Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Peneliti juga melakukan survey sederhana untuk mengetahui ada atau tidaknya remaja di Indonesia yang melakukan cyberbullying. Survey
dilakukan terhadap empat remaja SMA yang terdiri dari tiga perempuan dan satu laki-laki yang berusia 15-16 tahun mengenai cyberbullying. Dari keempat
remaja ini mengungkapkan bahwa mereka mengetahui tindakan cyberbullying khususnya dalam media sosial. Dari kempat remaja tersebut hanya satu yang
tidak pernah menjadi korban maupun melakukan tindakan cyberbullying. Sedangkan ketiga remaja mengungkapkan pernah menjadi korban dan pelaku
tindakan cyberbullying dimana salah satunya mengaku melakukan cyber bullying
dengan motivasi bercanda entertainment. Berdasarkan hasil survey tersebut peneliti menyimpulkan bahwa ada remaja di Indonesia yang terlibat
dalam tindakan cyberbullying. Cyberbullying
merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau traditional bullying
. Bullying sendiri didefinisikan sebagai tindakan agresi yang disengaja oleh individu atau kelompok dimana sifat hubungan
interpersonalnya tidak seimbang individu atau kelompok yang kuat dengan individu atau kelompok yang lemah yang terjadi secara berulang dengan
tujuan menyakiti atau mengganggu baik dengan cara verbal maupun non verbal, secara langsung maupun tidak langsung Olweus, 2012.
Ketidakseimbangan kekuatan ini dapat meliputi perbedaan kekuatan fisik maupun perbedaan social power atau status Kowalski.M, Limber.S,
Limber.S.P, Agatston.P.W, 2012. Sedangkan Cyberbullying didefinisikan sebagai tindakan bullying yang melibatkan atau menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi seperti penggunaan email, internet, pesan singkat, video, media sosial, maupun media chatting.
Cyberbullying memiliki dampak yang hampir sama dengan traditional
bullying Mason,2008. Cyberbullying menyebabkan korban memiliki harga
diri rendah, kesepian, tidak percaya diri dan menyebabkan tekanan emosional seperti merasa sedih, marah, malu dan frustasi Price.M Dolgleish.J, 2010.
Begitu juga dengan traditional bullying yang menyebabkan harga diri rendah, kecemasan sosial, depresi dan meningkatkan kecenderungan untuk bunuh diri
Grene,2003, Juvonen,2003. Selain itu cyberbullying dan traditional bullying juga menyebabkan tingkat konsentrasi korban disekolah rendah dan
mengalami kesulitan akademik untuk mencapai prestasi di sekolah Beran.T Li Qing, 2007. Bullying banyak terjadi di dalam sekolah sedangkan cyber
bullying lebih berpontensi terjadi di luar sekolah dari pada di dalam sekolah.
Namun dampak yang ditimbulkan dapat diketahui hingga di dalam sekolah Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston, 2012. Hal ini dikarenakan
dampak dari cyberbullying dapat mempengaruhi korban dalam mengikuti pembelajaran di sekolah Beran.T Li Qing, 2007.
Meskipun cyberbullying merupakan bentuk baru dari traditional bullying namun keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Pertama, tindakan
dalam cyberbullying sangat tergantung dari tingkat keahlian dalam penggunaan teknologi. Semakin individu memiliki keahlian maka ancaman
atau serangan yang diberikan semakin kuat dari pada individu yang tidak memiliki keahlian Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012.
Sedangkan tindakan dalam traditional bullying cenderung berkaitan dengan ketidakseimbangan kekuatan baik itu secara fisik, kompetensi sosial, ras
maupun status sosial Pisch.M, 2010. Kedua, potensi penonton dari cyberbullying
sangat luas dan dapat mencakup penonton yang besar. Hal ini dikarenakan sifat internet yang global sehingga siapa saja baik individu yang
dikenal maupun yang tidak dikenal dapat melihat dan ikut berpartisipasi dalam memberikan pendapatnya baik membela maupun mengejek Kowalski,
Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012. Hal ini dapat menyebabkan korban merasa sangat terintimidasi dan sulit untuk menghindar dari tindakan
cyberbullying . Sebaliknya potensi penonton dari tindakan traditional bullying
cakupannya kecil atau dalam situasi private yaitu hanya antara pelaku dan korban Pisch.M, 2010. Hal ini di karenakan mayoritas tindakan traditional
bullying terjadi di lingkungan sekolah dan dilakukan secara tersembunyi.
Ketiga, cyberbullying bersifat tidak langsung dan anonymous. Hal ini menyebabkan pelaku memiliki kesempatan untuk menyembunyikan
identitasnya. Hal ini juga dikarenakan sistem yang ada pada internet dibuat untuk melindungi identitas dari pengguna internet Shariff, 2008. Keuntungan
ini digunakan oleh pelaku untuk meminimalisir konsekuensi dari perilakunya. Karena cyberbullying bersifat tidak langsung dan anonymous maka pelaku
biasanya tidak bisa secara langsung melihat reaksi atau respon dari korban Smith.P.K, Mahdavi.J, Carvalho.M, Fisher.S, Russell.S, Tippett.N, 2008.
Hal ini menjadi penting karena membuat pelaku cyberbullying tidak memiliki perasaan bersalah dan empati terhadap orang lain Kowalski, Limber.S,
Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012. Selain itu karena pelaku cyberbullying sulit untuk diketahui informasinya, membuat pelaku cenderung tidak mendapat
hukuman dan konsekuensi atas tindakannya. Hal ini berpotensi menyebabkan pelaku lebih menunjukkan sikap permusuhan dan ancaman yang lebih besar
Pisch.M, 2010. Sebaliknya pada traditional bullying pelaku justru ingin menunjukkan identitasnya. Hal ini karena motivasi dari pelaku traditional
bullying adalah ingin menunjukkan kekuasaan pada orang lain dan untuk
mendapatkan status sosial yang lebih tinggi Olweus dalam Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012.
Cyberbullying banyak terjadi dan dilakukan oleh remaja dan anak muda.
Penelitian yang dilakukan oleh Price Dalgleish 2010 mengatakan bahwa banyak remaja yang melakukan atau mengalami cyberbullying ketika berusia
10-16 tahun yaitu sekitar 50, dan ketika berusia 15-18 tahun ada sekitar 42 sedangkan pada usia 19-25 tahun ada sekitar 8. Presentasi terbesar yang
terlibat cyber bullying ada pada individu yang berusia 10 sampai 18 tahun. Usia tersebut merupakan masa transisi remaja dari anak-anak menuju pada
tahapan dewasa. Dalam masa ini remaja banyak mengalami perubahan mulai dari perubahan fisik, kognitif, emosi, maupun sosial Santrock, 2002.
Perubahan-perubahan yang dialami remaja ini membuat remaja menjadi labil dan belum matang secara psikis Santrock, 2002. Selain itu dalam masa
transisi tersebut remaja cenderung mengeksplorasi diri untuk mencari dan membentuk identitas dirinya Erikson dalam Feist Feist, 2006.
Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi tindakan cyberbullying yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor ekternal diantaranya adalah sikap
orangtua. Menurut Dilmac Aydogan 2010 mengatakan bahwa sikap orang tua yang otoriter menjadi prediktor seorang anak melakukan tindakan
cyberbullying . Selain sikap orangtua, pengaruh sosial social influence seperti
kelompok teman sebaya juga menjadi faktor individu melakukan cyberbullying
Hinduja Patchin, 2012. Sedangkan faktor internal diantaranya adalah kebutuhan psikologis. Menurut Dilmac 2009
mengatakan bahwa kebutuhan akan agresi dan kebutuhan untuk mendapat dukungan emosi merupakan kebutuhan psikologis yang menjadi prediktor
seseorang melakukan tindakan cyberbullying. Hal ini disebabkan karena kebutuhan tersebut tidak individu dapatkan dalam kehidupan nyata sehari-hari
atau off-line melainkan individu berusaha mendapatkan kebutuhan tersebut dalam dunia maya atau online Dilmac, 2009.
Faktor internal lainnya adalah karakteristik personal seperti usia dan jenis kelamin juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi tindakan
cyberbullying . Dilihat dari usia, remaja yang berusia 10 sampai 18 tahun lebih
cenderung terlibat dalam tindakan cyberbullying daripada anak-anak atau orang dewasa Price Dalgeish, 2010. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena kurangnya pengendalian diri remaja. Sedangkan dilihat dari jenis kelamin, laki-laki lebih berpotensi besar untuk terlibat dalam cyberbullying
Alonzo Aiken dalam Kowalksi, Limber Agatson, 2012. Selain dua karateristik personal tersebut, kepribadian juga menjadi karakteristik personal
lain yang juga memiliki peran penting dalam munculnya tindakan cyberbullying
. Hal ini dikarenakan sifat dari kepribadian yang dapat memprediksi perilaku atau tindakan seseorang Eysenck dalam Feist
Feist,2006. Kepribadian menurut Allport dalam FeistFeist, 2006 merupakan
sebuah “pengorganisasian dinamis” yang didalam diri seseorang terdapat sistem psikofisik yang menentukan atau menciptakan pola perilaku, pikiran
dan karakteristik seseorang. Menurut Costa Mc Crae kepribadian digambarkan dalam lima dimensi. Lima dimensi tersebut sering disebut
dengan kepribadian big five. Dimensi big five terdiri dari agreeableness, extraversion
, neuroticism, openness to experience dan conscientiousness. Kelima
dimensi tersebut
digambarkan sebagai
1. Agreeableness
menunjukkan pribadi yang berhati lembut dan pribadi yang berhati kejam. 2. Extraversion
menunjukkan tingkat kesenangan menjalin relasi dan beraktivitas. 3. Neuroticism menunjukkan temperamental, pencemas, dan
emosional namun jika pribadi memilliki skor neuroticism rendah maka cenderung tenang, lembut, dan tidak berperasaan. 4. Openness to experience
menunjukkan pribadi yang lebih menyukai keragaman dengan pribadi yang memiliki kebutuhan besar akan kedekatan dan rasa nyaman dari hubungan
yang sudah dikenal. 5. Conscientiousness berfokus pada pencapaian tujuan serta kemampuan mengendalikan dorongan dalam kehidupan sosial.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Capra dan Ruiz dalam Talley dan Bettencourt, Benjamin dan Valentine, 2006 menemukan bahwa perilaku
agresi berkorelasi dengan dimensi neuroticism. Perilaku cyberbullying sendiri merupakan bentuk dari perilaku agresi. Selain itu dalam penelitian Brack dan
Caltabiano 2012 yang mengatakan bahwa pelaku tindakan cyberbullying cenderung memiliki kepribadian yang impulsive dan agresif. Tindakan
impulsive sendiri merupakan salah satu ciri trait dari dimensi neuroticism
McCrae Costa dalam Feist Feist, 2006. Penelitian lain yang dilakukan oleh Celik, Atak dan Ferguzen 2012 juga menemukan bahwa dimensi
ketidakstabilan emosi berkorelasi dengan tindakan cyberbullying. Dimensi ketidakstabilan emosi merupakan bagian dari dimensi neuroticism McCrae
Costa, dalam Feist Feist, 2006. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dimensi neuroticism
dapat menjadi prediktor dari tindakan cyberbullying. Disisi lain, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Ozden Icellioglu
2014 yang mengatakan bahwa dimensi kepribadian psychotism yang menjadi prediktor individu melakukan cyberbullying. Dimensi psychotism sendiri
merupakan dimensi dari Eysenck Personality Inventory dimana ukurannya dapat
disetarakan dengan
skor rendah
dari aggreableness
dan conscientiousness
McCrae Costa dalam Feist Feist, 2006. Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Kokkinos, Antoniadou, Dalara,
Koufogazou dan
Papatzlki 2013
menemukan bahwa
dimensi conscientiousness
yang rendah dan disertai dengan agresi memiliki korelasi dengan tindakan cyberbullying.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tidak hanya satu dimensi kepribadian yang dapat menjadi prediktor dari tindakan
cyberbullying . Hal ini dapat dilihat dari tiga dimensi kepribadian big five yaitu
neuroticism, agreeableaness , dan conscientiousness yang dapat menjadi
prediktor dari tindakan cyberbullying. Sementara masih ada dua dimensi lain yang belum diuji yaitu dimensi extraversion dan dimensi openness to
experience . Menurut Sinha dalam Bianchi Philips, 2005 individu yang
memiliki kepribadian extrovert lebih mudah untuk terpengaruh dengan teman sebaya. Pengaruh teman sebaya sendiri merupakan salah satu faktor individu
terlibat dalam tindakan cyberbullying Hinduja Patchin, 2012. Sedangkan individu yang memiliki kepribadian openness to experience merupakan
individu yang terbuka akan pengalaman baru dan kreatif. Remaja yang kreatif cenderung memiliki tingkat sensivitas yang tinggi, bergairah dan ekspresif
dalam berinteraksi namun cenderung impulsif McCrae dan Sutin, 2009. Impulsif mmerupakan salah satu ciri kepribadian yang berkorelasi dengan
tindakan cyberbullying Brack dan Caltabiano, 2012. Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa dimensi extraversion dan dimensi openness to experience
juga dapat secara kuat menjadi prediktor dari perilaku cyberbullying. Akan tetapi, hal ini belum dibuktikan, oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan
untuk mengetahui hubungan dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan
cyberbullying . Hal ini perlu dilakukan karena cyberbullying tidak hanya
memberikan dampak negatif pada korban namun juga dapat memberikan dampak negatif terhadap pelaku yaitu membuat pelaku tidak memiliki rasa
bersalah dan membuat pelaku tidak memiliki empati.