Kependudukan Kecamatan Gending Gambaran Umum tentang Sifat dan Ciri Demografi, Geografi,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Struktur aparat desa terdiri dari petinggi lurah, carik, mudin yang jabatannya sebagai pencatat nikah, mengurus pasangan yang ingin bercerai, memandikan dan merawat orang mati, merangkap sebagai pejabat bagian kesejahteraan rakyat kesra dan beberapa pesuruh desa. Setiap hari kerja, para aparat desa masuk kantor desa yang terletak di depan rumah pak Lurah, kecuali hari Sabtu dan Minggu, kantor desa tutup. Untuk hari Sabtu, biasanya mereka melakukan dinas keliling kampung jika ada pekerjaan, seperti untuk mendata berapa penduduk yang akan mengikuti pemilu, mendaftar calon pemilih dan lain sebagainya. Kecamatan Paiton Di kecamatan Paiton komposisi jumlah penduduk dalam tiga tahun terakhir adalah: pada th.2000: 78.131 jiwa dengan perincian laki-laki 38.429 jiwa, perempuan 39.702 jiwa, pada th 2001: 79.206 jiwa dengan perincian laki-laki 38.825 jiwa, perempuan 40.381 jiwa. Pada th 2002: 80.116 jiwa dengan perincian laki-laki 39.524 jiwa dan perempuan 40.592 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk berkisar sekitar 1000 jiwa pertahun. Di antara kedua jenis, jumlah penduduk perempuan lebih banyak sekitar 1000 ﺱ 1.500 jiwa ketimbang jumlah laki-laki. Pertumbuhan penduduk ini dipengaruhi oleh para pendatang yang mengais rizki di mega proyek PLTU. Selisih jumlah lelaki dan perempuan juga disebabkan banyak penduduk lelaki yang pergi ke luar daerah untuk bekerja dan menetap di sana. Sedangkan penduduk perempuan jarang yang pergi meninggalkan rumah, karena rata-rata mereka berprofessi sebagai ibu rumah tangga.

3. Ekonomi Kecamatan Gending

Umumnya, penduduk desa bekerja sebagai petani. Meskipun ada pula yang berprofessi sebagai pedagang, insinyur, guru, pengusaha, atau hakim, jumlahnya tidak sampai 2 dari total jumlah penduduk. Beberapa orang menjadi tuan tanah, sebab memiliki sawah dan ladang sendiri. Mayoritas penduduk hanya bekerja sebagai buruh tani di tempat tuan tanah. Mereka bekerja di sawah dan ladang untuk menanam padi, tebu, tembakau, brambang, kacang tanah, kedelai, lombok, tomat dan lain sebagainya, tetapi tanaman brambang dan tembakau lebih mendominasi sawah dan ladang yang ada di sana.. Pekerjaan semacam itu.dilakukan pada musim tanam. Para tuan tanah yang memiliki lahan luas, biasanya mempekerjakan mereka yang tidak memiliki lahan sendiri. Untuk pekerjaan sawah ladang semacam ini, upah yang diterima para buruh tani relatif amat murah. Mereka yang bekerja seharian mulai pukul 7.00 ﺱ 12.00 menerima upah rata-rata sekitar Rp.10.000; perhari untuk buruh lelaki yang biasanya melakukan pekerjaan lebih berat ketimbang perempuan, seperti mencangkul, membajak, mengangkat benih dan lain sebagainya. Sedangkan untuk buruh perempuan mereka hanya menerima upah sekitar Rp. 8.000: perhari, karena mereka hanya melakukan pekerjaan yang digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dianggap ringan, seperti menanam tembakau, padi, brambang. Upah tukang batu sekitar Rp.15.000; perhari dengan diberi makan 3 kali sehari. Pada musim menunggu panen, para perempuan desa pergi ke pasar bawang yang terletak sekitar 15 kilometer dari desa dengan berjalan kaki, pulang dan pergi. Pekerjaan yang diakukan di sana untuk mengupas brambang, diiris tipis untuk dijadikan brambang goreng yang dijual dalam sanset dan juga untuk mensutir brambang yang baik dan besar dari brambang yang jelek rusak dan kecil. Rata-rata upah yang mereka terima dengan bekerja seharian mulai jam 7.00 pagi sampai dengan 17.00 petang, hanya sekitar Rp. 5000; perhari perkilogram dihargai Rp.100;. Upah tersebut akan secara utuh dibawa pulang, jika mereka pulang pergi dari rumah ke pasar dengan berjalan kaki. Bila mereka ingin naik angkutan kota naksi dari kata ﺳtaksiﺴ, sebab mereka memberi istilah angkot dengan taksi, maka pengeluaran untuk transport minimal Rp. 2000; pulang balik. Itupun mereka hanya sampai di mulut jalan desa dan mereka masih harus berjalan kaki lagi dari jalan raya menuju desa sekitar 5 kilometer, belum lagi untuk makan siang di pasar. Hasil bersih setiap hari, uang yang mereka bawa pulang hanya sekitar Rp. 2500;, kecuali mereka mau sedikit prihatin dengan berjalan kaki pulang pergi dan membawa bontot bekal makanan dari rumah. Di suatu hari sekitar jam 6.30 pagi, peneliti berjalan sekeliling kampung. Di tengah jalan, kami bertemu dengan sekelompok perempuan yang akan pergi bekerja ke pasar bawang. Peneliti bertanya kepada mereka tentang pekerjaan dan upah, mereka berkata: ﺳ O alah bu, kami ini kan orang miskin yang pada musim seperti ini tidak punya pekerjaan. Dari pada menganggur di rumah tanpa ada yang dimakan, kami pergi ke pasar bawang untuk sekedar mencari sesuap nasi, meskipun kami hanya mendapat upah yang sedikit dengan bersusah payah berjalan kaki sejauh itu, kami tetap melakukannya setiap hari, sebab kami tidak mempunyai pilihan lain.ﺴ 20 Mendengar keluhan seperti ini, hati peneliti trenyuh, lalu kami bagikan uang kepada sekitar delapan orang, masing-masing Rp.5000: untuk sekedar ongkos naik taksi angkot. Penduduk desa yang bekerja di pasar bawang mayoritas terdiri dari para perempuan setengah baya. Para perempuan mudanya tinggal di rumah, pergi ke tegal tebu, mencari kayu bakar untuk keperluan dapur, mencuci pakaian, memasak di dapur, seperti yang dilakukan oleh salah seorang responden dengan teman-teman sedesanya, .ada pula yang momong anak, seperti yang dilakukan oleh seorang ibu muda, salah seorang responden juga. . Di antara perempuan muda ini ada pula yang berprofessi sebagai penjahit baju, seperti mbak Nina responden, tetangga sebelah rumah penginapan peneliti di desa. Ketika saya tanyakan berapa ongkos jahit setiap baju, dengan malu-malu ia mengaku tidak banyak, paling mahal Rp. 20.000: satu setel baju, atas bawah. Itupun tidak setiap hari ada orang yang menjahitkan baju. Hanya kalau bulan puasa menjelang lebaran, order lebih banyak ketimbang sehari-harinya. Tidak semua perempuan setengah baya, bekerja di pasar bawang. Sebagian mereka hanya membuat makanan kecil di rumah untuk dijual di depan sekolah, seperti 20 Wawancara dengan penduduk desa di kecamatan Gending pada tanggal 2 Agustus 2003.