A. Perjuangan Buruh: Melawan Perbudakan
Sepilihan cerpen Sugiarti Siswadi di bawah ini adalah yang merepresentasikan buruh dari sudut pandang yang cukup berbeda. Jika cerpen-
cerpen buruh dari penulis Lekra seringkali berbicara tentang tuntutan upah yang layak, Sugiarti memandangnya dari sisi keadilan dan kemanusiaan.
Konflik-konflik yang dialami oleh kaum buruh umum dipicu oleh keinginan mereka memperoleh upah yang lebih tinggi untuk mencapai hidup
sejahtera. Untuk memenangkan konflik ini, kaum buruh membentuk organisasi, misalnya SOBSI Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia, di bawah naungan
PKI. Keinginan kaum buruh itu diabadikan dalam cerpen Delegasi karya K. Sunarjo,
1
Kakitangan dan Pembela karya Siswa Patria,
2
Setelah Dipecat karya S. End,
3
Dekat Jam Empat karya Tjahjani,
4
, Batuk karya Tjak Wib.
5
Dalam cerpen Delegasi, Pak Wikrama, seorang Mandor I sebuah perkebunan di Asahan, berjuang secara aktif melalui Sarbupri salah satu dari tiga
organisasi buruh yang berdiri di Asahan, yaitu Sarbupri, Perbupri, dan SBH. Pak Wikrama dan kaum buruh perkebunan memperoleh kemenangan melawan
majikan perkebunan. Dalam cerpen Setelah Dipecat karya S. End diceritakan tentang Sachroni yang kehilangan pekerjaan. Meski demikian, ia merasa bahagia
karena akan diikutkan dalam perundingan dengan mantan majikannya untuk membicarakan nasibnya dan 18 kawannya yang juga dipecat.
1
Lihat dalam buku Laporan dari Bawah, hal. 130 – 132
.
2
Idem. Hal. 394 – 398.
3
Idem. Hal. 360 – 362.
4
Idem. Hal. 498 – 501.
5
Idem. Hal. 504 – 506.
Cerpen Dekat Jam Empat karya Tjahjani menyuguhkan perselisihan dan perlawanan Djiman dkk. terhadap majikannya. Untuk menunjukkan solidaritas
sesama kaum buruh, Djiman dkk. tidak bekerja tetapi Kusumo majikan tidak memberi izin libur kepada kaum buruh yang disebutnya sebagai
―monyet- monyet‖. Djiman dkk. tidak peduli ancaman pecat oleh Kusumo. Dalam cerpen
Batuk karya Tjak Wib dikemukakan adanya solidaritas di antara sesama anggota organisasi buruh yang diterima oleh Pak Mul buruh pabrik limun yang sakit
batuk. Pak Mul dijenguk oleh seorang anggota serikat buruh dan mendapat sekadar bantuan Rp 5.00 dari organisasi buruh tersebut. Manfaat organisasi
buruh sangat besar bagi pencapaian tujuan perjuangan buruh. Melalui cerpen- cerpen yang bertema konflik kelas di kalangan kaum buruh diketahui bahwa
kehidupan buruh sangat miskin dan untuk memperbaiki nasibnya mereka harus terlibat dalam konflik sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan nasib.
Berbeda dengan cerpen-cerpen di atas, Sugiarti Siswadi memilih jalur lain dengan pengarang Lekra di atas. Ia merepresentasikan kehidupan kaum buruh
bukan berangkat dari keluhan sehingga melahirkan pandangan-pandangan sinis dan penghujatan dari pengarang terhadap kaum kapitalis. Sugiarti melihat kaum
buruh dari sisi kerja dan kemanusiaan. Dengan sudut pandang demikian, ia menampilkan sisi optimisme dalam kerja revolusi pengarang.
Meski kisah-kisah yang dihadirkan tak berangkat dari jalanan atau pabrik- pabrik, cerpen-cerpen Sugiarti menunjukkan sikap yang jelas, yaitu mengkritik
dengan keras sistem perbudakan pada masa itu. Kritik tegas itu muncul dalam cerpen Budak Ketjil, Satu Mei Didesa, Sorga Dibumi, dan Jang pertama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI kata ―budak‖ memiliki makna anak kanak-kanak dan hamba atau jongos. Kata ini jelas lebih kasar
daripada ―pembantu rumah tangga‖. Penggunaan kata ―hamba‖ biasanya dalam konteks keagamaan, yaitu sebagai bentuk penyerahan diri atau kepasrahan kepada
Tuhan. Dalam tradisi masyarakat Arab jaman dulu, ―budak‖ menjadi semacam
―peliharaan‖, bisa diperlakukan semau tuannya, bahkan dijual sekalipun. Menjadi budak berarti hina, keji.
Sementara dalam sistem kerja, mustinya digunakan kata buruh atau dalam rumah tangga biasa digunakan kata
―pembantu‖. Artinya, budak merupakan partner kerja di bawah kekuasaan tuan. Dengan digunakannya kata ―budak‖ dalam
cerpen ini menunjukkan bahwa relasi yang terjalin tidak manusiawi mengingat jam kerja yang tidak menentu, bahkan tanpa upah dalam Jang Pertama dan 24
jam kerja dalam Budak Ketjil. Terlebih lagi, dalam cerpen Budak Ketjil status budak diterapkan kepada si ―ketjil‖ atau anak di bawah umur. Moment munculnya
cerpen ini sangat tepat, yaitu bersamaan dengan peringatan Hari Anak. Kisah dalam Budak Ketjil adalah gambaran tentang buruh yang lebih
sederhana. Bukan tentang hiruk pikuk tuntutan upah dan pemogokan buruh pada sebuah pabrik di perkotaan, tapi jauh lebih sederhana daripada itu. Sugiarti
menghadirkan Budak Kecil dalam kehidupan rumah tangga. Pada tanggal 1 Juni 1957, Harian Rakjat memberikan ruang yang luas
untuk perayaan hari anak sedunia. Berbagai artikel dan puisi tentang anak dimuat dalam kolom khusus sehingga tak ada ruang untuk memuat cerpen. Baru seminggu
kemudian, pada tanggal 8 Juni 1957, dimuatlah cerpen berjudul Budak Ketjil karya
Sugiarti Siswadi. Di bawah judul cerpen ini, dituliskan kalimat pendek ―Persembahan Untuk Hari 1 Djuni‖. Dari kalimat pendek itu, dapat dilihat sebagai
perhatian khusus pengarang terhadap anak melalui cerita pendek. Setahun sebelumnya, dengan mengangkat tema yang sama, Sugiarti
memunculkan cerpen berjudul Sorga Dibumi.
6
Cerpen ini lebih kompleks. Selain menampilkan hubungan tuan dengan budak, juga kekerasan dalam rumah tangga
dan ajaran agama melalui sudut pandang anak. Seorang anak menyaksikan bagaimana seorang budak yang meninggalkan puasa di bulan Ramadhan karena
harus bekerja keras, jika tidak bekerja akan dihukum sang majikan, yaitu orangtua si anak. Dan di suatu malam, anak juga menyaksikan ibunya dipukul oleh bapak
karena menolak menjual perhiasaannya. Kedua cerpen yang merespon Hari Anak ini menyuguhkan pandangan
bahwa antara tuan dan budak sama-sama memiliki kegelisahaan hidup di masa revolusi. Bedanya dengan pengarang Lekra lain, Sugiarti menampilkan budak
buruh dalam kacamata anak. Kegelisahaan yang dirasakan Tuan seorang perempuan dalam Budak Ketjil adalah ia sadar bagaimana harus memperlakukan
budaknya yang masih di bawah umur. Ia tak semena-mena dalam memberikan perintah kepada budaknya, tapi ia sendiri, dalam hatinya, mengalami pergolakan
ketika melihat anak di bawah umur dipaksa bekerja sebagaimana orang dewasa. Cerpen ini berkisah tentang seorang anak kecil yang dipaksa kerja oleh
orangtuanya karena tekanan ekonomi. Seorang perempuan yang dituju sebagai
6
Menurut keterangan Keith Foulcher, cerpen ini pertama kali dimuat di Zaman Baru, Juni 1956. Lalu dibukukan dalam bentuk antologi tunggal. Lihat dalam buku Social Commitment in Literature
and the Art: The Indonesian Institute of People’s Culture 1950 – 1965. Monash University, 1986.
Hal 85.
juragan, mulanya tidak tega melihat seorang anak kecil dipaksa bekerja sebagai budak, pembantu rumah tangga. Ia menolak. Baginya, anak seusia itu seharus
menghabiskan waktunya untuk bermain, bukan bekerja. Selain itu, perempuan itu membutuhkan orang yang punya tenaga lebih besar dan siap bekerja. Namun, atas
paksaan sang ibu, perempuan itu menerima juga. Sebab katanya, kalau anak itu tidak diterimanya, ia akan bekerja pada juragan lainnya.
Anak kecil direpresentasikan sebagai bujang, buruh dalam rumah tangga. Dari bangun tidur hingga bangun lagi, ia harus bergelut dengan setumpuk
pekerjaan. Dari sedikit deskripsi di atas, cerpen ini memiliki tema konflik kelas antara bujang dan tuannya. Bujang kecil itu harus berjuang dengan caranya sendiri
atas ketidaadilan yang diterimanya. Atas ketidakadilan tersebut, si bujang kecil melakukan perlawanan yang
kecil pula. Perlawanan pertama dilakukan ketika majikan mula-mula menolak paksaan orangtuanya. Lihat kutipan berikut.
―… sebetulnya saya agak kecewa juga, sebab dahulu kabarnya si pelamar itu sudah besar. Rupanya berkainpun belum pandai.‖
Emaknya terpekur, tetapi anaknya mendongakkan kepalanya sedikit suatu pertanda akan kegembiraan hatinya.
Perlawanan kedua dilakukan dengan menangis dan membuang nasi sisa makan ke dinding. Seperti sedang mengibarkan bendera permusuhan. Lihat
kutipan berikut. Pada hari-hari pertama, kerap hampir hilang sabarku. Tidak lain yang
nampak pada airmuka budak kecil itu hanyalah permusuhan. Kelihatan sekali hasratnya mau memberontak, tetapi tidak bisa. Berontaknya hanya
dilahirkan kepada benda yang tidak bernyawa. Pernah sedang makan, nasinya disebar-sebarkan ke dinding dengan airmata berlinang. Sekejap
bangkit amarahku, anak ini tidak membalas guna.
Perlawanan ketiga dilakukannya dengan pakaiannya yang tidak selayaknya sebagai bujang. Ketika majikan kedatangan tamu-tamu taman lamanya, bujang itu
melayani mereka dengan memakai gaun. Kawan-kawan yang lama tidak berkunjung ke rumahku, selalu berkata:
―Wah gadis zus ini sudah besar betul‖ Mereka mengira dia anakku. Dia bergaun menyajikan minuman. Waktu itu saya tidak dapat menguji diriku
sendiri, apakah suatu penghinaan atau suatu penghargaan, ketika mereka
terkejut mendengar jawabku, ―Bukan, dia bujangku?‖ Meski begitu, cerpen Budak Ketjil ini kemudian membalikkan faktanya
sendiri. Majikan yang tadinya terpaksa menerima karena paksaan orangtua budak kecil itu, melepaskannya. Melepas bukan karena ketidakbecusan sang budak
dalam bekerja, melainkan karena ia cukup memahami bagaimana peran anak seusia budak kecil itu. Ketika dalam kemarahannya menghadapi budak kecil itu, si
majikan selalu teringat bahwa ia masih kecil dan tak berdaya. Kutipan berikut ini menunjukkan keprihatinan si majikan dalam menghadapi budak kecilnya.
Entahlah apa yang berkecamuk dalam hatinya. Bermusuh, benci, sedih, dan segan-segan. Matanya pudar dan tidak ada cahaya hidup. Dia memakai
kain yang agak kendor dipakainya, dan baju kebaya longgar. Rambutnya yang sejumput itu disanggul sebesar kemiri di tengah kepalanya. Kalau dia,
ya, andaikata bergaun dan rambutnya dipotong pendek-pendek, dia masih pantas bermain loncat tali di tanah lapang di depanku. Tetapi anak sekecil
itu sudah bongkok dengan kewajiban-kewajiban mengurus adiknya, dan apa hari ini dia direnggut dari rumah kediamannya, diserahkan mentah-
mentah, mengabdi kepada orang yang akan memerintahnya dari pagi sampai dia mapan tidur. Aku lirik airmukanya, sayu hatiku. Saya tidak
dapat menerima anak itu. Saya membutuhkan pembantu rumah tangga yang dapat bekerja keras.
Meski Sugiarti melalui cerpen di atas mencoba ikut serta merayakan hari anak sedunia, ia dan penulis lainnya cenderung keluar dari isu besar pada masa itu.
1 Juni 1957, isu besar yang diangkat adalah upaya menyelamatkan anak dari
bahaya bom atom. Isu ini disampaikan oleh Gerwani dalam halaman depan Harian Rakyat berjudul ―Hidup 1 Djuni; Seruan DPP Gerwani‖.
7
Dalam seruan itu, DPP Gerwani menjelaskan bahwa perayaan 1 Juni dalam ketegangan internasional
dengan adanya persiapan perang dan percobaan peledakan nuklir di beberapa bagian dunia. Diharapkan, melalui perayaan hari anak sedunia, sebagai alat protes
terhadap semua bentuk persiapan perang dan terutama terhadap percobaan- percobaan bom atom dan hidrogen yang meracuni atmosfer.
Dari seruan itu, hanya satu artikel saja yang mengungkapkan bahaya dari bom atom terhadap anak. Artikel yang berjudul ―Hindarkan anak2 dari bentjana
bom atom‖ tak jelas ditulis oleh siapa. Namun di bawah atikel tersebut tertulis ―ibu satudjuni‖. Artikel itu menjelaskan tentang bahaya bom yang tak pilih-pilih
korban, termasuk ibu yang sedang mengandung, anak, dan orang-orang yang masih suci lainnya.
Dengan hanya satu tema tulisan yang memuat tentang bahaya nuklir terhadap anak khususnya di Indonesia, tema ini tidak begitu dianggap sebagai
tema besar. Bahaya nuklir memang menjadi pembicaraan internasional pada masa itu, akan tetapi, di wilayah Indonesia masih ada masalah yang lebih mendesak
untuk segera diselesaikan, terutama hubungannya dengan revolusi Indonesia. Salah satu persoalan mendesak tersebut adalah ekploitasi terhadap anak. Anak
dalam usia bermain dipaksa bekerja oleh orangtuanya karena desakan ekonomi. Meski begitu, Sugiarti juga memiliki perhatian khusus pada bahaya nuklir
ini. Hal ini dapat dilihat memiliki dalam cerpen Sugiarti lainnya berjudul Putri
7
Harian Rakjat, 1 Djuni 1957.
yang Beradu. Cerpen ini berkisah tentang seorang perempuan yang dulu menjadi dokter ketika bom atom Amerika meledak di Nagasaki. Perempuan ini terkena
dampak radiasi seberapa tahun kemudian. Ia mengalami kebutaan dan usianya tak lama lagi. Perempuan yang bernama Emily itu ingin mengangkat seorang anak
perempuan yang jadi yatim piatu akibat bom atom. Suaminya menyetujui. Sebab ia sering kesepian ditinggalkan suami bekerja di luar negeri. Judul cerpen ini
diambil dari dongeng anak-anak Jepang dengan judul yang sama. Dari dua cerpen di atas, agaknya Sugiarti menganggap bahwa tema anak
dan bom atom merupakan tema besar. Sehingga ia merespon dengan cerpen yang berbeda. Cerpen Putri yang Beradu, meski juga mengangkat sisi anak, namun
tema bom atom lebih mendominasi. Bom atom senjata nuklir merupakan jenis senjata paling berbahaya ketika
Perang Dunia PD II. Senjata ini mampu melakukan pembunuhan masal dalam satu kali ―klik‖. Karena sifat kejamnya itu, senjata ini banyak menuai protes. Pada
tahun 1957-59, terjadi respon penolakan besar-besaran terhadap senjata nuklir di halaman depan Harian Rakjat. Sarjana Amerika, Linus Pauling,
8
menggambarkan bahwa dalam satu kali percobaan peledakan bom atom sama dengan mendukung
lahirnya lima belas ribu bayi lahir dalam keadaan cacat. Selain itu, bom atom dapat menyebabkan catat genetika selama berabad-
abad. ―Pertjobaan2 sendjata atom sampai sekarang sudah menjebabkan sedjuta peristiwa kanker dan 110.000
peristiwa leukemia, ‖ kata sarjana itu.
8
Harian Rakjat, 3 Djuli 1959.
Di Jakarta, pada 6 Agustus 1959,
9
digelar pula aksi besar-besaran dalam menuntut pelarangan senjata nuklir. Aksi ini digelar sebagai upaya memperingati
14 tahun silam jatuhnya bom di Hirosima, dan tiga hari kemudian bom yang sama jenisnya jatuh di Nagasaki. Peristiwa ini mengakibatkan jatuh korban ratusan ribu
jiwa. Komandan Kodam ―Merdeka‖ Overste Moesjid
10
mengutuk penggunaan bom atom dalam perang, khususnya pada masa itu, PD II. Dalam ceramah
umumnya di hadapan mahasiswa Universitas Sulawesi Utara Tengah, Manado, ia menegaskan bahwa bom nuklir, hidrogen dan senjata-senjata konvensional lainnya
adalah identik dengan kematian, bahkan identik dengan kebiadaban. Dari peringatan besar tersebut, Sugiarti mengambil hal sederhana dengan
membuat cerpen yang berkisah tentang efek buruk dari bom atom hingga mengakibatkan kebutaan dan kematian. Dalam pembacaan peneliti, tema ini tidak
ditemukan dalam karya pengarang Lekra lainnya, terutama yang dimuat dalam Harian Rakjat.
Selain senjata nuklir, PD II juga mengakibatkan kesengsaraan rakyat Indonesia, terutama saat pendudukan Jepang. Di Indonesia, Jepang membangun
sarana prasarana perang dan memaksa rakyat Indonesia untuk bekerja keras tanpa upah. Hal ini biasa disebut dengan romusha. Salah satunya adalah pembangunan
landasan pesawat terbang. Hal ini digambarkan oleh Sugiarti Siswadi dalam cerpennya berjudul Jang Pertama.
9
Harian Rakjat, 6 Agustus 1959.
10
Harian Rakjat, 28 Djuli 1959.
Cerpen Jang Pertama memang tak langsung menyinggung soal hiruk pikuk PD II, tetapi dari konten jelas memperlihatkan kerja romusha sebagai akibat
PD II. Cerpen tentang romusha ini mengisahkan pembunuhan pertama para budak kepada tuannya. Tuan dalam cerpen ini diwakili oleh kelompok penjajah Jepang,
dan budaknya adalah rakyat Indonesia. Dikisahkan bahwa nyaris setiap hari, ada saja penduduk desa yang
meninggal dunia. Biasanya dimulai dengan kaki bengkak. Tak ada yang berduka cita sebab memang banyak yang mengalami nasib sama, tak tahu lagi kepada siapa
meminta belas kasihan. Kematian Wongso membuka jalan cerita. Istri yang masih gemuk di saat yang lain kurus, meronta-ronta. Meski ia dianggap beruntung
karena ditinggali sepetak sawah, itu tak akan mencukupi kehidupannya. Ia harus merawat delapan anaknya.
Kesedihan itu belum lagi mau pergi. Di tahun-tahun suram itu, mereka harus mengahadapi kerja paksa, romusha. Selama sepekan penuh janda Wongso
harus mengirim anak sulungnya, yang belum genap lima belas tahun, berbaris bersama penduduk lainnya ke sebuah lapangan, meratakan tanah, membangun
pondamen, menggali dan lain sebagai untuk sebuah lapangan terbang. Mereka berangkat dari pukul 04.00 - 20.00, tanpa upah.
Konflik baru muncul pada hari ke lima romusha. Karmin, anak sulung janda itu, pulang dengan dipanggul keranda, seluruh tubuhnya berlumur darah.
Janda Wongso kembali meronta-ronta, mengutuki Jepang, mengutuki orang-orang yang tak mau membela anaknya. Siapa yang berani melawan Jepang? Perlawanan
selalu terhenti diujung tenggorokan. Janda itu kalap. Namun, diam-diam para buruh itu menyusun rencana, balas dendam
Di hari terakhir romusha, para buruh sudah siap dengan segelintir rencana, tentu tidak matang. Selebihnya, pintar-pintar improvisasi. Saat gelap langit mulai
memenuhi bakal lapangan terbang itu, seorang buruh memancing serdadu Jepang masuk ke dalam gua galian mereka. Tiga tikus sekaligus masuk dalam perangkap.
Lalu digebuglah tikus yang menggerogoti kehidupan rakyat Indonesia itu. Dendam terbalas. Ketiga mampus.
Pembunuhan terhadap serdadu Jepang dalam cerpen di atas adalah pembunuhan pertama yang dilakukan oleh buruh pekerja romusha. Terjadi pada
tahun 1944, di mana Jepang sedang sangat giat-giatnya melaksanakan praktik penjajahan di Indonesia.
Cerpen yang tergabung dalam antologi cerpen Surga Dibumi ini menjadi gambaran pemberontakan awal kaum buruh kepada bangsa kolonial, Jepang. Pada
masa itu belum terbentuk organisasi atau serikat yang membela hak buruh. Atas satu dorongan, mereka bergerak tanpa komando.
Dari tahun yang disebutkan, 1944, pengarang ingin memperjelas bahwa yang ditulisnya merupakan hasil dari turba sehingga peristiwa tersebut yang benar-
benar terjadi tapi tidak terekspos oleh media. Peneliti juga tak menemukan paralelitas teks cerpen ini dengan teks lainnya.
Namun demikian, bisa dilihat motivasi penulisan cerpen Jang Pertama tersebut. Pada tahun 1960, romusha yang pada tahun 1943, mulai kembali ke
Indonesia, terutama romusha dari Muangthai dan Malaya. Hal ini nampak jelas dalam laporan Harian Rakjat.
11
Dalam laporan tersebut, segerombolan bekas romusha itu,
12
tiga di antaranya berhasil diwawancarai. Yang pertama adalah Abd. Wahab Bogor
13
. Ia mengatakan ada 600 orang yang dikirim ke Muangthai. Ia sendiri diciduk di
tengah jalan dan dikirim ke kamp yang ada di Kramat untuk selanjutnya didistribusikan ke Muangthai. Ia mengutarakan bagaimana perlakuan kejam
Jepang kepada 600 orang Indonesia. Dalam satu hari, mereka hanya mendapat satu mangkuk nasi saja, tetapi tenaganya diperas sepanjang hari. Baginya, nasib
mereka lebih buruk dari binatang kerbau. Kerbau masih diberi makan dan istirahat yang cukup sebelum bekerja, tapi mereka, pakaian pun hanya tinggal celana dalam
saja. Jika dingin datang di malam hari, keesokannya, paling tidak ada 15 orang yang berak darah atau lebih tragis lagi mati. Yang mati dikumpulkan dalam satu
liang tanpa batu nisan. Pengakuan lain datang dari Rochmani Demak.
14
Peristiwanya sama, ia diciduk, bahkan saat mencari obat untuk ibunya yang sedang sakit. Ia
diberangkatkan ke Muangthai dengan kapal pada tahun 1943. Satu kapal yang berangkat itu hanya sebagian kecilnya, karena sebelumnya telah banyak juga
dikirim. Dalam pidato Kepala Romsuha, ia dan kawan-kawannya hanya akan dibawa ke Palembang, tapi ternyata bohong. Kemudi kapal berbelok ke Muangthai
melalui Singapura. Ia tak percaya mendapat perlakuan buruk dari Jepang. Sebab
11
Lihat interview yang dilakukan oleh Harian Rakjat berjudul ―Lagi Fakta Kekedjaman Djepang‖.
Dimuat berturut-turut 9, 10, 11 Agustus 1960.
12
14 kepala keluarga dan 4 lainnya bujang dari berbagai daerah di Jawa.
13
Harian Rakjat, 9 Agustus 1960.
14
Harian Rakjat, 10 Agustus 1960.
mulanya, Jepang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia dari Belanda melalui radio yang ia dengar. Tapi ternyata hanya kebohongan, ―yang benar ialah
sama2 mendjadjah kita malahan lebih kedjam.‖ Wawancara selanjutnya dengan Umar Kebumen.
15
Ketika gerombolan romusha sampai di tanah Muangthai, mereka digiring melalui hutan yang lebat. Di
jalan, satu persatu mulai tercabut nyawanya. Setiap enam jam sekali mereka dibariskan dihitung satu persatu. Jika ada jumlah kurang karena lari, serdadu
Nippon memukuli romusha sekenanya. Perlakuan Jepang kepada penduduk setempat juga tak kalah kejamnya. Mereka merampas seluruh harta kekayaan
seperti yang terjadi di Indonesia. Dari ketiga korban romusha di atas, siasat perlawanan mereka untuk lepas
dari tangan Jepang adalah lari. Itu pun perlu nasib baik. Jika tidak, mereka juga menemui ajal. Lari tidak lari, hasilnya sama saja. Hanya menunggu mati. Tetapi
lari lebih memungkinkan untuk data melanjutkan hidup. Pelarian mereka akan sampai ke hutan, lalu sedadu Nippon akan mencari mereka bersama penduduk
setempat. Ketika mereka tak menemukan apa-apa dan Nippon sudah kembali ke kamp, penduduk setempat akan kembali ke hutan mencari para pelarian untuk
disembunyikan. Mereka dikasih makan hingga sehat kembali. Jika sudah sehat, orang Indonesia diperbolehkan keluar rumah untuk membantu pekerjaan warga
setempat, bahkan, menikah. Seperti Rochmani yang telah menikah dengan wanita setempat. Satu keuntungan bagi orang Indonesia adalah wajah mereka tak jauh
berbeda dengan warga Muangthai. Ini menjadi satu kesulitan bagi Nippon.
15
Harian Rakjat, 11 Agustus 1960.
Gambaran romusha di atas, diduga menginspirasi Sugiarti Siswadi untuk menuliskan cerpen Jang Pertama sebagai upaya untuk mengingat kembali
kekejaman Jepang atas kembalinya bekas romusha. Hanya bedanya, Sugiarti membidik praktik penjajahan melalui romusha di Jawa.
Dugaan paling kuat adalah sikap berontak romusha pada Nippon tanpa senjata tapi dengan caranya masing-masing. Jika romusha di Muangthai lari
sebagai senjata, hal itu tidak mungkin dilakukan di Indonesia karena Jepang mengerahkan tenaga romusha di Indonesia bergilir setiap kampung. Jika lari, maka
cukup didatangi saja rumahnya dan dihabisi keluarganya. Maka jalan yang ditempuh oleh romusha di Indonesia adalah membunuh serdadu Jepang dan
bungkam. Sikap bungkam romusha ini yang menjadikan berita terbunuhnya tiga serdadu Jepang tak diekspos oleh media.
Dugaan lainnya adalah kesamaan kehidupan romusha. Harta penduduk penduduk disita habis dan setiap hari, ada saja orang yang mati, entah karena
penyakit ataupun kelaparan. Pelarian di Muangthai sebelum ditemukan oleh penduduk setempat, mereka bertahan hidup dengan memakan apa saja yang ada di
hutan, terutama dedaunan. Hal ini terjadi di Muangthai, juga di Indonesia dalam cerpen Jang pertama, meski bukan pelarian tetapi sudah kehabisan bahan makan
karena dirampas oleh serdadu Jepang. Bahkan untuk sekadar pakaian saja, mereka hanya menggunakan sepotong karung goni, seperti yang dituturkan oleh Abd
Wahab, ―Kalau sdr tanja soal pakaian? Djangan ditanya lagi, semuanja tidak ada jg
lajak manusia —tjukup dengan tjawat jang dibikin dari karung atau bagor.
Kalau sudah hawa dingin datang ditengah malam, menggigillah seluruh
tubuh dengan perut kosong, paginja tahu2 ada jg mati atau jang masih mudjur tjuma buang kotoran berupa darah, ya darah sekal
i lagi darah‖
16
Sugiarti pun mengatakan, ―Mayat-mayat hidup dan kerangka yang menyeringai memenuhi jalanan, dengan berkain goni karung membawa
tempurung, mengorek-ngorek parit kecil, membongkar tanah, siapa tahu ada rejeki bersembunyi.
‖ Atau bisa dibayangkan kematian yang setiap hari terjadi dalam Jang Pertama,
Kalau orang meninggalkan desa untuk seminggu dua minggu, maka ia akan menemui perubahan. Entah tetangganya kiri, atau yang kanan,
kerabat jauh atau kenalan lama, tetapi terang, paling sedikit dua orang meninggal dalam waktu seminggu.
―Pak Kromo telah meninggal. Hari Kamis.‖ ―Mbok Dipo telah meninggal. Hari Jum‘at.‖
―Sinem telah meninggal. Hari Minggu.‖ ―Yu Siti hampir meninggal. Kaki duanya bengkak.‖
Dalam cerpen Jang Pertama, Sugiarti menampilkan kekhasannya dengan
menggunakan tokoh anak sebagai titik balik dari perlawanan romusha. Melalui sakit yang diderita anak, sang ibu yang sakit hati memberondong romusha dengan
cercaaan karena tak ada yang membela anaknya saat dianiaya. Dari cercaan itulah, romusha bangkit dan melakukan perlawanan.
B. Perjuangan Kaum Tani: Aksi Sepihak UUPA dan UUPBH