dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang
ada di masyarakat
2.1.7 Teori Hierarchy of Influence
Media pada dasarnya adalah cerminan dan refleksi dari masyarakat secara umum. Karena itu, media bukanlah saluran yang bebas, media juga subjek yang
mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Di dalam suatu pemberitaan, pembaca kerap berharap media bertindak
netral dan seimbang ketika memberitakan pihak-pihak yang berkonflik. Kecenderungan atau perbedaan setiap media dalam memproduksi informasi
kepada khalayak dapat diketahui dari pelapisan-pelapisan yang melingkupi institusi media. Pamela shoemaker dan Stephen D. Reese membuat “Hierarchy
of Influence yang menjelaskan hal ini :
Gambar 1 `Hierarchy of Influence” Pamela shoemaker dan Stephen D. Reese
Tingkat Ideologis Tingkat Ekstramedia
Tingkat Organisasi Tingkat Rutinitas Media
Tingkat Individual
1. Pengaruh individu-individu pekerja media. Diantaranya adalah karakteristik
pekerja komunikasi, latar belakang personal dan professional. 2.
Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi oleh kegiatan seleksi-seleksi yang dilakukan oleh komunikator,
termasuk tenggang waktu deadline dan rintangan waktu yang lain, keterbatasan tempat space, kepercayaan reporter pada sumber-sumber
resmi dalam berita yang dihasilkan. 3.
Pengaruh organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media adalah mencari keuntungan materiil. Tujuan-tujuan media akan berpengaruh pada
isi yang diberitakan 4.
Pengaruh dari luar organisasi media. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isi media. Pseudoevent dari praktisi public
relations dan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan di bidang pers. 5.
Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi disini diartikan sebagai mekanisme simbolik
yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan di dalam masyarakat Sobur, 2004:138-139.
2.1.8 Analisis Framing termasuk Paradigma Kontruktifis
Analisis framing termasuk paradigma konstruktifis. Dimana paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media den teks berita
yang dihasilkannya. Paradigma ini memandang realitas kehidupan bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Oleh karena itu,
konsentrasi analisis pada paradigma konstruktifis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi
dibentuk Eriyanto, 2003: 40. Konsep mengenai konstruktifisme diperkenalkan pertama kali oleh
seorang sosiolog interpretatif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Berger mencetuskan teori mengenai konstruksi sosial atas realitas yang
menyatakan : “Manusia tidak memiliki lingkungan yang spesifik. Setelah lahir,
individu harus” membangun hubungan-hubungan dengan dunianya untuk proses perkembangannya sebagai manusia karena itu manusia selalu
mengkonstruksi segala sesuatu yang tidak tersedia untuk dirinya dari alam. Hasil konstruksi ini akhirnya akan mempengaruhi dan membentuk
pikiran serta tindakan dalam interaksi sosial” Subiakto dalam Aprini, 2002 :37.
Titik perhatian pada paradigma ini adalah bagaimana masing masing pihak dalam lalu lintas komunikasi saling memproduksi dan mempertukarkan
makna. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial dimana
mereka berada. Intinya bagaimana pesan itu dibuat atau diciptakan oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif ditafsirkan oleh individu
sebagai penerima pesan. Eriyanto, 2002: 40.
2.1.9 Analisis Framing