Hubungan antara dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying.

(1)

EXPERIENCEBDALAMBKEPRIBADIANBBIG FIVEBDENGANB KECENDERUNGANBREMAJABMELAKUKANB

CYBERBULLYING

Cicilia Verina Krisniminarti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan

cyberbullying.Penelitian hanya berfokus pada dua dimensi yaitu Extraversion dan Openness to Experience.Subyek dalam penelitian ini berjumlah 160 orang yang berasal dari siswa sekolah menengah pertama dan siswa sekolah menengah atas, dengan rincian 96 remaja perempuan dan 64 remaja laki-laki. Metode pengumpulan data menggunakan skala kepribadian big five dari IPIP (international Personality Item Pool) yang disusun oleh Golberg dan skala cyberbullying dari Mawardah.Reliabilitas pada skala kepribadian big fivesebesar 0,832 dan skala cyberbullying sebesar 0,951. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kepribadian big five berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan

cyberbullying (β= -0,251 ; p= 0,001), dimensi Extraversion tidak berhubungan dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,026 ; p= 0,373) dan Openness to Experience berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,211 ; p= 0,004).


(2)

EXPERIENCEBDIMENSIONSBINBBIGBFIVEBPERSONALITYBANDBTHEB CYBERBULLYINGBTENDENCYB

OFBTEENAGERS

Cicilia Verina Krisniminarti

Abstract

The aim of this research was examine the relationship between extraversion and openness to experience dimensions in big five personality and cyberbullying tendency of teenagers. This study was focused just on two dimensions. There is the were extraversion and openness to experience. The subjects of this research were about 160 teenagers from junior and senior high school in Yogyakarta, 96 female teenagers and 64 male teenagers. The researcher used big five personality scale from IPIP (International Personality Item Pool) compiled by Golberg and cyberbullying scale from Mawardah to collect the datas. The reliability of big five personality scale was 0,832 and cyberbullying scale was 0,951. The result showed that the big five personality had a negative correlation with cyberbullying tendency of teenagers ((β= -0,251 ; p= 0,001), extraversion didn’t have significant correlation with the cyberbullying tendency of teenagers (-0,026 ; p= 0,373) and openness to experience had negative correlation with the cyberbullying tendency of teenagers (β= -0,211 ; p= 0,004).


(3)

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI EXTRAVERSION DAN OPENNESS

TO EXPERIENCE DALAM KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN

KECENDERUNGAN REMAJA MELAKUKAN

CYBERBULLYING

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Cicilia Verina Krisniminarti

NIM : 109114113

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“janganlah

hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi

nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan

permohonan dengan ucapan syukur”

(Filipi 4;6)

“God is willing to wait for me, for many a

day, even many a year”

(Teresa Of Avila)

Berdoalah sesering mungkin, karena doa mengubah segalanya

D

, l

G

(Teresa of Avila)

~ Aku tidak perlu berlari untuk meraih sesuatu, yang kubutuhkan

hanyalah tetap dan terus berjalan~

(Cicilia Verina. K)

Karya ini saya persembahkan kepada :

Tuhan,.. Sang Kasih Sejati,

Bapak,Ibu, Adik-adikku yang memberikan cintanya yang

luar biasa

Seluruh anggota keluarga besarku,kalian adalah harta

terindahku


(7)

(8)

HUBUNGAN ANTARA DIMENSI EXTRAVERSION DAN OPENNESS TO

EXPERIENCE DALAM KEPRIBADIAN BIG FIVE DENGAN

KECENDERUNGAN REMAJA MELAKUKAN

CYBERBULLYING

Cicilia Verina Krisniminarti

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dimensi extraversion dan

openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan

cyberbullying. Penelitian hanya berfokus pada dua dimensi yaitu Extraversion dan Openness to Experience. Subyek dalam penelitian ini berjumlah 160 orang yang berasal dari siswa sekolah menengah pertama dan siswa sekolah menengah atas, dengan rincian 96 remaja perempuan dan 64 remaja laki-laki. Metode pengumpulan data menggunakan skala kepribadian big five dari IPIP (international Personality Item Pool) yang disusun oleh Golberg dan skala cyberbullying dari Mawardah. Reliabilitas pada skala kepribadian big five sebesar 0,832 dan skala cyberbullying

sebesar 0,951. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kepribadian big five berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,251 ; p= 0,001), dimensi

Extraversion tidak berhubungan dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying (β= -0,026 ; p= 0,373) dan Openness to Experience berhubungan negatif dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying(β= -0,211 ; p= 0,004).


(9)

THE CORELATION BETWEEN EXTRAVERSION AND OPENNESS TO EXPERIENCE DIMENSIONS IN BIG FIVE PERSONALITY AND THE

CYBERBULLYING TENDENCY OF TEENAGERS

Cicilia Verina Krisniminarti

Abstract

The aim of this research was examine the relationship between extraversion and openness to experience dimensions in big five personality and cyberbullying tendency of teenagers. This study was focused just on two dimensions. There is the were extraversion and openness to experience. The subjects of this research were about 160 teenagers from junior and senior high school in Yogyakarta, 96 female teenagers and 64 male teenagers. The researcher used big five personality scale from IPIP (International Personality Item Pool) compiled by Golberg and cyberbullying scale from Mawardah to collect the datas. The reliability of big five personality scale was 0,832 and cyberbullying scale was 0,951. The result showed that the big five personality had a negative correlation with cyberbullying tendency of teenagers ((β= -0,251 ; p= 0,001),

extraversion didn‟t have significant correlation with the cyberbullying tendency of teenagers ( -0,026 ; p= 0,373) and openness to experience had negative correlation with the cyberbullying

tendency of teenagers (β= -0,211 ; p= 0,004).


(10)

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan karena berkat rahmat dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Dimensi Extraversion dan Openness to Experience Dalam Kepribadian Big Five dengan Kecenderungan Remaja Melakukan Cyberbullying” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat banyak bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan Dosen Pembimbing Akademik. 2. Ibu Ratri Sunar Astuti M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu M.M Nimas Eki Suprawati M.Si, Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I. Terimakasih atas waktu, tenaga, pikiran, dan bimbingannya kepada penulis selama awal penyusunan skripsi hingga beliau pergi untuk menuntaskan tugas studi S3.

4. Ibu Sylvia Carolina MYM.,M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II. Terimakasih atas kesempatan, waktu, tenaga, pikiran, dukungan, semangat, perhatian dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(12)

5. Segenap dosen dan staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. 6. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma. Terimakasih atas

keramahan, pelayanan, sarana dan prasarana yang telah mendukung penelitian ini.

7. Kepada keluarga besar Sekolah Menengah Pertama Stella Duce 2 Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.

8. Kedua orangtuaku tercinta Bapak Benediktus Sunarna dan Ibu Theresia Suparmi yang tak henti-hentinya selalu memberi dukungan dalam doa, bantuan serta semangat sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Adikku tercinta Ayu dan adik kecilku Putri terimakasih atas doa dan dukungannya.

10.Sahabat terbaikku Esri dan Aning. Terimakasih atas semangat, dukungan, doa dan pengalaman-pengalaman hidup yang mengajarkanku menjadi pribadi yang lebih baik.

11.Sahabat terbaikku Cik Vivin, Tyas, Feby dan Wuri. Terimakasih atas semangat, dukungan, doa, kegalauan, kekonyolan, kebersamaan dan tawa kita yang banyak memberi warna dalam hidupku.

12.Segenap keluarga besar TK dan PG Ceria Timoho. Terimakasih atas pengalaman dan dukungannya.

13.Teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak bisa saya sebut satu-persatu. Terimakasih untuk kebersamaannya, senang bisa mengenal kaliyan.


(13)

14.Pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan. Sekali lagi peneliti mengucapkan terimakasih.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Terimakasih.

Penulis, Cicilia Verina Krisniminarti


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 13

C. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II LANDASAN TEORI A. Bullying ... 14


(15)

2. Aspek-Aspek Bullying ... 15

3. Bentuk-Bentuk Bullying ... 15

B. Cyberbullying ... 16

1. Pengertian Cyberbullying... 16

2. Tipe-Tipe Cyberbullying ... 18

3. Faktor-faktor yang menyebabkan Cyberbullying ... 22

C. Kepribadian Big Five ... 26

1. Definisi Kepribadian ... 26

2. Perkembangan Terori Big Five ... 27

3. Dimensi Kepribadian Big Five... 29

4. Alat Ukur Dimensi Kepribadian Big Five ... 32

D. Remaja ... 33

1. Definisi dan Batasan Usia Remaja ... 33

2. Perkembangan Remaja... 34

E. Hubungan Antara Dimensi Extraversion dan Openness to Experience Dalam Kepribadian Big Five dengan Kecenderungan Remaja Melakukan Cyberbullying ... 36

F. Hipotesis ... 43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 44

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 44


(16)

1. Cyberbullying ... 44

2. Kepribadian Big Five ... 45

D. Subjek Penelitian ... 45

E. Metode Pengumpulan Data ... 46

1. Skala Cyberbullying ... 47

2. Skala Kepribadian Big Five ... 47

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 49

1. Validitas ... 49

2. Seleksi item ... 49

3. Reliabilitas ... 51

G. Metode Analisis Data ... 52

1. Uji Asumsi ... 52

a. Uji normalitas ... 52

b. Uji linearitas ... 52

2. Uji Hipotesis ... 52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Tryout ... 53

B. Pelaksanaan penelitian ... 53

C. Analisis Data... 54

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 54

2. Statistik Deskriptif ... 54


(17)

4. Uji Linearitas ... 56

5. Uji Hipotesis ... 58

D. Pembahasan ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Skala Penelitian ... 74

Reliabitas Alat Ukur 1. Kepribadian big five ... 80

2. Cyberbullying ... 82

Analisis Data 1. Statistik Deskriptif ... 84

2. Uji Normalitas ... 86

3. Uji Linearitas ... 89


(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rangkuman dimensi kepribadian big five ... 31

Tabel 3.1 Penilaian skor jawaban favorable dan unfavorable... 47

Tabel 3.2 Komponen skala cyberbullying ... 47

Table 3.3 Penilaian untuk jawaban favorable dan unfavorable ... 48

Tabel 3.4 Komponen skala kepribadian big five ... 48

Tabel 3.5 Distribusi skala cyberbullying ... 50

Tabel 3.6 Distribusi skala kepribadian big five ... 51

Tabel 4.1 Deskripsi jenis kelamin subjek penelitian ... 54

Tabel 4.2 Deskripsi usia subjek penelitian ... 54

Tabel 4.3 Hasil statistik deskriptif ... 55

Tabel 4.4 Hasil tes Kolmogorov-Smirnov ... 56

Tabel 4.5 Hasil uji linearitas ... 57


(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Dimensi Extraversion dan Cyberbullying ... 39

Gambar 2.2 Skema Dimensi Openness to Experience dan Cyberbullying ... 41

Gambar 4.1 Scaterplot Cyberbullying*Extraversion ... 57


(21)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena penggunaan gadget smartphone pada remaja saat ini semakin meningkat. Sebuah artikel menyebutkan bahwa pengguna smartphone secara global mencapai satu miliar pada tahun 2012 dan diprediksi pada tahun 2014 akan menyentuh 1,75 sampai 4 miliar (Prayogi, 2014). Menurut hasil survey yang dilakukan Yahoo dan Mindshare di pertengahan tahun 2013 terdapat sekitar 41,3 juta pengguna gadget smartphone di Indonesia. Presentasi tertinggi pengguna smartphone di Indonesia (____,2013) sekitar 39% digunakan oleh pengguna dari kalangan remaja dan anak muda yang berkisar antara 16 sampai 21 tahun.

Gary B, Thomas J & Misty E (2007) menyebutkan istilah Smartphone sebagai telepon yang terhubung dengan internet yang menyediakan fungsi Personal Digital Assistant (PDA), seperti fungsi kalender, buku agenda, buku alamat, kalkulator, dan catatan serta dapat bekerja layaknya sebuah komputer mini.

Kemajuan teknologi komunikasi yang dihadirkan lewat smartphone ini memudahkan individu untuk berinteraksi kapan saja dan dimana saja dengan teman, pacar ataupun dengan keluarga melalui media sosial seperti facebook, twitter, email maupun melalui media video. Dalam sebuah artikel data menunjukkan bahwa 91% remaja menggunakan smartphone untuk mengakses media sosial (Lenhart Amanda, 2012). Menurut data Global Web Index


(22)

hampir semua media sosial dimiliki oleh pengguna internet di Indonesia dan diprediksi akan menarik lebih banyak pengguna di tahun 2015, hal ini salah satunya didorong dengan semakin banyaknya individu yang memiliki gadget smartphone (Reza Iqbal, 2015). Presentasi aktivitas jejaring sosial di Indonesia sendiri mencapai 79,72% yang merupakan tertinggi di Asia. Penelitian yang telah dilakukan oleh Marsono (dalam Yonida, 2015)

mengungkapkan bahwa kebutuhan akan „suasana bermain‟ merupakan

kebutuhan yang mendominasi remaja awal (13-15 tahun) dalam menggunakan media sosial. Remaja tersebut menggunakan media sosial sebagai hiburan sedangkan pada usia remaja tengah yang berusia 16-18 tahun menggunakan media sosial untuk memenuhi kebutuhan akan informasi. Media sosial tersebut mereka gunakan untuk update status dan atau saling menimpali komentar atau foto yang diunggah atau diposting (Mohamad Ardyan, 2013).

Media sosial pada awal kemunculannya bertujuan untuk memudahkan setiap orang mengakses informasi, mencari dan menyebar luaskan informasi tersebut, menemukan dan saling berinteraksi dengan teman baik yang dekat maupun yang jauh. Dalam perkembangannya, fungsi awal media sosial tersebut telah mulai bergeser. Media sosial saat ini telah mengubah pola interaksi diantara individu atau pola interaksi sosial. Kemunculan media sosial yang telah menjadi gaya hidup masyarakat saat ini telah mengubah pola interaksi sosial yang bersifat langsung atau face to face menjadi pola interaksi sosial yang bersifat tidak langsung. Hal ini membuat media sosial menjadi sebuah interaksi sosial yang begitu nyata. Kehadiran fisik tidak lagi menjadi


(23)

hal yang diutamakan dan bentuk ekspresi emosi yang dihadirkan melalui keadaan fisik kini dapat tergantikan dengan berbagai gambar pilihan ungkapan emosi. Perubahan pola interaksi tersebut cenderung mengakibatkan kualitas hubungan sosial yang terjadi didunia nyata menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan munculnya banyak permasalahan yang melibatkan media sosial hingga keranah hukum seperti menghujat, menciptakan opini yang merugikan orang lain hingga penculikan anak dibawah umur (Jones, 2013 ; Royananda, 2013 ; Vazque, 2014).

Hadirnya media sosial tersebut selain memudahkan dalam berinteraksi, juga berpotensi memunculkan interaksi yang berbahaya (Ybara, Diener-West & Leaf, dalam Dilmac, 2009) dimana dapat berisiko pada keamanan dan kebahagiaan emosional dari pengguna media sosial (Li Qing, Smith.P.K, Cross D, 2011). Bentuk interaksi tersebut dapat berupa sebuah ancaman, penyebaran rumor atau fitnah maupun mengirim pesan yang bertujuan untuk menyakiti (Price.M, Dalgleish.J, 2010). Salah satu bentuk interaksi yang berbahaya tersebut sering disebut cyberbullying.

Kasus cyberbullying banyak yang berujung pada kematian. Menurut artikel dari salah satu media online menyebutkan ada sebanyak lima kasus remaja yang menjadi korban cyberbullying yang berujung pada tindakan bunuh diri salah satunya terjadi pada Amanda Todd remaja 15 tahun yang bunuh diri setelah video vulgarnya diposting oleh salah satu teman sekolahnya. Hal serupa juga terjadi pada Megan Meier remaja 13 tahun yang bunuh diri karena depresi dengan berat badannya dan menjadi bahan ejekan


(24)

teman-temannya di media chatting. Mayoritas dari para korban mengalami intimidasi dari teman-teman di dunia maya sehingga tidak sedikit dari para korban melakukan bunuh diri karena tidak tahan dengan tindakan bully tersebut (Sulaiman, 2014). Kasus cyberbullying di Indonesia sendiri baru-baru ini terjadi pada kasus Florence Sihombing seorang mahasiswa di Yogyakarta yang mendapat kecaman, ejekan dan mengalami intimidasi dari berbagai pihak di media sosial hingga berujung pada pelaporan oleh pihak kepolisian karena luapan emosi kekesalan yang diposting di media sosial path dan twitter dimana isi dari postingannya adalah memaki-maki warga Yogya dengan bahasa yang kasar (Asiffa, 2014). Pengguna media sosial lain baik dewasa maupun remaja juga banyak melakukan kecaman dan ejekan pada korban berupa komentar, status ataupun foto tentang korban yang diposting di media sosial dengan bahasa kasar dan ejekan seperti “ mulutnya minta ditonjok” atau

“ratu SPBU” (____, 2014).

Menurut survey dari NCH (2009) pada 770 remaja yang berusia 11-19 tahun menunjukkan bahwa 20% melaporkan telah mengalami tindakan bully ( 14% melalui pesan singkat atau SMS, 5% melalui chat, 4% melalui email) dan 28% korban tidak melaporkan. Sedangkan menurut hasil survey yang dilakukan di University of Valencia menunjukkan bahwa sebanyak 24,6% remaja mengalami kasus cyberbullying melalui ponsel dan 29 % remaja mengalami kasus cyberbullying melalui internet (Upi, 2010). Berdasarkan data survey tersebut maka tidak bisa dipungkiri dengan hadirnya teknologi smartphone ini akan banyak remaja yang mengalami kasus cyberbullying.


(25)

Peneliti juga melakukan survey sederhana untuk mengetahui ada atau tidaknya remaja di Indonesia yang melakukan cyberbullying. Survey dilakukan terhadap empat remaja SMA yang terdiri dari tiga perempuan dan satu laki-laki yang berusia 15-16 tahun mengenai cyberbullying. Dari keempat remaja ini mengungkapkan bahwa mereka mengetahui tindakan cyberbullying khususnya dalam media sosial. Dari kempat remaja tersebut hanya satu yang tidak pernah menjadi korban maupun melakukan tindakan cyberbullying. Sedangkan ketiga remaja mengungkapkan pernah menjadi korban dan pelaku tindakan cyberbullying dimana salah satunya mengaku melakukan cyber bullying dengan motivasi bercanda (entertainment). Berdasarkan hasil survey tersebut peneliti menyimpulkan bahwa ada remaja di Indonesia yang terlibat dalam tindakan cyberbullying.

Cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying atau traditional bullying. Bullying sendiri didefinisikan sebagai tindakan agresi yang disengaja oleh individu atau kelompok dimana sifat hubungan interpersonalnya tidak seimbang (individu atau kelompok yang kuat dengan individu atau kelompok yang lemah) yang terjadi secara berulang dengan tujuan menyakiti atau mengganggu baik dengan cara verbal maupun non verbal, secara langsung maupun tidak langsung (Olweus, 2012). Ketidakseimbangan kekuatan ini dapat meliputi perbedaan kekuatan fisik maupun perbedaan social power atau status (Kowalski.M, Limber.S, Limber.S.P, Agatston.P.W, 2012). Sedangkan Cyberbullying didefinisikan sebagai tindakan bullying yang melibatkan atau menggunakan teknologi


(26)

komunikasi dan informasi seperti penggunaan email, internet, pesan singkat, video, media sosial, maupun media chatting.

Cyberbullying memiliki dampak yang hampir sama dengan traditional bullying (Mason,2008). Cyberbullying menyebabkan korban memiliki harga diri rendah, kesepian, tidak percaya diri dan menyebabkan tekanan emosional seperti merasa sedih, marah, malu dan frustasi (Price.M & Dolgleish.J, 2010). Begitu juga dengan traditional bullying yang menyebabkan harga diri rendah, kecemasan sosial, depresi dan meningkatkan kecenderungan untuk bunuh diri (Grene,2003, Juvonen,2003). Selain itu cyberbullying dan traditional bullying juga menyebabkan tingkat konsentrasi korban disekolah rendah dan mengalami kesulitan akademik untuk mencapai prestasi di sekolah (Beran.T & Li Qing, 2007). Bullying banyak terjadi di dalam sekolah sedangkan cyber bullying lebih berpontensi terjadi di luar sekolah dari pada di dalam sekolah. Namun dampak yang ditimbulkan dapat diketahui hingga di dalam sekolah (Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston, 2012). Hal ini dikarenakan dampak dari cyberbullying dapat mempengaruhi korban dalam mengikuti pembelajaran di sekolah (Beran.T & Li Qing, 2007).

Meskipun cyberbullying merupakan bentuk baru dari traditional bullying namun keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Pertama, tindakan dalam cyberbullying sangat tergantung dari tingkat keahlian dalam penggunaan teknologi. Semakin individu memiliki keahlian maka ancaman atau serangan yang diberikan semakin kuat dari pada individu yang tidak memiliki keahlian (Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012).


(27)

Sedangkan tindakan dalam traditional bullying cenderung berkaitan dengan ketidakseimbangan kekuatan baik itu secara fisik, kompetensi sosial, ras maupun status sosial (Pisch.M, 2010). Kedua, potensi penonton dari cyberbullying sangat luas dan dapat mencakup penonton yang besar. Hal ini dikarenakan sifat internet yang global sehingga siapa saja baik individu yang dikenal maupun yang tidak dikenal dapat melihat dan ikut berpartisipasi dalam memberikan pendapatnya baik membela maupun mengejek (Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012). Hal ini dapat menyebabkan korban merasa sangat terintimidasi dan sulit untuk menghindar dari tindakan cyberbullying. Sebaliknya potensi penonton dari tindakan traditional bullying cakupannya kecil atau dalam situasi private yaitu hanya antara pelaku dan korban (Pisch.M, 2010). Hal ini di karenakan mayoritas tindakan traditional bullying terjadi di lingkungan sekolah dan dilakukan secara tersembunyi. Ketiga, cyberbullying bersifat tidak langsung dan anonymous. Hal ini menyebabkan pelaku memiliki kesempatan untuk menyembunyikan identitasnya. Hal ini juga dikarenakan sistem yang ada pada internet dibuat untuk melindungi identitas dari pengguna internet (Shariff, 2008). Keuntungan ini digunakan oleh pelaku untuk meminimalisir konsekuensi dari perilakunya. Karena cyberbullying bersifat tidak langsung dan anonymous maka pelaku biasanya tidak bisa secara langsung melihat reaksi atau respon dari korban (Smith.P.K, Mahdavi.J, Carvalho.M, Fisher.S, Russell.S, Tippett.N, 2008). Hal ini menjadi penting karena membuat pelaku cyberbullying tidak memiliki perasaan bersalah dan empati terhadap orang lain (Kowalski, Limber.S,


(28)

Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012). Selain itu karena pelaku cyberbullying sulit untuk diketahui informasinya, membuat pelaku cenderung tidak mendapat hukuman dan konsekuensi atas tindakannya. Hal ini berpotensi menyebabkan pelaku lebih menunjukkan sikap permusuhan dan ancaman yang lebih besar (Pisch.M, 2010). Sebaliknya pada traditional bullying pelaku justru ingin menunjukkan identitasnya. Hal ini karena motivasi dari pelaku traditional bullying adalah ingin menunjukkan kekuasaan pada orang lain dan untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi (Olweus dalam Kowalski, Limber.S, Limber.P.S, Agatston.P.W, 2012).

Cyberbullying banyak terjadi dan dilakukan oleh remaja dan anak muda. Penelitian yang dilakukan oleh Price & Dalgleish (2010) mengatakan bahwa banyak remaja yang melakukan atau mengalami cyberbullying ketika berusia 10-16 tahun yaitu sekitar 50%, dan ketika berusia 15-18 tahun ada sekitar 42% sedangkan pada usia 19-25 tahun ada sekitar 8%. Presentasi terbesar yang terlibat cyber bullying ada pada individu yang berusia 10 sampai 18 tahun. Usia tersebut merupakan masa transisi remaja dari anak-anak menuju pada tahapan dewasa. Dalam masa ini remaja banyak mengalami perubahan mulai dari perubahan fisik, kognitif, emosi, maupun sosial (Santrock, 2002). Perubahan-perubahan yang dialami remaja ini membuat remaja menjadi labil dan belum matang secara psikis (Santrock, 2002). Selain itu dalam masa transisi tersebut remaja cenderung mengeksplorasi diri untuk mencari dan membentuk identitas dirinya (Erikson dalam Feist & Feist, 2006).


(29)

Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi tindakan cyberbullying yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor ekternal diantaranya adalah sikap orangtua. Menurut Dilmac & Aydogan (2010) mengatakan bahwa sikap orang tua yang otoriter menjadi prediktor seorang anak melakukan tindakan cyberbullying. Selain sikap orangtua, pengaruh sosial (social influence) seperti kelompok teman sebaya juga menjadi faktor individu melakukan cyberbullying (Hinduja & Patchin, 2012). Sedangkan faktor internal diantaranya adalah kebutuhan psikologis. Menurut Dilmac (2009) mengatakan bahwa kebutuhan akan agresi dan kebutuhan untuk mendapat dukungan emosi merupakan kebutuhan psikologis yang menjadi prediktor seseorang melakukan tindakan cyberbullying. Hal ini disebabkan karena kebutuhan tersebut tidak individu dapatkan dalam kehidupan nyata sehari-hari atau off-line melainkan individu berusaha mendapatkan kebutuhan tersebut dalam dunia maya atau online (Dilmac, 2009).

Faktor internal lainnya adalah karakteristik personal seperti usia dan jenis kelamin juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi tindakan cyberbullying. Dilihat dari usia, remaja yang berusia 10 sampai 18 tahun lebih cenderung terlibat dalam tindakan cyberbullying daripada anak-anak atau orang dewasa (Price & Dalgeish, 2010). Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengendalian diri remaja. Sedangkan dilihat dari jenis kelamin, laki-laki lebih berpotensi besar untuk terlibat dalam cyberbullying (Alonzo & Aiken dalam Kowalksi, Limber & Agatson, 2012). Selain dua karateristik personal tersebut, kepribadian juga menjadi karakteristik personal


(30)

lain yang juga memiliki peran penting dalam munculnya tindakan cyberbullying. Hal ini dikarenakan sifat dari kepribadian yang dapat memprediksi perilaku atau tindakan seseorang (Eysenck dalam Feist & Feist,2006).

Kepribadian menurut Allport (dalam Feist&Feist, 2006) merupakan

sebuah “pengorganisasian dinamis” yang didalam diri seseorang terdapat

sistem psikofisik yang menentukan atau menciptakan pola perilaku, pikiran dan karakteristik seseorang. Menurut Costa & Mc Crae kepribadian digambarkan dalam lima dimensi. Lima dimensi tersebut sering disebut dengan kepribadian big five. Dimensi big five terdiri dari agreeableness, extraversion, neuroticism, openness to experience dan conscientiousness. Kelima dimensi tersebut digambarkan sebagai 1). Agreeableness menunjukkan pribadi yang berhati lembut dan pribadi yang berhati kejam. 2).

Extraversion menunjukkan tingkat kesenangan menjalin relasi dan

beraktivitas. 3). Neuroticism menunjukkan temperamental, pencemas, dan emosional namun jika pribadi memilliki skor neuroticism rendah maka cenderung tenang, lembut, dan tidak berperasaan. 4). Openness to experience menunjukkan pribadi yang lebih menyukai keragaman dengan pribadi yang memiliki kebutuhan besar akan kedekatan dan rasa nyaman dari hubungan yang sudah dikenal. 5). Conscientiousness berfokus pada pencapaian tujuan serta kemampuan mengendalikan dorongan dalam kehidupan sosial.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Capra dan Ruiz (dalam Talley dan Bettencourt, Benjamin dan Valentine, 2006) menemukan bahwa perilaku


(31)

agresi berkorelasi dengan dimensi neuroticism. Perilaku cyberbullying sendiri merupakan bentuk dari perilaku agresi. Selain itu dalam penelitian Brack dan Caltabiano (2012) yang mengatakan bahwa pelaku tindakan cyberbullying cenderung memiliki kepribadian yang impulsive dan agresif. Tindakan impulsive sendiri merupakan salah satu ciri trait dari dimensi neuroticism (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2006). Penelitian lain yang dilakukan oleh Celik, Atak dan Ferguzen (2012) juga menemukan bahwa dimensi ketidakstabilan emosi berkorelasi dengan tindakan cyberbullying. Dimensi ketidakstabilan emosi merupakan bagian dari dimensi neuroticism (McCrae & Costa, dalam Feist & Feist, 2006). Hal ini dapat disimpulkan bahwa dimensi neuroticism dapat menjadi prediktor dari tindakan cyberbullying.

Disisi lain, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Ozden & Icellioglu (2014) yang mengatakan bahwa dimensi kepribadian psychotism yang menjadi prediktor individu melakukan cyberbullying. Dimensi psychotism sendiri merupakan dimensi dari Eysenck Personality Inventory dimana ukurannya dapat disetarakan dengan skor rendah dari aggreableness dan conscientiousness (McCrae & Costa dalam Feist & Feist, 2006). Selain itu pada penelitian yang dilakukan oleh Kokkinos, Antoniadou, Dalara, Koufogazou dan Papatzlki (2013) menemukan bahwa dimensi conscientiousness yang rendah dan disertai dengan agresi memiliki korelasi dengan tindakan cyberbullying.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tidak hanya satu dimensi kepribadian yang dapat menjadi prediktor dari tindakan


(32)

cyberbullying. Hal ini dapat dilihat dari tiga dimensi kepribadian big five yaitu neuroticism, agreeableaness, dan conscientiousness yang dapat menjadi prediktor dari tindakan cyberbullying. Sementara masih ada dua dimensi lain yang belum diuji yaitu dimensi extraversion dan dimensi openness to experience. Menurut Sinha (dalam Bianchi & Philips, 2005) individu yang memiliki kepribadian extrovert lebih mudah untuk terpengaruh dengan teman sebaya. Pengaruh teman sebaya sendiri merupakan salah satu faktor individu terlibat dalam tindakan cyberbullying (Hinduja & Patchin, 2012). Sedangkan individu yang memiliki kepribadian openness to experience merupakan individu yang terbuka akan pengalaman baru dan kreatif. Remaja yang kreatif cenderung memiliki tingkat sensivitas yang tinggi, bergairah dan ekspresif dalam berinteraksi namun cenderung impulsif (McCrae dan Sutin, 2009). Impulsif mmerupakan salah satu ciri kepribadian yang berkorelasi dengan tindakan cyberbullying (Brack dan Caltabiano, 2012). Oleh karena itu, peneliti menduga bahwa dimensi extraversion dan dimensi openness to experience juga dapat secara kuat menjadi prediktor dari perilaku cyberbullying. Akan tetapi, hal ini belum dibuktikan, oleh karena itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui hubungan dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying. Hal ini perlu dilakukan karena cyberbullying tidak hanya memberikan dampak negatif pada korban namun juga dapat memberikan dampak negatif terhadap pelaku yaitu membuat pelaku tidak memiliki rasa bersalah dan membuat pelaku tidak memiliki empati.


(33)

B. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying.

C. Manfaat penelitian 1. Manfaat teoritis

a. Memberikan sumbangan pengetahuan maupun wacana mengenai dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan gambaran umum pada remaja mengenai hubungan dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying sehingga dapat dijadikan acuan bagi remaja-remaja dalam menyikapi dan menggunakan teknologi dengan baik.

b. Memberikan gambaran umum pada orang tua maupun guru mengenai hubungan dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five dan kecenderungan remaja melakukan tindakan cyberbullying sehingga dapat dijadikan acuan dalam membimbing anak-anak maupun siswa-siswi.


(34)

TINJAUAN TEORI

A. Bullying

1. Pengertian Bullying

Menurut Rigby (dalam Mawardah, 2012) bullying merupakan salah satu bentuk dari perilaku Agresi. Tindakan agresi sendiri menurut Berkowitz (1995) adalah tingkah laku dan emosi yang bisa mengarah kepada tindakan agresif (melukai atau menyakiti) baik untuk mencapai tujuan tertentu atau hanya semata-mata sebagai pelampiasan keinginan.

Menurut Olweus (2012) bullying merupakan tindakan agresi yang disengaja oleh individu atau kelompok dimana sifat hubungan interpersonalnya tidak seimbang (individu atau kelompok yang kuat dengan individu atau kelompok yang lemah) yang terjadi secara berulang dengan tujuan menyakiti atau mengganggu baik dengan cara verbal maupun non verbal, secara langsung maupun tidak langsung.

Sedangkan menurut Pikas (dalam Mawardah, 2012) mengambarkan tindakan bullying sebagai kekerasaan dalam konteks kelompok dimana digunakan untuk memberikan reinforce (penguatan) kepada perilaku setiap orang dalam interaksi kelompok tersebut.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan perilaku negatif, agresif, didalam lingkungan sosial dengan


(35)

jangka waktu yang berkelanjutan dan berulang-ulang.

2. Aspek-aspek Bullying

Menurut Krae (dalam Mawardah, 2012) bullying memiliki tiga aspek yaitu:

a. Intimidasi : bullying adalah bentuk perilaku dimana telah terjadi pemaksaan atau usaha menyakiti secara psikologis ataupun fisik

terhadap seseorang atau sekelompok orang lebih “lemah” oleh

seseorang atau sekelompok orang lebih kuat.

b. Power : bullying melibatkan kekuatan, kemampuan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya.

c. Kontinuitas : bullying terjadi secara berkelanjutan dengan jangka waktu yang lama sehingga menyebabkan korbannya terus menerus merasa cemas dan terintimidasi.

3. Bentuk-bentuk Bullying


(36)

menjabak, menendang, mengunci seseorang dlm ruangan, mencubit, mencakar, dan meminta secara paksa.

b. Kontak verbal langsung : seperti mengancam, mempermalukan, merendahkan, menggangu, memberi panggilan nama buruk, mengejek, mngintimidasi, memaki dan menceritakan keburukan seseorang. c. Perilaku non verbal tidak langsung : seperti mendiamkan seseorang,

memanipulasi persahabatan sehingga retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan.

d. Pelecehan seksual : dikategorikan sebagai perilaku agresi fisik atau verbal seperti memegang organ vital sekunder

e. Pelaku non verbal langsung : seperti melihat dengan sinis, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, mengancam yang disertai dengan bullying fisik.

B. Cyberbullying

1. Pengertian Cyberbullying

Bentuk baru dari tindakan bullying diketahui sebagai Cyberbullying. Menurut Kowalski, 2012 cyberbullying merupakan tindakan bullying yang melibatkan penggunaan email, instant message, web pages, blogs, chat room, digital images, pesan singkat yang dikirim melalui telepon seluler,


(37)

(Kowalski.M, Limber.S, Limber.S.P, Agatston.P.W, 2012).

Cyberbullying merupakan tindakan agresif yang disengaja oleh kelompok maupun individu melalui penggunaan alat elektronik yang dilakukan secara berulang dimana korban tidak bisa melakukan pertahanan terhadap dirinya sendiri. Cyberbullying juga dapat berhubungan dengan agama, budaya maupun diskriminasi ras. (Peter Smith dalam Kowalski, 2012).

Sedangkan menurut Belsey (dalam Keith.S & Martin E.M, 2005) cyberbullying merupakan tindakan bullying yang melibatkan penggunaan teknologi komunikasi dan informasi seperti email, telepon seluler, pesan singkat, internet, media sosial yang secara sengaja, berulang, dan dengan perilaku yang tidak ramah oleh individu maupun kelompok yang digunakan untuk menyakiti atau merugikan orang lain.

Dari uraian definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa cyberbullying merupakan perilaku seseorang yang dilakukan secara terus menerus dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk menganggu orang lain dan mengintimidasi orang lain dengan menggunakan media elektronik baik melalui email, website, jejaring sosial, game online, chat rooms, dan telepon seluler.


(38)

Menurut Aftab (dalam Mawardah, 2012) dalam praktek cyberbullying dibedakan menjadi dua tipe yaitu:

a. Cyberbullying secara langsung

Cyberbullying secara langsung atau direct merupakan tindakan cyberbullying yang serangannya dilakukan secara langsung kepada target atau korban. Cyberbullying secara langsung ini dapat dilakukan melalui :

1. Pesan singkat (teks) yang berisi tentang pelecehan

Remaja mengirim pesan singkat yang berisi kebencian, kemarahan, kejengkelan ataupun ancaman kepada remaja lainnya. Pesan juga dapat berisi serangan yaitu ketika remaja bermusuhan dengan korban, pelaku mengirimkan ribuan pesan ataupun gambar ke ponsel via SMS atau perangkat lain.

2. Pencurian password

Seseorang dapat mencuri password dari orang lain yang kemudian password tersebut ia salah gunakan untuk memulai chatting dengan orang lain. Ia dapat menggunakan password tersebut untuk mengatakan hal-hal yang dapat menyinggung dan membuat marah orang lain.

Selain itu, ia juga dapat menggunakan password orang lain untuk merubah isi profil dan menyertakan hal-hal yang


(39)

perasaan orang lain. Dengan cara ini identitas pelaku tidak dapat diketahui karena pelaku dapat bersembunyi dibalik identitas orang lain.

3. Blog

Blog digunakan oleh remaja untuk mengirim dan menyebarkan pesan atau informasi ke semua teman-teman mereka. Blog sendiri bersifat terbuka, sehingga semua orang dapat mengakses dan melihat pesan atau informasi yang ditulis. Namun, tak sedikit remaja yang menyalah gunakan media tersebut untuk merusak reputasi remaja lain salah satunya dengan cara membuat halaman profil palsu pada blog dengan berpura-pura menjadi orang lain dan kemudian mengatakan hal-hal yang mempermalukan tentang orang tersebut.

4. Website

Website digunakan oleh remaja untuk mengoda satu sama lainnya. Mereka terkadang membuat situs yang berisi hinaan kepada orang lain atau memposting informasi pribadi ataupun gambar yang merugikan orang lain.

5. Mengirim gambar-gambar melalui email dan ponsel

Pelaku dapat mengirimkan gambar korban yang sudah diubah melalui email kepada pengguna lainnya. Gambar tersebut


(40)

mengubah (mengedit) gambar korban telanjang.

Selain itu, dengan banyaknya teknologi komunikasi yang bermunculan seperti smartphone, dapat saling berbagai foto dengan mudah misalnya dengan MMS ataupun dengan Bluetooth. Remaja dapat menerima dan mengirim kembali gambar tersebut sehingga gambar tersebut dapat tersebar ke orang lain dengan bebas.

6. Polling internet

Jejak pendapat melalui internet ini ditujukan untuk melecehkan seseorang atau mengucilkan korban.

7. Permainan online

Permainan online atau sering disebut sebagai game online merupakan permainan yang dapat menghubungkan orang lain diseluruh dunia. Remaja terkadang menggunakan game online ini untuk melecehkan dan menggunakan ancaman agar lawan mereka merasa kalah, mengeluarkan mereka dari permainan dan dapat juga memberikan rumor palsu tentang mereka atau korban.

8. Mengirimkan kode berbahaya atau virus

Banyak remaja mengirimkan virus, spyware dan program-program lain untuk korban-korban mereka. Tujuan mereka adalah


(41)

dapat menghilangkan file-file penting dari korban. 9. Mengirimkan hal-hal yang porno

Pelaku dapat mengirimkan ribuan website pornografi kepada pelaku melalui email atau pesan singkat sehingga orangtua korban akan menganggap anak mereka telah mengunjungi situs tersebut. 10.Penyamaran

Pelaku dapat melakukan hal-hal yang dapat merusak nama baik korban dengan menyamar sebagai korban. Kemudian mereka

memposting pesan yang tidak menyenangkan melalui media

komunikasi misalnya chat rooms atau media sosial sehingga membuat orang lain akan membenci korban. Pelaku juga dapat memberikan nama, alamat, ataupun nomer telepon korban untuk disebar luaskan.

b. Cyberbullying secara tak langsung

Cyberbullying dengan penghubung adalah ketika pelaku

cyberbullying menemukan orang lain yang dijadikan aksi untuk merugikan orang lain. Sebagian penghubung tidak menyadari dan tidak tahu jika mereka sedang dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan tindakan tersebut.


(42)

dimulai ketika pelaku menyamar sebagai korban. Pelaku dapat melakukannya dengan dua cara yang pertama pelaku dapat menyusup account korban dengan mencuri password korban terlebih dahulu dan yang kedua pelaku dapat membuat account baru dengan nama korban dan menjalankan account korban dengan berpura-pura menjadi korban dan menciptakan masalah untuk korban sendiri maupun orang lain misalnya dengan mengirimkan pesan yang berisi kata-kata buruk kesemua daftar teman-teman korban yang ada di accountnya. Account yang dimaksud dapat berupa account di jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dll.

3. Faktor-faktor yang menyebabkan cyberbullying

Cyberbullying merupakan bentuk dari perilaku agresi sebagai bagian dari masalah perilaku pada remaja. Oleh karena itu faktor pencetus atau pembentuk perilaku agresi akan dipaparkan sebagai berikut :

a. Frustrasi dan Rasa marah

Frustrasi merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuan. Menurut Berkowitz (dalam Sarwono,1988) frustrasi bisa mengarahkan individu kepada tindakan agresif karena frustrasi bagi


(43)

mengatasi atau menghindarinya dengan cara agresif. Tindakan cyberbullying yang dilakukan oleh seseorang bisa dipicu oleh rasa marah dan frustrasi kepada orang lain yang tidak disukai.

b. Stres

Stres dikonsepsikan sebagai stimulus yang menimbulkan gangguan terhadap keseimbangan intrapsikis. Stres bisa muncul berupa stimulus eksternal (situasional) dan berupa stimulus internal (intrapsikis) yang diterima atau dialami oleh individu sebagai hal yang tidak menyenangkan atau menyakitkan serta menghasilkan efek behavioral berupa kemunculan agresi (Sarwono, 1988).

c. Provokasi

Menurut Geen (dalam Sarwono, 1988) Provokasi bisa mencetuskan agresi karena provaksi sering merupakan serangan terhadap sesuatu yang oleh setiap orang selalu dipelihara keutuhannya yakni rasa harga diri. Dalam menghadapi provokasi yang mengancam para pelaku agresi cenderung berprinsip bahwa daripada diserang lebih baik mendahului menyerang. Namun tidak jarang juga kecenderungan menggunakan provokasi sebagai dalih untuk melakukan agresi meskipun provokasi itu tidak bersifat mengancam. Dalam cyberbullying para pelaku dapat menggangu korban karena dipicu oleh provokasi yang korban buat sendiri.


(44)

Menurut Berkowitz (1995) semua perasaan negatif dan tidak menyenangkan merupakan dorongan dasar dari perilaku agresi. Pengaruh rasa tersinggung atau ancaman terhadap harga diri menjadi pendorong munculnya agresi. Pelaku melakukan tindakan cyberbullying bisa karena dipicu oleh perasaan tersinggung dengan objek (postingan atau kiriman informasi) dari orang lain.

e. Modeling

Modeling atau mencontoh perilaku orang lain juga bisa

mempengaruhi kecenderungan agresi pada seseorang (Sarwono, 1988).

Selain beberapa faktor tersebut, terjadinya cyberbullying juga dapat dijelaskan dengan teori dominasi. Teori dominasi sendiri menjelaskan tentang perilaku bullying (Olweus dalam Mawardah, 2012), sedangkan cyberbullying merupakan bentuk baru dari tindakan bullying. Menurut teori ini kebutuhan untuk mendominasi dan kontrol sangat berhubungan dengan perilaku bullying. Sikap mendominasi tidak selalu melibatkan kekuatan fisik, kepemimpinan dan lain-lain, namun dapat juga diartikan sebagai kemampuan untuk bisa melakukan lebih banyak dengan segala kemampuan yang dimiliki sehingga dapat melakukan kekerasaan baik secara verbal, ancaman, intimidasi baik secara langsung ataupun tidak


(45)

diharapkan dapat tercapai.

Selain itu karena cyberbullying tidak membutuhkan kekuatan fisik ini bisa menjadi salah satu cara bagi seorang individu yang tidak terlibat dalam perilaku agresif secara fisik untuk mendapatkan kekuasaan dan dapat mengontrol orang lain.

Faktor yang mempengaruhi praktik cyberbullying menurut Vandebosch dan Cleemput (dalam Mawardah, 2012):

a. Keinginan untuk merusak, membalas dendam

b. Cyberbullying meminimalisisr risiko dan rasa takut terhadap hukuman dari bullying

c. Tidak ingin menghadapi secara langsung d. Anonimitas

e. Menunjukkan keahliannya dalam menguasai teknologi, pemahaman akan penggunaan teknologi informasi

Motivasi yang mempengaruhi terjadinya cyberbullying menurut Rudi (dalam Mawardah, 2012) :

a. Marah sakit hati, balas dendam, atau frustasi

b. Haus akan kekuasaan sehingga menonjolkan ego dan menyakiti orang lain

c. Merasa bosan dan memiliki kemahiran Hacking


(46)

emosional

Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi praktik cyberbullying adalah karena bersifat anonmitas, sehingga pelaku mampu melecehkan atau menganggu korban mereka 24 jam sehari. Anonimitas yang terdapat dalam setiap model komunikasi elektronik tidak hanya menyamarkan identitas namun dapat mengurangi akuntabilitas sosial sehingga memudahkan pengguna untuk terlibat dalam permusuhan dan tindakan agresif (Li Qing & Beran.T, 2007).

C. Kepribadian Big Five 1. Definisi Kepribadian

Menurut Goldberg (2006) manusia dibedakan kepada karakter-karakter serta kepribadian yang dimiliki setiap individu. Masing-masing individu memiliki ciri tersendiri, sikap, dan pola berfikir sendiri yang banyak dipengaruhi oleh keadaan lingkungan mereka dibesarkan dan bentuk pendidikan yang diperoleh.

Menurut Roberts dan Mroezek (2008) kepribadian merupakan sebuah pola yang relatif menetap dari pikiran, perasaan, dan perilaku yang membedakan dari individu satu dengan individu yang lain.

Sedangkan menurut Allport (dalam Feist&Feist, 2006) kepribadian


(47)

pola perilaku, pikiran, karakteristik seseorang dimana hal tersebut menentukan penyesuain diri secara unik terhadap lingkungan.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan sebuah pola dari pikiran, perasaan, perilaku dan karakteristik seseorang yang relatif menetap dimana hal tersebut menentukan penyesuain diri seseorang secara unik terhadap lingkungan.

2. Perkembangan teori big five

Big five adalah taksonomi kepribadian yang disusun berdasarkan pendekatan lexical yaitu mengelompokkan kata-kata atau kalimat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menggambarkan ciri-ciri individu yang membedakannya dengan individu lain. Pendekatan ini dipeloporoi oleh Allport dan Odbert dengan mengumpulkan 18.000 istilah yang membedakan perilaku seseorang dengan orang lain. Daftar ini menginspirasi Cattel untuk menyusun model multidimensional dari kepribadian dimana dari 18.000 istilah tersebut cattel mengelompokkannya kedalam 4.500 ciri sifat kepribadian dan kemudian melakukan analisis faktor hingga dipereloh 12 faktor kepribadian yang kemudian menjadi inventori 16 faktor kepribadian. Penemuan Cattel tersebut menginspirasi banyak peneliti untuk menganalisa ulang dengan data yang bervariasi mulai dari anak-anak hingga dewasa salah satunya


(48)

diperoleh lima faktor yang sangat menonjol yang kemudian oleh Goldberg disebut dengan big five. Big five bukan berarti menyatakan bahwa kepribadian itu hanya ada lima melainkan pengelompokkan dari ribuan ciri trait kedalam kelompok lima besar yang berikutnya disebut dengan dimensi kepribadian (John dan Srivastava, 1999). Trait sendiri merupakan suatu dimensi yang menetap dari karakteristik kepribadian, hal tersebut yang membedakan individu dengan individu lainnya (Fieldman dalam Mastuti, 2005). Lima dimensi dalam kepribadian big five adalah extraversion, neuroticism, agreeableness, conscientiousness dan openness to experience. Dari kelima dimensi big five tersebut, masing-masing dimensi memiliki komponen yang terdiri dari facet. Facet merupakan trait atau sifat yang lebih spesisifik dari lima dimensi tersebut. Berikut facet yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa (dalam Raad dan Perugini, 2002) :

a. Extraversion : ramah, minat berteman, kemampuan asertif,

kepemimpinan, sosialisasi, tenang.

b. Emotional Stability (vs Neuroticism) : stabilitas, keharmonisan, ketenangan, kegembiraan, ketabahan, berkepala dingin, terkontrol.

c. Agreeableness : hangat, pengertian, suka menolong, lemah


(49)

rasional, berhati-hati, terorganisir.

e. Openness to experience : kreatifitas, kemampuan imajinasi, minat berpetualang, intelektualitas, kebebasan, introspeksi, keaslian. Lima dimensi dalam kepribadian big five tersebut masuk akal secara teoritis, hal ini dapat dilihat dari teori-teori sebelumnya yang telah lebih dulu menyatakan, seperti teori Jung yang menyatakan ada pengaruh kuat dari perilaku ekstraversi dan introversi (dimensi extraverion), teori Freud yang menekankan pentingnya kecemasan dalam membentuk perilaku (dimensi neuroticism), teori Adler yang menyatakan bahwa diri yang kreatif yang merupakan prinsip penting dalam kehidupan yang menjadi penyebab pertama dalam menentukan perilaku (dimensi openness to experience) dan teori lain dari Maslow yang melihat kesehatan psikologis dalam mengaktualisasikan diri (dimensi agreeableness dan conscientiousness) (Feist & Feist, 2006).

3. Dimensi Kepribadian Big Five

Berikut lima dimensi dalam kepribadian big five menurut Goldberg (dalam John dan Srivastava, 1999) yaitu :

a. Agreeablenes, dimensi ini menilai kualitas orientasi interpersonal seseorang sepanjang kontinum mulai dari perasaan lemah lembut sampai terhadap antagonism dalam pemikiran, perasaan dan


(50)

untuk tunduk pada orang lain. Dalam keseharian individu dengan sifat kepribadian ini tampil sebagai individu yang baik hati, dapat bekerja sama dan dapat dipercaya.

b. Extraversion, dimensi ini menilai kuantitas intensitas interaksi intrapersonal dan tingkat aktivitas seseorang. Individu ini menunjukkan tingkat kesenangan dalam menjalin relasi dan beraktivitas. Mereka cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu untuk mempertahankan dan menikmati hubungan.

c. Neurotisicm, dimensi ini menilai kestabilan emosi dengan ketidakstabilan emosi. Dimensi ini mengidentifikasikan individu yang rentan terhadap tekanan psikologis, mempunyai ide-ide yang tidak realistik dan memiliki coping stress yang maladaptif. Individu ini identik dengan emosi negatif seperti khawatir, takut dan tegang.

d. Openness to Experience, dimensi ini melihat keluasan,

kedalaman dan kompleksitas dari kesadaran atau aspek mental dan pengalaman. Dimensi ini juga cenderung berhubungan dengan intelektualitas yaitu dorongan untuk mengeksplorasi kognitif. Hal ini yang sering disebut sebagai kreativitas. Individu yang terbuka dan kreatif cenderung memiliki tingkat sensitivitas


(51)

senang dan bergairah dengan berbagai informasi baru, pandai menciptakan aktivitas diluar kebiasaan namun umumnya cenderung impulsif.

e. Conscientiousness merupakan dimensi yang berfokus pada

pencapaian tujuan serta kemampuan mengendalikan dorongan dalam kehidupan sosial. Dimensi ini menilai tingkat organisasi, ketekunan dan motivasi dalam berperilaku yang berarah pada tujuan. Individu dengan sifat ini tampil sebagai individu yang tepat waktu, berprestasi, teliti dan mengerjakan tugas dengan tuntas.

Berikut karakteristik seseorang dengan nilai tinggi dan rendah dari dimensi-dimensi tersebut (Feist&Feist, 2006) :

Tabel 2.1 Rangkuman dimensi kepribadian big five

Dimensi Skor Tinggi Skor Rendah

Agreeableness Berhati lembut Mudah percaya Murah hati Pendamai Pemaaf Baik hati Kejam

Penuh pra sangka Pelit

Penentang Selalu mengkritik Mudah terluka

Extraversion Penuh perhatian

Mudah bergabung Aktif bicara Mudah mengekspresikan emosi Bersemangat Cuek Penyendiri Pendiam Serius Pasif Tidak mudah mengekspresikan emosi


(52)

Merasa tidak nyaman Kurang penyesuain Emosional

Rentan

Puas terhadap diri sendiri Merasa nyaman Tidak emosional Tabah Openness to Experience Imajinatif Kreatif Original Penuh keingintahuan Ketertarikan luas Konvensional Tidak kreatif Menyukai rutinitas Tidak mau tahu Konservatif Conscientiousn ess Peka nurani Pekerja keras Teratur Tepat waktu Ambisius Tekun Bebal Malas Tidak teratur Tidak disiplin Keinginan lemah Mudah menyerah

4. Alat ukur dimensi kepribadian big five

Saat ini ada beberapa alat ukur yang sudah dikembangkan untuk mengukur kepribadian big five seperti Big Five Inventory (BFI), Big Five Questionnaire (BFQ) dan The Big Five Marker Scale. Penggunaan alat ukur tersebut tergantung pada familiaritas dari alat ukur dan perspektif mana yang akan dipakai (Raad dan Perugini, 2002).

Berbagai alat ukur tersebut perlu ijin khusus dalam penggunaannya sehingga alat ukur tersebut tidak dapat digunakan secara bebas. Oleh karena itu, Lewis R.Golberg menyusun suatu inventoris yang memudahkan peneliti untuk melihat kepribadian seseorang. Inventories tersebut dikenal dengan International personality item pool (IPIP). Inventori ini disusun oleh Golberg untuk mengembangkan set inventori


(53)

dapat digunakan untuk tujuan ilmiah ataupun komersil (Golberg, 2006).

D. Remaja

1. Definisi dan batasan usia remaja

Masa remaja diartikan sebagai masa peralihan atau transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang dalam prosesnya mengalami perubahan baik perubahan fisik, kognitif maupun perubahan sosio emosi (Santrock, 2002).

Sedangkan menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Selama dalam masa pencarian identitas tersebut sering menimbulkan masalah pada diri remaja (Santrock, 2002).

Pada saat individu memasuki usia 10 sampai 21 tahun dapat dikatakan bahwa individu telah memasuki masa remaja. Masa remaja dapat dibedakan kedalam tiga tahap yaitu remaja awal berkisar antara 10 sampai 15 tahun, remaja tengah antara 15 sampai 18 tahun dan remaja akhir berkisar antara 18 sampai 21 tahun (Santrock, 2002).

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi anak-anak menuju masa dewasa yang berkisar antara usia 10 sampai 21 tahun yang didalam prosesnya mengalami perubahan


(54)

satunya dengan membentuk identitas diri.

2. Perkembangan remaja a. Perkembangan fisik

Perkembangan fisik pada remaja dimulai ketika remaja mengalami masa pubertas. Masa perkembangan fisik pada remaja berlangsung sangat cepat. Pada masa tersebut remaja mulai mengalami perubahan dalam bentuk fisik seperti tinggi dan berat badan, dan kematangan seksual. Perkembangan dan perubahan fisik remaja ini membuat remaja harus penyesuaikan diri dengan perubahan pada dirinya sendiri (Santrock, 2002).

b. Perkembangan kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2002) remaja memasuki tahap operasional formal yaitu remaja mulai berpikir abstrak, idealistik, dan logis. Pada fase ini remaja mulai menciptakan hipotesis dan menggunakan kemampuan logisnya.

Sedangkan menurut Elkind (dalam Papalia, 2008) masa remaja dikatakan memiliki pola berfikir yang tidak matang. Ketidakmatangan pola pikir dari remaja ini ditandai dengan idealisme yaitu remaja percaya bahwa mereka mengetahui bagaimana cara mengatur dunianya lebih baik dibanding orang dewasa, menunjukkan


(55)

kurang efektif, menganggap orang lain memiliki pandangan yang sama dengan dirinya dan menganggap dirinya unik.

c. Perkembangan sosioemosional

Masa remaja merupakan masa puncak perkembangan sosial dan emosionalitas. Remaja cenderung memiliki kebutuhan untuk membangun relasi dengan teman sebaya. Mereka mulai memperluas lingkungan sosialnya baik dengan lingkungan disekolah ataupun lingkungan diluar sekolah. Hal ini membuat remaja lebih banyak menghabiskan waktu bersama dengan teman daripada keluarga. Remaja juga mulai membentuk kelompok dengan teman sebaya yang memiliki ketertarikan yang sama. Mereka mulai mengikuti aturan-aturan dan nilai-nilai yang dibuat oleh kelompok (Santrock, 2002).

Disisi lain remaja memiliki tugas perkembangan dalam mencari identitas diri. Dalam mencari identitas ini tidak jarang remaja mengikuti tokoh idola mereka sebagai panutan. Dalam masa ini remaja juga dituntut untuk menjadi individu dewasa yang mampu memahami nilai-nilai dalam masyarakat (Erikson dalam Santrock, 2002).


(56)

Kepribadian Big five dengan Kecenderungan Remaja Melakukan

CyberBullying

Dimensi extraversion berhubungan erat dengan interaksi sosial dan sosiabilitas. Remaja dengan kepribadian extrovert atau remaja dengan skor extraversion tinggi cenderung mudah membangun hubungan sosial, senang berjumpa dengan orang lain, mudah mengekspresikan emosi, aktif berbicara, suka mengambil risiko, tetapi umumnya cenderung impulsif. Remaja yang memiliki kepribadian extrovert juga cenderung memiliki kebutuhan untuk mendominasi. Kebutuhan untuk mendominasi ini menurut Olweus (dalam Mawardah, 2012) merupakan faktor seorang individu melakukan perilaku agresif. Selain itu, menurut Sinha (dalam Bianchi & Philips, 2005) remaja yang memiliki kepribadian extrovert juga lebih mudah terpengaruh dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya memberi pengaruh yang besar terhadap pola pikir, tingkah laku dan perkembangan kepribadian remaja. Mereka cenderung mudah mengikuti aturan-aturan dan ide-ide yang dibuat oleh kelompok (Santrock, 2002). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hinduja & Patchin (2012) yang mengatakan bahwa faktor kelompok teman sebaya dapat mempengaruhi remaja melakukan cyberbullying. Remaja yang extravert ketika dihadapkan dengan stimulus yang tidak menyenangkan atau perasaan-perasaan negatif dapat dengan mudah mengekspresikan emosinya. Emosi tersebut dapat mengarahkan remaja


(57)

dengan kepribadian introvert atau individu dengan skor extraversion rendah cenderung pasif, pendiam, menarik diri dari pergaulan sosial, hati-hati dalam bertindak, dan kurang dapat mengekspresikan emosi. Individu yang introvert ketika menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan atau perasaan negatif cenderung tidak mengekspresikan emosinya kepada banyak orang tetapi lebih mengelola emosi secara individual. Hal ini membuat individu cenderung kurang berpartisipasi dalam bentuk perilaku agresi cyberbullying.

Sedangkan dimensi openness to experience berkaitan dengan dorongan untuk mengeksplorasi aspek kognitif dan keterbukaan akan pengalaman baru. Salah satu bentuk dari eksplorasi kognitif ini adalah kreativitas. Kreativitas dapat muncul dalam bentuk ide, opini maupun karya seni yang sesuai dengan ketertarikan intelektualnya. Remaja yang kreatif didorong oleh adanya rasa keingintahuan yang besar sehingga mereka akan cenderung mudah untuk mencoba hal-hal baru. Menurut penelitian masa remaja sampai dengan usia 20 tahunan cenderung memiliki tingkat openness to experience yang tinggi dan cenderung akan menurun pada perkembangan usia selanjutnya. Remaja yang memiliki tingkat openness to experience yang tinggi cenderung memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, bergairah dan ekspresif dalam berinteraksi namun cenderung impulsif (McCrae dan Sutin, 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa kecenderungan impulsif merupakan salah satu ciri kepribadian yang berkorelasi dengan tindakan


(58)

ketika menghadapi situasi dan perasaan-perasaan negatif akan dengan sangat mudah mengekspresikan emosinya salah satunya dalam bentuk agresi verbal melalui media sosial. Disamping itu remaja juga pada umumnya sedang dalam masa peralihan sehingga mereka cenderung kurang memiliki kontrol atas dirinya sendiri. Hal ini membuat mereka cenderung dapat terlibat dalam perilaku agresi salah satunya dengan tindakan cyberbullying. Sebaliknya individu dengan skor rendah pada openness to experience cenderung tidak kreatif, bersahaja, tidak mau tahu dan tunduk pada aturan sehingga ketika individu ini dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai dan tidak menyenangkan cenderung akan bersikap pasif dan menerima kenyataan yang ada sesuai apa adanya. Selain itu mereka akan cenderung melakukan sesuatu sesuai dengan norma yang berlaku antara baik dan tidak baik. Dengan demikian kepribadian ini cenderung kurang dapat berpartisipasi dalam tindakan cyberbullying.

Berdasarkan pemaparan diatas, dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five juga dapat menjadi prediktor dari tindakan cyberbullying. Remaja yang memiliki extraversion tinggi dan openness to experience tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar dalam melakukan tindakan cyberbullying.


(59)

cyberbullying

Remaja

1. Perkembangan fisik 2. Perkembangan kognitif 3. Perkembangan sosioemosional

Dimensi

Extraversion tinggi

Remaja mudah bersosialisasi, ekspresif, memiliki kebutuhan untuk mendominasi, cenderung mudah terpengaruh teman sebaya

Kecenderungan melakukan

cyberbullying


(60)

1. Perkembangan fisik 2. Perkembangan kognitif 3. Perkembangan sosioemosional

rendah

Remaja cenderung menarik diri dari pergaulan sosial, tidak mudah terpengaruh teman sebaya, pasif dan kurang dapat mengekspresikan emosi

Kecenderungan remaja melakukan cyberbullying rendah


(61)

kecenderungan cyberbullying

Remaja 1.Perkembangan fisik 2.Perkembangan kognitif

3. Perkembangan sosioemosional

Dimensi openness to experience tinggi

Remaja cenderung kreatif, eksploratif namun kurang memiliki kontrol diri , memiliki sensitivitas tinggi, bergairah,ekspresif dan impulsif

Kecenderungan remaja melakukan

cyberbullying


(62)

Remaja 1.Perkembangan fisik 2.Perkembangan kognitif

3. Perkembangan sosioemosional

Dimensi openness to experience rendah

Remaja cenderung tidak kreatif, patuh pada aturan, dan bertindak sesuai dengan norma baik dan tidak baik

Kecenderungan remaja melakukan

cyberbullying rendah Agresi verbal rendah


(63)

F. Hippotesis

Berdasarkan uraian tersebut hipotesis yang peneliti ajukan adalah : 1. Ada hubungan antara dimensi extraversion dengan kecenderungan

remaja melakukan cyberbullying. Semakin tinggi skor extraversion maka akan memunculkan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying.

2. Ada hubungan antara dimensi openness to experience dengan kecenderungan remaja melakukan cyberbullying. Semakin tinggi skor

openness to experience maka akan memunculkan kecenderungan


(64)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Penelitian korelasional bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana variasi dari satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi (Sangadji, 2010). Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dua variabel yaitu cyberbullying dan dimensi kepribadian big five yaitu extraversion dan openness to experience.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : dimensi extraversion dan openness to experience dalam kepribadian big five

2. Variabel tergantung : cyberbullying

C. Definisi Operasional

1. Cyberbullying

Cyberbullying adalah bentuk dari tindakan bullying yang

menggunakan media elektronik dan alat komunikasi dan informasi seperti telepon seluler, email, chat rooms, blogs, game online, media sosial maupun pesan singkat yang digunakan oleh seseorang maupun kelompok


(65)

atau menyakiti orang lain. Cyberbullying tersebut diungkap dengan menggunakan skala kecenderungan menjadi pelaku cyberbullying dengan aspek yang merujuk pada sifat bullying yaitu intimidasi, power, dan kontinuitas yang kemudian disesuaikan dengan berbagai macam media elektronik dan komunikasi yang digunakan sehingga dapat menilai praktik cyberbullying. Skala dalam penelitian ini menggunakan skala terpakai cyberbullying Mawardah (2012). Semakin besar skor yang didapat maka tingkat kecenderungan melakukan tindakan cyberbullying semakin tinggi dan begitu sebaliknya.

2. Kepribadian Big Five

Kepribadian big five merupakan kepribadian yang memuat lima faktor kepribadian manusia yaitu Agreeableness, Extraversion, Neurotisicm, Openness to Experience dan Conscientiousnes. Kepribadian big five diungkap dengan menggunakan skala Kepribadian big five yang mengacu dari IPIP (the International Personality Item Pool). Semakin besar skor yang didapat maka semakin cenderung tinggi seseorang memiliki faktor kepribadian big five tersebut.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja dengan batasan usia 12-18 tahun dan telah menggunakan telepon seluler ataupun internet sekurang-kurangnya satu tahun. Menurut hasil penelitian, remaja dan anak muda pada rentang usia


(66)

tersebut cenderung mudah terlibat dalam tindakan cyberbullying (Price & Dalgleish, 2010). Selain itu, pengguna internet yang mayoritas menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan orang lain 91% diantaranya didominasi oleh remaja (Amanda Lenhart, 2012). Oleh karena itu peneliti mengambil subyek penelitian pada kategori remaja.

E. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah skala cyberbullying yang disusun menggunakan metode likert. Skala ini merupakan skala terpakai dari Mawardah (2012). Hal ini peneliti lakukan karena alat ukur tersebut sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin peneliti lihat dalam penelitian ini serta alat ukur tersebut telah memenuhi kriteria alat ukur yang baik. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang mampu memberikan informasi yang dapat dipercaya dan telah memenuhi beberapa criteria yaitu reliable, valid, standar, ekonomis dan praktis (Azwar, 2009). Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan skala kepribadian big five yang mengadaptasi dari IPIP ( the International Personality Item Pool). Skala kepribadian big five ini disusun oleh R. Goldberg.

1. Skala cyberbullying

Skala cyberbullying terdiri dari 47 pertanyaan dengan menggunakan 5 pilihan respon yaitu SL (selalu), SR (sering), KD (kadang-kadang), JR (jarang), dan TP (tidak pernah). Semua pernyataan terdiri dari 25 pernyataan favorable dan 22 pernyataan unfavorable.


(67)

Tabel 3.1 Penilaian skor jawaban favorable dan unfavorable

Pilihan jawaban Skor

Favorable Unfavorable

SL TP 4

SR JR 3

KD KD 2

JR SR 1

TP SL 0

Tabel 3.2 Komponen skala cyberbullying

Aspek Nomor aitem Total %

Favorable Unfavorable Intimidasi 1, 2, 3, 4, 5,

6, 7, 8, 9, 10

26, 27, 28, 29, 30, 31, 32

17 36

Power 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17

33, 34, 35, 36, 37, 38, 39

14 30

Kontiunitas 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25

40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47

16 34

Total 47 100 %

2. Skala Kepribadian Big Five

Skala big five yang digunakan mengadaptasi dan memodifikasi dari International Personality Item Pools (IPIP) yang dirancang oleh R. Goldberg. Skala ini dirancang dan dipublikasikan untuk memudahkan setiap peneliti dalam mengakses skala, mengadministrasikan dan skoring. Skala big five dari Goldberg ini telah


(68)

banyak digunakan oleh para peneliti beberapa diantaranya yaitu oleh Khotimah (2013), Herarti (2012), Prasasti (2011) dan Sari (2010). Skala ini mengukur lima dimensi kepribadian yaitu extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism dan openness to experience.

Skala big five disusun menggunakan metode likert yang terdiri dari 50 item. Setiap dimensi kepribadian terdiri dari 10 item yang disusun atas pernyataan-pernyataan favorable dan unfavorable. Skala big five memiliki 5 pilihan respon jawaban yaitu SKS (sangat kurang setuju), KS (kurang setuju), AST (antara setuju dan tidak setuju), AS (agak setuju), dan SS (sangat setuju).

Berikut ini adalah penilaian untuk setiap pilihan jawaban favorable dan unfavorable :

Tabel 3.3 Penilaian untuk jawaban favorable dan unfavorable

Pilihan Jawaban Skor

Favorable Unfavorable

SS SKS 5

AS KS 4

AST AST 3

KS AS 2

SKS SS 1

Skor tersebut dihitung berdasarkan skor total untuk setiap dimensinya. Semakin tinggi nilai skor total maka semakin cenderung tinggi seseorang memiliki faktor kepribadian big five tersebut.


(69)

Dimensi Nomor Item Total % Favorable Unfavorable

Extraversion 1, 11, 21,

31, 41

6, 16, 26, 36, 46 10 20 %

Agreeableness 7, 17, 27,

37, 42, 47

2, 12, 22, 32 10 20 %

Conscientiousness 3, 13, 23, 33, 43, 48

8, 18, 28, 38 10 20%

Neuroticism 9, 19 4, 14, 24, 29, 34,

39, 44, 49

10 20%

Openness to

experience

5, 15, 25, 35, 45, 50

10, 20, 30, 40 10 20%

Total 100%

F. Validitas dan Reliabititas Alat Ukur 1. Validitas

Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi. Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment (Azwar, 2009). Dalam skala pada penelitian ini validitas diuji dengan penilaian analisis rasional yang dilakukan oleh dosen pembimbing.

2. Seleksi item

Seleksi item pada penelitian ini dilakukan untuk menentukan item-item yang berkualitas. Batasan untuk menentukan item-item-item-item yang


(70)

tersebut dapat diturunkan menjadi 0,25 dengan suatu pertimbangan (Azwar, 2009). Berdasarkan hasil perhitungan dengan SPSS 16.0, didapatkan hasil item pada skala cyberbullying memiliki koefisien korelasi aitem-total (rix) sebesar 0,099 sampai 0,848. Sedangkan pada skala kepribadian big five memiliki koefisien korelasi aitem-total (rix) yang berkisar antara 0,45 sampai 0,568 untuk dimensi extraversion, antara 0,112 sampai 0,523 untuk dimensi agreeableness, antara 0,101 sampai 0,455 untuk dimensi conscientiousness, antara – 0,056 sampai 0,345 untuk dimensi neurotisicm dan antara 0,049 sampai 0,629 untuk dimensi openness to experience.

Berdasarkan hasil seleksi item untuk skala cyberbulying dengan batasan rxi ≥ 0,30 diperoleh 33 item yang lolos dan 14 item yang gugur. Sedangkan untuk skala kepribadian big five dengan batasan rxi ≥ 0,30 diperoleh 28 item yang lolos dan 22 item yang gugur.

Berikut ini adalah distribusi skala cyberbullying dan skala kepribadian big five berdasarkan hasil dari seleksi item yang telah dilakukan.

Tabel 3.5 Distribusi skala cyberbullying

Aspek Nomor item Total

Favorable Unfavorable

Intimidasi 1,6,7 26,27,28,29,30,31,32 10

Power 12,14,17, 33, 34,35,36,37,38,39 10

Kontinuitas 18,20,22,24,25 40,41,42,43,44,45,46,47 13


(71)

Tabel 3.6 Distribusi skala kepribadian big five

Dimensi Nomor item Total

Favorable Unfavorable

Extraversion 1,21 36,46 4

Agreeableness 7,17,27,42,47 2,12,32 8

Conscientiousness 3,13,23,43,48 8,18 7

Neuroticism 9 4,49 3

Openness to

Experience

15,25,35,50 10,30 6

Total 28

3. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan maupun konsistensi dari alat ukur, dengan kata lain reliabilitas merupakan sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas yang angkanya berada pada rentang angka 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi angka reliabilitasnya mendekati 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya, sebaliknya jika semakin rendah angka reliabilitasnya mendekati 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2009).

Pengujian reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik koefisien alpha cronbach. Dalam perhitungannya, didapatkan hasil


(72)

bahwa reliabilitas untuk skala kecenderungan cyber bullying sebesar 0,951 dan reliabilitas untuk skala kepribadian big five sebesar 0,832 .

G. Metode analisis data 1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat sebaran data pada variabel dependen dan variabel independen dalam penelitian ini.

Jika nilai signifikan (p) ≥ 0,05 maka data yang diperoleh

berdistribusi normal sedangkan jika nilai signifikan (p) ≤ 0,05

maka data yang diperoleh berdistribusi tidak normal. c. Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk melihat apakah hubungan antara skor variabel independen yaitu kepribadian big five dan variabel dependen yaitu cyberbullying merupakan garis linear atau

tidak. Jika nilai signifikan (p) ≤ 0,05 maka hubungan antara

variabel mengikuti garis linear. Sedangkan jika nilai signifikan (p)

≥ 0,05 maka hubungan kedua variabel dikatakan tidak linear.

2. Uji hipotesis

Uji hipotes dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi dengan menggunakan program SPSS windows versi 16.0.


(73)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Tryout

Sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan uji coba terhadap alat ukur . Uji coba alat ukur bertujuan untuk mendapatkan item-item yang valid dan reliable pada skala kepribadian big five dan skala cyberbullying. Uji coba alat ukur tersebut dilakukan pada subjek remaja di SMA Budya Wacana dan subjek remaja yang berusia 12-18 tahun yang sedang berada di pusat perbelanjaan di Yogyakarta pada tanggal 10 Februari 2015 dan 19 Februari 2015. Subjek yang digunakan dalam uji coba berjumlah 100 orang dan masing-masing subjek diberikan dua skala yaitu skala kepribadian big five dan skala cyberbullying.

B. Pelaksanaan Penelitian

Peneliltian ini dilaksanakan pada tanggal 15 April 2015 dan tanggal 2-5 Mei 2012-5. Skala tersebut diberikan kepada 160 siswa dengan rincian 94 siswa Sekolah Menengah Pertama di SMP Stella Duce 2 dan 66 siswa dari Sekolah Menengah Atas di Yogyakarta yaitu 34 siswa dari SMA Kolose De Brito dan 32 siswa dari SMA Stella Duce 1.


(1)

85

One-Sample Test

Test Value = 0

T df Sig. (2-tailed) Mean Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper kepribadian 104.523 159 .000 97.181 95.34 99.02 extraversion 63.053 159 .000 12.919 12.51 13.32 openness_to_experience 70.449 159 .000 21.025 20.44 21.61 cyberbullying 13.835 159 .000 26.288 22.53 30.04


(2)

86

Normalitas

1.

Kepribadian

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Kepribadian

N 160

Normal Parametersa Mean 97.18 Std. Deviation 11.761 Most Extreme

Differences

Absolute .078 Positive .078 Negative -.056 Kolmogorov-Smirnov Z .993 Asymp. Sig. (2-tailed) .278

a. Test distribution is Normal.

2.

Dimensi Ektraversion & Openennes to Experience

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

ektraversion

openeness_to_expe rience

N 160 160

Normal Parametersa Mean 12.92 21.02 Std. Deviation 2.592 3.775 Most Extreme

Differences

Absolute .107 .082 Positive .107 .082 Negative -.105 -.060 Kolmogorov-Smirnov Z 1.354 1.037 Asymp. Sig. (2-tailed) .051 .232 a. Test distribution is Normal.


(3)

3.

Cyberbullying

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Cyberbullying

N 160

Normal Parametersa Mean 26.29 Std. Deviation 24.035 Most Extreme

Differences

Absolute .172 Positive .172 Negative -.137 Kolmogorov-Smirnov Z 2.180 Asymp. Sig. (2-tailed) .000 a. Test distribution is Normal.


(4)

88

Linearitas

1.

Cyberbullying & Ektraversion

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

cyberbullying * ektraversion Between Groups (Combined) 11698.790 14 835.628 1.512 .114 Linearity 160.695 1 160.695 .291 .591 Deviation from Linearity 11538.095 13 887.546 1.606 .090 Within Groups 80151.985 145 552.772

Total 91850.775 159

2.

Cyberbullying & Openness to Experience

ANOVA Table

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

cyberbullying *

openeness_to_experience

Between Groups (Combined) 16120.954 19 848.471 1.569 .072 Linearity 5222.928 1 5222.928 9.656 .002


(5)

Deviation from Linearity 10898.026 18 605.446 1.119 .340 Within Groups 75729.821 140 540.927

Total 91850.775 159


(6)

90

Korelasi

1.

Ektraversion & Cyber bullying

Correlations

extrovert cyberbullying Spearman

's rho

extrovert Correlation Coefficient 1.000 -.026 Sig. (1-tailed) . .373

N 160 160

cyberbullying Correlation Coefficient -.026 1.000 Sig. (1-tailed) .373 .

N 160 160

2.

Opennes to experience & Cyberbullying

Correlations

opennes_to_

experience cyberbullying Spearman

's rho

opennes_to_experience Correlation

Coefficient 1.000 -.211

**

Sig. (1-tailed) . .004

N 160 160

Cyberbullying Correlation

Coefficient -.211

**

1.000

Sig. (1-tailed) .004 .

N 160 160