PEMBINGKAIAN BERITA PEMBATALAN KUNJUNGAN KEPALA NEGARA KE BELANDA DI SURAT KABAR (Studi Analisis Framing Berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas).

(1)

Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN ”Veteran” Jawa Timur

Oleh :

RELITA ATMA HENDRICHA

NPM. 0743010211

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA 2010


(2)

HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

ABSTRAKSI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14

2.1 Landasan Teori ... 14

2.1.1 Surat Kabar sebagai Tanggung Jawab Sosial ... 14

2.1.2 Surat Kabar sebagai Kontrol Sosial ... 15

2.1.3 Media dan Konstruksi Realitas ... 17

2.1.4 Ideologi Media ... 18

2.1.5 Produksi Berita ... 19

2.1.6 Berita sebagai Hasil Konstruksi Realitas ... 25

2.1.7 Hubungan antara Media dan Politik ... 27

2.1.8 Teori Hierarchy of Influence ... 29

2.1.9 Analisi Framing ... 36

2.1.10 Model Framing Pan Kosicki ... 38

2.2 Kerangka Berfikir ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

3.1 Metode Penelitian ... 47

3.2 Definisi Operasional ... 48


(3)

v

3.5 Populasi dan Korpus ...……….. 49

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 50

3.7 Teknik Analisis Data ... 51

3.8 Langkah-langkah Analisis Framing ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 58

4.1 Gambaran Umum Jawa Pos dan Kompas ... 58

4.1.1 Sejarah Perkembangan Jawa Pos ... 58

4.1.1.1 Sebaran dan Profil Pembaca Jawa Pos ... 65

4.1.1.2 Kebijakan Redaksional ... 65

4.1.2 Sejarah Perkembangan Kompas ... 72

4.1.2.1 Sebaran dan Profil Pembaca Kompas ... 75

4.1.2.2 Kebijakan Redaksional ... 79

4.2 Hasil dan Pembahasan ... 83

4.2.1 Analisis Framing Berita Jawa Pos dan Kompas ... 84

4.2.1.1 Jawa Pos, edisi 6 Oktober 2010 ... 85

4.2.1.2 Jawa Pos, edisi 7 Oktober 2010 ... 93

4.2.1.3 Jawa Pos, edisi 8 Oktober 2010 ... 98

4.2.1.4 Frame Jawa Pos ... 104

4.2.1.5 Kompas, edisi 6 Oktober 2010 ... 106

4.2.1.6 Kompas, edisi 7 Oktober 2010 ... 112

4.2.1.7 Kompas, edisi 8 Oktober 2010 ... 117

4.2.1.8 Frame Kompas ... 123

4.3 Teori Hierarchy of Influence ... 125

4.4 Frame Jawa Pos dan Kompas ... 131

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

5.1 Kesimpulan ... 135

5.2 Saran ... 138


(4)

SURAT KABAR (Studi Analisis Framing Berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas) SKRIPSI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana wartawan membingkai dan mengkonstruksi berita-berita mengenai pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda secara mendadak. Peneliti berusaha melihat bagaimana Jawa Pos dan Kompas mengemas peristiwa pembatalan kunjungan kenegaraan ini. Analisis Framing sebagai metode analisis teks, metode penelitian kualitatif dengan paradigma konstruksionis.

Landasan teori yang digunakan adalah konsep tentang media massa dan konstruksi realitas berita sebagai hasil konstruksi berita dalam paradigma konstruksionis dengan ideologi media massa.

Metode penelitian yang digunakan analisis Framing model dari Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki dalam menganalisa pemberitaan mengenai pembatalan kunjungan kenegaraan ke Belanda ini. Dengan menggunakan empat struktur analisis yaitu sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Korpus dalam penelitian ini adalah berita-berita yang menjadi laporan utama pada surat kabar Jawa Pos dan Kompas mengenai berita pembatalan kunjungan negara ke Belanda edisi 6, 7 dan 8 Oktober 2010.

Hasil dari penelitian ini, yaitu bahwa surat kabar Jawa Pos menekankan frame obyektif, memiliki kecenderungan penekanan pada judul berita. Frame obyektif ini juga terlihat pada kritik yang banyak diulas dalam berita pembatalan kunjungan kenegaraan ke Belanda lebih detail dengan menuliskan pendapat dari beragam elite politik. Menampilkan gambar tetapi tidak ada tabel. Sedangkan surat kabar Kompas cenderung positif menanggapi peristiwa pembatalan kunjungan kenegaraan ini. Terlihat pada beritanya yang menyajikan sudut pandang dari semua pihak, baik dari pemerintah Indonesia, Belanda dan RMS, serta pernyataan yang mendukung keputusan Presiden. Kompas mengupasnya dengan menggunakan bahasa wartawan Kompas sendiri untuk memperjelas kutipan narasumber. Terdapat gambar dan tabel berita.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemberitaan Jawa Pos memunculkan kejadian yang paling panas untuk dijadikan headline dan tema beritanya. Sedangkan Kompas membentuk berita berita berdasarkan berbagai sudut pandang. Frame yang terbentuk adalah Jawa Pos dengan Frame obyektif dan Kompas dengan Frame positif.

Keyword : Framing, Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki


(5)

1   

 

1.1. Latar Belakang Masalah

Media adalah sebuah sistem komunikasi manusia yang saat ini telah kian penting di dunia. Media telah memainkan peranan penting dalam merombak tatanan sosial menjadi masyarakat serba massal, pengalaman primer telah digantikan oleh komunikasi sekunder, seperti media cetak, televisi, film dan radio (Rivers, 2003:323).

Secara teoritis, media massa bertujuan menyampaikan informasi dengan benar secara efektif dan efisien. Akan tetapi pada prakteknya apa yang disebut sebagai kebenaran ini sangat ditentukan oleh kepentingan survival media itu sendiri, baik dari pengertian politis maupun bisnis. Dalam kaitan ini kerap terjadi bahwa “kebenaran milik perusahaan” – dalam istilah Budi Susanto (1992:62) – menjadi penentu atau acuan untuk kebenaran-kebenaran lainnya. Atas kebenaran milik perusahaan itulah realitas yang ditampilkan media bukan sekedar realitas tertunda, namun juga realitas tersunting. Di belakang realitas tersunting ini terdapat pemilihan atas fakta atau informasi yang dianggap penting dan yang tidak dianggap penting, serta yang dianggap penting namun demi kepentingan survival menjadi tidak perlu disebarluaskan.

Ketika pers menjadi semakin bebas seperti sekarang ini, banyak media cetak lebih mengutamakan berita yang cenderung berbau sensasional. Masalah objektivitas pemberitaanpun menjadi perdebatan klasik dalam studi media. Salah


(6)

satu yang mewakili perdebatan dua pandangan – pro dan kontra objektivitas – adalah John C. Meriil dan Everette E. Dennis. Meriil berpendapat jurnalisme objektif, mulai dari pencarian berita, peliputan, penulisan, sampai penyuntingan berita. Nilai-nilai subjektif wartawan ikut mempengaruhi semua proses kerja jurnalistik. Sebaliknya, Dennis mengatakan, jurnalisme objektif bukan sesuatu yang mustahil, karena semua proses kerja jurnalistik pada dasarnya dapat diukur dengan nilai-nilai objektif, misalnya memisahkan fakta dan opini, menghindari pandangan emosional dalam melihat peristiwa dan memberikan prinsip keseimbangan dan keadilan, serta melihat peristiwa dari dua sisi. Dennis percaya, jurnalisme objektif mungkin jika mengadopsi metode dan prosedur yang dapat membatasi subjektifitas wartawan maupun redaktur (Siahaan, 2001:60-61).

Untuk membuat informasi menjadi lebih bermakna biasanya sebuah media cetak melakukan penonjolan-penonjolan terhadap suatu berita. Dalam pengambilan keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi para wartawan yang terlibat dalam proses produksi sebuah berita (Sobur, 2001:163).Hal ini terlihat pada banyaknya media yang akhir-akhir ini memberitakan peristiwa pembatalan kunjungan negara ke Belanda secara mendadak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini dikarenakan akan adanya pergerakan di Den Haag yang mengajukan tuntutan ke pengadilan yang mempersoalkan masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan sejumlah warga Belanda dan organisasi termasuk Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam gugatan tersebut RMS menuntut Presiden Yudhoyono juga ditangkap. Gugatan yang disidangkan di pengadilan Den Haag hari Selasa


(7)

kemarin itulah yang membuat Presiden Yudhoyono menjadwal ulang untuk memenuhi undangan Ratu Beatrix. Presiden baru akan berkunjung bila sidang RMS itu berakhir.

Oleh karena itu, Presiden membatalkan kunjungan negara sesaat sebelum keberangkatan. Rencananya, Presiden akan berkunjung ke Belanda untuk memenuhi undangan Ratu Beatrix dan Perdana Menteri Belanda tanggal 5-9 Oktober 2010. Dalam Kompas edisi 6 Oktober 2010, Presiden Yudhoyono beranggapan bahwa digelarnya pengadilan itu adalah sesuatu yang menyinggung harga diri bangsa Indonesia.

RMS menuntut Presiden Yudhoyono karena melanggar hak-hak asasi manusia di Maluku. Sebanyak 93 orang dipenjara karena mereka berdemonstrasi

secara damai bagi Republik Maluku Selatan. Data ini berdasarkan laporan dari

Amnesty International dan Human Rights Watch.

Jawa Pos melihat berita pembatalan kunjungan Presiden ke Belanda ini

dari beberapa sudut pandang. Ada berbagai pendapat yang dilontarkan dari dalam

pihak Indonesia sendiri maupun dari pihak Belanda. Kebanyakan mengkritik dan

menyayangkan keputusan Presiden membatalkan kunjungan Negara di

menit-menit akhir sebelum pemberangkatan. Seperti pada Jawa Pos edisi 6 Oktober

2010 :

“Penundaan keberangkatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda pada menit-menit terakhir kemarin (5/10) dianggap menampar diri sendiri. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana SH LLM PhD.”


(8)

Jawa Pos lebih memberikan sudut pandang yang mengkritik pembatalan

kunjungan Negara yang dilakukan presiden Yudhoyono secara mendadak. Hal ini

menimbulkan beragam pendapat.

Kompas lebih netral dalam menyajikan berita mengenai pembatalan

kunjungan Negara ini dengan tidak banyak membahas tentang kritikan yang

diserukan, tetapi lebih banyak membahas tentang bagaimana kondisi politik di

Indonesia pasca pembatalan kunjungan kenegaraan itu serta hubungan kerja sama

antara Indonesia dan Belanda. Selain itu Kompas juga lebih banyak membahas

dari pihak Republik Maluku Selatan (RMS) mengenai tuntutannya pada Presiden

Yudhoyono. Akan tetapi Kompas juga memberikan pandangan berbeda melalui

narasumber mengenai pembatalan kunjungan kenegaraan ini. Seperti pada

Kompas edisi 7 Oktober 2010 :

“Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi menilai, pembatalan kunjungan ke Belanda merupakan langkah yang tepat. Pembatalan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dapat dilihat sebagai reaksi terhadap sikap pemerintah Belanda.”

Pembatalan kunjungan ini juga menimbulkan reaksi dan pendapat

beragam, apalagi ini menyangkut Republik Maluku Selatan yang telah

memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jawa Pos edisi 7

Oktober 2010 memuat :

“Sementara itu, pembatalan kunjungan kenegaraan Presiden SBY diharapkan menjadi pembelajaran bagi pemerintah Belanda agar tidak memberikan ruang gerak kepada kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS).”


(9)

Sedangkan Kompas mengutip pernyataan Wakil Direktur Human Rights

Working Group Choirul Anam dan Ketua Badan Pekerja Setara Institute Hendardi

pada edisinya 6 Oktober 2010 :

“…Selasa, menilai pembatalan kunjungan Presiden itu adalah tindakan berlebihan. Pembatalan itu justru memberikan ruang kepada RMS dan Presiden buruk. Presiden semestinya tak perlu khawatir soal proses peradilan.”

Pada perkembangan selanjutnya pasca terjadinya pembatalan kunjungan

kenegaraan ke Belanda, timbul reaksi dari pihak Belanda juga dari pihak

Indonesia sendiri. Para tokoh elite politik mengungkapkan beragam pendapat. Hal

ini juga menyangkut rencana penjadwalan ulang kunjungan kenegaraan tersebut.

Jawa Pos edisi 8 Oktober 2010 memuat penegasan yang diungkapkan oleh Menlu

Marty Natalegawa :

“Soal penjadwalan ulang kunjungan ke Belanda, Marty menyebut bergantung pada perkembangan selanjutnya. “Biarkan semua mengalir. Pemerintah Indonesia tidak tergesa-gesa menjadwal ulang kunjungan. Kita biarkan untuk memastikan segala sesuatunya sudah betul-betul diatasi,” ujar Marty.”

Kompas edisi 8 Oktober 2010 juga memuat pendapat yang berbeda dalam

menanggapi rencana penjadwalan ulang kunjungan kenegaraan ini :

“Di tempat terpisah, mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menyarankan agar sesegera mungkin SBY ke Belanda. “Harus segera ke Belanda kalau sudah mendapatkan waktu yang tepat,” kata Jusuf Kalla saat ditemui seusai peresmian Gerai Palang Merah Indonesia di Bekasi, Kamis.”

Adanya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Maluku dan Papua menjadi alasan RMS menuntut agar Presiden Yudhoyono ditangkap setibanya di Belanda. Hal ini bermula ketika RMS bermaksud untuk memisahkan


(10)

diri dari Negara Indonesia Timur. Selain itu pengajuan kasus itu berdasarkan penilaian bahwa Presiden Yudhoyono sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas tewasnya aktivis RMS di Maluku pada Juni 2010. Salah satu contoh peristiwa yang dianggap melanggar HAM adalah pada saat digelarnya upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Yudhoyono, beberapa aktivis RMS menari tarian Cakalele dan tiba-tiba mengibarkan bendera RMS. Aparat mengusir dan berusaha mengamankan penari-penari itu. Beberapa orang yang berusaha kabur dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat.

Isu yang dibentuk dan dikonstruksikan oleh media disini adalah mengenai peristiwa pembatalan kunjungan kenegaraan ke Belanda oleh Presiden Yudhoyono. Dengan segala tanggapan dan respon yang diberikan masyarakat akibat peristiwa ini.

Untuk melihat perbedaan media dalam mengungkap suatu peristiwa (realitas) peneliti memilih analisis framing sebagai metode penelitian. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut (Eriyanto, 2004:224).

Dengan menggunakan analisis framing, akan jelas bahwa masing-masing media, baik cetak maupun elektronik, punya “penangkapan” tersendiri tentang berita apa yang perlu ditonjolkan dan dijadikan fokus dan mana yang harus disembunyikan bahkan dihilangkan. Begitu pula dengan bagaimana cara sebuah


(11)

isu dituturkan dan ditayangkan, pasti setiap media memiliki angle, cara dan gaya masing-masing yang saling berbeda, meskipun perbedaan itu tidak terlalu signifikan terlihat.

Menurut Zhongdang dan Kosicki, framing dapat dipelajari sebagai suatu strategi untuk memproses dan mengkonstruksi wacana berita atau sebagai karakteristik wacana itu sendiri. Tidak jauh berbeda dengan Zhongdang dan Kosicki, Robert M. Entman juga menyatakan, frame berita muncul pada dua level. Pertama, secara mental menyimpan prinsip-prinsip pemrosesan informasi dan kedua sebagai karakteristik teks berita. Frame juga menjelaskan atribut-atribut berita itu sendiri. Frame terletak di dalam property spesifik berita naratif yang mengarahkan perasaan dan pemikiran mengenai peristiwa-peristiwa untuk membangun pengertian khusus (Siahaan, 2001:77).

Bahasa adalah unsur utama dalam proses konstruksi realitas. Bahasa merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat narasi atau alat konseptualisasi. Jika dicermati secara teliti, seluruh isi media baik media cetak maupun elektronik menggunakan bahasa, baik bahasa verbal (kata-kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non verbal (gambar, foto, gerak-gerik, atau tabel).Penggunaan bahasa tertentu berimplikasi pada bentuk konstruksi realitas dan makna yang dikandungnya. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas ikut menentukan struktur konstruksi realitas dan makna yang muncul darinya. Dari perspektif ini, bahkan bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus dapat menciptakan realitas (Hamad, 2004:12-14).


(12)

Hal ini sejalan dengan pendapat Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki yang melihat framing sebagai cara untuk mengetahui bagaimana suatu media mengemas berita dan mengkonstruksi realitas melalui pemakaian strategis kata, kalimat, lead, hubungan antar kalimat, foto, grafik dan perangkat lain untuk membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami oleh pembaca.

Pemilihan isu tergantung pada prioritas masing-masing surat kabar. Mengingat salah satu fungsi media massa adalah sebagai kontrol sosial, wajar jika kemudian berharap kepentingan masyarakat memperoleh perhatian lebih. Apalagi jika melihat dampaknya, terpaan media massa berpotensi mempengaruhi kerangka berfikir dan pendapat publik. Sebaliknya, ketika isu-isu tertentu kurang ditonjolkan media massa, publik akan cenderung ikut “melupakan”-nya. Disinilah posisi media massa memegang peranan penting sebagai mediator masyarakat dan pengambil kebijakan.

Oleh sebab itu, berita mengenai pembatalan kunjungan kenegaraan ke Belanda secara tiba-tiba oleh presiden menjadi topik utama di berbagai media massa. Karena ini adalah peristiwa yang mungkin baru pertama kali terjadi dalam sejarah kepresidenan di Indonesia, dimana seorang presiden membatalkan kunjungan ke luar negri pada menit-menit terakhir. Masyarakatpun merespon hal ini dengan antusias dengan melontarkan beragam kritik, pendapat dan sikap yang dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat seperti tokoh politik, tokoh masyarakat maupun masyarakat itu sendiri. Berita ini tentunya memiliki nilai jual yang tinggi bagi media massa tak terkecuali media cetak, sehingga pandangan dan


(13)

cara berpikir antara individu satu dengan lainnya berbeda pula sesuai dengan konstruksi media massa masing-masing terhadap berita penangkapan tersebut. Disini peneliti memilih surat kabar Jawa Pos dan Kompas sebagai media analisis framing mengenai pembatalan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda secara tiba-tiba.

Jawa Pos sebagai koran yang menyatakan ideologi pasar atau ideologi oplah maka Jawa Pos memiliki idealisme dalam penerbitannya (Suwardi, 2004:153). Jawa Pos merupakan harian terbesar di Jawa Timur dan terbesar kedua di Indonesia, dengan sirkulasi sekitar 350.000 eksemplar setiap harinya. Sedangkan harian Kompas merupakan surat kabar yang terkenal dan netral serta objektif dalam menuliskan beritanya (Flourney dalam sugihari, 2002:17). Selain itu Kompas merupakan harian yang memiliki gaya cenderung “tertutup” dan bersahaja dalam menggambarkan realitas yang terjadi pada masyarakat. Kompas juga memiliki reputasi dalam analisis dan gaya penulisan yang rapi. Harian Kompas sangat diakui keberadaannya di Indonesia dan tegas menulis realitas. Kompas termasuk media yang menganut system both side cover menyajikan dua sisi yang berbeda (Oetama, 2001:121). Kompas merupakan pers nasional yang mempunyai visi dalam keredaksionalnya yaitu manusia dan kemanusiaan, sehingga harian ini berusaha untuk senantiasa peka akan nasib manusia dan mengingatkan yang mapan (Oetama, 2001:147).

Perbedaan harian Jawa Pos dengan Kompas dalam mengkonstruksi atau membingkai berita dikarenakan adanya perbedaan cara pandang wartawan, perbedaan visi dan misi, serta perbedaan kebijakan redaksi dari masing-masing


(14)

media. Pada dasarnya, kebijakan redaksilah yang menentukan berita mana yang layak dijadikan headline dalam sebuah surat kabar. Kebijakan ini ditentukan oleh dewan redaksi yang terdiri dari unsur-unsur direksi, redaktur, pemasaran, iklan dan sebagainya. Kecenderungan yang muncul tersebut bisa dikarenakan dua hal. Pertama, banyak media pers tersubordinasi ideologi-ideologi ekonomi tertentu meski bukan organisasi politik atau pemerintah., sehingga tidak independen lagi. Kedua, adanya pertumbuhan redaksi. Kebijakan redaksional sangat mempengaruhi bentuk dan jenis pemberitaan yang dimuat dalam suatu media. Redaksi mempunyai hak menyortir suatu berita yang layak siar atau layak cetak. Jika orang-orang yang duduk di redaksi mempunyaisuatu ideologi tertentu, secara otomatis berita yang dihasilkan pun juga sesuai dengan keinginan redaksi (Pareno, 2003:92).

Hal ini tampak pada headline kedua media tersebut. Jika harian Kompas edisi 6 Oktober 2010 memberi judul “Presiden Batal ke Belanda”, sedangkan headline harian Jawa Pos pada edisi yang sama memberi judul “SBY Tak Berani ke Belanda”.

Selain itu tampak pada harian Kompas edisi 8 Oktober 2010, yang tidak menampilkan berita pembatalan kunjungan Negara ke Belanda pada halaman utama tapi justru meletakannya di halaman politik. Padahal pada surat kabar Jawa Pos edisi 6, 7 dan 8 Oktober selalu meletakkan berita itu di halaman utama. Jika dilihat dengan seksama, headline Kompas pada edisi 8 Oktober 2010 tersebut memuat tentang kemacetan di Jakarta. Akan tetapi Jawa Pos justru menampilkan berita tentang kedatangan Miss Universe ke Indonesia serta pemilihan Puteri


(15)

Indonesia sebagai headline pada edisi 7 dan 8 Oktober 2010. Disini tampak kepentingan dan ideologi redaksional mempengaruhi penyajian produk berita yang menaungi media massa masing-masing.

Harian Kompas dan Jawa Pos juga menambahkan tabel dan foto dalam setiap beritanya mengenai pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda selama ini sehingga masyarakat bisa menelaah informasi dengan lebih mudah dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang ada.

Tema-tema penulisan judul serta pemakaian kata atau kalimat yang dipakai oleh Kompas dan Jawa Pos memiliki perbedaan yang bisa menimbulkan makna konotasi dan denotasi. Harian Kompas menyajikan berita pembatalan kunjungan negara ini cenderung menggunakan kata-kata atau kalimat yang lebih bersahaja dan tidak mempunyai makna konotasi yang buruk. Sedangkan Jawa Pos terkadang menggunakan kata-kata atau kalimat yang lebih berani seperti pada headline Jawa Pos edisi 6 Oktober 2010, contohnya :“Presiden Tak Berani ke Belanda”.

Media bukanlah seperti yang digambarkan, memberitakan apa adanya, cermin realitas. Media yang kita lihat, justru mengkonstruksi realitas sedemikian rupa. Tidak mengherankan jika setiap hari secara terus-menerus terlihat bagaimana peristiwa yang sama diberlakukan secara berbeda oleh media. Ada peristiwa yang diberitakan, ada yang tidak diberitakan. Ada yang menganggap penting, ada yang tidak menganggap sebagai berita. Ada peristiwa yang dimaknai secara berbeda, dengan titik perhatian yang berbeda. Kenyataan ini menyadarkan kita betapa subjektifnya media. Mengetengahkan perbedaan semacam ini tentu


(16)

bukan menekankan bias atau distorsi dari pemberitaan media. Ini dipaparkan untuk memberikan ilustrasi bagaimana berita yang kita baca setiap hari telah melalui proses rekonstruksi.

Dari permasalahan tersebut, peneliti bermaksud meneliti bagaimana media cetak melakukan konstruksi atau pembingkaian realitas pemberitaan tentang pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda. Adapun media yang digunakan adalah harian Kompas dan Jawa Pos edisi 6, 7 dan 8 Oktober 2010.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

“Bagaimana pembingkaian berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda pada Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas edisi 6, 7 dan 8 Oktober 2010”.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

“Mengetahui pembingkaian berita Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda pada Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas edisi 6, 7 dan 8 Oktober 2010”.


(17)

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan ciri ilmiah pada sebuah penelitian ilmiah dengan mengaplikasikan teori-teori khususnya teori komunikasi tentang pemahaman pesan yang dikemas melalui analisis framing.

1.4.2. Manfaat Praktis

Kegunaan praktis dalam penelitian ini adalah untuk memberikan sudut pandang baru dalam menilai objektifitas pemberitaan.


(18)

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Surat Kabar sebagai Tanggung Jawab Sosial

Surat kabar merupakan kumpulan dari berita, cerita, artikel, iklan dan sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang diterbitkan secara teratur, bisa terbit setiap hari atau seminggu sekali (Djuroto, 2002:11).

Pada ilmu komunikasi khususnya studi komunikasi massa, surat kabar merupakan salah satu kajiannya. Dalam buku “Ensiklopedi Pers Indonesia” disebutkan bahwa pengertian surat kabar sebagai sebutan bagi penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak yaitu berupa lembaran-lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan yang diterbitkan secara berkala : bisa harian, mingguan, bulanan, serta diedarkan secara umum (Junaedhi, 1991:257).

Pada perkembangannya, surat kabar menjelma sebagai salah satu bentuk dari pers yang memiliki kekuatan dan kewenangan untuk menjadi sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini disebabkan adanya falsafah pers yang selalu identik dengan kehidupan sosial, politik dan budaya.

Pengertian tanggung jawab sosial sendiri adalah peran atau tugas yang dibawa oleh pers surat kabar dalam memberikan suatu berita pada khalayak umum. Menurut Encip, secara eksplisit tanggung jawab social itu menyangkut kualitas penerbitan, tidak hanya tentang objektivitas berimbang, ketepatan, kejelasan, kejujuran dan kelengkapan, tetapi juga mengenai nilai-nilai berita yang


(19)

dikandung oleh suatu peristiwa yang menjadi berita. Untuk objektivitas berita banyak ditentukan oleh cover both side dan oleh ketakberpihakan (Encip dalam Jurnal ISKI, edisi 5 Oktober 2000:48).

2.1.2. Surat Kabar sebagai Kontrol Sosial

Idealisme yang melekat pada pers dijabarkan dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi yang objektif dan edukatif, menghibur, melakukan kontrol sosial yang konstruktif dengan menyalurkan segala aspirasi masyarakat, serta mempengaruhi masyarakat dengan melakukan komunikasi dan peran positif dari masyarakat itu sendiri (Effendy, 2003:149).

Sementara dalam Jurnalistik Indonesia (Sumadiria, 2005:32-35) menunjukkan 5 (lima) fungsi dari pers, yaitu :

1. Fungsi informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya, yang aktual, akurat, faktual dan bermanfaat.

2. Fungsi edukasi, informasi yang disebarluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers harus mau dan mampu memerankan dirinya sebagai guru pers.

3. Fungsi hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan masyarakat.

4. Fungsi control sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa


(20)

menyalahkan ketika melihat penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara.

5. Fungsi mediasi, dimaksudkan disini adalah pers mampu menjadi fasilitator atau mediator yang menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain, peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu dengan orang yang lain.

Kontrol sosial menurut J.S. Roucek dalam pengendalian sosial (1987:2) adalah sekelompok proses yang direncanakan atau tidak yang mana individu diajarkan atau dipaksa tidak menerima cara-cara dan nilai kehidupan kelompok.

Dari definisi ini menonjol sifat kolektif dan usaha kelompok untuk mempengaruhi individu agar tidak menyimpang dari apa yang oleh kelompok dinilai sangat baik. Dalam hubungan ini individu bahkan kalau diperlukan dapat dipaksa untuk bertindak bertentangan dengan keinginannya untuk mengikuti nilai-nilai yang benar menurut kepentingan bersama.

Sedangkan pengertian lain dari kontrol sosial adalah tekanan mental terhadap individu dalam bersikap dan bertindak sesuai penilaian kelompok. Dalam hal ini sebenarnya kontrol sosial bertujuan untuk :

1. Menyadarkan individu tentang apa yang sedang dilakukannya. 2. Mengadakan himbauan kepada individu untuk mengubah sikap diri. 3. Perubahan sikap yang kemudian diusahakan untuk menjadi norma

baru.


(21)

2.1.3. Media dan Konstruksi Realitas

Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukan hanya sekedar saluran yang bebas, tapi juga subyek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihaknya. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam mendefinisikan aktor dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu (Eriyanto, 2005:24).

Isi media merupakan hasil para pekerja dalam mengkonstruksi berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebagai berita, diantaranya realitas politik. Hal ini disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi (constructed reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman dalam Sobur, 2001:88). Isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan menggunakan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan hanya sebagai alat mempresentasikan realitas, namun juga bisa menetukan relief seperti apa yang diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksinya (Sobur, 2001:91).


(22)

2.1.4. Ideologi Media

Konsep ideologi dalam sebuah insitusi media massa ikut berpengaruh dalam menentukan arah dan isi pemberitaan yang akan disampaikan kepada pembaca. Hal ini disebabkan karena teks, percakapan dan lainnya adalah bentuk dari praktek ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2005:13).

Dalam pembuatan berita selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau bahkan media yang bersangkutan. Ideologi ini menentukan aspek fakta dipilih dan membuang apa yang ingin dibuang. Artinya jika seorangwartawan menulis berita dari satu sisi, menampilkan sumber dari satu pihak dan memasukkan opininya pada berita, semua itu dilakukan dalam rangka pembenaran tertentu. Dapat dikatakan media bukanlah merupakan sarana yang netral dalam menampilkan kekuatan dan kelompok dalam masyarakat secara apa adanya tetapi kelompok dan ideologi yang dominant dalam media itulah yang akan ditampilkan dalam berita-beritanya (Eriyanto, 2005:90).

Pada kenyataannya, berita di media massa tidak pernah netral dan objektif. Dilihat dari bahasa jurnalistik, dalam media selalu dapat ditemukan adanya pemilihan fakta tertentu dan membuang aspek fakta lain yang mencerminkan pemilihan media pada salah satu kelompok atau ideologi tertentu. Bahasa ternyata tidak pernah lepas dari subyektifitas wartawan dalam mengkonstruksi realitas. Dengan mengetahui bahasa yang digunakan oleh berita, pada saat itu juga kita menemukan ideologi yang dianut oleh wartawan dan media yang bersangkutan.

Konsep ideologi bisa membantu menjelaskan mengapa wartawan memilih fakta tertentu untuk ditonjolkan daripada fakta yang lain, walaupun hal itu


(23)

merugikan pihak lain, menempatkan sumber berita yang satu lebih menonjol daripada sumber yang lain, ataupun secara nyata atau tidak melakukan pemihakan kepada pihak tertentu. Artinya ideologi wartawan dan media yang bersangkutanlah yang secara strategis menghasilkan berita-berita seperti itu. Disini dapat dikatakan bahwa media merupakan inti instrumen ideologi yang tidak dipandang sebagai zona netral dimana berbagai kelompok dan kepentingan ditampung, tetapi media lebih sebagai subyek yang mengkonstruksi realitas atas penafsiran wartawan atau media sendiri untuk disebarkan kepada khalayak (Eriyanto, 2005:92).

2.1.5. Produksi Berita

Tahap paling awal dari produksi berita adalah bagaimana wartawan mempersepsi peristiwa atau fakta yang akan diliput. Tahap ini melibatkan konsepsi wartawan yang menentukan batasan-batasan mana yang dianggap berita dan mana yang tidak. Peristiwa, dalam lapangan jurnalistik, bukanlah realitas yang nyata. Ia adalah fenomena interpretasi yang melibatkan aktivitas kompleks. Peristiwa adalah bagian dimana seseorang mendefinisikan sesuatu dan menyatakan bahwa ini adalah kenyataan (Eriyanto, 2002:102). Individu dan sesama jurnalis mempunyai pandangan yang sama sehingga ia bisa menentukan mana peristiwa dan mana yang tidak bisa dianggap sebagai peristiwa. Oleh karena itu, berita melalui proses produksi berikut ini merupakan peristiwa yang telah ditentukan sebagai berita, bukan peristiwa itu sendiri.

Rutinitas Organisasi. Ada banyak faktor mengapa peristiwa tertentu diberitakan sementara yang lainnya tidak. Lebih banyak semua proses seleksi dan


(24)

sortir itu terjadi dalam suatu rutinitas kerja keredaksionalan, suatu bentuk rutinitas organisasi. Setiap hari institusi media secara teratur memproduksi berita, dan proses seleksi itu adalah bagian dari ritme dan keteraturan kerja yang dijalankan setiap harinya sebagai bagian untuk mengefektifkan organisasi media mengkategorisasikan peristiwa dalam kategori atau bidang tertentu. Wartawan dibagi dalam beberapa departemen, dari ekonomi sampai olahraga supaya mereka menghasilkan laporan yang berhubungan dengan bidangnya tersebut. Wartawan juga diklasifikasikan sebagai koresponden daerah dan nasional, dan seterusnya. Praktek organisasi semacam ini yang semula dimaksudkan sebagai pembagian kerja, efektivitas dan pelimpahan wewenang, akhirnya berubah menjadi bentuk seleksi tersendiri.

Nilai Berita. Seperti kerja profesional lainnya, wartawan dan orang yang bekerja di organisasi media juga memiliki batasan profesional untuk menilai kualitas pekerjaan mereka. Peristiwa yang akan disajikan oleh wartawan harus memenuhi nilai berita (news values) untuk dianggap sebagai berita. Nilai-nilai berita bukan hanya menentukan peristiwa apa saja yang diberitakan, melainkan juga bagaimana peristiwa itu dikemas. Hanya peristiwa yang memiliki aturan-aturan tertentu saja yang layak dan bisa disebut sebagai berita. Ini adalah prosedur pertama dari bagaimana peristiwa dikonstruksi (Eriyanto, 2002:104).

Sebuah peristiwa yang mempunyai unsur nilai berita paling banyak dan paling tinggi lebih memungkinkan untuk ditempatkan dalam headline, sedangkan berita yang tidak memiliki unsur nilai berita atau nilai beritanya tidak tinggi akan


(25)

dibuang. Jadi nilai berita itu bukan hanya menjadi ukuran dan standar kerja, melainkan juga telah menjadi ideologi dari kerja wartawan.

Berhubungan dengan orientasi media dengan khalayak, Shoemaker dan Reese mengungkapkan bahwa nilai berita adalah elemen yang ditujukan kepada khalayak (Eriyanto, 2006:105). Memproduksi berita tidak berbeda dengan memproduksi barang, keduanya ditujukan pada khalayak. Nilai berita adalah produk dari konstruksi wartawan. Secara umum, nilai berita sebagai berikut :

1. Prominace, nilai berita diukur dari kebesaran peristiwanya atau arti pentingnya. Peristiwa yang diberitakan adalah peristiwa yang dipandang penting. Misalnya kecelakaan pesawat adalah berita, sementara kecelakaan sepeda motor bukanlah berita.

2. Human Interest, peristiwa yang diberitakan lebih banyak mengandung unsur haru, sedih dan menguras emosi khalayak. Misalnya abang becak yang mengayuh becaknya dari Surabaya ke Jakarta merupakan berita, sementara abang becak yang mengayuh becak keliling Surabaya bukan berita.

3. Conflict/Controvercy, peristiwa yang mengandung konflik lebih potensial disebut berita daripada peristiwa yang biasa-biasa saja. Misalnya kerusuhan antara etnis Madura dan etnis Dayak disebut berita, sementara pertengkaran antar ibu-ibu bukan berita.

4. Unusual, berita harus mengandung peristiwa yang tidak biasa dan jarang terjadi. Seorang ibu melahirkan 5 bayi kembar adalah berita,


(26)

sementara ibu yang melahirkan 1 bayi itu sudah umum dan wajar, jadi hanya berita biasa.

5. Proximity, peristiwa yang lebih dekat lebih layak diberitakan daripada peristiwa yang jauh, baik dari segi fisik maupun emosional dengan khalayak.

Nilai berita tersebut merupakan produk dari konstruksi sosial. Ia menentukan apa yang layak dan apa yang tidak layak disebut berita. Nilai berita membatasi peristiwa mana yang layak disebut berita dan mana yang tidak.

Kategori Berita. Selain nilai berita, hal prinsip lain dalam proses produksi berita adalah apa yang disebut sebagai kategori berita. Secara umum, menurut Tuchman, wartawan memakai lima kategori berita : hard news, soft news, spot news, developing news, dan continuing news (Eriyanto, 2002:109) :

1. Hard news : Kategori ini merupakan berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu sehingga sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Ukuran keberhasilannya adalah seberapa cepat berita ini disampaikan. Peristiwa yang masuk dalam kategori ini bisa peristiwa yang direncanakan (Sidang Paripurna, Penyidikan oleh KPK), bisa juga peristiwa yang tidak direncanakan (bencana alam, kerusuhan).

2. Soft news (Feature) : kategori ini berhubungan dengan kisah manusiawi (human interest). Soft news tidak dibatasi waktu dan aktualitas. Ia bisa dieritakan kapan saja, karena ukurannya bukan kecepatan penyampaian berita melainkan apakah informasi yang disajikan menyentuh emosi khalayak. Peristiwa yang diberitakan adalah peristiwa yang menarik,


(27)

seperti harimau langka yang melahirkan atau orang buta yang menyelesaikan studi Strata tiga.

3. Spot news : Spot news merupakan bagian dari hard news. Dalam spot news peristiwa yang akan diliput tidak bisa direncanakan , misalnya bencana alam dan tindak kriminal.

4. Developing news : Developing news juga merupakan bagian dari hard news. Ia juga memberitakan peristiwa yang tidak direncanakan. Namun, developing news merupakan berita lanjutan dari berita sebelumnya yang telah ditambahi elemen-elemen lain. Misalnya berita pertama menceritakan kecelakaan bis yang menewaskan 23 penumpangnya di Tuban, kemudian dilanjutkan oleh berita selanjutnya yang mencantumkan daftar nama-nama korban, dan seterusnya.

5. Continuing news : Continuiting news juga bagian dari hard news. Ia memberitakan peristiwa mana yang direncanakan. Satu peristiwa bisa terjadi kompleks dan tidak terduga tapi mengarah pada satu tema tertentu. Misalnya peristiwa Sidang Istimewa.

Kategori berita tersebut diatas dipakai untuk membedakan jenis isi berita dan subyek peristiwa yang menjadi berita. Wartawan memakai kategori berita untuk menggambarkan peristiwa yang akan digunakan sebagai berita. Berdasarkan kategori tersebut, wartawan kemudian menentukan apa yang harus dilakukan, persiapan yang dibutuhkan untuk menghasilkan dan menangkap peristiwa tersebut. Setiap kategori tersebut menentukan kontrol kerja.


(28)

Ideologi Profesional/Obyektifitas. Standard professional berhubungan dengan jaminan yang ditekankan kepada khalayak bahwa apa yang disajikan adalah suatu kebenaran. Obyektifitas dalam proses produksi berita secara umum digambarkan sebagai tidak mencampuradukkan antara fakta dan opini. Berita adalah fakta dan karenanya dalam proses pencarian berita dan penulisan berita sama sekali tidak boleh terdapat opini. Upaya memisahkan fakta dan opini ini biasanya dijabarkan dengan beberapa prosedur. Pertama, dengan melakukan reportase baik lewat pengamatan maupun dengan wawancara. Seringkali pengamatan itu ditekankan dengan kata-kata, seperti langsung dari lapangan. Sedangkan wawancara dengan sumber diberi tanda kutip untuk menekankan bahwa apa yang tersaji adalah yang tergambar di lapangan, bukan rekaan dari wartawan. Kedua, pendapat antara satu sumber dikontraskan dengan sumber lain. Ini seringkali dikatakan sebagai liputan dua sisi (cover both sides). Wartawan mewawancarai sumber yang saling berseberangan untuk menekankan bahwa berita ini tidak memiliki satu sisi.

Perangkat seperti obyektifitas ini adalah ideologi yang dipercaya wartawan, bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah upaya untuk mencapai kebenaran. Setelah seluruh prosedur dilakukan bisa jadi tetap tidak ada kebenaran yang pasti. Hal ini seperti kerja dokter yang telah melakukan seluruh prosedur namun tidak ada jaminan diagnosa yang dokter katakan benar adanya. Tuchman menyebut prosedur ini sebagai ’ritual’ karena ia direkonstruksi untuk dipercaya dan harus dilakukan oleh wartawan ketika ia menulis berita. Serangkaian prosedur


(29)

harus dilakukan wartawan agar apa yang ditulis dapat disebut sebagai obyektif (Eriyanto, 2002:111).

Berbagai prosedur itu terinternalisasi dalam pikiran dan dipraktekkan dalam produksi berita oleh wartawan. Tuchman menyebut ada empat strategi dasar. Pertama, menampilkan semua kemungkinan konflik yang muncul. Kedua, menampilkan fakta-fakta pendukung. Ketiga, pemakaian kutipan pendapat. Keempat, menyusun informasi dalam tata urutan tertentu. Format yang paling umum adalah piramida terbalik, dimana informasi yang penting disajikan lebih dulu.

Prosedur tersebut semacam jaminan dan pertanggungjawaban kepada khalayak. Sebuah peristiwa bisa disajikan dan dibingkai dengan jalan yang berbeda oleh wartawan yang berbeda. Oleh karena itu, dalam melakukan analisis framing, peneliti harus menjauh dari terminologi seperti bias atau distorsi. Dengan praktek objektivitas seperti yang disebut sebelumnya, media hendak menyatakan bahwa peristiwanya memang benar-benar tejadi.

2.1.6. Berita sebagai Hasil Konstruksi Realitas

Pada dasarnya berita merupakan laporan dari peristiwa. Peristiwa disini adalah realitas atau fakta yang diliput oleh wartawan dan pada gilirannya akan dilaporkan secara terbuka melalui media massa (Birowo, 2004:168).

Peristiwa-peristiwa yang dijadikan berita oleh media masaa tentunya melalui proses penyeleksian terlebih dahulu, hanya peristiwa yang memenuhi kriteria kelayakan informasi yang menjadi berita. Peristiwa yang layak menjadi


(30)

berita akan diangkat oleh media massa kemudian ditampilkan kepada khalayak (Eriyanto, 2005:26).

Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai sedemikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian yang dilakukan wartawan tentunya melalui proses konstruksi atau realitas ini dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan (Eriyanto, 2005:3)

Berita merupakan hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan ataupun dari institusi media, tempat dimana wartawan tersebut bekerja. Bagaimana realitas tersebut dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai (Birowo, 2004:176).

Peristiwa atau realitas yang sama dapat dibingkai secara berbeda oleh masing-masing media, hai ini terkait dengan visi, misi dan ideologi yang dipakai oleh masing-masing media (Sobur, 2001:vi). Sehingga kadangkala dari hasil pembingkaian tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak kepada siapa (jika yang diberitakan adalah seorang tokoh, golongan atau kelompok tertentu). Keberpihakan pemberitaan media terhadap salah satu kelompok atau golongan dalam masyarakat tergantung pada banyak gal seperti pada etika, moral, dan nilai-nilai.

Aspek-aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Hal ini merupakan bagian dari integral dan


(31)

tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.

2.1.7. Hubungan antara Media dan Politik

Media memerankan peranan penting dalam perkembangan politik. Pers disebut-sebut sebagai salah satu pilar demokrasi. Rainer Adam menuliskan bahwa istilah media mengandung makna sebuah organisasi baik pemerintah atau swasta, yang bertugas memberi informasi kepada publik dengan menggunakan alat seperti koran, majalah, televisi, radio dan juga internet untuk menyampaikan pesan mereka (Stiftung, 2000:7). Baik surat kabar, majalah politik, televisi, radio maupun situs-situs (yang dibuat oleh partai politik dan tim sukses) adalah alat yang digunakan oleh politikus untuk membentuk opini masyarakat.

Berita politik adalah berita mengenai berbagai macam aktifitas politik yang dilakukan para pelaku politik di partai politik, lembaga legislatif, pemerintahan dan masyarakat secara umum. Hampir semua media menampilkan berita politik sebagai sajiannya, bahkan beberapa media menempatkan berita politik sebagai berita utama. Penempatan berita politik sebagai berita utama tampaknya terbawa kecenderungan masa lalu yang menempatkan politik seagai sesuatu yang sangat penting (N Djuraid, 2006:64).

Model Biotipe menunjukkan adanya hubungan erat antara politisi dan jurnalis, semacam hubungan barter yang memberi keuntungan bagi kedua belah pihak dan mengkibatkan saling ketergantungan untuk jangka panjang (Siftung, 2000:10), karena politisi dianggap sebagai sumber berita resmi dalam sebuah


(32)

liputan politik, maka laporan berita tidak jauh dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh aktor-aktor politik tersebut. Ada tarik-menarik kepentingan antara keduanya, jurnalis membutuhkan fakta sedangkan politisi membutuhkan pers untuk menyampaikan pesan, opini yang dapat mempengaruhi pembaca dan menguntungkan pihaknya, seperti yang diungkapkan oleh Hamad bahwa para aktor politik senantiasa menarik perhatian wartawan agar liputan politiknya memperoleh liputan dari media (Hamad, 2004:1). Disadari atau tidak, jurnalis telah terjebak dalam pernyataan-pernyataan politisi yang disampaikan oleh sumber erita (politisi).

Ada dua penyebab para pelaku politik melibatkan media massa sebagai saluran komunikasi politiknya. Pertama, dari segi luas jangkauan media dalam menyebarkan berbagai pesan dan pembicaraan politik beserta fungsinya masing-masing. Kedua, aspek campur tangan media dalam menyajikan realitas politik melalui suatu proses yang disebut sebagai proses konstruksi realitas (Hamad, 2004:10). Dari segi luas jangkauan penyebaran berita, para aktor politikdapat dengan mudah menyebarluaskan pembicaraan-pembicaraan politiknya sehingga akhirnya dapat mempersuasi audience secara luas pula. Campur tangan atau proses konstruksi realitas media inilah yang dapat menguntungkan aktor politik dan partai politiknya sebab melalui konstruksi realitas inilah media memilih sumber berita, peristiwa serta mendefinisikannyasehingga membentuk citra yang diinginkan oleh politisi dan partai politik. Namun patut kita sadari bahwa konstruksi realitas politik ini juga ditentukan oleh motif masing-masing media (Hamad, 2004:11).


(33)

2.1.8. Teori Hierarchy of Influence

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese menyajikan suatu konsep yang sangat menarik. Mereka meberikan ringkasan bagaimana sebuah media membentuk berita mereka. Kedua ahli ini membaginya dalam lima faktor, yang pertama adalah faktor individual, yang kedua adalah faktor rutinitas media, ketiga adalah faktor organisasi, keempat adalah ekstramedia dan yang terakhir adalah faktor ideologi (Sudibyo, 2001:7). Kelima faktor ini tidak hanya melihat media dalam cakupan internal media saja namun juga pada tatanan eksternal media.

Gambar 1

Model Hierarchy of Influence

Tingkat Rutinitas Media Tingkat Ideologis

Tingkat Ekstramedia

Tingkat Organisasi

Tingkat Individu


(34)

Model tersebut menggambarkan beberapa pengaruh faktor internal media yaitu: 1. Tingkat Individu (Individual Level)

Tingkat individu mengarah pada faktor-faktor yang mempengaruhi isi media yang berasal dari individu pekerja media. Shoemaker dan Reese menjelaskan adanya hubungan antara beberapa faktor personal yang mempengaruhi isi media. Shoemaker dan Reese mengungkapkan bahwa karakteristik komunikator (jenis kelamin dan etnis), serta latar belakang personal dan pengalaman komunikator (agama dan status sosial ekonomi orang tua) tidak hanya membentuk sikap, nilai dan kepercayaan personal komunikator namun juga menunjukkan latar belakang profesional dan pengalaman (seperti latar belakang pendidikan). Pada tingkatan selanjutnya, pengalaman profesional seperti pengalaman kerja di bidang komunikasi (jurnalistik) akan membentuk aturan dan etika profesional komunikator. Etika dan aturan profesional ini akan berdampak langsung pada isi media massa (Shoemaker dan Resse, 1996:65).

Sikap, nilai, agama individu tidak secara langsung mempengaruhi isi media. Dalam bukunya Politik Media dan Pertarungan Wacana, Sudibyo mengatakan bahwa latar belakang individu seperti jenis kelamin, umur atau agama sedikit banyak mempengaruhi apa yang akan ditampilkan media. Hal ini disebabkan karena aspek personal dari wartawan yang akan mempengaruhi pemberitaan (Sudibyo, 2001:8).

Namun seperti yang diungkapkan Shoemaker dan Reese, ”...the effect of personal attitudes, value and beliefs on mass media content is indirect, operating only to the extent that individual hold power within their media organizations...”.


(35)

Jadi sebenarnya sikap, nilai dan kepercayaan (agama) individu tidak berefek langsung pada isi media. Lebih lanjut Shoemaker dan Reese menjelaskan bahwa hal tersebut (sikap, nilai dan agama) akan berpengaruh langsung pada media, jika individu yang memegang sikap, nilai, agama tersebut adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam media tersebut. Bisa jadi wartawan yang dimaksudkna oleh Sudibyo adalah memegang jabatan penting dalam media tersebut seperti sebagai pimpinan redaksi ataupun redaktur, maupun mereka yang posisinya berada di luar profesi wartawan seperti pemilik media dan penanam modal serta pemimpin bagian iklan. Kekuasaan mereka inilah bahkan bisa mengesampingkan nilai professional maupun rutinitas organisasi yang dijalankan media.


(36)

Gambar 2

Faktor Intrinsik dari komunikator yang mempengaruhi isi media

Aturan dan etika professional komunikator Latar belakang profesi dan

pengalaman komunikator

Sikap, nilai dan kepercayaan (agama) komunikator

Kekuatan / kekuasaan komunikator dalam

organisasi (media)

Efek dari karakteristik, latar belakang, pengalaman, sikap, nilai, agama, aturan, etika

dan kekuasaan komunikator dalam isi media Karakteristik, latar belakang personal dan

pengalaman komunikator

(Sumber : Shoemaker and Reese, 1996:65)

2. Tingkat Rutinitas Media (Media Routine Level)

Pengaruh rutinitas media apa yang dihasilkan oleh media massa dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan seleksi yang dilakukan oleh komunikator, termasuk deadline dan rintangan waktu yang lain, keterbatasan tempat (space), struktur piramida terbalik dalam penulisan berita dan kepercayaan reporter pada sumber-sumber resmi dalam berita yang dihasilkan.


(37)

Pada tingkatan ini dijelaskan tentang mekanisme dan proses penentuan berita. Media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita dan juga ciri-ciri berita yang baik (kriteria kelayakan berita). Ukuran-ukuran ini menjadi prosedur bagi pengelola media dalam menjalankan produksi berita setiap harinya (Sudibyo, 2001:8). Rutinitas media ini pada akhirnya mempengaruhi konstruksi berita, tidak terkecuali berita politik. Rutinitas media ini meliputi apa yang kita sebut sebagai nilai berita dan objektifitas yang keduanya berhubungan sangat erat dengan pemberitaan.

3. Tingkat Oganisasi (Organization Level)

Pengaruh organisasional, yaitu bahwa media mencari keuntungan materi. Tujuan dari media akan berpengaruh pada isi yang dihasilkan. Dalam organisasi media terdapat bagian-bagian seperti bagian redaksi, bagian sirkulasi, bagian pemasaran dan bagian umum. Semua bagian-bagian ini memiliki kepentingan, tujuan dan target masing-masing dan mempengaruhi bagaimana sebuah berita ditata serta perkembangan berita itu sendiri (Sudibyo, 2001:9). Besar kecilnya organisasi media akan berpengaruh pada kerja jurnalistik.

Menurut Shoemaker dan Reese, jurnalis yang bekerja di organisasi berita terkemuka akan lebih liberal dibanding media biasa. Kebanyakan organisasi media berorientasi pada ekonomi dan mendapatkan keuntungan. Dengan memperhitungkan keuntungan dan dampak bagi pertumbuhan ekonominya, media akan membuat berita yang menguntungkan pihak-pihak yang menyokong perekonomiannya seperti pengiklan (Shoemaker dan Reese, 1996:147-157).


(38)

Bagi media yang berorientasi pasar, media akan mengedepankan berita berdasarkan apa yang diinginkan khalayak dan juga pengiklan, dan media cenderung menyuguhkan apa yang disukai publik. Dalam menentukan isi media, tidak hanya pimpinan redaksi dan stafnya yang menentukan, namun pemimpin bagian sirkulasi dan pemimpin bagian iklan juga dilibatkan sebab ini menyangkut kelangsungan hidup media. Karena isi media ditentukan lebih banyak pihak pastinya berita akan dikonstruksi sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan.

4. Tingkat Extramedia (Extramedia Level)

Yang dimaksudkan disini adalah pengaruh dari luar organisasi media. Lingkungan di luar organisasi media sedikit banyak mempengaruhi pemberitaan media. Faktor-faktor tersebut adalah sumber berita, sumber penghasilan media dan pihak eksternal lainnya. Sumber berita memiliki pengaruh yang besar pada isi media, sebab jurnalis tidak dapat memasukkan laporan berita yang tidak mereka ketahui, jadi keberadaan narasumber sangatlah penting (Shoemaker dan Reese, 1996:178).

Pengaruh narasumber terhadap pembentukan berita sangatlah jelas. Namun sumber berita mungkin juga mempengaruhi berita dengan cara yang lebih halus, dengan menyediakan semua informasi yang dibutuhkan wartawan. Sehingga sumber berita dapat dengan leluasa membentuk opini dan citra positif bagi kelompoknya dengan memberikan informasi-informasi yang mendukung kepentingannya dan menjatuhkan lawannya. Hal ini sering dilakukan politikus dalam membentuk citra melalui media. Namun, wartawan juga bisa memilih


(39)

narasumber lain, bukan hanya mereka yang terlibat langsung dengan peristiwa, sumber-sumber tidak langsungpun, seperti ahli dan juga reaksi dan opini dari orang-orang di jalan juga dapat dimasukkan ke dalam berita. Menurut Gans dalam Shoemaker dan Reese, sumber berita yang memiliki kekuatan ekonomi maupun politik lebih mungkin untuk mempengaruhi laporan berita dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kekuatan. Selain itu pihak eksternal seperti kelompok kepentingan, media lain (saingan) dan pemerintah juga mempengaruhi konstruksi berita (Shoemaker dan Reese, 1996:189).

5. Tingkat Ideologi (Ideological Level)

Pengaruh ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi disini diartikan sebagai mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan di dalam masyarakat. Ideologi diartikan sebagai kerangka berfikir yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Sudibyo, 2001:12).

Dunia jurnalistik menurut Daniel Hallin terbagi menjadi tiga bidang : bidang menyimpang, bidang kontroversi dan bidang konsesus. Ketiga hal tersebut dapat dipakai untuk menjelaskan bagaimana perilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda, karena memakai kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideologi yang berbeda akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke dalam pemahaman yang berbeda, sebab ideologi masing-masing pihaklah yang digunakan untuk menilai realitas (Eriyanto, 2002:127-128).


(40)

Antonio Gramsci dalam Alex Sobur melihat ”Media sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.”

Motf-motif itulah yang akan membentuk laporan berita akan mengarah, laporan berita tidak sekedar mengkonstruksikan realitas, tetapi dipercaya membungkus satu atau sejumlah kepentingan.

2.1.9. Analisis Framing

Pada dasarnya analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada 1974 yang mengandalkan frame sebagai kepentingan-kepentingan perilaku (strips of behaviour) yang membimbing individu dalam membaca realitas (Sobur, 2004:161).

Todd Gitlin (dalam Eriyanto, 2002:68) mengatakan bahwa framing adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan


(41)

sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Frame adalah prinsip dari seleksi, penekanan dan presentasi dari realitas. Gitlin (dalam Wolfsfeld, 1993:33) menyatakan media frames are persistent pattern of cognition, interpretation, and presentation of selection, emphasis, and exclusion, by which symbol-handlers routinely organize discourse, whether verbal or visual. Frame media adalah bentuk dari kognisi (pikiran), interpretasi (penafsiran), dan penyajian melalui seleksi, penekanan dan mengesampingkan serta melakukan penyimbolan dan secara rutin membuat wacana, baik verbal maupun visual.

Dalam analisis framing dijelaskan bahwa ada dua aspek yang ada di dalamnya. Pertama, memilih fakta atau realitas. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kepentingan : apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (exluded). Bagian mana yang ditekankan dalam membentuk realitas dengan jalan memilih bagian yang harus diberitakan dan bagian mana yang tidak diberitakan. Hal ini dapat terlihat dari pemilihan angle tertentu, fakta-fakta pendukung, serta mengesampingkan fakta yang lain, menuliskan aspek tertentu dan tidak pada aspek yang lain. Semua ini mengakibatkan perbedaan dalam konstruksi atas suatu peristiwa antara satu media dengan media yang lain. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Pembentukan sebuah realitas dalam media dapat didukung dengan kata, kalimat, proporsisi apa, dengan bantuan foto dan gambar dan sebagainya yang dianggap dapat membentuk realitas. Fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan


(42)

dengan pemakaian perangkat tertentu dengan menempatkan berita secara mencolok (pada headline), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar dan sebagainya (Eriyanto, 2002:69-70).

Framing ini pada akhirnya menentukan bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Melalui framing inilah dapat ditentukan bagaimana realitas itu harus dilihat, dianalisis dan diklarifikasikan dengan kategori tertentu. Dalam hubungannya dengan penulisan berita, framing dapat mengakibatkan suatu peristiwa yang sama dengan menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa dan menuliskan pandangannya dalam berita, karena asumsi dasar dari framing adalah bahwa individu wartawan selalu menyertakan pengalaman hidup, pengalaman sosial dan kecenderungan psikologisnya ketika menafsirkan pesan.

2.1.10. Model Framing Pan Kosicki

Framing didefinisikan sebagai proses memuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut Pan dan Kosicki, ada konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, konsepsi psikologi. Dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu. Framing


(43)

disini dilihat sebagai penempatan informasi dalam suatu konteks yang unik atau khusus dan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu atau peristiwa tersebut menjadi lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan dalam membuat keputusan tentang realitas. Kedua, konsepsi sosiologis. Pandangan sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atau realitas. Frame disini dipahami sebagai proses bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas diluar dirinya. Frame disini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi, dipahami, dan dapat dimengerti karena sudah dilabeli dengan label tertentu. Inilah dua dasar konsep dari framing.

Dalam media, framing dipahami sebagai perangkat kognisi yang digunakan dalam informasi untuk membuat kode, menafsirkan dan menyimpannya untuk dikomunikasikan dengan khalayak, yang kesemuanya dihubungkan dengan konvensi, rutinitas dan prektek kerja profesional wartawan. Kemudian framing dimaknai sebagai suatu strategi atau cara wartawan dalam mengkonstruksi dan memproses peristiwa untuk disajikan kepada khalayak. Model framing Pan dan Kosicki ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Frame ini adalah suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda ke dalam teks berita (seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu) ke dalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna, bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Dalam pendekatan ini, perangkat framing dapat diagi ke dalam empat


(44)

struktur besar yakni : struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris. Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang dapat menunjukkan framing dari suatu media (Eriyanto, 2002:252-256).

KERANGKA FRAMING PAN DAN KOSICKI STRUKTUR PERANGKAT

FRAMING

UNIT YANG DIAMATI SINTAKSIS

Cara wartawan menyusun informasi

1. Skema berita Headline, lead, latar fakta, kutipan sumber, pernyataan, penutup SKRIP Cara wartawan mengisahkan fakta 2. Kelengkapan berita

5 W + 1H

TEMATIK

Cara wartawan menulis fakta

3. Detail

4. Maksud, kalimat, hubungan

5. Nominalisasi antar kalimat 6. Koherensi 7. Bentuk kalimat 8. Kata ganti

Paragraf, proposisi RETORIS Cara wartawan menekankan berita 9. Leksikon 10.Grafis 11.Metafora 12.Pengandaian

Kata, idiom, gambar / foto grafik

Tabel 2.1 : Kerangka Framing Pan dan Kosicki (Sumber : Analisis Teks Media, Sobur, 2001:176)


(45)

a. Struktur Sintaksis

Sintaksis berhubungan dengan bagaimana seorang wartawan menyusun peristiwa (pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa) ke dalam bentuk susunan berita. Sintaksis ini dapat dilihat dari skema berita, yang biasanya tersusun atas judul headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, penutup. Bentuk skema berita pada umumnya berbentuk piramida terbalik.

1. Headline, bagian dari berita yang memiliki kemenonjolan tinggi dimana menunjukkan kecenderungan berita. Headline mempunyai fungsi framing yang kuat dalam mempengaruhi bagaimana kisah itu dimengerti.

2. Lead, umumnya memberikan sudut pandang dari berita yang menunjukkan perspektif tertentu dari peristiwa yang diberitakan. 3. Latar, merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi makna

yang ingin ditampilkan wartawan. Latar yang dipilih menentukan kearah mana pandangan khalayak hendak dibawa.

4. Pengutipan sumber, bagian ini dalam penulisan berita dimaksudkan untuk membangun objektifitas (prinsip keseimbangan dan tidak memihak).

b. Struktur Skrip

Skrip berhubungan dengan bagaimana wartawan mengisahkan atau menceritakan peristiwa ke dalam bentuk berita. Struktur ini melihat bagaimana strategi cara bercerita atau bertutur yang dipakai oleh wartawan dalam mengemas peristiwa ke dalam bentuk berita. Bentuk umum dari struktur skrip


(46)

adalah pola 5W + 1H (who, what, where, when, why dan how). Meskipun pola ini tidak selalu dapat dijumpai dalam setiap berita yang ditampilkan, kategori informasi ini yang diharapkan diambil oleh wartawan untuk dilaporkan. Pola 5W + 1H tersebut menunjuk pada kelengkapan berita. Jika penulisan berita sudah memenuhi unsure 5W + 1H maka berita tersebut dapat dikatakan lengkap. Unsure kelengkapan berita ini menjadi penanda framing yang penting. Bentuk umum dari struktur skrip adalah pola 5W + 1H terdiri dari :

What : Peristiwa apa yang sedang terjadi ? Who : Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu ? When : Kapan peristiwa itu terjadi ?

Where : Dimana peristiwa itu terjadi ? Why : Mengapa peristiwa itu terjadi ? How : Bagaimana terjadinya peristiwa itu ? c. Struktur Tematik

Tematik berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan dalam bentuk yang lebih kecil. Menurut Pan dan Kosicki, berita mirip sebuah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis ini kita gunakan untuk menyebut struktur tematik dari berita. Struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan. Perangkat framing dari struktur tematik dapat diuraikan sebagai berikut :


(47)

1. Detail, dalam penulisan berita harus jelas dan terperinci dengan menampilkan data-data yang lengkap.

2. Maksud kalimat, hubungan, elemen maksud kalimat melihat apakah teks itu disampaikan secara ekslpisit ataukah tidak. Umumnya informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi.

3. Nominalisasi antarkalimat, dengan melakukan nominalisasi maka dapat memberi sugesti kepada khalayak adanya generalisasi. 4. Koherensi, kata penghubung yang dipilih untuk menghubungkan

proposisi (dua kalimat) yang menggambarkan fakta yang berbeda. 5. Bentuk kalimat, struktur kalimat bisa dibuat aktif maupun pasif

yang menentukan apakah tokoh-tokoh dalam berita tersebut diekspresikan secara eksplisit atau implisit sehingga menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat tersebut.

6. Kata ganti, penggunaan kata ganti untuk menciptakan imajinasi posisi seseorang dalam wacana berita, apakah diposisikan sebagai sendiri atau jamak.

d. Struktur Retoris

Retoris berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu ke dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan,


(48)

melainkan juga menekankan arti tertentu pada pembaca. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu cerita. Struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran. 1. Leksikon, pemilihan dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai

atau menggambarkan peristiwa.

2. Grafis, biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah dan huruf yang dibuat lebih besar. Termasuk di dalamnya pemakaian grafik, gambar, tabel dan caption.

3. Metafora, penggunaan ungkapan atau kiasan dengan tujuan membentuk citra yang diinginkan wartawan.

2.2. Kerangka Berpikir

Pekerjaan media pada dasarnya adalah yang berhubungan dengan pembentukan realitas. Realitas bukanlah sesuatu yang tersedia, yang kemudian ditampilkan wartawan dalam pesan-pesannya lewat berita. Berita merupakan hasil konstruksi dan realitas dari sebuah proses manajaemen ternyata tidak selalu menghasilkan makna yang sama seperti yang diharapkan wartawan dalam diri khalayak pembacanya.

Penelitian ini berangkat dari adanya fenomena media, pada tanggal 6, 7 dan 8 Oktober 2010 yang menyajikan berita seputar pembatalan kunjungan


(49)

Negara ke Belanda oleh Presiden Yudhoyono secara mendadak. Hal ini dikarenakan akan adanya pergerakan di Den Haag yang mengajukan tuntutan ke pengadilan yang mempersoalkan masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan sejumlah warga Belanda dan organisasi termasuk Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam gugatan tersebut RMS menuntut Presiden SBY juga ditangkap. Berita ini menjadi sorotan berbagai media cetak dan bahkan beberapa surat kabar menampilkan berita ini sebagai headline, tak terkecuali harian Kompas dan Jawa Pos. Meskipun tidak semua berita mengenai pembatalan kunjungan Negara ini menjadi headline, harian Kompas dan Jawa Pos kompak memuat headline mengenai berita ini pada edisi 6 dan 7 Oktober 2010 dengan konstruksi realitas masing-masing media. Dengan demikian kedua harian tersebut menganggap berita ini merupakan berita yang sangat penting untuk khalayak pembacanya.

Jika suatu media menaruh sebuah kasus atau peristiwa di halaman muka maka diasumsikan peristiwa tersebut pasti memperoleh perhatian besar dari khalayak. Setiap peristiwa yang dianggap dapat menarik minat pembaca selalu dijadikan headline atau diletakkan pada halaman muka (Sobur, 2001:167).

Pemuatan berita pembatalan kunjungan kenegaraan pada media cetak harian Kompas dan Jawa Pos dipilih peneliti karena cenderung memiliki konstruksi realitas media yang berbeda. Harian Kompas merupakan surat kabar nasional yang dikenal objektif oleh masyarakat dan dalam penulisan beritanya cenderung menggunakan bahasa dan kalimat yang sopan dan bersahaja.


(50)

Sedangkan harian Jawa Pos adalah surat kabar yang berkembang menjadi konglomerat pers melalui konsentrasi secar eksklusif di pasar provinsi.

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis framing yang digunakan untuk mengetahui realitas yang dibingkai oleh media. Dengan demikian realitas social dipahami, dimaknai dan dikonstruksi dengan bentuk dan makna tertentu sehingga elemen tersebut menandakan sebuah peristiwa berlangsung. Dari latar belakang tersebut maka paradigm, konsep dan teori yang digunakan peneliti adalah paradigma konstruktivisme.

Dalam penelitian ini digunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Perangkat framing dibagi menjadi empat bagian struktur besar, yaitu struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris. Teori yang akan digunakan untuk mengetahui kecenderungan atau perbedaan harian Kompas dan Jawa Pos dalam memproduksi informasi adalah Teori Hierarchy of Influence.


(51)

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis framing. Analisis framing digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok dan lain sebagainya) dikonstruksi oleh media dengan cara dan teknik apa peristiwa ditekankan atau ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, tepat atau bahkan disembunyikan. Dalam pemberitaan, semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknisi jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan (Eriyanto, 2005:3).

Pada penelitian ini dijelaskan bagaimana cara media membingkai atau mengkonstruksi berita-berita mengenai Pembatalan Kunjungan Negara ke Belanda secara mendadak oleh Presiden yang meliputi penyeleksian isu dan penonjolan dalam aspek-aspek tertentu. Penulisan berita ini meliputi bagaimana cara wartawan dalam menyusun fakta, mengisahkan fakta, menuliskan fakta dan menekankan fakta.

Pendekatan model framing yang digunakan adalah model framing yang dikemukakan oleh Pan dan Kosicki. Dalam model ini, perangkat framing terbagi dalam empat struktur besar yaitu struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris yang nantinya digunakan untuk menganalisis keseluruhan teks berita pembatalan kunjungan kenegaraan pada harian Kompas dan Jawa Pos.


(52)

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Berita Pembatalan Kunjungan Negara ke Belanda

Yang dimaksud dengan berita pembatalan kunjungan negara ke Belanda adalah berita mengenai keputusan Presiden Indonesia untuk menunda kunjungan negara ke Belanda yang diambil secara mendadak. Keputusan ini diambil saat menit-menit terakhir Presiden dan rombongannya dijadwalkan berangkat ke Belanda. Hal ini disebabkan adanya pergerakan di Den Haag yang mengajukan tuntutan ke pengadilan yang mempersoalkan masalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan sejumlah warga Belanda dan organisasi termasuk Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam gugatan tersebut RMS menuntut Presiden Yudhoyono juga ditangkap. Rencananya, Presiden akan berkunjung ke Belanda untuk memenuhi undangan Ratu Beatrix dan Perdana Menteri Belanda tanggal 5-9 Oktober 2010. 3.2.2. Berita di Surat Kabar Kompas dan Jawa Pos

Yang dimaksud dengan berita di surat kabar Jawa Pos dan Kompas adalah suatu peristiwa yang ditulis sedemikian rupa oleh wartawan dari kedua media cetak tersebut untuk disajikan dan disebarkan kepada khalayak pembaca. Dalam penelitian ini adalah berita mengenai pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda yang ditulis oleh wartawan dari surat kabar Kompas dan Jawa Pos.

3.3. Subyek dan Objek Penelitian

Subyek dari penelitian ini adalah surat kabar Kompas dan Jawa Pos. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah berita-berita tentang pembatalan


(53)

kunjungan Kepala Negara ke Belanda oleh Presiden Indonesia edisi 6, 7 dan 8 Oktober 2010.

3.4. Unit Analisis

Unit analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah keseluruhan tanda-tanda berupa tulisan yang terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat, yang menjadi latar belakang dalam pemberitaan tentang pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda yang dimuat di harian Kompas dan Jawa Pos.

Analisis teks media dengan melihat hubungan antar kalimat, penulisan kalimat, penulisan narasumber, penulisan latar, penggunaan foto, penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pemaknaan terhadap perspektif yang digunakan oleh media (Jawa Pos dan Kompas) dalam melihat suatu peristiwa, yaitu tentang berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda.

3.5. Populasi dan Korpus

Populasi dalam penelitian ini adalah berita-berita yang memuat tentang pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda di harian Kompas dan Jawa Pos edisi 6, 7 dan 8 Oktober 2010.

Korpus adalah himpunan terbatas atau juga berbatas dari unsur yang memiliki sifat bersama atau tunduk pada aturan yang sama, dan arena itu dapat dianalisis sebagai keseluruhan (Arkaum dalam Harmadi, 2005:43). Tetapi sebagai analisis, korpus itu bersifat terbuka pada konteks yang beraneka ragam sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat


(54)

ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak belakang dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari kita tidak didahului oleh anggapan atau interpretasi sebelumnya (Arkaum dalam Harmadi, 2005:44).

Korpus dalam penelitian ini adalah berita mengenai pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda. Pada penelitian ini korpus yang diperoleh pada harian Jawa Pos dan Kompas adalah sebagai berikut :

Tabel 3.1 Korpus pada Harian Jawa Pos dan Kompas

Judul Berita Posisi Berita Tanggal Terbit Presiden Batal ke Belanda Headline Harian Kompas, 6

Oktober 2010 Presiden Tidak Ditangkap Headline Harian Kompas, 7

Okober 2010 SBY Tunggu Perkembangan Tidak Headline

(halaman Politik)

Harian Kompas, 8 Oktober 2010 SBY Tak Berani ke Belanda Headline Harian Jawa Pos, 6

Oktober 2010 Tolak Tangkap SBY Headline Harian Jawa Pos, 7

Oktober 2010 Sindir Sidang di Den Haag

Tercepat

Tidak Headline (halaman depan)

Harian Jawa Pos, 8 Oktober 2010

3.6. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian mengenai pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda yang dimuat di harian Kompas dan Jawa Pos edisi 6, 7 dan 8 Oktober 2010 didapat dari pengumpulan secara langsung dari medianya dengan mengidentifikasi isi berita yang bepedoman pada analisis framing dari Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Data-data yang diperoleh sebagai hasil dari identifikasi tersebut untuk selanjutnya dianalisis untuk mengetahui bagaimana


(55)

kedua media tersebut dalam mengemas berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda.

Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari informasi-informasi yang relevan dari buku dan internet, yang digunakan untuk menambah perspektif kajian analisis peneliti dalam upaya menjawab permasalahan penelitian.

3.7. Teknik Analisis Data

Peneliti menggunakan teknik analisis framing sebagai teknik dalam menganalisis data penelitian. Analisis framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana media mengemas suatu peristiwa untuk dituangkan dalam bentuk berita. Sisi mana yang ditonjolkan atau dihilangkan dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Karnanya berita menjadi kemampuan dan bertujuan mendominasi keberadaan subyek sebagai sesuatu yang legitimasi, obyektif, alamiah, wajar atau tidak terelakkan (Sobur, 2001:162).

Analisis framing yang dipilih adalah konsep milik Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Perangkat framing dibagi menjadi empat struktur besar yaitu struktur sintaksis, struktur skrip, struktur tematik dan struktur retoris.

3.8. Langkah-Langkah Analisis Framing

Berita mengenai pembatalan kunjungan negara ke Belanda oleh Presiden Indonesia akan dianalisis dengan menggunakan perangkat framing. Analisis


(56)

berita-berita tersebut akan didasarkan pada empat bagian struktur besar yaitu : struktur sintaksis, skrip, tematik dan retoris.

1. Sintaksis

Dalam wacana berita, sintaksis berhubungan dengan bagaimana Jawa Pos dan Kompas menyusun berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda dalam bentuk susunan umum pemberitaan. Adapun fungsi dari struktur sintaksis dapat menjadi petunjuk yang berguna tentang bagaimana wartawan Jawa Pos dan Kompas memaknai peristiwa pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda dan hendak kemana berita tersebut akan dibawa.

Unit yang diamati antara lain : a. Headline

Headline tentang berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda pada harian Kompas dan Jawa Pos merupakan inti pemberitaan yang ditulis dengan huruf besar dan mencolok guna menarik perhatian khalayak untuk membacanya.

b. Lead

Menunjukkan sudut pandang atau perspektif tertentu sebagai aspek tepenting di surat kabar Kompas dan Jawa Pos dalam memberitakan pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda.

c. Latar informasi

Latar belakang atas berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda merupakan bagian berita yang dapat membantu menyelidiki


(57)

semantik (arti kata) yang ingin ditampilkan, cara mempengaruhi, memberi kesan sebagai pembenaran bahwa pendapat Kompas dan Jawa Pos dalam memaknai peristiwa pembatalan kunjungan negara ke Belanda cukup beralasan.

d. Kutipan sumber

Pengutipan yang dilakukan terhadap orang-orang yang berhubungan dengan peristiwa pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda yang bertujuan untuk membangun objektifitas, prinsip keseimbangan, dan tidak memihak pendapat wartawan semata, tetapi pendapat dari orang-orang yang mempunyai otoritas tertentu.

2. Skrip

Berhubungan dengan bagaimana harian Kompas dan Jawa Pos mengisahkan atau menceritakan pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda dengan unsur kelengkapan berita dalam pemberitaannya. Berguna untuk mengetahui penerapan penulisan peristiwa pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda sebagai susunan cerita dengan strategi cara bercerita tertentu yang dilakukan oleh wartawan Kompas dan Jawa Pos untuk menarik perhatian pembaca. Segi bercerita dan unsur kelengkapan berita dapat menjadi penanda framing yang penting dan ingin ditampilkan, memberi tekanan mana yang didahulukan dan bagian mana yang kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting.


(58)

Struktur 5W + 1H sebagai berikut : What : Peristiwa apa yang sedang terjadi ? Who : Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu ? When : Kapan peristiwa itu terjadi ?

Where : Dimana peristiwa itu terjadi ? Why : Mengapa peristiwa itu terjadi ? How : Bagaimana terjadinya peristiwa itu ?

3. Tematik

Berhubungan dengan bagaimana Kompas dan Jawa Pos mengungkapkan pandangannya terhadap peristiwa pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Yang termasuk struktur tematik antara lain :

a. Detail

Kontrol informasi yang ditampilkan Kompas dan Jawa Pos. Informasi yang menguntungkan akan diuraikan secara mendetail, lengkap dan panjang lebar, bila perlu disertakan pula data-data pendukung yang merupakan upaya secara sengaja untuk menciptakan citra tertentu pada khalayak dan sebaliknya, apabila informasi tersebut merugikan.


(59)

b. Maksud kalimat, hubungan

Informasi berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda akan diuraikan secara eksplisit atau jelas. Sedangkan yang merugikan akan diuraikan secara implisit atau samar.

c. Nominalisasi antar kalimat

Perspektif harian Kompas dan Jawa Pos dalam memandang suatu objek sebagai suatu yang tunggal atau sebagai suatu kelompok. d. Koherensi

Pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat dalam berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda di harian Kompas dan Jawa Pos sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat terjalin menjadi sebuah kalimat.

e. Bentuk kalimat

Kebenaran tata bahasa yang digunakan Kompas dan Jawa Pos dalam menulis berita pembatalan kunjungan Kepala Negara ke Belanda. Karena bentuk kalimat bukan hanya menyangkut permasalahan teknis kebenaran tata bahasa, namun menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat.

f. Kata ganti

Alat yang digunakan harian Kompas dan Jawa Pos untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.


(1)

tersebut.

7. Pemerintah Indonesia berharap pemerintah Belanda

membatasi ruang gerak RMS agar tidak mengganggu hubungan bilateral kedua negara.

8. Mengenai sikap Presiden menanggapi putusan pengadilan di Belanda.

9. Mengenai dampak

pembatalan lawatan Presiden ke Belanda.

10. Mengenai jadwal ulang kunjungan Presiden ke Belanda

diambil Presiden.

7. Penegasan dari Presiden Yudhoyono mengenai keputusan pembatalannya ke

Belanda. Presiden menunda kunjungan sambil melihat

perkembangan lebih lanjut.Mengenai dampak pembatalan lawatan Presiden ke Belanda.

8. Mengenai reaksi dari pihak RMS dalam menanggapi pembatalan kunjungan Presiden RI ke Belanda.

9. Mengenai pendapat dari mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang menyarankan agar Presiden

Yudhoyono sesegera mungkin ke Belanda.

Retoris Judul dengan huruf besar, tebal dan menjadi headline :

1. SBY Tak Berani ke Belanda

2. Tolak Tangkap SBY

3. Sindir Sidang di Den Haag Tercepat

Kolom grafis berupa foto dan gambar :

1. Presiden Yudhoyono yang menunuduk dapat diartikan Presiden merasa malu dan takut untuk menatap orang-orang di sekitarnya karena keputusan pembatalan kunjungan kenegaraannya tersebut.

Tidak ada tabel berita. Leksikon :

1. ”menunduk”, ysang berarti sikap kurang tegas Presiden,

Judul dengan huruf besar, tebal dan menjadi headline :

1. Presiden Batal ke Belanda 2. Presiden Tidak Ditangkap

3. SBY Tunggu

Perkembangan

Kolom grafis berupa foto dan gambar :

1. Presiden Yudhoyono sedang menopang dagu dan terlihat sedang berpikir, hal ini

menunjukkan sikap ketegasan yang dimiliki

seorang Presiden dalam mengambil setiap keputusan. 2. Presiden Yudhoyono sedang

berpidato, menunjukkan sikap Presiden yang tegas dan transparan dalam mengambil keputusan.

Tabel berita :

1. Kerikil hubungan Indonesia-Belanda


(2)

 

2. ”sambutan hangat”, adalah sebuah sikap kesiapan,

3. ”berbesar hati”, yang berarti menerima apa adanya.

2. Agenda Kunjungan

Kenegaraan Presiden Yudhoyono ke Belanda

3. Alasan Pembatalan

Kunjungan SBY ke Belanda 4. gugatan RMS

5. Sekilas tentang Soumokil

Leksikon : ”menang”, ”disambut gembira”

Adanya note bergambar camcorder.


(3)

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan data-data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, yang kemudian dianalisis dengan analisi framing Zhongdan Pan dan Gerald M. Kosicki mengenai pemberitaan tentang Pembatalan Kunjungan Kepala Negara ke Belanda di Surat Kabar Jawa Pos dan Kompas edisi 6,7 dan 8 Oktober 2010, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Surat kabar Jawa Pos dan Kompas mempunyai frame yang berbeda. Kedua surat kabar melakukan penyeleksian, penonjolan isu dan menghubungkan tiap fakta yang berbeda, meskipun terdapat pula kesamaan. Jadi untuk mengkonstruksi bingkai ini dilakukan melalui komponen pembingkaian (struktur sintaksis, skrip, tematik dan retoris). Perspektif yang ditampilkan kedua media dalam membingkai berita tersebut berbeda. Dalam hal ini Kompas lebih bertujuan untuk kontrol sosial mengenai berita seputar pembatalan kunjungan negara ke Belanda oleh Presiden, sedangkan Jawa Pos memberikan informasi dan penekanan kritis di dalamnya. Selain itu perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pengaruh rutinitas media, ideologi media dan pengaruh organisasi yang melingkupi kedua media tersebut seperti apa yang dikemukakan dalam model komunikasi yaitu “Hierarchy of Influence”.


(4)

2. Kompas bersikap positif dalam mengupas berita mengenai pembatalan kunjungan kenegaraan. Ini bisa dilihat melalui pemberitaannya yang lebih banyak memberitakan mengenai fakta dan kutipan pernyataan-pernyataan Presiden dan tokoh elite politik yang mendukung keputusannya. Pemberitaan di Kompas cenderung untuk menekankan fakta dengan menggunakan kalimat untuk memberikan penonjolan agar dapat menarik perhatian pembacanya. Selain itu Kompas juga mampu menciptakan emosi di dalam isi beritanya dalam penggunaan unsur retoris dan tematik. Lain halnya dengan Jawa Pos yang mempunyai suatu ideologis berbeda di dalamnya. Jawa Pos memiliki kecenderungan penekanan pada judul beritanya yang digunakan sebagai strategi dalam memikat pembacanya untuk mengetahui apa isi berita yang ada di dalamnya, persuasif dan penuh penekanan. Berita Jawa Pos memiliki sifat persuasif dan obyektif yang lebih besar dibandingkan dengan Kompas.

3. Jawa Pos memiliki porsi liputan dan ruang yang lebih besar karena Jawa Pos lebih menonjolkan segala aspek yang lebih luas dengan tujuan agar dapat menceritakan dan mengisahkan berita mengenai pembatalan kunjungan negara ke Belanda oleh Presiden lebih detail dengan menuliskan pendapat dan komentar dari beragam elite politik. Sedangkan Kompas cenderung membatasi porsi narasumber mengenai berita pembatalan kunjungan negara ke Belanda oleh Presiden, sehingga tema yang disampaikan lebih fokus. Sedangkan unsur grafik yang terdapat pada harian Kompas lebih lengkap dan jelas disampaikan dalam setiap berita


(5)

debat dengan menampilkan tabel respon isu dari masalah yang ada, juga foto yang cukup besar. Sedangkan Jawa Pos hanya menampilkan foto dan minim tabel.


(6)

5.2. Saran

Dari kesimpulan yang diperoleh, dapat dilihat bahwa masing-masing media, Kompas dan Jawa Pos, memiliki perspektif penyimpulan yang berbeda dalam menggambarkan berita pembatalan kunjungan negara ke Belanda oleh Presiden.

1. Walaupun masing-masing media, Kompas dan Jawa Pos mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menggambarkan suatu peristiwa, hendaknya mengindarkan kesan yang berlebihan dan mempunyai keseimbangan atau berimbang berita agar tidak menimbulkan salah persepsi dan tetap konsisten dengan visi dan misi maupun ideologi yang ada.

2. Sebaiknya media menggunakan pemilihan kata yang menarik akan tetapi tetap melihat unsur etika dan estetika. Karena perspektif media bisa mengarahkan pada opini masyarakat.

3. Dalam hal ini diharapkan media berfungsi sebagai pendidikan, hiburan serta social control. Dan juga bagi khalayak pembaca dalam menyikapi suatu teks media, mampu memakai dan menyikapi realitas yang ditampilkan media. Karena media mempunyai bingkai berbeda dari realitas yang ada. Tidak semua realitas yang ada ditampilkan dengan objektif dalam media.