Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap nikmat yang diterima dari Allah SWT akan menambah kebahagiaan dan kesenangan dalam hidup setiap manusia, Sehingga mereka dapat mensyukurinya. Sebab, ketika Allah menggambarkan nikmat yang dilimpahkan kepada hamba-Nya, Allah selalu menyebutnya sebagai kesenangan QS. Ali Imran; 14, berkah QS. al-Araf; 96, dan karunia QS. at-Taubah; 76. Namun, ada satu kondisi di mana nikmat bisa berubah menjadi laknat dan karunia yang diberikan merupakan murka Allah SWT. Inilah yang disebut dengan istidrâj. Istidrâj adalah pemberian Allah kepada orang yang sering melakukan maksiat kepada-Nya. Semakin mereka melupakan Allah, Allah tetap akan menambahkan kesenangan bagi mereka. Akibatnya, mereka semakin terjerumus dan Allah akan menjatuhkan siksa yang sangat pedih. Rasulullah SAW mengingatkan, امناف هيصاعم ىلع ميقم وهو بحي ام اين لا نم بعلا ىطعي ىلاعت ها تيأر ا ا جار تسا هنم كل Jika kamu melihat Allah memberikan kemewahan dunia kepada seseorang yang suka melanggar perintah-Nya, maka itu adalah istidraaj. HR Ahmad. 1 Ada beberapa golongan yang berpotensial ditimpa istidrâj diantaranya adalah orang-orang yang diberi nikmat kekuasaan, lalu ia menjadi sombong dan 1 Lihat Jalaluddin as-Suyuti, Jami’ Shaghir, Kudus: Menara Kudus, ttp., Jilid. I., h. 26. sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Maka, Allah memperpanjang masa kekuasaannya sehingga ia semakin terjerumus dalam kesombongan dan kesewenang-wenangan tersebut. Seperti sosok Firaun yang ketika Allah memberinya kekuasaan, Firaun sering bertindak semena-mena. Lalu, Allah tambahkan kekuasaannya, dan Firaun semakin takabur hingga mengaku dirinya sebagai tuhan. 2 Dan Allah akhirnya menjatuhkan ‘adzâb yang sangat pedih dengan menenggelamkan Firaun di Laut Merah. Naudzubillâh. Sejak tahun 2010, nyaris berbagai ujian dan cobaan melanda negeri Indonesia. Mulai dari meletusnya gunung merapi di Jogja, tsunami di Mentawai pada tanggal 25 oktober dan banjir di mana-mana dan musibah lainnya. Semuanya adalah musibah yang harus disikapi dengan sabar, tabah, dan lapang dada. Apabila terjadi musibah, itu peringatan dari Allah untuk kita kembali kepada Allah. Dalam al-Quran ada beberapa terminologi seperti musibah, ‘adzâb, dan laknat. Katagori ‘adzâb sebagian besar ditimpakan kepada orang kafir. Seperti banjir Nabi Nuh, yang selamat hanya orang beriman yang mengikuti ajaran Nabi Nuh. Kaum Nabi Luth hancur tapi orang yang shaleh selamat. Nabi Shaleh yang ditimpa wabah penyakit yang mengerikan aneh sekali yang beriman walaupun rumahnya bersebelahan tidak terkena penyakit sedangkan yang kafir dimusnahkan oleh penyakit yang mengerikan. Pasukan Abrahah hancur lebur karena di ’adzâb Allah dengan batu yang dilontarkan oleh burung Ababil tetapi di tempat di sekitarnya tidak apa-apa. Adalagi wabah semua yang memakan daging unta Nabi Shaleh dan Nabi Syuaib 2 Al- Qur’an dan Terjemahnya, Surah An-Nazi’at: 24 DEPAG RI., 1997 semuanya kena virus, tapi yang tidak makan tidak kena virus. Jadi, memang ‘adzâb itu ditujukan kepada orang-orang yang memang durhaka. Kalau musibah, itu lebih bersifat ujian untuk menguji ketebalan iman kita. Tapi, itu tingkatnya lebih massif tidak memilih agama, warna kulit, jenis kelamin apapun. 3 Dari beberapa terminologi yang terdapat dalam al-Quran tersebut, sengaja penulis membahas laknat karena masih banyak masyarakat yang belum mengerti tentang laknat itu sendiri. Secara bahasa arab la’ana bermakna “terhina karena dikutuk, kalimat ini digunakan ketika pada zaman pemerintahan jâhiliyyah, seperti ucapan Raja; kamu terhina karena dikutuk, yang bermakna kamu terkutuk karena terhina oleh raja. Sedangkan kata al-l a’nu yaitu jauh dan tersingkir dari kebaikan.”, atau “tersingkir dan jauh dari Allah “. Sedangkan laknat dari manusia yaitu mendoakan. 4 Kata laknat berasal dari kata al- la’n artinya “mengusir dan menjauhkan sesuatu atau seorang akibat perbuatan yang menimbulkan kemarahan”. Orang yang mendapat laknat Allah berarti ia di jauhkan dari rahmat-Nya disertai dengan murka Allah di dunia dan hukuman neraka di akhirat kelak. 5 Dalam al-Quran kata laknat diulang dalam berbagai bentuk sebanyak 40 kali yang tersebar di beberapa surat dalam berbagai kasus yang melangggar perintah Allah dan Rasulnya. 6 Kata laknat sendiri dalam bahasan al-Quran secara garis besar hampir sama dengan musibah, ‘adzâb, nikmat atau bala’. Para mufasir pun berbeda-beda dalam menafsirkannya. Namun jika dikaitkan dengan fenomena 3 http:www.republika.co.idberitaensiklopedia-islamhikmah100710124132-waspadai laknat-tersamar-di-balik-nikmat 4 Ibnu Manzȗr, Lisân al-Arab, Beirut: Dar Sâdir, tt, Juz 4, h. 504. 5 Departemen Agama RI, al-Quran dan Tafsirnya edisi yang disempurnakan,Jakarta: Depeartemen Agama RI, 2004, h. 218 6 Mengenai jumlah dapat di buka Fathurrahman, Surabaya: Maktabah Dahlan, ttp, h. 398-399. alam atau kejadian-kejadian yang menimpa manusia secara umum, kepastian tentang laknat atau nikmat masih belum dapat dipastikan. Yakni, suatu musibah, atau kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang atau suatu kaum apakah dapat dikategorikan sebagai laknat atau bukan. Di sisi lain, apakah laknat dapat terjadi di dunia ini atau hanya di akhirat. Lalu siapakah orang-orang yang tergolong dalam laknat Tuhan dan kenapa laknat itu menimpa mereka. Pertanyaan- pertanyaan inilah yang mendasari kami untuk membahas laknat dalam perspektif tafsîr al-marâghî. Pemilihan tafsîr al-marâghî karena dalam penguraian suatu ayat Ahmad Mustafâ al-marâghî biasanya mula-mula menafsirkan secara lafdzi atau memaknai kalimat-kalimat yang sulit dan asing yang kemudian dijelaskan secara ijmali global. Sebagai contoh, ketika ia menafsirkan ayat mengenai tuduhan zina suami pada istrinya. 7 Dalam muqaddimah tafsîr-nya al-marâghî menuturkan, bahwa ia merasa ikut bertanggung jawab untuk mencari solusi dalam berbagai masalah yang mewabah di masyarakat berdasarkan al-Quran. Di tangan al-marâghî, al-Quran di tafsîr-kan dengan gaya modern sesuai tuntunan masyarakat. Pada beberapa bagian, penjelasannya cukup global. Tetapi di bagian lain, uraiannya cukup mendetail. Tergantung kondisi. Setidaknya ada dua sumber utama yang ia jadikan pijakan untuk menafsirkan ayat al-Quran, yaitu riwayat dan penalaran logis. Ia mencoba menyeimbangkan keduanya. 8 Dari metode penafsiran yang digunakan 7 Ahmad Mustafa al-marâghî, Tafsîr al-marâghî, Penerjemah Bachruddin AB. Lc., dan Drs. Hery Nur Ali, Semarang: CV. Toha Putrajil. h. 130. 8 Sebagain ulama mengatakan bahwa tafsîr al-marâghî menjadi pelengkap atau penyempurna tafsîr al-Manâr Rasyîd Ridhâ. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir al-Quran, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, Cet. I, h. 153-154. inilah yang mendorong kami memilih tafsîr ini untuk membahas kata laknat dalam al-Quran.

B. Batasan dan Rumusan Masalah