AJARAN GEREJA Pelaksanaan pendidikan iman bagi anak berumur 0-16 tahun dalam perkawinan orangtua beda agama dan beda gereja Paroki Hati Yesus Maha Kudus Purwodadi.
147
kemurahan hati, serta dengan tanggung jawab manusiawi dan Kristiani. Konstitusi ini didukung oleh Paus Yohanes Paulus II dengan ajarannya:
Dalam realitasnya yang terdalam, cinta kasih pada hakikatnya adalah pemberian diri. Cinta kasih suami istri, yang mengantar mereka untuk
saling mengenal hingga menjadikan mereka „satu daging‟, tidak terkuras habis hanya untuk suami-istri berdua saja, melainkan memampukan
mereka untuk suatu pemberian diri setinggi mungkin, untuk mana mereka menjadi rekan kerja Allah dalam meneruskan kehidupan baru dan
menumbuhkembangkannya menjadi pribadi manusia. Demikianlah, ketika suami istri saling memberikan diri, mereka melangkah melampaui relasi
mereka sendiri dengan melahirkan anak: cermin hidup dari cinta kasih mereka sendiri, tanda tetap dari kesatuan relasi mereka, dan ungkapan
yang nyata dan tak terpisahkan dari status mereka sebagai ayah dan ibu FC, art. 14 Catur Raharjo, 2006: 54-55.
c. Pendidikan Iman
Pendidikan iman tidak hanya salah satu tujuan perkawinan, tetapi juga ajaran yang tercantum dalam dokumen Gereja yang harus dipenuhi oleh orangtua
sebagai tugas dan kewajibannya. Orangtua memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan iman kepada anak dalam situasi dan kondisi apa pun, karena orangtua
merupakan pendidik pertama dan utama sehingga perannya tidak dapat digantikan. Pernyataan ini juga tercantum dalam Konsili Vatikan II yang
menyatakan: Karena orangtua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, mereka
terikat kewajiban amat berat untuk mendidik mereka. Maka orangtualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama.
Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula untuk dilengkapi GE, art 3.
Tugas mendidik anak bukan sesuatu yang sepele sehingga bisa dialihkan
kepada orang lain. Orangtua sudah diikutsertakan Tuhan dalam proses penciptaan anak-anak mereka, maka selanjutnya orangtua juga mempunyai tugas untuk
mendidik mereka. Maka orangtua menjadi “pendidik pertama dan utama bagi
148
anak- anak mereka” dan peran ini tidak dapat sepenuhnya didelegasikan kepada
orang lain KGK 1653, FC, art. 36. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan akibat
dari perkawinan. Dalam KHK 1983, kan. 1136 menegaskan tugas pendidikan ini merupakan efek perkawinan
, “Orangtua mempunyai kewajiban sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial
dan kultural, maupun moral dan religius”. Pendidikan merupakan hak primer karena merupakan tugas pertama dan utama orangtua berdasarkan relasi orangtua
dan anak dalam keluarga. Lembaga pendidikan lainnya hanyalah bersifat sekunder dan sebagai pelengkap. Sedangkan pendidikan merupakan hak dan kewajiban
esensial orangtua karena terkait langsung dengan tugas dan panggilan orangtua untuk meneruskan kehidupan baru.
Pendidikan ini tidak hanya membantu anak untuk bertumbuh dewasa secara fisik dan mental, tetapi juga membimbing anak-anak supaya mampu
memahami iman Katolik dan semakin menyadari karunia iman serta panggilan hidup mereka GE, art. 2. Konsili Vatikan mengajarkan bahwa pendidikan anak
tidak terbatas pada mengajarkan anak menjadi orang yang baik, tetapi agar anak memperoleh pengetahuan tentang keselamatan kekal, supaya mereka menjadi
semakin sadar akan karunia iman yang mereka miliki. Anak juga perlu belajar bagaimana menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran di dalam upacara liturgi
GE, art. 2. Orangtua perlu menjelaskan makna sakramen-sakramen terutama Ekaristi atau Misa Kudus agar anak memiliki kerinduan untuk mengambil bagian
di dalamnya. Ekaristi memberikan keluarga karunia cinta kasih yang menjadi dasar dan jiwa bagi persekutuan keluarga dan misi yang diembannya, sehingga
149
perlu suatu permenungan bagi setiap keluarga, sejauh mana mereka telah melaksanakan hal-hal tersebut, seperti dengan setia mengajak anak untuk
mengikuti perayaan Ekaristi, setidaknya setiap hari Minggu. Begitu juga peran orangtua dalam mewartakan Injil kepada anak mereka
menjadi tidak tergantikan, bahkan harus diteruskan pada usia remaja dan usia muda. Hal ini disampaikan dengan kasih, kesederhanaan, kepraktisan dan teladan
hidup sehari-hari CT, art. 68 dan FC, art. 53. Orangtua harus membantu anak- anak untuk menemukan panggilan hidup mereka, dengan menanamkan nilai-nilai
luhur untuk melayani sesama dengan kasih, melakukan tugas keseharian dengan kesetiaan dan menyadari tentang keikutsertaan mereka dalam misteri pengorbanan
Kristus. Maka dalam mendidik anak, orangtua adalah pewarta Injil yang pertama
kepada anak, pertama-tama melalui teladan hidup, melalui doa bersama sebagai satu keluarga, dengan pembacaan sabda Tuhan, dan dengan memperkenalkan
anak kepada Gereja FC, art, 39. Dalam hal ini orangtua tidak bekerja sendirian, namun dibantu juga oleh pihak sekolah, ataupun juga kelompok bina iman di
Paroki. Namun keberadaan sekolah dan bina iman ini tidak menggantikan peran orangtua dalam mengajarkan tentang iman kepada anak.
Orangtua mempunyai peran yang sangat penting untuk mengajarkan anak berdoa. Orangtua wajib mendidik anak-anak berdoa, secara bertahap membangun
jalinan hati dengan Allah secara pribadi FC, art 60. Doa keluarga menyiapkan anggotanya bagi doa dan ibadat Gereja. Keluarga perlu pergi bersama ke gereja
pada hari Minggu, mempersiapkan penerimaan sakramen-sakramen dengan memadai, merenungkan Sabda di rumah, dan berdoa rosario bersama FC, art.
150
61. Maksud dari doa bersama adalah untuk mempersiapkan anak terhadap doa- doa liturgis Gereja, terutama dalam perayaan Ekaristi. Selain dari doa pagi dan
malam, keluarga juga dianjurkan untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci, mempersiapkan perayaan sakramen terutama Ekaristi misalnya Sabtu malam
keluarga telah membaca dan merenungkan bersama, bacaan Injil untuk Misa hari Minggu esoknya, mendoakan devosi dan penyerahan kepada Hati Kudus Yesus,
bermacam devosi kepada Bunda Maria, terutama doa rasario, mengucapkan doa sebelum dan sesudah makan, dan pelaksanaan doa-doa devosi lainnya.
Orangtua memberikan pendidikan kepada anak-anak meliputi pemilihan sekolah, tempat anak akan mengembangkan kemampuannya secara formal.
Orangtua mempunyai kebebasan sepenuhnya dalam memilih sekolah yang baik bagi anak-anaknya. Orangtua diingatkan untuk membangun kerja sama dengan
lembaga pendidikan formal sekolah demi perkembangan dan kemajuan pembinaan
iman Kristiani
anak-anak. Mereka
diingatkan untuk
menyelenggarakan atau menuntut apa saja yang diperlukan untuk kemajuan pembinaan iman anak GE, art. 7. Hal ini dipertegas oleh DH, art. 5 mengenai
peran dan kewajiban pemerintah dalam pendidikan iman anak. Kewajiban pertama dari pemerintah adalah mengakui hak orangtua dalam memenuhi
tanggung jawab dan kewajibannya memberikan pendidikan iman kepada anak- anak, termasuk memilih sekolah bagi mereka. Kewajiban kedua adalah
menyediakan pelajaran-pelajaran di sekolah yang mendukung perkembangan iman anak, khususnya pendidikan keagamaan.
Selain pemilihan sekolah, suasana kasih harus ada di dalam rumah kita, agar kita dapat mendidik anak-anak kita dengan baik. Maka para orangtua harus
151
menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama dalam hal ini para anggota keluarga di rumah sehingga
pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak dapat ditumbuhkan. Keluargalah yang menjadi sekolah pertama bagi anak untuk mengajarkan
bagaimana caranya hidup menjadi orang yang baik FC, art. 36.
2. Perkawinan beda agama dan beda gereja
Dalam perkawinan, suami istri bersama-sama mengupayakan untuk mewujudkan persekutuan hidup dan cinta kasih dalam segala aspek, yang meliputi
personal-manusiawi dan spiritual-religius. Agar persekutuan tersebut dapat tercapai dengan mudah, Gereja menghendaki agar umatnya memilih pasangan
hidup yang seiman, mengingat bahwa iman berpengaruh kuat terhadap kesatuan lahir batin suami istri, pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga. Namun Gereja
juga menyadari adanya pluralitas yang ada di masyarakat, di mana orang Katolik hidup berdampingan dengan non Katolik. Adanya semangat ekumenis Gereja
Katolik untuk merangkul dan kerjasama dengan pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong Gereja Katolik sampai
pada pemahaman akan realita terjadinya perkawinan beda agama dan beda gereja. Gereja mengatur perkawinan beda agama dan beda gereja dalam KHK.
Dalam KHK tentang perkawinan orang baptis Katolik atau yang diterima dalam Gereja Katolik dengan orang baptis tidak Katolik mixta religio terdapat pada
kan. 1124 yang berbunyi: Perkawinan antara dua orang dibaptis, yang di antaranya satu dibaptis
dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya setelah baptis, sedangkan pihak yang lain menjadi anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang
152
tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, tanpa izin jelas dari otoritas yang berwenang, dilarang.
Sedangkan perkawinan orang baptis Katolik dengan orang yang tidak
dibaptis disparitas cultus terdapat pada kanon 1086§1 dan §2 yang berbunyi: §1 Perkawinan antara dua orang yang di antaranya satu dibaptis dalam
Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkan secara resmi, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. §2 Dari
halangan itu janganlah diberikan dispensasi, sebelum dipenuhi syarat- syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126.
Syarat-syarat yang ditegaskan dalam kan. 1125 di antaranya:
§1 Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberi janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala
sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik di dalam Gereja Katolik. §2 Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh
pihak Katolik itu pihak lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan
kewajiban pihak Katolik. §3 Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak
dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya. Dan kan. 1126 berbunyi
“Adalah tugas Konferensi Waligereja untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu, harus dibuat,
maupun cara bagaimana hal-hal itu jelas dalam tata lahir, serta bagaimana pihak tidak Katolik diberitahu”. Pernyataan kan. 1125 §1 mengenai janji pihak Katolik
untuk membaptis dan mendidik anak dipertegas oleh kan. 867 §1 yang berbunyi: “Para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-
minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya, bahkan juga sebelum itu, hendaknya menghadap pastor Paroki untuk meminta sakramen bagi anaknya serta
dipersiapkan dengan semestinya untuk itu”. KHK menekankan orangtua untuk membaptis anaknya sebagai wujud Gereja melindungi hak dan kewajiban pihak
Katolik sebagai orangtua dari pihak non Katolik. Melalui hukum dan pedoman
153
pastoralnya, Gereja mengingatkan pihak Katolik untuk melaksanakan kewajibannya. Namun demikian, Gereja juga menekankan pihak Katolik untuk
tetap menghormati kebebasan beragama pasangan non Katolik dalam melaksanakan kewajibannya mewariskan iman Katolik kepada anak-anak. Hal ini
ditegaskan oleh FC, art. 78 mengenai perhatian harus diberikan kepada kewajiban pihak Katolik untuk dapat dengan bebas melaksanakan imannya dan sedapat
mungkin membaptis anak-anak dan mendidik mereka secara Katolik.