PENDIDIKAN IMAN BAGI ANAK

13 kehidupan kita sendiri yang dapat dijadikan alat untuk menanamkan dan mengembangkan iman anak. Misalkan: orangtua mengajak anak untuk memaknai hari ulang tahunnya dengan ucapan syukur, memaknai perayaan Paskah sebagai hari kebangkitan Kristus, mengajarkan anak untuk menghormati Kitab Suci dengan membaca dan merenungkannya serta meletakkannya di tempat yang terhormat. Kedua aspek ini sangat penting dan saling berkaitan dalam pelaksanaan pendidikan iman anak dalam keluarga. Orangtua tidak dapat memisahkan salah satu dari kedua aspek tersebut, hanya memberikan pengetahuan tentang iman tanpa menerapkan dalam perbuatan atau hanya mengajarkan perbuatan baik tanpa pengetahuan tentang iman. Dalam Kitab Suci disebutkan bahwa iman itu bisa timbul dari pendengaran, dan pendengaran itu muncul dari pewartaan sabda dan karya Kristus Roma 10:17. Maka salah satu tugas orangtua adalah mewartakan Kristus kepada anak-anak mereka di rumah. Beberapa orangtua tidak memberikan pendidikan iman kepada anak-anak mereka sejak awal, bukan karena tidak mau, melainkan karena kurang tahu tentang cara yang tepat untuk mewariskan iman kepada anak- anak. Hal ini terjadi karena keterampilan dan pengetahuan mereka sendiri tentang iman kurang memadai. Beberapa orangtua mengira bahwa pendidikan iman bagi anak dapat mereka percayakan sepenuhnya kepada para guru di sekolah Katolik atau kepada para pembina Sekolah Minggu di Paroki atau para romo Paroki maupun para guru agama di sekolah. Mereka kurang sadar, bahwa pendidikan di luar rumah hanyalah pelengkap dan hanya bersifat membantu, bukan pengganti dari pendidikan di rumah Pudjiono Oetomo, 2007: 4-5. 14 2. Pendidikan Iman dalam Keluarga Keluarga memiliki peranan yang sangat besar terhadap perkembangan iman anak. Pertama-tama keluarga adalah iman yang pertama dan terutama. Tanpa pendidikan, iman anak tidak akan berkembang. Untuk dapat berkembang dengan baik, maka anak memerlukan lahan yang subur sehingga benih iman yang telah ditaburkan oleh Allah sendiri dalam diri anak berkembang dan berbuah. Keluarga adalah lahan subur pertama dan utama untuk perkembangan iman anak. Agar keluarga dapat menjadi lahan yang subur bagi perkembangan anak-anak, maka orangtua harus dapat menciptakan keluarga menjadi satu komunitas antar pribadi yang dapat memberi rasa nyaman semua anggota keluarga. Hal ini dapat diwujudkan dengan semangat saling mencintai dengan penuh kesetiaan, menjalin komunikasi dengan jujur dan terbuka, saling menghormati, saling menghargai perbedaan yang ada, saling menerima apa adanya, saling memperhatikan, saling memaafkan, saling mendoakan, saling mengingatkan dan menegur jika ada anggota keluarga yang bertindak salah dan sebagainya. Jika orangtua dapat menciptakan keluarga menjadi suatu komunitas antar pribadi, maka keluarga dapat berfungsi sungguh-sungguh menjadi Gereja Mini dengan Kristus sebagai dasar hidupnya sehingga iman anak dapat lebih berkembang dengan baik Hardiwiratno, 1994: 84-85. Dalam memberikan pendidikan iman Katolik kepada anak-anak di tengah- tengah keluarga, orangtua sebaiknya mengusahakan cara-cara konkret dalam hal- hal doa pribadi dan doa bersama, mengikuti perayaan Ekaristi, membaca dan merenungkan Kitab Suci, ikut aktif dalam kelompok pembinaan iman dan ikut ambil bagian dalam ziarah. 15 a. Doa pribadi dan doa bersama Anak-anak sebaiknya dibiasakan berdoa secara teratur, baik secara pribadi, bersama keluarga maupun komunitas basis gerejawi. Perlu dijelaskan kepada mereka bahwa berdoa adalah berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka perlu diberi teladan konkret dalam hidup doa melalui doa keluarga itu sendiri. Mereka yang masih kecil pada awalnya hanya meniru sikap orangtua saja dalam berdoa, namun secara bertahap sesuai dengan perkembangan umur dan pemahamannya, mereka perlu didorong untuk mengungkapkan isi hati secara spontan dalam berdoa. Selain itu, dalam berdoa mereka dilatih untuk mengungkapkan secara tepat benda-benda rohani seperti salib, patung, gambar, rosario, dan lain-lain PPK, no. 35§1. Orangtua harus mengusahakan agar dapat melaksanakan doa bersama setiap hari, entah pada pagi atau sore hari. Doa bersama juga dapat dilakukan pada saat sebelum dan sesudah makan. Dengan adanya teladan dari orangtua dan pembiasaan diri sejak dini untuk melaksanakan doa pribadi maupun doa bersama, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang beriman dan hidup dalam doa. Komisi Keluarga Keuskupan Malang melalui pedoman bina iman usia dini dalam keluarga PBIUD no. 11§1-§2 menegaskan bahwa doa termasuk ungkapan iman seperti nampak dari isi doa yang memang sering kali dirumuskan orang dewasa yang menempatkan diri dalam situasi anak. Dengan demikian, doa bukan hanya ungkapan isi hati dan budi manusia kepada Tuhan, melainkan sekaligus juga bina iman bagi anak. Pengajaran dan pelatihan doa di dalam keluarga, meliputi pengajaran doa terutama yang terlaksana dalam praktek doa bersama, berdoa beberapa jenis doa seperti doa dasar, doa pujian, doa syukur, doa permohonan, dan devosi. 16 b. Mengikuti Perayaan Liturgi Sejak dini anak-anak perlu diajak mengambil bagian aktif dalam perayaan liturgi terutama Ekaristi, supaya mereka mengenal dan mencintai Tuhan. Perayaan Ekaristi khusus untuk anak-anak dapat diselenggarakan, karena perayaan Ekaristi tersebut membantu mereka untuk lebih terlibat di dalamnya. Bila mereka sudah terlibat dan mampu memahami, orangtua sebaiknya menjelaskan makna perayaan Ekaristi sebagai perjamuan kasih Tuhan. Dalam perjamuan itu, Tuhan memberikan diri-Nya untuk kita karena cinta-Nya kepada umat manusia yang sangat besar dan tak ada duanya. Maka, menyambut Tubuh Kristus dalam komuni berarti bersatu dengan Tuhan dan Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus PPK, no. 35§2. Mengingat peran penting dan pusat hidup liturgis yang dipahami sebagai sumber dan puncak hidup menggereja. Sacrosanctum Concilium SC, konstitusi Konsili Vatikan II menegaskan selayaknyalah liturgi merupakan bina iman usia dini agar anak dididik dan dilatih untuk berperanserta aktif dalam perayaan liturgi dan kemudian mampu menghayati sungguh-sungguh sebagai sumber dan puncak hidup menggereja SC, art. 10. Pendidikan liturgi dapat diperoleh anak melalui peran serta aktif sebagai petugas liturgi, terutama bila anak diberi peran dan disapa. Persiapan, perayaan dan penghayatan liturgi yang langsung dialami anak- anak, perayaan sakramen-sakramen terutama komuni pertama, perayaan Ekaristi hari Minggu sebagai hari Tuhan dan perjumpaan dengan umat lainnya, arti lambang dan sarana liturgi yang dijelaskan kepada anak pada kesempatan kunjungan ke gereja akan lebih membantu anak memahami perayaan Ekaristi PBIUD, no. 12§1-§2. 17 c. Membaca dan Merenungkan Kitab Suci Kitab Suci memuat kekayaan iman yang sangat baik dan efektif untuk mengembangkan iman anak-anak. Melalui pembacaan Kitab Suci, anak-anak mengenal Allah yang menyelamatkan manusia dalam sejarah keselamatan terutama dalam diri Yesus Kristus. Dengan membaca dan mendengarkan serta merenungkan Kitab Suci, hati mereka diarahkan kepada Allah yang hadir melalui sabda-Nya. Melalui pembacaan Kitab Suci itu, anak-anak menemukan dasar iman, yaitu ajaran Tuhan Yesus dan menimba inspirasi untuk hidup iman mereka melalui teladan hidup-Nya dan tokoh-tokoh iman dalam Kitab Suci. Jadi, Kitab Suci adalah buku pegangan yang paling tepat untuk anak-anak PPK, no. 35§3. Kitab Suci patut menjadi sumber inspirasi pribadi dan keluarga Katolik serta mendapat tempat terhormat dalam keluarga. Maka dari itu, perlu diusahakan agar anak menjadi sungguh akrab dan mencintai Kitab Suci yang diperkenalkannya. Melalui Kitab Suci, anak dapat diperkenalkan: tokoh-tokoh Kitab Suci, terutama kehidupan Yesus dengan kisah-kisah yang menarik, makna dan amanat Kitab Suci yang dapat ditangkap anak lewat contoh-contoh konkret. Kitab Suci sebagai bahan bina iman dapat didukung dengan upaya-upaya: memiliki Kitab Suci sendiri dan rajin memperlajarinya, jika anak masih balita dapat menggunakan Kitab Suci bergambar, kebiasaan membaca Kitab Suci secara pribadi dan bersama dalam keluarga PBIUD, no. 13§1-§2. d. Ikut Aktif dalam Kelompok Pembinaan Iman Untuk membantu orangtua dalam memberikan pendidikan iman dan menumbuhkan sikap menggereja dalam diri anak, mereka dihimbau untuk 18 senantiasa mendorong anak-anak untuk ikut aktif dalam kelompok pembinaan iman, misalnya Sekolah Minggu, Pembinaan Iman Anak dan Pembinaan Iman Remaja PIA dan PIR. Dalam pertemuan kelompok-kelompok tersebut anak-anak dibantu untuk memperkembangkan iman dan dilatih untuk menghayati kebersamaan sebagai Gereja PPK, no. 35§4. Kelompok Bina Iman Usia Dini hendaknya berperan sebagai wadah yang mendukung, melengkapi dan memperkaya bina iman usia dini dalam keluarga, wadah pra sekolah dan sekolah. Hal ini makin berhasil apabila pembina bukan hanya petugas comotan melainkan dipersiapkan sebaik-baiknya. Kerja sama dengan keluarga dan wadah-wadah lain hendaknya dilaksanakan dengan komunikasi timbal balik, sehingga ada koordinasi yang dapat mengurangi pengulangan dan tumpang tindih yang tidak hanya membosankan anak, melainkan juga membuang waktu dan tenaga serta dana PBIUD, no. 30§3. Berdasarkan pernyataan di atas menunjukkan bahwa kelompok pembinaan iman yang telah disediakan oleh Gereja sangat membantu orangtua dalam memberikan pendidikan iman, khususnya bagi orangtua yang memiliki pengetahuan iman yang minim. Selain itu, kelompok pembinaan iman juga mempersiapkan anak untuk mengenal dan terlibat dalam kehidupan menggereja. Kelompok pembinaan iman, seperti PIA, sekolah minggu, atau bina iman merupakan sarana pendidikan iman dan penginjilan bagi anak melalui bantuan metode pengajaran yang disiapkan oleh pendamping, di antaranya dapat berupa cerita Kitab Suci, mengenalkan tokoh-tokoh Kitab Suci atau santo santa. Oleh karena itu, kelompok pembinaan iman bertujuan membantu anak mengenal Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta, mengenal dan menerima Yesus 19 Kristus sebagai Tuhan, Juruselamat dan penebus dosa manusia, mengenal Bunda Maria sebagai Bunda Allah, mengasihi sesama, terlibat aktif dalam kehidupan menggereja, belajar firman Tuhan, dan belajar hidup bersosialisasi. e. Ikut Ambil Bagian dalam Ziarah Ziarah sudah dikembangkan cukup lama dalam Gereja dan menghasilkan buah-buah yang baik. Maka, orangtua hendaknya mendorong dan mendukung anak-anaknya untuk mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut demi pengembangan hidup beriman mereka PPK, no. 35§5. Ziarah yang dilakukan oleh umat Katolik merupakan bentuk ungkapan penghayatan iman melalui penghormatan dan pujian kepada Bunda Maria. Orangtua perlu memperkenalkan hal ini kepada anak sehingga anak tidak hanya mengenal tempat-tempat rekreasi, seperti taman hiburan atau mall tetapi juga tempat-tempat doa umat Katolik. Praktek devosi ini sering marak dilakukan umat Katolik pada bulan Mei dan Oktober yang merupakan bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria. Tidak ketinggalan, kelompok Pembinaan Iman, seperti PIA-PIR juga mengadakan ziarah ke Goa Maria dengan tujuan memperkenalkan tempat ziarah umat Katolik sekaligus mengajak anak untuk berdevosi kepada Bunda Maria. 3. Kewajiban Orangtua Orangtua memiliki kewajiban memberikan pendidikan iman kepada anak- anak dalam situasi dan kondisi apa pun. Para ahli jiwa dan pendidikan masih tetap berpegang bahwa pendidikan harus dimulai sejak masa kehamilan Zanzucchi, 20 1986: 25. Semasa masih berada dalam kandungan, anak sudah dapat dipersiapkan secara rohani Pudjiono Oetomo, 2007: 4. Sang ibu bukan saja bertanggung jawab untuk memberikan makanan jasmani kepada sang bayi, tetapi terutama cinta, damai dan rasa aman Zanzucchi, 1986: 25. Mereka tidak boleh menunda atau menghentikan bahkan meniadakan pendidikan iman. Penegasan kewajiban orangtua ini bukan merupakan suatu pemaksaan yang disertai sikap tidak mau tahu dari Gereja terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami oleh pihak Katolik dari keluarga kawin campur. Penegasan ini adalah bentuk tanggung jawab Gereja untuk mengingatkan martabat dan kewajiban hakiki orangtua sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anak. Tanggung jawab merupakan tujuan dan makna dari hak atau wewenang. Orangtua yang mengemban tanggung jawab atas pendidikan anaknya juga dibekali dengan hak atau wewenang untuk melaksanakan tanggung jawab itu Go, 1990: 21. Ada dua alasan prinsip mengapa orangtua Katolik harus memberikan pendidikan iman kepada anak-anak dalam situasi dan kondisi apa pun. Pertama, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pembinaan untuk mencapai pertumbuhan yang meliputi fisik, intelektual, moral dan spiritual secara harmonis. Kedua , orangtua adalah pribadi pertama yang mempunyai kesempatan untuk memperkenalkan kehidupan dengan segala aspeknya kepada anak-anak. Orangtua juga adalah pewarta iman yang berkewajiban membina pribadi anak-anak supaya mereka mengenal dan menerima kebenaran dan mempunyai pengalaman sebagai pribadi yang dicintai dan mencintai Allah dan sesama Agung Prihartana, 2008: 55-56. Yang ingin ditegaskan dari pernyataan tersebut ialah pendidikan anak secara umum harus mengarah kepada pembentukan pribadi anak secara utuh, baik 21 segi fisik, moral, maupun sosial budaya sehingga anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab. Di samping itu, orangtua harus menyediakan waktu untuk membentuk mereka menjadi pribadi-pribadi yang mengenal Allah dan melaksanakan ajaran-Nya. Tanggung jawab orangtua terhadap anak atas pendidikan meliputi pendidikan psikis afektif, pendidikan sosio kultural, pendidikan religius, dan pendidikan moral Go, 1990: 21-23. a. Pendidikan psikis afektif Aspek psikis afektif usia dini menurut psikologi perkembangan dan pengalaman sangat mempengaruhi kepribadian manusia, sehingga perlu memperhatikan peranan orangtua dan anggota keluarga lainnya dalam pertumbuhan psikis afektif anak. Anak berhak atas perkembangan psikis afektif yang hanya mungkin dalam relasi mesra dan interaksi dengan para anggota keluarga, maka orangtua bertanggung jawab atas penciptaan suasana yang mendukung perkembangan ini. Pendidikan ini tidak kalah penting dibandingkan pendidikan lainnya di dalam keluarga. Pendidikan yang mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap emosi, dan nilai ini akan membantu orangtua mengetahui perasaan yang dirasakan anak, tingkat perkembangan anak dan mengembangkan minat anak baik dalam hal bakat maupun pelajaran sekolah. Pendidikan psikis afektif akan membantu menyempurnakan dan mengembangkan kepribadian anak dengan melatih anak supaya bersikap mandiri, suka berbuat baik kepada orang lain, dan dapat mengontrol diri ketika marah. 22 Orangtua berkewajiban menghindarkan anak-anak dari sifat minder, penakut, merasa rendah diri, masa bodoh. Dengan demikian, orangtua perlu menghindarinya dengan cara membangkitkan rasa percaya diri anak melalui pujian terhadap sekecil apapun itu, memberi semangat untuk terus mencoba dan tidak mencela ketika gagal, memberikan kesempatan pada anak untuk mengeluarkan pendapat dan menentukan pilihan. Dalam Pendidikan Agama Kristen Thomas H. Groome 1980: 99 mengutip pendapat Fowler bahwa iman adalah kegiatan mengetahui atau mengartikan di mana “kognisi” sang rasional dengan tak dapat dihindarkan terkait dengan “afeksi” atau “menghargai” sang perasaan. Bagi Fowler, iman adalah urusan kepala dan hati, yang artinya iman bersifat baik rasional maupun perasaan. Dimensi perasaan adalah aspek emosional afektif yang muncul dari iman sebagai cara berhubungan yang berisi mengasihi, memperhatikan, menghargai, rasa kagum, hormat dan takut. Beriman berarti berhubungan dengan seorang atau sesuatu sedemikian rupa sehingga hati kita dicurahkan, perhatian kita diberikan, harapan kita difokuskan kepada orang lain. b. Pendidikan sosio kultural Manusia hidup dalam lingkungan sosio kultural tertentu, maka sosialisasi untuk dapat hidup dalam konteks sosio kultural itu perlu. Istilah sosio kultural juga dimaksudkan nilai-nilai moral dalam lingkup budaya tertentu Go, 1990: 22. Setiap lingkungan atau daerah memiliki nilai-nilai budaya masing-masing yang menjadi identitas masyarakat setempat. 23 Pendidikan sosio kultural ini akan membantu anak mengembangkan nilai- nilai budaya sejak dini. Apa yang dimulai sejak usia dini dalam lingkup keluarga harus dikembangkan lebih lanjut pada jenjang berikutnya dengan bantuan instansi terkait. Keluargalah subyek pewaris penerus nilai-nilai budaya yang diwariskan kepada generasi berikutnya. Nilai-nilai budaya yang masih dilestarikan akan menjadi identitas kita. Orangtua dapat mengajarkan dan memberi contoh nilai- nilai budaya lingkungan sekitar, misalnya membungkukkan badan ketika berjalan di depan orangtua, tidak boleh memegang kepala orang yang lebih tua, memakai pakain yang sopan, tidak berbicara kotor, dan sebagainya. Pendidikan iman akan mendukung terjadinya pendidikan sosio kultural di rumah. Dengan iman yang anak-anak miliki akan membantunya menerapkan sosio kultural yang berlaku di lingkungan dan tidak akan terpengaruh oleh perubahan-perubahan negatif yang ada. c. Pendidikan iman Konsep manusia seutuhnya juga meliputi aspek religius, yakni iman Katolik. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sehingga aspek ini perlu dan penting untuk dikembangkan, maka anak berhak atas pendidikan iman. Untuk keluarga Katolik agama berarti iman. Orangtua bertanggung jawab untuk meneruskan imannya sebagai harta rohani yang paling berharga kepada anak- anaknya dengan pendidikan iman. Arah dasar yang harus dituju dalam pendidikan iman anak secara berangsur-angsur ialah iman yang mendalam, dewasa, mandiri, berinkulturasi, dan memasyarakat. Sebaiknya orangtua mendayagunakan bantuan instansi-instansi lain, seperti Gereja dengan aneka wadah dan jalur pembinaannya 24 seperti Sekolah Minggu Minggu Gembira, Bina Iman, sekolah Katolik, mudika dan sebagainya. Pendidikan iman menyangkut perkembangan anak dalam hubungan dengan Tuhan. Pendidikan iman ini merupakan hal yang esensial dalam hidup keluarga Kristiani. Orangtua mengemban hak pertama dan tanggung jawab dalam pendidikan religius anaknya. Aspek ini menjadi semakin mendesak jika agama dipilih oleh orangtuanya melalui baptisan bayianak-anak. Pendidikan agama atau iman harus mempersiapkan anak agar ia sadar dan sukarela menyambut pilihan iman orangtuanya, dan selanjutnya mengembankan rahmat baptisan itu dengan iman Katolik Wignyasumarta, 2000: 151. Pendidikan iman membawa anak-anak kepada pengenalan akan Tuhan Yesus sejak dini, sehingga mereka mengenal dan mengerti akan kebenaran Firman Tuhan dan menerapkan dalam kehidupan mereka. Selanjutnya anak dapat berkembang sebagai orang Katolik yang tangguh, tanggap dan terlibat dalam hidup menggereja. Pendidikan iman dapat dilakukan orangtua dalam keluarga dengan mengajak anak berdoa sebelum dan sesudah makan, berdoa bersama, membacakan Kitab Suci, menanamkan nilai-nilai Kristiani, seperti cinta kasih, saling menghormati, saling berbagi, memaafkan kesalahan orang lain dan belajar meminta maaf jika berbuat kesalahan. d. Pendidikan moral Iman mempunyai implikasi moral. Tetapi juga lepas dari kebenaran ini, moral dibutuhkan manusia dan masyarakat. Kiranya jelas bahwa pendidikan moral dan pembentukan hati nurani anak merupakan tanggung jawab orangtua. 25 Juga dalam hal ini, orangtua dibantu oleh Gereja dengan aneka wadah dan program pembinaannya Go, 1990: 21-23. Norma-norma moral diperkenalkan kepada anak secara bertahap dan berkelanjutan, dimulai di dalam keluarga dan dilanjutkan di dalam masyarakat. Sebagai orang Katolik, kita perlu menyadari bahwa norma-norma moral adalah penjabaran dari perintah kasih kepada Allah dan sesama Mat 22:37-39 PPK, no. 36§4. Peran keluarga dalam mengembangkan moral anak sangatlah penting karena berpengaruh pada moral di masa depan. Pendidikan moral dalam keluarga membawa anak dalam bertindak dan dapat membedakan bagaimana yang salah dan benar, bagaimana sikap yang harus dilakukan dan bagaimana sikap yang harus dijauhi. Pendidikan moral bertujuan pada pembentukan sikap dan perilaku seseorang agar dapat bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang berlaku di lingkungan. Oleh karena itu, adanya pendidikan moral akan membentuk mudah tidaknya seseorang diterima di lingkungan sosial. Adapun cara yang dapat digunakan dalam penerapan pendidikan moral, di antaranya: melalui teladan atau contoh karena anak-anak mempunyai kemampuan yang sangat menonjol dalam hal meniru. Oleh karena itu, hendaknya orangtua dijadikan model yang patut untuk ditiru atau diteladani. Anak akan melihat perilaku orangtua baik itu perilaku baik maupun buruk, anak akan senantiasa untuk meniru. Selain itu, orangtua dapat melakukan pendidikan moral dengan pembiasaan dalam perilaku, misalnya jangan berbohong, meminta maaf saat melakukan kesalahan, meminta ijin sebelum meminjam barang, mengembalikan barang yang dipinjam, tidak menyakiti orang 26 lain. Pembiasaan dalam perilaku ini dilaksanakan karena pendidikan moral tidak akan pernah tercapai apabila hanya dilakukan dalam satu waktu saja. Nilai-nilai moral yang ditanamkan pada anak harus senantiasa terus menerus dilakukan melalui pembiasaan-pembiasaan pada perilaku anak sehari-hari. Iman mempunyai implikasi moral, artinya penghayatan iman juga berarti penghayatan moral yang mengungkapkan kehendak Tuhan. Moral diperlukan untuk membangun kehidupan bersama. Dalam diri anak harus ditanamkan sesuatu yang dapat diukur dari segi moral, baik-buruk, benar-salah, wajib-tidak wajib. Maka, anak harus pula dipersiapkan dengan pendidikan moral terutama pembentukan suara hati Wignyasumarta, 2000: 151. Dalam rangka pendidikan iman dan moral anak ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Pertama, orangtua muncul sebagai figur iman dan moral bagi anak. Kebiasaan orangtua, seperti rutin ke gereja, rajin berdoa, biasa berderma pada sesama, ramah pada tetangga akan diserap oleh anak sebagai referensi kehidupan iman dan moralnya. Orangtua yang beriman dan bermoral adalah jaminan bagi keimanan dan kebaikan moral anak; Kedua, sebagai keluarga Katolik, orangtua wajib mendidik anak secara Katolik. Mereka membaptis anak sejak dini baptis bayi dan membina imannya agar tetap tertarik pada iman Katolik, setia mengikuti Yesus dan terhindar dari pengaruh yang bertentangan dengan keKatolikan. Pembinaan iman itu dapat diwujudnyatakan dengan kebiasaan orangtua mengajak anak pergi ke gereja, berdoa bersama, dan melibatkan anak dalam kegiatan menggereja. Dengan demikian, baptisan Katolik yang telah anak terima bisa terbina dan terhayati; Ketiga, keluarga sebaiknya menciptakan kebiasaan- kebiasaan suci dalam keluarga. Misalnya, berdoa bersama, membaca dan 27 merenungkan Kitab Suci, bercerita tentang tokoh-tokoh Suci Gereja. Yang tidak kalah pentingnya yaitu mengajak anak berkunjung ke biara, seminari, pastoran dan keuskupan guna memperkenalkan anak bentuk hidup panggilan; Keempat, sesekali orangtua juga meminta anak untuk sharing atau membuat refleksi pribadi atas iman dan tindakan. Dengan cara ini, orangtua akan lebih bisa memantau perkembangan iman anak, semakin mengenal anak dan mengetahui kebutuhan iman anak Sutarno, 2013: 41-45. Pendidikan moral dan pendidikan iman harus sejalan dan tidak dapat dipisahkan maupun berat sebelah. Untuk membentuk pribadi yang bermoral harus dibentengi dengan keimanan. Pendidikan iman mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan moral anak. Maka dengan iman yang baik, moral yang kita miliki akan tetap terjaga dan tetap bertumbuh terutama di dalam Tuhan. Dengan iman yang ada, manusia harus belajar untuk menumbuhkan moralnya. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Yang dimaksud dengan pengaruh eksternal adalah pengaruh-pengaruh yang berasal dari luar rumah, misalnya dari media komunikasi terutama dari TV. Orangtua Kristen dewasa ini diharapkan menyadari derasnya arus dan besarnya pengaruh berbagai informasi, baik lewat media massa maupun media elektronik terhadap kepribadian anak-anak mereka. Berbagai tayangan tentang perselingkuhan, perceraian, pergaulan bebas, kekerasan, perampokan, 28 pembunuhan dan hal-hal negatif lainnya pasti mempunyai pengaruh pada kehidupan iman anak. Sedangkan yang dimaksud pengaruh internal adalah pengaruh-pengaruh yang berasal dari lingkungan keluarga sendiri. Pengaruh itu misalnya, bisa datang dari suasana umum di dalam rumah. Dalam keluarga yang diwarnai hubungan yang tidak harmonis antar para anggotanya, misalnya tidak bisa diharapkan adanya dukungan dari pertumbuhan iman anak secara sehat Pudjiono Oetomo, 2007: 5-6. 5. Kegagalan Pendidikan Iman Anak-anak dalam Keluarga Pelaksanaan pendidikan iman anak dalam keluarga dapat mengalami kegagalan yang disebabkan orangtua sendiri kurang sungguh beriman dan terlalu mempercayakan pendidikan iman anak kepada pihak ketiga. a. Orangtua sendiri kurang sungguh beriman Orangtua kurang menghayati imannya sendiri secara baik bahkan tidak dapat lagi menghayati sakramen perkawinan. Misalnya terjadi kehancuran perkawinan yang berujung perceraian dan pertengkaran. Kesibukan orangtua, mental “tidak mau repot”, dan kurang perhatian dari orangtua merupakan kondisi di mana sulitnya penerapan pendidikan iman anak dalam keluarga. Orangtua juga tidak memberi kesempatan atau kurang memberi dorongan kepada anak-anaknya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ada dalam Paroki. Misalnya, kegiatan putra altar, MUDIKA, koor atau kelompok yang lainnya. Hal ini terjadi karena masih banyak orangtua yang menganggap bahwa mengikuti kegiatan di Paroki 29 hanya membuang-buang waktu saja. Mereka menganggap lebih baik menggunakan waktu untuk menunjang prestasi belajar anak dengan mengikutkan anak dalam berbagai les mata pelajaran Hardiwiratno, 1994: 93-94. b. Orangtua terlalu mempercayakan pendidikan iman anak mereka kepada pihak ketiga sekolah, Gereja dan sebagainya Sebagian orangtua, tidak memikirkan mengenai pendidikan iman bagi anak-anaknya di rumah. Mungkin karena kesibukan orangtua, kurang perhatian dari orangtua dalam hal pendidikan iman atau menganggap pendidikan itu menjadi tanggung jawab sekolah dan gereja, atau bahkan mungkin mereka acuh tak acuh. Tugas mendidik iman anak merupakan tugas esensial dan primer bila dibandingkan dengan tugas-tugas yang lain. Tugas ini tidak tergantikan dan tidak terpindahkan karena tugas mendidik iman tidak dapat diserahkan kepada orang lain. Dalam mendidik anak, orangtua tidak berjalan sendirian. Mereka bisa bekerjasama dengan Gereja dan Pemerintah melalui lembaga dan kegiatan pendidikan yang diadakan oleh Gereja dan Pemerintah Hardiwiratno, 1994: 83- 84. 6. Tahap Perkembangan Iman Dalam memberikan pendidikan iman kepada anak-anak, perlu juga memperhatikan tahapan perkembangan iman anak karena iman anak juga berkembang dalam beberapa tahan berdasarkan usia anak. 30 James W. Fowler 1995: 96-218 adalah seorang psikolog dan teolog Amerika Serikat yang mengembangkan teori perkembangan iman menjadi tujuh tahap menurut usianya masing-masing sebagaimana dikutip oleh Hadiwiratno dalam bukunya Menuju Keluarga Bertanggung jawab. Orangtua perlu mengetahui tahap perkembangan anak sehingga dapat menerapkan pendidikan sesuai dengan umur dan kebutuhan anak yaitu tahap 0 Elementari awalprima, tahap I iman intuitif-projektif, tahap II iman mitis-literal, tahap III iman sintetik-konvensional, tahap IV iman individuatif-reflektif, tahap V iman konjungtif, dan tahap VI iman universal. a. Tahap 0: Elementari Awal Primal Tahapan ini terjadi pada usia 0-3 tahun. Benih iman pada kurun hidup paling dini ini terbentuk oleh “rasa percaya si anak pada orang-orang yang mengasuhnya” dan oleh “rasa aman yang dialaminya di tengah lingkungannya”. Seluruh interaksi timbal balik antara si anak dan orang-orang di sekitarnya merupakan titik tolak bagi perkembangan imannya. Interaksi yang mendukung perkembangan iman adalah interaksi yang menumbuhkan keyakinan pada dirinya, bahwa ia adalah insan yang dicintai dan dihargai Agus Cremers, 1994: 96-104. Seluruh interaksi antara bayianak dan orang-orang di tengah lingkungan hidupnya, merupakan titik tangkap penumbuhkembangan kerohaniankeimanan. Interaksi yang kondusif untuk perkembangan kerohaniankeimanan adalah interaksi yang sanggup menguatkan keyakinan pada diri anak, bahwa dia adalah insan yang dicintai dan dihargai PBIUD, no. 46§2. Pada tahap ini, anak juga didominasi oleh aktivitas merekam atau menangkap. Oleh karena itu, orangtua 31 ataupun pengasuhnya dapat menunjukkan dan memperdengarkan hal-hal yang tepat dan berguna bagi anak. Mereka dapat memperkenalkan iman kepada anak dengan mengajarkan tanda salib, mengenalkan patung Yesus, Bunda Maria, dan salib Yesus, gambar Paus, dan gambar santo-santa. b. Tahap I: Iman Intuitif-Projektif Tahap iman intuitif-projektif terjadi pada anak-anak usia 3-7 tahun. Tahap pertama ini merupakan fase yang ditandai oleh hidup yang penuh fantasi dan proses imitasi di mana secara kuat dan permanen si anak dapat dipengaruhi oleh contoh-contoh suasana hati, perbuatan dan cerita-cerita. Pada tahap ini, anak belum memiliki kemampuan berpikir logis yang mantap karena daya imajinasi dan dunia gambaran sangat berkembang. Dunia gambaran dan daya imajinasi tersebut berkembang secara bebas karena belum dikontrol oleh pikiran logis dan kognitif lain. Dengan timbulnya kemampuan simbolisasi dan bahasa, maka imajinasi dan dunia gambar itu dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, upacara, simbol-simbol dan kata-kata. Adapun bahaya yang timbul pada tahap in i adalah kemungkinan “dirasuki”nya imajinasi anak oleh gambaran tentang kekerasan dan kehancuran yang tak terhalangi Fowler, 1995: 28, 130-131. Unsur terpenting pada tahapan ini ialah intuisi si anak, yang sifatnya belum rasional. Intuisi tersebut dipakainya untuk memaknai dunia di sekitarnya. Intuisi itu memungkinkannya menangkap nilai-nilai religius yang dipantulkan oleh para tokoh kunci yakni ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pastor, suster, dan sebagainya. Maka, pada tahapan ini si anak memahami atau membayangkan 32 Tuhan sebagai sang tokoh yang mirip dengan ayah, ibu, pengasuh, paman, bibi, pastor, suster atau tokoh berpengaruh yang lain. Pada tahapan ini, iman seorang anak diwarnai oleh rasa takut dan hormat pada tokoh-tokoh kunci itu. Usaha- usaha untuk mengembangkan iman seorang anak pada tahapan usia ini seyogyanya dilaksanakan dengan cara yang sederhana, tidak terlalu mengandalkan penalaran, dan menghindari ucapan-ucapan yang tidak sesuai dengan sikap-sikap dan tindakan-tindakan yang nyata. Usaha-usaha pendidikan iman pada tahapan ini hendaknya lebih mengandalkan keteladanan, melalui perilaku yang nyata dari para tokoh kunci. Karena dalam tahap pertama ini anak menerima sikap iman orangtuanya tanpa pertanyaan dan diterima begitu saja. Maka teladan atau contoh dan praktek hidup orangtua atau keluarga sebagai orang beriman sangat penting Hardiwiratno, 1994: 89. Pada usia ini, pendidikan iman bagi anak dapat dilakukan dengan mengajak berdoa dan mengikuti Ekaristi bersama, mewarnai tokoh Kitab Suci, memberikan cerita-cerita teladan dalam Kitab Suci bergambar, cerita yang menggugah hati dan merangsang pertumbuhan iman sesuai dengan kebutuhan si anak sehingga imajinasi si anak mengarah pada kebenaran tentang Tuhan. c. Tahap II: Iman Mitis-Literal Terjadi dalam akhir masa anak-anak yaitu pada usia 7-12 tahun. Tahap kedua ini adalah suatu tahap di mana secara pribadi orang mulai melakukan cerita tentang ketaatan yang melambangkan keanggotaannya dalam kelompok Fowler, 1995: 154. Aspek paling penting dan mencolok dari tahap ini ialah bahwa anak dapat menyusun dan mengartikan dunia pengalamannya melalui cerita atau 33 hikayat. Anak menjadi seorang penutur dongeng yang sungguh ulung. Namun cara anak menangkap dan menafsirkan seluruh cerita, simbol, pendapat, dan kepercayaan orang lain serta kelompok-kelompoknya masih sangat terbatas, sebab anak masih memahami semuanya itu secara harfiah dan konkret. Anak memiliki minat yang besar terhadap cerita mitos atau cerita bergambar, tokoh-tokoh pahlawan, riwayat hidup tokoh-tokoh berpetualang yang berani entah nyata atau fiksi. Cerita pada tahap ini dijadikan sebagai sarana utama Agus Cremers, 1995: 117-118,125. Pada tahapan ini, yang paling berperan dalam perkembangan iman anak adalah kelompok atau institusi kemasyarakatan yang paling dekat dengannya, misalnya kelompok bina iman, sekolah, atau kelompok Sekolah Minggu. Kelompok atau institusi tersebut berfungsi sebagai sumber pengajaran iman. Pendidikan iman itu paling mengena kalau disampaikan dalam bentuk kisah-kisah yang bernuansa rekaan. Tuturan pengajaran lewat kisah rekaan cenderung diterima olehnya secara harafiah Soerjanto Widiastoeti Soerjanto, 2007: 13- 14. Pada tahap ini peranan pembimbing atau pendidik menjadi penting karena anak-anak akan mempunyai kesadaran yang semakin berkembang akan sikap iman yang berbeda-beda yang ditemui dan dilihat serta dialaminya di dalam masyarakat, tetapi masih cenderung berpegang pada sikap iman yang ada dalam keluarga dan tradisi religi yang dihayati dalam keluarga. d. Tahap III: Iman Sintetik-Konvensional Iman dalam tahap ini berlangsung pada awal masa remaja, terjadi pada usia 12-20 tahun. Pada tahap ketiga, tahap perkembangan iman sintesis- 34 konvensional, pengalaman akan dunia meluas melewati batas lingkungan keluarga. Sejumlah lingkungan menuntut perhatian seseorang, seperti keluarga, sekolah atau tempat kerja, teman-teman sebaya, media massa dan agama. Tahap ini terjadi dan menguasai masa remaja, tetapi masih juga orang dewasa yang berada dalam tahap ini. Tahap ini menyususn realitas dasar atau lingkungan akhir menurut model hubungan antar pribadi. Kemampuan yang muncul pada tahap ini ialah pembentukan sebuah mitos pribadi Agus Cremers, 1995: 187-188. Pada masa remaja pengaruh kelompok menjadi penting. Termasuk segala sesuatu yang berhubungan dengan iman. Kesetiaan dalam norma kelompok adalah sesuatu yang tertinggi. Pada masa ini tugas orangtua adalah memperhatikan kebutuhan anak-anaknya untuk berkelompok atau berkumpul dengan sesama rekan seumuran, yaitu dengan mengarahkan kepada kelompok-kelompok gerejani yang dapat memperkembangkan pribadi dan imannya Hardiwiratno, 1994: 90. Kelompok-kelompok gerejani yang dapat membantu anak mengembangkan imannya, seperti kelompok Putra Altar, PIR, MUDIKA, dan lektor. Kelompok- kelompok ini akan memberikan kegiatan yang bermanfaat bagi anak, tidak hanya mengembangkan iman saja tetapi juga membantu anak untuk bersosialisasi. e. Tahap IV: Iman Individuatif-Reflektif Tahap ini terjadi pada usia 20 tahun keatas di mana remaja bergerak menuju ke tahap kedewasaan dan mulai merasa bertanggung jawab sebagai orang dewasa. Kekhasan tahap ini adalah bahwa orang dewasa muda mengembangkan visinya sebagai hasil refleksi kritis semata. Gambaran orang muda mengenai Allah pun memperlihatkan unsur-unsur individuatif-reflektif dan kritis-rasional. 35 Dengan sikap kritis, ia mencari dan menyusun suatu gambaran tentang Allah yang dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi dan rasional Agus Cremers, 1995: 178-180. Mereka yang mencapai pada tahap ini mulai memeriksa iman mereka dengan kritis dan memikirkan ulang kepercayaan mereka, terlepas dari otoritas eksternal dan norma kelompok. Pada tahap ini orang muda sudah memikirkan masa depan, memikirkan panggilan hidup dalam perkawinan dan keluarga serta panggilan hidup yang lain seperti hidup membiara atau imam. Tugas orangtua sebagai pelaksana pendidikan iman adalah mendampingi anak dalam memilih panggilan hidup, serta mendampingi anak dalam mengalami dan menghadapi masa transisi atau masa krisisnya, sehingga anak akhirnya dapat dengan mantap maju memperjuangkan panggilan hidupnya penuh iman dan harapan Hardiwiratno, 1994: 90. Untuk mendampingi anak dalam menentukan panggilan, orangtua dapat memberikan contoh kehidupan perkawinan yang baik dengan menjadi ayah yang bertanggung jawab dan menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Selain itu, perlu orangtua mengenalkan kehidupan membiara kepada anak dengan mengunjungi biara dan melihat langsung kegiatan-kegiatan di dalam biara. Dengan demikian, diharapkan anak dapat menentukan jalan hidupnya sesuai dengan panggilan. f. Tahap V: Iman Konjungtif Tahap ini terjadi pada orang dewasa setengah umur yaitu pada usia di atas 35 tahun. Dalam tahap ke-5 ini, individu-individu sudah mampu mengidentifikasikan dirinya di luar batas-batas ras, klas, atau ideologi. Ia sudah mampu memahami dan mengintegrasikan pandangan-pandangan orang lain atau 36 sikap iman orang lain ke dalam dirinya. Kemudian mengekspresikannya sacara pribadi sehingga menjadi ekspresi imannya sendiri dan diharapkan pada tahap ini iman seseorang sudah masak atau dewasa Hardiwiratno, 1994: 91. Ia menyadari bahwa tidak segala-galanya bergantung pada kebebasan, otonomi, pilihan, dan pengontrolan rasionya sendiri. Kini perhatian utama ditujukan pada upaya membuat hidupnya menjadi lebih utuh, menggabungkan kembali daya rasio dengan sumber ketidaksadarannya dan melampaui egosentrismenya yang tertutup menuju pengabdian diri yang lebih radikal pada kepentingan orang lain. Pada tahap kelima ini dapat menghargai simbol-simbol, mitos, dan ritus miliknya sendiri dan milik orag lain, karena dalam ukuran tertentu, tahap ini dicapai melalui keadaan realitas yang mereka tunjukkan Fowler, 1995: 35. g. Tahap VI: Iman Universal Tahap ini terjadi pada usia 45 tahun ke atas. Pribadi dalam tahap ini masih jarang. Mereka adalah orang-orang yang hidupnya sedemikian rupa sehingga hidup dan ekspresi imannya sudah di luar kepentingan pribadinya. Hidup dan imannya dipersembahkan bagi Tuhan, serta untuk dan demi kepentingan, kebahagiaan, keselamatan semua orang. Inilah titik puncak perkembangan iman Hardiwiratno, 1994: 91. Tahap terakhir ini jarang sekali orang yang dapat mencapainya. Egoisme dan egosentris dalam diri orang-orang yang mencapai tingkatan ini hampir tidak ada lagi. Apa yang mereka yakini sebagai kebenaran nyata terlihat dalam kehidupan dan perjuangan mereka. Pada tahap ini seseorang akan memberikan yang terbaik untuk dunia. Namun ia tetap rendah hati, sederhana dan manusiawi. 37 Mereka yang dapat mencapai tahap ini ialah Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Martin Luther. 7. Konteks Perkembangan Iman Perkembangan iman anak melalui pendidikan iman kepada anak berlangsung dalam konteks atau ruang lingkup yang diwarnai oleh teladan tokoh- tokoh identifikasi, suasana, pengajaran, dan komunikasi Soerjanto Widiastoeti Soerjanto, 2007: 14-16. a. Teladan tokoh-tokoh identifikasi Iman biasanya tumbuh pada anak saat ia mengamati dan mengikuti tokoh- tokoh identifikasinya, secara spontan dan belum disadari. Tokoh-tokoh identifikasi tersebut adalah orang-orang dewasa yang terpenting dan terdekat baginya, yakni orangtua dan kemudian anggota keluarga lainnya. Sikap dan perilakunya mengacu pada sikap atau perilaku dari orang-orang dewasa yang dihormatinya, tokoh-tokoh panutannya. Kemampuan seorang anak untuk memahami sesuatu secara abstrak biasanya masih sangat terbatas. Ia lebih mampu memahami sesuatu dengan melihat contoh-contoh yang konkret dan cenderung mengikuti contoh-contoh tersebut. Karena itulah, pimpinan Gereja Katolik berharap bahwa anak-anak menemukan teladan hidup beriman pertama-tama dalam diri orangtua dan anggota-anggota keluargnya sendiri. Catechesi Tradendae CT, anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II art 68 menyatakan bahwa “Pendidikan iman oleh orangtua yang harus dimulai sejak usia dini terjadi di mana para anggota 38 keluarga saling membantu untuk tumbuh dalam iman karena kesaksian dan teladan kehidupan, yang sering kali bekerja diam-diam, tetapi dalam keseharian bertekun hidup menurut Injil” Soerjanto Widiastoeti Soerjanto, 2007: 14-15. b. Suasana Yang dimaksud dengan suasana adalah keadaan dari suatu tempat. Suasana itu sulit dirumuskan, tetapi mudah dirasakan atau dialami. Bagi seorang anak, suasana merupakan keadaan yang menyenangkan atau tidak, membuatnya kerasan atau tidak. Pengaruh suasana rumah terhadapnya sangatlah besar, apalagi bila hal itu dialaminya selama bertahun-tahun. Karena itulah pimpinan Gereja Katolik menegaskan bahwa suasana keluarga yang diresapi kasih dan hormat mempengaruhi anak seumur hidupnya. Suasana memang dapat terjadi karena kebetulan saja. Namun, mengingat pengaruhnya yang besar dalam perkembangan iman anak, suasana di rumah sebaiknya tidak terjadi karena kebetulan, melainkan karena “direkayasa” dalam arti positif sedemikian rupa sehingga ia memungkinkan perkembangan iman. Suasana seperti itu dapat diciptakan antara lain: sikap dan perilaku semua anggota keluarga yang penuh kasih sayang, cinta kasih, saling memperhatikan, terbuka, harmonis, hangat dan keakraban; acara dan irama hidup yang sesuai dengan kebutuhan semua anggota keluarga dan sekaligus memungkinkan terciptanya selingan yang menyegarkan; ruang-ruang rumah dan kebun yang ditata sedemikian rupa sehingga menciptakan suasana yang manusiawi dan Kristiani; dan tersedianya fasilitas yang memadai terutama bagi perkembangan anak Soerjanto Widiastoeti Soerjanto, 2007: 15-16. 39 c. Pengajaran Keteladanan kadang bersifat agak tersembunyi. Maka keteladanan itu sebaiknya juga diperkuat dengan pengajaran, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan daya tangkap anak, sesuai dengan tahapan perkembangan kepribadian. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan iman, meliputi pengajaran harus sesuai dengan keadaan dan situasi anak, usia anak, dan kepekaan emosionalnya; pengajaran harus membantu anak mengolah pengalaman dan perasaannya; pengajaran harus bersifat komunikatif, dan merangsang anak untuk berpikir secara aktif Soerjanto Widiastoeti Soerjanto, 2007: 16. d. Komunikasi Komunikasi antara semua anggota keluarga merupakan faktor pendukung perkembangan iman yang tak tergantikan. Memang, hal-hal yang dikomunikasikan tidak perlu selalu langsung mengenai iman. Meskipun demikian, isi komunikasi itu sebaiknya dapat memperluas wawasan iman dan menjadi sumber inspirasi iman. Sementara itu, bentuk-bentuk komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Dengan komunikasi tidak hanya dimaksudkan memberitahu, melainkan berbagi diri, pikiran, perasaan, dan aspirasi. Komunikasi juga dapat diartikan sebagai ekspresi atau ungkapan diri dan sarana, karena tanpa komunikasi hidup tidak “jalan” Soerjanto Widiastoeti Soerjanto, 2007: 16. 8. Pendidikan Iman dalam Ajaran Gereja Pendidikan iman tidak hanya salah satu tujuan dari perkawinan tetapi juga ajaran yang tercantum dalam dokumen Gereja yang harus dipenuhi bagi orangtua 40 Katolik. Dokumen Gereja yang mengatur tentang pendidikan iman yaitu Gadium et Spes GS, Gravissimum Educationis GE, Dignitatis Humanae DH, Familiaris Consortio FC dan Catechesi Tradendae CT. a. Konstitusi pastoral Gadium et Spes Konstitusi ini menekankan bahwa menurut hakikatnya perkawinan dan cinta kasih suami istri terarah pada melahirkan dan mendidik anak-anak. Keturunan, selain merupakan anugrah perkawinan yang paling luhur, juga sangat besar artinya bagi kesejahteraan orangtua sendiri. Anak-anak sebagai anggota keluarga, dengan cara mereka sendiri ikut serta menguduskan orangtua mereka. Mereka akan membalas budi kepada orangtuanya, terutama disaat-saat kesukaran dan dalam kesunyian usia lanjut GS, art. 48. Sabda Allah, “beranakcuculah dan bertambah banyak ” dari Kitab Kejadian 1:28 diyakini sebagai suatu panggilan untuk ikut terlibat secara aktif dalam karya penciptaan Allah. Tugas menyalurkan hidup manusiawi serta mendidik anak-anak adalah perutusan khas suami istri sebagai rekan kerja cinta kasih Allah Pencipta. Dengan anugrah martabat kebapaan dan keibuan, suami istri berkewajiban memberi pendidikan, terutama di bidang keagamaan. Dalam memberi pendidikan itu mereka dituntut untuk memberikan teladan iman yang konkret, supaya anak-anak terbantu dalam menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan, dan kesucian. Martabat kebapaan dan keibuan pasangan suami istri adalah unsur hakiki dalam pendidikan anak-anak yang terwujud melalui kehadiran aktif mereka. Kehadiran orangtua adalah cerminan dan sekaligus tanda serta sarana kehadiran Allah yang menuntut anak-anak-Nya agar mengenal dan mengimani Dia. Sebagai 41 orangtua, mereka dituntut untuk membangun hidup keluarga dengan penuh cinta kasih dan nilai-nilai Kristiani sebagai sekolah kemanusiaan. Melalui pendidikan itulah orangtua membimbing anak-anaknya mencapai kedewasaan, sehingga anak-anak mampu menanggapi panggilan hidup mereka Agung Prihartana, 2008: 30-32. b. Deklarasi Gravissimum Educationis Pernyataan Konsili Vatikan II tentang pendidikan Kristen ini dengan sangat jelas menyatakan tanggung jawab dan tugas orangtua dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak. Pendidikan ini tidak hanya membantu anak untuk bertumbuh dewasa secara fisik dan mental, tetapi juga membimbing anak-anak supaya mampu memahami iman Katolik dan semakin menyadari karunia iman serta panggilan hidup mereka GE, art. 2. Maka sejak dini anak-anak harus diajar mengenal Allah serta berbakti kepada-Nya seturut iman yang mereka terima dalam sakramen baptis. Untuk mencapai itu semua, orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama mempunyai kewajiban membangun suasana keluarga yang dihidupi oleh semangat cinta bakti kepada Allah dan sesama. Memberikan pendidikan kepada anak-anak meliputi pemilihan sekolah, tempat anak akan mengembangkan kemampuannya secara formal. Orangtua mempunyai kebebasan sepenuhnya dalam memilih sekolah yang baik bagi anak- anaknya. Orangtua diingatkan untuk membangun kerja sama dengan lembaga pendidikan formal sekolah demi perkembangan dan kemajuan pembinaan iman Kristiani anak-anak. Mereka diingatkan untuk menyelenggarakan atau menuntut 42 apa saja yang diperlukan untuk kemajuan pembinaan iman anak GE, art. 7 Agung Prihartana, 2008: 32-33. c. Deklarasi Dignitatis Humanae Pernyataan Konsili Vatikan II tentang kebebasan beragama ini menegaskan bahwa kebebasan beragama berakar pada martabat pribadi dan selanjutnya juga membahas mengenai pendidikan iman dalam keluarga. Ditegaskan bahwa kebebasan beragama tidak hanya berlaku untuk individu, tetapi juga kelompok, termasuk keluarga. Maka orangtua juga mempunyai kebebasan dalam melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya memberikan pendidikan iman kepada anak-anak. Mereka berhak menentukan keyakinan agama mereka sendiri, pendidikan agama manakah yang akan diberikan kepada anak-anak mereka DH, art. 5. Dengan menegaskan bahwa orangtua mempunyai kebebasan dalam mengajarkan iman kepada anak-anaknya, dokumen ini secara tidak langsung mengingatkan pihak Katolik dalam keluarga perkawinan beda agama dan beda gereja untuk menggunakan hak kebebasannya dalam melaksanakan tanggung jawabnya mewariskan harta rohani yang paling berharga kepada anak-anak mereka. Memberikan pendidikan iman Katolik kepada anak-anak ini bukanlah suatu usaha memaksakan kehendak, melainkan suatu pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab orangtua kepada anak-anaknya. Orangtua wajib memberikan hal yang terbaik bagi anak-anaknya, termasuk hidup iman. Maka hal ini tidak bertentangan dengan kebebasan setiap pribadi anak dalam memilih agama yang diyakininya. Pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orangtua memberi 43 pendidikan iman kepada anak-anak ini termasuk dalam memilihkan sekolah untuk mereka, orangtua berhak dan bebas menyekolahkan anaknya. Selanjutnya DH, art. 5, mengingatkan peran dan kewajiban pemerintah dalam pendidikan iman anak ini. Kewajiban pertama dari pemerintah adalah mengakui hak orangtua dalam memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya memberikan pendidikan iman kepada anak-anak, termasuk memilih sekolah bagi mereka. Kewajiban kedua adalah menyediakan pelajaran-pelajaran di sekolah yang mendukung perkembangan iman anak, khususnya pendidikan keagamaan Agung Prihartana, 2008: 33-35. d. Himbauan apostolik Familiaris Consortio FC, art. 78 membahas pelayanan pastoral bagi keluarga kawin campur, baik beda agama maupun beda gereja. Dalam pelaksanaan pelayanan pastoral ini, Gereja harus tetap menghormati pihak non baptis. Bagi orang yang memeluk iman dan agama bukan Katolik, Gereja harus memperlakukan mereka secara adil dan tepat sesuai dengan prinsip-prinsip dalam deklarasi Nostra Aetate. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki atau memeluk agama apapun, misalnya orang- orang dari masyarakat sekular atau ateis, Konferensi para Uskup dan masing- masing Uskup diminta untuk membuat kebijakan pastoral yang tepat, untuk melindungi pihak Katolik agar tetap setia pada imannya dan dapat melaksanakan penghayatan iman serta kewajiban-kewajiban, terutama dalam membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman Katolik. Ada tiga ciri fundamental dari kewajiban dan tanggung jawab orangtua dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak. Pertama, hak dan kewajiban 44 orangtua untuk mendidik anak bersifat hakiki karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Tanggung jawab dan kewajiban orangtua ini merupakan konsekuensi kodrati dan adikodrati dari kelahiran anak-anak dalam keluarga. Kedua , pendidikan bersifat asli dan utama. Dasar paling utama dalam hak dan kewajiban orangtua ini adalah martabat kebapaan dan keibuan dan cinta kasih mereka. Maka orangtua menjadi pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak. Cinta kasih antar suami istri adalah sumber, jiwa, dan norma pendidikan. Melalui dan dalam pendidikan, anak-anak dibantu untuk mengalami dan menghayati cinta kasih Allah dan dibimbing untuk menanggapinya. Ketiga, tugas dan kewajiban mendidik anak ini tak tergantikan dan tidak dapat diambil alih oleh orang lain. Peran orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak tidak bisa digantikan oleh kehadiran orang lain. Kehadiran dan keterlibatan pendidik lain, misalnya guru, katekis, pendamping bina iman dan sebagainya hanyalah membantu dan pelengkap orangtua dalam membimbing anak-anak Agung Prihartana, 2008: 39-42. Orientasi pendidikan iman dalam keluarga pertama-tama bertujuan agar anak dipermandikan, tahap demi tahap sesuai dengan perkembangan umur dan kedewasaan kepribadiannya. Pada akhirnya, anak-anak diharapkan kelak dapat menghayati serta mewujudkan imannya dalam sikap dan perbuatan dalam hidup sehari-hari di dalam masyarakat. Dengan demikian mereka menjadi manusia dewasa yang beriman. FC, art. 36 memulai uraian tentang pendidikan dengan mengutip GE, art. 3 yang berbunyi: 45 Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, mereka terikat kewajiban amat besar untuk mendidiknya. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat diganti. Adalah kewajiban orangtua menciptakan lingkungan keluarga yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa sehingga menunjang seluruh pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Maka keluargalah wadah pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan setiap masyarakat. e. Anjuran Apostolik Catechesi Tradendae Dokumen ini menegaskan bahwa katekese ialah pembinaan anak-anak, kaum muda, dan orang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen dengan maksud mengantar memasuki kepenuhan hidup Kristen CT, art. 18 dengan tujuan mengembangkan iman yang baru mulai tumbuh dan menjadi tahap pengajaran dan pendewasaan CT, art. 20. CT, art. 35 membahas pentingnya anak-anak dan kaum muda dalam mengalami katekese. Bertambahnya jumlah kaum muda merupakan kenyataan yang membawa harapan sekaligus kegelisahan pada masyarakat masa kini. Pada masa ini anak-anak dan kaum muda menyiap diri bagi masa depan. Masa yang menentukan sekali ialah masa kanak-kanak, di mana masa ini anak menerima katekese pertama dari orangtua dan lingkungan keluarga. Doa singkat yang anak ucapkan akan menjadi titik tolak dialog cinta kasih dengan Tuhan, lalu anak mulai mendengar sabda-Nya CT, art. 36. Pembinaan iman oleh orangtua kepada anak dimulai sejak dini. Anggota keluarga dapat saling membantu dalam mengembangkan iman, baik melalui kesaksian hidup beriman maupun dengan teladan. Katekese lebih menyentu hati bila bersamaan dengan peristiwa-peristiwa keluarga, orangtua menjelaskan makna Kristen atau religius 46 kejadian-kejadian tersebut, seperti perayaan ulang tahun, penerimaan sakramen, perayaan Paskah, Natal, dan sebagainya. Katekese keluarga mendahului, mengiringi dan memperkaya semua bentuk katekese lainnya CT, art. 68.

B. PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN BEDA GEREJA

1. Pengertian Perkawinan merupakan suatu status dan cara hidup yang diharapkan berlangsung seumur hidup. Dalam perkawinan itu, pasangan suami-istri juga dipercaya oleh masyarakat untuk mempersiapkan generasi baru umat manusia, yang lebih baik dari generasi sebelumnya Purwa Hardiwidoyo, 1994a: 9. Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa perkawinan adalah salah satu jalan menuju kekudusan. Oleh karena itu, persiapan pribadi calon yang akan melaksanakan perkawinan lewat pendidikan dan pembinaan dianggap oleh Gereja sebagai sesuatu yang penting. Dengan pendidikan dan pembinaan tersebut, pikiran dan hati para calon mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas kedudukannya yang baru GS art 47-5 Fau, 2000: 30. Rubiyatmoko 2011: 131,134-136 seorang imam diosesan Keuskupan Agung Semarang yang menjadi dosen Hukum Gereja di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan juga menjabat sebagai Vikaris Yudisial Keuskupan Agung Semarang mengatakan bahwa yang dimaksud perkawinan campur mixta religio atau yang sering kita sebut sebagai perkawinan beda gereja adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh orang baptis Katolik atau yang diterima dalam Gereja Katolik dengan orang baptis tidak Katolik, sebagaimana yang dimaksudkan dalam kan 1124 yang berbunyi: 47 Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang di antaranya satu dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang dan dilarang. Sedangkan yang dinamakan perkawinan beda agama disparitas cultus adalah perkawinan yang terjadi antara seorang baptis Katolik atau yang diterima dalam Gereja Katolik dengan seorang tak baptis, seperti yang dinormakan dalam kan 1086 yang berbunyi: §1. Perkawinan antara dua orang, yang di antaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah; §2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126; §3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan.1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan, sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain tidak dibaptis. Secara tegas dan eksplisit, kan 1124 melarang perkawinan campur dan secara implisit menghalangi perkawinan beda agama karena perbedaan iman ini akan menghalangi penghayatan iman pihak Katolik. Oleh karena itu, demi layaknya perkawinan campur, pihak Katolik harus minta izin dari Ordinaris wilayah. Sedangkan demi sahnya perkawinan beda agama, dibutuhkan dispensasi dari Ordinaris wilayah. Untuk mendapatkan izin dan dispensasi dari Ordinaris wilayah dibutuhkan persyaratan yang ditegaskan dalam kan 1125. Pertama, persyaratan dari pihak Katolik untuk menghindari segala hal yang membahayakan imannya. Kedua, janji dari pihak Katolik untuk berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendidik dan membaptis anak-anak dalam iman Katolik. Ketiga, janji pihak Katolik tersebut diberitahukan kepada pihak non Katolik pada waktunya, yaitu pada saat 48 menjelang perkawinan dilangsungkan. Tujuannya adalah supaya pihak non Katolik mengetahui bahwa pasangannya mempunyai janji dan tanggung jawab yang harus dipenuhi. Keempat, kedua pasangan diberi instruksi mengenai perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik. Dengan instruksi ini, diharapkan mereka memahami makna dan konsekuensi perkawinan secara Katolik, khususnya berkaitan dengan karakter unitas dan indissolubilitas perkawinan. Secara umum, Gereja Katolik kurang mendukung perkawinan beda agama dan beda gereja. Bukan karena kurang menghormati agama lain, melainkan karena melihat kemungkinan adanya masalah dalam perkawinan yang muncul. Ada bahaya bahwa hidup bersama dengan orang yang tidak seiman dan seagama, menyebabkan pihak Katolik mengalami kesulitan untuk menghayati imannya secara Katolik sejati, mendidik dan membaptis anak secara Katolik. Menjelang perkawinan, mungkin muncul masalah mengenai cara meneguhkannya melihat bahwa pasangan berbeda keyakinan memiliki ritus yang berbeda pula. Misalnya, Gereja Katolik menuntut bahwa kedua mempelai menikah satu kali saja, secara Katolik yakni dihadapan seorang pastor Katolik. Agama lain, seperti Islam, juga menuntut bahwa kedua mempelai menikah satu kali namun secara Islam, yakni dihadapan seorang ulama Islam. Sementara untuk agama Kristen, beberapa Gereja Kristen bukan Katolik juga menuntut hal yang sama yaitu kedua mempelai menikah satu kali namun secara Kristen yakni dihadapan seorang Pendeta Kristen. 2. Tujuan Perkawinan Dalam kan. 1055 §1 dibicarakan tujuan perkawinan “Perjanjian foedus perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk