Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA
PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013
TESIS
Oleh
MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
THE INFLUENCE OF KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF THE COMMUNITY ON THE PREVENTION FROM ISPA (ACUTE
RESPIRATRORY TRACT INFECTION) DISEASE IN THE POST-FLOOD AT KELURAHAN AEK NAULI, SOUTH
SIANTAR SUBDISTRICT, PEMATANGSIANTAR, IN 2013
THESIS
By
MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA
PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARLIANA VERONIKA PURBA 117032115/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
(5)
Telah diuji
pada Tanggal : 01 Agustus 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes Anggota : 1. Suherman, S.K.M, M.Si
2. dr. Heldy BZ, M.P.H
(6)
PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT ISPA (INFEKSI SALURAN PERNAFASAN
AKUT) PASCA BENCANA BANJIR DI KELURAHAN AEK NAULI KECAMATAN SIANTAR SELATAN KOTA
PEMATANGSIANTAR TAHUN 2013
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, Oktober 2013
Marliana Veronika Purba 117032115/IKM
(7)
ABSTRAK
Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 797 kepala keluarga. Sampel sebanyak 89 responden. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan pengetahuan kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,014 (p<0,05). Ada hubungan signifikan sikap kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,042 (p<0,05).
Disarankan kepada Kepala Pemerintah Kota Pematangsiantar , khususnya di Kelurahan Aek Nauli agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai risiko tinggi terjadinya penyakit ISPA pasca bencana banjir, pelatihan kepada petugas kesehatan khususnya mengenai cara penanganan dan pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.
Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Pencegahan, ISPA, Banjir
(8)
ABSTRACT
ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) disease increases because flood brings with it sediment and mud which cause air pollution in the watershed area. Dust, brought by the river when the flood occurs, is scattered in the air and brings about air pollution because of natural and internal factors.
The objective of the research was to analyze the influence of knowledge and attitude of the community on the prevention from ISPA disease after flood occurred at Kelurahan Aek Nauli, South Siantar Subdistrict, Pematangsiantar, in 2013. The population was all 797 families, and 89 of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by logistic regression test.
The result of the research showed there was significant correlation between families’ knowledge and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.014 (p<0.05). There was significant correlation between families’ attitude and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.042 (p<0.05).
It is recommended that the Management of Pematangsiantar City Administration, particularly the management of Kelurahan Aek Nauli, should provide counseling and socialization about the high risk of ISPA incident in the post-flood and provide training for health workers, especially about the way to handle and to prevent from ISPA disease in the post-flood.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadapan Allah Bapa, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013” Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Peneliti mendapatkan banyak dukungan, masukan dan saran dari berbagai pihak selama proses penulisan tesis ini. Untuk itu penghargaan setinggi-tingginya serta terimakasih yang sebesar-besarnya peneliti ucapkan kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
(10)
4. Dr. Juanita, S.E, M.Kes dan Suherman, S.K.M, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, arahan, dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
5. dr. Heldy BZ, M.P.H dan Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes selaku penguji tesis yang juga telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.
6. dr. Ronald Saragih dan dr. Dorlyn Sirait selaku Kepala Dinas Kota Pematangsiantar dan Kepala Bagian Sumber Daya Manusia Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk dapat mengikuti pendidikan pasca sarjana di Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan.
7. Ir. Reinward Simanjuntak, M.M selaku Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Pematangsiantar yang telah bekerja sama memberikan informasi dan data dalam rangka penyusunan tesis ini.
8. E. Sibagariang selaku Lurah Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar yang telah bersedia memberikan izin penelitian di Kelurahan Aek Nauli.
9. Kedua mertuaku S.E Saragih dan P. Girsang dan kedua orangtuaku M. Purba, B.E dan S. Saragih, S.H, atas segala dukungan moral dan doa yang tidak henti-hentinya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
10.Teristimewa buat suami tercinta dr. Rajin Sanvritz Saragih, Sp.B, FINACS yang penuh pengertian, perhatian, kesabaran, doa, motivasi dan dukungan
(11)
moril agar dapat menyelesaikan pendidikan ini dan anak-anakku Rama Maleakhi Saragih, Kezia Theofani Saragih, dan Ezra Bonardo Saragih yang sabar dan memberikan semangat sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. 11.Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
12.Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2011, khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam proses penyelesaian tesis ini.
Peneliti menyadari atas segala keterbatasan tesis ini, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian lanjutan.
Medan, Oktober 2013
Marliana Veronika Purba 117032115/IKM
(12)
RIWAYAT HIDUP
Peneliti dilahirkan di Medan, pada tanggal 26 Oktober tahun 1970 dari pasangan M. Purba, B.E dan Sahmaulina Saragih, S.H Peneliti beragama Kristen Protestan dan bertempat tinggal di Jalan H. Adam Malik 38 C Pematangsiantar . Pada tahun 1977 menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD St. Antonius 1 Medan dan menamatkannya pada tahun 1983. Pada tahun 1983 melanjutkan pendidikan di SMP St. Thomas 1 Medan dan tamat tahun 1986. Dilanjutkan pada tahun 1986 di SMA Negeri 1 Medan dan tamat tahun 1989.
Peneliti melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran USU Medan pada tahun 1989 dan selesai pada tahun 1995. Kemudian pada tahun 1996 sampai dengan 1999, peneliti bekerja sebagai dokter PTT di Kabupaten Sarolangun Bangko Provinsi Jambi dan Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 2000 lulus tes PNS di Medan dan ditempatkan di Puskesmas Pembantu Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang. Pada November 2007 pindah tugas ke Puskesmas Kartini Kota Pematangsiantar. Selanjutnya pada bulan Agustus tahun 2011 melanjutkan pendidikan Strata 2 di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat pada minat studi Manajemen Kesehatan Bencana.
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Permasalahan... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Hipotesis. ... 9
1.5 Manfaat Penelitian ... 10
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1Pengetahuan ... 11
2.1.1 Pengertian ... 11
2.1.2 Proses Putusan Inovasi ... 11
2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi ... 17
2.2Sikap ... 21
2.3Bencana ... 23
2.3.1 Definisi Bencana ... 23
2.4Bencana Banjir ... 24
2.4.1 Faktor – faktor Penyebab Banjir ... 26
2.4.2 Dampak Bencana Banjir ... 30
2.5Daerah Rawan Bencana ... 31
2.6Penyakit Pasca Bencana ... 31
2.7ISPA ... 31
2.7.1 Pengertian ... 31
2.7.2 Klasifikasi Penyakit ISPA ... 33
2.7.3 Etiologi ISPA ... 34
2.7.4 Faktor Risiko ISPA ... 34
2.7.5 Tanda dan Gejala ... 35
2.7.6 Cara Penularan Penyakit ISPA ... 37
2.7.7 Pencegahan ISPA ... 38
2.8Landasan Teori ... 41
(14)
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 46
3.1Jenis Penelitian ... 46
3.2Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46
3.3Populasi dan Sampel ... 46
3.3.1 Populasi ... 46
3.3.2 Sampel ... 47
3.4Metode Pengumpulan Data ... 48
3.4.1 Data Primer ... 48
3.4.2 Data Sekunder ... 48
3.4.3 Uji Validitas ... 48
3.5Variabel dan Definisi Operasional ... 50
3.5.1 Variabel Penelitian ... 50
3.5.2 Definisi Operasional ... 51
3.6Metode Pengukuran ... 51
3.7Metode Analisis Data ... 52
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 55
4.1.Gambaran Umum Lokasi Penelitian. ... 55
4.2.Karakteristik Responden ... 55
4.2.1 Distribusi Frekuensi Umur Responden ... 55
4.2.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan Responden ... 56
4.3.Analisis Univariat ... 56
4.3.1 Pengetahuan Kepala Keluarga ... 56
4.2.3 Distribusi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan Kepala Keluarga ... 57
4.2.4 Sikap Kepala Keluarga ... 58
4.2.5 Pencegahan Kepala Keluarga terhadap Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 60
4.4.Analisis Bivariat ... 61
4.4.1 Hubungan Pengetahuan Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
4.4.2 Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
4.5. Analisis Multivariat ... 63
BAB 5. PEMBAHASAN ... 65
5.1. Pengaruh Pengetahuan terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 65
5.2. Pengaruh Sikap terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 67
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
(15)
6.2. Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 72 LAMPIRAN ... 75
(16)
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas... 47
3.2. Aspek Pengukuran Variabel ... 49
4.1. Distribusi Umur Responden ... 55
4.2. Distribusi Tingkat Pendidikan Responden... 56
4.3 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Kepala Keluarga tentang Pencegahan Penyakit ISPA ... 57
4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Pengetahuan Kepala Keluarga ... 57
4.5. Distribusi Frekuensi Sikap Kepala Keluarga tentang Pencegahan Penyakit ISPA ... 58
4.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Pada Variabel Sikap Kepala Keluarga ... 58
4.7 Distribusi Frekuensi Variabel Pencegahan Penyakit ISPA ... 60
4.8 Distribusi Frekuensi Responden pada Variabel Pencegahan Penyakit ISPA ... 60
4.9 Hubungan Pengetahuan Masyarakat Terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
4.10 Hubungan Sikap Masyarakat terhadap Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir ... 62
(17)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kerangka Kerja L.Green ... 42 2.2 Kerangka Konsep Penelitian ... 45
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
1 Kuesioner Penelitian ... 75
2 Master Tabel ... 80
3 Hasil Univariat dari Variabel Independen dan Dependen ... 82
4 Hasil Bivariat dari Variabel Independen dan Dependen ... 92
(19)
ABSTRAK
Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 797 kepala keluarga. Sampel sebanyak 89 responden. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner, dianalisis dengan cara univariat, bivariat dan multivariat dan diuji melalui regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan signifikan pengetahuan kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,014 (p<0,05). Ada hubungan signifikan sikap kepala keluarga terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir dengan nilai p=0,042 (p<0,05).
Disarankan kepada Kepala Pemerintah Kota Pematangsiantar , khususnya di Kelurahan Aek Nauli agar memberikan penyuluhan dan sosialisasi mengenai risiko tinggi terjadinya penyakit ISPA pasca bencana banjir, pelatihan kepada petugas kesehatan khususnya mengenai cara penanganan dan pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.
Kata Kunci : Pengetahuan, Sikap, Pencegahan, ISPA, Banjir
(20)
ABSTRACT
ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) disease increases because flood brings with it sediment and mud which cause air pollution in the watershed area. Dust, brought by the river when the flood occurs, is scattered in the air and brings about air pollution because of natural and internal factors.
The objective of the research was to analyze the influence of knowledge and attitude of the community on the prevention from ISPA disease after flood occurred at Kelurahan Aek Nauli, South Siantar Subdistrict, Pematangsiantar, in 2013. The population was all 797 families, and 89 of them were used as the samples. The data were gathered by conducting interviews with questionnaires and analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses and tested by logistic regression test.
The result of the research showed there was significant correlation between families’ knowledge and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.014 (p<0.05). There was significant correlation between families’ attitude and the prevention from ISPA disease in the post-flood with the value of p=0.042 (p<0.05).
It is recommended that the Management of Pematangsiantar City Administration, particularly the management of Kelurahan Aek Nauli, should provide counseling and socialization about the high risk of ISPA incident in the post-flood and provide training for health workers, especially about the way to handle and to prevent from ISPA disease in the post-flood.
(21)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bencana dalam UU No. 24 tahun 2007 didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam, maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Menurut Undang-Undang ini, bencana dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu bencana alam (misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor), bencana non alam (misalnya gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit) dan bencana sosial (misalnya konflik sosial antara kelompok atau antar komunitas masyarakat dan terorisme) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Bencana banjir merupakan bencana alam yang terjadi secara mendadak, mengakibatkan kerusakan lingkungan pemukiman, perubahan kualitas lingkungan oleh karena cemaran yang ditimbulkan dan kerawanan masalah kesehatan pada masyarakat yang terkena. Usia pasien yang berobat ke posko kesehatan, berkisar antara kurang dari 1 tahun hingga lebih dari 60 tahun. 12,5% adalah kelompok balita
(22)
dan 4% lanjut usia. Penyakit yang diderita balita terbanyak adalah ISPA dan diare, sedangkan lanjut usia adalah ISPA dan kulit (Kompas, 2012).
Provinsi Sumatera Utara sebagai provinsi besar di Indonesia bagian barat, berpotensi mengalami pola gangguan cuaca, adanya sungai yang melintasi penduduk yang padat sehingga daerah Sumatera Utara rawan terjadinya bencana banjir. Kondisi tersebut memberi dampak kepada masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan. Sektor-sektor seperti kesehatan, pertanian, kehutanan, ketahanan pangan dan lain-lain turut mengalami kerugian saat kondisi memburuk atau bahkan menjadi ekstrim.
Berdasarkan laporan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), banjir merupakan bencana yang sering dialami oleh daerah-daerah yang secara topografi terletak di kawasan rawan bencana banjir seperti di provinsi Aceh, Sumatera Utara dan beberapa provinsi di pulau Jawa merupakan provinsi yang memiliki risiko dampak terbesar terkena bencana banjir (BPBD, 2011).
Di seluruh Indonesia tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup oleh sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang terjadi di daerah-daerah rawan pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan yang sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area,
(23)
pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya (BPBD, 2007).
Pada kuartal pertama tahun 2012 telah terjadi sekitar 91 kasus banjir di Indonesia, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sementara jika dihitung dari pertengahan tahun 2011, telah terjadi sekitar 129 kasus banjir di Indonesia. Sebagian kasus juga diikuti oleh peristiwa longsor (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012).
Kota Pematangsiantar pada tahun 2012 terjadi 5 kali banjir dalam setahun, sedangkan pada Kecamatan Siantar Selatan, yang dilintasi oleh sungai Bah Bolon dan sungai Sibarambang terjadi banjir setahun sekali dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam setahun (BPBD, 2012).
Pada Kelurahan Aek Nauli, banjir merupakan bencana yang sering terjadi, dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam setahun. Banjir yang melanda wilayah Kelurahan Aek Nauli memberikan implikasi lanjutan seperti kesulitan memperoleh air bersih untuk minum dan mandi.
Kejadian bencana alam terkait erat dengan apa yang dilakukan manusia terhadap lingkungannya dalam mengelola kualitas lingkungan. Apabila masyarakat tidak peduli dengan kualitas lingkungan sekitarnya, maka bencana akan datang (Kusumaratna, 2003).
Tiga jenis penyakit utama yang menyerang pasca banjir adalah 47,4% infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), 22,5% penyakit kulit dan 11,1% diare dan penyakit saluran cerna. Kelompok balita, 63% menderita infeksi saluran pernafasan akut dan
(24)
18% menderita diare sedangkan pada lanjut usia 50% menderita infeksi saluran pernafasan akut dan 14% menderita penyakit kulit. Penyakit kulit umumnya menyerang tangan dan kaki. Hal ini berkaitan dengan kondisi tangan dan kaki yang selalu basah oleh karena terendam air dan air kotor di sekitarnya selama berhari-hari (Kusumaratna, 2012).
Risiko pasca bencana banjir adalah terjadinya wabah penyakit. Secara historis, banyak orang telah meninggal pasca banjir karena infeksi penyakit termasuk malaria, infeksi saluran pernapasan, dan diare (Lignen, 2006). Namun, wabah yang terkait dengan banjir jarang terjadi di negara yang lebih maju.
Kondisi ini diperburuk dengan keadaan cuaca yang dingin sehingga mengakibatkan warga mengalami penurunan daya tahan tubuh. Kondisi-kondisi ini mempermudah masuknya kuman ke dalam tubuh manusia dan salah satu dampaknya adalah menyebabkan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Utomo, 2012).
Suhu udara yang dingin mempermudah munculnya koloni kuman di dalam tubuh manusia. Hal ini merupakan salah satu penyebab adanya kemungkinan korban banjir yang meninggal akibat ISPA yang berujung pada pneumonia, yang merupakan proses infeksi akut yang merusak jaringan paru-paru atau alveoli. Oleh karena itu ISPA harus ditangani dengan baik dan cepat, disamping daya tahan tubuh tetap dijaga dengan suplai makanan yang cukup serta sanitasi yang optimal (Utomo, 2012).
(25)
Selain itu, ada ribuan jenis jamur di lingkungan udara yang dingin dan lembab yang dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama. Sebagai bagian dari lingkungan alam kita, sebagian besar jamur ini tidak berbahaya bagi kebanyakan orang. Masalah akan muncul ketika banjir memberikan lingkungan yang ideal untuk jamur untuk cepat tumbuh di dalam gedung (rumah) (Clements,2009).
Tergantung pada jenis jamur, dapat menyebabkan masalah bagi mereka yang membersihkan setelah banjir dan bagi mereka yang menempati kembali gedung/rumah pasca banjir. Beberapa orang sensitif terhadap jamur dan mengalami reaksi alergi sedangkan yang lain yang sebelumnya sudah ada gangguan pernafasan akan berisiko untuk mendapat akibat yang lebih parah. Mereka yang sensitif biasanya memiliki reaksi alergi termasuk hidung tersumbat, bersin, iritasi mata dan kulit. Kondisi dapat parah pada mereka dengan paparan yang banyak atau dengan kondisi gangguan pernafasan yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, orang dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Clements, 2009).
Penyakit ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian karena ISPA terutama pada bayi dan anak balita. Salah satu faktor pencetus munculnya kejadian ISPA adalah buruknya kondisi lingkungan rumah pada suatu pemukiman penduduk. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan pokok hidup manusia. Rumah yang sehat dan layak huni sangat penting bagi setiap orang. Rumah yang sehat harus memenuhi persyaratan kesehatan antara lain kebutuhan
(26)
fisiologis, kebutuhan psikologis, mencegah penularan penyakit dan mencegah kecelakaan (Ariningsih, 2011).
Infeksi saluran pernafasan akut dan penyakit kulit merupakan penyakit utama yang diderita di daerah dengan kedalaman air lebih dari 2 meter.Dari tiga kali observasi di lapangan setelah hujan lebat, ternyata makin dalam air menyebabkan insidens penyakit juga bertambah besar dari sebelumnya, contohnya ISPA naik hingga 2 kali dan penyakit kulit naik 10 kali. Hal ini terlihat dari angka kasus ISPA pada bulan Juni sebanyak 194 kasus, sedangkan setelah banjir pada bulan Juli yaitu sebanyak 233 kasus dan bulan Agustus sebanyak 185 kasus. Jenis penyakit dalam kelompok lain yang diderita adalah mialgia, gejala reumatik (ngilu-ngilu sendi), hipertensi dan sariawan. Kedalaman air membuat kondisi seseorang sangat rentan karena kedinginan, terendam air bagi yang tetap bertahan di rumahnya, menggunakan pakaian basah dan kelembaban yang tinggi (Laporan Puskesmas Aek Nauli, 2012).
Infeksi saluran pernafasan akut atau ISPA adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman yang masuk ke dalam tubuh melalui udara. Gejalanya batuk, pilek, panas atau demam serta sakit dada (Amirullah, 2009).
Transmisi penyakit menular akibat dari banjir dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu Water borne disease (penyakit yang menyebar melalui perantaraan air), seperti demam tifoid, kolera, leptospirosis dan hepatitis A, Vector-borne disease (penyakit yang menyebar melalui perantaraan hewan) seperti malaria, demam dengue dan demam berdarah dengue, demam kuning dan demam west nile dan Air Borne disease (penyakit yang menular melalui udara), seperti ISPA dan
(27)
bronkhitis. Masing-masing dari penyakit ini memiliki karakteristik yang berbeda. Diare dan gatal-gatal disebabkan oleh kurang baiknya sanitasi, sementara ISPA muncul akibat udara yang dingin yang memicu aktifnya koloni kuman di dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi saluran pernafasan (Utomo, 2012).
Penyakit ISPA mengalami peningkatan karena banjir yang membawa banyak sedimen, endapan dan lumpur yang menyebabkan perumahan di sekitar aliran sungai terkena pencemaran udara. Debu yang beterbangan setelah air surut, yang dibawa oleh arus air pada saat banjir merupakan pencemaran udara karena faktor alamiah atau internal (Wardhana, 2004).
Menurut Wardhana (2004), pencemaran partikel seperti debu pada pasca banjir, merupakan dampak pencemaran partikel yang disebabkan karena peristiwa alamiah (faktor internal). Secara umum partikel - partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan dan menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Partikel - partikel tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernafasan. Pada saat menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup masuk kedalam paru-paru. Ukuran debu partikel yang masuk kedalam paru - paru akan menetukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran sedang dari 5 mikron akan bertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel 3 - 5 mikron tertahan dibagian tengah, partikel lebih kecil 1 - 3 mikron akan masuk ke kantung paru – paru, menempel pada alveoli. Partikel yang lebih kecil, kurang 1 mikron akan ikut keluar saat dihembuskan.
(28)
Terdapat 3 faktor penting yang berperan dalam penularan penyakit seperti ISPA yaitu kuman penyakit, kondisi lingkungan dan daya tahan tubuh. Secara umum, proses perjalanan penyakit dapat dijabarkan dalam beberapa tahapan. Tahap pre-patogenesis (Stage of Susceptibility) merupakan tahap dimana terjadi interaksi antara host, bibit penyakit dan lingkungan. Tahap inkubasi (Stage of Presymtomatic Disease) merupakan tahap dimana bibit penyakit sudah masuk ke dalam tubuh inang (host) dan gejala penyakit belum tampak. Tahap timbulnya gejala penyakit dan terakhir tahap terjadinya kecacatan apabila penyakit yang ada tidak dapat tertolong dan menimbulkan gejala sisa.
Sanitasi rumah menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, yaitu digunakan sebagai tempat berlindung yang memengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, sarana pembuangan sampah dan sarana pembuangan kotoran (Azwar, 2000). Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadi dan tersebarnya ISPA.
Rumah yang jendelanya kurang proporsional ukurannya, menyebabkan pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan baik. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan anak- anak terserang ISPA (Ranuh, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, hal tersebut menunjukkan masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui mengenai pencegahan terhadap penyakit ISPA
(29)
pada saat pasca bencana banjir, maka oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: bagaimanakah pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahanpenyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013.
1.4. Hipotesis
Ada pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013.
(30)
1.5. Manfaat Penelitian
1. Menjadi masukan khususnya masyarakat untuk menambah wawasan dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.
2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Pematangsiantar untuk meningkatkan perannya dalam perencanaan penanggulangan bencana untuk meminimalisir dampak bencana khususnya penyakit ISPA.
3. Untuk menambah ilmu pengetahuan, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan yang berkaitan dengan pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca bencana banjir.
(31)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan 2.1.1 Pengertian
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu, penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan mempunyai peranan besar dalam perubahan perilaku. Rogers (1995) menjelaskan lebih terinci berbagai variabel yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap tahapan difusi inovasi tersebut mencakup: (1) atribut inovasi (perceived atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change agents).
2.1.2 Proses Putusan Inovasi
Rogers (1983) menjelaskan dalam penerimaan suatu inovasi, biasanya seseorang melalui beberapa tahapan yang disebut proses putusan inovasi. Proses putusan inovasi merupakan proses mental yang mana seseorang atau lembaga
(32)
melewati dari pengetahuan awal tentang suatu inovasi sampai membentuk sebuah sikap terhadap inovasi tersebut, membuat keputusan apakah menerima atau menolak inovasi tersebut, mengimplementasikan gagasan baru tersebut, dan mengkonfirmasi keputusan ini. Seseorang akan mencari informasi pada berbagai tahap dalam proses keputusan inovasi untuk mengurangi ketidakyakinan tentang akibat atau hasil dari inovasi tersebut.
Proses keputusan inovasi ini adalah sebuah model teoritis dari tahapan pembuatan keputusan tentang pengadopsian suatu inovasi teknologi baru. Proses ini merupakan sebuah contoh aksioma yang mendasari pendekatan psikologi sosial yang menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang dinamakan tahapan efek dasar.
Proses keputusan inovasi dibuat melalui sebuah cost-benefit analysis yang mana rintangan terbesarnya adalah ketidakpastian (uncertainty). Orang akan mengadopsi suatu inovasi jika mereka merasa percaya bahwa inovasi tersebut akan memenuhi kebutuhan . Jadi mereka harus percaya bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan relatif pada hal apa yang digantikannya. Lalu bagaimana mereka merasa yakin bahwa inovasi tersebut akan memberikan keuntungan dari berbagai segi, seperti :
1. Dari segi biaya, apakah inovasi tersebut membutuhkan biaya yang besar tetapi dengan tingkat ketidakpastian yang besar?
2. Apakah inovasi tersebut akan mengganggu segi kehidupan sehari-hari? 3. Apakah sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang ada?
(33)
Pada awalnya Rogers dan Shoemaker (1971) menerangkan bahwa dalam upaya perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru, terjadi berbagai tahapan pada seseorang tersebut, yaitu :
1. Tahap Awareness (Kesadaran), yaitu tahap seseorang tahu dan sadar ada terdapat suatu inovasi sehingga muncul adanya suatu kesadaran terhadap hal tersebut. 2. Tahap Interest (Keinginan), yaitu tahap seseorang mempertimbangkan atau
sedang membentuk sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya tersebut sehingga ia mulai tertarik pada hal tersebut.
3. Tahap Evaluation (Evaluasi), yaitu tahap seseorang membuat putusan apakah ia menolak atau menerima inovasi yang ditawarkan sehingga saat itu ia mulai mengevaluasi.
4. Tahap Trial (Mencoba), yaitu tahap seseorang melaksanakan keputusan yang telah dibuatnya sehingga ia mulai mencoba suatu perilaku yang baru.
5. Tahap Adoption (Adopsi), yaitu tahap seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan putusan yang diambilnya sehingga ia mulai mengadopsi perilaku baru tersebut.
Dari pengalaman di lapangan ternyata proses adopsi tidak berhenti segera setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, Rogers (1983, 1995) merevisi kembali teorinya tentang keputusan tentang inovasi yaitu :
(34)
1. Knowledge (Pengetahuan)
Pada tahapan ini suatu individu belajar tentang keberadaan suatu inovasi dan mencari informasi tentang inovasi tersebut. Apa?, bagaimana?, dan mengapa? merupakan pertanyaan yang sangat penting pada tahap ini. Tahap ini individu akan menetapkan “ Apa inovasi itu? bagaimana dan mengapa ia bekerja?. Pertanyaan ini akan membentuk tiga jenis pengetahuan, yaitu:
a. Awareness knowledge (pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran, atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi.
b. How-to-knowledge (pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini.
(35)
c. Principles-knowledge (prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut NCDDR (National Centre for the Dissemination of Disability Research, 1996), menyebutkan ada 4 (empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu:
a. Dimensi Sumber Diseminasi, yaitu institusi, organisasi, atau individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan dan produk baru. b. Dimensi Isi Diseminasi, yaitu pengetahuan dan produk baru dimaksud yang
juga termasuk bahan dan informasi pendukung lainnya.
c. Dimensi Media Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
d. Dimensi Pengguna Diseminasi, yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk dimaksud.
2. Persuasion (Kepercayaan)
Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi , maka tahap ini berlangsung setelah tahap pengetahuan dalam proses keputusan inovasi. Tahap pengetahuan
(36)
lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan tahap kepercayaan bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan pada fungsi-fungsi inovasi dan dukungan sosial akan memengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.
3. Decision (Keputusan)
Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpamanya pada keadaan suatu individu, maka inovasi ini akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin mencoba dulu inovasi tersebut pada keadaannya dan setelah itu memutuskan untuk menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Terdapat dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berfikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berfikir untuk mengadopsi inovasi.
4. Implementation (Penerapan)
Pada tahap implementasi, sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi sebuah inovasi membawa sesuatu yang baru apabila tingkat ketidakpastiannya akan terlibat dalam difusi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Klien dalam hal ini adalah masyarakat, akan
(37)
memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. Apalagi bahwa proses keputusan inovasi ini akan berakhir. Permasalahan penerapan inovasi akan lebih serius terjadi apabila yang mengadopsi inovasi itu adalah suatu organisasi, karena dalam sebuah inovasi jumlah individu yang terlibat dalam proses keputusan inovasi ini akan lebih banyak dan terdiri dari karakter yang berbeda-beda.
5. Confirmation (Penegasan/Pengesahan)
Ketika Keputusan inovasi sudah dibuat, maka klien akan mencari dukungan atas keputusannya ini . Menurut Rogers (1983) keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung yang memperkuat keputusan itu. Jadi dalam tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih krusial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu.
2.1.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Difusi Inovasi
Rogers (1983, 1995), ada beberapa faktor yang memengaruhi proses difusi inovasi, seperti: (1) faktor personal, (2) faktor sosial, dan (3) faktor situasional. Faktor personal yang memengaruhi difusi inovasi adalah:
1. Umur
Difusi inovasi yang tertinggi terdapat pada sekelompok orang yang berusia relatif tua. Walaupun terdapat beberapa bukti bahwa orang-orang yang berusia relatif tua
(38)
kurang dapat menerima perubahan, tetapi bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan untuk orang lain.
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan suatu tambahan pemahaman tentang hal-hal baru. Disamping itu pendidikan juga merupakan sesuatu yang dapat menciptakan dorongan kepada seseorang untuk menerima suatu inovasi. 3. Karakteristik Psikologi
Seseorang yang fleksibel secara mental, mampu memandang elemen-elemen yang nyata dalam situasi yang baru apabila melakukan penyesuaian diri terhadap situasi tersebut. Dengan perkataan lain, kemampuan mengakses informasi dengan cepat dapat menciptakan suatu keadaan rasional, dimana hal tersebut akan memengaruhi seseorang untuk mengadopsi suatu inovasi.
Faktor sosial yang memengaruhi difusi inovasi terdiri dari: 1. Keluarga
Keluarga sering dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk menerima suatu inovasi. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga.
2. Tetangga dan Lingkungan Sosial
Tetangga adalah orang-orang yang tinggal pada suatu geografis tertentu yang telah mengembangkan suatu perasaan memiliki atau kebersamaan dan cenderung berasosiasi dengan sesamanya daripada dengan pihak luar. Pada umumnya belajar
(39)
dengan tetangga biasanya lebih berhasil daripada belajar dengan pihak lain yang tinggal berjauhan sehingga tetangga banyak berperan dalam proses difusi inovasi. 3. Kelompok Referensi
Kelompok referensi adalah sekelompok orang yang dijadikan contoh oleh orang lain atau kelompok lain dalam pembentukan pikiran, penilaian, dan keputusan dalam bertindak. Oleh sebab itu kelompok referensi berperan dalam menyadarkan masyarakat yang relatif lambat dalam mengadopsi sesuatu.
4. Budaya
Suatu unsur budaya seperti tata nilai dan sikap sangat berpengaruh dalam proses difusi inovasi. Tata nilai berhubungan dengan tingkat kepentingan seseorang sehingga menjadi penting dalam memengaruhi perilaku individu sedangkan sikap merupakan suatu proses dalam bertindak yang berdasarkan pada tata nilai yang ada.
Faktor situasional yang memengaruhi difusi inovasi adalah: 1. Status Sosial
Kedudukan seseorang dalam suatu masyarakat berhubungan positif dengan proses difusi inovasi. Seseorang yang mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat cenderung lebih mudah menerima berbagai perubahan yang ditawarkan disebabkan ia lebih mudah untuk mendapatkan berbagai informasi tentang perkembangan baru yang sedang dan akan terjadi.
(40)
2. Sumber Informasi
Orang-orang yang memanfaatkan berbagai sumber informasi yang didapatkannya berkorelasi positif dengan proses difusi inovasi. Sebaliknya, orang-orang yang enggan untuk mencari dan mendapatkan informasi dan hanya bergantung dengan informasi yang apa adanya akan berkorelasi negatif dengan proses difusi inovasi. Namun demikian dari penelitian Rogers ini menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap - tahap tersebut diatas (Notoatmodjo, 2007). Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yaitu: a. Tahu (know), tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
b. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginsterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication), aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).
d. Analisa (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen – komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis), menujukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
(41)
f. Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Menurut Transtheoretical Model Of Behaviour Change yang dinyatakan oleh Citizen Corps (2006), pengetahuan yang dimaksud adalah dimana individu memiliki pengetahuan tentang tindakan kesiapsiagaan yang direkomendasikan.
2.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau dari orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita dengan sesuatu, atau menyebabkan kita menolaknya (Wahid, 2007).
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Cardno dalam Notoatmodjo (2003) membatasi sikap sebagai hal yang memerlukan predisposisi yang nyata dan variabel disposisi lain untuk memberi respons terhadap objek sosial dalam interaksi dengan situasi dan mengarahkan serta memimpin individu dalam bertingkah laku secara terbuka.
Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesediaan dan kesiapan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu, akan tetapi sebagai salah satu predisposisi tindakan untuk perilaku. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional.
(42)
Sedangkan Krech et al dalam Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa sikap menggambarkan suatu kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif sehingga selalu dapat diukur dalam bentuk baik dan buruk atau positif dan negative. Selanjutnya Mucchielli dalam Notoatmodjo (2003) menegaskan sikap sebagai suatu kecenderungan jiwa atau perasaan yang relatif terhadap kategori tertentu dari objek, orang atau situasi.
Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek. 3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Adapun ciri-ciri sikap menurut WHO adalah sebagai berikut :
1. Pemikiran dan perasaan (Thoughts and feeling), hasil pemikiran dan perasaan seseorang, atau lebih tepat diartikan pertimbangan - pertimbangan pribadi terhadap objek atau stimulus.
2. Adanya orang lain yang menjadi acuan (Personal reference) merupakan faktor penguat sikap untuk melakukan tindakan akan tetapi tetap mengacu pada pertimbangan - pertimbangan individu.
3. Sumber daya (Resources) yang tersedia merupakan pendukung untuk bersikap positif atau negatif terhadap objek atau stimulus tertentu dengan pertimbangan kebutuhan daripada individu tersebut.
4. Sosial budaya (Culture), berperan besar dalam memengaruhi pola pikir seseorang untuk bersikap terhadap objek/stimulus tertentu (Notoatmodjo, 2007).
(43)
5. Praktek atau tindakan (practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) (Notoatmodjo, 2007).
2.3. Bencana
2.3.1.Definisi Bencana
Menurut Undang-Undang No 24 tahun 2007 bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologi.
W. Nick Carter dalam bukunya yang berjudul “Disaster Management” memberikan definisi bencana berdasarkan Concise Oxford Dictionary sebagai “sudden or great misfortune, calamity”. Sedangkan berdasarkan Webster’s Dictionary, bencana dimaknai sebagai “a sudden acalitous event proucing raet material damage, loss, and distress” (Nunung, dkk, 2012).
Definisi lain menurut International Strategy For Disaster Reduction (UN-ISDR-2002, 24) adalah:“ Aserious disruption of the fuctioning of a community or a society causing widespread human, material, economic or environmental losses
(44)
which exceed the ability of the affected community/society to cope using its own resources” (Nunung, dkk, 2012).
2.4. Bencana Banjir
Menurut Setyawan (2008) banjir adalah salah satu proses alam, banjir terjadi karena debit air sungai yang sangat tinggi hingga melampaui daya tampung saluran sungai lalu meluap ke daerah sekitarnya. Debit air sungai yang tinggi terjadi karena curah hujan yang tinggi, sementara itu, banjir juga dapat terjadi karena kesalahan manusia. Sebagai proses alam, banjir adalah hal yang biasa terjadi dan merupakan bagian dari siklus hidrologi. Banjir tidak dapat dihindari dan pasti terjadi. Hal ini dapat kita lihat dari adanya dataran banjir pada sistem aliran sungai. Saat banjir terjadi transportasi muatan sedimen dari daerah hulu sungai ke hilir dalam jumlah yang besar, muatan sedimen itu berasal dari erosi yang terjadi di derah pegunungan atau perbukitan.
Banjir akibat kesalahan manusia setidaknya disebabkan oleh dua hal, yaitu pengelolaan daerah hulu sungai yang buruk, dan pengolahan drainase yang buruk. Dalam siklus hidrologi, daerah hulu sebenarnya adalah daerah resapan air. Pengolahan daerah hulu yang buruk menyebabkan air banyak mengalir sebagai air permukaan yang dapat menyebabkan banjir (Setyawan, 2008).
Banjir mengandung pengertian aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal sehingga melimpah dari palung sungai menyebabkan adanya genangan pada lahan rendah di sisi sungai. Aliran air limpahan tersebut yang semakin
(45)
meninggi, mengalir dan melimpahi tanah yang biasanya tidak dilewati aliran air. Bencana banjir merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Mistra, 2007).
Menurut Dibyosaputro (1998) banjir merupakan satu bahaya alam yang terjadi di alam ini dimana air menggenangi lahan- lahan rendah di sekitar sungai sebagai akibat ketidakmampuan alur sungai menampung dan mengalirkan air, sehingga meluap keluar alur melampaui tanggul dan mengenai daerah sekitarnya.
Menurut Bakornas PB (2007), berdasarkan sumber airnya, air yang berlebihan tersebut dapat dikategorikan dalam empat kategori:
1. Banjir yang disebabkan oleh hujan lebat yang melebihi kapasitas penyaluran sistem pengaliran air yang terdiri dari sistem sungai alamiah dan sistem drainase buatan manusia.
2. Banjir yang disebabkan meningkatnya muka air di sungai sebagai akibat pasang laut maupun meningginya gelombang laut akibat badai.
3. Banjir yang disebabkan oleh kegagalan bangunan air buatan manusia seperti bendungan, tanggul, dan bangunan pengendalian banjir.
4. Banjir akibat kegagalan bendungan alam atau penyumbatan aliran sungai akibat runtuhnya/longsornya tebing sungai. Ketika sumbatan/bendungan tidak dapat menahan tekanan air maka bendungan akan hancur, air sungai yang terbendung mengalir deras sebagai banjir bandang.
(46)
2.4.1. Faktor – faktor Penyebab Banjir
Menurut Margono (2005), faktor – faktor yang dapat menyebabkan banjir, antara lain:
1. Faktor Hujan
Hujan bukanlah penyebab utama banjir dan tidak selamanya hujan lebat akan menimbulkan banjir. Begitu pula sebaliknya. Terjadi atau tidaknya banjir justru sangat tergantung dari keempat faktor penyebab lainnya karena secara statistik hujan sekarang ini merupakan pengulangan belaka dari hujan yang telah terjadi di masa lalu. Hujan sejak jutaan tahun yang lalu berinteraksi dengan faktor ekologi, geologi dan vulkanik mengukir permukaan bumi menghasilkan lembah, ngarai, danau, cekungan serta sungai dan bantarannya. Permukaan bumi ini kemudian memperlihatkan secara jelas lokasi – lokasi rawan banjir yang perlu diwaspadai.
2. Faktor DAS (Daerah Aliran Sungai)
Daerah aliran sungai adalah wilayah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS dimaksudkan sebagai kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Perubahan tata guna lahan, misalnya dari hutan dijadikan perumahan, perkebunan atau lapangan golf akan menyebabkan retensi DAS ini berkurang secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan DAS ke hilir. Sebaliknya semakin besar retensi suatu DAS semakin baik, karena air hujan dapat dengan baik di resapkan (diretensi) di DAS ini dan secara perlahan – lahan dialirkan ke sungai hingga tidak menimbulkan banjir di hilir.
(47)
Manfaat langsung peningkatan retensi DAS lainnya adalah bahwa konservasi air di DAS terjaga, muka air tanah stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk tanaman terjamin dan fluktuasi debit sungai dapat stabil. Retensi DAS dapat ditingkatkan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan, pedesaan atau kawasan lain, mengaktifkan resevoir reservoir alamiah, pembuatan resapan – resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindari sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah. Memperbaiki retensi DAS pada prinsipnya adalah memperbanyak kemungkinan air hujan dapat meresap ke dalam tanah sebelum masuk ke sungai atau mengalir ke hilir. Untuk hal ini perlu kesadaran masyarakat secara massal terhadap pentingnya DAS melalui proses pembelajaran massal yang intensif dan terus menerus.
3. Faktor Kesalahan Pembangunan Alur Sungai
Pola penanggulangan banjir serta longsor sejak abad 16 hingga akhir abad 20 di seluruh dunia adalah hampir sama; yaitu dengan pelurusan, sudetan, pembuatan tanggul, pembetonan dinding dan pengerasan tampang sungai. Sungai sungai di Indonesia 30 tahun terakhir ini juga mengalami hal serupa. Intinya pola ini adalah mengusahakan air banjir secepatnya di kuras ke hilir.
Pola pelurusan dan sudetan seperti di atas jelas mengakibatkan percepatan aliran air menuju hilir. Di bagian hilir akan menanggung volume yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Jika tampang sungai di tempat ini tidak mencukupi maka akan terjadi perluapan ke bagian bantaran. Jika bantaran sungai tidak cukup,
(48)
bahkan mungkin telah penuh dengan rumah–rumah penduduk, maka akan terjadi penggelembungan atau pelebaran aliran. Akibatnya areal banjir semakin melebar atau bahkan alirannya dapat berpindah arah. Pelurusan dan sudetan sungai pada hakekatnya merupakan penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi alur sungai terhadap aliran airnya. Penyelesaian masalah banjir di suatu tempat dengan cara ini pada hakekatnya merupaka penciptaan masalah banjir baru di tempat lain di bagian hilirnya. Perlu dikembangkan juga prinsip Let River Be Natural River. Implikasinya dalam penanggulangan banjir , justru sungai alamiah yang bermeander, bervegetasi lebat dan memiliki retensi alur tinggi ini, perlu di jaga kelestariannya karena dengan itu retensi terhadap banjirnya sangat tinggi (Margono, 2005 ).
4. Faktor Pendangkalan
Faktor pendangkalan sungai termasuk faktor yang penting pada kejadian banjir. Pendangkalan sungai berarti terjadinya pengecilan tampang sungai, hingga sungai tidak mampu mengalirkan air yang melewatinya dan akhirnya meluap (banjir). Pendangkalan sungai dapat diakibatkan oleh proses sedimentasi terus menerus. Proses sedimetasi di bagian hilir ini dapat disebabkan karena erosi intensif di bagian hulu. Material tererosi ini akan tebawa aliran dan lambat laun diendapkan di hilir hingga menyebabkan pendangkalan di hilir. Masalah pendangkalan sungai di Indonesia. Untuk itu perlu digunakan perbaikan DAS secara besar-besaran dengan peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran penjarahan hutan dan peninjauan kembali proyek–proyek pelurusan dan sudetan– sudetan yang tidak perlu (Margono, 2005).
(49)
5. Faktor Tata Wilayah dan Pembangunan Sarana–Prasarana
Kesalahan fatal yang sering dijumpai dalam perencanaan tata wilayah untuk konservasi air tanah. Besarnya kolam konservasi dapat dihitung berdasarkan persentase besarnya tanah yang digunakan untuk perumahan. Demikian juga untuk areal perkebunan dan areal industri. Cara kolam konservasi ini sebenarnya merupakan koreaksi total terhadap cara lama yang berprinsip pada pengaturan wilayah. Pengaturan wilayah atau drainase konvesional adalah upaya untuk mengalirkan air hujan secepatnya menuju sungai, cara ini sudah waktunya ditinggalkan, karena pengendalian banjir bukan berarti pengaturan wilayah.
Tiga cara ini perlu sepenuhnya didukung dengan cara keempat yaitu pembentukan karakter sosio–hidraulik atau water cultur. Sosio–hidraulik adalah suatu pendekatan penyelesaian masalah keairan, lingkungan dan banjir dengan membangun kesadaran sosial massal, bagaimana masyarakat berperilaku terhadap air. Jika perilaku masyarakat terhadap air beserta seluruh komponen ekologisnya sudah benar secara massal maka peyelesaian banjir dan juga masalah lingkungan yang terkait akan semakin mudah. Water Culture dalam masalah banjir dapat diartikan dengan kesiapan masyarakat yang terkena banjir atau yang sering terkena banjir (langganan banjir) untuk menguasai cara–cara penyelamatan barang atau jiwa, sehingga kerugian material dan jiwa dapat ditekan serendah– rendahnya. Untuk itu penyuluhan, dialog dan usaha pembelajaran dengan masyarakat ini tentang cara–cara menyelamatkan jiwa dan harta benda ketika banjir datang. Menurut pengalaman usaha pembelajaran penyelamatan ini bisa menekan kerugian akibat banjir.
(50)
Sehubungan dengan besarnya masalah banjir, kekeringan dan kerusakan lingkungan di Indonesia, maka keempat upaya ini sebaiknya dilakukan secara paralel, baik penanganan masalah teknis, ekologi dan sosial. ( Maryono, 2005 ).
2.4.2.Dampak Bencana Banjir
Menurut Mistra (2007), dampak banjir akan terjadi pada beberapa aspek dengan tingkat kerusakan berat pada aspek - aspek berikut ini:
1. Aspek penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah penyakit yaitu pneumonia dan penduduk terisolasi.
2. Aspek pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan.
3. Aspek ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusakan, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat.
4. Aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi.
5. Aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, objek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi.
(51)
2.5. Daerah Rawan Bencana
Daerah rawan bencana adalah daerah yang memiliki kondisi atau karekteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu (BNPB, 2008).
2.6. Penyakit Pasca Bencana
Rusaknya lingkungan akibat bencana dapat berpengaruh pada kesehatan masyarakat seperti rusaknya sarana air bersih, sarana jamban, munculnya bangkai dan vektor penyebar penyakit yang merupakan beberapa potensi timbulnya beberapa penyakit menular yang potensial menimbulkan kejadian luar biasa. Bencana selalu menimbulkan masalah kesehatan pada masyarakat baik secara langsung maupun mengakibatkan kerusakan/perubahan lingkungan. Masalah kesehatan akibat bencana harus dapat diminimalkan sehingga tidak menimbulkan bencana lain.
2.7. ISPA
2.7.1. Pengertian
ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernapasan akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiraiory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut (Indah, 2005):
(52)
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak dengan baik sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan di bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adeksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiration tract)
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolong pada ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur. Virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk didalamnya virus influensa, virus para-influensa dan virus campak), dan adenovirus. Bakteri penyebab ISPA misalnya: Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertussis, dan Korinebakterum Difteria (Achmadi, dkk, 2004).
(53)
2.7.2. Klasifikasi Penyakit ISPA
Penyakit ISPA dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pneumonia berat : ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada ke dalam (chest indrawling).
2. Pneumonia : ditandai secara klinis oleh adanya nafas cepat.
3. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk, pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa nafas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia
Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.
Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :
1. Pneumonia berat : perlu diisolasi, dijumpai retraksi dinding dada pada bagian bawah atau nafas cepat. Batas nafas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.
2. Bukan pneumonia : batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas cepat.
Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :
1. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tldak menangis atau meronta).
(54)
2. Pneumonia : bila disertai nafas cepat. Batas nafas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.
3. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat(Rasmaliah, 2004).
2.7.3. Etiologi ISPA
Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus campak), dan adenovirus. Virus para-infulensa merupakan penyebab terbesar dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab terbesar terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja. Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influensa merupakan penyebab terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas dari pada saluran nafas bagian bawah (Siregar dan Maulani, 2005).
2.7.4. Faktor Risiko ISPA
Faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat ISPA adalah umur di bawah dua bulan, kurang gizi, berat badan lahir rendah, tingkat pendidikan ibu rendah, rendahnya tingkat pelayanan (jangkauan) pelayanan kesehatan, lingkungan rumah yang tidak memadai dan menderita penyakit kronis (Indah, 2005).
(55)
2.7.5. Tanda dan Gejala
Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat dan retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin tidak mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah (Harsono dkk, 1994). Selain batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan suhu tubuh anak meningkat lebih besar dari 38,50
Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu (Suyudi, 2002):
C dan disertai nafas yang cepat (PD PERSI, 2002).
a. ISPA ringan bukan Pneumonia b. ISPA sedang, Pneumonia c. ISPA berat, Pneumonia barat
Khusus untuk bayi dibawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat dan ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat bayi kurang dari dua bulan adalah bila frekuensi nafas cepat (60 kali per menit atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA ringan dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya tahan tubuh pasien yang sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan beberapa pengamatan sederhana.
(56)
a. Gejala ISPA Ringan
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala sebagai berikut :
1. Batuk
2. Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis)
3. Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung 4. Panas atau demam, suhu badan lebih tinggi dari 370
Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Pukesmas. Di rumah dapat diberi obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau apotik tetapi jika dalam dua hari gejala belum hilang, anak harus segera di bawa ke dokter atau Pukesmas terdekat.
C atau jika dahi anak diraba dengan punggung tangan terasa panas.
b. Gejala ISPA Sedang
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :
1. Pernafasan lebih dari 50 kali/menit pada anak umur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.
2. Suhu lebih dari 390
3. Tenggorokan berwarna merah. C.
4. Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak. 5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
(57)
6. Pernafasan berbunyi seperti mendekur. 7. Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.
Dari gejala ISPA sedang ini, orang tua perlu hait-hati karena jika anak menderita ISPA ringan, sedangkan badan anak panas lebih dari 39ºC, gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan petugas kesehatan.
c. Gejala ISPA Berat
Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:
1. Bibir atau kulit membiru
2. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas 3. Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun
4. Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah 5. Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah
6. Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas 7. Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba 8. Tenggorokan berwarna merah
Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau Puskesmas karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti oksgen dan infus.
2.7.6. Cara Penularan Penyakit ISPA
Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu penyakit
(58)
ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease. Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Penularannya adalah karena menghisap udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.
2.7.7. Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA adalah: 1. Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik
a. Bayi sampai usia dua tahun harus diberi ASI karena ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi.
b. Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.
c. Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu mengandung cukup protein (zat telur putih), karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral.
d. Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mmineral dari sayuran dan buah-buahan.
e. Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada penyakit yang menghambat pertumbuhan (Dinkes DKI, 2005).
(59)
2. Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisiasi
Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas (Gloria Cyber Minestries, 2011).
3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat (Suyudi, 2002). Ada beberapa faktor lingkungan yang memengaruhi kejadian ISPA :
a. Kelembaban Ruangan
Hasil penelitian Cahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28 kali. Tingkat kelembaban yang ideal adalah antara 30-60%.
b. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18-30°C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah di bawah 18°C atau di atas
(60)
30°C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.
c. Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2
1) Baik (≥10% dari luas lantai)
yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
2) Tidak baik (≤10% dari luas lantai)
d. Kepadatan Hunian Rumah
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004) menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Cahaya tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya ISPA sebesar 9 kali.
4. Pengobatan segera
Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet makanan yang terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus dibawa ke dokter (PD PERSI, 2002).
(61)
Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor resiko dapat dianggap sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) pneumonia, termasuk disini ialah : a. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A. b. Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir rendah. c. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah (Depkes RI, 1992).
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi penularan ISPA (Clements, 2009) antara lain :
1. Menjauhkan tangan untuk menyentuh mata, hidung, dan mulut. 2. Melakukan vaksinasi atau imunisasi.
3. Menutup mulut ketika batuk atau bersin.
4. Menghindari kontak yang terlalu dekat dengan penderita ISPA. 5. Istirahat yang cukup.
6. Sering mencuci tangan akan mengurangi risiko berbagai macam penyakit termasuk penyakit ISPA
2.8. Landasan Teori
Perilaku merupakan suatu respon individu akibat adanya pengaruh sebelumnya. Perilaku terbentuk akibat adanya penyebab yang melatarbelakanginya. Perilaku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) didefinisikan sebagai suatu reaksi individu terhadap rangsangan.
(62)
Perilaku individu terbentuk dengan melibatkan serangkaian proses yang ada pada dirinya. Pada teori perilaku dalam keperawatan komunitas, pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan memanipulasi stimulus. Stimulus tersebut dapat dimanipulasi dengan cara memberikan positif reinforcement atau punishment kepada individu sehingga stimulus tersebut akan diinternalisasi dan menghasilkan perilaku yang diharapkan (Allender, 2001).
Green (1980) yang dikutip dalam (Notoatdmojo, 2007) menganalisis perilaku manusia dalam hal kesehatan yang dapat dilihat pada (Gambar 2.1), menyatakan bahwa dalam mencapai kualitas hidup yang baik (quality of life) dapat dicapai melalui peningkatan derajat kesehatan, faktor perilaku dan gaya hidup (behaviour and lifestyle) serta lingkungan (environment). Paling besar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan adalah faktor perilaku dan gaya hidup serta lingkungan.
Gambar 2.1 Kerangka Kerja L.Green
Sumber : Green, Health Promotion Planning and Education and Environment Approach Institute of Health Promotion Research University of Brithist Colombia (1980;44). Pendidikan
Kesehatan
Kebijakan Regulasi Organisasi
Faktor Faktor Produksi
Faktor Faktor Penguat
Faktor Faktor Pendukung
Perilaku
Lingkungan
Masalah Kesehatan
Kualitas Hidup
(63)
Faktor perilaku dan gaya hidup adalah suatu faktor yang timbul karena adanya aksi dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungannya. Faktor perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan hanya meniru tokoh idolanya (Notoatdmojo, 2003).
Green (1980) mengembangkan teori yang menyatakan bahwa individu, masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu: faktor perilaku dan non perilaku. Faktor perilaku ditentukan oleh tiga kelompok, yaitu : faktor yang memudahkan (predisposing factor), faktor yang memungkinkan (enabling factor), faktor yang memperkuat (reinforcing factor) (Notoatdmojo, 2003).
Faktor predisposisi yaitu berupa jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, status pekerjaan, pengetahuan dan sikap. Faktor pemungkin meliputi sosio ekonomi, dana, sarana dan sebagainya. Faktor penguat berupa penyuluhan, tenaga penyuluhan, diskusi kelompok terarah (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan lingkungan. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut;
1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintenence).
yaitu perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bila sakit.
(64)
yaitu usaha atau tindakan seseorang pada saat menderita sakit atau kecelakaan. Perilaku ini mulai dari mengobati sendiri sampai mencari pengobatan ke pelayanan kesehatan tradisional maupun modern.
3. Perilaku kesehatan lingkungan.
yaitu bagaimana seseorang merespon lingkungannya, baik fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak memengaruhi kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat (Notoatmodjo, 2007).
Dalam proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku antara lain umur dan jenis kelamin. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu antara lain berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap, dan perilaku adalah perlakuan dalam pelatihan seperti ceramah, tanya jawab, alat peraga, bermain peran, dinamika kelompok (Notoatmodjo, 2007).
Perilaku individu tentang pencegahan penyakit ISPA pada dasarnya adalah hasil dari interaksi sekelompok stimulus. Terdapat beberapa kelompok stimulus yang dikelompokkan dalam beberapa faktor yang memengaruhi perilaku pencegahan penyakit ISPA. Green dalam Notoatmodjo (2007), mengungkapkan perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor pendorong. Faktor predisposisi yang berupa pengetahuan dan sikap tentang pencegahan penyakit ISPA. Sedangkan faktor pendukung mengacu pada daya dukung lingkungan secara fisik meliputi ketersediaan alat/lingkungan dan sarana untuk menunjang pencegahan penyakit ISPA. Faktor yang terakhir, faktor pendorong, yaitu daya dukung sumber
(65)
daya manusia di sekitar individu yang selalu melakukan pengawasan terhadap pencegahan penyakit ISPA seperti tenaga kesehatan.
2.9. Kerangka Konsep
Berdasarkan teori-teori yang telah dibahas dalam tinjauan kepustakaan , maka kerangka teoritis dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan kerangka diatas, maka dapat dijelaskan bahwa definisi konsep dalam penelitian ini adalah variabel independen (variabel bebas) yang terdiri dari pengetahuan dan sikap terhadap pencegahan penyakit ISPA pasca banjir merupakan variabel dependen (variabel terikat).
Umur
Pendidikan Sikap Pengetahuan
Pencegahan Penyakit ISPA Pasca Banjir
(66)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survey dengan pendekatan explanatory research, dengan tujuan untuk menjelaskan hubungan kausal dan penguji hipotesa (Singarimbun dan Effendi, 2006).
Explanatory research untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) pasca bencana banjir di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar tahun 2013.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan Kota Pematangsiantar. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa Kelurahan Aek Nauli merupakan wilayah tertinggi kejadian banjir di Kecamatan Siantar Selatan dengan frekuensi 2 - 3 kali dalam setahun. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai dengan Juni 2013.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di Kelurahan Aek Nauli Kecamatan Siantar Selatan yang berjumlah 797 kepala keluarga.
(67)
3.3.2. Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling, besarnya sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin dalam Notoatmodjo (2010) yaitu :
N n =
1+ N (d2)
Keterangan : N= besar populasi n= besar sampel
d = tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan 90% dengan tingkat kesalahan 10%
Berdasarkan rumus diatas, maka jumlah sampel yang akan diteliti adalah :
) ( 1 N d2
N n
+ =
n =
1 + 797 (0,1) 797
2
(1)
sikap * Pencegahan
Crosstab
Pencegahan Total ada tidak ada
sikap
positif
Count 21 14 35
Expected Count 16.5 18.5 35.0 % within sikap 60.0% 40.0% 100.0% % within Pencegahan 50.0% 29.8% 39.3%
negatif
Count 21 33 54
Expected Count 25.5 28.5 54.0 % within sikap 38.9% 61.1% 100.0% % within Pencegahan 50.0% 70.2% 60.7%
Total
Count 42 47 89
Expected Count 42.0 47.0 89.0 % within sikap 47.2% 52.8% 100.0% % within Pencegahan 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square 3.798a 1 .051
Continuity Correctionb 2.998 1 .083 Likelihood Ratio 3.817 1 .051
Fisher's Exact Test .081 .042
Linear-by-Linear Association 3.755 1 .053 N of Valid Cases 89
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.52. b. Computed only for a 2x2 table
Symmetric Measures
Value Asymp. Std. Errora Approx. Tb Approx. Sig. Interval by Interval Pearson's R .207 .104 1.969 .052c Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .207 .104 1.969 .052c
(2)
a. Not assuming the null hypothesis.
b. Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. c. Based on normal approximation.
LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Pcghn /METHOD=ENTER Pgthn sikap
/CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) ITERATE(20) CUT(.5).
Logistic Regression
Notes
Output Created 21-JUN-2013 09:13:21
Comments
Input
Active Dataset DataSet0 Filter <none> Weight <none> Split File <none>
N of Rows in Working Data File 89 Missing Value Handling Definition of Missing User-defined missing values are
treated as missing
Syntax LOGISTIC REGRESSION VARIABLES Pcghn /METHOD=ENTER Pgthn sikap /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) ITERATE(20) CUT(.5).
Resources Processor Time 00:00:00.05
Elapsed Time 00:00:00.06
[DataSet0]
Case Processing Summary
Unweighted Casesa N Percent
Selected Cases
Included in Analysis 89 100.0
Missing Cases 0 .0
Total 89 100.0
Unselected Cases 0 .0
(3)
a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases. Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
ada 0
tidak ada 1
Block 0: Beginning Block
Classification Tablea,b
Observed Predicted
Pencegahan Percentage Correct ada tidak ada
Step 0
Pencegahan ada 0 42 .0
tidak ada 0 47 100.0
Overall Percentage 52.8
a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step 0 Constant .112 .212 .281 1 .596 1.119
Variables not in the Equation
Score df Sig.
Step 0
Variables Pgthn 5.796 1 .016
sikap 3.798 1 .051
Overall Statistics 6.362 2 .042
Block 1: Method = Enter
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1
Step 6.448 2 .040
Block 6.448 2 .040
Model 6.448 2 .040
Model Summary Step -2 Log likelihood Cox & Snell R
Square
Nagelkerke R Square
(4)
a. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than .001.
Classification Tablea
Observed Predicted
Pencegahan Percentage Correct ada tidak ada
Step 1 Pencegahan
ada 25 17 59.5
tidak ada 16 31 66.0
Overall Percentage 62.9
a. The cut value is .500
Variables in the Equation
B S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step 1
Pgthn
a
.834 .517 2.608 1 .106 2.303
sikap .408 .527 .598 1 .439 1.503
Constant -1.821 .833 4.778 1 .029 .162 a. Variable(s) entered on step 1: Pgthn, sikap.
(5)
(6)