Metode penafsiran yang kurang tepat.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id perempuan saja. 77 Struktur bahasa seperti ini bias gender, karena yang diperhatikan hanya superioritas lelaki. Seandainya isi dunia perempuan dan hanya ada satu orang lelaki, maka konteks bahasa harus memakai kata ﺳhumﺴ, ﺳantumﺴ, atau ﺳal-t}ullabﺴ ﺳal-t}alabahﺴ. Di sini tampak sisi ketidak-adilan gender, sebab hanya seorang lelaki bisa mengalahkan perempuan sedunia. Contoh lain misalnya, dhat Tuhan tidak mengenal jenis seksis karena sesungguhnya Tuhan memang tidak berjenis lelaki atau perempuan, tetapi mengapa di dalam al-Qurﺶan Tuhan hanya disebut ﺳhuwaﺴ dan tidak sekalipun pernah disebut ﺳhiyaﺴ. Penyebutan Tuhan hanya dengan ﺳhuwaﺴ seolah mencitrakan Tuhan dengan jenis lelaki male dan tidak pernah disebut ﺳhiya” female, padahal Tuhan tidak berjenis lelaki atau perempuan. Argumen yang bisa dikemukakan karena ﺳhiyaﺴ adalah kata untuk mu’annath. Di dalam struktur bahasa ﺵArab, ﺳsetiap yang jama ﺶ adalah mu’annathﺴ, pengertian baliknya, yang ﺳmu’annath bisa dipahami jama’ ﺴ, maka jika Tuhan disebut ﺳhiyaﺴ maka makna yang terkandung bisa jadi Tuhan tidak esa lagi tetapi polytheis. Untuk menghindari persepsi polytheisme, Tuhan tidak bisa disebut ﺳhiyaﺴ, tetapi hanya ﺳhuwaﺴ untuk menjaga kemonotheisan Tuhan. Untuk tidak menimbulkan persepsi seolah Tuhan itu lelaki, Tuhan di beberapa tempat dalam al-Qurﺶan lebih tepatnya al-asma’ al- h{ usna lebih banyak menyebut atribut yang secara stereotypi dianggap sebagai sifat-sifat keperempuanan, seperti al-rah}man, al-rah}im, al-lat}if, al-ghafur, al- ghaffa r, al-wahha b, al-razza q, al-mudhill, al-sami ’, al- bas} i r, al-h}aki m, al-‘adl, al- khabi r, al-shaku r, al-h}afi z} , al- h}akam, al-raqi b, al-muji b, al-wadu d, al-birr, al- tawwa b, al-‘afw, al-ra’u f, al-nafi ’, al- rashi d, al-s} abu r. Dalam struktur bahasa Inggeris juga terdapat bias gender, seperti kata ﺳhistoryﺴ, mengapa hanya lelaki yang mempunyai cerita, sedangkan perempuan tidak?, sehingga tidak pernah terdengar kosakata ﺳherstoryﺴ. Menurut pengamatan, bahasa Indonesia tidak mengekspresikan bias gender, baik perbedaan jenis maupun perbedaan status sosial sebab kosakata yang digunakan untuk lelaki dan perempuan adalah sama. Berbeda dengan bahasa Jawa yang dikenal sangat kental bias gender yang berhubungan dengan status social. Terdapat dalam bahasa Jawa stratifikasi social yang sangat menonjol yang berakibat timbulnya kesenjangan social antara kaum proletar dan kaum ningrat, antara kaum muda dan kaum tua, contohnya, untuk menyebut kata ganti orang kedua terhadap orang yang memiliki status rendah, menggunakan kata ﺳkoweﺴ atau koenﺴ, untuk orang yang memiliki derajat lebih tinggi dengan ﺳsampeyanﺴ ,ﺳndikoﺴ, ﺳrikoﺴ dan terhadap orang yang memiliki status social tertinggi dan kaum bangsawan harus memakai kata ﺴpanjenenganﺴ dan banyak contoh yang mengindikasikan terdapatnya kesenjangan gender.

6. Subyektifitas penafsir.

Setiap pemikir dibentuk oleh milliunya: latar belakang pendidikan, kultur social politis, agama dan juga jenis, menentukan produk seorang pemikir. 78 Dia memiliki pandangan dunia sendiri worldview weltanschauung Penafsir yang 77 Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Woman, Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti SDN, BHD, 1992, hal. 4. 78 Karl Goschalk, Mengerti Sejarah, hal. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ada terutama di zaman klasik dan pertengahan ditopang oleh kultur patriarkhi yang masih kental, mayoritas terdiri dari kaum lelaki. Hasil penafsirannya dipengaruhi subyektivitas penafsir, sehingga produk hasil penafsiran mereka diwarnai dengan bias kelelakian. Tafsir produk zaman klasik, karena mayoritas penafsir adalah lelaki dan hampir tidak ditemukan sebuah tafsir dari penafsir perempuan, maka tafsirnya cenderung terpengaruh oleh budaya patriarkhi dan tak satupun yang membela hak dan martabat kaum perempuan.

7. Hadis misoginis

Hadis misoginis ini sering kita lihat di dalam buku ﺳPedoman bagi Suami Isteriﺴ yang dikaji mayoritas santri di pondok-pondok tradisional. Kitab ini disebut ﺳUqud al-Lujjainﺴ. Di antara materi kesenjangan gender yang dimuat dalam hadis misoginis ialah:

A. Intervensi malaikat dalam hubungan seksual.

Hadis di sini menggambarkan penolakan seorang perempuan terhadap ajakan suaminya untuk mengadakan hubungan intim, maka malaikat akan melaknatinya sampai subuh. 79 Bahkan digambarkan pula seorang perempuan harus menuruti ajakan suaminya meskipun dalam keadaan apa saja dan di manapun jua bahkan meski ketika berada di atas untapun, ia harus menerima ajakan itu. 80 Di sini hak perempuan untuk memperoleh kebahagiaan dalam hubungan seksual sama sekali tidak diperhatikan. Yang menjadi pokok perhatian hanyalah kebutuhan dan keinginan suami yang notabene berjenis laki-laki. Persepsi masyarakat ﺵArab yang terdeskripsikan di sini bahwa perempuan diciptakan hanya untuk menjadi budak seksual lelaki tanpa mempertimbangkan apakah perempuan bersedia melakukannya atau tidak. Apakah perempuan dalam keadaan sehat atau sakit. Apakah perempuan bisa menikmatinya atau bahkan menyakitinya. Semuanya tidak menjadi pertimbangan. Yang menjadi fokus perhatian hanyalah kebutuhan para lelaki terpenuhi sehingga dengan dalih terpenuhinya kebutuhan seksualnya, mereka tidak melakukan penyelewengan dan perselingkuhan. Jika terdapat suami yang berbuat zina, maka yang paling disalahkan adalah isteri, karena ia tidak mau memenuhi kebutuhan suaminya. Sebuah hadis menyebutkan: 79 Muhammad ﺵUmar al-Nawawi, Sharh ‘Uqud al-Lujjain fi Bayan Huquq al-Zawjain, Semarang: Taha Putera, t.th., hal. 7 -8. : ﷲ : ﷲ : ﷲ ﷲ ﷲ ﷲ Ibid ., hal. 10. 80 Ahmad Sunarto penterj., ﺵUqud al-Lujjain, Pedoman Hidup Suami Isteri, Surabaya: Penerbit Bintang Terang, 1985, hal. 31. ﷲ