak Demokratis dan Tidak Melanggar Hukum. Sonowirejo. Kematian mereka telah mengundang pejuang revolusioner pada masa itu untuk turut bersuara. Tidak terkecuali Sugiarti Siswadi, ia menyuarakan bentuk keprihatinannya dalam Upacara Pemakaman. Cerpen Upacara Pemakaman berkisah tentang kesetiakawanan para petani ketika ada petani yang dihukum mati. Para petani dari berbagai daerah mengusung keranda berisi mayat, mendatangi alun-alun di tengah kota dengan membawa bendera berwarna merah. Petani yang hanya tinggal bangkainya di dalam keranda itu dijatuhi hukum mati tanpa alasan yang jelas. Dalam deskripsi cerpen, hanya dijelas bahwa petani itu mencoba mempertahankan tanahnya sendiri sehingga mendapatkan hukuman tersebut. Hukuman dijatuhkan tanpa melihat latar belakang bahwa petani itu, dulu juga ikut andil berjuang melawan Belanda dan D.I. serta menyelamatkan geliryawan dan aktif dalam kegiatan revolusi. Dari segi peristiwa, cerpen Upacara Pemakaman ini ditemukan adanya kesamaan dengan cerpen Boyolali yang ditulis oleh Amarzan Ismail Hamid. Dengan judul yang sama Amarzan juga menuliskannya dalam bentuk puisi, reportase dan cerita bersambung. Dalam bentuk puisi juga dilakukan oleh Putu Oka dengan judul Mereka Matahari. 32 Cerpen Boyolali mengangkat tema sengketa tanah, mendeskripsikan tentang perlawanan kaum tani di Ketaon Boyolali terhadap tuan tanah. Tiga petani mati dalam perlawanan tersebut dan petani yang lain melakukan protes keras atas nasib yang diderita kawannya. 32 Lihat Harian Rakjat, Minggu, 13 Desember 1964; Kamis, 7 Djanuari 1965; Minggu, 6 Juni 1965 Kesimpulan sederhana adalah kedua pengarang ini melakukan turun ke bawah Turba secara bersamaan dan menuliskan dengan sudut pandang berbeda. Keduanya bertitik tolak dari pemahaman dan pandangan terhadap realitas, misalnya dengan menulis tanggal peristiwa gugurnya tiga orang petani 18 November 1964. Di samping itu, pengarang juga mendeskripsikan data kepemilikan tanah dan menganalisanya sesuai dengan UUPBH. Dari ketiga pengarang di atas Sugiarti Siswadi, Amarzan Ismail Hamid dan Putu Oka, dapat dirasakan nada yang sama dari karya mereka yang mengakar pada satu persoalan, penembakan tiga petani di Ketaon. Kesamaan tersebut dapat ditemukan pada penggambaran tiga petani yang mati sebagai pahlawan. Amarzan menggunakan diksi ―teladan‖ untuk menggambarkan sikap kepahlawanan mereka. ―Bojolalikembali teladan indahdinukilkan dalam sejarahbarisan tanidan pahit bagai empeduangin menjampaikan kabar berita kekota dan desa Nusantara ‖. Bahwa memang orang disebut sebagai pahlawan selain untuk dikenang jasanya, juga untuk diteladani kaum berikutnya. Kabar tentang mereka akan menyebar dengan cepat menjadi pengobar semangat bagi yang lain. Putu Oka menggunakan diksi ―matahari‖ untuk mengungkapkan kekagumannya pada tiga petani tertembak itu. “o, mereka matahari revolusio, mereka kaum tani barisan masadepan”. Sementara Sugiarti tak menggunakan simbol karena bentuknya yang prosa. Bentuk ini lebih memudahkan pengarang untuk mendeskripsikan latar belakang kenapa ia menyebut tiga petani tertembak mati itu sebagai pahlawan. Sugiarti menjelaskan bahwa mereka dulu adalah juga penjuang revolusi, baik ketika kekuasaan kolonial Belanda maupun ketika pemberontakan D.I. Kemudian ketika ketiga petani itu dijatuhi hukuman mati tanpa melihat jasa mereka terhadap revolusi merupakan tindakan yang gegabah. Didadanya tidak disematkan bintang, tetapi dimata kita merekalah gugur sebagai pahlawan. Kita semuanya masih ingat, dahulu pada awal revolusi, mereka telah mengasah golok dan meruncingkan granggang, mereka bertempur, dan mengibarkan sang Merah Putih diatap pabrik disana itu. Mereka merebut pabrik itu; apakah mereka akan ikut menikmati hasil pabrik, itu tidak mereka persoalkan. Ketika Belanda sekali lagi mencoba memasuki daerah ini, dengan ganas memuntahkan peluru dijalan besar disana itu, mereka membuka pintu rumahnya lebar-lebar dan menerima, menyelamatkan dan memberi makan prajurit-prajurit kita, gerilya-gerilya kita. Ketika D.I. mengganas disini, bersama dengan prajurit-prajurit yang adalah anak-anaknya sendiri, sekali lagi mereka mengasah golok dan mengusir D.I. Halaman hidupnya bersih, bersih. Halaman hidup pahlawan Dengan melihat kerja mereka saat revolusi, Sugiarti menganugerahi mereka dengan kata ―pahlawan‖ yang mereka sendiri tak pernah mengharapakannya. ―Saudara-saudara dari tempat-tempat yang jauh memerlukan menghadiri upacara pemakaman pahlawan-pahlawan kita, pahlawan orang-orang tani. Pahlawan-pahlawan Rakyat. Pahlawan-pahlawan kemerdekaan. Pahlawan- pahlawan Revolusi.‖ Pahlawan-pahlawan itu lantas dikuburkan dengan layak di sebuah desa. Inilah sebuah upacara atas kematian petani yang jauh lebih riuah dari kematian seorang jenderal. Petani-petani itu layak mendapatkannya karena mereka adalah juga pahlawan. Perbedaan yang kentara dari ketiga pengarang di atas adalah penuturan Sugiarti yang memberikan titik balik dari para tentara yang mulanya menjaga dan mengawal barisan tani tersebut. Para tentara yang mulanya sangat patuh terhadap pimpinannya, telah berbalik memihak kepada para petani. ―Disela-sela barisan nampak seragan-seragam hijau. Prajurit muda yang menolak menangkap kaum tani ikut mengantar orang-orang yang telah menghidupi mereka, melindungi mereka waktu perang gerilya dan telah kembali, telah direbutnya setelah kemerdekaan tunai dibayar dengan darahnya…‖ Selain itu, Sugiarti juga menampilkan tokoh perempuan dan anak. Meski keduanya tak diberi porsi yang dominan, tetapi cukup menggambarkan bagaimana posisi perempuan dan anak pada masa peristiwa tersebut terjadi. Mereka juga turun ke lapangan, mengahdapi rasa khawatir dan takut terhadap pengawal- pengawal bersenjata. Namun, dengan lagaknya seperti seorang pahlawan, anak kecil pun paham bagaimana menyikapi bedil yang bisa melesatkan pelurunya kapan saja. ―Mbok,‖ kecil tinggi suara seorang anak laki-laki: ―Itulah orang-orang yang nanti menembaki kita? Aku tak takut, mbok, betul-betul tidak takut. Kalau ada apa- apa, mbok pegang Minem saja.‖ Isu tentang pembunuhan tiga petani ini telah berhasil menyedot perhatian publik. Berbagai media massa, baik lokal maupun nasional meliput berbagai peristiwa yang berkaitan dengan pembunuhan tiga petani ini. Bahkan, secara khusus, Lekra menerjunkan pengarang-pengarangnya untuk turba dan menyikapinya melalui karya sastra. Harian Rakjat memberitakan peristiwa ini termasuk paling belakang. Sebelumnya, koran Bintang Timur memberitakannya dengan gencar. Namun pemberitaan tersebut ditentang atau tidak dibenarkan oleh koran milik BPS Badan Penjebar Sukarnoisme. Ketika kebenaran di lapangan berpihak pada Bintang Timur, Harian Rakjat memasukkan peristiwa matinya tiga perani tersebut dalam Editorial, yang berarti bahwa peristiwa ini dianggap cukup penting. Ketika ―Bintang Timur‖ memberitakan bahwa ada 3 orang petani mati tertembak di Kataon —sebuah laporan jurnalistik yang mungkin harus dihargai sebagai laporan jurnalistik terbaik dalam melaksanakan Manipol buat tahun ini —koran-koran klub reaksioner ―BPS‖ mengamuk-amuk secara tak terkendali. 33 Meskipun demikian, editorial ini terkesan memojokkan pihak BPS yang dianggap kalah dan bertolak dari pendirian seperti yang digariskan Tavip. Dalam berbagai kasus, BPS memang terlihat berseberangan dengan koran kiri tersebut. ―Dalam sengketa antara kaum tani dan tuan tanah, koran-koran BPS berpihak pada tuan tanah. Dalam perjuangan antara pemuda Indonesia melawan USIS, koran- koran BPS menyalahkan pemuda dan dengan demikian membela USIS. ‖ 34 Hal ini bukan tidak beralasan. Apa yang dilakukan oleh Harian Rakjat terhadap koran-koran kanan tersebut merupakan serangan balik atas tuduhan yang mereka lontarkan, bahwa petani-petani yang ditembak mati itu merupakan petani pemberontak. Menurut laporan Amarzan, dengan membuat isu demikian, terbektuklah opini masyarakat bahwa kaum tani itu memang layak mati. Namun dengan diturunkannya sastrawan dan seniman untuk memberikan kesaksian atas peristiwa tersebut, fakta kemudian terbalik. 35 Dengan terbuktinya pembunuhan atas tiga petani Ketaon itu, tanggal 17 Desember 1964, BTI mendelegasikan Wakil Ketua Umum DPP BTI Hartojo, Wakil Sekretaris Umum DPP BTI Abdullah, Wakil Ketua DPD BTI Jateng Alimin, petani Ketaon Semulan dan petani Kartowiredjo yang langsung menyaksikan terjadinya penembakan. Kunjungan mereka ke Departemen 33 Lihat Harian Rakjat, Kamis, 10 Desember 1964. 34 Ibid. 35 Lihat cerita bersambung Amarzan, Bojolali. Harian Rakjat, Minggu, 6 Juni 1965. Kepolisian diterima langsung oleh menteri Pangak Brigjen. Pol. Sutjipto Danukusumo yang didampingi oleh Brigjen. Pol. Sukahar. 36 Hartojo selalu ketua delegasi menyatakan kepada Menteri Pangak, bahwa penem bakan terhadap kaum tani dalam ―Peristiwa Ketaon‖ dimaksudkan oleh kaum reaksi untuk mengadudomba AK dengan kaum tani dan merusak keadaan ―tertib sivil‖. 37 Selain itu, Hartojo juga mengungkapkan agar segala persoalan dapat diselesaikan secara musyawarah dan konsultasi seperti yang sedang dilakukannya. Selanjutnya, ia meminta agar para petani yang ditahan supaya lekas dikeluarkan dari penjara. Setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh Hartojo, Menteri Pangak menyampaikan bahwa para penembak akan ditindak dengan menjatuhkan mereka ke meja hijau dan kepada para petani akan secepatnya diproses agar bisa lekas dipulangkan. Dengan posisi yang kuat ini, ketika ulang tahun ke-19 BTI di Sragen, BTI tampil kembali dihadapan publik yang jumlah sangat besar, yaitu 50.000 orang. Mereka datang dari berbagai tempat, ada yang berjalan kaki hingga 50 kilometer. Bahkan di antara mereka ada yang berasal dari Ngawi yang jumlahnya tak bisa dianggap kecil. 38 Beragam peristiwa di atas, banyak menjadi perhatian masyarakat umum, terutama sastrawan dan seniman Lekra. Namun ada peristiwa yang luput dari pandangan Lekra meski juga turut menggelisahkan masyarakat. Yaitu persoalan hama tikus yang mengganggu hasil produksi petani kisaran tahun 1964. 36 Lihat Harian Rakjat, DJumat, 18 Desember 1964. 37 ibid 38 Lihat Harian Rakjat, Senin, 21 Desember 1964. Tahun 1964 adalah tahun paling santer dengan isu pengganyangan oleh kaum revolusioner. Tak hanya imperialis Amerika dan Malaysia saja, melainkan juga tikus kena imbasnya. Peristiwa hama tikus menyerang sawah nyaris di seluruh wilayah di Indonesia, terjadi mulai tahun 1962 – 1964. BTI pada tahun 1962 sudah menggalakkan ―Gerakan Menggayang Tikus‖. Gerakan berhasil di berbagai kota. Namun, pada tahun 1964, terjadi lagi peristiwa yang sama. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa kota yang tingkat kepercayaannya pada takhayul sangat tinggi. Gerakan-gerakan kaum tani yang diorganisasi oleh BTI pada tahun 1962, dengan menggalang kerjasama yang luas terutama di kalangan kaum tani sendiri, meperoleh hasil-hasil yang berarti, sehingga di banyak daerah hama tikus tidak lagi merupakan gangguan besar dan panen bahan pangan di daerah-daerah tersebut lebih baik dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi di samping itu, di beberapa daerah, terutama di daerah- daerah yang dalam tahun 1962 kurang aktif mengganyang tikus, akrena lemahnya organisasi dan masih tebalnya takhayul di kalangan tani, hama tikus masih tetap merupakan gangguan besar dan banyak merugikan kaum tani. 39 Hama tikus ini menjadi isu besar dalam negeri. Oleh karenanya, BTI langsung sigap dengan menggalakkan kembali ―Gerakan Menggayang Tikus‖. Beberapa daerah yang bisa disebut adalah Jawa, Bali, Sumatra Selatan dan Lampung. Gerakan ini tak bisa dianggap remeh. Tak tanggung-tanggung, gerakan ini juga menyeret orang-orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh besar. Konfernas I BTI dengan bangga menyambut, menyatakan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya terhadap Presiden Sukarno yang pada Amanat Pembukaan Konfernas I BTI di Istana Negara telah berkenan menjadi pelindung Gerakan Mengganyang tikus dan mendukung penuh pengangkatan MenkoKetua CC PKI D.N. Aidit sebagai Komandan Komando Pusat Gerakan Mengganyang Tikus. Dengan suara bulat 39 Harian Rakjat, Kamis, 17 September 1964. konfernas menyetujui dan mengangkat Ketua Umum DPP BTI Asmu sebagai Kepala Staf dari Komando tersebut. Dengan pengaruh ketiga orang tersebut, gerakan ini bergerak dengan cepat hingga ke desa-desa terpencil. 40 Konfernas BTI tersebut berlangsung di Jakarta pada tanggal 8 - 12 September 1964. Beberapa hal yang menjadi resolusi dalam konfernas tersebut adalah: 1. Menginstruksikan kepada Badan-badan Pimpinan BTI di semua tingkat untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya membentuk ―Komando Gerakan Mengganyang Tikus ‖ dengan susunan-pimpinan sesuai dengan pimpinan Komando Pusat Gerakan Mengganyang Tikus. Calon-calon Komando Daerah Tingkat I supaya segera diajukan kepada Komando Pusat Gerakan Mengganyang Tikus da DPP-BTI, Jl. Mardani-Rawasari, Jakarta, untuk secepat-cepatnya disahkan dan diangkat oleh Komando Pusat, dan segera diberi wewenang untuk mensahkan dan mengangkat Komando-komando Gerakan Mengganyang Tikus Daerah Tingkat II di daerahnya. Demikian Seterusnya. 2. Mengajak kaum tani supaya mengorganisasi diri dalam Gerakan Mengganyang Tikus. Di desa-desa supaya sedera diorganisasi kelompok-kelompok Gerakan Mengganyang Tikus yang terdiri dari 10 - 15 anggota laki-laki atau wanita saja, ataupun campuran lelaki dan wanita. Gerakan mengganyang tikus secara masaal, serentak dan bergelombang ini supaya dilakukan setiap bulan selama 3 hari berturut- turut pada tanggal 17, 18 dan 19 setiap bulan. Untuk daerah-daerah Jawa, Bali, Sumatra Selatan dan Lampung dimulai bulan Oktober 1964 yang akan datang, sedang untuk daerah-daerah lainnya dimulai bulan November 1964. 41 Peristiwa yang nyaris sama juga terjadi di perkotaan, Jakarta. Di Ibu Kota tersebut ada Gerakan 1001, di mana hama tikus tidak hanya menyerbu 40 Tepat sebulan kemudian, BTI mengeluarkan pengumuman tentang ―Petundjuk Kerdja Komando Gerakan Mangganjang Tikus‖. Pengumuman tersebut merupakan penjelasan setelah disahkannya Komando Daerah. Selain itu diterangkan pula penjelasan-penjelasan dari Komando Pusat D.N. Aidit tentang ―Gerakan Mengganyang Tikus‖. Penjelasan tersebut adalah petunjuk kerja yang belum dijelaskan pada Konfernas I BTI, misalya. pengganyangan tikus dilakukan siang atau malam saja. Selain itu, dipaparkan pula Organisasi Komando Gerakan Mengganyang Tikus Komando Germet dari tingkatan pusat hingga paling bawah. Gerakan ini dilakukan secara serius, dengan adanya laporan hasil Gerakan Mengganyang Tikus dan wajib disampaikan pada tanggal 20 setiap bulannya. Lihat Harian Rakjat, 17 Oktober 1964. 41 ibid persawahan, melainkan juga tanaman-tanaman di pot dan kaleng dari berbagai jenis tanaman. Hama tikus tersebut, menurut Hartojo SW ketua DPP BTI Jakarta Raya, telah merugikan sekitat 286.000 orang. Sejauh pembacaan yang dilakukan, peneliti tidak menemukan tema penggayangan tikus dalam karya-karya sastrawan Lekra di lembar kebudayaan Harian Rakjat. Satu-satunya sastrawan Lekra yang menulis tentang tema ini adalah Sugiarti Siswadi dengan judul cerpen Dongeng-dongeng di Waktu Malam. Cerpen ini mempertentangkan mitos yang berlaku di pantai selatan dengan agama. Dalam suasana malam, serombongan bapak-bapak berkumpul. Lalu saling cerita. Dimulai dari Pak Karto, ia menceritakan tentang Kiai Darmo yang sehabis menjalankan sholat Isya‘, gelisah sepanjang malam. Kiai itu tafakkur saja di dalam suraunya. Lalu muncullah suara yang lebut disertai bau wangi dan kemenyan. Suara itu datang dari jauh. Kiai mengejarnya hingga ke luar dusun. Ternyata itu suara seorang putri. Seorang putri yang bertaring kemudian diketahui adalah Nyai Roro Kidul itu menjelaskan maksudnya kepada Kiai, bahwa tikus-tikus yang menyerbu sawah dan tanaman padi mereka adalah binatang tak berdosa. Lalu kenapa binatang itu dibunuh? ―Binatang sebagai makhluk yang diciptakan telah diberi hak dan wewenang, kewajiban dan hukuman, telah ditentukan bagaimana cara hidupnya, cara makannya, bagaimana cara ia mengembangkan keturunannya dan lain- lain.‖ Maka tikus yang memang sudah digariskan seperti justru malah dibunuh? Putri itu lantas memberikan perintah kepada Kiai untuk mengharamkan penduduk dusun membunuh tikus. Kiai itu tunduk, melaksanakan perintah sang Putri. Cerita tersebut kemudian dibalik oleh tuturan dari Darmo. Ketika ia sedang jaga padi yang sedang bunting, ia tertidur dan dibangunkan oleh seorang perempuan. Putri itu menyuruh Darmo mengikutinya, tapi ditolak. Putri itu kemudian berbicara dan memerintah Darmo dan seluruh warga untuk tidak lagi membunuh tikus yang memang hanya menjalankan tugasnya. Tapi dasar Darmo keras kepala, ia menolak lagi. Justru sikapnya makin meninggi. Ia mempersetankan omongan putri itu. Bahwa ia juga diberi kewajiban dan wewenang. Kewajiban memberi nafkah keluarganya dan wewenang untuk membunuh tikus itu yang mengambil jatah keluarganya. ―Siapa cinta tikus, boleh membunuh anaknya, siapa mencintai anaknya harus membunuh tikus.‖ Ada dua hal yang dapat disimpulkan dalam cerpen di atas. Pertama, agama tidak memihak pada rakyat miskin. Di tengah serangan hama dan susahnya mencari penghidupan bagi keluarga, agama yang tunduk pada mitos itu justru melarang rakyat untuk membasmi hama tikus. Kedua, pengarang menampilkan ―putri yang bertaring‖. Mitos tentang Nyai Roro Kidul yang dipatuhi oleh masyarakat di pantai selatan biasanya dilukiskan dengan ayu dan selalu memakai pakaian keraton. Pelukisan ―putri yang bertaring‖ seolah ingin mematahkan mitos, bahwa Nyai Roro Kidul adalah makhluk yang mengerikan dan tak perlu digubris. Cerpen ini mengajak kepada rakyat untuk berpikir sebagai massa rakyat pekerja, mengesampingkan nilai-nilai takhayul dan menghormati rasio. Cerpen yang dimuat di Harian Rakjat pada 15 Maret 1964 ini cukup berbeda dengan karya-karya Sugiarti lainnya. Umumnya, ia menampilkan tokoh anak dan perempuan yang memiliki kesadaran kerakyatan. Pada cerpen ini, tokoh- tokoh yang hadir adalah bapak-bapak dan perempuan yang digambarkan sebagai Nyai Roro Kidul bukanlah tokoh manusia.

C. Perjuangan Massa Partai: Kisah-kisah Propaganda