58
Gambar 4.2 Scaterplot CyberbullyingOpenness to experience
5. Uji hipotesis Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis korelasi.
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui kekuatan atau bentuk arah hubungan diantara dua variabel atau lebih dan besarnya pengaruh
yang disebabkan oleh variebel yang satu terhadap variebel yang lain .
Pada penelitian ini teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi Spearman-Rho. Hal ini dilakukan karena salah satu sebaran
data penelitian tidak normal yaitu data penelitian pada variabel cyberbullying
. Berikut tabel analisis korelasi atau uji hipotesis dari kedua variabel.
Tabel 4.6 Uji hipotesis kedua variabel
R P
Extraversion dan
kecenderungan -0,026
0,373
59
cyberbullying Openness
to experience
dan kecenderungan cyberbullying
-0,211 0,004
Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara dimensi extraversion dengan kecenderungan remaja melakukan
cyberbullying . Semakin tinggi skor extraversion maka akan
memunculkan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying. Hasil analisis korelasi menunjukkan nilai koefesien korelasi sebesar - 0,026
dengan nilai signifikansi sebesar 0,373 p 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua
variabel yaitu dimensi extraversion dengan kecenderungan melakukan cyberbullying
. Hal ini berarti hipotesis pertama ditolak. Sedangkan, hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah ada
hubungan antara
dimensi openness
to experience
dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying. Semakin tinggi skor
openness to experience maka akan memunculkan kecenderungan
remaja melakukan cyberbullying. Hasil analisis korelasi menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar - 0,211 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,004 p 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel yaitu dimensi
openness to
experience dengan
kecenderungan melakukan
cyberbullying . Selain itu, dilihat dari nilai koefisiennya yang negatif -
0,211 berarti dapat dikatakan bahwa hubungan yang terjadi bersifat
60
negatif hal ini berarti semakin tinggi skor opennes to experience maka semakin rendah kecenderungan melakukan cyberbullying. Hipotesis
kedua dalam penelitian ini juga ditolak.
D. Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dimensi extraversion
dan openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying. Kepribadian big
five memiliki lima dimensi yaitu agreableness, extraversion, neuroticism,
conscientiousness, dan openness to experience . Penelitian ini hanya
berfokus pada dua dimensi yaitu extraversion dan opennes to experience. Hal ini dikarenakan pada penelitian-penelitian sebelumnya telah menguji
dan menemukan hubungan tiga dimensi kepribadian big five dengan tindakan agresi dan cyberbullying yaitu dimensi agreableness,
extraversion, dan neuroticism .
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dimensi extraversion tidak berhubungan secara signifikan dengan kecenderungan cyberbullying.
Sedangkan pada dimensi openness to experience diketahui memiliki hubungan yang signifikan namun bersifat negatif atau dengan kata lain
kedua hipotesis pada penelitian ini ditolak. Penelitian ini menggunakan skala cyberbullying terpakai dari Mutia
Mawardah. Alat ukur tersebut digunakan karena sesuai dengan tujuan dan sasaran dalam penelitian ini serta alat ukur tersebut telah memenuhi
61
kriteria alat ukur yang baik. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang mampu memberikan informasi yang dapat dipercaya dan telah memenuhi
beberapa kriteria yaitu reliable, valid, standar, ekonomis dan praktis Azwar, 2009. Sedangkan menurut Widhiarso 2012 reliabilitas yang
tinggi tidak menjamin skala yang digunakan cukup valid. Hal ini karena reliabilitas yang tinggi dapat muncul dari skala yang kurang valid. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dimensi extraversion dalam kepribadian big five dengan kecenderungan
remaja melakukan cyberbullying dan ada hubungan yang negatif antara dimensi openness to experience dengan kecenderungan remaja melakukan
cyberbullying atau dengan kata lain kedua hipotesis ditolak. Hal tersebut
dapat dijelaskan dari keterbatasan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini. Keterbatasan alat ukur tersebut terletak pada penulisan item
unfavorable ya
ng menggunakan kata “tidak” pada variabel cyberbullying. Penulisan butir item tersebut cenderung mengarahkan respon subjek pada
indikator perilaku yang akan diukur yaitu kecenderungan melakukan cyberbullying
. Hal ini membuat subjek memilih respon jawaban yang tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Selain itu, penulisan butir item
yang kurang tepat tersebut diduga juga berkontribusi terhadap distribusi data pada variabel cyberbullying yang tidak normal. Hal ini berarti bahwa
variabel cyberbullying tidak menunjukkan pengaruh hubungan yang signifikan sehingga kedua hipotesis dalam penelitian ini ditolak.
62
Faktor kedua yang diduga mempengaruhi hasil penelitian adalah kecenderungan cyberbullying pada remaja dalam penelitian ini masuk
dalam kategori rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai mean empiris yang lebih rendah daripada nilai mean teoritik 26,29 66 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,000 0,05. Kecenderungan cyberbullying yang masuk dalam kategori rendah ini
dapat disebabkan oleh karakteristik personal subjek yaitu dilihat dari jenis kelamin. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 160 dimana sebagian besar
didominasi oleh remaja perempuan yaitu sebanyak 96 sedangkan remaja laki-laki sebanyak 64. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
mengatakan bahwa laki-laki lebih berpotensi besar untuk terlibat dalam cyberbullying
dan cenderung mudah untuk menunjukkan perilaku cyberbullying
dari pada perempuan yang lebih cenderung berpotensi untuk menjadi target atau korban cyberbullying Alonzo Aiken dalam
Kowalski dkk, 2012 ; Dilmac, 2009 ; Ozden Icellioglu, 2014. Menurut teori agresi yang dikemukakan oleh Bartol dalam Sarwono, 1988 proses
sosialisasi pada masa kanak-kanak memberi pengaruh atau menghasilkan sifat-sifat yang khas pada remaja. Sifat-sifat ekspansif atau exploratif,
manipulatif, dan agresif adalah sifat khas remaja laki-laki sedangkan sifat- sifat submisif, memelihara, menahan diri dan non agresif menjadi sifat
khas remaja perempuan. Disisi lain, penelitian menemukan bahwa remaja perempuan lebih
cenderung dan sering terilibat dalam tindakan cyberbullying daripada
63
remaja laki-laki Smith, Mahdavi dkk, 2008 ; Kowalski Limber dalam Kowalski dkk, 2012. Hal ini sesuai dengan teori agresi yang mengatakan
bahwa perilaku agresi laki-laki cenderung mudah diekspresikan secara langsung sedangkan perilaku agresi pada perempuan sulit diekspresikan
secara langsung sehingga perempuan cenderung melakukan perilaku agresi secara tidak langsung atau indirect seperti bergosip atau menyebarkan
rumor, memanipulasi orang lain untuk mengancam orang lain Baron Byrne, 2005. Perilaku agresi tidak langsung tersebut merupakan salah
satu bentuk dari cyberbullying. Disamping itu, beberapa penelitian mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan cyberbullying Hinduja Patchin, Mishna dkk dalam Kowalksi dkk, 2012. Laki-laki ataupun perempuan memiliki porsi yang
hampir sama untuk melakukan cyberbullying, perbedaan yang dapat ditemukan hanya terletak pada frekuensi dan intensitasnya dalam perilaku
cyberbullying yaitu dikatakan bahwa frekuensi laki-laki lebih besar dari
pada perempuan untuk melakukan cyberbullying Kowalski dkk, 2012. Faktor lainnya yang diduga juga mempengaruhi hasil penelitian ini
adalah faktor teman sebaya. Menurut penelitian yang dilakukan Gottfried 2012 pengalaman melakukan cyberbullying di Indonesia sebagian besar
terjadi dalam lingkup atau komunitas teman sebaya, dengan kata lain teman sebaya memberi pengaruh terhadap remaja di Indonesia dalam
melakukan cyberbullying
. Dalam
penelitian tersebut
Gottfried mengungkapkan bahwa 53 remaja di Indonesia yang melakukan
64
cyberbullying dipengaruhi oleh komunitas teman sebaya, sedangkan
sisanya 37 dipengaruhi oleh faktor lain dari dalam maupun dari luar diri remaja itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Gottfried tersebut dapat
disimpulkan bahwa variabel kepribadian dalam penelitian ini diduga hanya berkontribusi kecil terhadap kecenderungan remaja di Indonesia dalam
melakukan cyberbullying. Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, peneliti menyadari bahwa
penelitian ini memiliki keterbatasan. Keterbatasan dalam penelitian ini terletak pada alat ukur yang digunakan untuk melihat kecenderungan
remaja melakukan cyberbullying. Alat ukur tersebut memiliki kelemahan pada butir penulisan item unfavorable, dimana item tersebut cenderung
mengarahkan respon subjek. Hal ini menyebabkan data pada penelitian ini tidak menunjukkan keadaan yang sesuangguhnya dari subjek.