Tentang Sugiarti Siswadi SUGIARTI SISWADI DALAM LINGKARAN MERAH

mudah dapat dilacak keberadaan pengarang perempuan berideologi kiri yang pada masa itu, meski hanya muncul sesekali. Namun tak dapat dipastikan apakah mereka juga anggota Lekra atau bukan. Tak ada biografi singkat yang dituliskan dalam media massa pada waktu itu sehingga kesulitan dalam melacak aktivitas pengarang tersebut. Sayangnya, sebagai majalah tentu Api Kartini tidak dapat terbit setiap hari, melainkan sebulan sekali. Hal ini menjadi keterbatasan pengarang perempuan pada masa itu. Sugiarti Siswadi sebagai bagian dari Api Kartini hanya dimuat dua kali sepanjang majalah tersebut terbit. Maka Harian Rakjat menjadi alternatif lain meski harus bersaing dengan pengarang laki-laki.

E. Tentang Sugiarti Siswadi

Setelah dengan perdebatan yang sengit, akhirnya, Konggres I Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra mengesahkan Mukadimah dan Peraturan Dasar Lekra pada 27 Januari 1959 pukul 20.00 di Solo. Konggres ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perjalanan Lekra. Meski dinyatakan bukan organisasi underbouw PKI, Lekra mendapat fasilitas istimewa, baik lewat koran Harian Rakyat milik PKI yang menjadi corongnya maupun memperolah koneksi-koneksi jaringan kebudayaan di tingkat lokal maupun internasional. 66 Penegasan Lekra bukan organisasi PKI —melainkan, meminjam istilah D.N. Aidit, sebagai ―keluarga komunis‖—ditegaskan dalam Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner KSSR. KSSR diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus – 2 66 Ibid, hal 63. September 1964 oleh PKI. Dari nama-nama yang memberikan sambutan pada KSSR tersebut, tak satupun dari mereka yang menyangkutpautkan kegiatan tersebut dengan PKI. 67 Salah satu pemberi sambutan pada kesempatan itu adalah Sugiarti Siswadi. Ia menjelaskan tentang pentingnya pendidikan ideologi untuk bisa menghasilkan karya-karya bermutu tinggi, pentingnya pengintegrasian diri dengan rakyat terutama kaum tani dan menyambut penulisan Revolusi Agustus yang menjadi tugas sastrawan-sastrawan pada masa itu. 68 Setahun setelah kesuksesan KSSR pertama ini, diadakan peringatan ulang tahun KSSR I. Adalah Sugiarti Siswadi yang menjadi orang paling penting dalam perayaan tersebut. Seorang perempuan yang dipercaya wora-wiri mengurus segala keperluan. Ia menjadi ketua panitia dalam perhelatan akbar tersebut, dengan Hersri Setiawan sebagai sekretarisnya. Ia menuturkan, ―… Aku sendiri ngobrol dengan Sugiarti Siswadi, sambil duduk membalik- balik naskah kumpulan lagu-lagu rakyat Betawi dan daerah- daerah… Sugiarti Siswadi, yang berdiri di sisi kursiku, seorang perempuan penulis kiri terkemuka, di samping S. Rukiah Kertapati, ketika ketua panitia ulang tahun ke-1 KSSR Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner, dan aku sekretaris panitia itu. ‖ 69 Meski kalimat Hersri di atas agak membingungkan antara Sugiarti Siswadi atau S. Rukiah Kertapatih yang menjadi ketua, namun ia kembali menegaskan di halaman yang cukup jauh dengan, ―… Di tengah panasnya udara politik yang hamil tua, juga karena untuk aklimatisasi, aku ditugasi ketua Ulang Tahun I KSSR 67 Ibid, hal 59 – 65. 68 Ibid, hal 60. 69 Lihat Memoar Pulau Buru. Hal. 143 Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner, membantu pekerjaan ketua panitia, Sugiarti Siswadi. ‖ 70 Ulang tahun I KSSR yang diselenggarakan oleh CCPKI tersebut akan diadakan pada 26 – 30 Agustus 1965 di hotel Duta Indonesia Jakarta. 71 Pertemuan yang dibuka langsung oleh Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada 26 Agustus pukul 19.00 tersebut, 72 mengundang sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman komunis dan progresif nonkomunis. Selain akan diadakan berbagai seminar, lomba paduan suara juga turut memeriahkan acara tersebut. 73 Dalam perhelatan yang meriah itu, yang menjadi perhatian besar adalah paduan suara. Lomba paduan suara digelar secara besar-besaran dan diikuti oleh berbagai daerah di Indonesia. Sugiarti memberikan laporannya pada malam puncak Ulta I KSSR di Istora. Ia mengatakan bahwa ―lomba paduan suara setanah air yang baru pertama kali diorganisasi oleh CC PKI diikuti oleh 9 daerah dengan 12 regu paduan suara. Sedangkan dalam seminar sastra dan seni yang diadakan dalam rangka ultah telah diserahkan kepada CC PKI novel 9, drama 1, kritik sastra dan seni 24, cergam 9, dan 57 cetakan lagu. Pada tahun mendatang, seluruh kompetisinya akan ditambah, antara lain meliputi cerpen, foto, cerita anak-anak. ‖ 74 Sebagai orang penting dalam perhelatan tersebut, Sugiarti Siswadi menjadi sangat perlu diperhatikan. Tak ayal jika ia juga ditunjuk sebagai anggota pusat Lekra. Nama-nama yang bisa disebut sejajar dengannya dalam pimpinan pusat 70 Ibid. hal 263. 71 Harian Rakjat. Senin, 23 Agustus 1965 72 Harian Rakjat, Rabu, 25 Agustus 1965. 73 Lihat Harian Rakjat, Senin, 23 Agustus 1965. 74 Harian Rakjat, Selasa, 30 Agustus 1965. Lekra adalah Affandi, Agam Wispi, Bachtiar Siagian, Basuki Resobowo, Boejoeng Saleh, Chrismanuputty, Dhalia, Hadi S, Haznan Rachman, Hendra Gunawan, Henk Ngantung, H.R. Bandaharo, Joebar Ajoeb, Kotot Sukardi, Kurnia, K Iramanto, Martean Sagara, M.D. Hadi, M.S. Ashar, Njoto, Nurbakti, Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, Rumambi, Sumandjaja, Sudharnoto, Sudjadi, Sunito, S. Anantaguna, S. Rukiah Kertapati, Sutomo, Tan Sing Hwat, Tjak Bowo, Utama Ramelan, Z Trisno, Wakil Kalimantan, Wakil Sulawesi. 75 Melihat anggota yang terakhir, ―Wakil Kalimantan, Wakil Sulawesi‖ mengindikasikan bahwa nama-nama sebanyak di atas yang duduk sebagai Anggota Pimpinan Pusat Lekra, merupakan wakil dari masing-masing daerah. Meski demikian, anggota yang tinggal di Jakarta lebih dominan. Hal ini sebagai upaya memudahkan kontrol dan koordinasi antara pusat dan daerah. Di antara nama-nama di atas, Sugiarti Siswadi yang cukup sulit ditelusuri. Dari buku-buku yang memuat karyanya, biografinya tak pernah ditulis sepanjang biografi penulis lainnya. Bahkan dalam bukunya sendiri, Sorga Dibumi, tak memberikan sumbangan informasi apapun tentang penulisnya. Sebagai contoh, buku kumpulan cerpen dan puisi Gelora 26, identitas Sugiarti hanya dijelaskan dalam empat ba ris, ―Anggota Pimpinan Pusat Lekra yang terpilih dalam Kongres I Lembaga Kebudayaan Rakyat Lekra di Solo pada tahun 1959. Tulisan-tulisan Sugiarti banyak dijumpai di koran Harian Rakyat, Api Kartini organ Gerwani Pusat, Zaman Baru, dan lain-lain. ‖ 75 Lihat Lekra Tak Membakar Buku, hal 524 – 525. Begitu pula dengan dua buku yang disusun oleh Muhidin M Dahlan dan Roma Dwi Aria Yuliantri, 76 identitas Sugiarti hanya disebutkan dalam dua baris saja, ―Sugiarti Siswadi, anggota Pimpinan Pusat Lekra yang terpilih saat konggres I Lekra pada 1959 di Solo.‖ Meski tak memberikan informasi lengkap mengenai identitas Sugiarti, kedua buku tersebut cukup banyak memberikan informasi tentang karya-karyanya. Dari buku trilogi Lekra tak Membakar Buku tersebut, paling tidak dapat memberikan informasi atas keterlibatan Sugiarti Siswadi dengan organisasi bergaris kiri dan revolusioner. Dalam pembicaraan penulis perempuan sastra Indonesia modern, namanya kerap kali disebut meski hanya sekadar nama lengkap dan tak pernah disebutkan biografinya, apalagi masuk dalam angkatan sastra manapun. 77 Satu-satunya buku yang pernah diterbitkan atas namanya berjudul Sorga Dibumi, namun menjadi buku terlarang, sekaligus oleh dua lembaga. 78 Dilihat dari namanya, Sugiarti Siswadi adalah nama Jawa. Abdul Kohar Ibrahim AKI 79 menegaskan bahwa penulis perempuan ini adalah orang Solo. Ia dikenal dekat dengan seniman yang kini namanya disebut sebagai maestro keroncong, Gesang. Pasca 65, ia pindah ke Yogyakarta, dan meninggal pada 76 1 Gugur Merah, Sehimpun Puisi Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965; 2 Laporan dari Bawah, Sehimpun Cerita Pendek Lekra Harian Rakjat 1950 – 1965. Kedua diterbitkan di Yogyakarta oleh Merakesumba. 77 Lihat Perkembangan Sastra Indonesia Modern dalam Persepektif Feminisme Skripsi Andhika Budiadi, 2009; Bibliografi Sastra Indonesia Pamusuk Eneste, 2001; Pengantar Sejarah Sastra Indonesia Yudiono K.S, 2007. 78 30 November 1965 buku ini menjadi buku terlarang oleh Pembantu Mentri P.D. dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. Inf. Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Buku ini kembali dilarang oleh Tim PelaksanaPengawasan Larangan Ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme DKI Jaya pada Maret 1967. 79 Abdul Kohar Ibrahim, meninggal pada 4 Juni 2013. Ia menulis ratusan judul Nota Puitika. Pada nomor 211 – 220, ia menulis dan mengenang Sugiarti Siswadi dan Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo. Lihat pula puisi Nota Puitika 381 – 390. 1983. 80 Ia adalah penulis papan atas dalam tubuh Lekra dan turut menggawangi penerbitan majalah Api Kartini. Sebagai cerpenis, karyanya sering mengisi media massa, terutama Harian Rakyat. Sementara dalam Api Kartini ia lebih banyak berperan sebagai jurnalis. Ia pernah memakai nama pena, Damairia dalam sebuah puisi dan akronim S.S. dalam sebuah saduran. Sebagai jurnalis Api Kartini, sebuah majalah perempuan milik Gerwani, Sugiarti Siswadi turut menyumbang tulisannya secara rutin. Namun, menurut Saskia, 81 ia bukanlah anggota Gerwani. Keterangan berlainan yang diberikan oleh AKI, bahwa ia adalah seorang Gerwani. Hal ini juga diperkuat dengan pergaulannya dengan S. Rukiah dan Njoto dalam puisi AKI. Keterangan yang dihimpun oleh Saskia adalah pada tahun 1982, di mana pemerintahan Orde Baru masih berkuasa. Sehingga sangat wajar jika masih ada trauma yang tersimpan di dalam memori dan tak ingin mengakui dengan alasan keselamatan. Sementara informasi AKI, sebagai salah satu kader Lekra dan pernah bertemu langsung dalam Konggres Lekra di Solo, dapat dijadikan data paling mendekati yang benar. Sebagai anggota Lekra, karya-karya Sugiarti Siswadi tidak terlepas dari ideologi kelompok yang sudah dijelaskan di awal. Dengan kesamaan ideologi tersebut, karya-karya kecenderungan yang sama. Ciri-ciri umum cerpen Lekra: 1 ―reportase‖ atas kenyataan sosial yang bergerak di kehidupan masyarakat bawah. Nyaris tak ada cerpen-cerpen yang bertendensi takhayul, hantu-hantuan, mempermainkan atau mengolok-olok atau merendahkan agama atau keyakinan 80 Lihat catatan kaki pada puisi Sugiarti Siswadi yang menggunakan nama samaran Damairia, Jurnal Perempuan No 48. Tahun 2006. Hal 156. 81 Saskia Eleonora Wieringa. 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Yogyakarta: Galang Press. Hal. 212 – 213. masyarakat, atau tema- tema abstrak dan ―aneh‖ lainnya yang jauh dari perhubungan kondisi riil masyarakat; 2 tema-tema yang umumnya diusung: patriotisme, pengadilan kaum tani melawan tuan tanah, penegasan sikap pada partai, dialektika melawan trengginasnya kekuatan kapitalisme internasional dan feodalisme, kesadaran persatuan rakyat, dan penghormatan atas perempuan. Sementara dalam hal puisi, ciri-ciri yang dapat ditemukan adalah: 1 respons cepat atas peristiwa penting sebagai ejawantah dari konsep: ―pentjerminan kongkrit jang menjeluruh dari kehidupan dan aspek subjektif dari realitet kemampuan‖; 2 puisi memikul tanggung jawab sosial dan tak boleh mengkhianati Rakyat, 3 tak boleh hanya berhenti pada klangenan dan tangisan cengeng, 4 puisi Lekra umumnya dideklamasikan puisi pamflet. Karya-karya Sugiarti Siswadi, berdasarkan genre dan histori pemuatan karya, tampak betul perbedaannya. Cerpen-cerpen yang dalam media massa, Harian Rakyat dan Api Kartini, cenderung bertema buruh dan tani. Senafas dengan ideologi media yang memuatnya. Sementara dalam kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Sorga Dibumi, tema cerpen berkisar pada perjuangan melawan pemerintahan yang berkuasa dan penjajah serta upaya mengajak masyarakat pada kesadaran revolusioner progresif. Dan puisi-puisinya, merupakan wilayah ungkapan personal dan kewanitaanya. Sebagai pengarang, Sugiarti Siswadi telah menemukan gayanya sendiri. Hal ini disampaikan dalam review Ketua LestraLekra Bakri Siregar atas antologi berjudul Api 26 yang dibukukan Jajasan Pembaruan. Bakri Siregar berpendapat bahwa, ―Sugiarti djuga dibawah prestasi jang pernah baik ditjapainja dalam kumpulan ―Sorga Dibumi‖, disamping tjerpen2 lainnja. Tjerpen2 Sugiarti banjak, dan saja berpendapat, Sugiarti sudah sampai pada gaja sendiri, tapi gajanja ini tidak selamanya dapat dipertahankan.‖ 82 82 Harian Rakjat, 14 April 1961. 62

BAB III REPRESENTASI PERJUANGAN KELAS